Uploaded by nastitihalim

buku skabies 2016

advertisement
Skabies
Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan,
dan Pencegahan
Prof.dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, Sp.ParK
Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2016
i
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian
atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun
juga tanpa seizin editor dan penerbit.
Diterbitkan pertama kali oleh :
Badan Penerbit FKUI, Jakarta
Jakarta, 2016
Pencetakan buku ini dikelola oleh:
Badan Penerbit FKUI, Jakarta
Anggota IKAPI, Jakarta
Website: www.bpfkui.com
isi diluar tanggung jawab percetakan
Illustrasi Siklus Hidup S. scabiei : Uti Nilam Sari
ISBN: 978-979-496-880-2
ii
Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga buku ajar “Skabies: Etiologi, Patogenesis, Pengobatan,
Pemberantasan, dan Pencegahan” dapat diselesaikan dengan baik.
Buku ini berisi informasi tentang skabies mulai dari penyebab, epidemiologi,
patogenesis, gejala, diagnosis, pengobatan, pemberantasan dan pencegahan
disertai hasil penelitian terbaru. Diharapkan buku ini dapat menjadi pedoman
bagi mahasiswa progam studi pendidikan dokter, peserta program dokter
spesialis kulit dan kelamin, peserta program dokter spesialis parasitologi klinik
dan tenaga kesehatan lain dalam mendiagnosis, mengobati, memberantas
dan mencegah skabies baik pada level individu maupun di institusi.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Dr. dr. Ratna Sitompul, Sp.M(K), yang telah mendukung
penerbitan buku ini. Saya juga berterima kasih kepada DRPM Universitas
Indonesia yang telah membiayai penerbitan buku ini. Semoga buku ini
dapat memberikan manfaat kepada semua orang terutama yang banyak
berhubungan dengan skabies.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pengurus pesantren yang
telah mengizinkan saya melakukan penelitian di pesantren serta kepada semua
santri yang telah memberikan pengalaman kepada saya untuk mempelajari
skabies.
Saya ingin memberikan ucapan terima kasih kepada dr. Triana Agustin,
SpKK yang telah menelaah buku ini sesuai dengan keahliannya sebagai
dermatolog yang mendalami skabies. Kepada para asisten dr. Indra Sianturi,
dr. Anita Dwi Shanti, dr. Sabrina Chusnul, dr. Millati Samha, dr. Tiara Kemala
Sari, dan dr. Frida Yusnita, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan yang
diberikan dalam menuliskan draf buku ini.
Buku ini saya dedikasikan kepada suami tercinta Hendro Nurhastono
Asmoro dan anak-anakku tersayang Alifia Hanifa, Muhammad Ali Fathoni dan
Muhammad Ali Fadhly yang terus memberikan semangat, dukungan, dan doa
tiada henti selama ini.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jakarta, Februari 2015
Prof.dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, Sp.ParK
iii
iv
Daftar Isi
Halaman
BAB I Pendahuluan ................................................................
1
BAB II Sejarah ........................................................................
5
BAB III Epidemiologi ...............................................................
7
BAB IV Etiologi ....................................................................... 19
BAB V Penularan Skabies ...................................................... 23
BAB VI Patogenesis ............................................................... 25
BAB VII Gejala Klinis .............................................................. 33
BAB VIII Bentuk-Bentuk Skabies ............................................ 40
BAB IX Diagnosis ................................................................... 48
BAB X Diagnosis Banding ...................................................... 58
BAB XI Pengobatan Skabies .................................................. 60
BAB XII Jenis Skabisida ......................................................... 66
BAB XIII Skabies Krustosa ..................................................... 76
BAB XIV Komplikasi dan Prognosis ....................................... 86
BAB XV Pencegahan Skabies ................................................ 89
BAB XVI Pemberantasan Skabies ........................................... 96
BAB XVII Pemberantasan Skabies di Pesantren .................... 104
Penutup .................................................................................. 112
Daftar Pustaka ........................................................................ 119
v
Daftar Gambar
Halaman
Gambar 1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prevalensi
Skabies .................................................................
8
Gambar 2. Sarcoptes scabiei Varietas Hominis ......................
20
Gambar 3. Siklus Hidup S.scabiei ..........................................
22
Gambar 4. Lesi Skabies di Pergelangan Tangan Berupa Papul,
Vesikel, Erosi dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret 34
Gambar 5. Lesi Skabies di Sela Jari Tangan Berupa Papul Eritematosa,
Vesikel, Pustul, Erosi, dan Skuama Kolaret, Multipel,
Diskret ................................................................... 35
Gambar 6. Lesi Skabies di Telapak dan Jari Tangan Berupa Pustul,
Bula Purulen dan Krusta Hitam, Multipel, Diskret
35
Gambar 7. Lesi Skabies di Sela Jari Tangan Berupa Plak Eritematosa,
Numular, Batas Tegas, Iregular, Soliter dengan Pustul
di atasnya ............................................................. 36
Gambar 8. Lesi Skabies di Jari Tangan dan Sela Jari Tangan
Berupa Papul, Vesikel Ekskoriasis dan Skuama Kolaret,
Multipel, Diskret ....................................................
36
Gambar 9. Lesi Skabies di Perut Berupa Papul Eritematosa,
Ekskoriasi dan Krusta Merah Kehitaman, Multipel, Diskret 37
Gambar 10. Lesi Skabies di Bokong dan Pangkal Paha bagian
Posterior Bilateral Asimetris Berupa Papul Eritematosa,
Ekskoriasi dan Krusta Merah Kehitaman, Multipel,
Diskret ..................................................................
37
Gambar 11. Lesi Skabies di Bokong Berupa Papul, Erosi,
Ekskoriasi, Krusta Merah Kehitaman dan Skuama
Kolaret, Multipel, Diskret ....................................
38
Gambar 12. Lesi Skabies di Bokong, Pangkal Paha Bagian Posterior
Bilateral Asimetris Berupa Papul, Pustul, Erosi,
Ekskoriasi, Krusta Merah Kehitaman dan Skuama
Kolaret, Multipel, Diskret ......................................
38
Gambar 13. Lesi Skabies di Penis, Skrotum, Lipat dan Pangkal
Paha Bilateral Asimetris Berupa Papul Eritematosa,
Multipel, Diskret ...................................................
39
vi
Gambar 14. Lesi Skabies di Penis dan Skrotum Berupa Papul
Eritematosa, Multipel, Diskret ............................
39
Gambar 15. Perbaikan Klinis Skabies Setelah Diterapi dengan
Permetrin ........................................................... 72
Gambar 16. Alur Investigasi Skabies ..................................... 103
vii
Daftar Tabel
Halaman
Tabel 1. Penyebab, Tatalaksana dan Pencegahan Pruritus
setelah Penggunaan Skabisida ................................
63
Tabel 2. Perbedaan Manifestasi Klinis Skabies Klasik dan Krustosa
77
Tabel 3. Terapi Berkelanjutan untuk Skabies Krustosa ..........
83
viii
BAB I
Pendahuluan
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (kutu
kecil) yaitu Sarcoptes scabiei varietas hominis. Penyakit tersebut
merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di wilayah beriklim
tropis dan subtropis. Jumlah penderita skabies di dunia lebih dari 300
juta setiap tahun dengan angka yang bervariasi di setiap negara.1
Prevalensi skabies di negara berkembang lebih tinggi dari di negara
maju. Di Inggris pada tahun 1997-2005, skabies terjadi pada 3 orang
per 1.000 penduduk. Di Spanyol pada tahun 2012, prevalensi skabies
pada imigran adalah 4,1%. Prevalensi skabies di daerah endemis di
India adalah 13% dan di daerah kumuh Bangladesh prevalensi pada
anak berusia 6 tahun adalah 29%. Pada populasi umum, prevalensi
skabies di Kamboja adalah 43% dan di Chile prevalensi skabies sekitar
1-5%. Di Timor Leste, survei skabies di empat kabupaten pada tahun
2010 menunjukkan prevalensi17,3%.1
Di Indonesia, skabies merupakan salah satu penyakit kulit tersering
di puskesmas. Prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia
pada tahun 2008 adalah 5,6-12,9% dan merupakan penyakit kulit
terbanyak ketiga. Pada tahun 2008 survei di berbagai pemukiman
kumuh seperti di tempat pembuangan sampah akhir dan rumah susun
di Jakarta menunjukkan prevalensi skabies sebesar 6,2%, di Boyolali
7,4%, di Pasuruan 8,2%, dan di Semarang 5,8%.2
Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies adalah
kemiskinan, kepadatan penghuni rumah, tingkat pendidikan rendah,
keterbatasan air bersih, dan perilaku kebersihan yang buruk.
Tingginya kepadatan penghuni disertai interaksi dan kontak fisik yang
erat memudahkan penularan skabies. Kepadatan penghuni rumah
merupakan faktor risiko paling dominan dibandingkan faktor risiko
skabies lainnya. Berdasarkan faktor risiko tersebut prevalensi skabies
yang tinggi umumnya terdapat di asrama, panti asuhan, pondok
pesantren, penjara, dan pengungsian.
Di Malaysia, prevalensi skabies di asrama rumah kesejahteraan bagi
orang berusia lanjut di Pulau Pinang pada tahun 2010 adalah 30%. 3
Ketika bencana alam gempa bumi dan tsunami melanda
Nanggroe Aceh Darussalam, skabies merupakan penyakit
11
kedua terbanyak pada pengungsi. Pada saat itu sekitar 26,4%
warga Lhokseumawe yang mengungsi terinfestasi skabies.4
Wabah skabies juga terjadi pada pengungsi Suriah di Lebanon
Utara. Di Sierra Leone sebanyak 86% anak-anak yang tinggal di
pengungsian padat penghuni menderita skabies. Di pengungsian
tersebut, 5-6 keluarga tinggal dalam satu rumah. Berkembangnya
skabies di pengungsian terjadi karena tempat tinggal yang terlalu
padat, tingkat kebersihan yang rendah, kurangnya air bersih dan
penatalaksanaan limbah yang buruk.5
Dari penelitian di penjara Hamadan,7 Iran didapatkan 2,6%
narapidana menderita skabies.6 Amro et al meneliti 1734 penderita di
klinik dermatologi di Palestina pada tahun 2005-2010 dan mendapatkan
prevalensi skabies rata-rata per tahun sebesar 26%. Sumber infeksi
skabies berasal dari penjara. Pada tahun 2008, prevalensi skabies
di Tikrit, Irak adalah 11% dan 83% dari penderita tersebut terinfestasi
skabies di penjara. Nazari et al6 menyatakan skabies lebih sering
ditemukan pada narapidana yang tinggal dipenjara kurang dari 6 bulan,
pengguna narkoba, berpindah-pindah tempat tidur, menggunakan
selimut bersama, perilaku kebersihan yang buruk, mandi sekali
seminggu atau kurang, serta tidak menggunakan sabun dan sampo.
Skabies banyak terdapat di panti asuhan dan pondok pe­
santren. Di Thailand sebanyak 87% anak-anak
yang tinggal disebuah panti asuhan menderita skabies. 8
Survei terhadap 120 anak di rumah singgah Malaysia me­
nunjukkan 46% anak berusia 10-12 tahun menderita skabies.9
Ratnasari et al10 melaporkan pada tahun 2012 prevalensi skabies di
sebuah pesantren di Jakarta Timur adalah 51,6% dan pada tahun
2014 Soedarman11 menyampaikan prevalensi skabies di sebuah
pesantren di Jakarta Selatan adalah 68%.
Penderita skabies terganggu kualitas hidupnya karena me­ngalami
gatal hebat dan radang di kulit akibat infeksi sekunder oleh bakteri
sehingga produktivitas dan prestasi akademik menurun. Sudarsono12
melaporkan bahwa prestasi belajar santri di sebuah pesantren di
Medan lebih rendah setelah terinfestasi skabies. Pada tahun 2008
sebanyak 15,5% santri di sebuah pesantren di Provinsi Aceh
menurun nilai rapornya dibandingkan sebelum menderita skabies.
2
Faktor risiko tingginya prevalensi skabies di pesantren adalah
kepadatan penghuni yang tinggi dan perilaku kebersihan yang
buruk padahal sebagai institusi agama Islam, pesantren seharusnya
menyelenggarakan pendidikan di lingkungan yang bersih dan sehat.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmizi dikatakan bahwa:
“Sesungguhnya Allah SWT itu suci dan
menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih
yang menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia
yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang
menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah
tempat-tempatmu”.
Pada kenyataannya, tingkat kebersihan di pesantren umumnya
rendah dan santri banyak menderita skabies. Meskipun demikian,
kondisi itu sering diabaikan dan skabies dianggap sebagai penyakit
yang biasa menghinggapi santri. Bahkan ada ungkapan yang
menyatakan “belum jadi santri apabila belum mengalami kudisan”.
Hal tersebut tentu saja tidak benar karena skabies kronik dan berat
dapat menimbulkan komplikasi berupa infeksi sekunder oleh bakteri
dan menurunkan kualitas hidup serta penderitaan bagi santri.
Penderita skabies juga menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya
sehingga harus diobati dan pesantren perlu melakukan upaya
pemberantasan. Oleh karena itu, pesantren perlu berbenah diri
untuk menjadi institusi pendidikan yang bersih dan sehat agar
terbebas dari skabies. Cita-cita menuju pesantren bebas skabies
perlu dicanangkan.
Pemberantasan skabies di asrama, panti asuhan, pondok
pesantren, dan tempat lain dengan kepadatan penghuni yang tinggi
tidak dapat dilakukan secara individual melainkan harus serentak
dan menyeluruh. Semua penderita skabies harus diobati dan
lingkungan harus dibersihkan (dekontaminasi). Jika tidak, penderita
skabies yang telah sembuh akan tertular lagi dan reinfestasi
skabies akan terjadi dalam waktu singkat dengan lingkaran setan
yang sulit diputus. Diperlukan peran dokter dan tenaga kesehatan
lainnya untuk menjadi agen perubahan serta pendidik bagi
penduduk terutama untuk masyarakat yang memiliki risiko tinggi
menderita skabies. Berdasarkan hal tersebut diperlukan informasi
yang lengkap tentang skabies sebagai pedoman pengobatan,
pemberantasan, dan pencegahan skabies.
3
Buku ini membahas penyebab skabies, epidemiologi,
patogenesis, gejala, diagnosis, pengobatan, pemberantasan dan
pencegahan disertai hasil penelitian terbaru. Diharapkan buku ini
dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa program studi pendidikan
dokter, peserta program dokter spesialis kulit dan kelamin, peserta
program dokter spesialis parasitologi klinik dan tenaga kesehatan
lain dalam mendiagnosis, mengobati, memberantas dan mencegah
skabies baik di level individu maupun di institusi.
4
BAB II
Sejarah
Skabies adalah penyakit kuno yang telah lama dikenal, setidaknya
selama 2500 tahun terakhir. Kata skabies berasal dari bahasa Latin
scabere yang berarti menggaruk karena gejala utama skabies adalah
rasa gatal hebat sehingga penderita sering menggaruk. Hieroglif
dan bukti-bukti arkeologi Mesir menunjukkan bahwa skabies telah
menginfestasi manusia sejak berabad-abad yang lalu.
S.scabiei dideskripsikan dalam risalah ilmiah pada tahun 1100
SM, namun kaitannya dengan penyakit kulit baru terungkap 500 tahun
kemudian. Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang
mengidentifikasi tungau penyebab skabies dan menyebutkan sebagai
lice in the flesh.
Kepustakaan tertua menyatakan orang pertama yang menguraikan
skabies adalah Aboumezzan Abdel Malek ben Zohar14 yang lahir
di Spanyol pada tahun 1070 dan wafat di Maroko pada tahun 1162.
Dokter tersebut menulis sesuatu yang disebut soab yang hidup di kulit
dan menimbulkan gatal. Bila kulit digaruk muncul hewan kecil yang sulit
dilihat dengan mata telanjang.13,14
Penemuan skabies merupakan sejarah penting dalam
perkembangan ilmu kedokteran karena S.scabiei adalah organisme
pertama yang diidentifikasi sebagai etiologi suatu penyakit. Pada tahun
1678, Giovan Cosimo Bonomo14 menulis hasil penelitiannya mengenai
hubungan penyakit kulit, S.scabiei dan prinsip penatalaksanaan skabies
lalu menyampaikannya kepada Francesco Redi. Penemuan terbesar
Bonomo14 adalah S.scabiei tidak selalu tinggal di dalam terowongan
kulit melainkan berjalan di permukaan kulit untuk mencari lokasi baru.
Tungau juga dapat berpindah dari satu penderita skabies ke orang lain
dan menyebabkan infestasi baru.
Pada tahun 1805, Joseph Adam menginfeksikan S.scabiei ke
kulitnya sendiri. Beberapa hari kemudian, ia merasa gatal dan timbul
lesi di bagian kulit yang diinfeksi. Pada tahun 1812 Gales menemukan
S.scabiei dan meminta Meunir untuk melukisnya, namun penemuan
Gales tidak dapat dibuktikan oleh ilmuwan lainnya. Pada tahun 1820,
Raspail menyatakan bahwa tungau yang ditemukan Gales identik
dengan tungau keju sehingga Gales dinyatakan sebagai penipu.
5
Penemuan Gales baru diakui pada tahun 1839 ketika Renucci seorang
mahasiswa dari Corsica berhasil mendemonstrasikan cara mendapatkan
tungau dari penderita skabies menggunakan sebuah jarum.
Pada tahun 1865, Thomas Hiller merangkum berbagai hasil
penelitian skabies dan menyimpulkan bahwa dari sampel kulit
penderita skabies ditemukan hewan kecil yang bersarang di kulit
dan berkembang biak dengan cara bertelur. Hewan tersebut
menimbulkan gatal pada orang yang dihinggapinya. Pada
tahun 1919 Munro berhasil menginfeksi kulit seseorang dengan
mentransfer larva dan nimfa S.scabiei ke kulit orang sehat lalu
timbul manifestasi skabies di kulit tersebut.15
Saat Perang Dunia II berlangsung pada tahun 1940-an, Mellanby16
seorang peneliti dari Sorby Research Institute di Sheffield,
Inggris meneliti penularan dan pengobatan skabies. Penelitian
dilakukan terhadap 30 relawan yang bersedia tinggal dalam satu
rumah di daerah sub-urban selama studi berlangsung. Mellanby16
menyimpulkan infestasi kulit oleh S.scabiei disebabkan oleh tungau
betina yang baru dibuahi. Penemuan Mellanby16 merupakan
kontribusi besar untuk kesehatan di dunia khususnya bagi para
prajurit yang menderita skabies saat Perang Dunia II.
6
BAB III
Epidemiologi
Skabies disebut juga the itch, pamaan itch, seven year itch karena
gatal hebat yang berlangsung menahun. Di Indonesia skabies disebut
penyakit kudis, gudik, atau buduk. Skabies terdapat di seluruh dunia
dengan prevalensi yang bervariasi, tetapi umumnya terdapat di wilayah
beriklim tropis dan subtropis di negara berkembang. Siapapun yang
kontak dengan S.scabiei dapat terinfestasi skabies, meskipun demikian
skabies lebih banyak terdapat pada penduduk yang memiliki faktor risiko
tinggi untuk terinfestasi skabies. Di masyarakat yang memiliki risiko tinggi
skabies prevalensi dapat mencapai 80%.
