LAPORAN PENDAHULUAN KESEHATAN JIWA A. Kesehatan mental 1. Pengertian Definisi kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima menghadapi kekurangan atau masalah-masalah kelemahannya, dalam kemampuan hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidup (Pieper dan Uden, 2006). Menurut Ihrom (2008), kesehatan mental adalah terwujudnya integritas kepribadian, keselarasan dengan jati diri, pertumbuhan ke arah realisasi diri, dan ke arah hubungan yang sehat dengan orang lain. Sehingga Kesehatan mental merupakan kondisi: Tingkat „kesejahteraan mental‟ dimana individu dapat berfungsi secara adekuat dapat menikmati hidupnya secara seimbang dan mampu menyesuaikan diri terhadap tantangan hidup dan mampu berkontribusi pada kehidupan sosial budaya & agama memiliki peran dalam memberi batasan sehat/tidak sehat. Dalam pengertian yang lebih „positif‟ tersebut kesehatan mental merupakan fondasi dari tercapainya kesejahteraan (well- being) individu dan fungsi yang efektif dalam komunitasny 2. Kriteria kesehatan mental Schneiders dalam (Semiun, 2006) mengemukakan beberapa kriteria yang sangat penting dan dapat digunakan untuk menilai kesehatan mental. Kriteria tersebut dapat diuraikan sebagai berikut menurut Schneiders (dalam Semiun, 2006). a. Efisiensi Mental b. Pengendalian dan Integrasi Pikiran dan Tingkah Laku c. Integrasi Motif-motif serta Pengendalian Konflik dan Frustasi d. Perasaan-perasaan dan Emosi-emosi yang Positif dan Sehat e. Ketenangan atau Kedamaian Pikiran f. Sikap-sikap yang Sehat g. Konsep-Diri (Self-Concept) yang Sehat h. Identitas Ego yang Adekuat i. Hubungan yang Adekuat dengan Kenyataan 3. Faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa Videbeck (2008) faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa diantaranya : a. Faktor Individual 1) Struktur biologis Gangguan jiwa juga tergolong ilmu kedokteran, dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh para psikiater mengenahi neutransmiter, anatomi dan faktor genetik juga ada hubungannya dengan terjadinya gangguan jiwa. Dalam setiap individu berbeda-beda struktur anatominya dan bagaimana menerima reseptor ke hipotalamus sebagai respon dan reaksinya dari rangsangan tersebut hingga menyebabkan gangguan jiwa. 2) Ansietas dan ketakutan. Kekhawatiran pada sesuatu hal yang tidak jelas dan perasaan yang tidak menentu akan sesuatu hal menyebabkan individu merasa terancam, ketakutan hingga terkadang mempersepsikan dirinya terancam. b. Faktor Psikologik Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat kompleks tergantung dari situasi, individu dan bagaimana setiap orang mampu berkomunikasi secara efektif. Hal ini sangat tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial, perubahan sosial dan tingkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman hidup seseorang hingga terkadang sampai menarik diri dari hubungan sosial. Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi interpersonal yang berulangulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang sekarang bukan merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi merupakan retensi pengumpulan dan pengambilan kembali. Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan kegagalan yang mencolok dalam satu atau beberapa fase perkembangan akibat tidak kuatnya hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan masyarakat sekitarnya. Bagaimana setiap individu mampu mengontrol emosionalnya dalam kehidupan sehari- hari. c. Faktor Budaya dan Sosial Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan terutama mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu sosiobudaya tertentu berbeda dengan budaya lainnya. Perbedaan ras, golongan, usia dan jenis kelamin mempengaruhi pula terhadap penyebab mula gangguan jiwa. Tidak hanya itu saja, status ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. d. Faktor Presipitasi Menurut Stuart (2007) selain di atas, faktor Stressor Presipitasi mempengaruhi dalam kejiwaan seseorang. Sebagai faktor stimulus dimana setiap individu mempersepsikan dirinya melawan tantangan, ancaman, atau tuntutan untuk koping. Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi dimana individu tidak mampu menyesuaikan. Lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri dan komponennya. Lingkungan dan stresor yang dapat mempengaruhi gambaran diri dan hilangnya bagian badan, tindakan operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh kembang, dan prosedur tindakan dan pengobatan. B. Kesiapan Peningkatan Perkembangan Dewasa Muda dan Harga diri Rendah Situasional a. Kesiapan Peningkatan Perkembangan Dewasa Muda Perkembangan psikososial dewasa muda (18-33 tahun) adalah tahapan perkembangan individu mampu melakukan interaksi yang akrab dengan orang lain, terutama lawan jenis dan mempunyai pekerjaan. Pada tahap ini, individu mencoba untuk mandiri dan mencukupi kebutuhannya dengan bekerja. Interaksi yang dilakukan mengarah pada bekerja, perkawinan dan mempunyai keluarga yang menjadi bagian dari masyarakat. Kegagalan dalam berhubungan akrab dan memperoleh pekerjaan dapat menyebabkan individu menjauhi pergaulan dan merasa kesepian kemudian menyendiri (Keliat dkk, 2011). Tugas perkembangan kognitif pada tahap intimacy adalah mengungkapkan adanya orang lain yang dekat dengan dirinya dan mampu belajar membuat keputusan keputusan (Wade dan Tavris, 2007). Pada masa dewasa juga disertai dengan berkembangnya intelegensi yang mempengaruhi keyakinan dan kepercayaan yang mendasar dalam kehidupannya. Pada tahap ini fisik dan ego harus mampu menguasai mekanisme reaksi somatis dan berbagai konflik internal lainnya dalam upaya mengatasi ketakutan terhadap kehilangan ego sehingga timbul situasi dari kenyataan (self abandon). Pencegahan timbulnya situasi ini akan mengembangkan keterbukaan dan kepuasan diri (self absorption). Intimacy vs isolation ini segera dimulai saat tahap masih mengandung konflik tahap ke 5 yang memberi nuansa dewasa muda masih ingin menggabungkan identitas dirinya dengan kelompok. Mereka ingin diterima dan diakui dalam kelompok sebayanya. Kecenderungan ini berlanjut terus sampai masa dewasa bahkan sampai masa tua. Namun dalam tahap ini, individu harus siap untuk memahami intimacy (hubungan antarpersonal yang sangat dekat), dan juga isolation (kenyataan bahwa kita adalah kita, dia adalah dia, sendirian dan terpisah dari yang lain). Kemampuan untuk menyeimbangkan intimacy vs isolation adalah prasyarat cinta pada pasangan hidup (Keliat dkk, 2011). Tugas perkembangan dewasa muda menurut Keliat dkk, 2011 adalah 1) Menjalin interaksi yang hangat dan akrab dengan orang lain 2) Mempunyai hubungan dekat dengan orang – orang tertentu (pacar, sahabat) 3) Mempunyai hubungan heteroseksual dan membentuk keluarga 4) Mempunyai komitmen yang jelas dalam bekerja dan berinteraksi e. Merasa mampu mandiri untuk kehidupan (sudah bekerja) 5) Memperlihatkan tanggung jawab secara ekonomi, sosial dan emosional 6) Mempunyai konsep diri yang realistis/ sesuai kenyataan 7) Menyukai dirinya dan mengetahui tujuan hidupnya 8) Berinteraksi baik dengan keluarga 9) Mampu mengatasi stres akibat perubahan dirinya 10) Menganggap kehidupan sosialnya bermakna 11) Mempunyai nilai yang menjadi pedoman hidupnya Sedangkan perkembangan dewasa muda menurut Feldman (2011), selama masa dewasa muda, orang tidak lagi remaja, tetapi mereka belum sepenuhnya diambil pada tanggung jawab dewasa. Sebaliknya, mereka masih terlibat dalam menentukan siapa mereka dan apa yang hidup dan karir mereka seharusnya. Pandangan bahwa dewasa diawali dengan jangka dewasa muncul mencerminkan realitas bahwa ekonomi negara-negara industri telah bergeser jauh dari manufaktur ke ekonomi yang berfokus pada teknologi dan informasi sehingga membutuhkan peningkatan waktu yang dihabiskan dalam pelatihan pendidikan. Selain itu, usia di mana kebanyakan orang menikah dan memiliki anak telah meningkat secara signifikan. Asuhan keperawatan pada klien dengan