BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Cerebral palsy (CP

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Cerebral palsy (CP) adalah suatu kondisi kronis yang di
definisikan sebagai gangguan permanen perkembangan gerakan dan
postur, yang menyebabkan keterbatasan aktivitas dan dikaitkan dengan
gangguan non-progresif yang terjadi pada masa perkembangan janin atau
proses kematangan otak bayi. Gangguan motorik anak CP sering disertai
gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi, dan perilaku, epilepsi
dan dengan masalah muskuloskeletal. Anak-anak dengan CP mempunyai
tingkat dari keparahan berbeda, maka tingkat partisipasi mereka dalam
kegiatan sehari-hari akan sangat bervariasi, dan dampaknya terhadap
kualitas hidup sangat tinggi (Manus et al, 2008).
Angka kejadian cerebral palsy (CP) berbeda di beberapa negara,
dilaporkan lebih dari 6000 anak-anak dengan CP ditemukan di 13 wilayah
di Eropa, rata-rata pada periode 1980 sampai 1990 adalah 2,08/1000
kelahiran hidup pada periode 1975 sampai 1991. Sedangkan menurut
Rosenbaum (2003),
jumlah penderita CP ternyata cukup banyak, di
negara barat sekitar 2 sampai 2,5 jiwa dari setiap 1000 kelahiran hidup
terjadi CP. World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah
anak berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7-10% dari total jumlah
anak. Menurut data susenas tahun 2003, di Indonesia terdapat 679.048
1
2
anak usia sekolah berkebutuhan khusus atau 21, 42% dari seluruh jumlah
anak berkebutuhan khusus.
Menurut WHO (2003) dalam Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak
di sekolah Luar Biasa (SLB) bagi petugas keesehatan (2010), jumlah anak
berkebutuhan khusus di Indonesia adalah sekitar 7% dari total jumlah anak
usia 0 sampai 18 tahun atau sebesar 6.230.000 pada tahun 2007.
Berdasarkan data yang ada saat ini di wilayah Yogyakarta sendiri terdapat
sekitar 250 penyandang cacat usia 3-14 tahun (Utami, 2009). Data pasien
rawat inap dan rawat jalan di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2012
terdapat 20 pasien rawat inap dengan kunjungan 214 untuk rawat jalan,
tahun 2013 sejumlah 25 pasien dan rawat jalan 513 sedangkan untuk tahun
2014 sejumlah 26 pasien rawat inap dan 558 rawat jalan. Hal ini
menunjukan adanya peningkatan dalam tahunnya.
Anak CP sama dengan anak normal lainnya, dalam hal pemenuhan
kebutuhan dasarnya mereka, dimana memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar
yang sama dengan anak normal lainnya. Menurut Handerson (1966) dalam
Tomey & Alligood (2006) terdapat 14 macam komponen kebutuhan dasar
manusia, yaitu bernafas secara normal, makan dan minum yang cukup,
eliminasi, bergerak dan mempertahankan posisi yang dikehendaki,
istirahat dan tidur, memilih pakaian yang tepat, mempertahankan suhu
tubuh, menjaga tubuh tetap bersih dan rapi, menghindari bahaya dari
lingkungan, berkomunikasi, beribadah, bekerja, bermain/rekreasi dan
3
belajar. Semua anak berhak untuk dapat terpenuhinya kebutuhan dasar
tersebut.
Terdapatnya gangguan perkembangan yang dialami menyebabkan
mereka tidak atau kurang mampu memenuhi kebutuhannya tersebut secara
mandiri. Kondisi ini akan lebih sulit ketika anak CP mengalami kondisi
yang komplek dimana anak tersebut tidak ada kemampuan untuk
menggerakkan tangan atau kaki, kebutuhan hidup yang vital (makan dan
minum) tergantung pada orang lain. Tidak dapat berkomunikasi, tidak
dapat ambulasi, kontak kejiwaan dan rasa keindahan tidak ada (Susan et
al, 2010).
Gangguan kronik gerak dan postur tubuh pada anak dengan CP
akan menyebabkan penurunan fungsi dan ketidakmampuan untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari. Berbagai kelainan komorbid dan rasa
nyeri yang sering menyertai anak CP akan berdampak negatif terhadap
kulitas hidup anak. Anak CP juga mengalami berbagai macam masalah
sosial dan emosional, seperti penolakan oleh teman, depresi, frustasi,
cemas dan marah. Selain itu orang tua dari anak CP beresiko tinggi
mengalami stress, kondisi keluarga yang labil, dan rendahnya kemampuan
untuk bertahan dari masalah. Pengobatan dan perawatan anak CP
memberatkan dalam hal biaya, waktu dan stress dapat menjadi ancaman
potensial bagi kualitas hidup anak dengan CP (Pupitasari et al, 2013).
