1. Ozdemir, O., et al. Underlying diseases of recurrent pneumonia in Turkish children. Turk J Med Sci 2010; 40 (1): 25-30 2. Karatas AF, Miller EG, Miller F, et al. Cerebral palsy patients discovered dead during sleep: experience from a comprehensive tertiary pediatric center. J Pediatr Rehabil Med 2013; 6: 225–231. 3. Reddihough DS, Baikie G, Walstab JE. Cerebral palsy in Victoria, Australia: mortality and causes of death. J Paediatr Child Health 2001; 37: 183–186 4. Proesmans M. Respiratory illness in children with disability: a serious problem? Breathe 2016; 12: e97–e103. 5. Seddon PC, Khan Y. Respiratory problems in children with neurological impairment. Arch Dis Child 2003; 88: 75–78 6. Noble-Jamieson CM, Heckmatt JZ, Dubowitz V, et al. Effects of posture and spinal bracing on respiratory function in neuromuscular disease. Arch Dis Child 1986; 61: 178–181 7. Arumainathan R, Morris SA, George M. Torsion of left main bronchus during general anesthesia for posterior instrumented spinal fusion. Clin Case Rep 2016; 4: 633–635. 8. Boone TB. The bladder and genitourinary tract in the cerebral palsies. In: Miller G, Clark GD, editors. The cerebral palsies. Woburn, MA: ButterworthHeinemann; 1998. Ch. 11. 9. Silva et al. Lower Urinary Tract Dysfunction in Children With Cerebral Palsy. 2009. Neurourology and Urodynamics 28:959–963. 10. Polat, G; Ugan, R.A.; Cadirci, E.; Halici, Z. Sepsis and Septic Shock: Current Treatment Strategies and New Approaches. Eurasian J Med 2017; 49: 53-8. Pada pasien ini, anak laki-laki dengan cerebral palsy mengalami pneumonia berulang. Penyakit yang mendasari terjadinya pneumonia berulang adalah asma bronkial (30,64%), gangguan imunodefisiensi (17,75%), sindrom aspirasi (17,75%), dan anomali bawaan (16,12%)1. Cerebral palsy adalah penyebab paling umum inkoordinasi orofaringeal, sindrom aspirasi bisa menjadi penyebab dari berulangnya pneumonia pada pasien ini. Anak dengan cerebral palsy memiliki risiko kematian mendadak yang meningkat selama tidur dan sebagian besar pasien ini memiliki masalah pernapasan seperti pneumonia aspirasi berulang, bronkitis kronis dan insufisiensi pernapasan (nokturnal)2. Pneumonia berkontribusi 40% atas mortalitas cerebral palsy3 Anak dengan cerebral palsy cendrung mengalami deformitas muskuloskeletal. Seperti pada pasien ini terdapat kifoskoliosis, yang dapat menyebabkan hilangnya kontrol motor selektif, peningkatan tonus dan ketidakseimbangan tonus otot yang mendasarinya, sehingga dapat menyebabkan perkembangan yang abnormal karena rangka tulang yang belum matang4. Kifoskoliosis dapat menyebabkan gangguan mekanis dari otot-otot pernapasan dan mengurangi komplians dinding dada. Jika terjadi sejak usia dini, kifoskoliosis juga dapat membatasi perkembangan paru-paru, yang berefek pada peningkatan upaya pernapasan, menurun kapasitas vital paru dan ventilasi paru yang tidak merata dapat mengakibatkan risiko gagal napas yang dapat menyebabkan kematian5,6. Pada sebuah studi, kifoskoliosis adalah salah satunya dari faktor prediktor utama yang meningkatkan karbon dioksida pada volume tidal akhir, yang menandakan insufisiensi ventilasi respirasi. Terkadang, kifoskoliosis yang berat juga dapat menyebabkan kompresi jalan nafas akibat kelainan posisi tulang belakang7. Pada pasien ini terjadi retensi urine, pada anak dengan cerebral palsy juga dapat terjadi hilangnya kontrol mikturisi, pengisian dan pengosongan kandung kemih yang diatur oleh sistem saraf otonom (simpatik dan parasimpatis) dan dengan sistem saraf somatis, termasuk jalur kortikal. Pada anak-anak, kontinensia urin berkembang dengan maturasi jalur kortikal yang mengatur pusat berkemih yang terletak di batang otak8. Selama pengisian kandung kemih, impuls aferen ditransmisi melalui tulang belakang oleh jalur simpatik dan parasimpatis yang menyatu di pusat miksi di pontine, di mana refleks miksi terus-menerus dihambat oleh impuls kortikal hingga waktu yang tepat untuk pengosongan. Kerusakan/lesi pada otak dapat menyebabkan hilangnya inhibisi ini, menyebabkan aktivitas detrusor yang berlebihan dan gangguan berkemih7. Sehingga gangguan kontrol kandung kemih pada pasien ini dapat dipengaruhi oleh gangguan neurologis pada anak dengan cerebral palsy9. Infeksi Saluran Kemih juga masih mungkin menjadi penyebab retensi urin pada pasien ini, karena adanya kondisi inflamasi, maka respon vesica urinaria atau sphincter menjadi terganggu sehingga proses miksi spontan tidak terjadi, contoh karena nyeri. Saat urine tidak dikeluarkan, residual urine akan semakin banyak, dan memperparah Infeksi Saluran Kemih dan menjadi faktor risiko urosepsis. Sehingga tatalaksana berikutnya harus sesegera mungkin diversi urin dengan kateter. Pada pasien ini dengan latar belakang komorbid cerebral palsy, dengan pneumonia berulang dan infeksi saluran kemih menyebabkan pasien jatuh dalam keadaan sepsis, hingga terjadi syok sepsis berulang hingga membutuhkan vasopressor. Bukti infeksi pada pasien ini ditemukannya bakteri gram negatif Escherichia coli kultur urin. Mikroorganisme aktif yang paling sering menyebabkan sepsis dalam masyarakat adalah Escherichia coli, Streptococcus pneumonia, dan Staphylococcus aureus. Dengan tingkat mortalitas untuk sepsis bakterial negatif adalah 45-50%, dan 20-30% untuk sepsis bakterial gram positif, serta 15-30% untuk sepsis bakterial anaerob. Rasio mortalitas meningkat bervariasi antara 70% hingga 90% ketika terjadi keadaan syok, disseminated intravascular coagulation (DIC), acute respiratory distress syndrome (ARDS), dan gagal organ lainnya10