Skabies Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan, dan Pencegahan Prof.dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, Sp.ParK Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2016 i Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin editor dan penerbit. Diterbitkan pertama kali oleh : Badan Penerbit FKUI, Jakarta Jakarta, 2016 Pencetakan buku ini dikelola oleh: Badan Penerbit FKUI, Jakarta Anggota IKAPI, Jakarta Website: www.bpfkui.com isi diluar tanggung jawab percetakan Illustrasi Siklus Hidup S. scabiei : Uti Nilam Sari ISBN: 978-979-496-880-2 ii Kata Pengantar Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga buku ajar “Skabies: Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan, dan Pencegahan” dapat diselesaikan dengan baik. Buku ini berisi informasi tentang skabies mulai dari penyebab, epidemiologi, patogenesis, gejala, diagnosis, pengobatan, pemberantasan dan pencegahan disertai hasil penelitian terbaru. Diharapkan buku ini dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa progam studi pendidikan dokter, peserta program dokter spesialis kulit dan kelamin, peserta program dokter spesialis parasitologi klinik dan tenaga kesehatan lain dalam mendiagnosis, mengobati, memberantas dan mencegah skabies baik pada level individu maupun di institusi. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr. dr. Ratna Sitompul, Sp.M(K), yang telah mendukung penerbitan buku ini. Saya juga berterima kasih kepada DRPM Universitas Indonesia yang telah membiayai penerbitan buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang terutama yang banyak berhubungan dengan skabies. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pengurus pesantren yang telah mengizinkan saya melakukan penelitian di pesantren serta kepada semua santri yang telah memberikan pengalaman kepada saya untuk mempelajari skabies. Saya ingin memberikan ucapan terima kasih kepada dr. Triana Agustin, SpKK yang telah menelaah buku ini sesuai dengan keahliannya sebagai dermatolog yang mendalami skabies. Kepada para asisten dr. Indra Sianturi, dr. Anita Dwi Shanti, dr. Sabrina Chusnul, dr. Millati Samha, dr. Tiara Kemala Sari, dan dr. Frida Yusnita, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan dalam menuliskan draf buku ini. Buku ini saya dedikasikan kepada suami tercinta Hendro Nurhastono Asmoro dan anak-anakku tersayang Alifia Hanifa, Muhammad Ali Fathoni dan Muhammad Ali Fadhly yang terus memberikan semangat, dukungan, dan doa tiada henti selama ini. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Jakarta, Februari 2015 Prof.dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, Sp.ParK iii iv Daftar Isi Halaman BAB I Pendahuluan ................................................................ 1 BAB II Sejarah ........................................................................ 5 BAB III Epidemiologi ............................................................... 7 BAB IV Etiologi ....................................................................... 19 BAB V Penularan Skabies ...................................................... 23 BAB VI Patogenesis ............................................................... 25 BAB VII Gejala Klinis .............................................................. 33 BAB VIII Bentuk-Bentuk Skabies ............................................ 40 BAB IX Diagnosis ................................................................... 48 BAB X Diagnosis Banding ...................................................... 58 BAB XI Pengobatan Skabies .................................................. 60 BAB XII Jenis Skabisida ......................................................... 66 BAB XIII Skabies Krustosa ..................................................... 76 BAB XIV Komplikasi dan Prognosis ....................................... 86 BAB XV Pencegahan Skabies ................................................ 89 BAB XVI Pemberantasan Skabies ........................................... 96 BAB XVII Pemberantasan Skabies di Pesantren .................... 104 Penutup .................................................................................. 112 Daftar Pustaka ........................................................................ 119 v Daftar Gambar Halaman Gambar 1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prevalensi Skabies ................................................................. 8 Gambar 2. Sarcoptes scabiei Varietas Hominis ...................... 20 Gambar 3. Siklus Hidup S.scabiei .......................................... 22 Gambar 4. Lesi Skabies di Pergelangan Tangan Berupa Papul, Vesikel, Erosi dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret 34 Gambar 5. Lesi Skabies di Sela Jari Tangan Berupa Papul Eritematosa, Vesikel, Pustul, Erosi, dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret ................................................................... 35 Gambar 6. Lesi Skabies di Telapak dan Jari Tangan Berupa Pustul, Bula Purulen dan Krusta Hitam, Multipel, Diskret 35 Gambar 7. Lesi Skabies di Sela Jari Tangan Berupa Plak Eritematosa, Numular, Batas Tegas, Iregular, Soliter dengan Pustul di atasnya ............................................................. 36 Gambar 8. Lesi Skabies di Jari Tangan dan Sela Jari Tangan Berupa Papul, Vesikel Ekskoriasis dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret .................................................... 36 Gambar 9. Lesi Skabies di Perut Berupa Papul Eritematosa, Ekskoriasi dan Krusta Merah Kehitaman, Multipel, Diskret 37 Gambar 10. Lesi Skabies di Bokong dan Pangkal Paha bagian Posterior Bilateral Asimetris Berupa Papul Eritematosa, Ekskoriasi dan Krusta Merah Kehitaman, Multipel, Diskret .................................................................. 37 Gambar 11. Lesi Skabies di Bokong Berupa Papul, Erosi, Ekskoriasi, Krusta Merah Kehitaman dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret .................................... 38 Gambar 12. Lesi Skabies di Bokong, Pangkal Paha Bagian Posterior Bilateral Asimetris Berupa Papul, Pustul, Erosi, Ekskoriasi, Krusta Merah Kehitaman dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret ...................................... 38 Gambar 13. Lesi Skabies di Penis, Skrotum, Lipat dan Pangkal Paha Bilateral Asimetris Berupa Papul Eritematosa, Multipel, Diskret ................................................... 39 vi Gambar 14. Lesi Skabies di Penis dan Skrotum Berupa Papul Eritematosa, Multipel, Diskret ............................ 39 Gambar 15. Perbaikan Klinis Skabies Setelah Diterapi dengan Permetrin ........................................................... 72 Gambar 16. Alur Investigasi Skabies ..................................... 103 vii Daftar Tabel Halaman Tabel 1. Penyebab, Tatalaksana dan Pencegahan Pruritus setelah Penggunaan Skabisida ................................ 63 Tabel 2. Perbedaan Manifestasi Klinis Skabies Klasik dan Krustosa 77 Tabel 3. Terapi Berkelanjutan untuk Skabies Krustosa .......... 83 viii BAB I Pendahuluan Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (kutu kecil) yaitu Sarcoptes scabiei varietas hominis. Penyakit tersebut merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di wilayah beriklim tropis dan subtropis. Jumlah penderita skabies di dunia lebih dari 300 juta setiap tahun dengan angka yang bervariasi di setiap negara.1 Prevalensi skabies di negara berkembang lebih tinggi dari di negara maju. Di Inggris pada tahun 1997-2005, skabies terjadi pada 3 orang per 1.000 penduduk. Di Spanyol pada tahun 2012, prevalensi skabies pada imigran adalah 4,1%. Prevalensi skabies di daerah endemis di India adalah 13% dan di daerah kumuh Bangladesh prevalensi pada anak berusia 6 tahun adalah 29%. Pada populasi umum, prevalensi skabies di Kamboja adalah 43% dan di Chile prevalensi skabies sekitar 1-5%. Di Timor Leste, survei skabies di empat kabupaten pada tahun 2010 menunjukkan prevalensi17,3%.1 Di Indonesia, skabies merupakan salah satu penyakit kulit tersering di puskesmas. Prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008 adalah 5,6-12,9% dan merupakan penyakit kulit terbanyak ketiga. Pada tahun 2008 survei di berbagai pemukiman kumuh seperti di tempat pembuangan sampah akhir dan rumah susun di Jakarta menunjukkan prevalensi skabies sebesar 6,2%, di Boyolali 7,4%, di Pasuruan 8,2%, dan di Semarang 5,8%.2 Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies adalah kemiskinan, kepadatan penghuni rumah, tingkat pendidikan rendah, keterbatasan air bersih, dan perilaku kebersihan yang buruk. Tingginya kepadatan penghuni disertai interaksi dan kontak fisik yang erat memudahkan penularan skabies. Kepadatan penghuni rumah merupakan faktor risiko paling dominan dibandingkan faktor risiko skabies lainnya. Berdasarkan faktor risiko tersebut prevalensi skabies yang tinggi umumnya terdapat di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, penjara, dan pengungsian. Di Malaysia, prevalensi skabies di asrama rumah kesejahteraan bagi orang berusia lanjut di Pulau Pinang pada tahun 2010 adalah 30%. 3 Ketika bencana alam gempa bumi dan tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam, skabies merupakan penyakit 11 kedua terbanyak pada pengungsi. Pada saat itu sekitar 26,4% warga Lhokseumawe yang mengungsi terinfestasi skabies.4 Wabah skabies juga terjadi pada pengungsi Suriah di Lebanon Utara. Di Sierra Leone sebanyak 86% anak-anak yang tinggal di pengungsian padat penghuni menderita skabies. Di pengungsian tersebut, 5-6 keluarga tinggal dalam satu rumah. Berkembangnya skabies di pengungsian terjadi karena tempat tinggal yang terlalu padat, tingkat kebersihan yang rendah, kurangnya air bersih dan penatalaksanaan limbah yang buruk.5 Dari penelitian di penjara Hamadan,7 Iran didapatkan 2,6% narapidana menderita skabies.6 Amro et al meneliti 1734 penderita di klinik dermatologi di Palestina pada tahun 2005-2010 dan mendapatkan prevalensi skabies rata-rata per tahun sebesar 26%. Sumber infeksi skabies berasal dari penjara. Pada tahun 2008, prevalensi skabies di Tikrit, Irak adalah 11% dan 83% dari penderita tersebut terinfestasi skabies di penjara. Nazari et al6 menyatakan skabies lebih sering ditemukan pada narapidana yang tinggal dipenjara kurang dari 6 bulan, pengguna narkoba, berpindah-pindah tempat tidur, menggunakan selimut bersama, perilaku kebersihan yang buruk, mandi sekali seminggu atau kurang, serta tidak menggunakan sabun dan sampo. Skabies banyak terdapat di panti asuhan dan pondok pe­ santren. Di Thailand sebanyak 87% anak-anak yang tinggal disebuah panti asuhan menderita skabies. 8 Survei terhadap 120 anak di rumah singgah Malaysia me­ nunjukkan 46% anak berusia 10-12 tahun menderita skabies.9 Ratnasari et al10 melaporkan pada tahun 2012 prevalensi skabies di sebuah pesantren di Jakarta Timur adalah 51,6% dan pada tahun 2014 Soedarman11 menyampaikan prevalensi skabies di sebuah pesantren di Jakarta Selatan adalah 68%. Penderita skabies terganggu kualitas hidupnya karena me­ngalami gatal hebat dan radang di kulit akibat infeksi sekunder oleh bakteri sehingga produktivitas dan prestasi akademik menurun. Sudarsono12 melaporkan bahwa prestasi belajar santri di sebuah pesantren di Medan lebih rendah setelah terinfestasi skabies. Pada tahun 2008 sebanyak 15,5% santri di sebuah pesantren di Provinsi Aceh menurun nilai rapornya dibandingkan sebelum menderita skabies. 2 Faktor risiko tingginya prevalensi skabies di pesantren adalah kepadatan penghuni yang tinggi dan perilaku kebersihan yang buruk padahal sebagai institusi agama Islam, pesantren seharusnya menyelenggarakan pendidikan di lingkungan yang bersih dan sehat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmizi dikatakan bahwa: “Sesungguhnya Allah SWT itu suci dan menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu”. Pada kenyataannya, tingkat kebersihan di pesantren umumnya rendah dan santri banyak menderita skabies. Meskipun demikian, kondisi itu sering diabaikan dan skabies dianggap sebagai penyakit yang biasa menghinggapi santri. Bahkan ada ungkapan yang menyatakan “belum jadi santri apabila belum mengalami kudisan”. Hal tersebut tentu saja tidak benar karena skabies kronik dan berat dapat menimbulkan komplikasi berupa infeksi sekunder oleh bakteri dan menurunkan kualitas hidup serta penderitaan bagi santri. Penderita skabies juga menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya sehingga harus diobati dan pesantren perlu melakukan upaya pemberantasan. Oleh karena itu, pesantren perlu berbenah diri untuk menjadi institusi pendidikan yang bersih dan sehat agar terbebas dari skabies. Cita-cita menuju pesantren bebas skabies perlu dicanangkan. Pemberantasan skabies di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, dan tempat lain dengan kepadatan penghuni yang tinggi tidak dapat dilakukan secara individual melainkan harus serentak dan menyeluruh. Semua penderita skabies harus diobati dan lingkungan harus dibersihkan (dekontaminasi). Jika tidak, penderita skabies yang telah sembuh akan tertular lagi dan reinfestasi skabies akan terjadi dalam waktu singkat dengan lingkaran setan yang sulit diputus. Diperlukan peran dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk menjadi agen perubahan serta pendidik bagi penduduk terutama untuk masyarakat yang memiliki risiko tinggi menderita skabies. Berdasarkan hal tersebut diperlukan informasi yang lengkap tentang skabies sebagai pedoman pengobatan, pemberantasan, dan pencegahan skabies. 3 Buku ini membahas penyebab skabies, epidemiologi, patogenesis, gejala, diagnosis, pengobatan, pemberantasan dan pencegahan disertai hasil penelitian terbaru. Diharapkan buku ini dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa program studi pendidikan dokter, peserta program dokter spesialis kulit dan kelamin, peserta program dokter spesialis parasitologi klinik dan tenaga kesehatan lain dalam mendiagnosis, mengobati, memberantas dan mencegah skabies baik di level individu maupun di institusi. 4 BAB II Sejarah Skabies adalah penyakit kuno yang telah lama dikenal, setidaknya selama 2500 tahun terakhir. Kata skabies berasal dari bahasa Latin scabere yang berarti menggaruk karena gejala utama skabies adalah rasa gatal hebat sehingga penderita sering menggaruk. Hieroglif dan bukti-bukti arkeologi Mesir menunjukkan bahwa skabies telah menginfestasi manusia sejak berabad-abad yang lalu. S.scabiei dideskripsikan dalam risalah ilmiah pada tahun 1100 SM, namun kaitannya dengan penyakit kulit baru terungkap 500 tahun kemudian. Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang mengidentifikasi tungau penyebab skabies dan menyebutkan sebagai lice in the flesh. Kepustakaan tertua menyatakan orang pertama yang menguraikan skabies adalah Aboumezzan Abdel Malek ben Zohar14 yang lahir di Spanyol pada tahun 1070 dan wafat di Maroko pada tahun 1162. Dokter tersebut menulis sesuatu yang disebut soab yang hidup di kulit dan menimbulkan gatal. Bila kulit digaruk muncul hewan kecil yang sulit dilihat dengan mata telanjang.13,14 Penemuan skabies merupakan sejarah penting dalam perkembangan ilmu kedokteran karena S.scabiei adalah organisme pertama yang diidentifikasi sebagai etiologi suatu penyakit. Pada tahun 1678, Giovan Cosimo Bonomo14 menulis hasil penelitiannya mengenai hubungan penyakit kulit, S.scabiei dan prinsip penatalaksanaan skabies lalu menyampaikannya kepada Francesco Redi. Penemuan terbesar Bonomo14 adalah S.scabiei tidak selalu tinggal di dalam terowongan kulit melainkan berjalan di permukaan kulit untuk mencari lokasi baru. Tungau juga dapat berpindah dari satu penderita skabies ke orang lain dan menyebabkan infestasi baru. Pada tahun 1805, Joseph Adam menginfeksikan S.scabiei ke kulitnya sendiri. Beberapa hari kemudian, ia merasa gatal dan timbul lesi di bagian kulit yang diinfeksi. Pada tahun 1812 Gales menemukan S.scabiei dan meminta Meunir untuk melukisnya, namun penemuan Gales tidak dapat dibuktikan oleh ilmuwan lainnya. Pada tahun 1820, Raspail menyatakan bahwa tungau yang ditemukan Gales identik dengan tungau keju sehingga Gales dinyatakan sebagai penipu. 5 Penemuan Gales baru diakui pada tahun 1839 ketika Renucci seorang mahasiswa dari Corsica berhasil mendemonstrasikan cara mendapatkan tungau dari penderita skabies menggunakan sebuah jarum. Pada tahun 1865, Thomas Hiller merangkum berbagai hasil penelitian skabies dan menyimpulkan bahwa dari sampel kulit penderita skabies ditemukan hewan kecil yang bersarang di kulit dan berkembang biak dengan cara bertelur. Hewan tersebut menimbulkan gatal pada orang yang dihinggapinya. Pada tahun 1919 Munro berhasil menginfeksi kulit seseorang dengan mentransfer larva dan nimfa S.scabiei ke kulit orang sehat lalu timbul manifestasi skabies di kulit tersebut.15 Saat Perang Dunia II berlangsung pada tahun 1940-an, Mellanby16 seorang peneliti dari Sorby Research Institute di Sheffield, Inggris meneliti penularan dan pengobatan skabies. Penelitian dilakukan terhadap 30 relawan yang bersedia tinggal dalam satu rumah di daerah sub-urban selama studi berlangsung. Mellanby16 menyimpulkan infestasi kulit oleh S.scabiei disebabkan oleh tungau betina yang baru dibuahi. Penemuan Mellanby16 merupakan kontribusi besar untuk kesehatan di dunia khususnya bagi para prajurit yang menderita skabies saat Perang Dunia II. 6 BAB III Epidemiologi Skabies disebut juga the itch, pamaan itch, seven year itch karena gatal hebat yang berlangsung menahun. Di Indonesia skabies disebut penyakit kudis, gudik, atau buduk. Skabies terdapat di seluruh dunia dengan prevalensi yang bervariasi, tetapi umumnya terdapat di wilayah beriklim tropis dan subtropis di negara berkembang. Siapapun yang kontak dengan S.scabiei dapat terinfestasi skabies, meskipun demikian skabies lebih banyak terdapat pada penduduk yang memiliki faktor risiko tinggi untuk terinfestasi skabies. Di masyarakat yang memiliki risiko tinggi skabies prevalensi dapat mencapai 80%. Jumlah penderita skabies di dunia diperkirakan lebih dari 300 juta setiap tahunnya sehingga menimbulkan beban ekonomi bagi individu, keluarga, masyarakat dan sistem kesehatan. Biaya untuk mengobati skabies cukup mahal karena biasanya skabies menginfeksi orang miskin yang tidak mampu membayar biaya berobat. Biaya menjadi semakin mahal apabila penderita mengalami skabies berat dengan komplikasi infeksi sekunder oleh bakteri. Pada level rumah tangga, dana yang digunakan untuk berobat mengakibatkan pengurangan biaya untuk kebutuhan pokok misalnya untuk makan sehingga menambah beban keluarga. Pada level institusi dana yang cukup besar dikeluarkan untuk menanggulangi wabah skabies.17 Skabies memiliki hubungan erat dengan kebersihan personal dan lingkungan tempat tinggal sehingga sering terjadi pada orang yang tinggal bersama di pemukiman padat penghuni misalnya di perkampungan padat penduduk atau di pondok pesantren dengan kepadatan penghuni yang tinggi. Wabah skabies sering dijumpai di lingkungan padat penghuni dengan kontak kulit yang erat dan lama seperti di tempat penitipan anak, panti asuhan, tempat perawatan orang usia lanjut, penjara, pengungsian, dan pesantren bahkan di rumah sakit.18 Skabies memiliki masa inkubasi yang lama sehingga orang yang terpajan skabies tidak menyadarinya sebelum timbul lesi klinis yang jelas dan dapat didiagnosis sebagai skabies. Pada orang muda sehat, skabies lebih dianggap sebagai gangguan yang menjengkelkan karena gatal hebat. Pada orang tua atau orang dengan imunitas rendah, skabies sering tidak terdiagnosis karena lesi mirip penyakit lain. Oleh karena itu skabies sering terlambat didiagnosis, pengobatannya tidak 7 adekuat atau salah, dan tindak lanjutnya tidak memadai sehingga sering menimbulkan wabah serta terus menerus endemis di daerah yang memiliki faktor risiko tinggi untuk terinfestasi skabies. Romani et al19 melakukan systematic review terhadap 48 penelitian skabies di berbagai negara dengan studi utama di negara berkembang yang memiliki status ekonomi menengah kebawah. Prevalensi skabies pada populasi umum paling tinggi di Papua Nugini, Panama dan Fiji sedangkan prevalensi skabies pada anak-anak paling banyak ditemukan di Panama. Pada systematic review tersebut dilaporkan bahwa skabies merupakan penyakit kulit yang biasa ditemukan di negara berkembang terutama pada anak-anak, masyarakat kurang mampu, pendidikan rendah serta kepadatan penduduk yang tinggi. Berdasarkan review tersebut, Romani et al19 menyimpulkan bahwa skabies merupakan penyakit kulit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang yang sulit diberantas sehingga diperlukan penelitian secara komprehensif untuk memperoleh strategi pengendalian yang efektif dan efisien. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi prevalensi skabies di masyarakat disampaikan di Gambar 1. Kelompok yang mudah terserang - Anak-anak - Orang tua - Tunawisma Penyebar utama - Crusted scabies - Investasi pada anggota keluarga Kemiskinan - Padat penduduk - Akses air terbatas - Pendidikanrendah Prevalensi skabies di masyarakat Perilaku - Persepsi tentang penyakit - Kepedulian terhadap kesehatan - Kepadatan kamar tidur Diagnosis dan pengobatan terlambat Akses ke pelayanan kesehatan sulit Cuaca - Suhu - Kelembaban Kekurangan pelayanan kesehatan - Salah diagnosis - Obat yang tidak adekuat Gagal Pengobatan - Pengobatan tidak adekuat atau komplikasi Infestasi permanen Alat diagnostik dengan sensitivitas rendah Gambar 2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prevalensi Skabies19 Gambar 1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prevalensi Skabies19 Faktor Risiko Skabies Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu usia, jenis kelamin, tingkat kebersihan,penggunaan alat-alat pribadibersama-sama, kepadatan penghuni, tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang skabies, budaya setempat, serta sosio-ekonomi. 8 Usia Skabies dapat ditemukanpada semua usia tetapi lebih seringmenginfestasi anak-anak 20 Faktor Risiko Skabies Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu usia, jenis kelamin, tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat pribadi bersamasama, kepadatan penghuni, tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang skabies, budaya setempat, serta sosio-ekonomi. Usia Skabies dapat ditemukan pada semua usia tetapi lebih sering menginfestasi anak-anak dibandingkan orang dewasa.20 Penelitian restrospektif yang dilakukan terhadap 29.708 anak di India pada tahun 2009 menunjukkan bahwa skabies merupakan penyakit kulit tersering kedua di kelompok usia anak dan tersering ketiga pada bayi.17 Anakanak lebih mudah terserang skabies karena daya tahan tubuh yang lebih rendah dari orang dewasa, kurangnya kebersihan, dan lebih seringnya mereka bermain bersama anak-anak lain dengan kontak yang erat. Skabies juga mudah menginfestasi orang usia lanjut karena imunitas yang menurun dan perubahan fisiologi kulit menua. Selain faktor imunitas, orang usia lanjut juga mengalami perubahan fisiologi kulit yaitu atrofi epidermis dan dermis, hiperkeratosis, menurunnya fungsi sawar kulit terhadap serangan dari luar, dan proses penyembuhan yang lebih lambat. Kulit orang usia lanjut yang kering juga merupakan port d’entrée patogen antara lain S.scabiei.22 Selain orang usia lanjut, golongan rentan skabies adalah penderita yang dirawat di bangsal psikiatri, penderita dengan gangguan jiwa, orang yang menerima transplantasi organ, pengidap kusta, dan pengguna narkoba. Skabies mudah menyerang orang yang memiliki faktor risiko tinggi seperti orang berusia lanjut yang dirawat di panti jompo, penderita HIV/AIDS, dan orang yang minum obat atau menjalani terapi yang mengakibatkan penurunan sistem imun. Lay et al21 melaporkan bahwa penderita skabies yang dirawat di fasilitas perawatan jangka panjang di 399 rumah sakit di Taiwan rata-rata berusia 80 tahun. Di rumah sakit tersebut, dari 706 penderita yang didiagnosis skabies, sebanyak 86% adalah penderita tirah baring dan 42% pengidap diabetes melitus tipe 2. Skabies sering menginfestasi orang usia lanjut yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang misalnya di panti jompo karena kepadatan penghuni serta perawatan dan kebersihan yang kurang memadai. Faktor risiko infestasi skabies di rumah perawatan orang usia 9 lanjut adalah memiliki tempat tidur lebih dari 120 buah dan rasio tempat tidur dengan petugas kesehatan <10:1.22 Pada orang usia lanjut manifestasi skabies dapat berupa lesi kulit atipik karena perubahan respons imun terhadap tungau. Lesi kulit atipik menyebabkan lesi skabies tidak mudah dikenali sehingga sering luput dari diagnosis. Selain lesi atipik, orang usia lanjut sering mengalami pruritus akibat kulit kering atau ansietas sehingga jika mengalami gatal tidak dipikirkan kemungkinan skabies. Penderita tersebut umumnya diberi antihistamin oral dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi keluhan gatal. Penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang dapat mengubah presentasi lesi kulit dari lesi kulit tipikal menjadi atipik.13 Oleh karena itu, dapat dimengerti jika wabah skabies sering terjadi di panti jompo atau tempat perawatan orang berusia lanjut lainnya. Pada tahun 2011, Meyer et al23 melaporkan wabah skabies di rumah sakit pendidikan di Perancis yang menyerang staf dan penderita. Wabah tersebut berhasil diatasi dalam 3 bulan dengan pengobatan masal terhadap 490 penderita dan 529 petugas kesehatan. Jenis Kelamin Skabies dapat menginfestasi laki-laki maupun perempuan, tetapi laki-laki lebih sering menderita skabies. Hal tersebut disebabkan lakilaki kurang memerhatikan kebersihan diri dibandingkan perempuan. Perempuan umumnya lebih peduli terhadap kebersihan dan kecantikannya sehingga lebih merawat diri dan menjaga kebersihan dibandingkan laki-laki. Pada penelitian disebuah pesantren daerah Pekalongan diperoleh hasil bahwa prevalensi skabies pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hilmy20 melakukan penelitian di sebuah pesantren di Jakarta Timur dan mendapatkan prevalensi skabies pada tahun 2011 adalah 51,6% dengan santri laki-laki lebih banyak menderita skabies daripada perempuan. Penelitian Fakoorziba et al5 di Iran juga menunjukkan bahwa prevalensi skabies lebih tinggi pada laki-laki. Ratnasari10 melaporkan prevalensi skabies di sebuah pesantren di Jakarta Timur pada tahun 2014 adalah 51,6% dan santri laki-laki (57,4%) lebih banyak menderita skabies dibandingkan perempuan (42,9%). 10 Tingkat Kebersihan Memelihara kebersihan diri pada seseorang harus menyeluruh, mulai dari kulit, tangan, kaki, kuku, sampai ke alat kelamin. Cuci tangan sangat penting untuk mencegah infeksi bakteri, virus, dan parasit. Skabies menimbulkan rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari dan pada suasana panas atau berkeringat. Karena rasa gatal yang hebat, penderita skabies akan menggaruk sehingga memberikan kenyamanan dan meredakan gatal walau untuk sementara. Akibat garukan, telur, larva, nimfa atau tungau dewasa dapat melekat di kuku dan jika kuku yang tercemar tungau tersebut menggaruk daerah lain maka skabies akan menular dengan mudah dalam waktu singkat. Oleh karena itu, mencuci tangan dan memotong kuku secara teratur sangat penting untuk mencegah skabies. Mandi dua kali sehari memakai sabun sangat penting karena pada saat mandi tungau yang sedang berada di permukaan kulit terbasuh dan lepas dari kulit.25 Kebiasaan menyetrika pakaian, mengeringkan handuk, dan menjemur kasur di bawah terik sinar matahari setidaknya seminggu sekali dapat mencegah penularan skabies. Tungau akan mati jika terpajan suhu 50o C selama 10 menit.26 Oleh karena itu, panas setrika dan terik sinar matahari mampu membunuh tungau dewasa yang melekat di barang-barang tersebut apabila terpajan dalam waktu yang cukup. Skabies berhubungan erat dengan tingkat kebersihan pribadi dan lingkungan. Putri27 melakukan penelitian di SD Negeri Magelang tentang hubungan kebersihan individu, sanitasi lingkungan, dan status gizi terhadap skabies pada anak-anak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat hubungan antara kebersihan individu dengan prevalensi skabies. Anak-anak dengan kebersihan kurang baik memiliki risiko 6 kali lipat untuk terinfestasi skabies dibandingkan anak-anak dengan kebersihan diri yang baik. Penelitian Susilo28 di sebuah pesantren di Jakarta Timur juga mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara kebersihan diri dengan skabies. Sebanyak 49 dari 183 santri memiliki kebersihan diri baik dan 134 santri memiliki kebersihan diri kurang. Perilaku tidak baik yang banyak dilakukan santri adalah menggunakan satu kasur bersama atau berpindah-pindah tidur (84,4% santri). 11 Pada suatu survei di sebuah pesantren di Jakarta Selatan diperoleh prevalensi skabies sebesar 49,3% dan umumnya santri (86,7%) memiliki perilaku kebersihan yang buruk. Santri berperilaku kebersihan baik adalah yang mencuci baju dengan sabun, menjemur pakaian di bawah sinar matahari dan menyetrika setiap hari, tidak bertukar pakaian, tidak bertukar handuk, tidak berbagi kasur, mandi lebih dari satu kali sehari memakai sabun, dan menjemur kasur setiap minggu. Pada kenyataannya, hasil survei menunjukkan, semua santri berperilaku buruk karena kadang-kadang tidak mandi atau mandi namun tidak memakai sabun dan tidak mengeringkan daerah kemaluan dengan handuk kering setelah cebok. Santri juga tidak menjemur handuk diterik sinar matahari namun hanya menggantungkan di kamar tidur. Baju dan pakaian dalam yang telah dipakai tidak langsung dicuci tetapi dilipat atau digantung lalu dipakai lagi. Pakaian yang telah dicuci akan disetrika namun jika sedang malas pakaian hanya dicuci dan tidak disetrika. Kebiasaan buruk lainnya adalah santri sering saling meminjam handuk, pakaian dan perlengkapan shalat (sarung, mukena, kerudung) dan tidak menjemur kasur yang dipakainya di bawah terik sinar matahari serta sering tidur di kasur temannya. Santri memiliki kebiasaan menggunakan pakaian berlapis-lapis seperti kaos dalam, kemeja atau baju koko dan jaket walaupun udara panas. Keadaan tersebut menyebabkan santri banyak berkeringat dan keringatnya membasahi pakaian, namun pakaian yang basah oleh keringat tersebut tidak dicuci melainkan hanya ditumpuk di atas lemari dan digunakan lagi setelah kering. Perilaku santri yang lebih buruk adalah sering bertukar atau meminjam pakaian yang telah dipakai dan belum dicuci tersebut. 