Anak CP membutuhkan ketrampilan manual dalam aktivitas hidup
keseharian yang berlangsung sepanjang perkembangan dan sesuai dengan
4
tingkat fungsional anak. Duduk, menyeimbangkan, merangkak dan
berjalan disesuaikan dengan usia, disertai dengan stimulus ekstensi
protektif dan reaksi ekuilibrium. Aktivitas tangan dimulai sejak dini untuk
meningkatkan fungsi motorik dan memberi anak pengalaman sensorik dan
informasi tentang lingkungannya. Kemampuan anak dalam aktivitas
makan dan perawatan diri mengalami kemajuan, maka pelatihan diperluas
dan mencakup tugas-tugas lain seperti memasak atau mengetik, sesuai
dengan kemampuan fungsional dan perkembangannya. Anak memerlukan
bantuan dan kesabaran ketika belajar makan, berpakaian dan perawatan
higiene personal (Wong, 2008).
Undang-Undang Replublik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang,
hak asasi manusia terutama disabilitas mempunyai hak dan kesempatan
yang sama dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan. Hak
tersebut diperjelas dalam Undang-Undang No. 19 tahun 2011 tentang
pengesahan konversi mengenai Hak-hak penyandang disabilitas. Peraturan
menteri negara pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Republik
Indonesia No. 10 tahun 2011 tentang kebijakan penanganan anak
berkebutuhan khusus dan disempurnakan dalam UU Perlindungan Anak
no.35 tahun 2014 pada pasal 1 point 7 Anak penyandang disabilitas adalah
anak yang memeiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan san
sikap masyarakatnya dapat memenuhi hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
5
Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Gubernur Yogyakarta Sri
Sultan Hamengkubuwono XI, dalam kerjasama dengan UNESCO
menciptakan Yogyakarta sebagai kota inklusi. Pada tanggal 12 desember
2014 Daerah Istimewa Yogyakarta mendeklarasikan menjadi Daerah
Pendidikan Inklusif. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang
menjamin semua anak memproleh kulitas pendidikan yang baik, tanpa
membeda-bedakan kondisi anak didik. Sekitar 350 sekolah bersedia
menerima siswa berkebutuhan khusus dan menyediakan 400 orang guru
dengan latar belakang pendidikan luar biasa.
Pemerintah telah merumuskan tentang tujuan pembangunan dalam
sistem kesehatan nasional yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan
nasional (UU No.23/1992 tentang Kesejahteraan, BAB II, Pasal 2 dan 3).
Menurut teori Blum (1986) dalam Notoatmodjo (2010), derajat kesehatan
dipengaruhi oleh empat faktor. Faktor lingkungan merupakan faktor yang
mempunyai pengaruh terbesar, faktor bawaan/keturunan dan faktor
perilaku menempati posisi yang sama dan yang terakhir adalah pelayanan
kesehatan.
Merawat anak CP membebani secara fisik, mental, sosial dan
ekonomi, oleh karena itu dibutuhkan dukungan yang sangat besar baik dari
orang tua, keluarga, lingkungan sosial, maupun perawat. Keluarga perlu
meningkatkan pengetahuan dan pendapatan, menyediakan waktu serta
6
melibatkan diri dalam perawatan anak CP. Melibatkan multi disiplin dan
merupakan kumpulan gejala/kelainan yang bersifat nonprogresif sehingga
membutuhkan waktu yang lama dalam pengobatan dan perawatannya,
bahkan mungkin sampai seumur hidup. Hal ini sejalan dengan pendapat
Campbel (2000) dalam friedman (2010), keluarga merupakan penyedia
pelayanan kesehatan utama bagi pasien yang mengalami penyakit yang
kronik. Friedman (2010) menyatakan supaya kelurga dapat menjadi
sumber kesehatan primer dan efektif, keluarga harus menjadi lebih terlibat
dalam tim perawatan kesehatan dan proses terapi total.
Keluarga dengan anak CP dalam mencari pengobatan dan
perawatannya di pelayanan kesehatan sering bertemu dengan kelurga yang
lain, dimana sama-sama merupakan keluarga dengan anak CP. Sering
bertemunya antar keluarga dalam kesehariannya, mereka merasa tidak
sendiri dalam merawat anak dengan CP. Tepatnya pada tanggal 12
Desember 2012 berdiri Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP)
merupakan komunitas yang didirikan oleh orang tua yang mempunyai
anak dengan CP, saat ini sudah beranggotakan sekitar 140 dan yang
terdiagnosis CP sebanyak 130 anak. WKCP mempunyai kegiatan rutin
setiap 2 minggu sekali dengan kegitan latihan terapi fisik, dimana terapi
yang lebih di fokuskan untuk mempertahankan rentang geraknya, karena
apabila tidak diterapi otot geraknya kaku, dan sebulan sekali mengadakan
diskusi mengenai pengobatan dan perawatan anak dengan CP.