Jumlah penderita skabies di dunia diperkirakan lebih dari 300 juta
setiap tahunnya sehingga menimbulkan beban ekonomi bagi individu,
keluarga, masyarakat dan sistem kesehatan. Biaya untuk mengobati
skabies cukup mahal karena biasanya skabies menginfeksi orang miskin
yang tidak mampu membayar biaya berobat. Biaya menjadi semakin
mahal apabila penderita mengalami skabies berat dengan komplikasi
infeksi sekunder oleh bakteri. Pada level rumah tangga, dana yang
digunakan untuk berobat mengakibatkan pengurangan biaya untuk
kebutuhan pokok misalnya untuk makan sehingga menambah beban
keluarga. Pada level institusi dana yang cukup besar dikeluarkan untuk
menanggulangi wabah skabies.17
Skabies memiliki hubungan erat dengan kebersihan personal dan
lingkungan tempat tinggal sehingga sering terjadi pada orang yang tinggal
bersama di pemukiman padat penghuni misalnya di perkampungan
padat penduduk atau di pondok pesantren dengan kepadatan penghuni
yang tinggi. Wabah skabies sering dijumpai di lingkungan padat penghuni
dengan kontak kulit yang erat dan lama seperti di tempat penitipan anak,
panti asuhan, tempat perawatan orang usia lanjut, penjara, pengungsian,
dan pesantren bahkan di rumah sakit.18
Skabies memiliki masa inkubasi yang lama sehingga orang yang
terpajan skabies tidak menyadarinya sebelum timbul lesi klinis yang
jelas dan dapat didiagnosis sebagai skabies. Pada orang muda sehat,
skabies lebih dianggap sebagai gangguan yang menjengkelkan karena
gatal hebat. Pada orang tua atau orang dengan imunitas rendah,
skabies sering tidak terdiagnosis karena lesi mirip penyakit lain. Oleh
karena itu skabies sering terlambat didiagnosis, pengobatannya tidak
7
adekuat atau salah, dan tindak lanjutnya tidak memadai sehingga sering
menimbulkan wabah serta terus menerus endemis di daerah yang
memiliki faktor risiko tinggi untuk terinfestasi skabies.
Romani et al19 melakukan systematic review terhadap 48 penelitian
skabies di berbagai negara dengan studi utama di negara berkembang
yang memiliki status ekonomi menengah kebawah. Prevalensi skabies
pada populasi umum paling tinggi di Papua Nugini, Panama dan Fiji
sedangkan prevalensi skabies pada anak-anak paling banyak ditemukan
di Panama. Pada systematic review tersebut dilaporkan bahwa skabies
merupakan penyakit kulit yang biasa ditemukan di negara berkembang
terutama pada anak-anak, masyarakat kurang mampu, pendidikan
rendah serta kepadatan penduduk yang tinggi. Berdasarkan review
tersebut, Romani et al19 menyimpulkan bahwa skabies merupakan
penyakit kulit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang yang sulit diberantas sehingga diperlukan penelitian secara
komprehensif untuk memperoleh strategi pengendalian yang efektif dan
efisien. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi prevalensi skabies di
masyarakat disampaikan di Gambar 1.
Kelompok yang
mudah terserang
- Anak-anak
- Orang tua
- Tunawisma
Penyebar utama
- Crusted scabies
- Investasi pada
anggota keluarga
Kemiskinan
- Padat penduduk
- Akses air terbatas
- Pendidikanrendah
Prevalensi skabies
di masyarakat
Perilaku
- Persepsi tentang
penyakit
- Kepedulian
terhadap kesehatan
- Kepadatan kamar
tidur
Diagnosis dan
pengobatan terlambat
Akses ke pelayanan
kesehatan sulit
Cuaca
- Suhu
- Kelembaban
Kekurangan pelayanan
kesehatan
- Salah diagnosis
- Obat yang tidak
adekuat
Gagal Pengobatan
- Pengobatan tidak
adekuat atau
komplikasi
Infestasi permanen
Alat diagnostik
dengan sensitivitas
rendah
Gambar 2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prevalensi Skabies19
Gambar 1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prevalensi Skabies19
Faktor Risiko Skabies
Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu usia, jenis kelamin, tingkat
kebersihan,penggunaan alat-alat pribadibersama-sama, kepadatan penghuni, tingkat
pendidikan dan pengetahuan tentang skabies, budaya setempat, serta sosio-ekonomi.
8
Usia
Skabies dapat ditemukanpada semua usia tetapi lebih seringmenginfestasi anak-anak
20
Faktor Risiko Skabies
Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu usia, jenis
kelamin, tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat pribadi bersamasama, kepadatan penghuni, tingkat pendidikan dan pengetahuan
tentang skabies, budaya setempat, serta sosio-ekonomi.
Usia
Skabies dapat ditemukan pada semua usia tetapi lebih sering
menginfestasi anak-anak dibandingkan orang dewasa.20 Penelitian
restrospektif yang dilakukan terhadap 29.708 anak di India pada tahun
2009 menunjukkan bahwa skabies merupakan penyakit kulit tersering
kedua di kelompok usia anak dan tersering ketiga pada bayi.17 Anakanak lebih mudah terserang skabies karena daya tahan tubuh yang lebih
rendah dari orang dewasa, kurangnya kebersihan, dan lebih seringnya
mereka bermain bersama anak-anak lain dengan kontak yang erat.
Skabies juga mudah menginfestasi orang usia lanjut karena imunitas
yang menurun dan perubahan fisiologi kulit menua. Selain faktor
imunitas, orang usia lanjut juga mengalami perubahan fisiologi kulit
yaitu atrofi epidermis dan dermis, hiperkeratosis, menurunnya fungsi
sawar kulit terhadap serangan dari luar, dan proses penyembuhan
yang lebih lambat. Kulit orang usia lanjut yang kering juga merupakan
port d’entrée patogen antara lain S.scabiei.22
Selain orang usia lanjut, golongan rentan skabies adalah penderita
yang dirawat di bangsal psikiatri, penderita dengan gangguan jiwa, orang
yang menerima transplantasi organ, pengidap kusta, dan pengguna
narkoba. Skabies mudah menyerang orang yang memiliki faktor risiko
tinggi seperti orang berusia lanjut yang dirawat di panti jompo, penderita
HIV/AIDS, dan orang yang minum obat atau menjalani terapi yang
mengakibatkan penurunan sistem imun. Lay et al21 melaporkan bahwa
penderita skabies yang dirawat di fasilitas perawatan jangka panjang
di 399 rumah sakit di Taiwan rata-rata berusia 80 tahun. Di rumah sakit
tersebut, dari 706 penderita yang didiagnosis skabies, sebanyak 86%
adalah penderita tirah baring dan 42% pengidap diabetes melitus tipe 2.
Skabies sering menginfestasi orang usia lanjut yang tinggal di
fasilitas perawatan jangka panjang misalnya di panti jompo karena
kepadatan penghuni serta perawatan dan kebersihan yang kurang
memadai. Faktor risiko infestasi skabies di rumah perawatan orang usia
9
lanjut adalah memiliki tempat tidur lebih dari 120 buah dan rasio tempat
tidur dengan petugas kesehatan <10:1.22
Pada orang usia lanjut manifestasi skabies dapat berupa lesi kulit
atipik karena perubahan respons imun terhadap tungau. Lesi kulit atipik
menyebabkan lesi skabies tidak mudah dikenali sehingga sering luput
dari diagnosis. Selain lesi atipik, orang usia lanjut sering mengalami
pruritus akibat kulit kering atau ansietas sehingga jika mengalami gatal
tidak dipikirkan kemungkinan skabies. Penderita tersebut umumnya
diberi antihistamin oral dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi
keluhan gatal.
Penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang dapat mengubah
presentasi lesi kulit dari lesi kulit tipikal menjadi atipik.13 Oleh karena itu,
dapat dimengerti jika wabah skabies sering terjadi di panti jompo atau
tempat perawatan orang berusia lanjut lainnya. Pada tahun 2011, Meyer
et al23 melaporkan wabah skabies di rumah sakit pendidikan di Perancis
yang menyerang staf dan penderita. Wabah tersebut berhasil diatasi
dalam 3 bulan dengan pengobatan masal terhadap 490 penderita dan
529 petugas kesehatan.
Jenis Kelamin
Skabies dapat menginfestasi laki-laki maupun perempuan, tetapi
laki-laki lebih sering menderita skabies. Hal tersebut disebabkan lakilaki kurang memerhatikan kebersihan diri dibandingkan perempuan.
Perempuan umumnya lebih peduli terhadap kebersihan dan
kecantikannya sehingga lebih merawat diri dan menjaga kebersihan
dibandingkan laki-laki.
Pada penelitian disebuah pesantren daerah Pekalongan diperoleh
hasil bahwa prevalensi skabies pada laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan. Hilmy20 melakukan penelitian di sebuah pesantren di Jakarta
Timur dan mendapatkan prevalensi skabies pada tahun 2011 adalah
51,6% dengan santri laki-laki lebih banyak menderita skabies daripada
perempuan. Penelitian Fakoorziba et al5 di Iran juga menunjukkan bahwa
prevalensi skabies lebih tinggi pada laki-laki. Ratnasari10 melaporkan
prevalensi skabies di sebuah pesantren di Jakarta Timur pada tahun
2014 adalah 51,6% dan santri laki-laki (57,4%) lebih banyak menderita
skabies dibandingkan perempuan (42,9%).
10
Tingkat Kebersihan
Memelihara kebersihan diri pada seseorang harus menyeluruh,
mulai dari kulit, tangan, kaki, kuku, sampai ke alat kelamin. Cuci tangan
sangat penting untuk mencegah infeksi bakteri, virus, dan parasit.
Skabies menimbulkan rasa gatal yang hebat terutama pada malam
hari dan pada suasana panas atau berkeringat. Karena rasa gatal
yang hebat, penderita skabies akan menggaruk sehingga memberikan
kenyamanan dan meredakan gatal walau untuk sementara. Akibat
garukan, telur, larva, nimfa atau tungau dewasa dapat melekat di kuku
dan jika kuku yang tercemar tungau tersebut menggaruk daerah lain
maka skabies akan menular dengan mudah dalam waktu singkat. Oleh
karena itu, mencuci tangan dan memotong kuku secara teratur sangat
penting untuk mencegah skabies. Mandi dua kali sehari memakai sabun
sangat penting karena pada saat mandi tungau yang sedang berada di
permukaan kulit terbasuh dan lepas dari kulit.25
Kebiasaan menyetrika pakaian, mengeringkan handuk, dan
menjemur kasur di bawah terik sinar matahari setidaknya seminggu
sekali dapat mencegah penularan skabies. Tungau akan mati jika
terpajan suhu 50o C selama 10 menit.26 Oleh karena itu, panas setrika
dan terik sinar matahari mampu membunuh tungau dewasa yang
melekat di barang-barang tersebut apabila terpajan dalam waktu
yang cukup.
Skabies berhubungan erat dengan tingkat kebersihan pribadi
dan lingkungan. Putri27 melakukan penelitian di SD Negeri Magelang
tentang hubungan kebersihan individu, sanitasi lingkungan, dan
status gizi terhadap skabies pada anak-anak. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan terdapat hubungan antara kebersihan individu dengan
prevalensi skabies. Anak-anak dengan kebersihan kurang baik memiliki
risiko 6 kali lipat untuk terinfestasi skabies dibandingkan anak-anak
dengan kebersihan diri yang baik.
Penelitian Susilo28 di sebuah pesantren di Jakarta Timur juga
mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara kebersihan diri
dengan skabies. Sebanyak 49 dari 183 santri memiliki kebersihan diri
baik dan 134 santri memiliki kebersihan diri kurang. Perilaku tidak
baik yang banyak dilakukan santri adalah menggunakan satu kasur
bersama atau berpindah-pindah tidur (84,4% santri).
11
Pada suatu survei di sebuah pesantren di Jakarta Selatan
diperoleh prevalensi skabies sebesar 49,3% dan umumnya santri
(86,7%) memiliki perilaku kebersihan yang buruk. Santri berperilaku
kebersihan baik adalah yang mencuci baju dengan sabun, menjemur
pakaian di bawah sinar matahari dan menyetrika setiap hari, tidak
bertukar pakaian, tidak bertukar handuk, tidak berbagi kasur, mandi
lebih dari satu kali sehari memakai sabun, dan menjemur kasur
setiap minggu.
Pada kenyataannya, hasil survei menunjukkan, semua
santri berperilaku buruk karena kadang-kadang tidak mandi atau
mandi namun tidak memakai sabun dan tidak mengeringkan
daerah kemaluan dengan handuk kering setelah cebok. Santri
juga tidak menjemur handuk diterik sinar matahari namun hanya
menggantungkan di kamar tidur. Baju dan pakaian dalam yang
telah dipakai tidak langsung dicuci tetapi dilipat atau digantung lalu
dipakai lagi. Pakaian yang telah dicuci akan disetrika namun jika
sedang malas pakaian hanya dicuci dan tidak disetrika.
Kebiasaan buruk lainnya adalah santri sering saling meminjam
handuk, pakaian dan perlengkapan shalat (sarung, mukena,
kerudung) dan tidak menjemur kasur yang dipakainya di bawah
terik sinar matahari serta sering tidur di kasur temannya.
Santri memiliki kebiasaan menggunakan pakaian berlapis-lapis
seperti kaos dalam, kemeja atau baju koko dan jaket walaupun udara
panas. Keadaan tersebut menyebabkan santri banyak berkeringat
dan keringatnya membasahi pakaian, namun pakaian yang basah
oleh keringat tersebut tidak dicuci melainkan hanya ditumpuk di
atas lemari dan digunakan lagi setelah kering. Perilaku santri yang
lebih buruk adalah sering bertukar atau meminjam pakaian yang
telah dipakai dan belum dicuci tersebut.
12
Dalam melakukan survei perilaku kebersihan santri, kuesioner
yang digunakan adalah:29
1. Kebiasaan mandi
1 = baik (mandi dua kali sehari memakai sabun)
0 = buruk (mandi kurang dari dua kali sehari atau tidak memakai
sabun)
2. Membersihkan daerah kemaluan dan mengeringkannya
dengan handuk
1 = baik (ya)
0 = buruk (tidak)
3. Bertukar/saling meminjam handuk
1 = baik (tidak pernah bertukar handuk dengan santri lain)
0 = buruk (bertukar handuk dengan santri lain)
4. Menjemur handuk di bawah sinar matahari
1 = baik (selalu menjemur handuk setelah digunakan)
0 = buruk (menjemur handuk setelah digunakan dua kali atau
lebih)
5. Mengganti pakaian
1 = baik (minimal dua kali sehari)
0 = buruk (kurang dari dua kali sehari)
6. Bertukar/saling meminjam pakaian
1 = baik (tidak pernah bertukar pakaian dengan santri lain)
0 = buruk (bertukar pakaian dengan santri lain)
7. Mencuci pakaian
1 = baik (mencuci pakaian setelah digunakan sekali)
0 = buruk (mencuci pakaian setelah digunakan beberapa kali)
8. Menyetrika pakaian
1 = baik (menyetrika pakaian setelah dicuci)
0 = buruk (tidak menyetrika pakaian setelah dicuci)
9. Menjemur kasur di bawah terik sinar matahari
1 = baik (menjemur kasur di terik matahari seminggu sekali)
0 = buruk (tidak menjemur kasur di terik matahari)
10. Santri tidur di satu kasur dengan santri lainnya
1 = baik (tidak pernah)
0 = buruk (pernah)
13
Penggunaan Alat Pribadi Bersama
Saat masuk pesantren, santri tidak menderita skabies namun
setelah tinggal di pesantren selama 1-3 bulan, gejala klinis skabies
mulai timbul karena tertular dari temannya.20 Penggunaan alat
pribadi bersama-sama merupakan salah satu faktor risiko skabies.
Kebiasaan tukar menukar barang pribadi seperti sabun, handuk,
selimut, sarung dan pakaian bahkan pakaian dalam merupakan
perilaku santri sehari-hari. Pakaian yang dipinjam bukan saja
pakaian yang bersih namun juga pakaian yang telah dipakai dan
belum dicuci. Susilo28 mengemukakan bahwa 82,2% santri di
pesantren Jakarta Timur memiliki kebiasaan buruk, yaitu sering
bertukar handuk dan pakaian.
Tungau dewasa dapat keluar dari stratum korneum, melekat di
pakaian dan dapat hidup di luar tubuh manusia sekitar tiga hari; masa
tersebut cukup untuk menularkan skabies. Oleh karena itu, santri
tidak boleh saling meminjam pakaian dan peralatan shalat terutama
pakaian yang telah digunakan dan belum dicuci.28
Kepadatan Penghuni
Faktor utama risiko skabies adalah kepadatan penghuni rumah
dan kontak yang erat. Prevalensi skabies dua kali lebih tinggi di
pemukiman kumuh perkotaan yang padat penduduk dibandingkan
di kampung nelayan yang tidak padat.30 Pada saat migrasi manusia
secara masal di Eropa pada Perang Dunia I dan II serta Perang
Vietnam, prevalensi skabies di masyarakat lebih dari 30% karena
pada saat perang, masyarakat tinggal bersama di pengungsian
dengan kepadatan penghuni yang tinggi.
Prevalensi skabies yang sangat tinggi ditemukan pada suku
Aborigin di Australia karena perilaku kebersihan kurang baik
dan kepadatan penghuni yang tinggi. Kanish et al31 melaporkan
penyakit kulit yang paling sering dijumpai di penjara India adalah
skabies (37%). Tingginya prevalensi skabies di penjara India karena
lingkungan hidup yang terlalu padat serta higiene dan sanitasi yang
buruk. Kepadatan penduduk tanpa sanitasi yang buruk juga dapat
meningkatkan prevalensi skabies seperti yang terjadi di masyarakat
Indian Kuna yang tinggal dipulau-pulau kecil pesisir Panama.
14
Skabies banyak menghinggapi murid yang tinggal di asrama dengan
tingkat hunian yang tinggi misalnya di pondok pesantren yaitu sekolah
Islam dengan sistem asrama dan muridnya disebut santri. Pelajaran
yang diberikan di pesantren adalah pengetahuan umum dan agama
namun lebih ditekankan pada pelajaran agama Islam.
Di Indonesia, sebagai negara yang memiliki penduduk muslim
terbanyak di dunia tercatat 14.798 pondok pesantren. Santri umumnya
berasal dari keluarga dengan kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan
rendah sehingga tidak mampu membayar biaya pendidikan dan biaya
hidup layak di pesantren. Dengan demikian, tidak mengherankan
jika pesantren umumnya padat penghuni dengan fasilitas yang
serba terbatas. Satu ruangan tidur dapat berisi 30-50 santri dengan
fasilitas dan tingkat kebersihan yang kurang memadai. Kondisi tersebut
menyebabkan skabies mudah menular dengan cepat dan sulit diberantas.
Di Kabupaten Temanggung, terdapat 76 pondok pesantren yang
santrinya mengalami masalah skabies. Di pesantren dengan kebersihan
individu dan kebersihan lingkungan yang buruk prevalensi skabies
adalah 25%, sedangkan prevalensi skabies di pesantren dengan
tingkat kebersihan yang baik prevalensi skabies lebih rendah yaitu 3%.32
Skabies banyak terdapat di pesantren karena santri umumnya tidur di
ruangan padat penghuni dan sering bertukar kasur atau tidur di kasur
temannya. Berbagai penelitian melaporkan bahwa skabies lebih mudah
menular pada orang yang sering bertukar tempat tidur atau kasur.
Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan tentang Skabies
Secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin
bertambah pengetahuannya termasuk pengetahuan kesehatan.
Pendidikan di pesantren memiliki jenjang sebagaimana pendidikan
umum yaitu madrasah ibtidaiyah (sekolah dasar), madrasah tsanawiyah
(sekolah menengah pertama), dan madrasah aliyah (sekolah menengah
atas). Materi pendidikan yang diberikan adalah pengetahuan umum dan
pengetahuan agama tetapi lebih banyak pengetahuan agama. Dengan
meningkatnya pendidikan, diharapkan pengetahuan mengenai skabies
meningkat karena santri yang berpendidikan lebih tinggi biasanya
mempunyai inisiatif untuk mencari informasi di luar pendidikan formal
misalnya dari internet. Pada kenyataannya berbagai survei di pesantren
menunjukkan bahwa prevalensi skabies tidak berhubungan dengan
tingkat pendidikan santri.