12 Dalam melakukan survei perilaku kebersihan santri, kuesioner yang digunakan adalah:29 1. Kebiasaan mandi 1 = baik (mandi dua kali sehari memakai sabun) 0 = buruk (mandi kurang dari dua kali sehari atau tidak memakai sabun) 2. Membersihkan daerah kemaluan dan mengeringkannya dengan handuk 1 = baik (ya) 0 = buruk (tidak) 3. Bertukar/saling meminjam handuk 1 = baik (tidak pernah bertukar handuk dengan santri lain) 0 = buruk (bertukar handuk dengan santri lain) 4. Menjemur handuk di bawah sinar matahari 1 = baik (selalu menjemur handuk setelah digunakan) 0 = buruk (menjemur handuk setelah digunakan dua kali atau lebih) 5. Mengganti pakaian 1 = baik (minimal dua kali sehari) 0 = buruk (kurang dari dua kali sehari) 6. Bertukar/saling meminjam pakaian 1 = baik (tidak pernah bertukar pakaian dengan santri lain) 0 = buruk (bertukar pakaian dengan santri lain) 7. Mencuci pakaian 1 = baik (mencuci pakaian setelah digunakan sekali) 0 = buruk (mencuci pakaian setelah digunakan beberapa kali) 8. Menyetrika pakaian 1 = baik (menyetrika pakaian setelah dicuci) 0 = buruk (tidak menyetrika pakaian setelah dicuci) 9. Menjemur kasur di bawah terik sinar matahari 1 = baik (menjemur kasur di terik matahari seminggu sekali) 0 = buruk (tidak menjemur kasur di terik matahari) 10. Santri tidur di satu kasur dengan santri lainnya 1 = baik (tidak pernah) 0 = buruk (pernah) 13 Penggunaan Alat Pribadi Bersama Saat masuk pesantren, santri tidak menderita skabies namun setelah tinggal di pesantren selama 1-3 bulan, gejala klinis skabies mulai timbul karena tertular dari temannya.20 Penggunaan alat pribadi bersama-sama merupakan salah satu faktor risiko skabies. Kebiasaan tukar menukar barang pribadi seperti sabun, handuk, selimut, sarung dan pakaian bahkan pakaian dalam merupakan perilaku santri sehari-hari. Pakaian yang dipinjam bukan saja pakaian yang bersih namun juga pakaian yang telah dipakai dan belum dicuci. Susilo28 mengemukakan bahwa 82,2% santri di pesantren Jakarta Timur memiliki kebiasaan buruk, yaitu sering bertukar handuk dan pakaian. Tungau dewasa dapat keluar dari stratum korneum, melekat di pakaian dan dapat hidup di luar tubuh manusia sekitar tiga hari; masa tersebut cukup untuk menularkan skabies. Oleh karena itu, santri tidak boleh saling meminjam pakaian dan peralatan shalat terutama pakaian yang telah digunakan dan belum dicuci.28 Kepadatan Penghuni Faktor utama risiko skabies adalah kepadatan penghuni rumah dan kontak yang erat. Prevalensi skabies dua kali lebih tinggi di pemukiman kumuh perkotaan yang padat penduduk dibandingkan di kampung nelayan yang tidak padat.30 Pada saat migrasi manusia secara masal di Eropa pada Perang Dunia I dan II serta Perang Vietnam, prevalensi skabies di masyarakat lebih dari 30% karena pada saat perang, masyarakat tinggal bersama di pengungsian dengan kepadatan penghuni yang tinggi. Prevalensi skabies yang sangat tinggi ditemukan pada suku Aborigin di Australia karena perilaku kebersihan kurang baik dan kepadatan penghuni yang tinggi. Kanish et al31 melaporkan penyakit kulit yang paling sering dijumpai di penjara India adalah skabies (37%). Tingginya prevalensi skabies di penjara India karena lingkungan hidup yang terlalu padat serta higiene dan sanitasi yang buruk. Kepadatan penduduk tanpa sanitasi yang buruk juga dapat meningkatkan prevalensi skabies seperti yang terjadi di masyarakat Indian Kuna yang tinggal dipulau-pulau kecil pesisir Panama. 14 Skabies banyak menghinggapi murid yang tinggal di asrama dengan tingkat hunian yang tinggi misalnya di pondok pesantren yaitu sekolah Islam dengan sistem asrama dan muridnya disebut santri. Pelajaran yang diberikan di pesantren adalah pengetahuan umum dan agama namun lebih ditekankan pada pelajaran agama Islam. Di Indonesia, sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia tercatat 14.798 pondok pesantren. Santri umumnya berasal dari keluarga dengan kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan rendah sehingga tidak mampu membayar biaya pendidikan dan biaya hidup layak di pesantren. Dengan demikian, tidak mengherankan jika pesantren umumnya padat penghuni dengan fasilitas yang serba terbatas. Satu ruangan tidur dapat berisi 30-50 santri dengan fasilitas dan tingkat kebersihan yang kurang memadai. Kondisi tersebut menyebabkan skabies mudah menular dengan cepat dan sulit diberantas. Di Kabupaten Temanggung, terdapat 76 pondok pesantren yang santrinya mengalami masalah skabies. Di pesantren dengan kebersihan individu dan kebersihan lingkungan yang buruk prevalensi skabies adalah 25%, sedangkan prevalensi skabies di pesantren dengan tingkat kebersihan yang baik prevalensi skabies lebih rendah yaitu 3%.32 Skabies banyak terdapat di pesantren karena santri umumnya tidur di ruangan padat penghuni dan sering bertukar kasur atau tidur di kasur temannya. Berbagai penelitian melaporkan bahwa skabies lebih mudah menular pada orang yang sering bertukar tempat tidur atau kasur. Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan tentang Skabies Secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin bertambah pengetahuannya termasuk pengetahuan kesehatan. Pendidikan di pesantren memiliki jenjang sebagaimana pendidikan umum yaitu madrasah ibtidaiyah (sekolah dasar), madrasah tsanawiyah (sekolah menengah pertama), dan madrasah aliyah (sekolah menengah atas). Materi pendidikan yang diberikan adalah pengetahuan umum dan pengetahuan agama tetapi lebih banyak pengetahuan agama. Dengan meningkatnya pendidikan, diharapkan pengetahuan mengenai skabies meningkat karena santri yang berpendidikan lebih tinggi biasanya mempunyai inisiatif untuk mencari informasi di luar pendidikan formal misalnya dari internet. Pada kenyataannya berbagai survei di pesantren menunjukkan bahwa prevalensi skabies tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan santri. 15 Pengetahuan merupakan hal penting dalam memengaruhi perilaku seseorang terhadap penyakit termasuk skabies. Apabila seseorang memiliki pengetahuan kesehatan dan kebersihan yang tinggi diharapkan dapat berperilaku baik dalam menjaga kesehatannya termasuk dalam menghindari penyakit skabies. Pada kenyataannya, di daerah yang sering mengalami wabah atau endemis skabies, pengetahuan masyarakat mengenai skabies umumnya rendah. Hilmy20 melaporkan bahwa 93,6 % santri memiliki pengetahuan kurang mengenai skabies dan hanya 1,4% santri yang memiliki pengetahuan baik. Penelitian Nindrya33 menunjukkan bahwa sebagian besar santri (67,9%) berpengetahuan kurang mengenai gejala klinis skabies sedangkan santri berpengetahuan baik hanya 4,2% dan pengetahuan sedang 27,9%. Dari penelitian Ramadhan34 diperoleh hasil bahwa mayoritas santri (71,4%) tidak mengetahui cara penularan skabies dan hanya sedikit santri (4,5%) yang berpengetahuan baik mengenai penularan skabies. Aulia35 melaporkan bahwa santri berpengetahuan kurang mengenai penyebab skabies sebanyak 93,6% sedangkan santri berpengetahuan cukup dan pengetahuan baik adalah 5% dan 1,4%. Penelitian Ningtiyas36 tentang pengetahuan pengobatan skabies menunjukkan 70,7% santri memiliki pengetahuan kurang dan hanya 5,7% memiliki pengetahuan baik. Rangganata37 melaporkan 9,3% santri mempunyai pengetahuan baik tentang pencegahan skabies, 8,6% berpengetahuan cukup dan 82,1% berpengetahuan kurang. Rendahnya pengetahuan santri mengenai skabies karena pengetahuan tersebut tidak diajarkan pada pendidikan formal di pesantren meskipun santri banyak yang menderita skabies. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pengetahuan santri mengenai skabies perlu ditingkatkan misalnya melalui penyuluhan kesehatan. Rosandi38 melaporkan penyuluhan kesehatan dalam bentuk ceramah dan diskusi dapat meningkatkan pengetahuan santri tentang skabies. Santri dengan tingkat pendidikan baik meningkat dari 14,4% menjadi 82,7% setelah penyuluhan, sedangkan santri dengan tingkat pengetahuan buruk menurun dari 68,3% menjadi 5,8%. Sari39 memaparkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan santri mengenai penyebab skabies sebelum dan setelah penyuluhan. Santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik tentang pengobatan skabies meningkat jumlahnya dari 22,1% menjadi 65,4% sedangkan santri yang memiliki tingkat pengetahuan buruk menurun jumlahnya dari 51,9% menjadi 9,6% setelah penyuluhan. Thamrin40 16 melaporkan bahwa tingkat pengetahuan santri mengenai pengobatan skabies sebelum dan sesudah penyuluhan berbeda bermakna. Dari penelitian Adriansyah41 diperoleh hasil bahwa terdapat kenaikan skor pengetahuan baik sebesar 54% dan penurunan skor pengetahuan kurang sebesar 29% mengenai etiologi dan gejala klinis skabies. Landika44 menyatakan penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan santri mengenai penularan dan pencegahan skabies. Melalui pengetahuan yang telah diperoleh, diharapkan santri dapat mengenal gejala skabies sehingga dapat segera berobat ke dokter dan tidak menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya. Dengan pengetahuan yang baik, diharapkan santri juga berperilaku hidup bersih dan sehat sehingga dapat mencegah skabies. Penyuluhan kesehatan terbukti dapat meningkatkan pengetahuan mengenai skabies, namun jika penyuluhan kesehatan hanya dilakukan satu kali saja, lama-kelamaan pengetahuan yang diperoleh akan terlupa. Oleh karena itu, santri perlu diberikan informasi secara terus menerus dan mudah diakses.20 Informasi tersebut dapat diberikan dalam bentuk poster yang terpampang di kelas, ruang sholat, ruang mengaji, kamar tidur, dll. Budaya Budaya masyarakat dapat mempengaruhi prevalensi penyakit di suatu daerah. Di daerah tertentu, orang sakit tidak boleh dimandikan karena kuatir akan memperparah penyakitnya. Oleh karena itu, jika seseorang menderita skabies, maka tidak boleh mandi dan cuci tangan bahkan tidak boleh terkena air sama sekali. Budaya seperti itu perlu dihentikan dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Santri memiliki jiwa kebersamaan karena merasa senasib dan sepenanggungan sehingga terbiasa menggunakan barang-barang pribadi bersama-sama seperti handuk, kasur, baju, selimut, sarung, mukena, dll. Penggunaan barang-barang pribadi secara bersama tentu saja memudahkan penularan skabies. Di pesantren terdapat kepercayaan bahwa skabies adalah cobaan dari Allah SWT. Oleh karena itu, santri dan pengelola pesantren mengganggap skabies adalah hal biasa dan baru mencari pertolongan ke dokter jika penyakit sudah parah. Kepercayaan yang salah tersebut perlu diluruskan karena skabies adalah penyakit yang dapat diobati dan 17 dicegah. Skabies bukan cobaan dari Allah SWT tetapi karena perilaku kebersihan yang tidak baik dan kepadatan penghuni kamar tidur yang tinggi. Dengan demikian, santri dan pengelola pesantren perlu diberikan informasi komprehensif mengenai skabies.43 Tingkat Sosio-Ekonomi Untuk menjaga kebersihan diri diperlukan berbagai alat pembersih seperti pasta gigi, sampo, dan sabun, namun karena santri biasanya berasal dari keluarga dengan tingkat sosio-ekonomi kurang maka santri merasa berat untuk membeli alat-alat pembersih diri. Karena tingkat ekonomi yang kurang, santri juga tidak dapat tidur di kamar sendiri melainkan harus bersama temannya. Di pesantren, santri sudah biasa tidur bersama dalam satu ruangan bersama 30 orang santri lainnya. Santri tidur beralaskan kasur tipis, yang berdekatan satu dengan lainnya; bahkan satu kasur dipakai berdua. Menurut Departemen Kesehatan RI dikutip oleh Sarayar29 standar hunian kamar tidur adalah 8m2 per orang dan tidak dianjurkan lebih dari dua orang dalam satu kamar. Pada kenyataannya, satu kamar di pondok pesantren ada yang berukuran 15m2 dan dihuni 15 orang. Ratarata pondok pesantren tidak memenuhi standar hunian kamar sehingga pencegahan dan pemberantasan skabies menjadi sulit. Kualitas hidup penderita yang tinggal di daerah kumuh sangat memprihatinkan. Kondisi rumah buruk, infrastruktur sanitasi tidak memadai, dan padat penduduk sehingga skabies tidak menjadi prioritas karena banyak hal lain yang perlu diutamakan. 18 BAB IV Etiologi Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi S.scabiei varietas hominis. Parasit tersebut termasuk kelas arachnida, subkelas acarina, ordo astigmata, dan famili sarcoptidae. Selain varietas hominis, S.scabiei memiliki varietas binatang namun varietas itu hanya menimbulkan dermatitis sementara, tidak menular, dan tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya di manusia. S.scabiei bersifat host specific dan sifat itu terjadi karena perbedaan fisiologi tungau dan variabel hospes seperti bau, diet, faktor-faktor fisik dan respons imun. Arlian44 melakukan penelitian in vivo menggunakan S.scabiei varietas suis, canis dan hominis. Pada penelitian tersebut S.scabiei varietas canis berhasil ditransfer dari anjing ke kelinci tetapi tidak dapat ditransfer ke babi, tikus, mencit dan marmut. Arlian juga gagal mentransfer S.scabiei varietas suis dan varietas hominis ke anjing dan kelinci yang merupakan dua hospes paling peka terhadap S.scabiei varietas canis. S.scabiei berbentuk lonjong dan gepeng, berwarna putih kotor, punggungnya cembung, bagian dadanya rata, dan tidak memiliki mata. Tungau betina berukuran lebih besar dibandingkan tungau jantan, yakni 0,3-0,45mm sedangkan tungau jantan berukuran 0,2-0,25mm. S.scabiei memiliki dua segmen tubuh yaitu bagian anterior yang disebut nototoraks dan bagian posterior yang disebut notogaster. Larva mempunyai tiga pasang kaki sedangkan nimfa memiliki empat pasang kaki. Tungau dewasa mempunyai empat pasang kaki, dua pasang kaki di bagian depan dan 2 pasang kaki di bagian belakang. Dua pasang kaki bagian belakang tungau betina dilengkapi dengan rambut dan pada tungau jantan hanya pasangan kaki ketiga saja yang berakhir dengan rambut sedangkan pasangan kaki keempatnya dilengkapi dengan ambulakral (perekat). Alat reproduksi tungau betina berbentuk celah di bagian ventral sedangkan pada tungau jantan berbentuk huruf Y yang terletak di antara pasangan kaki keempat. 19 Gambar 2. Sarcoptes scabiei Varietas Hominis Siklus Hidup S.scabiei S.scabiei memiliki metamorfosis lengkap dalam lingkaran hidupnya yaitu: telur, larva, nimfa dan tungau dewasa (Gambar 3). Infestasi dimulai ketika tungau betina gravid berpindah dari penderita skabies ke orang sehat. Tungau betina dewasa berjalan di permukaan kulit dengan kecepatan 2,5cm per menit untuk mencari tempat menggali terowongan. Setelah menemukan lokasi yang sesuai, tungau menggunakan ambulakral untuk melekatkan diri di permukaan kulit kemudian membuat lubang di kulit dengan menggigitnya. Selanjutnya tungau masuk ke dalam kulit dan membuat terowongan sempit dengan permukaan yang sedikit terangkat dari kulit.45 20 Biasanya tungau betina menggali stratum korneum dalam waktu 30 menit setelah kontak pertama dengan menyekresikan saliva yang dapat melarutkan kulit. Terowongan tungau biasanya terletak di daerah lipatan kulit seperti pergelangan tangan dan sela-sela jari tangan. Tempat lainnya adalah siku, ketiak, bokong, perut, genitalia, dan payudara. Pada bayi, lokasi predileksi berbeda dengan dewasa. Predileksi khusus bagi bayi adalah telapak tangan, telapak kaki, kepala dan leher. Tungau berkopulasi di dalam terowongan. Setelah kopulasi, tungau betina akan membuat terowongan di kulit sampai perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum dengan kecepatan 0,5-5mm per hari. Lokasi biasanya di stratum korneum kulit yang tipis.Tungau betina hidup selama 30-60 hari di dalam terowongan dan selama waktu tersebut tungau terus memperluas terowongannya.46 Penggalian terowongan biasanya pada malam hari dan tungau menggali terowongan sambil bertelur atau mengeluarkan feses. Tungau betina bertelur sebanyak 2-3 butir setiap hari. Seekor tungau betina dapat bertelur sebanyak 40-50 butir semasa hidupnya. Dari seluruh telur yang dihasilkan tungau betina, kurang lebih hanya 10% yang menjadi tungau dewasa dan pada seorang penderita biasanya hanya terdapat 11 tungau betina dewasa.44 Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-5 hari. Larva berukuran 110x140mikron, mempunyai tiga pasang kaki dan segera keluar dari terowongan induknya untuk membuat terowongan baru atau hidup di permukaan kulit. Larva menggali terowongan dangkal agar mudah untuk makan dan mengganti kulit luar (ekdisis/pengelupasan kulit) untuk berubah menjadi nimfa. Dalam waktu 3-4 hari, larva berubah menjadi nimfa yang mempunyai 4 pasang kaki. Nimfa betina mengalami dua fase perkembangan. Nimfa pertama panjangnya 160µm dan nimfa kedua panjangnya 220-250µm. Nimfa kedua bentuknya menyerupai tungau dewasa, tetapi alat genitalnya belum terbentuk sempurna. Nimfa jantan hanya mengalami satu fase perkembangan. Nimfa berkembang menjadi tungau dewasa dalam 21 waktu tiga hari. Waktu sejak telur menetas sampai menjadi tungau dewasa sekitar 10-14 hari. Tungau jantan hidup selama 1-2 hari dan mati setelah kopulasi.44 Gambar 3. Siklus Hidup S.scabiei (Ilustrasi oleh Uti Nilam Sari) 22 BAB V Penularan Skabies Skabies dapat ditularkan melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau tungau dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain namun dari semua bentuk infektif tersebut tungau dewasalah yang paling sering menyebabkan penularan. Sekitar 90% penularan skabies dilakukan oleh tungau dewasa betina terutama yang gravid. Tungau tidak dapat melompat atau terbang melainkan berpindah dengan merayap. Kemampuan tungau untuk menginfestasi akan menurun seiring dengan lamanya tungau berada di luar tubuh hospes. Skabies dapat ditularkan secara langsung atau tidak langsung namun cara penularan skabies yang paling sering adalah melalui kontak langsung antar individu saat tungau sedang berjalan di permukaan kulit. Kontak langsung adalah kontak kulit ke kulit yang cukup lama misalnya pada saat tidur bersama. Kontak langsung jangka pendek misalnya berjabat tangan dan berpelukan singkat tidak menularkan tungau. Skabies lebih mudah menular secara kontak langsung dari orang ke orang yang tinggal di lingkungan padat dan berdekatan seperti di panti jompo, panti asuhan, pesantren dan institusi lain dimana penghuninya tinggal dalam jangka waktu lama. Tungau pindah dari penderita skabies ke hospes baru karena stimulus aroma tubuh dan termotaksis dari hospes baru. Untuk menularkan skabies, kedua stimulus tersebut harus adekuat dan cukup lama yaitu sekitar 15-20 menit kontak langsung kulit ke kulit pada saat orang tidur di kasur yang sama dengan penderita skabies atau pada saat hubungan seksual.13 Pada orang dewasa, cara penularan tersering adalah melalui hubungan seksual, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya. Anak-anak berpeluang lebih besar menularkan skabies karena tingginya kontak interpersonal terutama dengan saudara-saudaranya yang tinggal di tempat yang sama dan dengan orang tuanya saat kontak fisik normal seperti ketika berpelukan atau tidur bersama. Tungau betina membuat terowongan di stratum korneum dan meletakkan sekitar 4-5 butir telur setiap hari sampai 6 minggu sebelum mati. Perkembangan siklus hidup S.scabiei dari telur-larva-nimfa sampai dewasa membutuhkan waktu dua minggu. Mellanby16 berhasil mendemontrasikan bahwa kontak langsung kulit-ke-kulit adalah cara penularan skabies yang paling sering. 23 Mellanby16 melakukan penelitian terhadap 300 subjek untuk mengetahui hubungan jumlah tungau dengan risiko penularan. Pada penelitian tersebut, subjek diminta berbaring tanpa menggunakan pakaian di kasur yang hangat dan sebelumnya telah digunakan oleh penderita skabies yang terinfestasi <20 tungau. Hasilnya menunjukkan 4 subjek (1,3%) mengalami infestasi skabies setelah tidur dikasur tersebut. Jumlah penderita yang tertular meningkat menjadi 15% ketika kontak dengan penderita skabies yang memiliki >50 tungau (3 dari 20 subjek terinfestasi). Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan jumlah tungau skabies berhubungan langsung secara proporsional dengan risiko penularan. Penularan skabies secara tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dalam durasi yang lama dengan seprai, sarung bantal dan guling, pakaian, selimut, handuk dan perabot rumah tangga lainnya yang terinfestasi S.scabiei. Penularan tungau secara tidak langsung bergantung pada lama tungau dapat bertahan hidup di luar tubuh hospes yang variasinya bergantung pada temperatur dan kelembaban. Pada barang-barang yang terinfestasi, S.scabiei dapat bertahan 2-3 hari pada suhu ruangan dengan kelembaban 30%. Semakin tinggi kelembaban semakin lama tungau bertahan. Di permukaan yang kering, baju, atau sprei, tungau hanya dapat bertahan hidup selama beberapa jam. Pada suhu dan kelembaban ideal (21oC dan 40-80% kelembaban relatif), rentang waktu hidup tungau dapat meningkat hingga 3-4 hari. Rentang waktu hidup tungau dapat lebih panjang pada suhu rendah dan kelembaban tinggi. Di bawah suhu 20°C sebagian besar tungau tidak bergerak. Di daerah tropis dengan suhu sekitar 30°C dan kelembaban 75%, tungau betina dapat bertahan hidup 55-67 jam di luar tubuh hospes. Telur tungau dapat bertahan hidup pada suhu yang rendah sampai 10 hari di luar tubuh hospes. Seseorang dikatakan infeksius sejak terinfestasi tungau sampai pengobatan selesai. Seprai dan pakaian dikatakan infeksius sampai tatalaksana berhasil atau hingga dua minggu sejak pajanan terakhir. Reinfestasi dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita skabies atau kontak dengan benda-benda yang terinfestasi tungau.44 Penularan skabies secara tidak langsung hanya sedikit berperan dalam penularan skabies tipikal namun pada skabies krustosa penularan secara tidak langsung berperan penting karena jumlah tungau yang banyak. 24 BAB VI Patogenesis S.scabiei hidup di stratum korneum epidermis manusia dan mamalia lainnya. Seluruh tahapan hidup tungau, yaitu larva, protonimfa, tritonimfa dan tungau dewasa adalah parasit permanen obligat yang membutuhkan cairan ekstraselular hospes yang merembes ke dalam terowongan untuk bertahan hidup. S.scabiei telah lama hidup bersama manusia dan mamalia lain serta berevolusi dan beradaptasi dengan berbagai mekanisme untuk menghindari respons imun hospes baik bawaan maupun didapat. Hospes menunjukkan respons imun tipe lambat terhadap skabies. Pada manusia, gejala klinis berupa inflamasi kulit baru timbul 4-8 minggu setelah terinfestasi. Respons imun yang lambat tersebut merupakan dampak dari kemampuan tungau dalam memodulasi berbagai aspek respons imun dan inflamasi hospes.47 Sel epidermis seperti keratinosit dan sel langerhans merupakan sel pertama yang menghadapi tungau skabies dan produknya. Respons inflamasi bawaan dan didapat dari kulit hospes berperan sebagai pertahanan lini pertama terhadap invasi, kelangsungan hidup dan reproduksi tungau di dalam kulit. Tungau merangsang keratinosit dan sel dendritik melalui molekul yang terdapat di dalam telur, feses, ekskreta, saliva, dan cairan sekresi lain seperti enzim dan hormon, serta aktivitas organ tubuh seperti chelicerae, pedipalps dan kaki selama proses penggalian terowongan. Tubuh tungau mati yang membusuk juga merangsang respons imun.47 S.scabiei memproduksi banyak saliva saat membentuk terowongan dan merupakan sumber molekul yang dapat memodulasi inflamasi atau respons imun hospes. Produk tungau yang menembus dermis merangsang sel-sel seperti fibroblas, sel endotel mikrovaskular serta sel imun seperti sel langerhans, makrofag, sel mast dan limfosit. Diduga sel langerhans dan sel dendritik lain memproses antigen tungau dan membawa antigen tersebut ke jaringan limfe regional yaitu tempat respons imun didapat diinisiasi melalui aktivasi sel limfosit T dan limfosit B.47 Tungau skabies memicu sekresi anti-inflammatory cytokine interleukin-1 receptor antagonist (IL-1ra) dari sel fibroblas dan 25 keratinosit pada model kulit manusia. IL-1ra menghambat aktivitas sitokin proinflamasi IL-1 dengan mengikat reseptor IL-1 yang terdapat pada banyak sel termasuk sel limfosit T, sel limfosit B, natural killer cell, makrofag dan neutrofil. Ekstrak tungau skabies mengandung molekul yang menekan ekspresi molekul adhesi interselular dan vaskular yaitu intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) serta E-selectin oleh kultur sel endotel mikrovaskular kulit manusia. Supresi tersebut akan menghambat atau menurunkan ekstravasasi limfosit, neutrofil dan sel lain ke dalam dermis sehingga mengganggu respons pertahanan hospes.47 S.scabiei dapat menghambat interaksi ko-stimulasi antara limfosit T dan sel penyaji antigen (antigen presenting cell) sedangkan ekstrak tungau skabies memicu sel limfosit T regulator untuk memproduksi IL-10. Sitokin tersebut bekerja sebagai antiinflamasi poten dengan menekan sekresi sitokin proinflamasi lain dan ekspresi molekul major histocompatibility complex II (MHC-II) di permukaan sel penyaji antigen. Pada akhirnya, interaksi kompleks MHC-II antigen dan reseptor limfosit T yang penting untuk aktivasi dan proliferasi sel limfosit B menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi menjadi berkurang atau terhambat.47 Sel limpa tikus yang dipajankan ke tungau skabies dan tikus yang divaksinasi ekstrak tungau menunjukkan penurunan ekspresi gen B7-2 (CD86) pada sel limfosit B dan reseptornya serta CD28 pada sel limfosit T. Selain itu ekspresi gen CD40 pada sel limfosit B dan reseptornya, CD40L pada sel limfosit T, mengalami down-regulation. Ko-signal tersebut adalah pendamping coupling kompleks reseptor sel T MHCII-antigen dalam mengaktivasi sel limfosit B untuk menjadi sel plasma yang dapat memproduksi antibodi.47 Model kulit manusia serta monokultur keratin epidermis dan fibroblas dermis manusia mensekresikan lebih banyak vascular endothelial growth factor (VEGF) sebagai respons terhadap tungau skabies hidup maupun ekstraknya. VEGF meningkatkan vaskularisasi dan jumlah plasma di terowongan epidermis yang dekat dengan mulut tungau sehingga terowongan yang semula kering menjadi kaya air dan nutrisi. Hal tersebut dibuktikan oleh pencernaan antibodi di dalam plasma oleh tungau.47 Produk tungau skabies dapat menurunkan aktivitas IL-8 di sekitar lesi skabies setelah dua hari. IL-8 adalah kemokin yaitu 26 suatu kemotaktik untuk ekstravasasi neutrofil ke lokasi patogen. Monokultur keratinosit epidermis, fibroblas dermis, sel endotel mikrovaskular kulit, dan sel dendritik yang dipajankan ekstrak tungau skabies menurunkan kadar IL-8 dalam media dibandingkan kontrol. Tungau skabies juga memproduksi protein pengikat IL-8 yang dapat menurunkan kadar IL-8 lokal sehingga menghambat kemotaksis neutrofil.47 Inhibitor protease serin yang terdapat di sistem pencernaan tungau dapat mengikat kaskade komplemen di dalam plasma dan menghentikan ketiga jalur sistem komplemen manusia yaitu jalur klasik, alternatif dan lektin. Aktivasi komplemen hospes dapat melindungi tungau dari kerusakan yang disebabkan komplemen karena tungau skabies menelan plasma. Inhibitor komplemen dapat memudahkan Streptococcus grup A menginfeksi lesi skabies dan menyebabkan pioderma.47 Selain mampu melakukan down-regulation, respons protektif hospes, ekstrak tungau dan tungau hidup juga dapat melakukan upregulation sekresi sitokin proinflamasi oleh keratinosit, fibroblas dan sel endotel. Oleh karena itu respons hospes yang sesungguhnya merupakan keseimbangan antara kejadian yang memicu respons protektif dengan yang menghambat. Durasi infestasi dan kepadatan tungau berperan dalam mengubah keseimbangan tersebut.47 Penelitian Patogenesis Skabies Menggunakan HSE Human skin equivalents (HSE) adalah substitusi kulit yang terdiri atas stratum korneum serta keratinosit yang berproliferasi dan dermis yang terdiri atas fibroblas di dalam matriks kolagen yang memiliki properti kulit manusia. Morgan et al47 menggunakan HSE untuk mengidentifikasi respons fenotipik bawaan dan mempelajari ekspresi gen sebagai respons terhadap tungau hidup. HSE juga telah digunakan pada studi sebelumnya untuk menjelaskan aspek respons imun terhadap tungau agar lebih memahami kemampuan tungau dalam memodulasi respons inflamasi dan imun hospes. Morgan et al47 meletakkan tungau hidup di permukaan HSE. Tungau tersebut menggali dan masuk ke epidermis serta menyebabkan perubahan ekspresi gen. Setelah 48 jam pasca-inokulasi, dari 25.800 gen yang diukur, 189 diantaranya mengalami up-regulation sedangkan 152 gen lainnya mengalami down-regulation. Gen yang mengekspresikan 27 prekursor IL-1a, IL-1b, prekursor granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) dan prekursor granulocyte colonystimulating factor (G-CSF) mengalami up-regulation. Gen IL1F9 diekspresikan 8 kali lipat lebih besar dari kontrol dan merupakan gen tertinggi kedua yang mengalami up-regulation. Gen tersebut mengkode protein dari keluarga sitokin IL-1. Tungau skabies memicu up-regulation ekspresi gen IL-1 receptorlike precursor (IL1RL1) dan gen yang paling banyak mengalami up-regulation adalah KRT37. Gen tersebut adalah keluarga gen keratin yang mengkode protein keratin tipe I yang mengalami hetero dimerisasi dengan keratin tipe II untuk membentuk rambut dan kuku. Gen LCE3C mengkode protein late cornified envelope protein 3C mengalami up-regulation. Gen LCE lain mengalami up-regulation namun gen yang mengkode keratin mengalami down-regulation. Gen KRT13 dan KRT15 yang mengkode type I cytokeratins juga mengalami down-regulation. Gen KRT77 yang mengkode type II keratin, protein type II cytoskeletal 1b, mengalami down-regulation dan KRT1 menurun. Anggota keluarga gen ankyrin dan sitokrom P450 juga menurun. Kelompok gene ontology (GO) menyediakan rangka kerja yang bermanfaat dalam menjelaskan komponen selular (C), proses biologis (P), dan fungsi molekular (F) yang dipengaruhi oleh ekspresi serangkaian gen. Terdapat 25 kelompok GO yang memiliki presentasi tertinggi perubahan ekspresi gen oleh HSE yang diinfestasi tungau. Dari 15 kelompok gen yang diekspresikan, 10 gen terlibat dalam regulasi sekresi sitokin. Kelompok gen GO yang terlibat dalam aktivitas sitokin melibatkan 23 gen untuk sitokin yang berubah pada HSE yang dipajankan tungau hidup. Enam kelompok mengandung gen untuk ekspresi IL-1a dan 14 kelompok mengandung gen untuk ekspresi IL-1b. Sebanyak 11% gen yang terlibat dalam keratinisasi dan 9% gen dalam kelompok GO taksis mengubah ekspresi sebagai respons terhadap tungau skabies hidup.47 Sebagai respons terhadap pembuatan terowongan oleh tungau, HSE mengubah ekspresi banyak gen yang berhubungan dengan respons imun, respons pertahanan, aktivitas sitokin, taksis, respons terhadap organisme lain dan adhesi sel. Gen yang terlibat dalam perkembangan epitel dan keratinisasi juga mengalami perubahan ekspresi sebagai respons terhadap tungau skabies.47 28 Dibandingkan dengan HSE yang diinokulasi tungau hidup, Morgan et al47 melaporkan hanya 15 gen yang mengalami perubahan ekspresi pada HSE yang dipajankan ekstrak tungau skabies. Tidak ada gen yang mengalami down-regulation secara signifikan. Delapan dari 15 gen yang mengalami up-regulation juga diekspresikan lebih oleh HSE yang dipajankan tungau hidup dibandingkan ekstrak tungau. Gen tersebut adalah KRT37, IL1F9, ARG1, AC011443.6 dan LCE3C. Ekspresi gen IL1B tidak berubah dibandingkan kontrol. Penelitian menggunakan kultur keratinosit epidermis manusia dan fibroblas dermis serta sel endotel mikrovaskulatur dermis menunjukkan modulasi sekresi sitokin dan ekspresi molekul adhesi sel sebagai respons terhadap molekul ekstrak tungau skabies. Di dalam studi tersebut sitokin dan molekul adhesi yang diukur dipilih karena berperan dalam respons imun dan inflamasi. Terdapat berbagai respons fenotipik terhadap tungau dan produknya namun studi tersebut tidak menentukan pengaruh tungau terhadap reseptor sitokin. Penggunaan monokultur sel dengan media cair memerlukan ekstrak yang terbuat dari badan tungau yang dihancurkan karena tungau hidup tidak dapat bertahan didalam media kultur sel. Karena keterbatasan tersebut, Morgan et al47 menggunakan model kulit HSE untuk mempelajari sekresi sitokin dan ekspresi gen oleh sel kulit sebagai respons terhadap tungau hidup. Penggunaan HSE juga memungkinkan interaksi sel-ke-sel antara