7
Berdasarkan hasil wawancara di WKCP terdapat 12 (dua belas)
orang tua dengan anak CP mengatakan bahwasnnya belum pernah
mendapatkan pelatihan terkait perawatan diri pada anak CP, dikarenakan
selama pemberian informasi masih berorientasi pada alat bantu saja.
Delapan (8) diantarnya mengatakan takut membersihkan mulut pada
anaknya, dan memandikan anaknya karena anak sering menggerakkan
kepalanya dan mempunyai kebiasaan menggigit, takut terjadi kejang dan
kepalanya sering muter-muter, selama ini membersihkan giginya dengan
kain atau waslap.
Keluarga dalam hal ini adalah orang tua merupakan caregiver yang
paling efektif dalam melakukan perawatan diri pada anak. Peran perawat
komunitas dalam melakukan perannanya sebagai promotif dan preventif
dapat memberdayakan keluarga dalam perawatan diri. Keluarga perlu
ditingkatkan
pengetahuan
dan
ketrampilannnya
melalui
program
pemberdayaan kelurga. Dalam hal ini pemberdayaan kelurga difokuskan
pada pelatihan perawatan diri. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan
program pemberdayaan kelurga adalah dengan menggunakan metode
pelatihan (ceramah, diskusi, tanya jawab, simulasi) dan media audiovisual
(video).
Fungsi lain dari video adalah dapat menarik minat, perhatian
kelurga, memperjelas sajian ide dan mengilustrasikan sehingga keluarga
tidak mudah lupa. Media Video merupakan media yang tidak hanya dapat
dilihat tetapi juga dapat didengar. Disamping itu secara ekonomis video
8
termasuk media
yang relatif lebih murah baik harga maupun
pengoperasiannya (Putri, 2012).
Keluarga dengan anak CP yang tergabung di WKCP selama ini
merawat anaknya secara sederhana dan semampunya. Anak CP perawatan
dirinya minimalis,
keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
sesuai kemampuannya. Anak dengan CP rata-rata masih membutuhkan
perawatan total dari keluarga atau pengasuh. Pada kegiatan diskusi
bulanan tampak Anak masih tampak kotor pada bagian mukanya pada saat
setelah makan dan minum, sedangkan ketika memenuhi kebutuhan
eliminasinya terutama (Buang Air Kecil) BAK dan Buang Air Besar
(BAB) anak CP masih belum bersih. Berdasarkan uraian diatas maka
peneliti ingin melakukan penelitian tentang upaya pemberdayaan orang tua
tentang perawatan diri pada anak CP, dengan pemberian pelatihan
perawatan diri dengan membandingkan metode ceramah, diskusi, tanya
jawab dan simulasi dengan media audivisual: video.
1.2. Rumusan masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas maka didapatkan Rumusan masalah
Penelitiannya adalah “Apakah keluarga mampu melakukan perawatan diri
pada anak CP dengan baik dan benar ?“dan “Apakah dengan metode pelatihan
akan
meningkatkan
pengetahuan,
sikap,
penampilan
keterampilan keluarga dalam perawatan diri pada anak CP ?”
anak
CP
dan
9
1.3. Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberdayaan
keluarga dalam perawatan diri dengan pemberian pelatihan mengggunakan
metode ceramah, diskusi, tanya jawab dan simulasi audiovisual: video.
1.3.1 Tujuan Khusus
1.
Mengetahui Pengetahuan, sikap, penampilan anak dan keterampilan
keluarga mengenai perawatan diri anak CP sebelum dilakukan
intervensi
2.
Mengetahui Pengetahuan, sikap, penampilan anak dan keterampilan
keluarga mengenai perawatan diri anak CP sesudah dilakukan
intervensi
3.
Menganalisis pengaruh pelatihan perawatan diri dengan metode
ceramah, diskusi, tanya jawab dan simulasi dengan audiovisual: video
terhadap pengetahuan, sikap, penampilan dan keterampilan keluarga
dalam melakukakan perawatan diri pada anak dengan CP
1.4 Manfaat Penelitian
1.
Manafaat untuk keluarga dengan CP
Keluarga dengan Anak CP diharapkan mendapatkan intervensi yang
lebih bervariasi dan lebih dekat dengan anaknya. Sehingga dapat
meningkatkan kemampauan kemandirian anak CP dalam pemenuhan
kebutuhan dasar dan mampu mandiri sesuai kemampuan keluarga
dalam memberikan perawatan diri pada anaknya.
10
2.