15
Pengetahuan merupakan hal penting dalam memengaruhi perilaku
seseorang terhadap penyakit termasuk skabies. Apabila seseorang
memiliki pengetahuan kesehatan dan kebersihan yang tinggi diharapkan
dapat berperilaku baik dalam menjaga kesehatannya termasuk dalam
menghindari penyakit skabies.
Pada kenyataannya, di daerah yang sering mengalami wabah
atau endemis skabies, pengetahuan masyarakat mengenai skabies
umumnya rendah. Hilmy20 melaporkan bahwa 93,6 % santri memiliki
pengetahuan kurang mengenai skabies dan hanya 1,4% santri yang
memiliki pengetahuan baik. Penelitian Nindrya33 menunjukkan bahwa
sebagian besar santri (67,9%) berpengetahuan kurang mengenai gejala
klinis skabies sedangkan santri berpengetahuan baik hanya 4,2% dan
pengetahuan sedang 27,9%. Dari penelitian Ramadhan34 diperoleh
hasil bahwa mayoritas santri (71,4%) tidak mengetahui cara penularan
skabies dan hanya sedikit santri (4,5%) yang berpengetahuan baik
mengenai penularan skabies. Aulia35 melaporkan bahwa santri
berpengetahuan kurang mengenai penyebab skabies sebanyak 93,6%
sedangkan santri berpengetahuan cukup dan pengetahuan baik adalah
5% dan 1,4%. Penelitian Ningtiyas36 tentang pengetahuan pengobatan
skabies menunjukkan 70,7% santri memiliki pengetahuan kurang dan
hanya 5,7% memiliki pengetahuan baik. Rangganata37 melaporkan 9,3%
santri mempunyai pengetahuan baik tentang pencegahan skabies, 8,6%
berpengetahuan cukup dan 82,1% berpengetahuan kurang. Rendahnya
pengetahuan santri mengenai skabies karena pengetahuan tersebut
tidak diajarkan pada pendidikan formal di pesantren meskipun santri
banyak yang menderita skabies. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
pengetahuan santri mengenai skabies perlu ditingkatkan misalnya
melalui penyuluhan kesehatan.
Rosandi38 melaporkan penyuluhan kesehatan dalam bentuk
ceramah dan diskusi dapat meningkatkan pengetahuan santri tentang
skabies. Santri dengan tingkat pendidikan baik meningkat dari 14,4%
menjadi 82,7% setelah penyuluhan, sedangkan santri dengan
tingkat pengetahuan buruk menurun dari 68,3% menjadi 5,8%. Sari39
memaparkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara tingkat
pengetahuan santri mengenai penyebab skabies sebelum dan setelah
penyuluhan. Santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik tentang
pengobatan skabies meningkat jumlahnya dari 22,1% menjadi 65,4%
sedangkan santri yang memiliki tingkat pengetahuan buruk menurun
jumlahnya dari 51,9% menjadi 9,6% setelah penyuluhan. Thamrin40
16
melaporkan bahwa tingkat pengetahuan santri mengenai pengobatan
skabies sebelum dan sesudah penyuluhan berbeda bermakna. Dari
penelitian Adriansyah41 diperoleh hasil bahwa terdapat kenaikan skor
pengetahuan baik sebesar 54% dan penurunan skor pengetahuan
kurang sebesar 29% mengenai etiologi dan gejala klinis skabies.
Landika44 menyatakan
penyuluhan
dapat
meningkatkan
pengetahuan santri mengenai penularan dan pencegahan skabies.
Melalui pengetahuan yang telah diperoleh, diharapkan santri dapat
mengenal gejala skabies sehingga dapat segera berobat ke dokter dan
tidak menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya. Dengan pengetahuan
yang baik, diharapkan santri juga berperilaku hidup bersih dan sehat
sehingga dapat mencegah skabies.
Penyuluhan kesehatan terbukti dapat meningkatkan pengetahuan
mengenai skabies, namun jika penyuluhan kesehatan hanya dilakukan
satu kali saja, lama-kelamaan pengetahuan yang diperoleh akan terlupa.
Oleh karena itu, santri perlu diberikan informasi secara terus menerus
dan mudah diakses.20 Informasi tersebut dapat diberikan dalam bentuk
poster yang terpampang di kelas, ruang sholat, ruang mengaji, kamar
tidur, dll.
Budaya
Budaya masyarakat dapat mempengaruhi prevalensi penyakit di
suatu daerah. Di daerah tertentu, orang sakit tidak boleh dimandikan
karena kuatir akan memperparah penyakitnya. Oleh karena itu, jika
seseorang menderita skabies, maka tidak boleh mandi dan cuci tangan
bahkan tidak boleh terkena air sama sekali. Budaya seperti itu perlu
dihentikan dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat.
Santri memiliki jiwa kebersamaan karena merasa senasib dan
sepenanggungan sehingga terbiasa menggunakan barang-barang
pribadi bersama-sama seperti handuk, kasur, baju, selimut, sarung,
mukena, dll. Penggunaan barang-barang pribadi secara bersama tentu
saja memudahkan penularan skabies.
Di pesantren terdapat kepercayaan bahwa skabies adalah cobaan
dari Allah SWT. Oleh karena itu, santri dan pengelola pesantren
mengganggap skabies adalah hal biasa dan baru mencari pertolongan
ke dokter jika penyakit sudah parah. Kepercayaan yang salah tersebut
perlu diluruskan karena skabies adalah penyakit yang dapat diobati dan
17
dicegah. Skabies bukan cobaan dari Allah SWT tetapi karena perilaku
kebersihan yang tidak baik dan kepadatan penghuni kamar tidur yang
tinggi. Dengan demikian, santri dan pengelola pesantren perlu diberikan
informasi komprehensif mengenai skabies.43
Tingkat Sosio-Ekonomi
Untuk menjaga kebersihan diri diperlukan berbagai alat pembersih
seperti pasta gigi, sampo, dan sabun, namun karena santri biasanya
berasal dari keluarga dengan tingkat sosio-ekonomi kurang maka santri
merasa berat untuk membeli alat-alat pembersih diri. Karena tingkat
ekonomi yang kurang, santri juga tidak dapat tidur di kamar sendiri
melainkan harus bersama temannya.
Di pesantren, santri sudah biasa tidur bersama dalam satu ruangan
bersama 30 orang santri lainnya. Santri tidur beralaskan kasur tipis, yang
berdekatan satu dengan lainnya; bahkan satu kasur dipakai berdua.
Menurut Departemen Kesehatan RI dikutip oleh Sarayar29 standar
hunian kamar tidur adalah 8m2 per orang dan tidak dianjurkan lebih
dari dua orang dalam satu kamar. Pada kenyataannya, satu kamar di
pondok pesantren ada yang berukuran 15m2 dan dihuni 15 orang. Ratarata pondok pesantren tidak memenuhi standar hunian kamar sehingga
pencegahan dan pemberantasan skabies menjadi sulit.
Kualitas hidup penderita yang tinggal di daerah kumuh sangat
memprihatinkan. Kondisi rumah buruk, infrastruktur sanitasi tidak
memadai, dan padat penduduk sehingga skabies tidak menjadi prioritas
karena banyak hal lain yang perlu diutamakan.
18
BAB IV
Etiologi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi
S.scabiei varietas hominis. Parasit tersebut termasuk kelas arachnida,
subkelas acarina, ordo astigmata, dan famili sarcoptidae. Selain varietas
hominis, S.scabiei memiliki varietas binatang namun varietas itu hanya
menimbulkan dermatitis sementara, tidak menular, dan tidak dapat
melanjutkan siklus hidupnya di manusia.
S.scabiei bersifat host specific dan sifat itu terjadi karena perbedaan
fisiologi tungau dan variabel hospes seperti bau, diet, faktor-faktor fisik
dan respons imun. Arlian44 melakukan penelitian in vivo menggunakan
S.scabiei varietas suis, canis dan hominis. Pada penelitian tersebut
S.scabiei varietas canis berhasil ditransfer dari anjing ke kelinci tetapi
tidak dapat ditransfer ke babi, tikus, mencit dan marmut. Arlian juga
gagal mentransfer S.scabiei varietas suis dan varietas hominis ke anjing
dan kelinci yang merupakan dua hospes paling peka terhadap S.scabiei
varietas canis.
S.scabiei berbentuk lonjong dan gepeng, berwarna putih kotor,
punggungnya cembung, bagian dadanya rata, dan tidak memiliki mata.
Tungau betina berukuran lebih besar dibandingkan tungau jantan, yakni
0,3-0,45mm sedangkan tungau jantan berukuran 0,2-0,25mm. S.scabiei
memiliki dua segmen tubuh yaitu bagian anterior yang disebut nototoraks
dan bagian posterior yang disebut notogaster. Larva mempunyai tiga
pasang kaki sedangkan nimfa memiliki empat pasang kaki. Tungau
dewasa mempunyai empat pasang kaki, dua pasang kaki di bagian
depan dan 2 pasang kaki di bagian belakang. Dua pasang kaki bagian
belakang tungau betina dilengkapi dengan rambut dan pada tungau
jantan hanya pasangan kaki ketiga saja yang berakhir dengan rambut
sedangkan pasangan kaki keempatnya dilengkapi dengan ambulakral
(perekat). Alat reproduksi tungau betina berbentuk celah di bagian
ventral sedangkan pada tungau jantan berbentuk huruf Y yang terletak
di antara pasangan kaki keempat.
19
Gambar 2.
Sarcoptes scabiei Varietas Hominis
Siklus Hidup S.scabiei
S.scabiei memiliki metamorfosis lengkap dalam lingkaran hidupnya
yaitu: telur, larva, nimfa dan tungau dewasa (Gambar 3). Infestasi
dimulai ketika tungau betina gravid berpindah dari penderita skabies
ke orang sehat. Tungau betina dewasa berjalan di permukaan kulit
dengan kecepatan 2,5cm per menit untuk mencari tempat menggali
terowongan. Setelah menemukan lokasi yang sesuai, tungau
menggunakan ambulakral untuk melekatkan diri di permukaan
kulit kemudian membuat lubang di kulit dengan menggigitnya.
Selanjutnya tungau masuk ke dalam kulit dan membuat terowongan
sempit dengan permukaan yang sedikit terangkat dari kulit.45
20
Biasanya tungau betina menggali stratum korneum dalam waktu 30
menit setelah kontak pertama dengan menyekresikan saliva yang
dapat melarutkan kulit. Terowongan tungau biasanya terletak di
daerah lipatan kulit seperti pergelangan tangan dan sela-sela jari
tangan. Tempat lainnya adalah siku, ketiak, bokong, perut, genitalia,
dan payudara. Pada bayi, lokasi predileksi berbeda dengan dewasa.
Predileksi khusus bagi bayi adalah telapak tangan, telapak kaki,
kepala dan leher.
Tungau berkopulasi di dalam terowongan. Setelah kopulasi, tungau
betina akan membuat terowongan di kulit sampai perbatasan stratum
korneum dan stratum granulosum dengan kecepatan 0,5-5mm per hari.
Lokasi biasanya di stratum korneum kulit yang tipis.Tungau betina
hidup selama 30-60 hari di dalam terowongan dan selama waktu
tersebut tungau terus memperluas terowongannya.46 Penggalian
terowongan biasanya pada malam hari dan tungau menggali
terowongan sambil bertelur atau mengeluarkan feses.
Tungau betina bertelur sebanyak 2-3 butir setiap hari. Seekor
tungau betina dapat bertelur sebanyak 40-50 butir semasa
hidupnya. Dari seluruh telur yang dihasilkan tungau betina, kurang
lebih hanya 10% yang menjadi tungau dewasa dan pada seorang
penderita biasanya hanya terdapat 11 tungau betina dewasa.44 Telur
menetas menjadi larva dalam waktu 3-5 hari.
Larva berukuran 110x140mikron, mempunyai tiga pasang
kaki dan segera keluar dari terowongan induknya untuk membuat
terowongan baru atau hidup di permukaan kulit. Larva menggali
terowongan dangkal agar mudah untuk makan dan mengganti kulit
luar (ekdisis/pengelupasan kulit) untuk berubah menjadi nimfa.
Dalam waktu 3-4 hari, larva berubah menjadi nimfa yang mempunyai
4 pasang kaki.
Nimfa betina mengalami dua fase perkembangan. Nimfa pertama
panjangnya 160µm dan nimfa kedua panjangnya 220-250µm. Nimfa
kedua bentuknya menyerupai tungau dewasa, tetapi alat genitalnya
belum terbentuk sempurna. Nimfa jantan hanya mengalami satu fase
perkembangan. Nimfa berkembang menjadi tungau dewasa dalam
21
waktu tiga hari. Waktu sejak telur menetas sampai menjadi tungau
dewasa sekitar 10-14 hari. Tungau jantan hidup selama 1-2 hari dan
mati setelah kopulasi.44
Gambar 3. Siklus Hidup S.scabiei (Ilustrasi oleh Uti Nilam Sari)
22
BAB V
Penularan Skabies
Skabies dapat ditularkan melalui perpindahan telur, larva, nimfa,
atau tungau dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain namun dari
semua bentuk infektif tersebut tungau dewasalah yang paling sering
menyebabkan penularan. Sekitar 90% penularan skabies dilakukan
oleh tungau dewasa betina terutama yang gravid. Tungau tidak dapat
melompat atau terbang melainkan berpindah dengan merayap.
Kemampuan tungau untuk menginfestasi akan menurun seiring dengan
lamanya tungau berada di luar tubuh hospes.
Skabies dapat ditularkan secara langsung atau tidak langsung
namun cara penularan skabies yang paling sering adalah melalui kontak
langsung antar individu saat tungau sedang berjalan di permukaan kulit.
Kontak langsung adalah kontak kulit ke kulit yang cukup lama misalnya
pada saat tidur bersama. Kontak langsung jangka pendek misalnya
berjabat tangan dan berpelukan singkat tidak menularkan tungau.
Skabies lebih mudah menular secara kontak langsung dari orang ke
orang yang tinggal di lingkungan padat dan berdekatan seperti di panti
jompo, panti asuhan, pesantren dan institusi lain dimana penghuninya
tinggal dalam jangka waktu lama.
Tungau pindah dari penderita skabies ke hospes baru karena
stimulus aroma tubuh dan termotaksis dari hospes baru. Untuk
menularkan skabies, kedua stimulus tersebut harus adekuat dan cukup
lama yaitu sekitar 15-20 menit kontak langsung kulit ke kulit pada
saat orang tidur di kasur yang sama dengan penderita skabies atau
pada saat hubungan seksual.13 Pada orang dewasa, cara penularan
tersering adalah melalui hubungan seksual, sedangkan pada anak-anak
penularan didapat dari orang tua atau temannya. Anak-anak berpeluang
lebih besar menularkan skabies karena tingginya kontak interpersonal
terutama dengan saudara-saudaranya yang tinggal di tempat yang
sama dan dengan orang tuanya saat kontak fisik normal seperti ketika
berpelukan atau tidur bersama.
Tungau betina membuat terowongan di stratum korneum dan
meletakkan sekitar 4-5 butir telur setiap hari sampai 6 minggu sebelum
mati. Perkembangan siklus hidup S.scabiei dari telur-larva-nimfa
sampai dewasa membutuhkan waktu dua minggu. Mellanby16 berhasil
mendemontrasikan bahwa kontak langsung kulit-ke-kulit adalah cara
penularan skabies yang paling sering.
23
Mellanby16 melakukan penelitian terhadap 300 subjek untuk
mengetahui hubungan jumlah tungau dengan risiko penularan. Pada
penelitian tersebut, subjek diminta berbaring tanpa menggunakan
pakaian di kasur yang hangat dan sebelumnya telah digunakan oleh
penderita skabies yang terinfestasi <20 tungau. Hasilnya menunjukkan
4 subjek (1,3%) mengalami infestasi skabies setelah tidur dikasur
tersebut. Jumlah penderita yang tertular meningkat menjadi 15% ketika
kontak dengan penderita skabies yang memiliki >50 tungau (3 dari 20
subjek terinfestasi). Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan jumlah
tungau skabies berhubungan langsung secara proporsional dengan
risiko penularan.
Penularan skabies secara tidak langsung dapat terjadi melalui
kontak dalam durasi yang lama dengan seprai, sarung bantal dan
guling, pakaian, selimut, handuk dan perabot rumah tangga lainnya
yang terinfestasi S.scabiei. Penularan tungau secara tidak langsung
bergantung pada lama tungau dapat bertahan hidup di luar tubuh hospes
yang variasinya bergantung pada temperatur dan kelembaban. Pada
barang-barang yang terinfestasi, S.scabiei dapat bertahan 2-3 hari pada
suhu ruangan dengan kelembaban 30%. Semakin tinggi kelembaban
semakin lama tungau bertahan.
Di permukaan yang kering, baju, atau sprei, tungau hanya dapat
bertahan hidup selama beberapa jam. Pada suhu dan kelembaban ideal
(21oC dan 40-80% kelembaban relatif), rentang waktu hidup tungau
dapat meningkat hingga 3-4 hari. Rentang waktu hidup tungau dapat
lebih panjang pada suhu rendah dan kelembaban tinggi. Di bawah suhu
20°C sebagian besar tungau tidak bergerak. Di daerah tropis dengan
suhu sekitar 30°C dan kelembaban 75%, tungau betina dapat bertahan
hidup 55-67 jam di luar tubuh hospes. Telur tungau dapat bertahan hidup
pada suhu yang rendah sampai 10 hari di luar tubuh hospes.
Seseorang dikatakan infeksius sejak terinfestasi tungau sampai
pengobatan selesai. Seprai dan pakaian dikatakan infeksius sampai
tatalaksana berhasil atau hingga dua minggu sejak pajanan terakhir.
Reinfestasi dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita
skabies atau kontak dengan benda-benda yang terinfestasi tungau.44
Penularan skabies secara tidak langsung hanya sedikit berperan
dalam penularan skabies tipikal namun pada skabies krustosa
penularan secara tidak langsung berperan penting karena jumlah
tungau yang banyak.
24
BAB VI
Patogenesis
S.scabiei hidup di stratum korneum epidermis manusia dan
mamalia lainnya. Seluruh tahapan hidup tungau, yaitu larva,
protonimfa, tritonimfa dan tungau dewasa adalah parasit permanen
obligat yang membutuhkan cairan ekstraselular hospes yang
merembes ke dalam terowongan untuk bertahan hidup.
S.scabiei telah lama hidup bersama manusia dan mamalia lain
serta berevolusi dan beradaptasi dengan berbagai mekanisme untuk
menghindari respons imun hospes baik bawaan maupun didapat.
Hospes menunjukkan respons imun tipe lambat terhadap skabies.
Pada manusia, gejala klinis berupa inflamasi kulit baru timbul 4-8
minggu setelah terinfestasi. Respons imun yang lambat tersebut
merupakan dampak dari kemampuan tungau dalam memodulasi
berbagai aspek respons imun dan inflamasi hospes.47
Sel epidermis seperti keratinosit dan sel langerhans merupakan
sel pertama yang menghadapi tungau skabies dan produknya.