keratinosit epidermis dan fibroblas dermis layaknya dalam kondisi in vivo. HSE memiliki properti fisik mirip epidermis dan dermis kulit manusia normal. Tungau skabies dapat menggali masuk ke dalam epidermis HSE sehingga kombinasi respons inflamasi dan imun bawaan dari keratinosit dan fibroblas serta interaksinya sebagai respons terhadap tungau hidup dan produknya seperti saliva dan feses dapat dipelajari menggunakan HSE. Gen pada kelompok GO sitokin yang paling banyak berubah ekspresi adalah gen pengkode IL-1a, IL-1b, IL-11, IL-16, IL-20, IL23, dan transforming growth factor-a (TGFa). Seluruhnya adalah sitokin yang memiliki berbagai fungsi dan dihubungkan dengan inflamasi kulit. IL-16 dihasilkan oleh keratinosit dan merupakan chemotactic yang merangsang migrasi sel limfosit T CD4+, monosit dan eosinofil. Ekspresi gen sitokin IL-16 mengalami down-regulation 29 setelah pajanan tungau yang menyebabkan keterlambatan respons inflamasi pada awal infestasi skabies. IL-20 meregulasi proliferasi dan diferensiasi keratinosit selama inflamasi. Oleh karena itu, upregulation IL-20 mungkin berkontribusi dalam proliferasi keratinosit, hiperkeratosis, pembentukan skuama dan krusta seperti pada skabies kronik.47 Secara in vivo IL-23 diproduksi oleh keratinosit dan sel dendritik. Efek patologis di kulit dimediasi oleh sitokin Th17. Penghambatan IL-17 dan IL-23 mungkin dapat menekan penyakit inflamasi kronik. Karena gen IL-20 dan IL-23 banyak diekspresikan sebagai respons terhadap tungau skabies hidup maka timbul pertanyaan: apakah penghambatan sitokin dapat menjadi metode pengobatan baru dengan menurunkan inflamasi dan rasa gatal pada skabies.47 Gen kemokin yang ekspresinya paling banyak berubah adalah CCL3, CCL5, CCL20, CXCL2, CXCL5, CXCL6, CXCL12, dan CXCL14. Semua gen tersebut adalah anggota kelompok GO taksis namun sekresinya tidak diteliti. Ekspresi gen tersebut konsisten dengan penemuan histologis lesi skabies yang menunjukkan infiltrasi sel inflamasi yang terkonsentrasi di sekitar mulut dan anus skabies. Hal tersebut menunjukkan bahwa molekul efektor berhubungan dengan sekresi saliva dan feses serta memicu respons kemotaktik. Walaupun demikian, CXCL12 dan CXCL14 mengalami down-regulation yang merugikan tungau saat tungau mencoba menginfestasi kulit hospes.47 Kelompok GO lain dengan banyak gen yang menerima dampak tungau skabies adalah kelompok keratinisasi. Hal tersebut berhubungan dengan munculnya hiperkeratosis, krusta dan skuama pada skabies. Sepuluh gen keratinisasi mengalami up-regulation. Kebanyakan gen tersebut berhubungan dengan kornifikasi epidermis menjadi stratum korneum. KRT37 merupakan gen yang ekspresinya meningkat paling banyak. Perubahan pada gen tersebut mungkin berhubungan dengan penyembuhan epidermis yang dirusak oleh tungau.47 Banyak gen dalam keratinosit dan fibroblas kulit diekspresikan secara berbeda dalam merespons tungau skabies yang hidup di dalam kulit baik produk maupun aktivitas fisiknya. Keratinosit dan fibroblas dalam HSE merespons invasi tungau dan produknya dengan respons pro-inflamasi. Secara in vivo, banyak jenis sel 30 lain yang merespons keberadaan tungau skabies dan produknya serta substansi yang diproduksi oleh keratinosit dan fibroblas dalam merespons tungau. Terdapat interaksi yang kompleks antar jenis sel termasuk antigen-presenting cells dan limfosit selama merespons skabies. Kebanyakan interaksi tersebut masih belum diketahui dan dari yang sudah diketahui melibatkan sel endotel, sel langerhans, sel dendritik dan limfosit. Tungau skabies mampu memodulasi banyak aspek respons imun hospes yang menjamin keselamatan dan kehidupannya.47 Infeksi Sekunder Skabies oleh Bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes adalah bakteri penyebab pioderma yang sering ditemukan pada skabies. Insidens tahunan bakteremia yang disebabkan oleh S.aureus 6 kali lebih tinggi pada populasi Aborigin yang banyak menderita skabies dibandingkan populasi lain di Australia. Methicillin resistant S.aureus (MRSA) menginfeksi 64% anak-anak yang menderita skabies di rumah sakit di Queensland Barat Laut. Terdapat banyak bukti epidemiologi yang mengungkapkan kedekatan hubungan skabies dan infeksi bakteri sekunder namun hubungan antara hospes, tungau dan bakteri masih perlu dipelajari lebih lanjut. Skabies merupakan faktor risiko utama infeksi kulit oleh bakteri dan peningkatan insiden infeksi MRSA sehingga sangat penting untuk mengerti hubungan manusia, tungau dan bakteri.48 Di daerah tropis, infeksi pioderma bakterial dan komplikasi lanjut yang disebabkan oleh S.aureus dan S.pyogenes berhubungan dengan skabies karena bakteri mudah memasuki kulit yang dirusak oleh tungau. Di Australia, prevalensi skabies yang tinggi terutama di daerah terpencil beriklim tropis yang biasanya ditempati oleh masyarakat Aborigin di Australia Utara. Di daerah tersebut, sebanyak 70% anakanak mengalami skabies dan pioderma sebelum berusia 2 tahun. Pengobatan masal skabies menggunakan permetrin topikal berhasil menurunkan prevalensi skabies dan menurunkan penyakit impetigo. Pemberantasan masal skabies menggunakan ivermektin oral di pulau Solomon juga menurunkan prevalensi skabies dari 25% menjadi 1% disertai penurunan prevalensi impetigo dan hematuria. Swe et al48 mengidentifikasi mekanisme molekular yang mendasari hubungan tungau dengan infeksi bakteri. Molekul tungau yang sebenarnya berfungsi untuk melindungi tungau dari serangan sistem imun hospes berperan dalam patogenesis infeksi sekunder 31 oleh bakteri ketika disekresikan di kulit yang rusak. Hal tersebut meningkatkan infeksi S.aureus dan prevalensi penyakit terkait skabies. S.aureus adalah bakteri patogen yang dapat menyebabkan banyak penyakit. Bakteri tersebut telah berevolusi untuk menghindari dan mengganggu sistem imun manusia. S.aureus mengeluarkan berbagai molekul inhibitor komplemen dan menurunkan deposisi C3b di permukaan mikroba, contohnya adalah inhibitor komplemen Staphylococcus, extracellular fibrinogen-binding protein, stafilokinase dan aureolisin. Tungau skabies menghasilkan inhibitor komplemen yang disekresikan oleh sistem pencernaan tungau dan berfungsi melindungi tungau. Inhibitor komplemen juga diekskresikan bersama feses di terowongan tungau di epidermis bagian atas. Kombinasi aktivitas antikomplemen yang dihasilkan oleh inhibitor komplemen tungau mencapai tingkat fisiologis di sistem pencernaan tungau dan terowongan di epidermis manusia. Inhibitor komplemen tungau secara biologis bermanfaat untuk mencegah kerusakan sistem pencernaan oleh sistem komplemen hospes karena tungau adalah parasit pemakan serum. Molekul inhibitor tersebut mengondisikan hospes untuk invasi bakteri. Dalam penelitian in vitro inhibitor komplemen skabies meningkatkan keberlangsungan hidup dan pertumbuhan bakteri S.pyogenes. Inhibitor komplemen skabies diduga mengganggu proses fagositosis oleh neutrofil. Bakteri dapat memperpanjang infestasi tungau karena mempunyai mekanisme hambatan komplemennya sendiri. S.aureus terdapat diterowongan diepidermis manusia dan difeses tungau yang menunjukkan bahwa tungau berkontribusi dalam penularan bakteri patogen. Swe et al48 menyatakan bahwa total aktivitas inhibitor komplemen tungau mungkin menghentikan atau menunda efek lokal sistem imun bawaan reaksi cepat sehingga S.aureus dapat bermultiplikasi dan menyebabkan infeksi. Terowongan di epidermis merupakan lingkungan mikro yang cocok bagi tungau dan bakteri untuk berlindung dari sistem imun bawaan hospes. 32 BAB VII Gejala Klinis Gatal merupakan gejala klinis utama pada skabies. Rasa gatal pada masa awal infestasi tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus nokturna), cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal terasa di sekitar lesi, namun pada skabies kronik gatal dapat dirasakan hingga ke seluruh tubuh. Gatal disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang dikeluarkan pada waktu membuat terowongan. Masa inkubasi dari infestasi tungau hingga muncul gejala gatal sekitar 14 hari.8 S.scabiei biasanya memilih lokasi epidermis yang tipis untuk menggali terowongan misalnya di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, penis, areola mammae, peri-umbilikalis, lipat payudara, pinggang, bokong bagian bawah intergluteal, paha serta lipatan aksila anterior dan posterior. Terowongan yang digali tungau tampak sebagai lesi berupa garis halus yang berwarna putih keabu-abuan sepanjang 2-15mm, berkelok-kelok dan sedikit meninggi dibandingkan sekitarnya. Di ujung terowongan terdapat papul atau vesikel kecil berukuran <5mm tempat tungau berada. Di daerah beriklim tropis, jarang ditemukan lesi terowongan; kalaupun ada terowongan hanya berukuran pendek sekitar 1-2mm. Lesi tersebut sulit ditemukan karena sering disertai ekskoriasi akibat garukan dan infeksi sekunder oleh bakteri. Meskipun demikian, terowongan dapat berada di tangan, sela-sela jari tangan, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Pustul tanpa lesi terowongan sering terdapat di genitalia eksterna. Pada infestasi ringan, lokasi yang harus diperiksa adalah sela jari tangan dan genitalia eksterna.13 Pada orang dewasa, lesi skabies jarang ditemukan di leher, wajah, kulit kepala yang berambut, punggung bagian atas, telapak kaki dan tangan; namun pada bayi daerah tersebut sering terinfestasi bahkan lesi dapat ditemukan di seluruh tubuh. Lesi skabies biasanya tidak terdapat di kepala namun pada anak kecil dan bayi dapat ditemukan pustul yang gatal. Gejala skabies pada anak biasanya berupa vesikel, pustul, dan nodus; anak menjadi gelisah dan nafsu makan berkurang. Gambaran klinis skabies pada anak-anak sering sulit dibedakan dengan infantile acropustulosis dan dermatitis vesiko bulosa. Lesi terowongan jarang atau bahkan tidak ditemukan.8 33 Skabies menimbulkan rasa gatal hebat sehingga penderita sering menggaruk dan timbul luka lecet yang diikuti dengan infeksi sekunder oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) serta S.aureus. Infeksi tersebut menimbulkan pustul, ekskoriasi dan pembesaran kelenjar getah bening. Pada infeksi sekunder oleh S.aureus dapat timbul bula sehingga disebut skabies bulosa. Di negara tropis sering terjadi infeksi bakteri sekunder dengan lesi pustular atau krusta di daerah predileksi skabies dan pada anak-anak lesi terdapat di wajah. Lesi infeksi sekunder tersebut mirip dengan impetigo. Skabies dengan infeksi sekunder harus segera ditatalaksana terlebih dahulu sebelum memberikan skabisida.49 Tingkat keparahan skabies bergantung jumlah tungau dan penatalaksanaannya. Jika diagnosis dan pengobatan tertunda, maka jumlah tungau meningkat dan gejala menjadi lebih berat. Berat ringannya kerusakan kulit tergantung pada derajat sensitisasi, lama infeksi, kebersihan individu, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Pada stadium kronik, skabies mengakibatkan penebalan kulit (likenifikasi) dan berwarna lebih gelap (hiperpigmentasi).50 Gambar 4. Lesi Skabies di Perge­langan Tangan Berupa Papul, Vesikel, Erosi dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret 34 Gambar 5. Eritematosa, Vesikel, Pustul, Er ar 4. Lesi Skabies di Sela Jari Berupa Papul Lesi Skabies di Sela Jari Berupa Papul Eritematosa, Vesikel, Pustul, kuama Kolaret, Multipel,Diskret Erosi dan Skuama Kolaret, Multipel,Diskret Lesi Skabies di Sela Jari TanganBerupaPlak Gambar 6. Eritematosa, Numular, Batas Tegas,diIreguler, Soliter dengan Pustul Diatasnya Lesi Skabies Telapak dan Jari Tangan Berupa Pustul, Bula Purulen dan Krusta Hitam, Multipel, Diskret 35 Gambar 7. Lesi Skabies di Sela Jari Tangan Berupa Plak Erite­matosa, Numular, Batas Tegas, Iregu­ler, Soliter dengan Pustul di atasnya Gambar 8. Lesi Skabies di Jari Tangan dan Sela Jari Tangan Be­rupa Papul, Vesikel Ekskoriasi dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret 36 Gambar 9. Lesi Skabies di Perut Berupa Papul Eritematosa, Ekskoriasi dan Krusta Merah Kehitaman, Multipel, Diskret Gambar 10. Lesi Skabies di Bokong dan Pangkal Paha Bagian Posterior Bilateral Asimetris Berupa Papul Eritematosa, Ekskoriasi dan Krusta Merah Kehitaman, Multipel, Diskret 37 Gambar 11. Lesi Skabies di Bokong Berupa Papul, Erosi, Ekskoriasi, Krusta Merah Kehitaman dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret Gambar 12. Lesi Skabies di Bokong, Pangkal Paha Bagian Posterior Bilateral Asimetris Berupa Papul, Pustul, Erosi, Ekskoriasi, Krusta Merah Kehitaman dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret 38 Gambar 13. Lesi Skabies di Penis, Skrotum, Lipat dan Pangkal Paha Bilateral Asimetris Berupa Papul Eritematosa, Multipel, Diskret Gambar 14. Lesi Skabies di Penis dan Skrotum Berupa Papul Eritematosa, Multipel, Diskret 39 BAB VIII Bentuk-Bentuk Skabies Skabies merupakan penyakit kulit yang manifestasi klinisnya sering menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga disebut the great imitator. Terdapat berbagai bentuk skabies atipik yang sulit dikenal sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Berikut ini disampaikan bentuk-bentuk skabies.49 Skabies pada Orang Bersih Skabies pada orang bersih atau scabies of cultivated biasanya ditemukan pada orang dengan tingkat kebersihan yang baik. Penderita skabies mengeluh gatal di daerah predileksi skabies seperti sela-sela jari tangan dan pergelangan tangan. Rasa gatal biasanya tidak terlalu berat. Manifestasi skabies pada orang bersih adalah lesi berupa papul dan terowongan dengan jumlah sedikit sehingga sulit diidentifikasi dan sering terjadi kesalahan diagnosis karena gejala yang tidak khas. Dari terowongan dari 1000 penderita scabies of cultivated, hanya ditemukan 7% terowongan. Skabies Incognito Skabies incognito sering menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain.51 Bentuk incognito terdapat pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan masih dapat menularkan skabies. Di sisi lain, pengobatan steroid topikal jangka panjang mengakibatkan lesi bertambah parah karena penurunan respons imun seluler. Penggunaan kortikosteroid yang dioleskan di kulit mampu mempengaruhi sistem imun seperti menurunnya respons inflamasi dan tertekannya respons imun selular. Kortikosteroid topikal menghalangi produksi dan pelepasan sitokin seperti interleukin IL-1,2,3,6 dan tumor nekrosis alfa (TNFα). Penggunaan steroid topikal menghambat fagositosis dan stabilisasi membran sel fagosit lisosom sehingga respons pro-inflamasi dan fagositosis terhambat dan akhirnya tidak dapat mengontrol infestasi skabies.51 40 Karaca et al51 melaporkan seorang perempuan berusia 75 tahun yang datang ke poliklinik rawat jalan dengan keluhan gatal dan plak kemerahan disertai lenting di daerah kulit kepala. Penderita sudah diberikan obat antihistamin dan salep klobetasol propionat selama tiga minggu. Penderita awalnya didiagnosis xerosis dan pruritus namun setelah diberikan pengobatan tersebut keluhan semakin hebat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi berbentuk anular, serpiginosa, vesikel, pustul eritematosa, ekskoriasi karena bekas garukan, serta papul ekskoriasi di sekitar ketiak dan badan. Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan hasil normal akan tetapi hasil mikroskopik kerokan plak kemerahan ditemukan ribuan S.scabiei dan telurnya di berbagai lapang pandang. Penderita didiagnosis sebagai skabies incognito dan diobati dengan salep keratolitik 2x/hari dan losio permetrin 5%.51 Salah satu manifestasi skabies incognito adalah subcorneal pustular dermatosis-like eruption yang ditandai dengan erupsi pustular di kulit normal atau sedikit kemerahan. Erupsi pustular tipikal terdapat di daerah fleksor dan proksimal anggota gerak, menimbulkan rasa gatal dan iritasi. Pustul terletak di permukaan kulit, mudah pecah dan menimbulkan krusta superfisial, berbentuk anular seperti lingkaran atau berpola serpiginosa.51 Terapi imunosupresi dapat menyamarkan gambaran klinis skabies dan memberikan gambaran klinis yang tidak khas seperti skabies incognito. Pada bayi, orang lanjut usia, dan immuno compromised host, semua permukaan kulit dapat terinfestasi termasuk kulit kepala dan wajah. Pada skabies incognito dapat dijumpai lesi di kulit kepala tanpa rasa gatal yang membedakannya dengan manifestasi skabies klasik.51 Skabies Nodularis Skabies nodularis pertama kali dilaporkan pada tahun 1923 oleh Ayres dan Anderson. Disebut skabies nodularis karena lesinya berupa nodus coklat kemerahan yang gatal di daerah tertutup pakaian. Terbentuknya nodus disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas kulit terhadap S.scabiei dan produknya. Lesi nodularis terjadi pada 7-10% penderita skabies. Nodus memiliki diameter 5-20mm dan terowongan biasanya ditemukan pada awal nodus terbentuk. Tungau jarang ditemukan di dalam nodus.49 41 Dalam klasifikasi penyakit, skabies nodularis merupakan bagian dari pseudo limfoma kutaneus, bersama dengan persistent nodular arthropodbite reactions dan dermatitis kontak limfomatoid. Pseudolimfoma kutaneus merupakan sekelompok proses limfoproliferatif heterogen dari sel limfosit T atau limfosit B yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan dan menyerupai limfoma kutaneus baik secara klinis maupun histologis. Pseudolimfa kutaneus dibagi dua yaitu pseudolimfoma kutaneus sel limfosit T dan sel limfosit B. Skabies nodular termasuk pseudolimfoma kutaneus sel limfosit T yang berarti secara histologis infiltrat radang yang timbul pada skabies nodular didominasi oleh komponen sel limfosit T. Pada skabies nodular, dermis superfisial dan dermis dalam memperlihatkan infiltrat nodular interstitial dan perivaskular moderat hingga padat yang terdiri atas limfosit (dominan sel limfosit T), histiosit, sel plasma dan eosinofil. Selain itu, large atypical mononuclear cells yang menyerupai sel reed-sternberg juga dapat dijumpai sehingga secara keseluruhan skabies nodular dapat menyerupai limfoma hodgkin atau non-hodgkin.52 Predileksi skabies nodularis adalah di penis, skrotum, aksila, pergelangan tangan, siku, areola mamae, dan perut. Setelah terapi, penampilan kulit mirip dengan kondisi penyembuhan erupsi eksematosa. Nodus skabies dapat bertahan selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun walaupun telah diberikan obat anti skabies. Penyebab nodus persisten tersebut belum diketahui dengan pasti namun diduga sebagai akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap komponen tungau skabies. Karena obat antiskabies tidak efektif untuk skabies nodularis, maka terapinya adalah dengan menyuntikkan kortikosteroid intralesi. Meskipun demikian, nodus skabies dapat menetap selama beberapa bulan bahkan hingga satu tahun walaupun telah diberi skabisida dan kortikosteroid.49 Skabies Bulosa Skabies yang menginfestasi bayi dan individu immunocompromised memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami skabies bulosa. Bula yang terbentuk mirip dengan bula pada pemfigoid bulosa yaitu penyakit kulit yang ditandai dengan lepuh berukuran besar. Walaupun secara klinis dan histopatologis skabies bulosa mirip dengan pemfigoid bulosa, keduanya tidak mirip apabila diperiksa dengan immunofluorensi baik secara langsung maupun tidak langsung. Perbedaan lain antara 42 skabies bulosa dengan pemfigoid bulosa adalah lokasi lesi, gejala, dan usia penderita. Skabies bulosa biasanya tersebar di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan dan genital sedangkan pemfigoid bulosa tersebar di daerah badan dan ekstremitas.53 Gejala skabies bulosa adalah gatal pada waktu malam hari dan riwayat keluarga positif skabies sedangkan penderita pemfigoid bulosa biasanya mengeluh gatal sepanjang hari dan tidak ada keluarga yang menderita skabies. Skabies bulosa dapat menyerang semua usia sedangkan pemfigoid bulosa lebih sering ditemukan pada orang berusia lanjut dan jarang pada anak-anak serta orang dewasa. Lesi bula skabies terasa gatal dan dinding bula dapat tegang atau kendur. Di dalam bula dapat ditemukan darah; bula dapat pula berkrusta. Predileksi skabies bulosa sama dengan skabies tipikal.53 Lesi bula pada skabies tipikal jarang terjadi. Penyebab terbentuknya bula adalah superinfeksi tungau oleh bakteri S.aureus seperti pada pemfigoid bulosa. Pembentukan bula yang diperantarai oleh auto antibodi mungkin akibat pajanan antigen zona membran basal akibat luka mekanik yang disebabkan oleh gigitan tungau atau lisis oleh enzim. Kemungkinan lain adalah reaksi silang antara antigen tungau dengan antigen zona membran basal. Bula mungkin juga terbentuk karena proses skabid yaitu reaksi tubuh terhadap tungau. Diagnosis skabies bulosa harus dipertimbangkan pada semua kasus penyakit kulit yang memiki bula disertai papul dan rasa gatal yang resisten terhadap pengobatan steroid.53,35 Pengobatan skabies bulosa sama seperti pengobatan skabies pada umumnya yaitu menggunakan krim permetrin 5%, krotamiton 10%, benzil benzoat, sulfur 6% atau ivermektin. Meskipun mekanisme pembentukan bula diperantarai oleh sistem imun, skabies bulosa tidak memberikan respons terhadap glukokortikoid dan immunoglobulin.53 Skabies yang Ditularkan Melalui Hewan Skabies dapat menginfeksi binatang seperti anjing, kuda, kambing, kelinci, monyet dan lain-lain. Sumber utama skabies pada binatang di Amerika adalah anjing. Penyebab skabies pada binatang mirip dengan yang menginfestasi manusia tetapi berbeda strain. Manusia dapat menularkan skabies ke binatang peliharaan, namun yang lebih sering adalah infestasi silang dari binatang peliharaan seperti anjing ke manusia.49 43 Gejala skabies yang ditularkan melalui hewan berbeda dengan skabies klasik pada manusia. Pada skabies binatang tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lokasi lesi biasanya di tempat kontak saat memeluk binatang peliharaan yaitu lengan, dada, perut, dan paha.49 Tungau skabies binatang menyebabkan papul eritematosa dan pruritus. Tungau tinggal di kulit manusia dalam jangka waktu yang pendek namun pada penderita imunodefisiensi manifestasi klinis skabies binatang pada manusia dapat lebih parah.49 Cara penularan skabies hewan lebih mudah dan masa inkubasinya lebih pendek. Lesi bersifat sementara (4-8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena S.scabiei varietas binatang tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia. Pencegahan dilakukan dengan mencegah kontak dengan hewan penyebab, mengobati binatang yang terinfeksi dan memandikannya dengan bersih dan teratur.49 Dua populasi manusia yang lebih rentan terjangkit zoonotic scabies adalah orang yang bekerja menangani hewan domestik dan yang memelihara anjing. Penularan skabies hewan domestik ke manusia contohnya pada peternak babi dan tukang potong hewan.55 Skabies pada Orang Terbaring di Tempat Tidur Skabies pada orang yang terbaring di tempat tidur (bedridden) banyak dijumpai pada orang yang menderita penyakit kronik atau orang berusia lanjut yang berbaring di tempat tidur dalam jangka waktu lama. Lesi pada skabies bedridden hanya terbatas.56 Diagnosis skabies pada penderita berusia lanjut sering tertunda karena manifestasi klinis mirip penyakit kulit lain sehingga diagnosis sulit ditetapkan. Untuk mengatasi kesulitan diagnosis, Katsumata et al56 mencari uji alternatif untuk mendiagnosis skabies pada penderita berusia lanjut yang tirah baring dalam waktu lama. Katsumata et al56 menggunakan pita perekat (selotip) sebagai alat untuk menemukan tungau dengan menempelkannya di lesi kulit yang merupakan predileksi skabies misalnya sela-sela jari tangan. Setelah ditempelkan, pita dicabut mendadak lalu ditempelkan ke kaca objek, ditetesi KOH lalu diperiksa dengan mikroskop. Deteksi tungau dengan pita perekat dapat diaplikasikan pada orang berusia lanjut karena mempunyai kulit yang tipis dan kering. 44 Skabies pada Acquired Immunodeficiency Syndrome Pada penderita AIDS sering dijumpai skabies atipik dan pneumonia Pneumocystis carinii. Diagnosis skabies atipik dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk adanya infeksi oportunistik-AIDS.57 HIV merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi di dunia, begitu juga dengan skabies. Fernandez-sanchez et al57 melakukan observasi terhadap kasus skabies krustosa pada penderita HIV berusia 28 tahun. Berdasarkan observasi tersebut disimpulkan bahwa skabies krustosa pada penderita immunocompromised yang sedang diobati dengan antiretroviral merupakan bagian dari spektrum immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS). Presentasi skabies atipik pada penderita yang sedang menjalani pengobatan antiretroviral yang sebelumnya tidak tampak memiliki penyakit kulit merupakan unmasking crusted scabies-associated IRIS. Pada keadaan tersebut muncul infeksi yang semula tidak tampak ditandai dengan inflamasi berlebihan dan atipik atau timbul presentasi klinis yang dipercepat. Kejadian itu merupakan restorasi imunitas spesifik.57 Kebanyakan kasus IRIS terkait obat antiretroviral dihubungkan dengan infeksi bakteri, virus dan jamur namun infeksi dapat meluas pada infeksi parasitik seperti leismaniasis, strongiloidiasis, skistomiasis, dan toksoplasmosis. Jadi skabies krustosa pada penderita HIV dalam pengobatan ARV dapat dianggap sebagai infeksi parasit yang berkontribusi pada IRIS sekaligus merupakan spektrum dari IRIS.57 Skabies yang Disertai Penyakit Menular Seksual Lain Skabies dapat disertai penyakit menular seksual lain seperti sifilis, gonorhea, herpes genitalis, pedikulosis pubis, dan sebagainya. Oleh karena itu, apabila ditemukan lesi skabies di daerah genitalia perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa biakan untuk gonore dan pemeriksaan serologis untuk sifilis pada orang-orang yang berisiko tinggi.49 Pada skabies tipikal terowongan dan papul sering ditemukan di glans penis, skrotum, dan penis.58 Skabies pada Bayi dan Orang Lanjut Usia Lesi skabies pada bayi dan orang lanjut usia dapat timbul di telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan kulit kepala. Pada orang berusia lanjut infestasi tungau akan menjadi lebih berat. Lesi kulit 45 pada skabies biasanya khas dan memberikan rasa gatal hebat terutama malam hari akan tetapi pada bayi, anak kecil dan orang berusia lanjut gambaran skabies dapat tidak khas. Lesi atipik sering menyerupai dermatitis seboroik, dermatitis eksematosa, impetigo, gigitan serangga, dan langerhans cell histiocytosis (LCH).59 Pada laporan kasus di Korea, bayi dengan skabies didiagnosis sebagai LCH karena manifestasi klinis dan histopatologi yang mirip. Pada laporan tersebut, bayi perempuan berusia 6 bulan memiliki papul dan nodus kemerahan di badan selama satu bulan. Bayi mendapat terapi krim kortikosteroid karena awalnya didiagnosis sebagai dermatitis kontak akan tetapi lesi meluas dengan cepat ke daerah tangan dan kaki dengan skuama dan plak eritematosa sehingga dilakukan abdominal punch biopsy. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan infiltrat sel di dermis atas dengan distribusi perivaskular yang terdiri atas histiosit, limfosit, dan eosinofil. Histiosit di dermis atas menunjukkan hasil positif dengan pewarnaan CD1a dan S-100 sehingga bayi tersebut didiagnosis LCH. Beberapa waktu kemudian ibu bayi tersebut mengeluh munculnya lesidi sela-sela jari tangan dan daerah periumbilikal yang disertai rasa gatal. Selanjutnya pada ibu tersebut dilakukan dermoscopyassisted skin scraping di telapak tangan dan periumbilikal. Pada pemeriksaan dermoscopy ditemukan telur dan tungau skabies di kedua lesi sehingga penderita didiagnosis sebagai skabies, bukan LCH. Selanjutnya penderita diobati dengan krim krotamiton 10% dan sembuh setelah satu minggu pengobatan.60 Manifestasi skabies infantil menyerupai lesi pada penyakit kulit lain sehingga diagnosis sulit ditetapkan hanya berdasarkan manifestasi klinis. Temuan histopatologis skabies terkadang tidak spesifik dan tidak menunjang diagnosis seperti reaksi eksematosa di epidermis, area perivaskular dan infiltrat sel inflamasi di dermis. Sel infiltrat biasanya menunjukkan histiosit positif pada pewarnaan CD1a dan S-100 yang sering terdapat pada LCH. Berdasarkan hal tersebut, dokter harus dapat membedakan skabies infantil dengan LCH melalui anamnesis yang teliti terutama faktor risiko skabies dan pemeriksaan penunjang seperti pewarnaan CD30, mikroskop elektron untuk menemukan granula birbeck yang merupakan tanda khas LCH dan dermoscopy-assisted skin scraping untuk mendiagnosis skabies.60 46 Skabies Krustosa Skabies krustosa ditandai dengan lesi berupa krusta yang luas, skuama generalisata dan hiperkeratosis yang tebal. Skabies krustosa pertama kali dilaporkan oleh Danielsen dan Boeck pada tahun 1848 pada seorang warga Norwegia yang mengalami morbus hansen (kusta/lepra) sehingga skabies krustosa disebut juga Norwegian scabies.61 Skabies krustosa sering terdapat pada orang dengan retardasi mental, dementia senilis, dan penyakit neurologis lainnya. Selain itu skabies krustosa juga sering diderita oleh penderita leukemia, penderita yang mendapat terapi imunosupresan misalnya penderita autoimun atau penderita yang menjalani transplantasi organ, dan penderita HIV-AIDS. Berdasarkan hal tersebut, skabies krustosa sering dihubungkan dengan kondisi sistem imunitas tubuh yang kurang (immunocompromised host).61 Pada skabies krustosa penderita umumnya mengalami defisiensi imunologi sehingga sistem imun tidak mampu menghambat proliferasi sehingga tungau berkembang biak dengan mudah dan cepat. Skabies krustosa hampir selalu menyerang orang yang mengalami immunocompromised seperti orang berusia lanjut, penderita AIDS, retardasi mental, limfoma, dan segala kondisi yang dapat menurunkan efektivitas sistem imun.62 Gejala utama skabies klasik adalah rasa gatal hebat yang terutama dirasakan pada malam hari. Berbeda dengan skabies klasik, rasa gatal pada skabies krustosa biasanya ringan bahkan tidak ada sama sekali sehingga penderita tidak merasakan keluhan yang berakibat diagnosis terlambat ditegakkan.61,62 Pada skabies krustosa keterlambatan diagnosis sering menimbulkan wabah karena jumlah tungau yang menginfestasi penderita sangat banyak sehingga sangat menular. Karena sering luput dari diagnosis dan sering menimbulkan wabah, maka skabies krustosa akan dibahas pada bab tersendiri dalam buku ini. 47 BAB IX Diagnosis Skabies dapat memberikan gejala khas sehingga mudah didiagnosis; namun jika gejala klinisnya tidak khas, maka diagnosis skabies menjadi sulit ditegakkan. Gejala klinis yang khas adalah keluhan gatal hebat pada malam hari (pruritus nokturna) atau saat udara panas dan penderita berkeringat. Erupsi kulit yang khas berupa terowongan, papul, vesikel, dan pustul di tempat predileksi. Meskipun gejala skabies khas, penderita biasanya datang berobat ketika sudah dalam stadium lanjut dan tidak memiliki gejala klinis khas lagi karena telah timbul ekskoriasi, infeksi sekunder oleh bakteri dan likenifikasi. Masalah lain dalam diagnosis skabies adalah gejala klinis skabies dapat menyerupai gejala penyakit kulit lain atau tertutup oleh penyakit lain seperti ekzema dan impetigo sehingga diagnosis menjadi sulit. Diagnosis mengandalkan gejala klinis kurang efisien dan hanya memiliki sensitivitas kurang dari 50% karena sulit membedakan infestasi aktif, reaksi kulit residual, atau reinfestasi. Deteksi terowongan dengan tinta India sudah lama dilakukan, namun tes tersebut tidak praktis sehingga jarang digunakan.63 Kesalahan diagnosis mengakibatkan salah pengobatan dan menyebabkan penderita tidak sembuh serta terus menerus menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya. Diagnosis pasti skabies ditetapkan dengan menemukan tungau atau telurnya dipemeriksaan laboratorium namun tungau sulit ditemukan karena tungau yang menginfestasi penderita hanya sedikit. Menurut Mellanby16 dari 900 penderita skabies rata-rata hanya ditemukan 11 tungau per penderita dan pada sebagian besar penderita hanya ditemukan 1-5 tungau per penderita. Pada penelitian di sebuah pesantren di Jakarta ditemukan prevalensi skabies sebesar 72,6% tetapi hanya ditemukan 8 tungau dari seluruh penderita. Jika pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tungau atau produknya, keadaan tersebut belum dapat menyingkirkan skabies karena tungau mungkin berada di suatu lokasi yang tidak terjangkau pada saat pengambilan sampel. Oleh karena itu, diagnosis skabies perlu dipertimbangkan pada setiap penderita dengan keluhan gatal yang menetap dan apabila diagnosis klinis telah ditegakkan maka dapat diberikan terapi presumtif lalu dilihat responsnya. Penderita dinyatakan positif menderita skabies apabila memberikan 48 respons yang baik terhadap skabisida. Meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa respons positif terhadap pengobatan skabies belum dapat menyingkirkan penyakit kulit lain yang bukan skabies dan respons negatif belum dapat menyingkirkan skabies karena mungkin terdapat resistensi tungau terhadap skabisida.Karena sulit menemukan tungau dan produknya pada pemeriksaan laboratorium maka diagnosis klinis dapat ditetapkan apabila pada penderita terdapat dua dari empat tanda kardinal skabies yaitu: 1. Pruritus nokturna 2. Terdapat sekelompok orang yang menderita penyakit yang sama, misalnya dalam satu keluarga atau di pemukiman atau di asrama. 