kesiapan peningkatan perkembangan dewasa muda ditujukan untuk: Individu dewasa muda mampu memahami cara mencapai perkembangan psikososial yang normal (Berinteraksi dengan banyak orang termasuk lawan jenis dan mempunyai pekerjaan. Individu dewasa muda mampu melakukan tindakan untuk mencapai perkembangan psikososial yang normal. Selain keluar juga diharapkan mampu memahami perilaku yang menggambarkan perkembangan dewasa muda yang normal dan menyimpang. Keluarga mampu memahami cara menstimulasi perkembangan dewasa muda. Keluarga mampu mendemonstrasikan tindakan untuk menstimulasi perkembangan dewasa muda. Keluarga mampu merencanakan cara menstimulasi perkembangan dewasa muda (Keliat dkk, 2011). C. Harga Diri Rendah Situasional Harga diri rendah (HDR) situasional adalah suatu keadaan ketika individu yang sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif mengenai diri dalam berespons terhadap suatu kejadian (kehilangan, perubahan) (Carpenito, 2003). Sedangkan menurut Wilkinson (2007) perasaan diri atau evaluasi diri negatif yang berkembang sebagai respon terhadap hilangnya atau berubahnya perawatan diri seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif. HDR situasional dapat disebabkan karena gangguan pada struktur, fungsi, dan penampilan tubuhnya; penolakan orang lain atau orang tua atas dirinya; kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau ideal dirinya (kegagalan); transisi peran sosial; trauma seperti penganiayaan seksual atau psikologis atau melihat kejadian yang mengancam nyawa (Herdman, 2012) Menurut Herdman (2012) dan Keliat, dkk (2011), pasien dengan harga diri rendah situasional dapat menunjukkan: 1. Kognitif: mengungkapkan perasaan malu atau bersalah, mengungkapkan menjelek-jelekan diri, mengungkapkan hal-hal yang negatif tentang diri (misalnya: ketidakberdayaan dan ketidakbergunaan), mengungkapkan penyalahan diri yang episodik sebagai respons terhadap permasalahan hidup seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri yang positif, mengungkapkan mengevaluasi diri seperti tidak mampu untuk mengatasi permasalahan/situasi, kesulitan dalam pengambilan keputusan, mengungkapkan meniadakan diri, mengungkapkan secara verbal melaporkan tantangan situasional saat ini terhadap harga diri, kurang konsentrasi, fokus menyempit atau preokupasi 2. Afektif: perasaan negatif tentang dirinya (ketidakberdayaan, kegunaan), merasa malu dan bersalah, merasa sedih, merasa putus asa dan frustasi, perasaan tidak mampu, perasaan tidak berguna 3. Fisiologis: perubahan aktual pada fungsi, perubahan aktual pada struktur, peningkatan tekanan darah, pusing atau sakit kepala, kelelahan atau keletihan, tampak lesu, kurang nafsu makan, penurunan berat badan, makan atau minum secara berlebihan, konstipasi atau diare, insomnia atau gangguan tidur, mual dan muntah, perubahan siklus haid 4. Perilaku: kurangnya kemampuan untuk mengikuti sesuatu, tidak mau bekerja sama dalam terapi, perilaku bimbang, perilaku tidak asertif, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas, berkurangnya kreativitas, pengurangan diri, penyalahgunaan rokok, obat, alkhohol, dan penolakan terhadap realitas 5. Sosial: kurangnya kontak mata, pengabaian diri, isolasi sosial, misintepretasi dan kurangnya pratisipasi sosial Asuhan keperawatan pada klien harga diri rendah situasional ditujukan untuk: mengidentifikasi sumber ancaman terhadap harga diri dan pekerjaan melalui masalah tersebut, mengidentifikasi aspekaspek positif diri, menganalisis perilaku sendiri dan konsekuensinya, dan mengidentifikasi cara-cara menggunakan kontrol dan mempengaruhi hasil. Selain itu keluarga dapat membantu klien mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki klien, dapat memfasilitasi pelaksanaan kemampuan yang masih dimiliki klien, memotivasi klien untuk melakukan kegiatan yang sudah dilatih dan memberikan pujian atas keberhasilan klien dan mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan klien (Keliat dkk, 2011).