Respons inflamasi bawaan dan didapat dari kulit hospes berperan
sebagai pertahanan lini pertama terhadap invasi, kelangsungan
hidup dan reproduksi tungau di dalam kulit. Tungau merangsang
keratinosit dan sel dendritik melalui molekul yang terdapat di
dalam telur, feses, ekskreta, saliva, dan cairan sekresi lain seperti
enzim dan hormon, serta aktivitas organ tubuh seperti chelicerae,
pedipalps dan kaki selama proses penggalian terowongan. Tubuh
tungau mati yang membusuk juga merangsang respons imun.47
S.scabiei memproduksi banyak saliva saat membentuk
terowongan dan merupakan sumber molekul yang dapat
memodulasi inflamasi atau respons imun hospes. Produk tungau
yang menembus dermis merangsang sel-sel seperti fibroblas,
sel endotel mikrovaskular serta sel imun seperti sel langerhans,
makrofag, sel mast dan limfosit. Diduga sel langerhans dan sel
dendritik lain memproses antigen tungau dan membawa antigen
tersebut ke jaringan limfe regional yaitu tempat respons imun
didapat diinisiasi melalui aktivasi sel limfosit T dan limfosit B.47
Tungau skabies memicu sekresi anti-inflammatory cytokine
interleukin-1 receptor antagonist (IL-1ra) dari sel fibroblas dan
25
keratinosit pada model kulit manusia. IL-1ra menghambat aktivitas
sitokin proinflamasi IL-1 dengan mengikat reseptor IL-1 yang
terdapat pada banyak sel termasuk sel limfosit T, sel limfosit B,
natural killer cell, makrofag dan neutrofil. Ekstrak tungau skabies
mengandung molekul yang menekan ekspresi molekul adhesi
interselular dan vaskular yaitu intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) serta
E-selectin oleh kultur sel endotel mikrovaskular kulit manusia. Supresi
tersebut akan menghambat atau menurunkan ekstravasasi limfosit,
neutrofil dan sel lain ke dalam dermis sehingga mengganggu respons
pertahanan hospes.47
S.scabiei dapat menghambat interaksi ko-stimulasi antara limfosit
T dan sel penyaji antigen (antigen presenting cell) sedangkan ekstrak
tungau skabies memicu sel limfosit T regulator untuk memproduksi
IL-10. Sitokin tersebut bekerja sebagai antiinflamasi poten dengan
menekan sekresi sitokin proinflamasi lain dan ekspresi molekul major
histocompatibility complex II (MHC-II) di permukaan sel penyaji antigen.
Pada akhirnya, interaksi kompleks MHC-II antigen dan reseptor limfosit
T yang penting untuk aktivasi dan proliferasi sel limfosit B menjadi sel
plasma yang memproduksi antibodi menjadi berkurang atau terhambat.47
Sel limpa tikus yang dipajankan ke tungau skabies dan tikus yang
divaksinasi ekstrak tungau menunjukkan penurunan ekspresi gen B7-2
(CD86) pada sel limfosit B dan reseptornya serta CD28 pada sel limfosit
T. Selain itu ekspresi gen CD40 pada sel limfosit B dan reseptornya,
CD40L pada sel limfosit T, mengalami down-regulation. Ko-signal
tersebut adalah pendamping coupling kompleks reseptor sel T MHCII-antigen dalam mengaktivasi sel limfosit B untuk menjadi sel plasma
yang dapat memproduksi antibodi.47
Model kulit manusia serta monokultur keratin epidermis dan
fibroblas dermis manusia mensekresikan lebih banyak vascular
endothelial growth factor (VEGF) sebagai respons terhadap tungau
skabies hidup maupun ekstraknya. VEGF meningkatkan vaskularisasi
dan jumlah plasma di terowongan epidermis yang dekat dengan mulut
tungau sehingga terowongan yang semula kering menjadi kaya air
dan nutrisi. Hal tersebut dibuktikan oleh pencernaan antibodi di dalam
plasma oleh tungau.47
Produk tungau skabies dapat menurunkan aktivitas IL-8 di
sekitar lesi skabies setelah dua hari. IL-8 adalah kemokin yaitu
26
suatu kemotaktik untuk ekstravasasi neutrofil ke lokasi patogen.
Monokultur keratinosit epidermis, fibroblas dermis, sel endotel
mikrovaskular kulit, dan sel dendritik yang dipajankan ekstrak
tungau skabies menurunkan kadar IL-8 dalam media dibandingkan
kontrol. Tungau skabies juga memproduksi protein pengikat IL-8
yang dapat menurunkan kadar IL-8 lokal sehingga menghambat
kemotaksis neutrofil.47
Inhibitor protease serin yang terdapat di sistem pencernaan
tungau dapat mengikat kaskade komplemen di dalam plasma dan
menghentikan ketiga jalur sistem komplemen manusia yaitu jalur
klasik, alternatif dan lektin. Aktivasi komplemen hospes dapat
melindungi tungau dari kerusakan yang disebabkan komplemen
karena tungau skabies menelan plasma. Inhibitor komplemen dapat
memudahkan Streptococcus grup A menginfeksi lesi skabies dan
menyebabkan pioderma.47
Selain mampu melakukan down-regulation, respons protektif
hospes, ekstrak tungau dan tungau hidup juga dapat melakukan upregulation sekresi sitokin proinflamasi oleh keratinosit, fibroblas dan
sel endotel. Oleh karena itu respons hospes yang sesungguhnya
merupakan keseimbangan antara kejadian yang memicu respons
protektif dengan yang menghambat. Durasi infestasi dan kepadatan
tungau berperan dalam mengubah keseimbangan tersebut.47
Penelitian Patogenesis Skabies Menggunakan HSE
Human skin equivalents (HSE) adalah substitusi kulit yang
terdiri atas stratum korneum serta keratinosit yang berproliferasi
dan dermis yang terdiri atas fibroblas di dalam matriks kolagen yang
memiliki properti kulit manusia. Morgan et al47 menggunakan HSE
untuk mengidentifikasi respons fenotipik bawaan dan mempelajari
ekspresi gen sebagai respons terhadap tungau hidup. HSE juga
telah digunakan pada studi sebelumnya untuk menjelaskan aspek
respons imun terhadap tungau agar lebih memahami kemampuan
tungau dalam memodulasi respons inflamasi dan imun hospes.
Morgan et al47 meletakkan tungau hidup di permukaan HSE.
Tungau tersebut menggali dan masuk ke epidermis serta menyebabkan
perubahan ekspresi gen. Setelah 48 jam pasca-inokulasi, dari 25.800 gen
yang diukur, 189 diantaranya mengalami up-regulation sedangkan 152
gen lainnya mengalami down-regulation. Gen yang mengekspresikan
27
prekursor IL-1a, IL-1b, prekursor granulocyte macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF) dan prekursor granulocyte colonystimulating factor (G-CSF) mengalami up-regulation. Gen IL1F9
diekspresikan 8 kali lipat lebih besar dari kontrol dan merupakan
gen tertinggi kedua yang mengalami up-regulation. Gen tersebut
mengkode protein dari keluarga sitokin IL-1.
Tungau skabies memicu up-regulation ekspresi gen IL-1 receptorlike precursor (IL1RL1) dan gen yang paling banyak mengalami
up-regulation adalah KRT37. Gen tersebut adalah keluarga gen
keratin yang mengkode protein keratin tipe I yang mengalami hetero
dimerisasi dengan keratin tipe II untuk membentuk rambut dan kuku.
Gen LCE3C mengkode protein late cornified envelope protein 3C
mengalami up-regulation. Gen LCE lain mengalami up-regulation
namun gen yang mengkode keratin mengalami down-regulation.
Gen KRT13 dan KRT15 yang mengkode type I cytokeratins juga
mengalami down-regulation. Gen KRT77 yang mengkode type II
keratin, protein type II cytoskeletal 1b, mengalami down-regulation
dan KRT1 menurun. Anggota keluarga gen ankyrin dan sitokrom
P450 juga menurun.
Kelompok gene ontology (GO) menyediakan rangka kerja yang
bermanfaat dalam menjelaskan komponen selular (C), proses
biologis (P), dan fungsi molekular (F) yang dipengaruhi oleh ekspresi
serangkaian gen. Terdapat 25 kelompok GO yang memiliki presentasi
tertinggi perubahan ekspresi gen oleh HSE yang diinfestasi tungau.
Dari 15 kelompok gen yang diekspresikan, 10 gen terlibat dalam
regulasi sekresi sitokin. Kelompok gen GO yang terlibat dalam
aktivitas sitokin melibatkan 23 gen untuk sitokin yang berubah pada
HSE yang dipajankan tungau hidup. Enam kelompok mengandung
gen untuk ekspresi IL-1a dan 14 kelompok mengandung gen untuk
ekspresi IL-1b. Sebanyak 11% gen yang terlibat dalam keratinisasi
dan 9% gen dalam kelompok GO taksis mengubah ekspresi sebagai
respons terhadap tungau skabies hidup.47
Sebagai respons terhadap pembuatan terowongan oleh tungau,
HSE mengubah ekspresi banyak gen yang berhubungan dengan
respons imun, respons pertahanan, aktivitas sitokin, taksis, respons
terhadap organisme lain dan adhesi sel. Gen yang terlibat dalam
perkembangan epitel dan keratinisasi juga mengalami perubahan
ekspresi sebagai respons terhadap tungau skabies.47
28
Dibandingkan dengan HSE yang diinokulasi tungau hidup,
Morgan et al47 melaporkan hanya 15 gen yang mengalami
perubahan ekspresi pada HSE yang dipajankan ekstrak tungau
skabies. Tidak ada gen yang mengalami down-regulation secara
signifikan. Delapan dari 15 gen yang mengalami up-regulation
juga diekspresikan lebih oleh HSE yang dipajankan tungau hidup
dibandingkan ekstrak tungau. Gen tersebut adalah KRT37, IL1F9,
ARG1, AC011443.6 dan LCE3C. Ekspresi gen IL1B tidak berubah
dibandingkan kontrol.
Penelitian menggunakan kultur keratinosit epidermis manusia
dan fibroblas dermis serta sel endotel mikrovaskulatur dermis
menunjukkan modulasi sekresi sitokin dan ekspresi molekul adhesi
sel sebagai respons terhadap molekul ekstrak tungau skabies. Di
dalam studi tersebut sitokin dan molekul adhesi yang diukur dipilih
karena berperan dalam respons imun dan inflamasi. Terdapat
berbagai respons fenotipik terhadap tungau dan produknya namun
studi tersebut tidak menentukan pengaruh tungau terhadap reseptor
sitokin. Penggunaan monokultur sel dengan media cair memerlukan
ekstrak yang terbuat dari badan tungau yang dihancurkan karena
tungau hidup tidak dapat bertahan didalam media kultur sel. Karena
keterbatasan tersebut, Morgan et al47 menggunakan model kulit HSE
untuk mempelajari sekresi sitokin dan ekspresi gen oleh sel kulit
sebagai respons terhadap tungau hidup. Penggunaan HSE juga
memungkinkan interaksi sel-ke-sel antara keratinosit epidermis dan
fibroblas dermis layaknya dalam kondisi in vivo.
HSE memiliki properti fisik mirip epidermis dan dermis kulit
manusia normal. Tungau skabies dapat menggali masuk ke dalam
epidermis HSE sehingga kombinasi respons inflamasi dan imun
bawaan dari keratinosit dan fibroblas serta interaksinya sebagai
respons terhadap tungau hidup dan produknya seperti saliva dan
feses dapat dipelajari menggunakan HSE.
Gen pada kelompok GO sitokin yang paling banyak berubah
ekspresi adalah gen pengkode IL-1a, IL-1b, IL-11, IL-16, IL-20, IL23, dan transforming growth factor-a (TGFa). Seluruhnya adalah
sitokin yang memiliki berbagai fungsi dan dihubungkan dengan
inflamasi kulit. IL-16 dihasilkan oleh keratinosit dan merupakan
chemotactic yang merangsang migrasi sel limfosit T CD4+, monosit
dan eosinofil. Ekspresi gen sitokin IL-16 mengalami down-regulation
29
setelah pajanan tungau yang menyebabkan keterlambatan respons
inflamasi pada awal infestasi skabies. IL-20 meregulasi proliferasi
dan diferensiasi keratinosit selama inflamasi. Oleh karena itu, upregulation IL-20 mungkin berkontribusi dalam proliferasi keratinosit,
hiperkeratosis, pembentukan skuama dan krusta seperti pada
skabies kronik.47
Secara in vivo IL-23 diproduksi oleh keratinosit dan sel dendritik.
Efek patologis di kulit dimediasi oleh sitokin Th17. Penghambatan
IL-17 dan IL-23 mungkin dapat menekan penyakit inflamasi kronik.
Karena gen IL-20 dan IL-23 banyak diekspresikan sebagai respons
terhadap tungau skabies hidup maka timbul pertanyaan: apakah
penghambatan sitokin dapat menjadi metode pengobatan baru
dengan menurunkan inflamasi dan rasa gatal pada skabies.47
Gen kemokin yang ekspresinya paling banyak berubah adalah
CCL3, CCL5, CCL20, CXCL2, CXCL5, CXCL6, CXCL12, dan
CXCL14. Semua gen tersebut adalah anggota kelompok GO taksis
namun sekresinya tidak diteliti. Ekspresi gen tersebut konsisten
dengan penemuan histologis lesi skabies yang menunjukkan
infiltrasi sel inflamasi yang terkonsentrasi di sekitar mulut dan
anus skabies. Hal tersebut menunjukkan bahwa molekul efektor
berhubungan dengan sekresi saliva dan feses serta memicu
respons kemotaktik. Walaupun demikian, CXCL12 dan CXCL14
mengalami down-regulation yang merugikan tungau saat tungau
mencoba menginfestasi kulit hospes.47
Kelompok GO lain dengan banyak gen yang menerima
dampak tungau skabies adalah kelompok keratinisasi. Hal tersebut
berhubungan dengan munculnya hiperkeratosis, krusta dan skuama
pada skabies. Sepuluh gen keratinisasi mengalami up-regulation.
Kebanyakan gen tersebut berhubungan dengan kornifikasi
epidermis menjadi stratum korneum. KRT37 merupakan gen
yang ekspresinya meningkat paling banyak. Perubahan pada gen
tersebut mungkin berhubungan dengan penyembuhan epidermis
yang dirusak oleh tungau.47
Banyak gen dalam keratinosit dan fibroblas kulit diekspresikan
secara berbeda dalam merespons tungau skabies yang hidup di
dalam kulit baik produk maupun aktivitas fisiknya. Keratinosit dan
fibroblas dalam HSE merespons invasi tungau dan produknya
dengan respons pro-inflamasi. Secara in vivo, banyak jenis sel
30
lain yang merespons keberadaan tungau skabies dan produknya
serta substansi yang diproduksi oleh keratinosit dan fibroblas dalam
merespons tungau. Terdapat interaksi yang kompleks antar jenis sel
termasuk antigen-presenting cells dan limfosit selama merespons
skabies. Kebanyakan interaksi tersebut masih belum diketahui dan
dari yang sudah diketahui melibatkan sel endotel, sel langerhans,
sel dendritik dan limfosit. Tungau skabies mampu memodulasi
banyak aspek respons imun hospes yang menjamin keselamatan
dan kehidupannya.47
Infeksi Sekunder Skabies oleh Bakteri
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes adalah
bakteri penyebab pioderma yang sering ditemukan pada skabies.
Insidens tahunan bakteremia yang disebabkan oleh S.aureus 6 kali
lebih tinggi pada populasi Aborigin yang banyak menderita skabies
dibandingkan populasi lain di Australia. Methicillin resistant S.aureus
(MRSA) menginfeksi 64% anak-anak yang menderita skabies di rumah
sakit di Queensland Barat Laut. Terdapat banyak bukti epidemiologi
yang mengungkapkan kedekatan hubungan skabies dan infeksi bakteri
sekunder namun hubungan antara hospes, tungau dan bakteri masih
perlu dipelajari lebih lanjut. Skabies merupakan faktor risiko utama
infeksi kulit oleh bakteri dan peningkatan insiden infeksi MRSA sehingga
sangat penting untuk mengerti hubungan manusia, tungau dan bakteri.48
Di daerah tropis, infeksi pioderma bakterial dan komplikasi lanjut
yang disebabkan oleh S.aureus dan S.pyogenes berhubungan dengan
skabies karena bakteri mudah memasuki kulit yang dirusak oleh
tungau. Di Australia, prevalensi skabies yang tinggi terutama di daerah
terpencil beriklim tropis yang biasanya ditempati oleh masyarakat
Aborigin di Australia Utara. Di daerah tersebut, sebanyak 70% anakanak mengalami skabies dan pioderma sebelum berusia 2 tahun.
Pengobatan masal skabies menggunakan permetrin topikal berhasil
menurunkan prevalensi skabies dan menurunkan penyakit impetigo.
Pemberantasan masal skabies menggunakan ivermektin oral di pulau
Solomon juga menurunkan prevalensi skabies dari 25% menjadi 1%
disertai penurunan prevalensi impetigo dan hematuria.
Swe et al48 mengidentifikasi mekanisme molekular yang mendasari
hubungan tungau dengan infeksi bakteri. Molekul tungau yang
sebenarnya berfungsi untuk melindungi tungau dari serangan
sistem imun hospes berperan dalam patogenesis infeksi sekunder
31
oleh bakteri ketika disekresikan di kulit yang rusak. Hal tersebut
meningkatkan infeksi S.aureus dan prevalensi penyakit terkait skabies.
S.aureus adalah bakteri patogen yang dapat menyebabkan
banyak penyakit. Bakteri tersebut telah berevolusi untuk menghindari
dan mengganggu sistem imun manusia. S.aureus mengeluarkan
berbagai molekul inhibitor komplemen dan menurunkan deposisi
C3b di permukaan mikroba, contohnya adalah inhibitor komplemen
Staphylococcus, extracellular fibrinogen-binding protein, stafilokinase
dan aureolisin.
Tungau skabies menghasilkan inhibitor komplemen yang
disekresikan oleh sistem pencernaan tungau dan berfungsi
melindungi tungau. Inhibitor komplemen juga diekskresikan bersama
feses di terowongan tungau di epidermis bagian atas. Kombinasi
aktivitas antikomplemen yang dihasilkan oleh inhibitor komplemen
tungau mencapai tingkat fisiologis di sistem pencernaan tungau dan
terowongan di epidermis manusia. Inhibitor komplemen tungau secara
biologis bermanfaat untuk mencegah kerusakan sistem pencernaan
oleh sistem komplemen hospes karena tungau adalah parasit
pemakan serum. Molekul inhibitor tersebut mengondisikan hospes
untuk invasi bakteri. Dalam penelitian in vitro inhibitor komplemen
skabies meningkatkan keberlangsungan hidup dan pertumbuhan
bakteri S.pyogenes. Inhibitor komplemen skabies diduga mengganggu
proses fagositosis oleh neutrofil.
Bakteri dapat memperpanjang infestasi tungau karena mempunyai
mekanisme hambatan komplemennya sendiri. S.aureus terdapat
diterowongan diepidermis manusia dan difeses tungau yang
menunjukkan bahwa tungau berkontribusi dalam penularan bakteri
patogen. Swe et al48 menyatakan bahwa total aktivitas inhibitor
komplemen tungau mungkin menghentikan atau menunda efek
lokal sistem imun bawaan reaksi cepat sehingga S.aureus dapat
bermultiplikasi dan menyebabkan infeksi. Terowongan di epidermis
merupakan lingkungan mikro yang cocok bagi tungau dan bakteri untuk
berlindung dari sistem imun bawaan hospes.
32
BAB VII
Gejala Klinis
Gatal merupakan gejala klinis utama pada skabies. Rasa gatal pada
masa awal infestasi tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus
nokturna), cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal terasa di sekitar
lesi, namun pada skabies kronik gatal dapat dirasakan hingga ke
seluruh tubuh. Gatal disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap ekskret
dan sekret tungau yang dikeluarkan pada waktu membuat terowongan.
Masa inkubasi dari infestasi tungau hingga muncul gejala gatal sekitar
14 hari.8
S.scabiei biasanya memilih lokasi epidermis yang tipis untuk
menggali terowongan misalnya di sela-sela jari tangan, pergelangan
tangan, penis, areola mammae, peri-umbilikalis, lipat payudara,
pinggang, bokong bagian bawah intergluteal, paha serta lipatan aksila
anterior dan posterior. Terowongan yang digali tungau tampak sebagai
lesi berupa garis halus yang berwarna putih keabu-abuan sepanjang
2-15mm, berkelok-kelok dan sedikit meninggi dibandingkan sekitarnya.