3. Terdapat terowongan, papul, vesikel atau pustul di tempat predileksi yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mamae (perempuan), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (lakilaki), dan perut bagian bawah. Perlu diingat bahwa pada bayi, skabies dapat menginfestasi telapak tangan dan telapak kaki bahkan seluruh badan. 4. Menemukan tungau pada pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan Laboratorium untuk Deteksi Tungau dan Produknya Walaupun tungau dan produk tungau sulit ditemukan, pemeriksaan laboratorium sebaiknya tetap dilakukan terutama pada kasus yang diduga skabies atipik. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan sebagai berikut. Kerokan Kulit Sebelum melakukan kerokan kulit, perhatikan daerah yang diperkirakan akan ditemukan tungau yaitu papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh. Selanjutnya papul atau terowongan ditetesi minyak mineral lalu dikerok dengan skalpel steril yang tajam untuk mengangkat bagian atas papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di kaca objek, ditetesi KOH, ditutup dengan kaca penutup kemudian diperiksa dengan mikroskop. Kerokan kulit merupakan cara yang paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan sehingga cocok untuk yang belum banyak pengalaman dalam mendiagnosis 49 skabies. Kemudahan lainnya adalah kerokan kulit dapat dilakukan hanya dengan peralatan sederhana sehingga memungkinkan untuk dilakukan di fasilitas kesehatan dengan fasilitas terbatas. Kerokan kulit memiliki spesifisitas yang tinggi namun sensitivitasnya rendah karena jumlah tungau pada penderita skabies klasik/tipikal umumnya sangat sedikit. Menurut Dupuy et al,63 sensitivitas dan spesifisitas kerokan kulit dalam mendiagnosis skabies dengan gejala yang khas adalah 90% dan 100%.Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sensitivitas misalnya presentasi klinis, jumlah lesi yang diperiksa dan pengalaman pemeriksa. Lesi yang belum pernah digaruk biasanya memberikan hasil yang lebih baik. Biopsi kulit dapat digunakan untuk memastikan diagnosis skabies bila tungau atau bagian dari tungau teridentifikasi dari kerokan kulit.64 Kerokan kulit juga dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan dermoskopi. Metode diagnostik kerokan kulit dengan dermoskopi jauh lebih unggul daripada kerokan kulit tanpa dermoskopi dalam hal durasi pemeriksaan dan akurasi. Mengambil Tungau dengan Jarum Pengambilan tungau dengan jarum dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dari 5% menjadi 95%. Untuk mengambil tungau, jarum ditusukkan di terowongan di bagian yang gelap lalu diangkat ke atas. Pada saat jarum ditusukkan biasanya tungau akan memegang ujung jarum sehingga dapat diangkat keluar. Mengambil tungau dengan jarum relatif sulit bagi orang yang belum berpengalaman terutama pada penderita skabies yang lesinya tidak khas lagi dan banyak infeksi sekunder oleh bakteri. Usap (Swab) Kulit Pemeriksaan usap kulit dilakukan dengan selotip transparan yang dipotong sesuai ukuran gelas objek (25x50mm). Cara melakukannya, mula-mula ditentukan lokasi kulit yang diduga terinfestasi tungau. Kemudian bagian kulit tersebut dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip di atas papul atau terowongan kemudian diangkat dengan cepat. Setelah itu, selotip dilekatkan di gelas objek, ditetesi KOH, ditutup dengan kaca tutup, dan diperiksa dengan mikroskop. Dari setiap satu lesi, selotip dilekatkan sebanyak 50 enam kali dengan enam selotip untuk membuat enam sediaan.56 Sediaan dapat diperiksa dalam tiga jam setelah pengambilan sampel bila disimpan pada suhu 10-14OC. Usap kulit relatif mudah digunakan dan memiliki nilai prediksi positif dan negatif (positive and negative predictive value) yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk skrining di daerah dengan keterbatasan fasilitas.65 Burrow Ink Test Papul skabies diolesi tinta India menggunakan pena lalu dibiarkan selama 20-30 menit kemudian dihapus dengan alkohol. Burrow ink test menunjukkan hasil positif apabila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig zag. Burrow ink test adalah pemeriksaan untuk mendeteksi terowongan, bukan untuk mendeteksi tungau dan produknya. Pemeriksaan Histopatologik Papul atau terowongan yang dicurigai mengandung tungau diangkat menggunakan ibu jari dan telunjuk, kemudian diiris dengan skalpel sejajar permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi perdarahan dan tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan di kaca objek, ditetesi minyak mineral, ditutup dengan kaca tutup lalu diperiksa di bawah mikroskop. Gambaran histopatologik lesi skabies adalah terdapatnya terowongan di stratum korneum, namun ujung terowongan tempat tungau betina berada terletak di irisan dermis. Pemeriksaan histopatologik tidak mempunyai nilai diagnostik kecuali ditemukan tungau atau telur pada pemeriksaan tersebut. Daerah yang berisi tungau akan menunjukkan eosinofil yang sulit dibedakan dengan reaksi gigitan artropoda lain seperti gigitan nyamuk atau kutu busuk. Apabila gambaran histopatologik pada biopsi terowongan epidermis hanya terdapat infiltrat sel radang perivaskular dengan banyak eosinofil, edema, dan spongiosis epidermal, maka hanya bersifat sugestif dan bukan diagnosis pasti infestasi skabies.13 Gambaran histopatologik pada biopsi kulit yang menunjukkan gambaran ekor babi merah muda (pink pigtail) dan melekat di stratum korneum serta terdapatnya bungkus telur tungau yang kosong mengarahkan pada diagnosis skabies. 51 Lesi primer skabies memberikan gambaran hiperkeratosis, akantosis, spongiosis dan vesikulasi di epidermis. Perubahan di dermis berupa infiltrat perivaskuler, terdiri atas sel limfosit T, sedikit histiosit dan kadang-kadang eosinofil serta neutrofil. Di lesi primer, jumlah sel mast lebih banyak apabila dibandingkan dengan lesi sekunder dan kulit normal. Lesi sekunder pada umumnya berupa papul urtika yang mungkin terjadi akibat kompleks imun yang beredar atau akibat respons imun selular. Terdapatnya kompleks imun yang beredar terbukti dengan meningkatnya C1q binding activity. Di lesi sekunder, infiltrasi sel-sel lebih ringan daripada lesi primer dan tidak ditemukan eosinofil atau vaskulitis. Biopsi pada nodus persisten menunjukkan infiltrat radang kronik dengan atau tanpa eosinofil, pembuluh darah menebal, dan mungkin terdapat gambaran vaskulitis. Sel mononuklear atipik terkadang ditemukan. Pada skabies krustosa, stratum korneum menebal dan penuh dengan tungau. Dermoskopi Dermoskopi, disebut juga dermatoskopi atau epiluminescence microscopyadalah metode yang digunakan dermatolog untuk mengevaluasi diagnosis banding lesi berpigmen dan melanoma, namun pada perkembangannya dermoskopi juga dapat digunakan untuk mendiagnosis skabies. Dermoskopi adalah teknik pengamatan lapisan kulit dermis superfisial secara in vivo. Dermoskop menggunakan medium liquid yaitu minyak, air atau alkohol atau cahaya terpolarisasi yang memungkinkan observasi langsung ke kulit tanpa terganggu refleksi cahaya di kulit sehingga dapat memberikan gambaran rinci setiap lapisan epidermis sampai dermis papiler superfisial dan mengidentifikasi keberadaan terowongan. Pada pemeriksaan dermoskopi tungau skabies tampak berbentuk segitiga yang diikuti garis terowongan di epidermis seperti gambaran pesawat jet, layang-layang, atau spermatozoid. Area akral seperti selasela jari tangan dan pergelangan tangan merupakan tempat yang paling baik untuk dilakukan pemeriksaan dermoskopi, namun bagian kulit lain yang mempunyai papul kemerahan dengan terowongan utuh juga harus diperiksa. Dermoskopi cukup baik sebagai alat diagnostik skabies, namun tidak sebaik kerokan kulit atau biopsi. Dupuy et al63 melaporkan bahwa 52 dermoskopi memiliki sensitivitas 91% dan spesifisitas 86% pada pemeriksa yang berpengalaman dengan spesifisitas yang sedikit lebih rendah pada pemeriksa yang tidak berpengalaman. Meskipun demikian, selama studi tersebut didapatkan bahwa akurasi diagnostik oleh dermoskopis yang tidak berpengalaman terus meningkat. Dermoskopi mampu mendeteksi lesi skabies lebih banyak (84% vs 47%, p<0,01) daripada kerokan kulit dan lama pemeriksaan lebih singkat (227 detik vs 442 detik, p<0,01). Dermoskopi lebih bermanfaat pada penderita skabies yang memiliki gejala tidak khas, subklinis, sedang dalam pengobatan steroid, skabies nodular, dan penderita immunocompromised seperti bayi, usia lanjut dan HIV. Sensitivitas dermoskopi meningkat seiring dengan keparahan penyakit, sedangkan sensitivitas kerokan kulit tidak dipengaruhi oleh hal tersebut. Prosedur pemeriksaan dermoskopi tidak menimbulkan nyeri sehingga penderita merasa nyaman dan tidak takut diperiksa (pada anak). Keuntungan teknik dermoskopi dibandingkan kerokan kulit dalam mendiagnosis skabies adalah lebih disukai penderita, hemat waktu, dan perlengkapan mudah dibawa (portable) sehingga dermoskopi lebih dipilih untuk skrining pada komunitas besar. Hambatan penggunaan dermoskopi adalah harga alat yang mahal sehingga belum banyak digunakan di negara berkembang.65 Metode Pencitraan S.scabiei secara In Vivo Walaupun belum banyak diketahui di Indonesia, di negara maju seperti di Eropa telah mulai dikembangkan metode pencitraan pada penyakit skabies yang dilakukan secara in vivo yaitu menggunakan optical coherence tomography (OCT) dan confocal microscopy (CM). OCT adalah teknik pencitraan in vivo non-invasif yang telah rutin digunakan di bidang oftalmologi untuk mendiagnosis penyakit retina. Beberapa tahun terakhir, OCT mulai digunakan di bidang dermatologi untuk memantau terapi pada kasus kanker kulit nonmelanoma dan keratosis aktinik. Dengan resolusi 8-µm, OCT dapat memvisualisasi perubahan morfologi kulit akibat infestasi, keberadaan tungau dan terowongan, serta isi terowongan secara in vivo sehingga memungkinkan untuk diagnosis secara in vivo yang cepat dan non-invasif. Selain itu OCT memudahkan dalam 53 menganalisis dan mempelajari struktur biologis tungau serta proses infestasi di hospes yang selama ini terbatas pada studi in vitro.66 Banzhaf et al66 berhasil mengidentifikasi tungau pada penderita kabies secara in vivo dengan potongan vertikal dan horizontal. Pada gambaran vertikal, tungau tampak seperti struktur oval (mango/almondshaped) berukuran 0,2x0,3mm atau kurang dan berlokasi tepat di bawah stratum korneum. Densitas tungau mirip dengan jaringan kulit sekitarnya, namun tungau tampak dibatasi atau berada di ujung terowongan yang tergambarkan sebagai dua garis hiperreflektif (dinding terowongan) yang mengapit ruang hiporeflektif di tengahnya (lumen terowongan). Pada salah satu kasus, ditemukan bahwa tungau tidak selalu berada di stratum korneum namun dapat menggali lebih dalam hingga stratum granulosum. Pada potongan horizontal, tungau tampak berukuran 0,3x0,15mm. Selain itu dapat divisualisasi feses dan telur tungau yang tampak sebagai droplet hiperreflektif di sepanjang lumen terowongan. Teknik pencitraan selain OCT adalah CM yang memberikan gambaran dengan resolusi dan kedalaman penetrasi yang lebih baik dari OCT sehingga struktur spesifik dari tungau dan jaringan di sekitarnya dapat terlihat lebih jelas. CM memungkinkan untuk merekam video sehingga CM lebih sering digunakan pada studi biologis tungau skabies. Kekurangannya adalah pemeriksaan CM memerlukan waktu lebih lama dari OCT, membutuhkan keterampilan yang lebih tinggi dan tidak dapat membuat potongan vertikal sehingga tidak dapat menjelaskan lokasi tungau secara rinci.66 Teknik pencitraan skabies secara in vivo dengan OCT dan CM mirip dengan dermoskopi. Kelebihannya adalah dapat menggambarkan struktur spesifik tungau dan terowongan, lokasi tungau di kulit, dan kondisi jaringan sekitar dengan lebih rinci dibandingkan dermoskopi. Meskipun demikian, OCT dan CM lebih sulit diakses, memerlukan waktu lebih lama, dan membutuhkan keterampilan tinggi sehingga tidak cocok untuk diagnosis masal atau skrining dan lebih sering digunakan untuk tujuan studi biologi tungau. Tes Kulit Intradermal Metode diagnosis skabies dengan tes intradermal hingga saat ini masih sulitdilakukan karena memerlukan ekstrak tungau murni sedangkan S.scabiei varietas hominis sulit dibiak sehingga sulit mendapatkan ekstrak tungau dalam jumlah yang cukup. Penelitian 54 imunitas spesifik dengan tes intrakutan dan prick test menggunakan ekstrak tungau skabies menunjukkan bahwa tes intrakutan positif pada sebagian besar penderita skabies tetapi prick test memberikan hasil negatif. Hal tersebut disebabkan antigen yang digunakan tidak cukup jumlahnya yaitu hanya 5% dari berat total tungau skabies. Sementara itu bila digunakan seluruh bagian tubuh tungau yang dihancurkan (crude antigen) terjadi erupsi piogenik yang berbeda dengan skabies klasik. Sampai saat ini pemeriksaan imunitas spesifik menggunakan tungau skabies masih belum memuaskan. Hal itu disebabkan sulitnya membuat antigen karena S.scabiei varietas hominis belum dapat dibiak baik in vivo maupun in vitro, sedangkan penggunaan S.scabiei varietas binatang memberikan reaksi yang berbeda. Ekstrak tungau yang diperoleh dari hewan mengandung antigen campuran yang heterogen dari hospes dan parasit. Selain itu, terdapat reaksi silang dengan antigen determinan dari tungau debu rumah, komposisi, serta potensi yang bervariasi. Dewasa ini terdapat well-characterized recombinant scabies mite allergens yang telah dimurnikan dengan komposisi protein yang standar. Alergen tersebut berpotensi untuk digunakan pada tes kulit intradermal pada masa mendatang. Metode tersebut dapat mempermudah diagnosis kasus skabies sulit sekaligus memiliki potensi dalam bidang imunoterapi.64 Deteksi Antibodi dengan ELISA Berdasarkan patogenesis skabies, antigen tungau menginduksi respons humoral pada hospes sehingga terjadi produksi antibodi. Hal tersebut memungkinkan untuk mendiagnosis skabies menggunakan pemeriksaan darah dengan dasar pengukuran antibodi sirkulasi yang bereaksi terhadap antigen spesifik-skabies tanpa bereaksi silang dengan tungau debu rumah. Saat ini telah berhasil dikembangkan deteksi antibodi dengan ELISA pada S.scabiei babi dan anjing yang sudah beredar luas di Eropa namun metode tersebut belum memberikan hasil yang baik pada manusia. Arlian et al67 meneliti IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM spesifik antigen skabies pada 91 penderita. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa semua penderita skabies memiliki antibodi campuran IgA, IgG, dan IgE yang dapat mengenali antigen tungau skabies dengan komposisi masing-masing 45%, 27%, dan 2,2%. Selain itu, sebanyak 55 73,6% penderita skabies memiliki serum IgM yang dapat mengenali protein skabies namun juga bereaksi dengan tungau debu rumah. Tidak didapatkan serum antibodi yang bereaksi secara eksklusif hanya pada antigen tungau skabies. Hal tersebut disebabkan co-sensitization atau reaksi silang yang tidak dapat dihindari antara antigen tungau skabies dan tungau debu rumah pada sistem imun manusia sehingga masih menghambat pengembangan metode diagnosis skabies menggunakan tes darah pada manusia. Sama halnya dengan tes intradermal, deteksi antibodi dengan ELISA masih memerlukan penelitian untuk mencari antigen spesifik-skabies-manusia yang tidak ditemukan pada jenis tungau skabies hewan atau parasit lainnya. Polymerase Chain Reaction Pemeriksaan skabies dengan polymerase chain reaction (PCR), dapat menjadi salah satu metode deteksi S.scabiei. Dengan teknik PCR diagnosis skabies menjadi lebih mudah karena sensitif terhadap amplifikasi enzimatik fragmen gen dari material parasit yang sedikit. PCR merupakan metode untuk identifikasi parasit yang akurat, mengetahui karakteristik gen parasit, diagnosis infeksi parasit, mengetahui isolasi dan karakteristik gen yang terekspresi, mendeteksi resistensi obat, perkembangan rekombinasi vaksin DNA, dan analisis keseluruhan genom parasit. Kelemahan PCR adalah ketergantungan metode tersebut pada keberadaan tungau atau bagian dari tungau dalam sediaan, sehingga tidak memungkinkan untuk digunakan secara luas karena jumlah tungau hanya sedikit. PCR dapat diandalkan jika metode lain tidak dapat mendiagnosis skabies. PCR yang diikuti dengan deteksi ELISA dapat meningkatkan sensitivitas diagnostik pada penderita dengan skabies atipik namun metode tersebut sangat memakan waktu dan biaya.64 Faktor-Faktor yang Laboratorium Perlu Diperhatikan pada Pemeriksaan Berbagai metode untuk mendiagnosis skabies dengan menemukan tungau memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kerokan kulit merupakan cara paling mudah dan hasilnya lebih memuaskan dibandingkan cara lainnya. Pengambilan tungau menggunakan jarum lebih sulit karena memerlukan keterampilan khusus dan tingkat keberhasilannya rendah karena pada orang kulit berwarna, terowongan 56 sulit diidentifikasi. Metode usap kulit memiliki kekurangan karena pemeriksaannya memerlukan waktu lama. Hal tersebut disebabkan pada metode usap kulit, sampel harus diambil dari berbagai lokasi lesi dan dari tiap lesi dilakukan 6 kali pengambilan sampel. Burrow ink test jarang memberikan hasil positif karena penderita biasanya datang pada keadaan kronik dan sudah terjadi infeksi sekunder sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki tinta. Agar pemeriksaan memberikan hasil yang memuaskan, terdapat berbagai hal yang perlu diperhatikan. Pada diagnosis dengan melakukan kerokan kulit, kerokan tidak boleh dilakukan di lesi ekskoriasi karena kemungkinan tungau sudah tidak ada lagi karena tergaruk dan terbuang secara mekanik. Kerokan kulit juga tidak boleh dilakukan di lesi dengan infeksi sekunder karena dapat memperberat infeksi. Selain itu, di lesi dengan infeksi sekunder terdapat pus yang bersifat akarisida sehingga tungau mungkin sudah tidak ada di lesi tersebut.7,49 Cara terbaik untuk melakukan kerokan kulit adalah kerokan harus dilakukan secara superfisial karena tungau berada di dalam terowongan di stratum korneum. Kerokan kulit tidak boleh berdarah karena jika terjadi perdarahan berarti kerokan lebih dalam dari stratum korneum. Papul yang baik untuk dikerok adalah papul utuh yang baru dibentuk, berbentuk lonjong dan tidak berkrusta karena biasanya tungau masih dapat ditemukan di papul tersebut. Pengerokan kulit tidak hanya di satu lesi, tetapi di berbagai lesi karena tungau belum tentu berada di lesi yang dipilih. Lesi skabies paling sering ditemukan di sela-sela jari tangan, oleh karena itu lesi di sela jari tangan harus mendapat perhatian. Sebelum melakukan kerokan kulit, teteskan minyak mineral di skalpel dan di lesi yang akan dikerok. Penetesan minyak mineral lebih baik dari KOH karena tungau melekat ke minyak mineral sehingga dapat diangkat dalam keadaan hidup dan tidak hancur. Selain itu, pemeriksaan mikroskopis lebih mudah pada penggunaan minyak mineral karena perbedaan refraksi antara tungau dan minyak mineral lebih besar dibandingkan dengan tungau dan KOH. Keuntungan lain penggunaan minyak mineral adalah skuama tidak berterbangan dan lebih mudah dikumpulkan untuk pemeriksaan mikroskopis. Minyak mineral juga tidak melarutkan skibala yang bermanfaat untuk membantu menetapkan diagnosis. 57 BAB X Diagnosis Banding Karena lesi skabies dapat menyerupai berbagai lesi penyakit kulit lain, hampir semua penyakit kulit yang memiliki gejala gatal dianggap sebagai diagnosis banding skabies. Diagnosis banding skabies adalah prurigo, impetigo, folikulitis, pioderma, tinea korporis, sifilis, pedikulosis pubis, gigitan serangga, urtikaria papular, reaksi alergi, psoriasis, eksem, dermatitis atopik, dematitis seboroik, dermatitis kontak, dermatitis eksematoid infeksiosa, lupus eritematosus sistemik, pemfigoid bulosa, papulosis limfomatoid, dermatitis herpetiformis, liken planus, ekskoriasi-neurotik, langerhans cell histiositosis, penyakit darier, sezary syndrome, mastositosis, akropustulosis infantil, pruritus karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik pada kehamilan, dan vaskulitis.13 Diagnosis skabies pada anak-anak sering terlewatkan dan baru dipikirkan ketika terdapat orang di sekitarnya yang mengalami gejala serupa. Karena lesi kulit tipikal maupun atipik tersebar di kulit kepala, wajah, telapak tangan, telapak kaki dan daerah lipatan kulit, maka diagnosis skabies pada anak sering salah dan didiagnosis sebagai dermatitis atopik atau akropustulosis infantil. Hal tersebut disebabkan akropustulosis infantil merupakan penyakit dengan karakter utama berupa pustul dan vesikel yang tersebar dari akral, terasa gatal dan akropustulosis infantil memang dapat terjadi setelah infeksi skabies.13 Pada penderita berusia lanjut, diagnosis skabies juga sulit ditegakkan karena presentasi skabies dapat berupa lesi kulit atipikal karena perubahan respons imun pada penuaan. Tertundanya diagnosis pada penderita skabies yang berusia lanjut biasanya karena keluhan gatal sering dianggap sebagai bagian dari pruritus atau gangguan cemas. Diagnosis skabies yang terlambat pada orang tua yang tinggal di institusi perawatan misalnya panti jompo dapat menularkan skabies ke penghuni lain bahkan dapat menimbulkan wabah di institusi tersebut. Kesalahan diagnosis pada orang usia lanjut menyebabkan dokter memberikan kortikosteroid topikal jangka panjang yang menyebabkan lesi tipikal skabies berubah menjadi atipik yang semakin sulit dikenali.13 58 Brenaut et al68 mengemukakan karakteristik gatal pada penyakit non-atopik eksem, psoriasis, skabies, atopik dermatitis, dan urtikaria. Pada dermatitis atopik keluhan gatal diiringi banyak keringat dan nyeri kepala; nyeri lebih sering ditemukan dibandingkan penyakit kulit lainnya. Pada urtikaria, sensasi panas lebih sering ditemukan dibandingkan dengan skabies sedangkan rasa gatal seperti tersengat, tercubit dan tertusuk lebih sering terjadi pada dermatitis atopik dibandingkan penyakit lain. Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh dalam modulasi rasa gatal.69 Berkeringat meningkatkan rasa gatal pada 80% penderita atopik dermatitis, 73% penderita skabies, 62% non-atopik eksem, 58% psoriasis dan hanya 30% pada penderita urtikaria. Gerakan fisik mempunyai pengaruh yang berbeda pada penyakit tersebut. Pada atopik dermatitis gerakan fisik meningkatkan keparahan rasa gatal, sedangkan psoriasis lebih meringankan rasa gatal. Pada semua penyakit, penggunaan air dingin dapat mengurangi rasa gatal, sedangkan penggunaan air panas meningkatkan keparahan rasa gatal. Air panas meningkatkan rasa gatal sebesar 50% pada penderita dermatitis atopik dan 67% pada penderita skabies namun pada penderita psoriasis pengggunaan air panas dapat meringankan keluhan gatal. Kondisi kulit yang kering memicu eksaserbasi gatal terutama psoriasis 94%, atopik dermatitis 93%, 64% non-atopik eksem, dan 69% pada skabies. Stres memicu rasa gatal pada semua dermatitis. Menggaruk merupakan tindakan yang melegakan bagi penderita. Lesi bekas garukan secara signifikan ditemukan pada skabies dan dermatitis atopik dibandingkan eksem, psoriasis dan urtikaria. 59 BAB XI Pengobatan Skabies Prinsip pengobatan skabies adalah menggunakan skabisida topikal diikuti dengan perilaku hidup bersih dan sehat baik pada penderita maupun lingkungannya. Syarat skabisida ideal adalah efektif terhadap semua stadium tungau, tidak toksik atau menimbulkan iritasi, tidak berbau, serta tidak menimbulkan kerusakan atau mewarnai pakaian, dan mudah diperoleh. Syarat lainnya adalah harga skabisida cukup murah karena penderita skabies umumnya dari golongan ekonomi lemah.69 Pengolesan obat topikal umumnya selama 8-12 jam namun ada yang perlu digunakan sampai lima hari berturut-turut, bergantung pada jenis skabisida. Pada bayi dan anak kecil absorbsi obat lebih tinggi sehingga pengolesan tidak dianjurkan saat kulit dalam keadaan hangat atau basah setelah mandi. Apabila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri, perlu diberikan antibiotik topikal atau oral terlebih dahulu sesuai indikasi dengan memerhatikan interaksi antar obat. Pada umumnya, satu kali pengolesan skabisida topikal cukup untuk menyembuhkan skabies. Meskipun demikian, untuk menentukan apakah terapi skabies harus diulang perlu diperhatikan apakah obat yang digunakan bersifat ovisida (membunuh telur) dan skabisida (membunuh tungau) atau hanya bersifat skabisida. Selain itu, perlu diperhatikan waktu dimulainya terapi awal, kemajuan kesembuhan selama terapi, dan menghubungkannya dengan siklus hidup tungau. Telur tungau menetas pada hari ketiga dan memerlukan waktu sekitar delapan hari untuk menjadi tungau dewasa yang akan bertelur lagi. Bila terapi hanya bersifat skabisida dan tidak ovisida maka telur yang sempat diproduksi sebelum terapi dimulai, akan menetas dan menginfestasi kembali setelah hari ketiga. Jika terapi bersifat skabisida dan ovisida, maka terapi akan efektif membunuh semua stadium tungau baik telur, larva, nimfa maupun tungau dewasa. Meskipun demikian, karena terdapat periode laten klinis pengolesan skabisida perlu diulang pada hari ketiga atau keempat sehingga dapat membunuh tungau dari telur yang baru menetas dan belum sempat terbasmi pada terapi pertama. 