Manfaat untuk profesi perawat
Dijadikan alternatif intervensi dalam perawatan pemenuhan dasar
manusia khususnya anak dengan CP sehingga bisa digunakan sebagai
bagian dari intervensi mandiri keperawatan yang diaharapakan akan
meningkatkan pengakuan terhadap perawat profesi mandiri.
3.
Manfaat untuk peneliti
Penelitian ini bermanfaat untuk mengaplikasikan sebagai intervensi
keperawatan mandiri, keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan dasar
anak
dengan
memberdayakan
keluarga
untuk
meningkatkan
kemampuan ketrampilan keluarga dengan anak CP dalam pemenuhan
kebutuhan dasarnya khususnya kebutuhan Perawatan Diri. Selain itu
dapat
dijadikan
sebagai
informasi
untuk
pengembangan
dan
peningkatan asuhan pada anak berkebutuhan khusus dengan CP.
Penelitian ini juga dapat menjadi awal bagi penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan CP, pemberdayaan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan dasar lainnya.
1.5. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
Peneliti(Tahun)
Patriani, (2008)
Margareta, (2012)
Silvia, etal, 2013
Judul
Desain
Variabel
Perbedaan penelitian
Hasil penelitian
Pemberdayaan
Keluarga
Dalam
Rehabilitasi Medik
Pada
Penderita
Penyakit
Paru
Obstruksi Kronik Di
Balai
Pengobatan
Penyakit Paru-Paru
Yogyakarta
Efektivitas Video Self
Modelling
(VSM)
terhadap
Kemampuan
menggosok gigi pada
anak dengan Autisme
Spectrum Disorders
di
karisidenan
banyumas
Quasi experiment
pre and post test
with control group
design
Variabel Bebas:
Pelatihan Rehabilitasi
medik
Variabel terikat :
Pengetahuan
dan
ketrampilan
keluarga
dalam
upaya
pemberdayaan keluarga
Metode
penelitian
yang
meliputi pengambilan sampel,
subyek penelitian, varibel
penelitian
Ada perbedaan pengetahuan dan
ketrampilan yang bermakna antara
kelompok
intervensi
dengan
kelompok kontrol
Kuantitatif dengan
desain
single
subyek
Variabel Bebas :
Video
Self-Modelling
(VSM)
Varabel
Terikat
:
kemampuan menggosok
gigi pada anak dengan
Autisme
Metode penelitian : design
penelitian menggunakan single
subyek
penelitian
ini
menggunakan total sampel.
Observasi mendalam
Penggunaan media VSM (Video SelfModeling)
dalam merawat anak
dengan
autisme
menggunakan
perekam yang sederhana sangat
efektif
Functional capacity
and assistance from
the
caregiver during
daily activities in
Brazilian
children
with
cerebral palsy
Cross
study
Variabel
bebas:
kapasitas fungsional dan
dibantu oleh pengasuh
Variabel
terikat
:
kemampuan
aktivitas
sehari-hari
Perbedaan pengasuhan dengan
assiten
sedangkan
dalam
peneliti
adalah
keluraga,
subyek penelitian berbeda
Tidak terdapat indikasi yang terkait
dengan kemampuan perawatan diri,
mobilisasi, dan fungsi sosial terhadap
kemampuan diri dan dibantu oleh
pengasuh.
sectional
11
11
12
Lanjutan Tabel 1.1
Ramawati, 2011
Faktor-faktor yang
berhubungan dengan
kemampuan
perawatan diri anak
tuna
grahita
di
kabupaten banyumas
jawa tengah
Rancangan
sectional
cross
Variabel
bebas
:
karakteristikanak,
karakteristik orang tua,
karakteristik lingkungan
Varibel
terikat
:
kemampuan perawatan
diri pada anak tuna
Grahita
Metodologi penelitian, variabel
mengaitkan dengan perawatan
pada anak dengan tuna grahita,
berbeda subyek penilitiannya
dimana
CP
saja
yang
digunakan
Terdapat hubungan bermakna antara
penddikan orang tua, umur, dan
kekuatan motorik pada anak tuna
grahita
dengan
kemampuan
perawatan diri
Payorvee, etal, 2014
Efect
of
Family
empowerment on the
Quality of life of
School-aged children
with asthma
quasi-experimental
study
Varibel
bebas
:
pemberdayaan keluarga
Variabel
terikat
:
Kualitas hidup anak
dengan asma
Metodologi penelitian, variabel
dan mengetahui kulitas hidup
pada anak asma, berbeda
dengan
peneliti
yang
mengetahui
kemampuan
keluarga dalam merawat bukan
kulitas hidupnya
Pemberdayaan mempunyai efek yang
positiv terhadap kualitas hidup anak
dengan asma
12
Download