Di ujung terowongan terdapat papul atau vesikel kecil berukuran <5mm
tempat tungau berada. Di daerah beriklim tropis, jarang ditemukan lesi
terowongan; kalaupun ada terowongan hanya berukuran pendek sekitar
1-2mm. Lesi tersebut sulit ditemukan karena sering disertai ekskoriasi
akibat garukan dan infeksi sekunder oleh bakteri. Meskipun demikian,
terowongan dapat berada di tangan, sela-sela jari tangan, pergelangan
tangan dan pergelangan kaki. Pustul tanpa lesi terowongan sering
terdapat di genitalia eksterna. Pada infestasi ringan, lokasi yang harus
diperiksa adalah sela jari tangan dan genitalia eksterna.13
Pada orang dewasa, lesi skabies jarang ditemukan di leher, wajah,
kulit kepala yang berambut, punggung bagian atas, telapak kaki dan
tangan; namun pada bayi daerah tersebut sering terinfestasi bahkan lesi
dapat ditemukan di seluruh tubuh. Lesi skabies biasanya tidak terdapat
di kepala namun pada anak kecil dan bayi dapat ditemukan pustul yang
gatal. Gejala skabies pada anak biasanya berupa vesikel, pustul, dan
nodus; anak menjadi gelisah dan nafsu makan berkurang. Gambaran
klinis skabies pada anak-anak sering sulit dibedakan dengan infantile
acropustulosis dan dermatitis vesiko bulosa. Lesi terowongan jarang
atau bahkan tidak ditemukan.8
33
Skabies menimbulkan rasa gatal hebat sehingga penderita sering
menggaruk dan timbul luka lecet yang diikuti dengan infeksi
sekunder oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) serta S.aureus.
Infeksi tersebut menimbulkan pustul, ekskoriasi dan pembesaran
kelenjar getah bening. Pada infeksi sekunder oleh S.aureus dapat
timbul bula sehingga disebut skabies bulosa. Di negara tropis sering
terjadi infeksi bakteri sekunder dengan lesi pustular atau krusta di
daerah predileksi skabies dan pada anak-anak lesi terdapat di wajah.
Lesi infeksi sekunder tersebut mirip dengan impetigo. Skabies
dengan infeksi sekunder harus segera ditatalaksana terlebih dahulu
sebelum memberikan skabisida.49
Tingkat keparahan skabies bergantung jumlah tungau dan
penatalaksanaannya. Jika diagnosis dan pengobatan tertunda,
maka jumlah tungau meningkat dan gejala menjadi lebih berat. Berat
ringannya kerusakan kulit tergantung pada derajat sensitisasi, lama
infeksi, kebersihan individu, dan riwayat pengobatan sebelumnya.
Pada stadium kronik, skabies mengakibatkan penebalan kulit
(likenifikasi) dan berwarna lebih gelap (hiperpigmentasi).50
Gambar 4.
Lesi Skabies di Perge­langan Tangan Berupa Papul, Vesikel, Erosi dan
Skuama Kolaret, Multipel, Diskret
34
Gambar
5. Eritematosa, Vesikel, Pustul, Er
ar 4. Lesi Skabies di Sela Jari Berupa
Papul
Lesi Skabies di Sela Jari Berupa Papul Eritematosa, Vesikel, Pustul,
kuama Kolaret, Multipel,Diskret
Erosi dan Skuama Kolaret, Multipel,Diskret
Lesi Skabies di Sela Jari TanganBerupaPlak
Gambar 6. Eritematosa,
Numular, Batas
Tegas,diIreguler,
Soliter
dengan
Pustul
Diatasnya
Lesi Skabies
Telapak dan
Jari Tangan
Berupa
Pustul,
Bula Purulen
dan Krusta Hitam, Multipel, Diskret
35
Gambar 7.
Lesi Skabies di Sela Jari Tangan Berupa Plak Erite­matosa, Numular, Batas Tegas, Iregu­ler, Soliter dengan Pustul di atasnya
Gambar 8.
Lesi Skabies di Jari Tangan dan Sela Jari Tangan Be­rupa Papul, Vesikel
Ekskoriasi dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret
36
Gambar 9.
Lesi Skabies di Perut Berupa Papul Eritematosa, Ekskoriasi dan
Krusta Merah Kehitaman, Multipel, Diskret
Gambar 10.
Lesi Skabies di Bokong dan Pangkal Paha Bagian Posterior Bilateral
Asimetris Berupa Papul Eritematosa, Ekskoriasi dan Krusta Merah
Kehitaman, Multipel, Diskret
37
Gambar 11.
Lesi Skabies di Bokong Berupa Papul, Erosi, Ekskoriasi, Krusta
Merah Kehitaman dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret
Gambar 12.
Lesi Skabies di Bokong, Pangkal Paha Bagian Posterior Bilateral
Asimetris Berupa Papul, Pustul, Erosi, Ekskoriasi, Krusta Merah
Kehitaman dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret
38
Gambar 13.
Lesi Skabies di Penis, Skrotum, Lipat dan Pangkal Paha Bilateral
Asimetris Berupa Papul Eritematosa, Multipel, Diskret
Gambar 14.
Lesi Skabies di Penis dan Skrotum Berupa Papul Eritematosa,
Multipel, Diskret
39
BAB VIII
Bentuk-Bentuk Skabies
Skabies merupakan penyakit kulit yang manifestasi klinisnya
sering menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga disebut the great
imitator. Terdapat berbagai bentuk skabies atipik yang sulit dikenal
sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Berikut ini
disampaikan bentuk-bentuk skabies.49
Skabies pada Orang Bersih
Skabies pada orang bersih atau scabies of cultivated biasanya
ditemukan pada orang dengan tingkat kebersihan yang baik.
Penderita skabies mengeluh gatal di daerah predileksi skabies
seperti sela-sela jari tangan dan pergelangan tangan. Rasa gatal
biasanya tidak terlalu berat. Manifestasi skabies pada orang bersih
adalah lesi berupa papul dan terowongan dengan jumlah sedikit
sehingga sulit diidentifikasi dan sering terjadi kesalahan diagnosis
karena gejala yang tidak khas. Dari terowongan dari 1000 penderita
scabies of cultivated, hanya ditemukan 7% terowongan.
Skabies Incognito
Skabies incognito sering menunjukkan gejala klinis yang tidak
biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain.51 Bentuk
incognito terdapat pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid
sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada
dan masih dapat menularkan skabies. Di sisi lain, pengobatan
steroid topikal jangka panjang mengakibatkan lesi bertambah parah
karena penurunan respons imun seluler.
Penggunaan kortikosteroid yang dioleskan di kulit mampu
mempengaruhi sistem imun seperti menurunnya respons inflamasi
dan tertekannya respons imun selular. Kortikosteroid topikal
menghalangi produksi dan pelepasan sitokin seperti interleukin
IL-1,2,3,6 dan tumor nekrosis alfa (TNFα). Penggunaan steroid
topikal menghambat fagositosis dan stabilisasi membran sel fagosit
lisosom sehingga respons pro-inflamasi dan fagositosis terhambat
dan akhirnya tidak dapat mengontrol infestasi skabies.51
40
Karaca et al51 melaporkan seorang perempuan berusia 75 tahun
yang datang ke poliklinik rawat jalan dengan keluhan gatal dan
plak kemerahan disertai lenting di daerah kulit kepala. Penderita
sudah diberikan obat antihistamin dan salep klobetasol propionat
selama tiga minggu. Penderita awalnya didiagnosis xerosis dan
pruritus namun setelah diberikan pengobatan tersebut keluhan
semakin hebat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi berbentuk
anular, serpiginosa, vesikel, pustul eritematosa, ekskoriasi karena
bekas garukan, serta papul ekskoriasi di sekitar ketiak dan badan.
Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan hasil normal akan
tetapi hasil mikroskopik kerokan plak kemerahan ditemukan ribuan
S.scabiei dan telurnya di berbagai lapang pandang. Penderita
didiagnosis sebagai skabies incognito dan diobati dengan salep
keratolitik 2x/hari dan losio permetrin 5%.51
Salah satu manifestasi skabies incognito adalah subcorneal
pustular dermatosis-like eruption yang ditandai dengan erupsi
pustular di kulit normal atau sedikit kemerahan. Erupsi pustular
tipikal terdapat di daerah fleksor dan proksimal anggota gerak,
menimbulkan rasa gatal dan iritasi. Pustul terletak di permukaan
kulit, mudah pecah dan menimbulkan krusta superfisial, berbentuk
anular seperti lingkaran atau berpola serpiginosa.51
Terapi imunosupresi dapat menyamarkan gambaran klinis
skabies dan memberikan gambaran klinis yang tidak khas seperti
skabies incognito. Pada bayi, orang lanjut usia, dan immuno
compromised host, semua permukaan kulit dapat terinfestasi
termasuk kulit kepala dan wajah. Pada skabies incognito dapat
dijumpai lesi di kulit kepala tanpa rasa gatal yang membedakannya
dengan manifestasi skabies klasik.51
Skabies Nodularis
Skabies nodularis pertama kali dilaporkan pada tahun 1923
oleh Ayres dan Anderson. Disebut skabies nodularis karena lesinya
berupa nodus coklat kemerahan yang gatal di daerah tertutup pakaian.
Terbentuknya nodus disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas kulit
terhadap S.scabiei dan produknya. Lesi nodularis terjadi pada 7-10%
penderita skabies. Nodus memiliki diameter 5-20mm dan terowongan
biasanya ditemukan pada awal nodus terbentuk. Tungau jarang
ditemukan di dalam nodus.49
41
Dalam klasifikasi penyakit, skabies nodularis merupakan bagian dari
pseudo limfoma kutaneus, bersama dengan persistent nodular arthropodbite reactions dan dermatitis kontak limfomatoid. Pseudolimfoma
kutaneus merupakan sekelompok proses limfoproliferatif heterogen dari
sel limfosit T atau limfosit B yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan
dan menyerupai limfoma kutaneus baik secara klinis maupun histologis.
Pseudolimfa kutaneus dibagi dua yaitu pseudolimfoma kutaneus sel
limfosit T dan sel limfosit B. Skabies nodular termasuk pseudolimfoma
kutaneus sel limfosit T yang berarti secara histologis infiltrat radang yang
timbul pada skabies nodular didominasi oleh komponen sel limfosit T.
Pada skabies nodular, dermis superfisial dan dermis dalam
memperlihatkan infiltrat nodular interstitial dan perivaskular moderat
hingga padat yang terdiri atas limfosit (dominan sel limfosit T), histiosit,
sel plasma dan eosinofil. Selain itu, large atypical mononuclear cells
yang menyerupai sel reed-sternberg juga dapat dijumpai sehingga
secara keseluruhan skabies nodular dapat menyerupai limfoma hodgkin
atau non-hodgkin.52
Predileksi skabies nodularis adalah di penis, skrotum, aksila,
pergelangan tangan, siku, areola mamae, dan perut. Setelah terapi,
penampilan kulit mirip dengan kondisi penyembuhan erupsi eksematosa.
Nodus skabies dapat bertahan selama beberapa bulan atau bahkan
beberapa tahun walaupun telah diberikan obat anti skabies. Penyebab
nodus persisten tersebut belum diketahui dengan pasti namun diduga
sebagai akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap komponen
tungau skabies. Karena obat antiskabies tidak efektif untuk skabies
nodularis, maka terapinya adalah dengan menyuntikkan kortikosteroid
intralesi. Meskipun demikian, nodus skabies dapat menetap selama
beberapa bulan bahkan hingga satu tahun walaupun telah diberi
skabisida dan kortikosteroid.49
Skabies Bulosa
Skabies yang menginfestasi bayi dan individu immunocompromised
memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami skabies bulosa.
Bula yang terbentuk mirip dengan bula pada pemfigoid bulosa yaitu
penyakit kulit yang ditandai dengan lepuh berukuran besar. Walaupun
secara klinis dan histopatologis skabies bulosa mirip dengan pemfigoid
bulosa, keduanya tidak mirip apabila diperiksa dengan immunofluorensi
baik secara langsung maupun tidak langsung. Perbedaan lain antara
42
skabies bulosa dengan pemfigoid bulosa adalah lokasi lesi, gejala,
dan usia penderita. Skabies bulosa biasanya tersebar di sela-sela jari
tangan, pergelangan tangan dan genital sedangkan pemfigoid bulosa
tersebar di daerah badan dan ekstremitas.53
Gejala skabies bulosa adalah gatal pada waktu malam hari dan
riwayat keluarga positif skabies sedangkan penderita pemfigoid bulosa
biasanya mengeluh gatal sepanjang hari dan tidak ada keluarga yang
menderita skabies. Skabies bulosa dapat menyerang semua usia
sedangkan pemfigoid bulosa lebih sering ditemukan pada orang berusia
lanjut dan jarang pada anak-anak serta orang dewasa. Lesi bula skabies
terasa gatal dan dinding bula dapat tegang atau kendur. Di dalam bula
dapat ditemukan darah; bula dapat pula berkrusta. Predileksi skabies
bulosa sama dengan skabies tipikal.53
Lesi bula pada skabies tipikal jarang terjadi. Penyebab terbentuknya
bula adalah superinfeksi tungau oleh bakteri S.aureus seperti pada
pemfigoid bulosa. Pembentukan bula yang diperantarai oleh auto
antibodi mungkin akibat pajanan antigen zona membran basal akibat
luka mekanik yang disebabkan oleh gigitan tungau atau lisis oleh enzim.
Kemungkinan lain adalah reaksi silang antara antigen tungau dengan
antigen zona membran basal. Bula mungkin juga terbentuk karena
proses skabid yaitu reaksi tubuh terhadap tungau. Diagnosis skabies
bulosa harus dipertimbangkan pada semua kasus penyakit kulit yang
memiki bula disertai papul dan rasa gatal yang resisten terhadap
pengobatan steroid.53,35
Pengobatan skabies bulosa sama seperti pengobatan skabies
pada umumnya yaitu menggunakan krim permetrin 5%, krotamiton
10%, benzil benzoat, sulfur 6% atau ivermektin. Meskipun mekanisme
pembentukan bula diperantarai oleh sistem imun, skabies bulosa tidak
memberikan respons terhadap glukokortikoid dan immunoglobulin.53
Skabies yang Ditularkan Melalui Hewan
Skabies dapat menginfeksi binatang seperti anjing, kuda, kambing,
kelinci, monyet dan lain-lain. Sumber utama skabies pada binatang
di Amerika adalah anjing. Penyebab skabies pada binatang mirip
dengan yang menginfestasi manusia tetapi berbeda strain. Manusia
dapat menularkan skabies ke binatang peliharaan, namun yang lebih
sering adalah infestasi silang dari binatang peliharaan seperti anjing ke
manusia.49
43
Gejala skabies yang ditularkan melalui hewan berbeda dengan
skabies klasik pada manusia. Pada skabies binatang tidak terdapat
terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lokasi
lesi biasanya di tempat kontak saat memeluk binatang peliharaan yaitu
lengan, dada, perut, dan paha.49 Tungau skabies binatang menyebabkan
papul eritematosa dan pruritus. Tungau tinggal di kulit manusia dalam
jangka waktu yang pendek namun pada penderita imunodefisiensi
manifestasi klinis skabies binatang pada manusia dapat lebih parah.49
Cara penularan skabies hewan lebih mudah dan masa inkubasinya
lebih pendek. Lesi bersifat sementara (4-8 minggu) dan dapat sembuh
sendiri karena S.scabiei varietas binatang tidak dapat melanjutkan siklus
hidupnya pada manusia. Pencegahan dilakukan dengan mencegah
kontak dengan hewan penyebab, mengobati binatang yang terinfeksi
dan memandikannya dengan bersih dan teratur.49
Dua populasi manusia yang lebih rentan terjangkit zoonotic scabies
adalah orang yang bekerja menangani hewan domestik dan yang
memelihara anjing. Penularan skabies hewan domestik ke manusia
contohnya pada peternak babi dan tukang potong hewan.55
Skabies pada Orang Terbaring di Tempat Tidur
Skabies pada orang yang terbaring di tempat tidur (bedridden)
banyak dijumpai pada orang yang menderita penyakit kronik atau
orang berusia lanjut yang berbaring di tempat tidur dalam jangka
waktu lama. Lesi pada skabies bedridden hanya terbatas.56
Diagnosis skabies pada penderita berusia lanjut sering tertunda
karena manifestasi klinis mirip penyakit kulit lain sehingga diagnosis
sulit ditetapkan. Untuk mengatasi kesulitan diagnosis, Katsumata
et al56 mencari uji alternatif untuk mendiagnosis skabies pada
penderita berusia lanjut yang tirah baring dalam waktu lama.
Katsumata et al56 menggunakan pita perekat (selotip) sebagai alat
untuk menemukan tungau dengan menempelkannya di lesi kulit
yang merupakan predileksi skabies misalnya sela-sela jari tangan.
Setelah ditempelkan, pita dicabut mendadak lalu ditempelkan ke
kaca objek, ditetesi KOH lalu diperiksa dengan mikroskop. Deteksi
tungau dengan pita perekat dapat diaplikasikan pada orang berusia
lanjut karena mempunyai kulit yang tipis dan kering.
44
Skabies pada Acquired Immunodeficiency Syndrome
Pada penderita AIDS sering dijumpai skabies atipik dan pneumonia
Pneumocystis carinii. Diagnosis skabies atipik dapat digunakan sebagai
salah satu petunjuk adanya infeksi oportunistik-AIDS.57
HIV merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi di dunia, begitu
juga dengan skabies. Fernandez-sanchez et al57 melakukan observasi
terhadap kasus skabies krustosa pada penderita HIV berusia 28 tahun.
Berdasarkan observasi tersebut disimpulkan bahwa skabies krustosa
pada penderita immunocompromised yang sedang diobati dengan
antiretroviral merupakan bagian dari spektrum immune reconstitution
inflammatory syndrome (IRIS).
Presentasi skabies atipik pada penderita yang sedang menjalani
pengobatan antiretroviral yang sebelumnya tidak tampak memiliki
penyakit kulit merupakan unmasking crusted scabies-associated IRIS.
Pada keadaan tersebut muncul infeksi yang semula tidak tampak ditandai
dengan inflamasi berlebihan dan atipik atau timbul presentasi klinis yang
dipercepat. Kejadian itu merupakan restorasi imunitas spesifik.57
Kebanyakan kasus IRIS terkait obat antiretroviral dihubungkan
dengan infeksi bakteri, virus dan jamur namun infeksi dapat meluas
pada infeksi parasitik seperti leismaniasis, strongiloidiasis, skistomiasis,
dan toksoplasmosis. Jadi skabies krustosa pada penderita HIV
dalam pengobatan ARV dapat dianggap sebagai infeksi parasit yang
berkontribusi pada IRIS sekaligus merupakan spektrum dari IRIS.57
Skabies yang Disertai Penyakit Menular Seksual Lain
Skabies dapat disertai penyakit menular seksual lain seperti
sifilis, gonorhea, herpes genitalis, pedikulosis pubis, dan sebagainya.
Oleh karena itu, apabila ditemukan lesi skabies di daerah genitalia
perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa biakan untuk gonore
dan pemeriksaan serologis untuk sifilis pada orang-orang yang
berisiko tinggi.49 Pada skabies tipikal terowongan dan papul sering
ditemukan di glans penis, skrotum, dan penis.58
Skabies pada Bayi dan Orang Lanjut Usia
Lesi skabies pada bayi dan orang lanjut usia dapat timbul di
telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan kulit kepala. Pada orang
berusia lanjut infestasi tungau akan menjadi lebih berat. Lesi kulit
45
pada skabies biasanya khas dan memberikan rasa gatal hebat
terutama malam hari akan tetapi pada bayi, anak kecil dan orang
berusia lanjut gambaran skabies dapat tidak khas. Lesi atipik sering
menyerupai dermatitis seboroik, dermatitis eksematosa, impetigo,
gigitan serangga, dan langerhans cell histiocytosis (LCH).59
Pada laporan kasus di Korea, bayi dengan skabies didiagnosis
sebagai LCH karena manifestasi klinis dan histopatologi yang mirip.