60 Semua skabisida topikal memiliki prinsip penggunaan yang sama dan harus dipatuhi oleh penderita, tenaga kesehatan, atau orang lain yang membantu mengoleskan skabisida. Oleh karena itu, penderita skabies perlu diingatkan untuk membaca pedoman penggunaan skabisida sebelum menggunakannya. Prinsip tersebut adalah pengolesan obat sebaiknya dilakukan oleh penderita sendiri, namun boleh dibantu orang lain bila lokasi lesi sulit dijangkau misalnya di punggung atau bokong. Apabila pengolesan skabisida dibantu orang lain, misalnya perawat atau anggota keluarga maka orang tersebut harus menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan dengan sabun setelah membantu mengoleskan. Sebelum mengoleskan skabisida, penderita skabies harus mandi menggunakan sabun. Sabun dipakai ke seluruh bagian tubuh, bukan hanya tangan, wajah, ketiak dan alat kelamin; lalu dibilas dengan bersih. Setelah badan kering, skabisida dioleskan ke seluruh permukaan kulit dari leher sampai ujung jari kaki. Perhatian khusus diberikan ke lesi di tempat predileksi misalnya sela-sela jari tangan, telapak tangan, pergelangan tangan, bokong, dan alat kelamin. Apabila terhapus sebelum waktunya misalnya karena berwudhu atau mencuci tangan maka obat harus dioleskan lagi. Setelah mencapai waktu yang ditentukan, obat dibersihkan dari seluruh tubuh dengan mandi memakai sabun. Selesai mandi, badan dikeringkan dengan handuk bersih dan kering lalu handuk dijemur di bawah terik sinar matahari. Pada bayi, anak di bawah lima tahun, orang berusia lanjut, dan immunocompromised host, pengolesan skabisida di kepala harus mencakup dahi, alis, kulit kepala, dan area belakang telinga. Kulit kepala memang tidak selalu diinstruksikan untuk dioleskan skabisida pada kasus skabies klasik karena di daerah tersebut jarang ditemukan tungau. Meskipun demikian, kulit kepala tidak boleh dilupakan terutama bila terapi awal gagal atau pada kasus skabies krustosa. Penderita skabies harus memotong kuku tangan dan kaki secara teratur serta menjaganya tetap pendek dan bersih. Skabisida dioleskan ke kulit di bawah kuku yang telah dipotong. Pakaian dan perlengkapan tidur harus diganti selama dan setelah terapi, serta dilakukan dekontaminasi. Skabisida topikal biasanya berbentuk krim yang dikemas dalam tube berisi 30gram dan 60gram. Untuk mengoleskan skabisida, perlu dihitung kebutuhan krim yang akan dioleskan. Luas permukaan kulit orang dewasa diperkirakan dengan prinsip satu telapak tangan 61 sama dengan 1% luas permukaan tubuh. Krim skabisida sebanyak satu ruas jari tangan diperkirakan sama dengan 0,5 gram dan dapat digunakan untuk area kulit seluas 2 telapak tangan. Pada bayi dan balita, proporsi tubuhnya tidak seperti orang dewasa sehingga perlu disesuaikan namun prinsipnya tetap sama. Dengan menghitung luas permukaan kulit dan banyaknya krim yang dibutuhkan untuk satu kali pengolesan, dapat dihitung berapa banyak kemasan krim yang diresepkan untuk satu kali pengobatan ke seluruh permukaan tubuh.70 Kekurangan obat topikal adalah tidak nyaman digunakan karena terasa lengket di kulit dan memiliki efek samping (misalnya rasa panas atau rasa terbakar) sehingga dapat menurunkan kepatuhan menggunakan obat. Maxine71 menyatakan pengobatan skabies yang tidak berhasil berhubungan dengan salah penggunaan obat yaitu hanya digunakan di lesi dan tidak dioleskan ke seluruh tubuh mulai dari leher hingga kaki. Pada skabies klasik target terapi adalah penderita dan semua orang yang kontak erat dengan penderita meskipun tidak memiliki gejala. Terapi untuk penderita skabies perlu dilakukan bersamaan dengan anggota keluarga lain karena pada skabies terdapat periode laten klinis yang dapat berlangsung hingga 6 minggu. Penderita skabies yang sedang menjalani terapi dengan obat topikal harus menerapkan gaya hidup bersih dan sehat terutama mandi dua kali sehari memakai sabun, baik dengan sabun biasa atau antiseptik. Mandi menggunakan sabun membantu menghilangkan tungau skabies dan telur yang tersisa di permukaan kulit penderita. Sabun biasa dapat membuang patogen yang menempel di kulit secara mekanik namun tidak dapat membunuhnya. Sabun antiseptik biasanya memiliki zat aktif triklosan dengan konsentrasi 0,1% dan 0,45% berat/volume. Triklosan efektif terhadap bakteri dan jamur tetapi tidak efektif terhadap virus. Pada percobaan laboratorium penggunaan triklosan dalam konsentrasi tinggi dapat menurunkan jumlah bakteri dibandingkan sabun biasa. Zat yang mirip dengan triklosan yaitu triklokarban dipakai untuk sabun antiseptik berbentuk batang.72 Tempat perawatan kesehatan sering memakai sabun cuci tangan antimikroba atau antiseptik seperti klorheksidin atau triklosan konsentrasi tinggi. Produk tersebut efektif membunuh bakteri, jamur, dan virus. Selain itu antiseptik tersebut seringkali memiliki aktivitas antimikroba residu di kulit yang akan bertahan untuk waktu cukup lama setelah mencuci tangan. Sabun antiseptik diharapkan 62 dapat mengurangi infeksi sekunder di lesi skabies, namun perlu diperhatikan bahwa sabun antiseptik dapat berinteraksi dengan permetrin dan mengurangi penetrasi permetrin ke dalam kulit. Efektivitas pengobatan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu diagnosis, ketepatan terapi topikal, dosis skabisida, dan waktu pemakaian obat. Oleh karena itu, agar pengobatan berhasil maka perlu diperhatikan hal-hal berikut. Penderita perlu dijelaskan cara pemakaian obat yang benar karena kesalahan pemakaian obat dapat menyebabkan kegagalan pengobatan. Rasa gatal masih menetap setelah pengobatan walaupun tungau sebenarnya telah mati karena reaksi hipersensitivitas terhadap tungau dan produknya masih tetap berlangsung. Keadaan tersebut perlu disampaikan kepada penderita sebelum memulai terapi agar penderita tidak menganggap terapinya gagal apabila mengalami pruritus setelah pengobatan. Dengan demikian pemberian skabisida harus dibatasi dan penderita perlu diberikan penjelasan tentang gatal yang menetap agar tidak menggunakan krim secara berlebihan. Sediaan topikal 30gram biasanya cukup untuk dioleskan ke seluruh tubuh seorang penderita dewasa. Untuk mengatasi pruritus, penderita dapat diberikan antihistamin dan antiinflamasi.72 Penyebab pruritus setelah pemberian terapi skabisida dapat dilihat di Tabel 1. Tabel 1. Penyebab, Tatalaksana dan Pencegahan Pruritus setelah Penggunaan Skabisida71 Penyebab Iritasi kulit Pengobatan berlebihan Tatalaksana Emolien intensif dengan atau Kurangi penggunaan skabisida tanpa steroid topikal ringan Skabies eksematosa berat Steroid topikal Pemberian skabisida ulang Dermatitis kontak Pencegahan Ganti skabisida Gunakan skabisida non-iritasi Gunakan skabisida non-iritasi Gagal pengobatan Kepatuhan rendah, resisten Pemberian skabisida ulang Instruksi yang benar dan evaluasi dan pengobatan semua orang secara komprehensif. atau relaps yang mengalami kontak Aplikasi dari kepala sampai kaki dan pengobatan seluruh keluarga yang mengalami kontak Rujuk ke psikiatri Delusi parasitosis Bukan dari skabies Obati sesuai penyebab 63 Kegagalan dan Faktor Penyulit Terapi Kegagalan terapi dapat disebabkan oleh pemakaian skabisida yang tidak adekuat. Lesi keratotik, berkrusta, dan lesi dengan infeksi sekunder mengurangi penetrasi skabisida ke dalam kulit sehingga terapi menjadi tidak efektif. Faktor lainnya adalah penderita dapat mengalami reinfestasi tungau setelah kontak dengan penderita yang belum diobati. Resistensi tungau terhadap skabisida juga menyulitkan terapi skabies. Orang yang kontak dengan penderita seringkali tidak mengerti pentingnya pengobatan seluruh anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan penderita skabies. Pengobatan tersebut bertujuan untuk memutus rantai penularan penyakit sehingga orang yang kontak dengan penderita skabies tetap harus diobati walaupun tidak memiliki gejala. Pengobatan orang-orang terdekat penderita yaitu keluarga merupakan tindakan penting untuk mencegah infestasi skabies berulang terutama bagi ibu yang anak atau bayinya terinfeksi skabies. Kurangnya pengetahuan mengenai skabies juga menurunkan motivasi untuk berpartisipasi dalam penanggulangan dan pemberantasan skabies di komunitas. Tenaga kesehatan terkadang belum berpengalaman dalam mendiagnosis skabies sehingga terapi menjadi tidak tepat atau terlambat diberikan sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderita dan meningkatkan penularan. Dekontaminasi Pengobatan skabies perlu diikuti dengan dekontaminasi lingkungan untuk membunuh tungau yang berada di luar tubuh hospes karena tungau dapat hidup di luar tubuh hospes sekitar tiga hari. Arlian et al67 meneliti sampel debu dari rumah penderita skabies yang 81% diantaranya mengalami infestasi sedang hingga berat namun tidak mengalami hiperkeratosis (bukan penderita skabies krustosa). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44% dari sampel debu tersebut mengandung tungau hidup. Tungau paling banyak ditemukan di lantai di bawah tempat tidur, sofa, dan kursi. Oleh karena itu dekontaminasi sangat penting dalam pemberantasan skabies dan mencegah reinfestasi. 64 Dekontaminasi lingkungan dapat dilakukan menggunakan penyedot debu. Karpet, kasur, batal, guling, sofa, furnitur dan barang-barang berbulu lainnya perlu dijemur di bawah terik sinar matahari setelah dilakukan penyedotan debu; selanjutnya dijemur minimal 2 kali seminggu. Pakaian, seprai, sarung bantal dan sarung guling, mukena, kerudung, dan sarung harus dicuci dengan air panas. Setelah didekontaminasi, barang-barang tersebut sebaiknya tidak langsung digunakan kembali karena tungau masih dapat hidup setelah lepas dari hospes selama kurang lebih 3 hari walaupun tungau umumnya mati setelah 36 jam di luar tubuh hospes pada suhu ruang. Oleh karena itu, barang-barang yang telah didekontaminasi sebaiknya baru digunakan kembali dalam 2 hari hingga 3 minggu setelah dekontaminasi. Sinar matahari perlu diupayakan masuk ke rumah dan sirkulasi udara perlu diperbaiki untuk mengurangi kelembaban rumah. Ventilasi rumah perlu diperbaiki karena di rumah yang tidak berjendela sinar matahari tidak dapat masuk. Hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki ventilasi misalnya memasang beberapa genteng kaca agar sinar matahari dapat masuk ke dalam ruangan. 65 BAB XII Jenis Skabisida Obat yang dapat membunuh tungau skabies disebut skabisida dan obat yang dapat membunuh telur tungau disebut ovisida. Ada obat yang hanya bersifat skabisida misalnya sulfur presipitatum, namun ada yang bersifat skabisida dan ovisida sekaligus misalnya gama benzen heksaklorida dan permetrin. Berikut adalah obat yang dapat digunakan untuk terapi skabies. Sulfur Presipitatum Sulfur dengan konsentrasi 5-10% dalam vaselin telah lama digunakan sebagai skabisida. Sebenarnya sulfur konsentrasi 6% sudah cukup untuk mengobati skabies, namun pada sebagian kasus sulfur 6% dianggap kurang efektif sehingga sulfur konsentrasi 10% lebih sering digunakan. Sulfur dengan konsentrasi 10% mampu membunuh larva, nimfa dan tungau skabies namun tidak dapat membunuh telur S.scabiei sehingga harus digunakan selama tiga hari berturut-turut dan diulangi seminggu kemudian. Dosis sulfur untuk anak-anak adalah setengah dosis dewasa, sedangkan pada bayi seperempat dosis dewasa. Bentuk aktif sulfur adalah H2S dan asam pentationik yang memiliki sifat keratinolitik. Sulfur murah dan aman digunakan oleh bayi, anak balita, ibu hamil dan menyusui, serta orang berusia lanjut karena memiliki margin of safety yang lebar. Kekurangan sulfur adalah berbau tidak enak, lengket, mengotori pakaian, dan kadang menimbulkan iritasi. Studi di Venezuela menunjukkan efek samping sulfur adalah dermatitis kontak ringan pada 5% subjek. Singalavanija et al73 pada tahun 2003 membandingkan gama benzen heksaklorida topikal 0,3% dengan sulfur topikal 10% pada 68 subjek yang didiagnosis skabies secara klinis. Tidak terdapat perbedaan signifikan mengenai treatment failure ketika dievaluasi pada minggu keempat. Keluhan gatal yang menetap (itch persistence) setelah 28 hari juga tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Bau tidak sedap, sensasi terbakar, dan eritema terjadi pada 14 dari 50 subjek yang menggunakan sulfur dan pada 14 dari 50 subjek yang memakai gama benzen heksaklorida. 66 Avila-Romay et al74 meneliti pengaruh vehikulum obat sulfur topikal terhadap skabies dengan membandingkan vehikulum krim dingin dan vehikulum lemak babi pada 51 subjek. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada keluhan pruritus, xerosis, sensasi terbakar, dan eritema pada kedua kelompok. Krim dingin sebagai vehikulum pengobatan untuk sulfur lebih efektif dibandingkan lemak babi dengan efek samping yang lebih sedikit. Krim sulfur dapat menjadi pilihan yang murah dan aman untuk negara dengan sumber daya terbatas. Gama benzen heksaklorida Gama benzen heksaklorida adalah skabisida yang digunakan pertama kali oleh Wooldridge pada tahun 1948.75 Skabisida tersebut tersedia dalam bentuk krim atau losio dengan konsentrasi 1% dan merupakan obat pilihan untuk terapi skabies karena dapat membunuh telur, larva, nimfa dan tungau dewasa, mudah digunakan, dan tidak menimbulkan iritasi. Cara pemakaiannya adalah dengan mengoleskan ke seluruh badan dari leher ke bawah sampai ujung jari kaki lalu dibersihkan setelah 12 jam. Gama benzen heksaklorida cukup diberikan sekali, namun jika masih terdapat gejala aktif skabies maka perlu diulangi seminggu kemudian. Skabisida ini tidak boleh diberikan untuk ibu hamil dan anak di bawah 6 tahun karena neurotoksik.70 Gama benzen heksaklorida diserap melalui mukosa dan didistribusikan ke seluruh tubuh dengan konsentrasi tertinggi dalam jaringan yang kaya lipid dan kulit, kemudian dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses.76 Gama benzen heksaklorida diabsorbsi melalui kulit sehingga dapat meningkatkan kadar obat dalam darah pada pemakaian berulang-ulang yang akan bersifat toksik terhadap susunan saraf pusat. Pada bayi dan anak kecil, absorbsi per kutan lebih besar sehingga banyak dokter tidak memilih gama benzena heksaklorida untuk terapi skabies pada bayi, anak kecil, ibu hamil dan ibu menyusui. Meskipun demikian sebagian dokter menganggap aman bila pemakaian hanya 6 jam. Kontraindikasi gama benzen heksaklorida adalah untuk penderita skabies yang memiliki kelainan neurologis karena obat ini memiliki sifat neurotoksik. Pemberian gama benzen heksaklorida juga harus berhati-hati pada penderita dengan berat badan kurang 67 dari 50 kg, penderita dengan riwayat kejang atau penyakit neurologis lainnya. Efek samping gama benzen heksaklorida adalah mual, muntah, nyeri kepala, iritabilitas, insomnia, dan kejang. Kematian dan kejang pernah dilaporkan pada anak kecil yang tertelan gama benzen heksaklorida, terlalu sering atau terlalu banyak pengolesan atau perubahan barier pelindung kulit. Oleh karena itu, FDA mengeluarkan kebijakan bahwa gama benzen heksaklorida hanya digunakan pada anak jika pengobatan lain tidak berhasil.70 Untuk mengurangi toksisitas gamma benzen heksaklorida, dapat dilihat penjelasan berikut ini.77 Boleh Dilakukan - Gunakan di kulit kering dan dingin Gunakan selama 6 jam Bilas dengan air dan sabun setelah 6 jam pemakaian Obati keluarga dan seluruh orang yang memiliki kontak dengan penderita Beritahu penderita dan keluarga akan bahaya toksisitas Jangan Dilakukan - Jangan digunakan pada anak sakit dan balita Jangan digunakan di bagian yang meradang dan kulit terluka Jangan menggunakan konsentrasi <1% karena tidak efektif Jangan digunakan secara berlebih Hindari pengobatan berlebih Benzil benzoat Benzil benzoat, ester asam benzoat dan benzil alkohol diperoleh dari balsam Peru dan Tolu; terdapat dalam bentuk emulsi atau losio dengan konsentrasi 20-25%. Obat tersebut cukup efektif terhadap semua stadium karena bersifat neurotoksik untuk tungau.78 Benzil benzoat efektif untuk mengatasi crusted scabies yang resisten terhadap permetrin,78 namun obat ini sulit diperoleh, sering mengakibatkan iritasi, dan menambah rasa gatal setelah dipakai. Cara penggunaannya adalah dengan dioleskan setiap malam selama tiga hari berturut-turut. Pada orang dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi 12,5%. 68 Efek samping benzil benzoat adalah dermatitis iritan dan pada penggunaan berulang dapat menyebabkan dermatitis alergi. Benzil benzoat tidak boleh digunakan pada ibu hamil dan menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2 tahun. Krotamiton Krotamiton merupakan skabisida yang cukup efektif. Obat tersebut tersedia dalam bentuk krim atau losio dengan konsentrasi 10%. Cara pemakaian krotamiton adalah dengan mengoleskannya dari leher ke bawah, lalu diulang 24 jam kemudian. Krotamiton harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra. Krotamiton memiliki efek sebagai skabisida sekaligus antigatal. Pengolesan setiap hari selama 5 hari berturut-turut memberikan hasil yang memuaskan. Tingkat keberhasilan bervariasi sekitar 50%-70%. Hasil terbaik diperoleh bila dioleskan dua kali sehari selama lima hari berturut-turut setelah mandi dan berganti pakaian.79 Efek samping berupa iritasi di kulit yang erosif dan sensitisasi pada pemakaian yang lama. Permetrin Permetrin adalah insektisida yang termasuk golongan piretroid sintetik, bekerja dengan cara mengganggu kanal natrium, menyebabkan perlambatan repolarisasi dinding sel parasit yang pada akhirnya membunuh parasit. Permetrin tersedia dalam bentuk krim dengan konsentrasi 5%, pemakaiannya lebih singkat dari gama benzen heksaklorida dan efek sampingnya lebih ringan. Permetrin dalam bentuk krim 5% adalah skabisida pilihan dalam tatalaksana skabies karena angka kesembuhannya tinggi dan toksisitasnya rendah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa permetrin merupakan skabisida terbaik dalam pengobatan skabies dibandingkan terapi lainnya. Efektivitas permetrin dalam mengobati skabies adalah 91%, sedangkan efektivitas gama benzen heksaklorida 86%. Dosis tunggal permetrin dapat menyembuhkan 97,8% penderita skabies dan permetrin lebih baik dibandingkan dengan ivermektin. Sayangnya, krim permetrin 5% relatif mahal dan sering tidak tersedia di daerah endemis skabies. Permetrin adalah skabisida yang aman dan didetoksifikasi melalui proses hidrolisisesterase dengan cepat dari darah dan jaringan termasuk kulit. Kadar permetrin plasma setelah penggunaan krim permetrin 5% topikal di bawah konsentrasi yang dapat dideteksi yang menunjukkan 69 bahwa permetrin aman digunakan oleh penderita skabies kecuali yang memiliki kontraindikasi. Hasill penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang melibatkan 1500 penderita skabies berumur 2 bulan hingga 101 tahun. Penggunaan permetrin 5% sebagai pengobatan skabies secara global sudah mendapat persetujuan Food and Drugs Administration (FDA) sejak tahun 1989. Krim permetrin digunakan dengan mengoleskannya ke seluruh permukaan kulit dari leher hingga ujung kaki. Hal tersebut bertujuan untuk membunuh seluruh tungau yang berada di stratum korneum dan di permukaan kulit. Pengolesan krim permetrin perlu diperhatikan di daerah predileksi skabies seperti bokong, area intertriginosa termasuk lipatan intergluteal, dan subungual serta lipatan tubuh lainnya agar tidak luput dari pengobatan. Pengolesan permetrin ke seluruh tubuh juga bertujuan untuk membunuh tungau yang berada di lesi subklinis. Permetrin dianjurkan untuk dipakai pada malam hari selama 8-12 jam dan bila terhapus sebelum waktunya, maka krim harus dioleskan lagi. Keesokan harinya penderita harus mandi memakai sabun untuk membilas krim permetrin dari kulit. Pengolesan permetrin ke seluruh tubuh menimbulkan perasaan tidak nyaman karena rasa lengket terutama saat penderita berkeringat. Pada penderita skabies yang mendapat permetrin, ditemukan efek samping sekitar 1-10% namun efek samping tersebut tergolong ringan dan hilang dengan sendirinya. Efek samping yang paling sering muncul adalah rasa terbakar dan menyengat pada sekitar 10% penderita. Sekitar 7% penderita mengalami rasa gatal setelah pengolesan krim permetrin. Efek samping lainnya adalah rasa panas, kemerahan dan iritasi pada sebagian kecil penderita skabies. Permetrin memiliki kontraindikasi terhadap orang yang memiliki hipersensitivitas terhadap permetrin, piretroid, dan piretrin karena dapat menyebabkan sensasi terbakar, pedih, dan kemerahan namun hanya bersifat sementara. Strong et al80 melakukan systematic review terhadap 22 randomized clinical trial mengenai terapi skabies yang mengikut sertakan 2676 penderita. Obat topikal yang digunakan adalah benzil benzoat, krotamiton, dekametrin, gama benzen heksaklorida, permetrin, synergized natural pyrethrin, sulfur, dan ivermektin oral. Sebanyak 18 uji klinis membandingkan satu jenis obat dengan obat lainnya (satu atau lebih), satu uji klinis membandingkan ivermektin dengan plasebo, tiga uji klinis membandingkan terapi skabies yang berbeda, dan satu uji klinis membandingkan dua vehikulum berbeda dari satu jenis obat. Tindak 70 lanjut pengobatan dari ke-22 uji tersebut berkisar tujuh hari sampai satu bulan. Semua studi merekomendasikan terapi kepada seluruh anggota keluarga serumah atau kontak dekat yang waktunya bersamaan dengan terapi pada penderita skabies. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan dan mencegah reinfestasi. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan terapi dijaga tetap sama pada setiap subjek misalnya keharusan mandi setiap hari dan dekontaminasi barang-barang sekitar penderita misalnya pakaian. Jika terdapat kombinasi pengobatan dengan herbal atau obat tradisional lain dimasukkan kriteria eksklusi. Dari systematic review tersebut, diperoleh tiga hal penting. Pertama, permetrin topikal lebih efektif dibandingkan ivermektin oral (dua uji klinis, 140 subjek), krotamiton (dua uji klinis, 194 subjek), dan gama benzen heksaklorida (lima uji klinis, 753 subjek). Kedua, permetrin unggul dalam mengurangi pruritus persisten yang biasa dialami oleh penderita skabies selama dan sesudah terapi dibandingkan krotamiton (satu uji klinis, 94 subjek) atau gama benzen heksaklorida (dua uji klinis, 490 subjek). Ketiga, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara efektivitas permetrin (piretroid sintetik) dengan agen topikal berbasis piretrin alami (satu uji klinis, 40 subjek), atau antara permetrin dengan benzil benzoat (satu uji klinis, 53 subjek). Strong et al81 menyimpulkan bahwa untuk sediaan topikal, permetrin merupakan skabisida paling efektif, sedangkan untuk terapi oral adalah ivermektin. Faktor yang dapat memengaruhi keberhasilan atau rekurensi infestasi pasca pengobatan adalah pemakaian krim permetrin kurang dari 12 jam, pemakaian yang tidak merata ke seluruh tubuh terutama di bawah kuku, dan reinfestasi tungau akibat penularan dari penderita yang tidak menunjukkan gejala klinis. Berdasarkan hasil penelitian ini masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai manajemen terapi skabies terbaik dalam lingkup institusi atau level komunitas. Permetrin adalah insektisida yang efektif untuk mengobati skabies namun obat tersebut masih memiliki kelemahan yaitu rasa lengket ketika dioleskan di kulit dan terdapatnya efek samping berupa gatal dan rasa panas atau sensasi terbakar. Pengolesan permetrin ke seluruh tubuh, terutama di daerah tropis menimbulkan rasa tidak nyaman apalagi ketika penderita berkeringat. Sehubungan dengan hal tersebut, Sungkar et al81 mencoba mengobati skabies dengan mengoleskan permetrin hanya di lesi saja selama 10 jam. Untuk menghilangkan tungau yang berada di permukaan kulit, penderita diharuskan mandi dua kali sehari 71 memakai sabun. Penderita dievaluasi setiap minggu selama 6 minggu dan jika terdapat lesi subklinis yang berubah menjadi lesi klinis, maka lesi tersebut diobati dengan permetrin. Penelitian pendahuluan tersebut dilakukan di sebuah pesantren di Jakarta dengan jumlah subjek 69 penderita skabies yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu satu kelompok mendapat terapi standar berupa pengolesan permetrin ke seluruh tubuh dan satu kelompok lainnya mendapat pengobatan permetrin hanya di lesi saja. Pada evaluasi minggu keempat, angka kesembuhan permetrin pada terapi standar adalah 96% dan pada pengobatan di lesi saja 92% namun pada uji statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna. Pemberian permetrin di lesi saja lebih disukai penderita dibandingkan pengobatan ke seluruh tubuh karena Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan cuaca yang panas dan lembab sehingga tubuh sering berkeringat dan pengolesan krim membuat kulit menjadi tidak nyaman. Efek samping yang timbul pada penggunaan di lesi saja lebih ringan dibandingkan pengolesan krim ke seluruh tubuh yaitu rasa gatal dan panas namun durasinya singkat. Hasil penelitian Sungkar et al81 tersebut belum dapat digeneralisasikan karena hanya berupa penelitian pendahuluan yang perlu dilanjutkan dengan penelitian skala besar dalam bentuk randomized clinical trial. Gambar 15. Perbaikan Klinis skabies setelah Diterapi dengan Permethrin 72 Ivermektin Ivermektin merupakan derivat makrolid semisintetik yang menghambat gamma-aminobutyric-acid pada neurotransmitter sehingga menyebabkan paralisis parasit. Ivermektin oral efektivitasnya setara dengan permetrin sebagai skabisida sehingga menjadi alternatif untuk terapi skabies karena lebih mudah ditoleransi tubuh, tidak menyebabkan iritasi kulit, dan tidak menunjukkan efek samping sistem saraf pusat karena molekulnya tidak menembus sawar darah otak. Ivermektin memiliki potensi baik dalam menggantikan terapi topikal skabies untuk penderita yang tidak nyaman dengan pengobatan topikal atau dengan tingkat kepatuhan pemakaian yang rendah, misalnya tidak dapat mengoleskan obat ke seluruh permukaan kulit karena alasan tertentu. Selain itu penerimaan obat oral umumnya lebih baik dibandingkan topikal untuk penderita skabies yang tinggal di daerah minim air bersih untuk mandi atau kamar mandi yang tidak memadai, misalnya di pemukiman kumuh atau daerah sulit air. Di Indonesia, ivermektin belum digunakan untuk pengobatan skabies maupun penyakit parasitik lainnya. Ivermektin oral efektif untuk mengobati skabies dan biasanya digunakan untuk skabies krustosa atau pada saat terjadi wabah di suatu institusi. Pengobatan masal untuk mengatasi wabah skabies di Pulau Solomon menunjukkan bahwa ivermektin oral berhasil menurunkan prevalensi skabies sebanyak 24% bersamaan dengan menurunnya prevalensi impetigo dan haematuria.17 Ribeiro et al82 meneliti efektivitas ivermektin oral sebagai profilaksis terhadap skabies pada narapidana di suatu penjara Brazil pada tahun 2005. Ivermektin oral dengan dosis 300µg/kg perhari selama seminggu efektif untuk profilaksis skabies di lingkungan seperti penjara. Manjhi et al83 menguji efektivitas ivermektin (200µg/kgBB) dosis tunggal, permetrin 5%, gama benzena heksaklorida 1%, dan benzil benzoat 25% terhadap 240 penderita skabies. Semua obat topikal diberikan dalam satu kali pemakaian. Evaluasi dilakukan pada akhir minggu ke-1 dan minggu ke-6. Parameter efektivitas obat adalah perbaikan pruritus yang dibagi dalam 3 kategori yaitu ringan, sedang, dan berat berdasarkan VAS. Keparahan lesi yang juga dibagi dalam 3 kategori. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa efektivitas ivermektin, permetrin, gama benzen heksaklorida, dan benzil benzoat dalam mengurangi keparahan pruritus adalah 85%, 90%, 73 75%, dan 68,33%. Efektivitas dalam mengurangi lesi dari keempat obat tersebut adalah 80%, 88,33%, 71,66%, dan 65%. Permetrin 5% paling efektif dibandingkan kedua obat topikal lainnya (p<0,05) dan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara efektivitas permetrin dengan ivermektin (p>0,05). Manjhi et al83 menyimpulkan bahwa ivermektin oral bermanfaat dan lebih cost-effective sebagai terapi skabies pada komunitas atau manajemen epidemi skabies, untuk terapi kasus skabies dengan komplikasi, resistensi permetrin, atau intoleransi terhadap skabisid topikal lainnya. Terapi Herbal untuk Skabies Skabies memiliki sejarah panjang dalam kehidupan baik pada manusia maupun hewan. Dahulu skabies diobati dengan obat tradisional atau herbal namun dengan semakin majunya teknologi dan ilmu kedokteran, semakin berkembang obat antiskabies modern yang lebih banyak digunakan dibandingkan obat herbal. Meskipun demikian, obat herbal masih terus diteliti dan dikembangkan. Luo et al84 meneliti salah satu jenis tanaman yang sering digunakan untuk terapi penyakit akibat tungau terutama pada hewan yaitu Ligularia virgaurea yang termasuk family compositae atau astraceae. L.virgaurea adalah tanaman gulma di padang rumput dataran rendah Qinghai, Tibet bagian timur dan sekitarnya. Luo et al84 meneliti efek akarisida ekstrak L.virgaurea terhadap tungau skabies secara in vitro. S.scabiei diisolasi dari kelinci yang menderita skabies yaitu dari lesi di kaki dan telinga. Tungau dikumpulkan di cawan petri dan diinkubasi pada suhu 35OC selama 30 menit. L.virgaurea dibuat menjadi ekstrak dengan berbagai konsentrasi dari 0,25g/ml sampai 2g/ml. Dari setiap konsentrasi ekstrak, diambil 0,5ml lalu diteteskan ke cawan petri melalui kertas saring. Sebanyak 10 spesimen yang diuji kemudian diinkubasi pada suhu 25OC dengan kelembaban 75% selama 0,5-6 jam. Tiga spesimen sebagai kontrol negatif (tidak diterapi) hanya diberikan air suling dan gliserin 10% serta satu spesimen sebagai kontrol positif diberikan ivermektin 2%. 74 Hasil penelitian bervariasi sesuai konsentrasi ekstrak. Konsentrasi ekstrak tertinggi yaitu 2g/ml berhasil membunuh tungau 100%. Pada kontrol negatif yang hanya diberi gliserin 10%, seluruh tungau tetap hidup setelah terapi 6 jam. Pada kontrol positif dengan ivermektin 2%, sebagian tungau masih hidup setelah terapi 6 jam. Selain L.virgaurea, tanaman yang juga bersifat akarisida adalah Eupatorium adenophorum dan Psoroptes cuniculi. Semua penelitian tersebut masih secara in vitro sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut secara in vivo yang dimulai dengan binatang. 75 BAB XIII Skabies Krustosa Pada skabies terdapat bentuk khusus yang manifestasi klinisnya berbeda dengan skabies klasik yaitu skabies krustosa (crusted scabies). Dahulu skabies krustosa disebut sebagai skabies norwegia karena ditemukan pertama kali pada pengidap lepra/kusta/morbus hansen di Norwegia. Skabies krustosa disebabkan oleh tungau yang sama dengan skabies klasik yaitu Sarcoptes scabiei varietas hominis namun manifestasi klinisnya berbeda. Boeck berhasil mentransfer tungau hidup dari penderita skabies krustosa ke relawan sehat dan belum pernah menderita skabies untuk mengetahui patogenesis skabies krustosa. Hasil eksperimen tersebut adalah tungau skabies dapat hidup pada relawan namun bermanifestasi sebagai skabies klasik, bukan skabies krustosa. Skabies krustosa merupakan sumber utama wabah skabies di rumah sakit, panti jompo dan rumah sakit jiwa. Fakta tersebut didukung bukti dari studi molekular yang menunjukkan bahwa genotip tungau dari hospes yang tinggal di satu rumah lebih homogen daripada genotip tungau dari rumah berbeda walaupun berada dalam satu komunitas.85 Skabies krustosa biasanya terjadi pada penderita immunocompromised misalnya penderita yang sedang menjalani pengobatan immunosupresif jangka panjang, transplantasi organ, terinfeksi HIV atau infeksi virus yang menyerang sel limfosit T. Kelompok lain yang rentan terinfestasi skabies krustosa adalah mereka yang memiliki mental terbelakang atau cacat fisik seperti kelumpuhan, neuropati sensoris atau neuropati seperti pada morbus hansen terutama lepra lepromatosa. Jumlah tungau yang menginfestasi satu penderita skabies krustosa banyak sekali; bervariasi dari ribuan hingga jutaan tungau sedangkan pada skabies klasik biasanya hanya terdapat sekitar 11 tungau pada satu penderita. Pada skabies krustosa terdapat sekitar 4.700 tungau tiap 1gram kulit hiperkeratosis yang terkelupas dan tungau juga ditemukan pada barang-barang di sekitar penderita. Karena jumlah tungau yang sangat banyak maka skabies krustosa sangat infeksius dan sering menyebabkan wabah di institusi tempat penderita dirawat. 