Pada laporan tersebut, bayi perempuan berusia 6 bulan memiliki papul
dan nodus kemerahan di badan selama satu bulan. Bayi mendapat
terapi krim kortikosteroid karena awalnya didiagnosis sebagai
dermatitis kontak akan tetapi lesi meluas dengan cepat ke daerah
tangan dan kaki dengan skuama dan plak eritematosa sehingga
dilakukan abdominal punch biopsy. Pemeriksaan histopatologi
menunjukkan infiltrat sel di dermis atas dengan distribusi perivaskular
yang terdiri atas histiosit, limfosit, dan eosinofil. Histiosit di dermis
atas menunjukkan hasil positif dengan pewarnaan CD1a dan S-100
sehingga bayi tersebut didiagnosis LCH.
Beberapa waktu kemudian ibu bayi tersebut mengeluh munculnya
lesidi sela-sela jari tangan dan daerah periumbilikal yang disertai
rasa gatal. Selanjutnya pada ibu tersebut dilakukan dermoscopyassisted skin scraping di telapak tangan dan periumbilikal. Pada
pemeriksaan dermoscopy ditemukan telur dan tungau skabies di
kedua lesi sehingga penderita didiagnosis sebagai skabies, bukan
LCH. Selanjutnya penderita diobati dengan krim krotamiton 10% dan
sembuh setelah satu minggu pengobatan.60
Manifestasi skabies infantil menyerupai lesi pada penyakit
kulit lain sehingga diagnosis sulit ditetapkan hanya berdasarkan
manifestasi klinis. Temuan histopatologis skabies terkadang tidak
spesifik dan tidak menunjang diagnosis seperti reaksi eksematosa di
epidermis, area perivaskular dan infiltrat sel inflamasi di dermis. Sel
infiltrat biasanya menunjukkan histiosit positif pada pewarnaan CD1a
dan S-100 yang sering terdapat pada LCH. Berdasarkan hal tersebut,
dokter harus dapat membedakan skabies infantil dengan LCH melalui
anamnesis yang teliti terutama faktor risiko skabies dan pemeriksaan
penunjang seperti pewarnaan CD30, mikroskop elektron untuk
menemukan granula birbeck yang merupakan tanda khas LCH dan
dermoscopy-assisted skin scraping untuk mendiagnosis skabies.60
46
Skabies Krustosa
Skabies krustosa ditandai dengan lesi berupa krusta yang
luas, skuama generalisata dan hiperkeratosis yang tebal. Skabies
krustosa pertama kali dilaporkan oleh Danielsen dan Boeck pada
tahun 1848 pada seorang warga Norwegia yang mengalami
morbus hansen (kusta/lepra) sehingga skabies krustosa disebut
juga Norwegian scabies.61
Skabies krustosa sering terdapat pada orang dengan retardasi
mental, dementia senilis, dan penyakit neurologis lainnya. Selain
itu skabies krustosa juga sering diderita oleh penderita leukemia,
penderita yang mendapat terapi imunosupresan misalnya penderita
autoimun atau penderita yang menjalani transplantasi organ, dan
penderita HIV-AIDS. Berdasarkan hal tersebut, skabies krustosa
sering dihubungkan dengan kondisi sistem imunitas tubuh yang
kurang (immunocompromised host).61
Pada skabies krustosa penderita umumnya mengalami defisiensi
imunologi sehingga sistem imun tidak mampu menghambat
proliferasi sehingga tungau berkembang biak dengan mudah dan
cepat. Skabies krustosa hampir selalu menyerang orang yang
mengalami immunocompromised seperti orang berusia lanjut,
penderita AIDS, retardasi mental, limfoma, dan segala kondisi yang
dapat menurunkan efektivitas sistem imun.62
Gejala utama skabies klasik adalah rasa gatal hebat yang
terutama dirasakan pada malam hari. Berbeda dengan skabies
klasik, rasa gatal pada skabies krustosa biasanya ringan bahkan
tidak ada sama sekali sehingga penderita tidak merasakan keluhan
yang berakibat diagnosis terlambat ditegakkan.61,62 Pada skabies
krustosa keterlambatan diagnosis sering menimbulkan wabah
karena jumlah tungau yang menginfestasi penderita sangat banyak
sehingga sangat menular. Karena sering luput dari diagnosis dan
sering menimbulkan wabah, maka skabies krustosa akan dibahas
pada bab tersendiri dalam buku ini.
47
BAB IX
Diagnosis
Skabies dapat memberikan gejala khas sehingga mudah
didiagnosis; namun jika gejala klinisnya tidak khas, maka diagnosis
skabies menjadi sulit ditegakkan. Gejala klinis yang khas adalah
keluhan gatal hebat pada malam hari (pruritus nokturna) atau saat
udara panas dan penderita berkeringat. Erupsi kulit yang khas berupa
terowongan, papul, vesikel, dan pustul di tempat predileksi. Meskipun
gejala skabies khas, penderita biasanya datang berobat ketika sudah
dalam stadium lanjut dan tidak memiliki gejala klinis khas lagi karena
telah timbul ekskoriasi, infeksi sekunder oleh bakteri dan likenifikasi.
Masalah lain dalam diagnosis skabies adalah gejala klinis skabies
dapat menyerupai gejala penyakit kulit lain atau tertutup oleh penyakit
lain seperti ekzema dan impetigo sehingga diagnosis menjadi sulit.
Diagnosis mengandalkan gejala klinis kurang efisien dan hanya memiliki
sensitivitas kurang dari 50% karena sulit membedakan infestasi aktif,
reaksi kulit residual, atau reinfestasi. Deteksi terowongan dengan tinta
India sudah lama dilakukan, namun tes tersebut tidak praktis sehingga
jarang digunakan.63 Kesalahan diagnosis mengakibatkan salah
pengobatan dan menyebabkan penderita tidak sembuh serta terus
menerus menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya.
Diagnosis pasti skabies ditetapkan dengan menemukan tungau
atau telurnya dipemeriksaan laboratorium namun tungau sulit
ditemukan karena tungau yang menginfestasi penderita hanya
sedikit. Menurut Mellanby16 dari 900 penderita skabies rata-rata hanya
ditemukan 11 tungau per penderita dan pada sebagian besar penderita
hanya ditemukan 1-5 tungau per penderita. Pada penelitian di sebuah
pesantren di Jakarta ditemukan prevalensi skabies sebesar 72,6%
tetapi hanya ditemukan 8 tungau dari seluruh penderita.
Jika pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tungau atau
produknya, keadaan tersebut belum dapat menyingkirkan skabies
karena tungau mungkin berada di suatu lokasi yang tidak terjangkau
pada saat pengambilan sampel. Oleh karena itu, diagnosis skabies
perlu dipertimbangkan pada setiap penderita dengan keluhan gatal
yang menetap dan apabila diagnosis klinis telah ditegakkan
maka dapat diberikan terapi presumtif lalu dilihat responsnya.
Penderita dinyatakan positif menderita skabies apabila memberikan
48
respons yang baik terhadap skabisida. Meskipun demikian perlu
diperhatikan bahwa respons positif terhadap pengobatan skabies
belum dapat menyingkirkan penyakit kulit lain yang bukan skabies
dan respons negatif belum dapat menyingkirkan skabies karena
mungkin terdapat resistensi tungau terhadap skabisida.Karena sulit
menemukan tungau dan produknya pada pemeriksaan laboratorium
maka diagnosis klinis dapat ditetapkan apabila pada penderita
terdapat dua dari empat tanda kardinal skabies yaitu:
1. Pruritus nokturna
2. Terdapat sekelompok orang yang menderita penyakit yang
sama, misalnya dalam satu keluarga atau di pemukiman
atau di asrama.
3. Terdapat terowongan, papul, vesikel atau pustul di tempat
predileksi yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan,
siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mamae
(perempuan), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (lakilaki), dan perut bagian bawah. Perlu diingat bahwa pada
bayi, skabies dapat menginfestasi telapak tangan dan
telapak kaki bahkan seluruh badan.
4. Menemukan tungau pada pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan Laboratorium untuk Deteksi Tungau dan Produknya
Walaupun tungau dan produk tungau sulit ditemukan,
pemeriksaan laboratorium sebaiknya tetap dilakukan terutama
pada kasus yang diduga skabies atipik. Pemeriksaan laboratorium
dapat dilakukan sebagai berikut.
Kerokan Kulit
Sebelum melakukan kerokan kulit, perhatikan daerah yang
diperkirakan akan ditemukan tungau yaitu papul atau terowongan
yang baru dibentuk dan utuh. Selanjutnya papul atau terowongan
ditetesi minyak mineral lalu dikerok dengan skalpel steril yang
tajam untuk mengangkat bagian atas papul atau terowongan. Hasil
kerokan diletakkan di kaca objek, ditetesi KOH, ditutup dengan kaca
penutup kemudian diperiksa dengan mikroskop.
Kerokan kulit merupakan cara yang paling mudah dilakukan
dan memberikan hasil yang paling memuaskan sehingga cocok
untuk yang belum banyak pengalaman dalam mendiagnosis
49
skabies. Kemudahan lainnya adalah kerokan kulit dapat dilakukan
hanya dengan peralatan sederhana sehingga memungkinkan untuk
dilakukan di fasilitas kesehatan dengan fasilitas terbatas.
Kerokan kulit memiliki spesifisitas yang tinggi namun
sensitivitasnya rendah karena jumlah tungau pada penderita
skabies klasik/tipikal umumnya sangat sedikit. Menurut Dupuy et
al,63 sensitivitas dan spesifisitas kerokan kulit dalam mendiagnosis
skabies dengan gejala yang khas adalah 90% dan 100%.Terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sensitivitas misalnya
presentasi klinis, jumlah lesi yang diperiksa dan pengalaman
pemeriksa. Lesi yang belum pernah digaruk biasanya memberikan
hasil yang lebih baik.
Biopsi kulit dapat digunakan untuk memastikan diagnosis
skabies bila tungau atau bagian dari tungau teridentifikasi dari
kerokan kulit.64 Kerokan kulit juga dapat dikombinasikan dengan
pemeriksaan dermoskopi. Metode diagnostik kerokan kulit dengan
dermoskopi jauh lebih unggul daripada kerokan kulit tanpa
dermoskopi dalam hal durasi pemeriksaan dan akurasi.
Mengambil Tungau dengan Jarum
Pengambilan tungau dengan jarum dapat meningkatkan
ketepatan diagnosis dari 5% menjadi 95%. Untuk mengambil
tungau, jarum ditusukkan di terowongan di bagian yang gelap lalu
diangkat ke atas. Pada saat jarum ditusukkan biasanya tungau
akan memegang ujung jarum sehingga dapat diangkat keluar.
Mengambil tungau dengan jarum relatif sulit bagi orang yang belum
berpengalaman terutama pada penderita skabies yang lesinya tidak
khas lagi dan banyak infeksi sekunder oleh bakteri.
Usap (Swab) Kulit
Pemeriksaan usap kulit dilakukan dengan selotip transparan
yang dipotong sesuai ukuran gelas objek (25x50mm). Cara
melakukannya, mula-mula ditentukan lokasi kulit yang diduga
terinfestasi tungau. Kemudian bagian kulit tersebut dibersihkan
dengan eter lalu dilekatkan selotip di atas papul atau terowongan
kemudian diangkat dengan cepat. Setelah itu, selotip dilekatkan di
gelas objek, ditetesi KOH, ditutup dengan kaca tutup, dan diperiksa
dengan mikroskop. Dari setiap satu lesi, selotip dilekatkan sebanyak
50
enam kali dengan enam selotip untuk membuat enam sediaan.56
Sediaan dapat diperiksa dalam tiga jam setelah pengambilan
sampel bila disimpan pada suhu 10-14OC. Usap kulit relatif mudah
digunakan dan memiliki nilai prediksi positif dan negatif (positive and
negative predictive value) yang tinggi sehingga dapat digunakan
untuk skrining di daerah dengan keterbatasan fasilitas.65
Burrow Ink Test
Papul skabies diolesi tinta India menggunakan pena lalu
dibiarkan selama 20-30 menit kemudian dihapus dengan alkohol.
Burrow ink test menunjukkan hasil positif apabila tinta masuk ke
dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis
zig zag. Burrow ink test adalah pemeriksaan untuk mendeteksi
terowongan, bukan untuk mendeteksi tungau dan produknya.
Pemeriksaan Histopatologik
Papul atau terowongan yang dicurigai mengandung tungau
diangkat menggunakan ibu jari dan telunjuk, kemudian diiris dengan
skalpel sejajar permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial
sehingga tidak terjadi perdarahan dan tidak perlu anestesi.
Spesimen diletakkan di kaca objek, ditetesi minyak mineral, ditutup
dengan kaca tutup lalu diperiksa di bawah mikroskop.
Gambaran histopatologik lesi skabies adalah terdapatnya
terowongan di stratum korneum, namun ujung terowongan tempat
tungau betina berada terletak di irisan dermis. Pemeriksaan
histopatologik tidak mempunyai nilai diagnostik kecuali ditemukan
tungau atau telur pada pemeriksaan tersebut.
Daerah yang berisi tungau akan menunjukkan eosinofil yang
sulit dibedakan dengan reaksi gigitan artropoda lain seperti gigitan
nyamuk atau kutu busuk. Apabila gambaran histopatologik pada
biopsi terowongan epidermis hanya terdapat infiltrat sel radang
perivaskular dengan banyak eosinofil, edema, dan spongiosis
epidermal, maka hanya bersifat sugestif dan bukan diagnosis pasti
infestasi skabies.13 Gambaran histopatologik pada biopsi kulit yang
menunjukkan gambaran ekor babi merah muda (pink pigtail) dan
melekat di stratum korneum serta terdapatnya bungkus telur tungau
yang kosong mengarahkan pada diagnosis skabies.
51
Lesi primer skabies memberikan gambaran hiperkeratosis,
akantosis, spongiosis dan vesikulasi di epidermis. Perubahan di dermis
berupa infiltrat perivaskuler, terdiri atas sel limfosit T, sedikit histiosit
dan kadang-kadang eosinofil serta neutrofil. Di lesi primer, jumlah sel
mast lebih banyak apabila dibandingkan dengan lesi sekunder dan
kulit normal.
Lesi sekunder pada umumnya berupa papul urtika yang mungkin
terjadi akibat kompleks imun yang beredar atau akibat respons imun
selular. Terdapatnya kompleks imun yang beredar terbukti dengan
meningkatnya C1q binding activity. Di lesi sekunder, infiltrasi sel-sel lebih
ringan daripada lesi primer dan tidak ditemukan eosinofil atau vaskulitis.
Biopsi pada nodus persisten menunjukkan infiltrat radang kronik
dengan atau tanpa eosinofil, pembuluh darah menebal, dan mungkin
terdapat gambaran vaskulitis. Sel mononuklear atipik terkadang
ditemukan. Pada skabies krustosa, stratum korneum menebal dan
penuh dengan tungau.
Dermoskopi
Dermoskopi, disebut juga dermatoskopi atau epiluminescence
microscopyadalah metode yang digunakan dermatolog untuk
mengevaluasi diagnosis banding lesi berpigmen dan melanoma,
namun pada perkembangannya dermoskopi juga dapat digunakan
untuk mendiagnosis skabies. Dermoskopi adalah teknik pengamatan
lapisan kulit dermis superfisial secara in vivo. Dermoskop menggunakan
medium liquid yaitu minyak, air atau alkohol atau cahaya terpolarisasi
yang memungkinkan observasi langsung ke kulit tanpa terganggu
refleksi cahaya di kulit sehingga dapat memberikan gambaran rinci setiap
lapisan epidermis sampai dermis papiler superfisial dan mengidentifikasi
keberadaan terowongan.
Pada pemeriksaan dermoskopi tungau skabies tampak berbentuk
segitiga yang diikuti garis terowongan di epidermis seperti gambaran
pesawat jet, layang-layang, atau spermatozoid. Area akral seperti selasela jari tangan dan pergelangan tangan merupakan tempat yang paling
baik untuk dilakukan pemeriksaan dermoskopi, namun bagian kulit lain
yang mempunyai papul kemerahan dengan terowongan utuh juga harus
diperiksa.
Dermoskopi cukup baik sebagai alat diagnostik skabies, namun
tidak sebaik kerokan kulit atau biopsi. Dupuy et al63 melaporkan bahwa
52
dermoskopi memiliki sensitivitas 91% dan spesifisitas 86% pada
pemeriksa yang berpengalaman dengan spesifisitas yang sedikit
lebih rendah pada pemeriksa yang tidak berpengalaman. Meskipun
demikian, selama studi tersebut didapatkan bahwa akurasi
diagnostik oleh dermoskopis yang tidak berpengalaman terus
meningkat.
Dermoskopi mampu mendeteksi lesi skabies lebih banyak (84%
vs 47%, p<0,01) daripada kerokan kulit dan lama pemeriksaan
lebih singkat (227 detik vs 442 detik, p<0,01). Dermoskopi lebih
bermanfaat pada penderita skabies yang memiliki gejala tidak khas,
subklinis, sedang dalam pengobatan steroid, skabies nodular, dan
penderita immunocompromised seperti bayi, usia lanjut dan HIV.
Sensitivitas dermoskopi meningkat seiring dengan keparahan
penyakit, sedangkan sensitivitas kerokan kulit tidak dipengaruhi
oleh hal tersebut.
Prosedur pemeriksaan dermoskopi tidak menimbulkan nyeri
sehingga penderita merasa nyaman dan tidak takut diperiksa
(pada anak). Keuntungan teknik dermoskopi dibandingkan kerokan
kulit dalam mendiagnosis skabies adalah lebih disukai penderita,
hemat waktu, dan perlengkapan mudah dibawa (portable) sehingga
dermoskopi lebih dipilih untuk skrining pada komunitas besar.
Hambatan penggunaan dermoskopi adalah harga alat yang mahal
sehingga belum banyak digunakan di negara berkembang.65
Metode Pencitraan S.scabiei secara In Vivo
Walaupun belum banyak diketahui di Indonesia, di negara maju
seperti di Eropa telah mulai dikembangkan metode pencitraan pada
penyakit skabies yang dilakukan secara in vivo yaitu menggunakan
optical coherence tomography (OCT) dan confocal microscopy (CM).
OCT adalah teknik pencitraan in vivo non-invasif yang telah
rutin digunakan di bidang oftalmologi untuk mendiagnosis penyakit
retina. Beberapa tahun terakhir, OCT mulai digunakan di bidang
dermatologi untuk memantau terapi pada kasus kanker kulit nonmelanoma dan keratosis aktinik. Dengan resolusi 8-µm, OCT
dapat memvisualisasi perubahan morfologi kulit akibat infestasi,
keberadaan tungau dan terowongan, serta isi terowongan secara
in vivo sehingga memungkinkan untuk diagnosis secara in vivo
yang cepat dan non-invasif. Selain itu OCT memudahkan dalam
53
menganalisis dan mempelajari struktur biologis tungau serta proses
infestasi di hospes yang selama ini terbatas pada studi in vitro.66
Banzhaf et al66 berhasil mengidentifikasi tungau pada penderita
kabies secara in vivo dengan potongan vertikal dan horizontal. Pada
gambaran vertikal, tungau tampak seperti struktur oval (mango/almondshaped) berukuran 0,2x0,3mm atau kurang dan berlokasi tepat di bawah
stratum korneum. Densitas tungau mirip dengan jaringan kulit sekitarnya,
namun tungau tampak dibatasi atau berada di ujung terowongan yang
tergambarkan sebagai dua garis hiperreflektif (dinding terowongan)
yang mengapit ruang hiporeflektif di tengahnya (lumen terowongan).
Pada salah satu kasus, ditemukan bahwa tungau tidak selalu berada
di stratum korneum namun dapat menggali lebih dalam hingga stratum
granulosum. Pada potongan horizontal, tungau tampak berukuran
0,3x0,15mm. Selain itu dapat divisualisasi feses dan telur tungau yang
tampak sebagai droplet hiperreflektif di sepanjang lumen terowongan.