76 Gejala skabies krustosa adalah lesi berkrusta tebal dan di sel keratin lapisan stratum korneum terjadi penebalan lapisan yang abnormal (hiperkeratosis) bercampur dengan ribuan telur, kotoran, dan kulit S.scabiei. Lesi pada skabies krustosa dapat tersebar di seluruh permukaan kulit atau fokal yang terbatas di kulit kepala, wajah, telapak tangan atau telapak kaki. Keluhan gatal jarang dijumpai bahkan biasanya tidak ada rasa gatal sama sekali. Terdapat perbedaan manifestasi klinis skabies klasik dengan skabies krustosa (Tabel 2). Tabel 2. Perbedaan Manifestasi Klinis Skabies Klasik dan Krustosa61 Karakteristik Skabies Klasik Skabies Krustosa Lesi Papul, vesikel, pustul Hiperkeratosis tebal dan luas Predileksi Sela jari tangan dan kaki, lipatan Telapak tangan dan kulit seperti siku, ketiak, payudara, kaki, kulit kepala, dan bokong, bahu, punggung, telinga, siku dan lutut inguinal dan genital Pruritus Hebat, terutama malam hari Lebih ringan Jumlah tungau <20 tungau dari seluruh permukaan kulit 4000 tungau per gram kulit terutama di lesi berkrusta Data epidemiologi menunjukkan banyaknya kasus skabies krustosa yang diderita oleh penderita dengan defek neurologis mayor seperti sindrom down atau neuropati akibat morbus hansen dan diabetes melitus. Fakta tersebut menjadi salah satu dasar teori proliferasi masif S.scabiei pada skabies krustosa yaitu akibat terabaikannya penderita yang mengalami kerusakan persepsi sensorik terhadap rangsang gatal dan defisiensi sistem imun. Defek sensorik pada penderita kusta mencegah eliminasi efektif tungau karena dengan garukan dapat membuang tungau secara mekanik. Selain itu infeksi sekunder oleh bakteri juga menghasilkan pus yang bersifat akarisida sehingga dapat membatasi jumlah tungau. Karena banyaknya tungau pada penderita skabies krustosa, tidak mengherankan jika sering terjadi epidemi pada orang-orang di sekitarnya. Penyebab kematian pada penderita skabies krustosa adalah infeksi sekunder oleh bakteri.61 77 Skabies krustosa berhubungan dengan efektivitas sistem imun yang rendah. Penderita umumnya memiliki kadar serum IgA yang rendah, kadar IgE dan IgG tinggi serta eosinofilia perifer. Kadar serum IgA yang rendah berhubungan dengan kadar sekretori IgA di kulit dan menjadi faktor predisposisi serta mendukung lingkungan kondusif untuk infestasi skabies. Kemungkinan lain adalah kerentanan hospes yang unik atau spesifik terhadap tungau. Hipersensitivitas kulit terhadap tungau juga merupakan faktor predisposisi manifestasi yang tidak biasa.62 Skabies krustosa lebih menonjol pada penderita kusta lepromatosa dibandingkan tipe kusta lainnya akibat defisiensi imunologi pada penderita kusta terutama tipe lepromatosa. Penderita kusta lepromatosa biasanya mendapat terapi kortikosteroid sehingga semakin menekan sistem imun. Jumlah tungau lebih banyak pada penderita kusta lepromatosa, tetapi tidak ada perbedaan bermakna pada jumlah tungau diantara ketiga tipe kusta. Diagnosis Diagnosis klinis skabies krustosa ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan tipe distribusi lesi karena jelas dan khas, namun diagnosis pasti tetap berdasarkan penemuan tungau dari kerokan lesi. Karakteristik skabies krustosa adalah lesi kulit berkrusta, hiperkeratosis, berskuama, rasa gatal ringan atau bahkan tidak ada keluhan gatal. Lokasi tersering di tangan, kaki, siku, dan ketiak. Skuama berwarna khas seperi creamy colour. Kerokan kulit untuk diagnosis skabies krustosa dilakukan dengan cara berikut. Mula-mula identifikasi lokasi lesi berkrusta yang ditandai dengan kulit menebal dan berskuama lalu dilakukan desinfeksi menggunakan alkohol 70%. Secara lembut kulit dikerok menggunakan skalpel tajam dengan membentuk sudut 90 derajat.85 Perlu diperhatikan bahwa pada saat melakukan kerokan, kulit tidak boleh berdarah karena dapat menimbulkan komplikasi infeksi. Hasil kerokan kulit ditampung di wadah misalnya cawan petri. Jika lokasi kulit tersebut benar berkrusta, maka akan mudah dikumpulkan. Kerokan kulit jangan dilakukan terburu-buru, makin banyak sampel yang dikumpulkan, semakin meningkat ketepatan diagnosis. Selanjutnya kirim sampel kerokan kulit ke laboratorium untuk diperiksa. Jika pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan tungau maka diagnosis pasti skabies dapat ditegakkan namun jika hasil pemeriksaan negatif, belum menyingkirkan 78 diagnosis dan pemeriksaan perlu diulang dari beberapa lesi yang spesifik untuk skabies krustosa.62 Untuk menegakkan diagnosis krustosa penting untuk mencermati rekam medis. Penderita yang pernah atau sedang terinfestasi skabies krustosa rentan mengidap penyakit seumur hidupnya. Penderita tersebut sering dirawat di rumah sakit karena skabies krustosa sering kambuh. Oleh karena itu, penting untuk membaca rekam medik secara teliti untuk mengetahui riwayat diagnosis dan rawat inap serta mengetahui riwayat keparahan penderita skabies krustosa. Penderita skabies krustosa merupakan sumber penularan, oleh karena itu jika terjadi wabah skabies atau riwayat skabies berulang di keluarga maka perlu mencurigai kemungkinan skabies krustosa. Diagnosis banding skabies krustosa umumnya adalah penyakit kulit lain yang bermanifestasi sebagai hiperkeratosis di telapak tangan dan telapak kaki. Diagnosis bandingnya adalah psoriasis, keratoderma blenorrhagikum, keratosis folikularis, dermatitis ekzematosa kronik, pitiriasis rubra pilaris, limfoma, dan eritroderma berkrusta.61 Pengobatan Terapi skabies krustosa adalah menggunakan krim permetrin 5% atau gama benzena heksaklorida 1%. Cara pemakaiannya sama dengan pengobatan skabies klasik perlu disampaikan bahwa krim dioleskan bukan hanya dari leher ke bawah namun ke seluruh tubuh termasuk kepala, bagian belakang telinga, wajah, telapak tangan, telapak kaki dan kulit di bawah kuku kaki. Skabies krustosa biasanya tidak langsung sembuh dengan satu kali pengobatan memerlukan 3-4 kali pengobatan hingga penderita benar-benar dinyatakan sembuh dan tidak lagi ditemukan tungau.61 Hal penting terkait pengobatan skabies krustosa adalah pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi sekunder oleh bakteri yang sering menyertai atau bila ada komorbid. Obat keratolitik seperti krim asam salisilat 5-10% dapat digunakan sebagai tambahan terapi skabisida. Dengan pemakaian keratolitik yang tepat, krusta tebal akan melunak dan lebih mudah mengelupas.61 Untuk meningkatkan efektifitas obat digunakan skala penilaian untuk penderita skabies krustosa. Skala tersebut dikembangkan pada tahun 2002 berdasarkan pemeriksaan kulit lalu diklasifikasikan 79 ke dalam kategori ringan, sedang, dan berat. Aspek yang dinilai meliputi distribusi dan luas krusta, ketebalan krusta, derajat fisura dan pioderma, serta riwayat episode sebelumnya. Nilai 4-6 dikategorikan derajat 1, nilai 7-9 derajat 2, dan nilai 10-12 derajat 3.61 Distribusi dan Luas Krusta 1. Pergelangan tangan, sela jari, dan telapak kaki (<10% luas area permukaan tubuh) 2. Sampai ke lengan bawah, tungkai bawah, bokong, badan, atau 10-30% luas area permukaan tubuh) 3. Sampai ke kulit kepala atau >30% luas area permukaan tubuh Krusta 1. Krusta ringan (ketebalan<5mm) 2. Sedang (ketebalan 5-10mm) 3. Berat (ketebalan>10mm) Kondisi Kulit 1. Tidak ada fisura atau pioderma 2. Pustul multipel dan atau rasa nyeri dan atau fisura dangkal 3. Fisura dalam sampai perdarahan dan eksudat purulen yang luas Riwayat Episode Sebelumnya 1. Tidak pernah mengalami 2. Dirawat di rumah sakit 1-3 kali karena skabies krustosa ATAU depigmentasi di siku dan lutut 3. Dirawat di rumah sakit lebih dari 4 kali karena skabies krustosa ATAU depigmentasi sampai atas tungkai, punggung atau terdapat riwayat iktiosis Penderita skabies krustosa sering merasa menderita seumur hidupnya karena stigma dan sering menghindari petugas kesehatan. Oleh karena itu, agar terapi berhasil terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi kekuatiran penderita karena rasa kuatir dapat menghambat kepatuhan berobat. Penderita kuatir ditempatkan di bangsal yang terisolasi di rumah sakit, merasa membebani keluarga karena seluruh 80 anggota keluarga harus diobati, kuatir mengeluarkan biaya besar dan kuatir pengobatan akan gagal lagi karena pernah mengalami kegagalan terapi. Tindakan kedua adalah bekerja sama dengan penderita dan keluarga untuk merencanakan pengobatan yang sesuai. Kesalahan yang sering terjadi pada manajemen skabies krustosa adalah petugas kesehatan jarang atau tidak meluangkan waktu untuk mengunjungi keluarga di rumah. Kesalahan yang lain adalah tidak fokus pada protokol klinik pengobatan sebelum membina hubungan yang baik dengan keluarga, tidak menjelaskan secara rinci tentang penyakit, keparahan, dan pentingnya kepatuhan untuk mencegah kekambuhan. Selain itu, petugas kesehatan tidak melakukan pendekatan kepada pembuat keputusan dalam keluarga penderita untuk memastikan kepatuhan pengobatan pada seluruh anggota keluarga. Tindakan ketiga adalah memulai terapi. Idealnya semua penderita skabies krustosa dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan terapi terutama tingkat keparahan 2-3 karena risiko sepsis dan infeksi. Untuk penderita yang pertama kali didiagnosis, penting untuk mencari defisiensi imun atau penyakit lain yang mendasari. Untuk pengobatan skabies krustosa di rumah, terapi topikal harus di bawah pengawasan petugas kesehatan. Pengobatan yang diberikan pada skabies krustosa adalah asam laktat dan krim urea topikal. Cara menggunakan obat tersebut adalah diberikan setiap hari untuk melembabkan kulit namun tidak diberikan bersamaan dengan krim skabisida. Setelah diberikan asam laktat dan krim urea, keesokan harinya penderita mandi dan berendam dalam air hangat lalu digosok dengan spons untuk menghilangkan krusta. Setelah itu diberikan permetrin setiap hari pada minggu pertama. Pada anak di bawah 12 tahun diberikan benzil benzoat yang sudah diencerkan. Terapi tersebut dioleskan setelah mandi dan setelah kulit dikeringkan. Setiap hari pakaian, sprei, sarung bantal, sarung guling, pakaian dan linen lainnya harus dicuci dan dijemur di bawah terik sinar matahari. Pengobatan Seisi Rumah Untuk membangun kepercayaan, pengertian, dan keberhasilan terapi, petugas kesehatan perlu melakukan kunjungan rumah. Penderita skabies krustosa diobati setiap hari selama satu minggu sedangkan orang yang kontak dengan penderita skabies krustosa hanya 81 diberikan skabisida pada hari pertama. Lini pertama terapi skabies krustosa sebagai berikut. 1. Permetrin 5%. Diberikan untuk penderita skabies krustosa berusia lebih dari 2 bulan sampai dewasa. Krim dioleskan tipis-tipis ke seluruh tubuh termasuk kepala dan wajah kecuali mata dan mulut, lalu dibiarkan selama semalam. Untuk bayi berusia kurang dari 2 bulan dapat diberikan krotamiton dan tidak boleh diberikan permetrin. 2. Benzil benzoat. Obat ini membunuh tungau lebih cepat daripada permetrin sehingga lebih sering dipilih, akan tetapi benzil benzoat mempunyai efek samping berupa sensasi seperti terbakar yang akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu 15 menit sehingga penderita harus diedukasi sebelum pemakaian dan dicoba sedikit dulu di kulit. Benzil benzoat diberikan kepada anak berusia 2-12 tahun dan orang dewasa. Penderita skabies yang berusia kurang dari 2 tahun dapat diberikan permetrin dan yang berusia kurang dari 2 bulan diberikan krotamiton. Benzil benzoat dioleskan dari leher kebawah dan dibiarkan selama semalam. Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan pada Pengobatan Skabies Krustosa Hubungan yang baik antara petugas kesehatan dan penderita serta keluarga dapat dibangun dengan meluangkan waktu untuk berbicara dan menjelaskan manfaat pengobatan yang akan diperoleh seperti mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas tidur. Penjelasan terutama ditujukan pada anggota keluarga senior yang sering menjadi pembuat keputusan pada keluarga. Pilih hari yang tepat dimana semua anggota keluarga dapat hadir misalnya sore hari setelah pulang sekolah atau bekerja. Pengobatan dimulai pada kunjungan pertama dengan memberikan contoh mengoleskan krim dengan cara yang benar. Pada anak kecil umumnya merasa takut pada pengobatan awal sehingga pengobatan sebaiknya dimulai dari orang yang lebih tua atau ibu yang memberikan obat kepada anaknya. Anggota keluarga diminta untuk saling membantu mengoleskan atau mengingatkan kapan harus memakai obat. Selanjutnya adalah meyakinkan penderita bahwa apa yang dilakukan petugas kesehatan bersifat rahasia karena setiap keluarga mungkin tidak ingin anggota keluarganya diketahui sedang menjalani terapi skabies. Sebelum memulai terapi, penderita harus diberikan informed consent. Pengolesan skabisida kepada anak sebaiknya dilakukan oleh 82 orang tuanya. Krim yang dioleskan harus dipastikan melapisi sela jari tangan dan kaki, di bawah kuku, telapak kaki, dan bokong. Obat dibiarkan semalam dan jika terbasuh air, pengolesan perlu diulang. Penggunaan krim skabisida ke seluruh tubuh selama semalam adalah tidak nyaman sehingga penderita dan keluarga perlu diyakinkan bahwa kunci keberhasilan pengobatan adalah kepatuhan menjalankan pengobatan sesuai aturan. Setelah itu, perlu dilakukan skrining pada setiap anak dan anggota keluarga lainnya. Catat orang yang menderita skabies lalu dirujuk ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan terapi. Jika keluarga setuju, rencanakan untuk kerja bakti serumah. Tiap anggota keluarga dihimbau untuk menjemur baju, seprai, dan kasur di bawah terik sinar matahari secara rutin. Perencanaan jangka panjang penting untuk memelihara rencana pencegahan kekambuhan agar penderita dan keluarga bebas dari skabies. Pastikan ketersediaan obat sesuai kebutuhan penderita karena putus obat dapat menjadi penyebab kekambuhan penderita. Terapi profilaksis reguler hanya boleh menggunakan benzil benzoat saja karena penggunaan permetrin sebagai profilaksis reguler dapat menimbulkan resistensi. Penderita sebaiknya tidak berbagi tempat tidur dengan orang lain. Penjelasan terapi berkelanjutan pada skabies krustosa dirangkum dalam Tabel 3. Tabel 3. Terapi Berkelanjutan untuk Skabies Krustosa62 Risiko Kambuh Penilaian dan Keparahan Ringan-sedang - Lokasi kulit berkrusta < 5% luas permukaan tubuh - Nilai skor 0-3 sebelum dirawat Tinggi Pemeriksaan Terapi Pencegahan Ulang Setiap bulan - Penggunaan asam (periksa semua kulit laktat/urea di daerah termasuk bokong) berkrusta setiap hari - Mengoleskan benzil benzoat jika diperlukan setelah terpajan skabies. Awasi pemberian obat - Lokasi krusta di Setiap 2 minggu - Penggunaan asam kaki, bokong, badan (periksa semua kulit laktat/urea di daerah atau > 10% luas termasuk bokong) berkrusta setiap hari permukaan tubuh - Mengoleskan benzil - Skor >3 dan atau benzoat mulai dari depigmentasi kaki leher ke bawah setiap atau punggung atau 2 minggu sisa penebalan kulit yang berskuama/ - Mengoleskan benzil iktiosis benzoat secepatnya setelah terpajan skabies 83 Kekambuhan merupakan hal yang biasa terjadi pada skabies krustosa. Oleh karena itu, mendeteksi, memberikan pengobatan segera, dan tidak mudah menyerah merupakan hal yang perlu dipersiapkan. Jangan lupa melibatkan keluarga dalam pemecahan masalah karena keluarga adalah bagian dari pengobatan. Penyebab tersering kekambuhan adalah tidak semua anggota keluarga mendapatkan dan melakukan terapi, tidak atau lupa mengoleskan daerah yang terinfestasi terutama daerah bokong, kehabisan stok krim untuk pengobatan, serta kunjungan tamu yang ternyata juga mengidap skabies. Kedaan tersebut dapat menyebarkan skabies ke seisi rumah sehingga ketersediaan krim skabies dan promosi pengobatan kepada keluarga perlu lebih ditingkatkan. Jika skabies masih terus ada laporkan ke tim penanggulangan agar dapat dipantau lebih ketat. Apabila sampai tahap ini pengobatan belum juga berhasil jangan menyalahkan keluarga. Setiap tindakan pengendalian yang tidak berhasil harus diperbaiki segera dan bila salah satu penyebab kegagalan teridentifikasi, maka diperlukan pemberian skabisida ulang. Selain itu tingkat kesadaran terhadap kebersihan, keterlibatan penduduk, peran pemantauan pemerintah, penyediaan air bersih, dan kegagalan program kesehatan berpengaruh besar terhadap peningkatan kasus skabies. Dekontaminasi Pada skabies krustosa dekontaminasi sangat penting karena jumlah tungau sangat banyak sehingga berpotensi tinggi menjadi media penularan. Pada kasus skabies krustosa di sebuah rumah sakit di Glasgow dikumpulkan sampel debu dari pakaian tidur penderita, seprai, lantai, dan furnitur sebanyak dua kantung lalu dihitung jumlah S.scabiei berikut telur yang ditemukan per gram debu. Hasil sampel debu yang dominan berisi serpihan epitel kulit manusia berikut krusta didapatkan 6312 tungau per gram debu. Hampir semua tahap perkembangan tungau, mulai dari telur hingga tungau betina gravid ditemukan pada sampel tersebut dan sebagian besar tungau berada dalam tumpukan epitel. Sampel debu lainnya yang lebih sedikit mengandung serpihan epitel kulit dan krusta diperoleh 472 tungau per gram debu. Tungau dalam sampel debu sudah mati karena tungau tidak dapat bertahan lama setelah terlepas dari hospes. Tungau skabies manusia dapat hidup dan tetap infeksius hingga 96 jam di luar hospes di lingkungan 84 dengan suhu dan kelembaban kondusif namun pada suhu 25OC tungau umumnya mati setelah 24 jam berada di luar hospes.57,61 Petugas kesehatan perlu menginstruksikan cara dekontaminasi yang komprehensif untuk penderita skabies krustosa dan kontak dekatnya sebagai bagian dari terapi. Dekontaminasi perlu dikontrol oleh pihak yang lebih mengerti dan berwenang untuk menjamin terhentinya proses penularan skabies. Seluruh pakaian dan kain yang pernah kontak dengan penderita sebelum dan selama terapi harus disterilkan dengan pemanasan. Sofa, kursi, atau kasur yang dilapisi kain harus disetrika, divakum dan dibersihkan dengan uap panas. Saat mengibaskan kain, tungau dapat berterbangan dan kontak langsung dengan kulit sehingga lebih baik menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, apron, dan masker. Furnitur yang berbahan selain kain misalnya kulit atau plastik, dapat dilap dan disemprot insektisida. Jika menggunakan penyedot debu, misalnya untuk dekontaminasi lantai dan dinding, semprotkan insektisida ke area yang akan dibersihkan agar penyedot debu tidak terinfestasi skabies dan menjadi media penularan. Bagian luar penyedot debu juga harus disemprot insektisida.57,61 85 BAB XIV Komplikasi dan Prognosis Menurut WHO saat ini skabies termasuk dalam daftar penyakit tropis terabaikan (neglected tropical diseases) karena kurangnya kesadaran mengenai dampak morbiditas padahal skabies menurunkan kualitas hidup penderita. Di daerah endemis skabies, infestasi skabies dianggap suatu hal yang lumrah dan telah menjadi bagian hidup sehingga semakin besar prevalensi di suatu area, semakin sedikit dorongan untuk mencari pengobatan. Gatal hebat mengganggu tidur sehingga keesokan harinya penderita mengantuk, pusing dan keluhan akibat kurang tidur lainnya. Lesi skabies juga menurunkan rasa percaya diri pada sebagian besar penderita. Penderita perempuan merasa malu akan kondisinya dan 30% menarik diri dari aktivitas sosial karena tidak percaya diri.86 Komplikasi skabies tidak hanya perasaan tidak nyaman dan tidur yang tidak nyenyak karena gatal, namun terdapat keadaan lain yang lebih berbahaya. Di kulit yang mengalami ekskoriasi, dapat terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Bakteri juga dapat berasal dari tungau itu sendiri karena Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A dapat diisolasi dari tungau dan feses tungau. Komplikasi infeksi sekunder oleh bakteri harus diperhatikan terutama di daerah iklim tropis dan jarang turun hujan. Apabila telah dicurigai infeksi bakteri, maka pemberian antibakteri topikal atau sistemik harus diberikan secepatnya. Hal tersebut disebabkan pioderma akibat infeksi bakteri dapat meluas, invasif bahkan fatal. Dapat terjadi limfangitis, limfadenitis, selulitis bahkan sepsis. Di Gambia dilaporkan terdapat hubungan antara septikemia fatal pada bayi yang disebabkan oleh S.aureus dengan ruam kulit yang dicurigai skabies. Studi pada masyarakat Aborigin Australia 80% hasil kultur dari pioderma pada penderita skabies adalah Streptococcus grup A.Pada penelitian Romani et al19 di Fiji diperoleh hasil bahwa skabies berasosiasi kuat dengan impetigo. Penelitian tersebut dilakukan di daerah perkotaan dan pedesaan yang mencakup 75 komunitas. Berdasarkan survei nasional di Fiji, terdapat 93,1% population attributable risk dan skabies menjadi risiko terjadinya impetigo. Romani et al19 mengatakan bahwa anak-anak merupakan populasi yang paling rentan mengalami skabies dan impetigo, terutama pada rentang usia 5-9 tahun namun 86 tidak ada kelompok umur yang bebas dari skabies dan impetigo. Skabies dan impetigo memiliki prevalensi tinggi di setiap wilayah geografis, gender dan kelompok etnis di Fiji. Infeksi sekunder dapat memicu komplikasi sistemik yang berat misalnya penyakit ginjal dan penyakit jantung rheumatik. Sekitar 50% kasus glomerulonefritis akut pasca-infeksi Streptococcus disebabkan infeksi kulit. Wabah glomerulonefritis akut pasca-infeksi Streptococcus biasanya terjadi bersamaan dengan wabah skabies. Penyakit ginjal akut yang asimtomatik juga sering timbul bersama dengan wabah skabies. Cedera di ginjal pada masa anak-anak dapat mengakibatkan penyakit ginjal kronik pada masa dewasa. Pencegahan skabies di masyarakat tanpa pengobatan infeksi sekunder oleh bakteri dapat mengurangi angka kejadian infeksi kulit oleh Streptococcus dan haematuria. Glomerulonefritis akut pasca-infeksi Streptococcus dapat berkembang menjadi penyakit ginjal kronik di kemudian hari. Suatu penelitian yang dilakukan di Taiwan dengan desain kohort retrospektif mengemukakan bahwa terdapat peningkatan risiko penyakit ginjal kronik pada penderita skabies. Pada penelitian tersebut, sebanyak 5071 penderita skabies diikuti selama 5 tahun untuk mengetahui kejadian penyakit ginjal kronik (PGK). Hasilnya menunjukkan insidens PGK adalah 9,66 per 1000 orang per tahun dengan hazard ratio sebesar 1,34. PGK meningkatkan risiko rawat inap di rumah sakit, morbiditas serta mortalitas. Penderita PGK dapat berkembang menjadi end-stage renal disease (ESRD) yang menimbulkan beban berat karena memerlukan dialisis rutin atau transplantasi ginjal.87 Komplikasi skabies lainnya adalah hiperpigmentasi atau hipopigmentasi akibat inflamasi. Selain itu dapat pula terjadi pruritus pasca-skabies yaitu pruritus yang terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu setelah infestasi primer akibat hipersensitivitas terhadap tungau dan produk tungau. Dokter harus dapat membedakan pruritus pasca-skabies dengan gagal terapi untuk menghindari pemberian skabisida yang berlebihan. Pruritus pascaskabies dapat diatasi dengan antihistamin oral atau kortikosteroid dan fototerapi dapat dicoba pada kasus yang resisten. Infestasi skabies dapat menyebabkan stres emosi yang serius, meliputi perasaan malu, bersalah, dan delusi parasitosis persisten. 87 Penyakit kulit dapat menyebabkan masalah dalam hubungan personal dan pasangan seksual karena adanya lesi di area genital. Oleh karena itu, konsekuensi psikososial penyakit kulit kronik merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan. Konsekuensi psikososial tersebut mempunyai efek langsung terhadap kualitas hidup penderita. Kualitas hidup adalah multidimensi yang belum dapat diukur secara langsung, tetapi dapat diperkirakan dari faktor-faktor yang memengaruhi. Untuk membatasi masalah psikososial penderita dianjurkan memakai baju yang menutupi lesi. Hal tersebut lebih sering dilakukan penderita perempuan dibandingkan laki-laki. Daerah Timur Laut Brazil.88 memiliki iklim yang panas dan kering sehingga penduduk lebih me­ nyukai pakaian terbuka. Laki-laki dan perempuan lebih sering memakai baju tanpa lengan, celana pendek, dan sandal terbuka padahal bagian tubuh yang tidak tertutup baju itulah yang sering menjadi lokasi lesi skabies. Kegiatan aktivitas santai juga terganggu karena jika pergi ke pantai, pakaian yang dipakai biasanya lebih terbuka sehingga memakai baju tertutup akan menarik perhatian orang lain. Penelitian di Sri Lanka menunjukkan bahwa penderita skabies sering dikucilkan sehingga sering marah-marah dan depresi. Hampir seperempat dari penderita skabies mengalami stigma yang membuat mereka malu dan merasa terisolasi dari masyarakat. Cara terbaik pencegahan komplikasi tersebut adalah dengan edukasi kepada penderita untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepatuhan berobat agar lebih cepat sembuh. Komplikasi skabies bukan hanya berhubungan dengan infeksi, tetapi juga berkaitan dengan kerugian ekonomi rumah tangga terutama pada masyarakat yang kurang mampu. Penelitian di daerah rural Meksiko menunjukkan bahwa terdapat pengeluaran rumah tangga yang signifikan terhadap pengobatan skabies yang tidak efektif. Hal tersebut berdampak pada kemampuan membeli kebutuhan pokok seperti makanan untuk keluarga menjadi berkurang. Skabies di lingkungan yang buruk merupakan masalah morbiditas potensial dan sumber beban finansial. Prognosis skabies sangat baik jika diagnosis dan terapi tepat, namun pada penderita immunocompromised atau penderita yang tinggal di panti asuhan atau asrama, angka kejadian infestasi ulang tinggi khususnya pada penderita yang kembali ke lingkungan asalnya yang belum dilakukan eradikasi skabies. 88 BAB XV Pencegahan Skabies Individu hidup di dalam sebuah sistem memiliki hubungan satu sama lain. Di dalam sistem Mandala of Health, individu terdiri atas jiwa, tubuh, dan pikiran. Kesehatan seorang individu akan dipengaruhi oleh keluarga, komunitas, dan kebudayaan setempat. Pencegahan penyakit melihat seluruh aspek tersebut mulai dari faktor biologis hingga sistem kesehatan secara universal. Untuk memahami pencegahan penyakit infeksi, model kesehatan trias host-agent-environment merupakan model termudah yang dapat dipakai. Host adalah hospes yang merupakan penderita baik secara individual maupun kelompok. Agent adalah jenis bakteri, virus, atau parasit yang menyebabkan sakit atau penyakit. Environment adalah faktor lingkungan tempat tinggal yang mempengaruhi kondisi penderita. Intervensi pencegahan penularan penyakit infeksi berfokus pada hubungan ketiga aspek tersebut. Pencegahan penyakit dibagi menjadi pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan primer merupakan pencegahan penyakit yang dilakukan sebelum masa patogenesis, meliputi promosi kesehatan dan perlindungan khusus. Pencegahan sekunder dan tersier dilakukan selama masa patogenesis, saat kuman sudah masuk ke dalam tubuh manusia. Pencegahan sekunder merupakan tahap awal penyembuhan penyakit dan pencegahan dampak berikutnya, meliputi early diagnosis and prompt treatment dan disability limitation, yakni pencegahan komplikasi atau disabilitas akibat skabies dan pengobatan dini menurut standar. Pencegahan tersier berupa rehabilitasi dan mencegah berulangnya atau timbulnya komplikasi lain akibat penyakit utama.89 Promosi Kesehatan Promosi kesehatan merupakan unsur pencegahan primer terpenting. Salah satu definisi promosi kesehatan yang paling sering dikutip adalah menurut Ottawa Charter.90 Definisi tersebut menyatakan promosi kesehatan adalah proses yang menyebabkan masyarakat mampu meningkatkan kontrol dan memperbaiki tingkat kesehatan mereka. Ottawa Charter juga merekomendasikan tiga strategi dasar promosi kesehatan, yaitu advokasi kesehatan 89 untuk menciptakan suasana kondusif demi terciptanya proses promosi, mendorong seluruh komponen masyarakat untuk mencapai seluruh potensi kesehatan dan mediasi perbedaan kepentingan di masyarakat dalam mencapai tingkat kesehatan. Selain tiga strategi dasar tersebut, terdapat lima area prioritas dalam promosi kesehatan. Pertama, mengembangkan kebijakan publik berwawasan kesehatan. Kedua, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan. Ketiga, memperkuat kegiatan berwawasan kesehatan di masyarakat. Keempat, mengembangkan kemampuan individu dan kelima, reorientasi pelayanan kesehatan. Promosi kesehatan meliputi pendidikan kesehatan yang mencakup kesempatan untuk belajar melalui jalur komunikasi untuk meningkatkan pengetahuan terhadap kesehatan. Pendidikan tidak terbatas hanya pada penyampaian informasi kesehatan, tetapi berupaya meningkatkan motivasi, keterampilan, dan rasa percaya diri agar dapat mengambil tindakan untuk meningkatkan kesehatan. Pendidikan kesehatan merupakan upaya pembelajaran yang bertujuan meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan. Pendidikan itu mencakup penyampaian informasi kesehatan secara kognitif, motivasi untuk hidup sehat, peningkatan keterampilan dalam berperilaku hidup bersih dan sehat, serta peningkatan rasa percaya diri untuk mendidik masyarakat atau komunitas di sekitarnya. Pendidikan kesehatan sebaiknya dilakukan secara rutin dan berkala sehingga harus dikoordinasikan dengan dinas kesehatan setempat atau organisasi nirlaba lainnya yang bergerak dalam bidang pencegahan penyakit. Upaya tersebut dilakukan agar setelah pendidikan kesehatan, tingkat pengetahuan dan perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat tetap baik sehingga pengobatan akan menjadi lebih mudah dan mengurangi angka keparahan penyakit. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memberi pendidikan kesehatan kepada masyarakat adalah isi pesan atau materi pendidikan, metode pendidikan, dan media atau alat bantu.90 Materi Pendidikan Pesan atau materi pendidikan sebaiknya disesuaikan dengan masalah kesehatan yang sering terjadi dalam masyarakat dengan tujuan meningkatkan dan memelihara tingkat kesehatan individu dan komunitas mulai dari pencegahan primer, sekunder, hingga tersier. 90 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan materi pendidikan adalah sebagai berikut. Materi yang diberikan berisi perilaku yang mudah dimengerti, dapat diterapkan oleh peserta dan dilakukan dalam kehidupan seharihari. Peserta pada umumnya mengetahui bahwa mencuci tangan dapat mengurangi penularan kuman dan menurunkan angka sakit perut, namun mayoritas belum mengetahui cara mencuci tangan yang baik dan benar. Dengan pemberian informasi dan peragaan yang jelas, peserta diharapkan menerapkan perilaku yang sudah didapat melalui penyuluhan. Materi pendidikan berisi manfaat atau sisi positif setelah penerapan perilaku tersebut. Dasar teori yang kuat dan fakta di lapangan dapat ditampilkan pada saat penyuluhan. Tampilan dapat berupa data penyakit secara umum dan foto manifestasi klinis sehingga peserta dapat memiliki gambaran bahwa jika masyarakat terus melakukan perilaku yang buruk, mereka dapat mengalami hal yang sama. Materi pendidikan perlu menampilkan alasan bahwa perilaku tersebut bermanfaat. Hubungan sebab dan akibat memiliki kaitan erat dalam perjalanan penyakit sehingga manfaat dari perilaku hidup bersih dan sehat harus ditekankan agar peserta mengerti dan mau melakukannya. Penyampaian materi disesuaikan dengan peserta dan kondisi lingkungan. Pemberi materi pendidikan dapat melakukan survei atau penelitian dalam skala kecil sebelum penyuluhan agar data demografik peserta dan penyakit yang paling sering di diperoleh secara lengkap. Materi pendidikan harus disesuaikan dengan data yang didapat sehingga edukasi dapat diakhiri dengan penatalaksanaan secara holistik. Pemberi materi pendidikan harus orang yang ahli dibidangnya dan dipercaya oleh masyarakat. Keahlian penyuluh kesehatan dalam berkomunikasi harus mumpuni agar pesan yang diberikan merupakan informasi paling mutakhir dan dapat diterima masyarakat. Tokoh masyarakat juga dapat dilibatkan untuk meningkatkan kepatuhan para peserta. Penyusunan materi pendidikan perlu memperhatikan bahasa yang sesuai dengan tingkat pendidikan peserta, isi sederhana dan mudah dimengerti. Penyampaian materi secara bertahap dan sistematis dengan mempertimbangkan faktor budaya, sosioekonomi, agama, adat setempat, dan materi lainnya yang mungkin ditanyakan peserta. 