Teknik pencitraan selain OCT adalah CM yang memberikan
gambaran dengan resolusi dan kedalaman penetrasi yang lebih baik dari
OCT sehingga struktur spesifik dari tungau dan jaringan di sekitarnya
dapat terlihat lebih jelas. CM memungkinkan untuk merekam video
sehingga CM lebih sering digunakan pada studi biologis tungau skabies.
Kekurangannya adalah pemeriksaan CM memerlukan waktu lebih lama
dari OCT, membutuhkan keterampilan yang lebih tinggi dan tidak dapat
membuat potongan vertikal sehingga tidak dapat menjelaskan lokasi
tungau secara rinci.66
Teknik pencitraan skabies secara in vivo dengan OCT dan CM
mirip dengan dermoskopi. Kelebihannya adalah dapat menggambarkan
struktur spesifik tungau dan terowongan, lokasi tungau di kulit, dan
kondisi jaringan sekitar dengan lebih rinci dibandingkan dermoskopi.
Meskipun demikian, OCT dan CM lebih sulit diakses, memerlukan waktu
lebih lama, dan membutuhkan keterampilan tinggi sehingga tidak cocok
untuk diagnosis masal atau skrining dan lebih sering digunakan untuk
tujuan studi biologi tungau.
Tes Kulit Intradermal
Metode diagnosis skabies dengan tes intradermal hingga saat
ini masih sulitdilakukan karena memerlukan ekstrak tungau murni
sedangkan S.scabiei varietas hominis sulit dibiak sehingga sulit
mendapatkan ekstrak tungau dalam jumlah yang cukup. Penelitian
54
imunitas spesifik dengan tes intrakutan dan prick test menggunakan
ekstrak tungau skabies menunjukkan bahwa tes intrakutan positif pada
sebagian besar penderita skabies tetapi prick test memberikan hasil
negatif. Hal tersebut disebabkan antigen yang digunakan tidak cukup
jumlahnya yaitu hanya 5% dari berat total tungau skabies. Sementara
itu bila digunakan seluruh bagian tubuh tungau yang dihancurkan (crude
antigen) terjadi erupsi piogenik yang berbeda dengan skabies klasik.
Sampai saat ini pemeriksaan imunitas spesifik menggunakan
tungau skabies masih belum memuaskan. Hal itu disebabkan sulitnya
membuat antigen karena S.scabiei varietas hominis belum dapat dibiak
baik in vivo maupun in vitro, sedangkan penggunaan S.scabiei varietas
binatang memberikan reaksi yang berbeda. Ekstrak tungau yang
diperoleh dari hewan mengandung antigen campuran yang heterogen
dari hospes dan parasit. Selain itu, terdapat reaksi silang dengan
antigen determinan dari tungau debu rumah, komposisi, serta potensi
yang bervariasi.
Dewasa ini terdapat well-characterized recombinant scabies mite
allergens yang telah dimurnikan dengan komposisi protein yang standar.
Alergen tersebut berpotensi untuk digunakan pada tes kulit intradermal
pada masa mendatang. Metode tersebut dapat mempermudah
diagnosis kasus skabies sulit sekaligus memiliki potensi dalam bidang
imunoterapi.64
Deteksi Antibodi dengan ELISA
Berdasarkan patogenesis skabies, antigen tungau menginduksi
respons humoral pada hospes sehingga terjadi produksi antibodi.
Hal tersebut memungkinkan untuk mendiagnosis skabies
menggunakan pemeriksaan darah dengan dasar pengukuran
antibodi sirkulasi yang bereaksi terhadap antigen spesifik-skabies
tanpa bereaksi silang dengan tungau debu rumah. Saat ini telah
berhasil dikembangkan deteksi antibodi dengan ELISA pada
S.scabiei babi dan anjing yang sudah beredar luas di Eropa namun
metode tersebut belum memberikan hasil yang baik pada manusia.
Arlian et al67 meneliti IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM spesifik antigen
skabies pada 91 penderita. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil
bahwa semua penderita skabies memiliki antibodi campuran IgA,
IgG, dan IgE yang dapat mengenali antigen tungau skabies dengan
komposisi masing-masing 45%, 27%, dan 2,2%. Selain itu, sebanyak
55
73,6% penderita skabies memiliki serum IgM yang dapat mengenali
protein skabies namun juga bereaksi dengan tungau debu rumah. Tidak
didapatkan serum antibodi yang bereaksi secara eksklusif hanya pada
antigen tungau skabies. Hal tersebut disebabkan co-sensitization atau
reaksi silang yang tidak dapat dihindari antara antigen tungau skabies
dan tungau debu rumah pada sistem imun manusia sehingga masih
menghambat pengembangan metode diagnosis skabies menggunakan
tes darah pada manusia. Sama halnya dengan tes intradermal, deteksi
antibodi dengan ELISA masih memerlukan penelitian untuk mencari
antigen spesifik-skabies-manusia yang tidak ditemukan pada jenis
tungau skabies hewan atau parasit lainnya.
Polymerase Chain Reaction
Pemeriksaan skabies dengan polymerase chain reaction (PCR),
dapat menjadi salah satu metode deteksi S.scabiei. Dengan teknik
PCR diagnosis skabies menjadi lebih mudah karena sensitif terhadap
amplifikasi enzimatik fragmen gen dari material parasit yang sedikit. PCR
merupakan metode untuk identifikasi parasit yang akurat, mengetahui
karakteristik gen parasit, diagnosis infeksi parasit, mengetahui isolasi
dan karakteristik gen yang terekspresi, mendeteksi resistensi obat,
perkembangan rekombinasi vaksin DNA, dan analisis keseluruhan
genom parasit.
Kelemahan PCR adalah ketergantungan metode tersebut pada
keberadaan tungau atau bagian dari tungau dalam sediaan, sehingga
tidak memungkinkan untuk digunakan secara luas karena jumlah
tungau hanya sedikit. PCR dapat diandalkan jika metode lain tidak dapat
mendiagnosis skabies. PCR yang diikuti dengan deteksi ELISA dapat
meningkatkan sensitivitas diagnostik pada penderita dengan skabies
atipik namun metode tersebut sangat memakan waktu dan biaya.64
Faktor-Faktor yang
Laboratorium
Perlu
Diperhatikan
pada
Pemeriksaan
Berbagai metode untuk mendiagnosis skabies dengan menemukan
tungau memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kerokan
kulit merupakan cara paling mudah dan hasilnya lebih memuaskan
dibandingkan cara lainnya. Pengambilan tungau menggunakan
jarum lebih sulit karena memerlukan keterampilan khusus dan tingkat
keberhasilannya rendah karena pada orang kulit berwarna, terowongan
56
sulit diidentifikasi. Metode usap kulit memiliki kekurangan karena
pemeriksaannya memerlukan waktu lama. Hal tersebut disebabkan
pada metode usap kulit, sampel harus diambil dari berbagai lokasi lesi
dan dari tiap lesi dilakukan 6 kali pengambilan sampel. Burrow ink test
jarang memberikan hasil positif karena penderita biasanya datang pada
keadaan kronik dan sudah terjadi infeksi sekunder sehingga terowongan
tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki tinta.
Agar pemeriksaan memberikan hasil yang memuaskan, terdapat
berbagai hal yang perlu diperhatikan. Pada diagnosis dengan melakukan
kerokan kulit, kerokan tidak boleh dilakukan di lesi ekskoriasi karena
kemungkinan tungau sudah tidak ada lagi karena tergaruk dan terbuang
secara mekanik. Kerokan kulit juga tidak boleh dilakukan di lesi dengan
infeksi sekunder karena dapat memperberat infeksi. Selain itu, di lesi
dengan infeksi sekunder terdapat pus yang bersifat akarisida sehingga
tungau mungkin sudah tidak ada di lesi tersebut.7,49
Cara terbaik untuk melakukan kerokan kulit adalah kerokan harus
dilakukan secara superfisial karena tungau berada di dalam terowongan
di stratum korneum. Kerokan kulit tidak boleh berdarah karena jika
terjadi perdarahan berarti kerokan lebih dalam dari stratum korneum.
Papul yang baik untuk dikerok adalah papul utuh yang baru dibentuk,
berbentuk lonjong dan tidak berkrusta karena biasanya tungau masih
dapat ditemukan di papul tersebut. Pengerokan kulit tidak hanya di satu
lesi, tetapi di berbagai lesi karena tungau belum tentu berada di lesi yang
dipilih. Lesi skabies paling sering ditemukan di sela-sela jari tangan, oleh
karena itu lesi di sela jari tangan harus mendapat perhatian.
Sebelum melakukan kerokan kulit, teteskan minyak mineral di
skalpel dan di lesi yang akan dikerok. Penetesan minyak mineral lebih
baik dari KOH karena tungau melekat ke minyak mineral sehingga dapat
diangkat dalam keadaan hidup dan tidak hancur. Selain itu, pemeriksaan
mikroskopis lebih mudah pada penggunaan minyak mineral karena
perbedaan refraksi antara tungau dan minyak mineral lebih besar
dibandingkan dengan tungau dan KOH. Keuntungan lain penggunaan
minyak mineral adalah skuama tidak berterbangan dan lebih mudah
dikumpulkan untuk pemeriksaan mikroskopis. Minyak mineral juga tidak
melarutkan skibala yang bermanfaat untuk membantu menetapkan
diagnosis.
57
BAB X
Diagnosis Banding
Karena lesi skabies dapat menyerupai berbagai lesi penyakit kulit
lain, hampir semua penyakit kulit yang memiliki gejala gatal dianggap
sebagai diagnosis banding skabies. Diagnosis banding skabies
adalah prurigo, impetigo, folikulitis, pioderma, tinea korporis, sifilis,
pedikulosis pubis, gigitan serangga, urtikaria papular, reaksi alergi,
psoriasis, eksem, dermatitis atopik, dematitis seboroik, dermatitis
kontak, dermatitis eksematoid infeksiosa, lupus eritematosus sistemik,
pemfigoid bulosa, papulosis limfomatoid, dermatitis herpetiformis,
liken planus, ekskoriasi-neurotik, langerhans cell histiositosis, penyakit
darier, sezary syndrome, mastositosis, akropustulosis infantil, pruritus
karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik pada kehamilan, dan
vaskulitis.13
Diagnosis skabies pada anak-anak sering terlewatkan dan baru
dipikirkan ketika terdapat orang di sekitarnya yang mengalami gejala
serupa. Karena lesi kulit tipikal maupun atipik tersebar di kulit kepala,
wajah, telapak tangan, telapak kaki dan daerah lipatan kulit, maka
diagnosis skabies pada anak sering salah dan didiagnosis sebagai
dermatitis atopik atau akropustulosis infantil. Hal tersebut disebabkan
akropustulosis infantil merupakan penyakit dengan karakter utama
berupa pustul dan vesikel yang tersebar dari akral, terasa gatal dan
akropustulosis infantil memang dapat terjadi setelah infeksi skabies.13
Pada penderita berusia lanjut, diagnosis skabies juga sulit
ditegakkan karena presentasi skabies dapat berupa lesi kulit atipikal
karena perubahan respons imun pada penuaan. Tertundanya
diagnosis pada penderita skabies yang berusia lanjut biasanya
karena keluhan gatal sering dianggap sebagai bagian dari pruritus
atau gangguan cemas. Diagnosis skabies yang terlambat pada orang
tua yang tinggal di institusi perawatan misalnya panti jompo dapat
menularkan skabies ke penghuni lain bahkan dapat menimbulkan
wabah di institusi tersebut. Kesalahan diagnosis pada orang usia
lanjut menyebabkan dokter memberikan kortikosteroid topikal jangka
panjang yang menyebabkan lesi tipikal skabies berubah menjadi atipik
yang semakin sulit dikenali.13
58
Brenaut et al68 mengemukakan karakteristik gatal pada penyakit
non-atopik eksem, psoriasis, skabies, atopik dermatitis, dan urtikaria.
Pada dermatitis atopik keluhan gatal diiringi banyak keringat dan
nyeri kepala; nyeri lebih sering ditemukan dibandingkan penyakit
kulit lainnya. Pada urtikaria, sensasi panas lebih sering ditemukan
dibandingkan dengan skabies sedangkan rasa gatal seperti
tersengat, tercubit dan tertusuk lebih sering terjadi pada dermatitis
atopik dibandingkan penyakit lain.
Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh dalam modulasi rasa
gatal.69 Berkeringat meningkatkan rasa gatal pada 80% penderita
atopik dermatitis, 73% penderita skabies, 62% non-atopik eksem,
58% psoriasis dan hanya 30% pada penderita urtikaria. Gerakan
fisik mempunyai pengaruh yang berbeda pada penyakit tersebut.
Pada atopik dermatitis gerakan fisik meningkatkan keparahan rasa
gatal, sedangkan psoriasis lebih meringankan rasa gatal.
Pada semua penyakit, penggunaan air dingin dapat mengurangi
rasa gatal, sedangkan penggunaan air panas meningkatkan
keparahan rasa gatal. Air panas meningkatkan rasa gatal sebesar
50% pada penderita dermatitis atopik dan 67% pada penderita
skabies namun pada penderita psoriasis pengggunaan air panas
dapat meringankan keluhan gatal.
Kondisi kulit yang kering memicu eksaserbasi gatal terutama
psoriasis 94%, atopik dermatitis 93%, 64% non-atopik eksem, dan
69% pada skabies. Stres memicu rasa gatal pada semua dermatitis.
Menggaruk merupakan tindakan yang melegakan bagi penderita.
Lesi bekas garukan secara signifikan ditemukan pada skabies dan
dermatitis atopik dibandingkan eksem, psoriasis dan urtikaria.
59
BAB XI
Pengobatan Skabies
Prinsip pengobatan skabies adalah menggunakan skabisida
topikal diikuti dengan perilaku hidup bersih dan sehat baik
pada penderita maupun lingkungannya. Syarat skabisida ideal
adalah efektif terhadap semua stadium tungau, tidak toksik
atau menimbulkan iritasi, tidak berbau, serta tidak menimbulkan
kerusakan atau mewarnai pakaian, dan mudah diperoleh. Syarat
lainnya adalah harga skabisida cukup murah karena penderita
skabies umumnya dari golongan ekonomi lemah.69
Pengolesan obat topikal umumnya selama 8-12 jam namun ada
yang perlu digunakan sampai lima hari berturut-turut, bergantung
pada jenis skabisida. Pada bayi dan anak kecil absorbsi obat
lebih tinggi sehingga pengolesan tidak dianjurkan saat kulit dalam
keadaan hangat atau basah setelah mandi. Apabila terdapat infeksi
sekunder oleh bakteri, perlu diberikan antibiotik topikal atau oral
terlebih dahulu sesuai indikasi dengan memerhatikan interaksi
antar obat.
Pada umumnya, satu kali pengolesan skabisida topikal
cukup untuk menyembuhkan skabies. Meskipun demikian, untuk
menentukan apakah terapi skabies harus diulang perlu diperhatikan
apakah obat yang digunakan bersifat ovisida (membunuh telur) dan
skabisida (membunuh tungau) atau hanya bersifat skabisida. Selain
itu, perlu diperhatikan waktu dimulainya terapi awal, kemajuan
kesembuhan selama terapi, dan menghubungkannya dengan siklus
hidup tungau.
Telur tungau menetas pada hari ketiga dan memerlukan waktu
sekitar delapan hari untuk menjadi tungau dewasa yang akan
bertelur lagi. Bila terapi hanya bersifat skabisida dan tidak ovisida
maka telur yang sempat diproduksi sebelum terapi dimulai, akan
menetas dan menginfestasi kembali setelah hari ketiga. Jika terapi
bersifat skabisida dan ovisida, maka terapi akan efektif membunuh
semua stadium tungau baik telur, larva, nimfa maupun tungau
dewasa. Meskipun demikian, karena terdapat periode laten klinis
pengolesan skabisida perlu diulang pada hari ketiga atau keempat
sehingga dapat membunuh tungau dari telur yang baru menetas
dan belum sempat terbasmi pada terapi pertama.
60
Semua skabisida topikal memiliki prinsip penggunaan yang
sama dan harus dipatuhi oleh penderita, tenaga kesehatan, atau
orang lain yang membantu mengoleskan skabisida. Oleh karena
itu, penderita skabies perlu diingatkan untuk membaca pedoman
penggunaan skabisida sebelum menggunakannya. Prinsip tersebut
adalah pengolesan obat sebaiknya dilakukan oleh penderita sendiri,
namun boleh dibantu orang lain bila lokasi lesi sulit dijangkau misalnya
di punggung atau bokong. Apabila pengolesan skabisida dibantu orang
lain, misalnya perawat atau anggota keluarga maka orang tersebut
harus menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan dengan sabun
setelah membantu mengoleskan.
Sebelum mengoleskan skabisida, penderita skabies harus mandi
menggunakan sabun. Sabun dipakai ke seluruh bagian tubuh, bukan
hanya tangan, wajah, ketiak dan alat kelamin; lalu dibilas dengan bersih.
Setelah badan kering, skabisida dioleskan ke seluruh permukaan kulit
dari leher sampai ujung jari kaki. Perhatian khusus diberikan ke lesi
di tempat predileksi misalnya sela-sela jari tangan, telapak tangan,
pergelangan tangan, bokong, dan alat kelamin. Apabila terhapus
sebelum waktunya misalnya karena berwudhu atau mencuci tangan
maka obat harus dioleskan lagi. Setelah mencapai waktu yang
ditentukan, obat dibersihkan dari seluruh tubuh dengan mandi memakai
sabun. Selesai mandi, badan dikeringkan dengan handuk bersih dan
kering lalu handuk dijemur di bawah terik sinar matahari.
Pada bayi, anak di bawah lima tahun, orang berusia lanjut, dan
immunocompromised host, pengolesan skabisida di kepala harus
mencakup dahi, alis, kulit kepala, dan area belakang telinga. Kulit
kepala memang tidak selalu diinstruksikan untuk dioleskan skabisida
pada kasus skabies klasik karena di daerah tersebut jarang ditemukan
tungau. Meskipun demikian, kulit kepala tidak boleh dilupakan terutama
bila terapi awal gagal atau pada kasus skabies krustosa.
Penderita skabies harus memotong kuku tangan dan kaki secara
teratur serta menjaganya tetap pendek dan bersih. Skabisida dioleskan ke
kulit di bawah kuku yang telah dipotong. Pakaian dan perlengkapan tidur
harus diganti selama dan setelah terapi, serta dilakukan dekontaminasi.
Skabisida topikal biasanya berbentuk krim yang dikemas dalam tube
berisi 30gram dan 60gram. Untuk mengoleskan skabisida, perlu
dihitung kebutuhan krim yang akan dioleskan. Luas permukaan
kulit orang dewasa diperkirakan dengan prinsip satu telapak tangan
61
sama dengan 1% luas permukaan tubuh. Krim skabisida sebanyak
satu ruas jari tangan diperkirakan sama dengan 0,5 gram dan dapat
digunakan untuk area kulit seluas 2 telapak tangan. Pada bayi dan
balita, proporsi tubuhnya tidak seperti orang dewasa sehingga perlu
disesuaikan namun prinsipnya tetap sama. Dengan menghitung luas
permukaan kulit dan banyaknya krim yang dibutuhkan untuk satu
kali pengolesan, dapat dihitung berapa banyak kemasan krim yang
diresepkan untuk satu kali pengobatan ke seluruh permukaan tubuh.70
Kekurangan obat topikal adalah tidak nyaman digunakan karena
terasa lengket di kulit dan memiliki efek samping (misalnya rasa
panas atau rasa terbakar) sehingga dapat menurunkan kepatuhan
menggunakan obat. Maxine71 menyatakan pengobatan skabies yang
tidak berhasil berhubungan dengan salah penggunaan obat yaitu
hanya digunakan di lesi dan tidak dioleskan ke seluruh tubuh mulai dari
leher hingga kaki. Pada skabies klasik target terapi adalah penderita
dan semua orang yang kontak erat dengan penderita meskipun
tidak memiliki gejala. Terapi untuk penderita skabies perlu dilakukan
bersamaan dengan anggota keluarga lain karena pada skabies
terdapat periode laten klinis yang dapat berlangsung hingga 6 minggu.