91 Metode Pendidikan Metode pendidikan dapat dilakukan melalui sistem tanya jawab perorangan, ceramah, dan diskusi. Tanya jawab perorangan dilakukan antara pemberi materi dengan peserta secara fleksibel dari segi waktu dan tempat namun hanya dapat menjangkau sedikit orang. Metode ceramah dapat menjangkau lebih banyak orang, namun perlu persiapan tempat dan waktu. Perlu diperhatikan bahwa penyampaian materi yang terlalu lama dapat mengurangi konsentrasi peserta. Konseling merupakan kegiatan yang membantu peserta mengambil keputusan atau tindakan dan umumnya bersifat rahasia. Media Media merupakan alat bantu yang dapat dipakai penyuluh untuk menyampaikan materi edukasi kepada peserta; dapat berbentuk media cetak seperti poster, selebaran (leaflet), flipchart, atau berbentuk elektronik seperti slide presentasi. Media perlu dibuat sedemikian rupa agar menarik dan mudah diingat, serta mengandung informasi penting. Media diupayakan untuk dapat diakses secara terus menerus, yakni dapat dibawa pulang atau mudah dilihat di tempat umum, papan pengumuman sekolah, dan di pintu gerbang. Hal tersebut dapat membantu target populasi untuk selalu mengingat dan mulai melakukan perubahan setelah terpapar edukasi. Konsep Pencegahan Penyakit Infeksi Pencegahan skabies memiliki konsep yang sama dengan preventive medicine yang membagi pencegahan penyakit menjadi tiga tingkat yaitu pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier. Pembagian tingkat dilakukan dengan menghubungkan pencegahan penyakit terhadap fase penyakit. Pada fase prepatogenesis upaya yang dilakukan adalah pencegahan primer berupa promosi kesehatan dan perlindungan khusus. Pada fase patogenesis dilakukan pencegahan sekunder berupa diagnosis dini, penatalaksanaan segera dan pembatasan cacat serta pencegahan tersier berupa rehabilitasi.91 Pada fase prepatogenesis dilakukan pencegahan primer dengan cara promosi kesehatan dan perlindungan khusus sedangkan pada fase patogenesis dilakukan pencegahan sekunder dan pencegahan 92 tersier. Pencegahan sekunder berupa diagnosis dini dan perawatan segera serta pembatasan cacat. Pencegahan tersier dilakukan dengan rehabilitasi. Pencegahan Primer Pencegahan primer pada saat fase pre patogenesis skabies dilakukan dengan menjaga kebersihan badan, kebersihan pakaian, tidak menggunakan alat pribadi seperti handuk, seprai, pakaian bersamasama dengan orang lain, dan penyuluhan untuk komunitas. Skabies merupakan penyakit yang dapat dicegah apabila seseorang mempunyai kesadaran untuk menjaga kebersihan diri serta lingkungannya. Cara pencegahan skabies adalah dengan mandi teratur minimal dua kali sehari menggunakan air mengalir dan sabun serta membersihkan area genital dan mengeringkannya dengan handuk bersih. Penderita tidak boleh memakai handuk atau pakaian secara bergantian. Hindarkan kontak yang lama dan erat dengan penderita skabies misalnya tidur bersama di atas satu kasur. Seluruh anggota keluarga atau masyarakat yang terinfestasi perlu diobati secara bersamaan untuk memutuskan rantai penularan skabies. Semua pakaian, sprei, dan handuk harus dicuci dengan air panas minimal 2 kali seminggu untuk mematikan tungau. Selanjutnya pakaian dijemur di bawah terik sinar matahari minimal 30 menit lalu disetrika. Populasi yang tinggal bersama perlu diberikan edukasi mengenai tanda dan gejala skabies, pencegahan penularan, dan mendorong peserta untuk memberikan laporan apabila mengalami keluhan skabies setelah bepergian ke suatu tempat. Dalam menjaga kebersihan tubuh hal yang perlu diperhatikan adalah kebersihan kulit, kebersihan kuku tangan, dan kebersihan kaki. Kebersihan kulit dapat dijaga dengan mandi teratur dua kali sehari menggunakan sabun mandi yang lembut dan tidak membuat kulit kering. Kebersihan kuku tangan dijaga dengan mencuci tangan memakai sabun dan memotong kuku agar patogen tidak bersarang di kuku. Kebersihan kaki perlu diperhatikan karena kaki sering tertutup sepatu dan menjadi media lembab yang baik bagi parasit. Rendahnya pengetahuan mengenai pentingnya kebersihan alat kelamin mengakibatkan banyak remaja putra yang terinfestasi skabies di area tersebut. Jika seseorang menderita skabies di bagian tubuh lain akan sangat mudah untuk berpindah ke alat kelamin yang 93 tidak terjaga kebersihannya karena alat kelamin adalah daerah yang lembab dan tertutup. Pada penelitian di pesantren, lesi skabies pada santri laki-laki paling banyak di skrotum dan penis serta bokong. Hal tersebut disebabkan santri memiliki kebiasaan memakai pakaian berlapis-lapis yaitu celana dalam, celana pendek, celana panjang atau sarung. Oleh karena itu, penting untuk mengajarkan bagaimana cara membersihkan diri dengan benar dan memperbaiki perilaku kebersihan. Skabies menyebabkan gatal dan rasa gatal semakin parah ketika berkeringat. Oleh sebab itu, jika berkeringat misalnya setelah melakukan aktivitas, pakaian harus segera diganti. Lebih baik lagi jika setelah beraktivitas segera mandi dan tidak membiarkan keringat mengering dengan sendirinya. Integritas kulit dapat terganggu jika kebersihan kulit tidak terjaga. Sianturi et al92 mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara perilaku hidup bersih dengan infestasi skabies di sebuah pesantren di Jakarta Timur. Promosi kesehatan yang merupakan pencegahan primer dibutuhkan untuk mencegah wabah skabies. Promosi kesehatan dalam bentuk penyuluhan perlu diberikan kepada masyarakat awam khususnya subjek berisiko tinggi untuk meningkatkan pengetahuan mengenai skabies. Penyuluhan berisi informasi tentang penyebab, gejala dan tanda, pengobatan, penularan, dan pencegahan skabies. Media yang dapat digunakan untuk sosialisasi informasi mengenai skabies dalam upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat dapat berupa buku saku, pamflet atau flyer tentang skabies. Buku saku lebih efektif dibandingkan media lain karena kapasitas informasinya lebih banyak dan bentuknya yang kecil memudahkan pembaca untuk membaca kapan saja dan dimana saja. Penyuluhan juga harus disesuaikan dengan karakteristik sosial budaya dan tingkat pendidikan masyarakat yang akan diberi penyuluhan sehingga penyuluhan tersebut akan bermanfaat. Untuk kelompok anak-anak di sekolah berasrama atau pesantren, penyuluhan sebaiknya diberikan juga kepada orang tua atau wali dan guru sekolah. Anak-anak masih sulit untuk memproses informasi dengan terminologi yang sulit. Oleh sebab itu, perlu digunakan media yang menarik dan mudah dimengerti. Anak-anak yang masih kecil perlu mendapat perhatian lebih dari pengasuh. 94 Teman sebaya lebih berpengaruh terhadap sikap mengenai perilaku pencegahan penyakit dibandingkan metode ceramah terutama jika tutor adalah panutan dalam kelompok tersebut. Teman sebaya mempunyai pengaruh yang sangat tinggi dalam penentuan sikap pada kelompok usia remaja dan dewasa muda karena mereka cenderung mengikuti sikap teman sebaya agar lebih diterima di komunitas tersebut. Pencegahan Sekunder Ketika ada seseorang terinfestasi skabies tindakan yang harus dilakukan adalah mencegah orang di sekitar penderita tertular skabies. Bentuk pencegahan sekunder dilakukan dengan mengobati penderita secara langsung agar tungau tidak menginfestasi orangorang yang berada di sekitarnya. Untuk sementara, hindari kontak tubuh dalam waktu lama dan erat misalnya melakukan hubungan seksual, berpelukan, dan tidur satu ranjang dengan penderita. Orang yang pernah melakukan kontak langsung dengan penderita atau yang sering berada di sekitar penderita perlu diperiksa. Pencegahan Tersier Setelah penderita dinyatakan sembuh dari skabies, perlu dilakukan pencegahan tersier agar penderita dan orang-orang disekitarnya tidak terinfestasi skabies untuk kedua kalinya. Pakaian, handuk, dan sprei yang digunakan lima hari terakhir oleh penderita harus dicuci dengan air panas agar seluruh tungau mati. Cara lainnya adalah semua barang tersebut dicuci bersih dengan deterjen dan dijemur di bawah terik sinar matahari. Barang-barang yang tidak dapat dicuci tetapi diduga terinfestasi tungau diisolasi dalam kantong plastik tertutup di tempat yang tidak terjangkau manusia selama seminggu sampai tungau mati. 95 BAB XVI Pemberantasan Skabies Pada tahun 2013, International Alliance for the Control of Scabies (IACS) mengusulkan tiga langkah pengendalian skabies secara global. Pertama, meningkatkan kesadaran terhadap skabies dan melakukan advokasi kepada pihak yang berpotensi mendanai program pemberantasan skabies. Kedua, meningkatkan penelitian klinis dan epidemiologi untuk memahami efek penyakit dengan lebih baik. Ketiga, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi pengendalian skabies yang efektif. Skabies adalah penyakit yang sering ditemukan di berbagai belahan dunia namun termasuk salah satu penyakit yang terabaikan. Dikatakan terabaikan karena skabies umumnya endemis di daerah tropis di negara berkembang yang terbatas sumber dananya dan lebih memprioritaskan penyakit lain yang mortalitas dan morbiditasnya lebih nyata terlihat. Perkiraan beban global yang disebabkan skabies masih belum tepat dan diperlukan penelitian dengan metode terstandar untuk mengetahui beban global yaitu dampak individu hingga regional meliputi beban kesehatan hingga ekonomi. WHO membuat program khusus menangani penyakit terabaikan di daerah tropis atau yang disebut sebagai program neglected tropical disease. Pada tahun 2014 WHO90 mencantumkan skabies ke dalam daftar neglected tropical disease. Di Indonesia belum terdapat panduan terpadu dan terstruktur untuk manajemen skabies berskala komunitas yang berlaku umum, walaupun kasus skabies yang menimpa komunitas tertutup, seperti pesantren atau endemis daerah tertentu sudah sering ditemui. Dalam mengadaptasi panduan manajemen skabies komunitas, perlu diperhatikan kesamaan target dan fasilitas yang dapat mendukung berjalannya terapi dengan baik dan efektif. Salah satu panduan yang dapat diadaptasi adalah manajemen skabies di komunitas Aborigin Australia. Secara umum program manajemen komunitas yang berlaku di Australia telah berhasil menurunkan prevalensi skabies menggunakan ivermektin dan krim permetrin namun kesinambungan program sulit dicapai karena tingginya mobilitas warga dalam komunitas tersebut. Selain itu, tidak setiap daerah endemis mencapai keberhasilan 96 dengan program yang telah diterapkan. Sebagai contoh, program kesehatan kulit telah dilaksanakan di komunitas terpencil Aborigin di daerah Arnhem Timur, Australia utara sejak tahun 2004.93 Pada program tersebut dibagikan krim permetrin per tahun, skrining rutin skabies, terapi di klinik dan di rumah namun setelah program berjalan selama lima tahun, prevalensi skabies pada anak-anak di daerah tersebut tidak turun. Berdasarkan pengalaman itu, diperlukan studi untuk menilai efektivitas dan efisiensi program manajemen komunitas dalam memberantas skabies sebelum diberlakukan di daerah lain. Vincente et al93 mengevaluasi program kesehatan kulit berbasis masyarakat di dua komunitas Aborigin yang endemis skabies di Australia utara. Terdapat 40 rumah tangga yang turut serta dalam program tersebut dan tiap rumah tangga memiliki minimal satu anak yang menderita skabies. Program tersebut menerapkan terapi permetrin untuk semua anggota rumah tangga bila pada saat kunjungan rumah ditemukan penderita skabies. Selain itu dijelaskan bagaimana cara pengolesan obat yang benar dan dekontaminasi lingkungan sekitar. Kunjungan rumah dilakukan pada hari berikutnya untuk menilai kepatuhan terapi dan pada minggu kedua serta ke-4 pascaterapi untuk menilai insiden skabies pada anggota keluarga terutama pada yang rentan terinfestasi skabies. Pada penelitian tersebut, dari 40 anak yang menderita skabies 32 (80%) diobati dengan krim permetrin. Kepatuhan terapi oleh anggota rumah tangga sangat rendah yaitu hanya 193 dari 440 (44%) anggota rumah tangga yang melaksanakan terapi. Dari 193 orang tersebut, hanya 76% yang melakukan terapi secara lengkap dan sesuai anjuran. Sebanyak 20% dari 40 rumah tangga tidak melakukan pengobatan sama sekali. Anggota keluarga yang menderita skabies sejak awal kunjungan rumah bersedia mengikuti terapi namun yang tidak sakit tidak mematuhi program pengobatan. Hasil studi juga menunjukkan bahwa laki-laki dan individu yang berasal dari rumah dengan beban skabies tinggi menolak menjalani terapi. Hal tersebut mungkin karena masyarakat banyak menderita skabies, penyakit tersebut telah menjadi bagian hidup dan warga umumnya telah sering mengalami kegagalan pengobatan. Dari 185 individu rentan skabies, terdapat 17 kasus baru skabies dalam 4 minggu (9,2%). Peluang untuk tetap bebas skabies hampir enam kali lebih besar bagi individu yang berasal dari rumah tangga yang setiap anggotanya menjalankan terapi. 97 Kemauan untuk menjalankan terapi bagi anggota rumah tangga yang tidak sakit cukup rendah. Faktor-faktor penghambat adalah kesadaran untuk memprioritaskan terapi masih rendah, tidak merasa sakit, atau tidak merasa nyaman dengan pemakaian obat. Efektivitas dan kesinambungan program skabies belum optimal karena rendahnya jumlah anggota rumah tangga yang menjalani terapi dan tingginya penularan penyakit sehingga dibutuhkan program manajemen komunitas endemis skabies yang lebih praktis dan mudah laksana. Program Pencegahan dan Pengendalian Skabies Orang yang tinggal bersama dalam suatu institusi dianjurkan untuk mengikuti program pencegahan skabies meliputi pemeriksaan kulit, rambut, dan kuku sejak mulai tinggal bersama di institusi. Semua kelainan yang ditemukan harus didokumentasi dan ditindaklanjuti. Menurut Nevada State Health Division,45 ada enam elemen penting untuk keberhasilan program pencegahan skabies. Pertama, terdapat peraturan tertulis dan prosedur pencegahan dan pengendalian skabies yang didapatkan dari institusi tempat tinggal. Kedua, perlu pegawai yang dilatih untuk mendeteksi skabies pada warga atau diri sendiri dan untuk melaporkan ke supervisor mereka. Ketiga, terdapat peraturan untuk mendeteksi dini skabies pada warga baru pada saat orang tersebut memasuki institusi dan warga yang dicurigai menderita skabies diisolasi hingga dilakukan pemeriksaan. Keempat, terdapat peraturan yang mengharuskan pegawai baru, terutama yang bekerja di lebih dari satu institusi untuk dilakukan pemeriksaan skabies sebagai bagian dari pemeriksaan awal pra-pegawai. Kelima, terdapat akses ke ahli dermatologi untuk mendiagnosis kasus sulit dan tidak biasa atau bagi mereka yang memiliki respons tidak biasa terhadap pengobatan. Keenam, terdapat dukungan untuk evaluasi dan pengobatan bagi pegawai, warga maupun mantan warga pada keadaan khusus seperti wabah. Manajemen Wabah Skabies di Institusi Pelayanan Kesehatan Tujuan utama dari suatu investigasi wabah adalah untuk mengidentifikasi faktor risiko yang berkontribusi tehadap timbulnya wabah dan mengambil langkah tepat untuk mencegah penularan skabies lebih jauh. Secara umum, suatu wabah didefinisikan sebagai peningkatan insiden skabies diatas baseline dalam periode 98 waktu dan lokasi geografis tertentu (contoh: unit rawat inap, satu lantai, satu departemen, atau seluruh rumah sakit). Tidak ada standar baseline kasus skabies bagi institusi sehingga definisi wabah akan berbeda-beda di tiap fasilitas kesehatan. Perlu ditetapkan definisi untuk menentukan apakah wabah telah terjadi atau untuk mengukur seberapa besar wabah tersebut. Berikut ini adalah contoh definisi wabah di fasilitas kesehatan sesuai panduan: (1) Dua atau lebih kasus terkonfirmasi dengan hasil positif kerokan kulit yang diidentifikasi dari penderita, tenaga kesehatan, atau pengunjung dalam periode dua minggu, atau (2) satu kasus terkonfirmasi positif kerokan kulit dan minimal dua kasus suspek yang diidentifikasi dari penderita, tenaga kesehatan, atau pengunjung dalam periode dua minggu, atau (3) minimal dua kasus suspek yang diidentifikasi dari penderita, tenaga kesehatan, atau pengunjung dalam periode dua minggu. Selain itu, penularan nosokomial juga mungkin terjadi dan perlu dipertimbangkan bila kasus skabies terkonfirmasi ditemukan pada dua atau lebih tenaga kesehatan yang bekerja dalam satu area yang sama di fasilitas kesehatan dalam periode enam minggu dan tidak memiliki kemungkinan pajanan lain. Setelah mengidentifikasi kasus dan faktor risiko, langkah selanjutnya dalam manajemen wabah adalah menentukan definisi kontak. Pada kasus skabies tipikal (non-krustosa), kontak didefinisikan sebagai orang yang pernah bersentuhan langsung (kulit-ke-kulit) dengan penderita skabies; berkontak dengan pakaian, seprai, atau benda lain yang terinfestasi; atau tidur di tempat yang sama dengan penderita skabies selama periode pajanan berlangsung. Pada kasus skabies krustosa atau atipik, definisi kontak juga termasuk semua individu yang berada di lingkungan atau area yang sama dengan penderita skabies selama periode pajanan. Sebagai contoh adalah tenaga kesehatan atau petugas kebersihan yang bekerja di satu unit rawat inap yang sama dengan penderita skabies krustosa, walaupun tidak pernah secara langsung berkontak dengan penderita, namun tetap perlu diperiksa. Bila penderita skabies pernah ditempatkan di beberapa unit sebelum manajemen pemberantasan dimulai, maka tiap unit tersebut dianggap terpajan. Berdasarkan definisi diatas, penting untuk menyamakan persepsi mengenai periode pajanan di fasilitas kesehatan. Periode pajanan wabah adalah periode antara tanggal penderita skabies krustosa mulai dirawat di rumah sakit hingga tanggal kasus terkonfirmasi 99 dan manajemen pemberantasan diterapkan. Jika penderita di rawat inap jangka panjang atau bila penderita tidak dapat diidentifikasi, maka periode tersebut diperpanjang hingga enam minggu sebelum muncul awitan gejala. Langkah selanjutnya dalam manajemen wabah adalah perencanaan untuk alat pelindung personal dan suplai obat. Fasilitas kesehatan dan farmasi perlu menyediakan minimal permetrin 5% atau ivermektin yang jumlahnya mencukupi untuk semua individu yang akan menerima terapi baik kuratif maupun profilaksis. Panduan manajemen pengendalian skabies di rumah sakit atau pelayanan kesehatan yang diterbitkan departemen kesehatan pemerintah Australia Selatan mencakup hal-hal spesifik berikut. Pertama pegawai yang kontak dengan penderita, baju atau spreinya, harus mengenakan gaun sekali pakai berlengan panjang dan sarung tangan. Tindakan tersebut dilakukan sejak diagnosis ditegakkan hingga 24 jam setelah pengobatan selesai. Jika memungkinkan penderita skabies perlu diisolasi hingga sembuh. Jika penderita harus dipindahkan ke fasilitas kesehatan lain, maka institusi yang menerima dan transportasi yang digunakan harus diberitahu mengenai status infestasi skabies. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah deteksi penyakit sangat penting agar penyebaran skabies dapat dicegah dengan mengidentiikasi sumber dan penanganan dini. Selanjutnya, pegawai dan penghuni fasilitas layanan kesehatan yang dicurigai mengalai kontak kulit-ke-kulit dengan penderita utama harus diperiksa untuk mendeteksi skabies. Penderita dan orang yang terbukti kontak dengannya harus mandi menggunakan air hangat dan sabun kemudian mengeringkan tubuh sebelum pengobatan. Penderita perlu mengganti pakaian, handuk, dan sprei segera sebelum dan sesudah pengobatan serta mengoleskan obat topikal dari leher ke bawah meliputi seluruh lipatan kulit, sela jari tangan, sela jari kaki, belahan bokong, genitalia eksterna, pusat, ketiak dan telapak kaki. Hindarkan pengolesan obat di sekitar mata dan membran mukosa. Jika obat terhapus dari kulit semasa pengobatan misalnya saat cuci tangan obat perlu dioleskan lagi di tempat yang terhapus. Pada kelompok anak dan lansia, jika lesi skabies terdapat di daerah lebih tinggi dari leher maka obat dapat dioleskan di lokasi tersebut. Karena tungau dapat melekat di bagian bawah kuku saat penderita menggaruk kulit yang gatal maka kuku tangan penderita perlu 100 diperhatikan. Kuku harus dipotong cukup pendek agar obat dapat dioleskan di kulit bawah kuku. Karena lesi skabies sering terinfeksi oleh bakteri dan menyebabkan komplikasi maka keberadaan infeksi bakteri sekunder perlu diobati dan dipantau. Pengobatan skabies harus dilakukan secara serentak sehingga pegawai perlu ditugaskan untuk memeriksa stok obat secara teratur agar saat kasus skabies bertambah banyak tidak kehabisan obat. Pakaian dalam, pakaian, handuk, seprai, dan barang pribadi lain yang digunakan penderita 4 hari sebelum pengobatan harus dicuci bersih menggunakan air panas dan atau dikeringkan menggunakan mesin pengering dengan suhu panas selama 10 menit untuk membunuh seluruh tungau agar penularan dapat dicegah. Untuk barang yang tidak dapat dicuci, barang tersebut diletakkan di dalam kantong plastik selama 4 hari dan diangin-anginkan sebelum digunakan kembali. Lantai harus dipel dengan seksama setiap hari menggunakan detergen. Area toilet bersama dan sofa atau tempat duduk bersama lainnya harus dibersihkan menggunakan detergen. Perlu diingat bahwa kontak adalah mereka yang memilik hubungan kulit-kekulit yang lama dengan penderita dan lingkungannya dalam masa inkubasi maksimum. Penderita lain, keluarga, teman, relawan, pelayan kesehatan, pegawai kebersihan dapat menjadi kontak. Pengurus laundry dan petugas kebersihan harus dianggap sebagai kontak. Penanggulangan kontak dilakukan secara serentak dan sangat penting untuk mencari kasus skabies diantara kontak. Untuk menjelaskan situasi kepada staf dan orang yang berisiko terinfestasi skabies perlu dilakukan rapat staf. Langkah-Langkah Penting yang Harus Segera Dilakukan untuk Mengatasi Wabah di Institusi Kesehatan Langkah pertama adalah segera menjauhkan tenaga kesehatan yang memiliki tanda dan gejala skabies dari unit tempat bekerja, kemudian rujuk ke dokter yang berpengalaman dalam mendiagnosis skabies. Selanjutnya adalah mengevaluasi penderita dari unit yang terpajan tersebut dan menempatkan penderita suspek skabies dalam isolasi. Pihak fasilitas kesehatan perlu melakukan pertemuan untuk koordinasi. Pihak yang dilibatkan termasuk departemen administrasi, 101 ketenagakerjaan, pelayanan lingkungan, kontrol infeksi, farmasi, dan perwakilan staf medis. Langkah selanjutnya adalah mencari penderita skabies. Bila dua atau lebih pegawai yang bekerja dalam satu unit/area terdiagnosis skabies, maka besar kemungkinan sumber infeksi skabies adalah penderita skabies krustosa. Kasus suspek skabies perlu dikonfirmasi dengan kerokan kulit. Perlu disiapkan daftar penderita dan tenaga kesehatan yang bergejala beserta daftar kontaknya untuk dievaluasi. Seluruh penderita dan tenaga kesehatan yang terkonfirmasi skabies diberi pengobatan hingga tuntas. Fasilitas kesehatan juga bertanggung jawab dalam menyediakan profilaksis pada seluruh kontak yang terdaftar dan melakukan dekontaminasi menyeluruh pada unit yang terpajan. Idealnya langkah tersebut (terapi, profilaksis, dan dekontaminasi lingkungan), dilakukan dalam waktu 24 jam sejak dimulai tindakan pemberantasanuntuk mencegah reinfestasi. Seluruh staf fasilitas kesehatan perlu dilatih untuk mengenali tanda dan gejala skabies dan juga ditekankan bahwa manusia dapat terinfestasi dan menularkan skabies hingga enam minggu sebelum gejala muncul. Langkah terakhir adalah tindak lanjut terapi. Bagi penderitayang mendapatkan terapi kuratif, tidak dapat dipulangkan kecuali benarbenar telah sembuh agar rantai penularan terputus. Bagi kontak yang mendapat terapi profilaksis, dapat diatur waktu yang tepat untuk dilakukan evaluasi, baik di fasilitas kesehatan maupun kunjungan rumah. Manajemen pemberantasan skabies tersebut merupakan tanggung jawab penuh dari fasilitas kesehatan tempat wabah terjadi. Faktor - Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemberantasan Skabies Agar pengobatan dan pemberantasan skabies berhasil dan rantai penularan dapat diputus, terdapat berbagai hal yang perlu diperhatikan. Faktor-faktor tersebut adalah partisipasi masyarakat secara umum dalam penanggulangan skabies yaitu pengobatan, pencegahan, dan kontrol kekambuhan terutama pada komunitas yang memiliki risiko tinggi tertular skabies atau pernah terdapat penderita skabies dalam komunitas tersebut. 102 Partisipasi masyarakat adalah kesadaran warga untuk senantiasa melakukan hal-hal yang dapat mencegah penularan atau kekambuhan skabies. Faktor lainnya adalah motivasi kuat untuk menjalani program pengobatan skabies hingga selesai dan mematuhi cara penggunaan obat dan dosis. Edukasi yang tepat mengenai pengobatan skabies dari dokter, tenaga kesehatan lain atau kader juga perlu digalakkan. Diperlukan tindak lanjut terapi dan skrining ulang secara rutin terutama bagi masyarakat berisiko tinggi penularan skabies. Menentukan tindakan yang tepat dan diagnosis banding tidak Apakah penderita mempunyai gejala skabies yang menetap Pertimbangkan tidak skabies atipik Apakah kerokan kulit positif skabies ? Ya Hentikan isolasi dan lakukan pencegahan setelah pengobatan lengkap Apakah gejala menurun dalam dua minggu pengobatan awal? tidak ya - Melaporkan wabah ke departemen kesehatan setempat - Lakukan tindakan pencegahan pada semua suspek skabies - Lakukan kerokan kulit pada 4-6 bagian kulit per kasus untuk pemeriksaan laboratorium Pengobatan ulang dan pembersihan lingkungan Pemantauan terhadap kasus tambahan untuk menghentikan transmisi Pertimbangkan gagal pegobatan, investasi ulang atau diagnosis banding - Segera obati penderita dan kontak terdekat dalam waktu 24 jam - Ganti dan cuci pakaian setelah dan sebelum pemberian skabisida - Masukan peralatan yang tidak bisa dicucike dicuci ke tas plastik dan letakan di pengering panas selama 20 menit atau diletakkan di suhu ruang selama 7 hari - Lakukan investigasi terhadap orang memiliki kontak dengan penderita dan mencari kasus tambahan Gambar 16. Alur Investigasi Skabies45 103 BAB XVII Pemberantasan Skabies di Pesantren Pesantren merupakan sekolah berasrama dengan fokus pada pendidikan agama Islam. Murid yang sekolah di pesantren disebut santri. Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi beragama Islam terbanyak di dunia dan memiliki 16.000 pesantren yang tersebar di berbagai pulau. Sebagian besar pesantren berada di daerah rural. Pesantren pada mulanya berasal dari sekolah pendidikan agama Islam pada pertengahan abad ke-18 seperti didokumentasikan oleh Van der Chijs pada tahun 1864. Pendidikan umumnya dilakukan di masjid, balai kerajaan, atau rumah pemuka agama. Santri biasanya berjumlah 50 orang dalam satu ruangan besar yang diajar oleh seorang kyai. Pada awalnya santri diwajibkan tinggal di sekitar rumah kyai atau pengajar dalam sebuah pondok kecil yang berisi 2-3 orang agar pengajaran agama lebih intensif dan santri dapat meneladani perilaku kyai.94 Pada perkembangannya, banyak kyai mendirikan pondok yang lebih besar dan jumlah santri pun semakin banyak. Pondok pesantren terbesar di Indonesia saat ini adalah pondok pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur yang memiliki 10.000 santri. Usia santri termuda adalah 4-5 tahun, tetapi siapa pun boleh menjadi santri tanpa batasan usia.94 Dalam kehidupan di pesantren santri sering tidur bersama-sama dalam satu ruangan serta saling meminjam dan menggunakan pakaian serta handuk milik teman sebagai sikap tenggang rasa dan kebersamaan. Di sisi lain, kebersamaan dan kedekatan tersebut menyebabkan penularan skabies. Mitos di kalangan pesantren terutama pesantren besar adalah skabies merupakan “stempel resmi” yang menunjukkan bahwa santri telah siap untuk menempuh tingkatan yang lebih tinggi dalam pembelajaran holistik di pesantren. Banyak kyai menyatakan “kalau kamu sudah mengalami gatalgatal di pesantren, tandanya kamu sudah betah dan ilmu akan lebih mudah masuk”. Penyakit kudis yang diderita santri adalah tanda awal turunnya berkah.94 104 Secara sosiologis dan psikologis jika santri telah mengalami skabies berarti telah memiliki hubungan sosial yang lebih dekat dengan santri lain, yang mungkin juga seorang penderita. Keakraban antar pribadi atau kelompok santri, menandakan kenyamanan dalam pergaulan yang mendukung proses pembelajaran. Secara psikologis, santri baru yang menderita skabies akan dilatih untuk bersabar menghadapi penyakitnya, bersikap lebih dewasa untuk mengatasi masalahnya sendiri dan proses instropeksi mengenai kebersihan pribadi.94 Dalam kitab tasawuf, berkah diartikan sebagai bertambahnya kebaikan dalam segala hal. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Yang disebut kaya bukanlah kaya harta, kekayaan sebenarnya adalah kekayaan hati”. Sikap tersebut sangat diutamakan di pesantren, sehingga apapun yang terjadi, berkah adalah nomor satu. Berkah dapat dipersepsikan sebagai banyaknya manfaat suatu hal yang kian bertambah setiap hari disertai perasaan merasa cukup dengan keadaan. Kehidupan yang sederhana menjadikan santri untuk selalu yakin bahwa apapun yang didapatkan di pesantren adalah sebuah proses yang baik dalam pembelajaran, termasuk menderita skabies.94 Apakah benar santri harus mengalami skabies? Apakah menderita skabies merupakan proses menuju keberkahan ilmu? Mengingat saat ini kondisi pesantren sudah jauh lebih baik dibandingkan dahulu seharusnya skabies tidak boleh lagi menjadi stempel santri dan pesantren harus bebas dari skabies.94 Rasulullah Nabi Muhammad SAW melalui berbagai haditsnya mengajarkan umat Islam agar menjadi pelopor dalam menjaga kebersihan baik kebersihan badan, pakaian, maupun lingkungan. Berikut adalah hadits tentang kebersihan. 1. Sesungguhnya Allah SWT itu suci dan menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempattempatmu (HR Tirmizi). 105 2. Sesungguhnya Allah baik dan menyukai kebaikan, bersih dan menyukai kebersihan, murah hati dan senang kepada kemurahan hati, dermawan dan senang kepada kedermawanan. Karena itu bersihkan halaman rumahmu dan jangan meniru orang Yahudi (Orang Yahudi biasa menumpuk sampah di halaman rumah) (HR. Tirmidzi). 3. Siapa yang mengenakan pakaian hendaklah yang bersih. (HR.Ath-Thahawi). 4. Wahai Abu Hurairah, potonglah kuku-kukumu (HR Ahmad). 5. Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa “Ya Allah, ampunilah hambamu karena tidur dalam keadaan suci” (HR.Ibn Hibban). Kebersihan merupakan sebagian dari iman; maksudnya adalah keimanan seseorang akan menjadi lengkap jika dapat menjaga kebersihan. Dengan kata lain, orang yang tidak dapat menjaga kebersihan berarti keimanannya masih belum sempurna. Hadis tersebut menekankan bahwa kebersihan bagi umat Islam sangat penting untuk diterapkan, salah satunya dalam bentuk berwudhu. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 6 yang menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah wajahmu dan lenganmu sampai ke siku, usaplah kepalamu dan basuh kakimu sampai kedua mata kaki.” Wudhu merupakan tindakan bersuci sebelum melakukan kegiatan keagamaan. Tata cara berwudhu dimulai dari membasuh kedua telapak tangan dengan air sambil menggosok sela-sela jari tangan kemudian berkumur, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, membasuh kepala dan terakhir membasuh kaki. Orang muslim wajib sholat lima kali dalam sehari dan sebelum sholat perlu berwudhu terlebih dahulu; dalam sehari orang berwudhu sebanyak 5 kali. Tungau skabies hidup di dalam stratum korneum, namun tungau dapat keluar dari terowongan dan berjalan di permukaan kulit. Jika orang mandi dua kali sehari dan wudhu lima kali sehari yang dilakukan dengan benar, maka tungau di permukaan 106 tubuh akan terhapus. Dengan demikian, jika santri mandi dan berwudhu dengan baik, maka dapat mengurangi risiko terinfestasi skabies. Gejala khas skabies adalah gatal hebat terutama pada malam hari. Jika gatal terjadi pada saat tidur, penderita akan menggaruk tanpa disadari dan memindahkan tungau dari satu tempat ke tempat lainnya. Oleh karena itu, pada saat bangun tidur kita perlu mencuci tangan dengan sabun. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan HR Bukhari dikatakan bahwa: “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam” Berdasarkan Al Quran dan hadits jelaslah bahwa Islam mengajarkan kebersihan dan jika kita menjaga kebersihan maka dapat terhindar dari penyakit. Dengan demikian, santri dan pengelola pesantren perlu diingatkan pentingnya menjaga kebersihan sesuai ajaran Islam. Untuk mengendalikan skabies di pesantren hal-hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut. Pemeriksaan Kesehatan Pemeriksaan kesehatan rutin perlu menjadi bagian dalam kegiatan pesantren untuk mendeteksi skabies dan penyakit lainnya, baik menular maupun tidak menular. Pengelola pesantren perlu menjalin kerja sama dengan puskesmas atau dinas kesehatan setempat untuk mengatur jadwal pemeriksaan dan penyuluhan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya setelah santri kembali ke asrama dari rumah mereka masing-masing setelah libur panjang, penerimaan murid baru atau sebelum santri pulang ke rumah untuk berlibur. Pemeriksaan kulit perlu dilakukan dengan teliti. Santri harus membuka pakaiannya dan mengizinkan pemeriksaan kulit termasuk genital. Kadang-kadang, santri menolak untuk diperiksa apalagi pemeriksaan bokong dan genital. Pada keadaan tersebut, kyai perlu menjelaskan kepada santri pentingnya pemeriksaan kesehatan termasuk pemeriksaan kulit. Kyai dan keluarganya merupakan suri teladan bagi santri dan memiliki peran penting dalam membentuk pengetahuan, sikap, dan perilaku santri dalam kehidupannya. Santri umumnya loyal kepada kyai 107 dan meminta nasehat, berkah, atau petunjuk kepada kyai. Oleh karena itu, sebagai figur autoritatif di pesantren, kyai perlu dilibatkan dalam upaya pencegahan dan pengendalian skabies di pesantren Pengobatan Pengobatan santri yang menderita skabies harus dilakukan secara serentak sehingga perlu mempertimbangkan waktu yang tepat agar dapat mencakup semua santri. Pengobatan skabisida memerlukan waktu 8-12 jam tergantung jenis obat yang digunakan. Karena memerlukan waktu yang cukup lama maka pengobatan sebaiknya dilakukan pada waktu malam agar tidak mengganggu aktivitas atau terhapus air saat mencuci tangan atau wudhu. Lingkungan harus dibersihkan serentak untuk mencegah infestasi skabies ulang. Tempat tidur, lemari, dan perabot lainnya baik di dalam pesantren maupun di luar perlu dibersihkan secara rutin. Selain dibersihkan, perabot yang dapat diangkat sebaiknya dijemur di bawah terik matahari. Ventilasi yang baik di setiap ruangan dibutuhkan agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan lancar. Edukasi Edukasi mengenai informasi skabies, mulai dari definisi, gejala, pengobatan dan pencegahan skabies perlu diberikan kepada semua santri dan pengelola pesantren. Kyai atau pemimpin pesantren perlu diberdayakan untuk menjadi contoh teladan dan mengingatkan santri serta penghuni pesantren untuk mewaspadai skabies dan mencegah penyakit. Metode edukasi yang menarik dibutuhkan agar para santri semakin menyimak dan akses media harus mudah dilihat agar apabila lupa, para santri dapat mengingat kembali dengan melihat media tersebut. Manajemen Wabah Skabies di Pesantren Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Dalam menghadapi wabah skabies, diperlukan investigasi wabah yang bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana wabah dapat terjadi dan mengambil tindakan untuk mengatasinya serta mencegah penularan lebih 108 lanjut. Definisi spesifik mengenai skabies harus dikembangkan untuk menentukan apakah wabah telah terjadi dan untuk memperkirakan besar wabah. Tim wabah skabies terdiri atas pemimpin pesantren, kyai, administrasi, kebersihan, dan karyawan kesehatan bila ada. Tim harus bertanggungjawab dan menentukan langkah yang tepat untuk mengatasinya. Anggota tim sebaiknya berkomunikasi dengan dinas kesehatan setempat untuk memberikan informasi wabah dan merencanakan pelaksanaannya. Tim wabah skabies harus dibentuk dan fungsi tugas harus diketahui oleh masing-masing anggota sehingga penanggulangan menjadi efisien. Hubungan dan kerja sama dengan pihak klinik, puskesmas, dan dinas kesehatan setempat harus tetap dijalin agar pada saat mendesak seluruh pihak dapat bekerja tanpa hambatan. Menegakkan Diagnosis Manifestasi klinis dan riwayat pajanan sebaiknya dijadikan pertimbangan ketika mendiagnosis skabies. Tes kerokan kulit negatif dapat terjadi pada wabah skabies karena jumlah tungau yang sedikit. Diagnosis banding perlu dipertimbangkan apabila tes kerokan kulit negatif pada beberapa penderita dan respons terhadap pengobatan kurang baik setelah dua minggu terapi. Setiap santri yang menunjukkan ruam, gatal, atau lesi kulit sebaiknya dibatasi pekerjaannya sampai diagnosis skabies disingkirkan atau sampai pengobatan skabies selesai. Seseorang yang diobati dapat kembali bekerja setelah pengobatan selesai. Bagian fasilitas sebaiknya mempertimbangkan kebijakan dan prosedur untuk menangani karyawan yang menderita skabies. Langkah pertama dari pengawasan rutin adalah menentukan anggota staf yang terdiri atas pengendalian infeksi profesional atau pengawas keperawatan, anggota yang menerima laporan mengenai kasus skabies tambahan dan koordinator wabah. Selanjutnya perlu staf khusus untuk menginformasikan kepada orang yang telah ditunjuk apabila ada penderita yang menunjukkan gejala dan tanda infestasi skabies. Alat pengumpulan data sangat membantu untuk mengenali distribusi kasus skabies di dalam suatu instansi. Selain itu, alat 109 pengumpulan data juga berfungsi untuk memantau kasus skabies. Manajemen kasus harus dikembangkan dan digunakan untuk memantau gejala klinis. Informasi yang harus dikumpulkan adalah nama, lokasi instansi, tanggal pajanan, sumber yang pernah kontak dengan penderita skabies, tanggal onset gejala, tanggal dan hasil tes kerokan kulit bila dilakukan, tanggal pengobatan pertama, tanggal gejala menghilang, tanggal pengobatan kedua bila diperlukan, tanggal gejala menghilang setelah pengobatan kedua, jenis infestasi skabies, metode pengobatan, serta informasi lain yang berhubungan misalnya faktor risiko yang menyebabkan skabies atipik. Setiap santri, kyai, atau karyawan pesantren diminta untuk memberitahukan bila kontak dengan kasus skabies dalam sebulan terakhir. Tatalaksana Wabah Skabies di pesantren Berikut adalah ringkasan tatalaksana wabah skabies di pesantren yang diadaptasi dari Nevada State Health Division.45 Pertama, segera mengistirahatkan santri yang mempunyai tanda dan gejala skabies lalu segera dirujuk ke dokter. Kedua, mengevaluasi santri yang berada di area infestasi skabies. Ketiga, mengobati santri yang menunjukkan gejala skabies dengan skabisida. Berikan skabisida profilaksis kepada semua orang yang mengalami kontak dengan penderita dan lakukan pembersihan lingkungan di area yang terinfestasi skabies. Langkah-langkah tersebut adalah pengobatan, pencegahan, dan pembersihan lingkungan yang sebaiknya dilakukan dalam waktu 24 jam untuk mencegah infestasi ulang pada penderita yang telah diobati atau untuk mencegah penyebaran terhadap orang lain. Keempat, melakukan penyuluhan kepada semua santri dan karyawan mengenai tanda dan gejala skabies. Kelima, melakukan evaluasi terhadap santri yang terinfestasi skabies serta evaluasi orang yang kontak dengan penderita skabies. Evaluasi Pengendalian Skabies Santri dan penghuni pesantren lainnya yang terinfestasi skabies sebaiknya dievaluasi setiap minggu minimal empat minggu untuk mengetahui apakah pengobatan berhasil atau gagal. Pengobatan tambahan perlu dipertimbangkan pada gejala skabies yang tidak mengalami perbaikan klinis selama evaluasi. Orang lain yang kontak dengan penderita skabies dan tidak diobati harus diperiksa 110 ulang setiap harinya selama empat minggu untuk menentukan apakah mereka mempunyai gejala yang mengarah pada infestasi skabies. Pengobatan harus segera diberikan apabila gejala muncul. Gatal dan ruam biasanya mulai menghilang pada hari ke-7 sampai hari ke-14 pengobatan. Gagal pengobatan dan/atau infestasi ulang skabies harus dipikirkan apabila gejala dan tanda skabies menetap atau memburuk setelah periode tersebut. Penyebab kegagalan pengobatan adalah obat yang tidak memadai termasuk kegagalan memberikan pengobatan ulang pada periode pengobatan, gagal mematuhi aturan pemakaian skabisida, penggunaan steroid topikal selama periode pengobatan, dan gagal dalam memberikan pengobatan ke seluruh tubuh. Penyebab kegagalan lainnya adalah terpajan terus-menerus terhadap orang yang terinfestasi skabies karena kasus skabies tidak teridentifikasi atau terpajan terus-menerus barang pribadi penderita skabies, seperti tempat tidur, pakaian, handuk dan peralatan pribadi lainnya. Kegagalan pengobatan juga dapat disebabkan oleh resistensi tungau terhadap skabisida, penekanan respons imun pada penderita immunocompromised serta kegagalan dalam mengidentifikasi, melaporkan penderita yang terinfestasi skabies dan memantau kontak langsung dengan kasus. 111 Penutup Sampai saat ini prevalensi skabies masih tetap tinggi dan diagnosis pasti dengan menemukan tungau masih tetap sulit. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap skabies perlu ditingkatkan. Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies adalah kemiskinan, kepadatan penghuni rumah, tingkat pendidikan rendah, keterbatasan air bersih, dan perilaku kebersihan buruk. Berdasarkan faktor risiko tersebut prevalensi skabies yang tinggi umumnya terdapat di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, penjara, dan pengungsian. Skabies dapat ditularkan secara langsung atau tidak langsung namun cara penularan skabies yang paling sering adalah melalui kontak langsung kulit-ke-kulit yang cukup lama misalnya pada saat tidur bersama. Gejala klinis yang khas adalah keluhan gatal hebat pada malam hari atau saat udara panas dan penderita berkeringat. Selain itu terdapat erupsi kulit yang khas berupa terowongan, papul, vesikel, dan pustul di tempat predileksi yaitu di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, penis, areola mammae, periumbilikalis, di bawah payudara, pinggang, bokong bagian bawah, paha serta lipatan aksila anterior dan posterior. Diagnosis pasti skabies ditetapkan dengan menemukan tungau atau telurnya pada pemeriksaan laboratorium namun dengan cara pemeriksaan tersebut tungau sulit ditemukan karena tungau yang menginfestasi penderita hanya sedikit. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan kerokan kulit, mengambil tungau dengan jarum, usap kulit, burrow ink test, pemeriksaan histopatologik dan dermoskopi. Prinsip pengobatan skabies adalah menggunakan skabisida topikal diikuti dengan perilaku hidup bersih dan sehat baik pada penderita maupun lingkungannya. Pengolesan obat topikal umumnya selama 8-12 jam. Obat yang dapat digunakan untuk mengobati skabies adalah sulfur presipitatum, gama benzen heksaklorida, dan permetrin. Apabila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri, perlu diberikan antibiotik topikal atau oral sesuai indikasi. Pengobatan skabies perlu diikuti dengan dekontaminasi lingkungan untuk membunuh tungau yang berada di luar tubuh hospes. Pakaian, seprai, sarung bantal dan sarung guling, mukena, kerudung, dan sarung harus dicuci dengan air panas. Karpet, kasur, batal, guling, sofa, furnitur dan barang-barang 112 berbulu lainnya perlu dijemur di bawah terik sinar matahari minimal dua kali seminggu. Pemberantasan skabies di asrama, panti asuhan, pondok pesantren dan tempat lain dengan kepadatan penghuni yang tinggi tidak dapat dilakukan secara individual melainkan harus serentak dan menyeluruh. Semua penderita skabies harus diobati dan lingkungan harus dibersihkan. Pencegahan skabies memiliki konsep yang sama dengan preventive medicine yang membagi pencegahan penyakit menjadi tiga tingkat yaitu pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier. Pembagian tingkat pencegahan dilakukan dengan menghubungkan pencegahan penyakit terhadap fase penyakit. Pada fase prepatogenesis upaya yang dilakukan adalah pencegahan primer berupa promosi kesehatan dan perlindungan khusus. Pada fase patogenesis dilakukan pencegahan sekunder berupa diagnosis dini, penatalaksanaan segera dan pembatasan cacat serta pencegahan tersier berupa rehabilitasi. 113 Lampiran 1. Formulir Pemeriksaan Skabies Tanggal : ……………………………………………………………… Nama santri: …………………………………………………………. Umur : ……………………………………………………………… Pendidikan: Lokasi lesi : 1. Skalp 2. Dahi 3. Nasolabial 4. Pipi 5. Pre/postaurikuler 6. Leher 7. Tengkuk 8. Dada 9. Punggung 10. Ketiak 11. Lengan atas 12. Lengan bawah 13. Peri-umbilikal 14. Perut 15. Pubis 16. Lipat paha 17. Bokong 18. Tungkai atas 19. Tungkai bawah 20. Sela jari 21. Tidak ada lesi kulit Luas lesi skabies: A. Terbatas B. Luas Status dermatologikus: 1. Papul 2. Makula 3. Plak 4. Eritematosa 5. Hipopigmentasi 6. Hiperpigmentasi 7. Vesikel/bula 8. Pustul/bula purulen 9. Skuama 10. Krusta kuning/hitam 11. Erosi 12. Ekskoriasi 13. Ulkus 14. Nodus 15. Tidak ada lesi kulit 16. Lain-lain:………………………………… 114 Kuesioner Tingkat Pengetahuan Murid Mengenai Skabies Petunjuk Pengisian Kuesioner: 1. Isi bagian Identitas dan Karakteristik Responden dengan lengkap 2. Baca terlebih dahulu soal dengan saksama dan pilih jawaban yang sesuai 3. Lingkari jawaban yang benar menurut Anda (jangan mencontek) 4. Waktu yang diberikan adalah 20 menit untuk 20 soal 5. Setelah selesai periksa kembali semua jawaban, perhatikan apakah semua identitas dan soal sudah dijawab dengan lengkap Identitas dan Karakteristik Responden : 1. Nama : 2. Tanggal Lahir/umur : 3. Jenis Kelamin : 4. Tingkat Pendidikan : ( ) tsanawiyah/SMP kelas ( ) aliyah/SMA kelas 5. Apakah anda sudah mendapat informasi mengenai kudisan sebelum tinggal di pesantren? A. Ya B. Tidak 6. Sumber informasi tentang kudisan sebelum tinggal di pesantren diperoleh dari: A. guru B. dokter C. teman D. orang tua E. internet F. radio G. TV H. koran I. majalah Survei Pengetahuan Mengenai Skabies: jawaban boleh lebih dari satu Penyebab 1. Istilah kedokteran untuk penyakit kudisan adalah... A. skabies B. radang kulit C. eksim D. Tidak tahu 2. Kudisan disebabkan oleh... A. Kutu B. Alergi C. Bakteri D. Lainnya: ...... E. Tidak tahu 3. Organisme penyebab kudisan hidup di... A. Kulit kepala B. Sela jari tangan C. Pergelangan tangan D. Lainnya..... E. Tidak tahu 115 4. Di luar badan manusia, organisme penyebab kudisan juga dapat hidup di.... A. Seprai B. Sarung bantal C. Kasur D. Lainnya.... E. Tidak tahu 5. Organisme penyebab kudisan berkembang biak dengan... A. Bertelur B. Membelah diri C. Mengeluarkan larva D. Tidak tahu Gejala Klinis: jawaban boleh lebih dari satu 1. Pada orang yang kudisan, kulitnya mengalami.... A. Gatal B. Bintik-bintik merah C. Bernanah D. Lainnya.... E. Tidak tahu 2. Rasa gatal pada kudisan biasanya timbul pada waktu.... A. Malam hari B. Siang hari C. Berkeringat D. Lainnya..... E. Tidak tahu 3. Gejala kudisan adalah koreng di daerah..... A. Sela jari tangan B. Wajah/muka C. Kelamin D. Perut E. Pantat F. Dada G. Lainnya.... H. Tidak tahu 4. Selain gangguan di kulit, penderita kudisan dapat mengalami... A. Demam B. Mual C. Pusing D. Lainnya... E. Tidak tahu 5. Kudisan banyak ditemukan pada orang yang tinggal di... A. Asrama B. Kampung C. Rumah pribadi D. Lainnya..... E. Tidak tahu 116 Pengobatan: jawaban boleh lebih dari satu 1. Penderita kudisan harus diobati karena... A. Akan menular ke orang lain B. Gejalanya akan bertambah parah C. Gejalanya sangat mengganggu D. Lainnya.... E. Tidak tahu 2. Kudisan dapat diobati dengan..... A. Salep kudis B. Jamu C. Antibiotik D. Lainnya.... E. Tidak tahu 3. Cara menggunakan obat kudisan adalah... A. Dioleskan, lalu didiamkan selama 12 jam B. Dioleskan tiga kali sehari C. Dioleskan dua kali sehari D. Tidak tahu 4. Setelah pengobatan pertama, penggunakan salep kudis perlu diulang lagi setelah: A. Satu minggu B. Dua minggu C. Satu bulan D. Lainnya.. E. Tidak tahu 5. Di asrama/pesantren, pengobatan kudisan harus dilakukan: A. Semua santri harus diobati pada waktu bersamaan B. Santri mengobati sendiri-sendiri C. tidak tahu Penularan: jawaban boleh lebih dari satu 1. Orang yang mudah terkena kudisan adalah yang tinggal di: A. perumahan B. asrama C. pengungsian D. lainnya.... E. tidak tahu 2. Kudisan dapat menular dengan cara: A. Melalui air B. Tidur bersama penderita C. Tinggal satu rumah dengan penderita D. Lainnya... E. Tidak tahu 3. Barang-barang pribadi yang dapat menjadi perantara penularan kudisan: A. Handuk B. Pakaian C. Perlengkapan tidur D. Lainnya.... E. Tidak tahu 117 4. Agar tidak menulari temannya, maka penderita kudisan harus: A. Dipulangkan ke rumah B. Dirawat di rumah sakit C. Diobati dengan salep kudis D. lainnya E. Tidak tahu 5. Kudisan paling mudah ditularkan melalui (satu jawaban yang benar): A. Makanan B. Udara C. Bersentuhan langsung waktu tidur D. Lainnya... E. Tidak tahu Pencegahan: jawaban boleh lebih dari satu 1. Kudisan dapat dicegah dengan cara: A. Mandi dengan sabun 2 x sehari B. Tidak menggunakan pakaian teman C. Menjemur kasur seminggu sekali D. Lainnya... E. Tidak tahu 2. Tindakan yang harus dilakukan agar kudisan tidak menular adalah: A. Mencuci pakaian dengan sabun B. Menyetrika pakaian C. Mencuci spreii dan sarung bantal D. Lainnya... E. Tidak tahu 3. Untuk mencegah wabah kudisan tindakan yang dilakukan adalah: A. Menjaga kebersihan pribadi B. Memberikan penyuluhan tentang kudisan C. Mengobati orang yang mengidap kudisan D. Lainnya.. E. Tidak tahu 4. Bila ada orang di sekitar kita yang terkena kudisan, sikap kita adalah: A. Mengucilkan penderita kudisan B. Hindari bersentuhan/kontak lama dan erat C. Bantu untuk mendapatkan pengobatan D. Lainnya E. Tidak tahu 5. Untuk mencegah penyakit kudis, ruangan di dalam rumah harus: A. Berventilasi baik agar udara masuk B. Mendapat cahaya matahari C. Mendapat penerangan lampu D. Lainnya E. Tidak tahu 118 Daftar Pustaka 1. Hengge UR, Currie BJ, Jäger G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: a ubiquitous neglected skin disease. Lancet Infect Dis. 2006;6:769-79. 2. Azizah IN, Setiyowati W. Hubungan tingkat pengetahuan ibu pemulung tentang personal hygiene dengan kejadian skabies pada balita di tempat pembuangan akhir Kota Semarang. Dinamika Kebidanan. 2011;1(1). 3. Zayyid MM, Saadah RS, Adil AR, Rohela M, Jamaiah I. Prevalence of scabies and head lice among children in a welfare home in Pulau Pinang, Malaysia. Tropical Biomedicine. 2010;27(3):442-6. 4. Taufik S. Promosi kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku pengungsitentang, pencegahan penyakit skabies, studi di hunian sementara pengungsi Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe Nanggroe Aceh Darussalam [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2006. 5. Salhani J. Scabies outbreak in refugee camps [Internet]. 2015 [cited 2 November 2015]. Diunduh dari: https://now.mmedia.me/lb/en/ reportsfeatures/scabies-outbreak-in-refugee-camps. 6. Nazari M, Moradi A, Anvari Peyman M. Epidemiological survey of scabies in the central prison of Hamadan. Pajouhan Scientific Journal. 2015;13(3):1-7. 7. Amro A, Hamarsheh O. Epidemiology of skabies in the west bank, Palestinian Territories (occupied). Int J Infect Dis. 2012;16(2):E117-20. 8. Hay RJ, Steer AC, Engelman D, Walton S. Scabies in the developing world–its prevalence, complications, and management. Clin Microbiol Infect. 2012;18:313-23. 9. Fuller LC. Epidemiology of scabies. Curr Opin Infect Dis. 2013;26:123-6. 10 Ratnasari AF, Sungkar S. Prevalensi skabies dan faktor-faktor yang berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur. EJKI. 2014;1:2. 11. Soedarman S. The prevalance of scabies related to behaviour and level of education of santris in a pesantren in south Jakarta. [Skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2014. 12. Sudarsono, Tanjung C, Lakswinar S, Yusuf EA. Pengaruh skabies terhadap prestasi belajar santri di sebuah pesantren di Kota Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011. 13. Golant AK, Levvit JO. Scabies: a review of diagnostic and management based on mite biology. Pediatrics in Review. 2012;33;E48-59. 14. Bonomo G. Discoverer of the etiology of scabies. Int J Dermatol. 1998;37(8):625-30. 119 15. Orion E, Marcos B, Davidovici B, Wolf R. Itch and scratch: scabies and pediculosis. Clinics inDermatology. 2006:168-75. 16. Mellanby K. Immunology of scabies. In: Orkin M, Maibach, Parish, Schwartzman, eds. Scabies and pediculosis. Philadelphia: JB Lippincott Co, 1977; 84-7. 17. Engelman D, Kiang K, Chosidow O, McCarthy J, Fuller C, et al. Toward the global control of human scabies: introducing the international alliance for the control of scabies. PLoS Negl Trop Dis. 2013;7: e2167. 18. Los Angeles County Department of Public Health Acute Communicable Disease ControlProgram. Scabies prevention and control guidelines acute and sub-acute care facilities [internet].2009 [diakses 9 April 2012]. Diunduh dari: http://publichealth.lacounty.gov/acd/docs/ skabiesguidelinesfinal8. 20.09_1.pdf. 19. Romani L, Koroivueta J, Steer Ac, Kama M, Kaldor Jm, Wand H, Et Al. Scabies and impetigo prevalence and risk factors in Fiji: a national survey. Plos Negl Trop Dis. 2015;9(3): E452. 20. Hilmy F. Prevalensi penyakit skabies dan hubungannya dengan karakteristik santri Pesantren X Jakarta Timur [Skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2011. 21. Lay CJ, Wang CL, Chuang HY, et al. Risk factors for delayed diagnosis of scabies in hospitalizedpatients from long-term care facilities. J Clin Med Res. 2011;3:72-7. 22. Montoya A, Mody L. Common infection in nursing homes: a review of current issues and challenges. Aging Health. 2011;7(6):889-9. 23. Meyer EP, Herammey D, Foegle J, Chamouard V, Hernandez C, Mechkour S. Management of a scabies epidemic in The Strasbourg Teaching Hospital, France. 2011:41(2):92-6. 24. Fakoorziba M, Amin M, Moemenbellah-Fard M, Najafi M. The frequency rate of scabies and itsassociated demographic factors in Kazerun, fars province, Iran. ZJRMS. 2011;14(8):90-91. 25. Burgess IF. Biology and epidemiology of scabies. Curr Opin Infect Dis. 1999;12:177-80. 26. Centers for Disease Control and Prevention. CDC-scabies-general information-frequently asked questions (FAQs) [internet]. 2015 [diakses 2 November 2015]. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/ parasites/scabies/gen_info/faqs.html. 27. Putri BSSA. Hubungan higiene perseorangan, sanitasi lingkungan, dan status gizi terhadapkejadian skabies pada anak: studi kasus di Sekolah Dasar Negeri 3 Ngablak, Magelang [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2011. 120 28. Susilo RA. The association between the prevalence of scabies and the personal hygiene of the students in Islamic Boarding School X In East Jakarta [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia;2014. 29. Sarayar R.Hubungan antara prevalensi skabies dengan perilaku kebersihan santri Pesantren X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2013. 30. Gilmore S. Control strategies for endemic childhood scabies. PLoS ONE. 2011;6(1):e15990. 31. Kanish B, Bhatia A. Pattern of cutaneous disease s in inmates of central jail, Ludhiana, Punjab. Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences. 2014;3(14):3679-81. 32. Ubaidilah. Hubungan karakteristik, faktor lingkungan dan perilaku terhadap kejadian skabies Di Pondok Pesantren Alqui Oumania Desa Kauman, Kecamatan Jengkulo, Kabupaten Kudus [skripsi]. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang; 2010. 33. Nindrya ZB. Tingkat pengetahuan mengenai gejala klinis skabies dan hubungannya dengankarakteristik demografi santri di Pesantren X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: UniversitasIndonesia; 2012. 34. Ramadhan BB. Pengetahuan santri pesantren di Jakarta Timur tentang penularan skabies danhubungannya dengan faktor terkait [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012. 35. Aulia E. Tingkat pengetahuan mengenai penyebab skabies dan hubungannya dengan karakteristik demografi pada santri pesantren X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012. 36. Ningtiyas YS. Tingkat pengetahuan mengenai pengobatan skabies dan hubungannya dengan karakteristik demografi santri di Pesantren X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012. 37. Rangganata E. Tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies dan hubungannya dengan karakteristik demografi santri di pesantren X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012. 38. Rosandi M. The level of knowledge on skabies amongst student in a pesantren in East Jakarta, before and after skabies lecture [thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2014. 39. Sari TK. Pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan santri pesantren X, Jakarta Timur mengenai penyebab skabies [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2011. 40. Thamrin F. Pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan santri Pesantren X, Jakarta Timur mengenai pengobatan skabies. [skripsi]. Jakarta : Universitas Indonesia; 2011. 121 41. Adriansyah IA. Effectiveness of health promotion on level of knowledge of scabies etiology and clinical features among X Boarding School students in East Jakarta [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2013. 42. Landika AE. Efektifitas penyuluhan terhadap pengetahuan santri mengenai penularan dan pencegahan skabies di Pesantren X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012. 43. Nugraheni DN. Pengaruh sikap tentang kebersihan diri terhadap timbulnya skabies (gudik) pada santriwati di Pondok Pesantren Al-Muayyad [skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2008. 44. Arlian LG. Host specificity of S. scabiei var canis and the role of host odor. J Med Ent. 1988;25:49-54. 45. Nevada State Health Division.Scabies prevention and control guidelines residential/group home facilities.USA: Nevada State Health Division; 2011. 46. Georgia Department Of Public Health. Scabies handbook. 2012 [diakses 2 November 2015]. Diunduh dari: https://dph.georgia.gov/ sites/dph.georgia.gov/files/related_files/document/ ADES_ Georgia_ Scabies_Handbook_v2011.pdf. 47. Morgan MS, Arlian LG, Markey MP. Sarcoptes scabiei mites modulate gene expression in human skin equivalents. PLos One. 2013;8(8):E71143. 48. Swe P, Fischer K. A Scabies mite serpin interferes with complementmediated neutrophil functions and promotes staphylococcal growth. PLoS Negl Trop Dis. 2014;8(6):e2928. 49. California Department of Public Health Division of Communicable Disease Control. Prevention and control of skabies in California longterm care facilities. 2008 [Diakses pada 19 Maret 2012]. Diunduh dari:http://www.cdph.ca.gov/pubsforms/guidelines/documents/ prevconofskabies.pdf 50. HicksMI, Elston DM. Scabies. Dermatologic Therapy. 2009;22:279-92. 51. Karaca S, Kelekci KH, Er O, Pektas B, Gokmen AA. Scabies incognito presenting as a subcorneal pustular dermatosis-like eruption. Turkiye Parazitol Derg. 2015;39:244-7. 52. Ploysangam T, Breneman DL, Mutasim DF. Cutaneus pseudolymphomas. J Am Acad Dermatol. 1998;38(6):877-98. 53. Maan AM, Sohail AH. Bullous scabies: a case report and review of the literature. BMC Research Notes. 2015;8(1):254. 54. Gutte RM. Bullous scabies in an adult: a case report with review of literature. Indian Dermatol Online J. 2013;4(4):311-3. 122 55. Ljunggren EL. Molecular analysis of Sarcoptes scabies [thesis]. Uppsala: Swedish University of Agricultural Sciences;2005. 56. Katsumata K. Simple method of detecting Sarcoptes scabiei var hominis mites among bedridden elderly patients suffering from severe scabies infestation using an adhesive-tape. Intern Med. 2006;45(14):857-9. 57. Fernández-Sánchez M, Saeb-Lima M, Alvarado-de la Barrera C, Reyes-Terán G. Crusted scabies-associated immune reconstitution inflammatory syndrome. BMC Infect Dis. 2012;12(1):323. 58. Buechner SA. Common skin disorders of the penis. BJU International. 2002;90(5):498-506. 59. Yang YS, Byun YS, Kim JH, Kim HO, Park CW. Infantile scabies masquerading as langerhans cell histiocytosis. Ann Dermatol. 2015;27(3):349. 60. Park JH, Kim CW, Kim SS. The diagnostic accuracy of dermoscopy of scabies in a resource-poor setting. Arch Dermatol. 2011; 147(4):468-73 61. Sungkar S. Norwegian Scabies. Maj Kedokt Indon. 1989;39(3):169–71. 62. Davis JS, Mcgloughlin S, Tong SYC, Walton S, Currie BJ. A novel clinical grading scale to guide the management of crusted scabies. Plos Negl Trop Dis. 2013;7(9):E2387. 63. Dupuy A, Dehen L, Bourrat E, et al. Accuracy of standard dermoscopy for diagnosing scabies. J Am Acad Dermatol. 2007;56(1):53-62. 64. Walton SF, Currie BJ. Problems in diagnosing scabies, a global disease in human and animal population. Clin Microbiol Rev. 2007;20(2):268–79. 65. Walter B, Heukelbach J, Fengler G, Worth C, Hengge U, Feldmeier H. Comparison of dermoscopy, skin scraping, and the adhesive tape test for the diagnosis of scabies in a resource-poor setting. Arch Dermatol.2011;147(4):468-73. 66. Banzhaf CA, Themstrup L, Ring HC, Welzel J, Mogensen M, Jemec GBE. In vivo imaging of Sarcoptes scabieiinfestation using optical coherence tomography. Case Rep Dermatol. 2013;5:156-162. DOI:10.1159/000352066. 67. Arlian LG, Morgan MS. Serum antibody to S. scabiei and house dust mite prior to and during infestation with S. scabiei. Vet Parasitol. 2000;90(4):315-26. 68. Brenaut E, Marcorelles P, Genestet S, Menard D, Misery L. Pruritus: An underrecognized symptom of small-fiber neuropathies. J Am Acad Dermatol.2015; (72):328-32 69. McCroskey. Scabies in emergency medicine treatment & management [internet]. 2010 [diakses 13 April 2011]. Diunduh dari: www.emedicine. medscape.com 123 70. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. 71. Maxine AP, McPhee J. Current medical diagnosis and treatment. New York: Lange,McGraw-Hill;2007. 72. Albakri L, Goldman RD. Permethrin for scabies in children. Can Fam Physician.2010;56(10):1005. 73. Singalavanija S, Limpongsanurak W, Soponsakunkul S. A comparative study between 10% sulfur ointment and 0.3 per cent gamma benzene hexachloride gel in the treatment of scabies in children. Journal of the Medical Association of Thailand.2003;3:531-6. 74. Avila-Romay A, Alvarez-Franco M, Ruiz-Maldonado R. Therapeutic efficacy, secondary effects, and patient acceptability of 10% sulfur in either pork fat or cold cream for the treatment of scabies. Pediatric Dermatology.1991;8(1):64–6. 75. Wooldridge WE. The gamma isomer of hexachlorcyclohexane in the treatment of scabies. J Invest Dermatol. 1948;10:363–6. 76. Roos TC, Alam M, Roos S, et al. Pharmacotherapy of ectoparasitic infections. Drugs2001;61:1067–88. 77. Rauch AE, Kowalsky SF, Leser TS, et al. Gamma benzene hexachloride (Kwell) induced aplastic anemia. Arch Intern Med. 1990;150:2393–5. 78. Anderson BM, Haughen H, Rasch M, et al. Outbreak of scabies in Norwegian nursing homes and home care patients; control and prevention. J Hosp Infect. 2000;45:160–4. 79. Konstantinov D, Stanoava I, Yawalker SJ. Crotamiton cream and lotion in the treatment of infants with scabies. J Int Med Res.1979;7:443. 80. Strong M, Johnstone P. Interventions for treating scabies: review. Cochrane Database Syst Rev. 2010;3:1-73. 81. Sungkar S, Agustin T, Menaldi SL, Fuady H, Herqutanto, Angkasa H, et al. Effectiveness of permethrin standard and modified methods in scabies treatment. Med J Indones. 2014;23(2):93-8. 82. Ribeiro, FAQ. Oral ivermectin for the treatment and prophylaxis of scabies in prison. Journal of Dermatological Treatment. 2005;16(3):138-41. 83. Manjhi PK, Sinha RI, Kumar M, Sinha KI. Comparative study of efficacy of oral ivermectin versus some topical antiscabies drugs in the treatment of scabies. J Clin Diagn Res. 2014;8{9):1-4. 84. Luo B, Liao F, Hu Y, Liu X, He Y, Wu L, Et Al. Acaricidal activity of extracts from ligularia virgaurea against the Sarcoptes scabieimite in vitro. Exp Ther Med. 2015;10: 247-50. 124 85. One Disease. Managing crusted scabies in remote aboriginal communities. 2014. [diakses 6 November 2015]. Diunduh darihttp://1disease.org/ wp-content/uploads/2014/07/ Crusted-Scabies-guide-2014_final1.pdf 86. Mclean FE. The elimination of scabies: a task for our generation. International Journal of Dermatology. 2013;52:1215-23. 87. Chung SD, Wang KH, Huang CC, Lin HC. Scabies increased the risk of chronic kidney disease: a 5-year follow up study. Journal of The European Academy of Dermatology and Venereology; 2014:28:286-92. 88. Worth C, Heukelbach J, Fengler G, Walter B, Liesenfeld O, Feldmeier H. Impaired quality of life in adults and children with scabies from an impoverished community in Brazil. Int J Dermatol. 2012;51:275-82. 89. sKementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014. 90. WHO. The ottawa charter for health promotion. 2015. [diakses 11 November 2015]. Diunduh dari: http://www.who.int/healthpromotion/ conferences/previous/ottawa/en/ 91. Jekel J. Epidemiology, biostatistics, and preventive medicine. Philadelphia: Saunders/Elsevier; 2000. 92. Sianturi I, Sungkar S. The relationship between hygienic practices towards scabies infestation in a boarding school of East Jakarta.EJKI. 2014;2(2):357-41. 93. Vincente SL, Kearns T, Christine C, Cameron S, Carapetis J, Andrews R. Community management of endemic scabies in remoteaboriginal communities of Northern Australia: lowtreatment uptake and high ongoing acquisition. PLoS Negl Trop Dis. 2009;26:3(5):1-8. 94. Syauqi MI. Warta Times. Berkah Penyakit Kudis di Pesantren. 31 Oktober 2014. Diunduh dari http://www.wartatimes.com/pendidikan/ berkah-penyakit-kudis-di-pesantren,diakses 31 Januari 2016 125 126