Penderita skabies yang sedang menjalani terapi dengan obat
topikal harus menerapkan gaya hidup bersih dan sehat terutama
mandi dua kali sehari memakai sabun, baik dengan sabun biasa atau
antiseptik. Mandi menggunakan sabun membantu menghilangkan
tungau skabies dan telur yang tersisa di permukaan kulit penderita.
Sabun biasa dapat membuang patogen yang menempel di kulit
secara mekanik namun tidak dapat membunuhnya. Sabun antiseptik
biasanya memiliki zat aktif triklosan dengan konsentrasi 0,1% dan
0,45% berat/volume. Triklosan efektif terhadap bakteri dan jamur tetapi
tidak efektif terhadap virus. Pada percobaan laboratorium penggunaan
triklosan dalam konsentrasi tinggi dapat menurunkan jumlah bakteri
dibandingkan sabun biasa. Zat yang mirip dengan triklosan yaitu
triklokarban dipakai untuk sabun antiseptik berbentuk batang.72
Tempat perawatan kesehatan sering memakai sabun cuci
tangan antimikroba atau antiseptik seperti klorheksidin atau triklosan
konsentrasi tinggi. Produk tersebut efektif membunuh bakteri,
jamur, dan virus. Selain itu antiseptik tersebut seringkali memiliki
aktivitas antimikroba residu di kulit yang akan bertahan untuk waktu
cukup lama setelah mencuci tangan. Sabun antiseptik diharapkan
62
dapat mengurangi infeksi sekunder di lesi skabies, namun perlu
diperhatikan bahwa sabun antiseptik dapat berinteraksi dengan
permetrin dan mengurangi penetrasi permetrin ke dalam kulit.
Efektivitas pengobatan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu
diagnosis, ketepatan terapi topikal, dosis skabisida, dan waktu
pemakaian obat. Oleh karena itu, agar pengobatan berhasil maka
perlu diperhatikan hal-hal berikut.
Penderita perlu dijelaskan cara pemakaian obat yang benar
karena kesalahan pemakaian obat dapat menyebabkan kegagalan
pengobatan. Rasa gatal masih menetap setelah pengobatan walaupun
tungau sebenarnya telah mati karena reaksi hipersensitivitas terhadap
tungau dan produknya masih tetap berlangsung. Keadaan tersebut perlu
disampaikan kepada penderita sebelum memulai terapi agar penderita
tidak menganggap terapinya gagal apabila mengalami pruritus setelah
pengobatan. Dengan demikian pemberian skabisida harus dibatasi
dan penderita perlu diberikan penjelasan tentang gatal yang menetap
agar tidak menggunakan krim secara berlebihan. Sediaan topikal
30gram biasanya cukup untuk dioleskan ke seluruh tubuh seorang
penderita dewasa. Untuk mengatasi pruritus, penderita dapat diberikan
antihistamin dan antiinflamasi.72 Penyebab pruritus setelah pemberian
terapi skabisida dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1.
Penyebab, Tatalaksana dan Pencegahan Pruritus setelah
Penggunaan Skabisida71
Penyebab
Iritasi kulit
Pengobatan berlebihan
Tatalaksana
Emolien intensif dengan atau Kurangi penggunaan skabisida
tanpa steroid topikal ringan
Skabies eksematosa berat Steroid topikal
Pemberian skabisida ulang
Dermatitis kontak
Pencegahan
Ganti skabisida
Gunakan skabisida non-iritasi
Gunakan skabisida non-iritasi
Gagal pengobatan
Kepatuhan rendah, resisten Pemberian skabisida ulang Instruksi yang benar dan evaluasi
dan pengobatan semua orang secara komprehensif.
atau relaps
yang mengalami kontak
Aplikasi dari kepala sampai kaki
dan pengobatan seluruh keluarga
yang mengalami kontak
Rujuk ke psikiatri
Delusi parasitosis
Bukan dari skabies
Obati sesuai penyebab
63
Kegagalan dan Faktor Penyulit Terapi
Kegagalan terapi dapat disebabkan oleh pemakaian skabisida
yang tidak adekuat. Lesi keratotik, berkrusta, dan lesi dengan infeksi
sekunder mengurangi penetrasi skabisida ke dalam kulit sehingga
terapi menjadi tidak efektif. Faktor lainnya adalah penderita dapat
mengalami reinfestasi tungau setelah kontak dengan penderita yang
belum diobati. Resistensi tungau terhadap skabisida juga menyulitkan
terapi skabies.
Orang yang kontak dengan penderita seringkali tidak mengerti
pentingnya pengobatan seluruh anggota keluarga yang tinggal dalam
satu rumah dengan penderita skabies. Pengobatan tersebut bertujuan
untuk memutus rantai penularan penyakit sehingga orang yang kontak
dengan penderita skabies tetap harus diobati walaupun tidak memiliki
gejala. Pengobatan orang-orang terdekat penderita yaitu keluarga
merupakan tindakan penting untuk mencegah infestasi skabies
berulang terutama bagi ibu yang anak atau bayinya terinfeksi skabies.
Kurangnya pengetahuan mengenai skabies juga menurunkan
motivasi untuk berpartisipasi dalam penanggulangan dan
pemberantasan skabies di komunitas. Tenaga kesehatan terkadang
belum berpengalaman dalam mendiagnosis skabies sehingga terapi
menjadi tidak tepat atau terlambat diberikan sehingga mempengaruhi
kualitas hidup penderita dan meningkatkan penularan.
Dekontaminasi
Pengobatan skabies perlu diikuti dengan dekontaminasi
lingkungan untuk membunuh tungau yang berada di luar tubuh
hospes karena tungau dapat hidup di luar tubuh hospes sekitar tiga
hari. Arlian et al67 meneliti sampel debu dari rumah penderita skabies
yang 81% diantaranya mengalami infestasi sedang hingga berat
namun tidak mengalami hiperkeratosis (bukan penderita skabies
krustosa). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44% dari sampel
debu tersebut mengandung tungau hidup. Tungau paling banyak
ditemukan di lantai di bawah tempat tidur, sofa, dan kursi. Oleh
karena itu dekontaminasi sangat penting dalam pemberantasan
skabies dan mencegah reinfestasi.
64
Dekontaminasi lingkungan dapat dilakukan menggunakan
penyedot debu. Karpet, kasur, batal, guling, sofa, furnitur dan
barang-barang berbulu lainnya perlu dijemur di bawah terik sinar
matahari setelah dilakukan penyedotan debu; selanjutnya dijemur
minimal 2 kali seminggu. Pakaian, seprai, sarung bantal dan sarung
guling, mukena, kerudung, dan sarung harus dicuci dengan air
panas. Setelah didekontaminasi, barang-barang tersebut sebaiknya
tidak langsung digunakan kembali karena tungau masih dapat hidup
setelah lepas dari hospes selama kurang lebih 3 hari walaupun
tungau umumnya mati setelah 36 jam di luar tubuh hospes pada suhu
ruang. Oleh karena itu, barang-barang yang telah didekontaminasi
sebaiknya baru digunakan kembali dalam 2 hari hingga 3 minggu
setelah dekontaminasi.
Sinar matahari perlu diupayakan masuk ke rumah dan sirkulasi
udara perlu diperbaiki untuk mengurangi kelembaban rumah.
Ventilasi rumah perlu diperbaiki karena di rumah yang tidak berjendela
sinar matahari tidak dapat masuk. Hal yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki ventilasi misalnya memasang beberapa genteng kaca
agar sinar matahari dapat masuk ke dalam ruangan.
65
BAB XII
Jenis Skabisida
Obat yang dapat membunuh tungau skabies disebut skabisida
dan obat yang dapat membunuh telur tungau disebut ovisida. Ada
obat yang hanya bersifat skabisida misalnya sulfur presipitatum,
namun ada yang bersifat skabisida dan ovisida sekaligus misalnya
gama benzen heksaklorida dan permetrin. Berikut adalah obat yang
dapat digunakan untuk terapi skabies.
Sulfur Presipitatum
Sulfur dengan konsentrasi 5-10% dalam vaselin telah lama
digunakan sebagai skabisida. Sebenarnya sulfur konsentrasi 6%
sudah cukup untuk mengobati skabies, namun pada sebagian kasus
sulfur 6% dianggap kurang efektif sehingga sulfur konsentrasi 10%
lebih sering digunakan. Sulfur dengan konsentrasi 10% mampu
membunuh larva, nimfa dan tungau skabies namun tidak dapat
membunuh telur S.scabiei sehingga harus digunakan selama tiga
hari berturut-turut dan diulangi seminggu kemudian. Dosis sulfur
untuk anak-anak adalah setengah dosis dewasa, sedangkan pada
bayi seperempat dosis dewasa.
Bentuk aktif sulfur adalah H2S dan asam pentationik yang
memiliki sifat keratinolitik. Sulfur murah dan aman digunakan oleh
bayi, anak balita, ibu hamil dan menyusui, serta orang berusia lanjut
karena memiliki margin of safety yang lebar. Kekurangan sulfur
adalah berbau tidak enak, lengket, mengotori pakaian, dan kadang
menimbulkan iritasi. Studi di Venezuela menunjukkan efek samping
sulfur adalah dermatitis kontak ringan pada 5% subjek.
Singalavanija et al73 pada tahun 2003 membandingkan gama
benzen heksaklorida topikal 0,3% dengan sulfur topikal 10%
pada 68 subjek yang didiagnosis skabies secara klinis. Tidak
terdapat perbedaan signifikan mengenai treatment failure ketika
dievaluasi pada minggu keempat. Keluhan gatal yang menetap (itch
persistence) setelah 28 hari juga tidak berbeda bermakna pada
kedua kelompok. Bau tidak sedap, sensasi terbakar, dan eritema
terjadi pada 14 dari 50 subjek yang menggunakan sulfur dan pada
14 dari 50 subjek yang memakai gama benzen heksaklorida.
66
Avila-Romay et al74 meneliti pengaruh vehikulum obat sulfur topikal
terhadap skabies dengan membandingkan vehikulum krim dingin
dan vehikulum lemak babi pada 51 subjek. Hasilnya menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada keluhan pruritus,
xerosis, sensasi terbakar, dan eritema pada kedua kelompok. Krim
dingin sebagai vehikulum pengobatan untuk sulfur lebih efektif
dibandingkan lemak babi dengan efek samping yang lebih sedikit.
Krim sulfur dapat menjadi pilihan yang murah dan aman untuk
negara dengan sumber daya terbatas.
Gama benzen heksaklorida
Gama benzen heksaklorida adalah skabisida yang digunakan
pertama kali oleh Wooldridge pada tahun 1948.75 Skabisida tersebut
tersedia dalam bentuk krim atau losio dengan konsentrasi 1%
dan merupakan obat pilihan untuk terapi skabies karena dapat
membunuh telur, larva, nimfa dan tungau dewasa, mudah digunakan,
dan tidak menimbulkan iritasi. Cara pemakaiannya adalah dengan
mengoleskan ke seluruh badan dari leher ke bawah sampai ujung
jari kaki lalu dibersihkan setelah 12 jam. Gama benzen heksaklorida
cukup diberikan sekali, namun jika masih terdapat gejala aktif
skabies maka perlu diulangi seminggu kemudian. Skabisida ini
tidak boleh diberikan untuk ibu hamil dan anak di bawah 6 tahun
karena neurotoksik.70
Gama benzen heksaklorida diserap melalui mukosa dan
didistribusikan ke seluruh tubuh dengan konsentrasi tertinggi dalam
jaringan yang kaya lipid dan kulit, kemudian dimetabolisme dan
diekskresikan melalui urin dan feses.76 Gama benzen heksaklorida
diabsorbsi melalui kulit sehingga dapat meningkatkan kadar obat
dalam darah pada pemakaian berulang-ulang yang akan bersifat
toksik terhadap susunan saraf pusat. Pada bayi dan anak kecil,
absorbsi per kutan lebih besar sehingga banyak dokter tidak memilih
gama benzena heksaklorida untuk terapi skabies pada bayi, anak
kecil, ibu hamil dan ibu menyusui. Meskipun demikian sebagian
dokter menganggap aman bila pemakaian hanya 6 jam.
Kontraindikasi gama benzen heksaklorida adalah untuk
penderita skabies yang memiliki kelainan neurologis karena obat ini
memiliki sifat neurotoksik. Pemberian gama benzen heksaklorida
juga harus berhati-hati pada penderita dengan berat badan kurang
67
dari 50 kg, penderita dengan riwayat kejang atau penyakit neurologis
lainnya. Efek samping gama benzen heksaklorida adalah mual,
muntah, nyeri kepala, iritabilitas, insomnia, dan kejang. Kematian
dan kejang pernah dilaporkan pada anak kecil yang tertelan gama
benzen heksaklorida, terlalu sering atau terlalu banyak pengolesan
atau perubahan barier pelindung kulit. Oleh karena itu, FDA
mengeluarkan kebijakan bahwa gama benzen heksaklorida hanya
digunakan pada anak jika pengobatan lain tidak berhasil.70 Untuk
mengurangi toksisitas gamma benzen heksaklorida, dapat dilihat
penjelasan berikut ini.77
Boleh Dilakukan
-
Gunakan di kulit kering dan dingin
Gunakan selama 6 jam
Bilas dengan air dan sabun setelah 6 jam pemakaian
Obati keluarga dan seluruh orang yang memiliki kontak
dengan penderita
Beritahu penderita dan keluarga akan bahaya toksisitas
Jangan Dilakukan
-
Jangan digunakan pada anak sakit dan balita
Jangan digunakan di bagian yang meradang dan kulit terluka
Jangan menggunakan konsentrasi <1% karena tidak efektif
Jangan digunakan secara berlebih
Hindari pengobatan berlebih
Benzil benzoat
Benzil benzoat, ester asam benzoat dan benzil alkohol diperoleh
dari balsam Peru dan Tolu; terdapat dalam bentuk emulsi atau losio
dengan konsentrasi 20-25%. Obat tersebut cukup efektif terhadap
semua stadium karena bersifat neurotoksik untuk tungau.78
Benzil benzoat efektif untuk mengatasi crusted scabies yang
resisten terhadap permetrin,78 namun obat ini sulit diperoleh, sering
mengakibatkan iritasi, dan menambah rasa gatal setelah dipakai.
Cara penggunaannya adalah dengan dioleskan setiap malam
selama tiga hari berturut-turut. Pada orang dewasa muda atau
anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi 12,5%.
68
Efek samping benzil benzoat adalah dermatitis iritan dan pada
penggunaan berulang dapat menyebabkan dermatitis alergi. Benzil
benzoat tidak boleh digunakan pada ibu hamil dan menyusui, bayi, dan
anak-anak kurang dari 2 tahun.
Krotamiton
Krotamiton merupakan skabisida yang cukup efektif. Obat tersebut
tersedia dalam bentuk krim atau losio dengan konsentrasi 10%. Cara
pemakaian krotamiton adalah dengan mengoleskannya dari leher ke
bawah, lalu diulang 24 jam kemudian. Krotamiton harus dijauhkan dari
mata, mulut, dan uretra. Krotamiton memiliki efek sebagai skabisida
sekaligus antigatal. Pengolesan setiap hari selama 5 hari berturut-turut
memberikan hasil yang memuaskan. Tingkat keberhasilan bervariasi
sekitar 50%-70%. Hasil terbaik diperoleh bila dioleskan dua kali sehari
selama lima hari berturut-turut setelah mandi dan berganti pakaian.79
Efek samping berupa iritasi di kulit yang erosif dan sensitisasi pada
pemakaian yang lama.
Permetrin
Permetrin adalah insektisida yang termasuk golongan piretroid
sintetik, bekerja dengan cara mengganggu kanal natrium, menyebabkan
perlambatan repolarisasi dinding sel parasit yang pada akhirnya
membunuh parasit. Permetrin tersedia dalam bentuk krim dengan
konsentrasi 5%, pemakaiannya lebih singkat dari gama benzen
heksaklorida dan efek sampingnya lebih ringan.
Permetrin dalam bentuk krim 5% adalah skabisida pilihan dalam
tatalaksana skabies karena angka kesembuhannya tinggi dan
toksisitasnya rendah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa permetrin
merupakan skabisida terbaik dalam pengobatan skabies dibandingkan
terapi lainnya. Efektivitas permetrin dalam mengobati skabies adalah
91%, sedangkan efektivitas gama benzen heksaklorida 86%. Dosis
tunggal permetrin dapat menyembuhkan 97,8% penderita skabies
dan permetrin lebih baik dibandingkan dengan ivermektin. Sayangnya,
krim permetrin 5% relatif mahal dan sering tidak tersedia di daerah
endemis skabies.
Permetrin adalah skabisida yang aman dan didetoksifikasi melalui
proses hidrolisisesterase dengan cepat dari darah dan jaringan termasuk
kulit. Kadar permetrin plasma setelah penggunaan krim permetrin 5%
topikal di bawah konsentrasi yang dapat dideteksi yang menunjukkan
69
bahwa permetrin aman digunakan oleh penderita skabies kecuali yang
memiliki kontraindikasi. Hasill penelitian tersebut didukung oleh penelitian
yang melibatkan 1500 penderita skabies berumur 2 bulan hingga 101
tahun. Penggunaan permetrin 5% sebagai pengobatan skabies secara
global sudah mendapat persetujuan Food and Drugs Administration
(FDA) sejak tahun 1989.
Krim permetrin digunakan dengan mengoleskannya ke seluruh
permukaan kulit dari leher hingga ujung kaki. Hal tersebut bertujuan
untuk membunuh seluruh tungau yang berada di stratum korneum dan
di permukaan kulit. Pengolesan krim permetrin perlu diperhatikan di
daerah predileksi skabies seperti bokong, area intertriginosa termasuk
lipatan intergluteal, dan subungual serta lipatan tubuh lainnya agar
tidak luput dari pengobatan. Pengolesan permetrin ke seluruh tubuh
juga bertujuan untuk membunuh tungau yang berada di lesi subklinis.
Permetrin dianjurkan untuk dipakai pada malam hari selama 8-12
jam dan bila terhapus sebelum waktunya, maka krim harus dioleskan
lagi. Keesokan harinya penderita harus mandi memakai sabun untuk
membilas krim permetrin dari kulit.
Pengolesan permetrin ke seluruh tubuh menimbulkan perasaan tidak
nyaman karena rasa lengket terutama saat penderita berkeringat. Pada
penderita skabies yang mendapat permetrin, ditemukan efek samping
sekitar 1-10% namun efek samping tersebut tergolong ringan dan hilang
dengan sendirinya. Efek samping yang paling sering muncul adalah
rasa terbakar dan menyengat pada sekitar 10% penderita. Sekitar 7%
penderita mengalami rasa gatal setelah pengolesan krim permetrin.
Efek samping lainnya adalah rasa panas, kemerahan dan iritasi pada
sebagian kecil penderita skabies. Permetrin memiliki kontraindikasi
terhadap orang yang memiliki hipersensitivitas terhadap permetrin,
piretroid, dan piretrin karena dapat menyebabkan sensasi terbakar,
pedih, dan kemerahan namun hanya bersifat sementara.
Strong et al80 melakukan
systematic
review terhadap 22
randomized clinical trial mengenai terapi skabies yang mengikut
sertakan 2676 penderita. Obat topikal yang digunakan adalah benzil
benzoat, krotamiton, dekametrin, gama benzen heksaklorida, permetrin,
synergized natural pyrethrin, sulfur, dan ivermektin oral. Sebanyak 18 uji
klinis membandingkan satu jenis obat dengan obat lainnya (satu atau
lebih), satu uji klinis membandingkan ivermektin dengan plasebo, tiga uji
klinis membandingkan terapi skabies yang berbeda, dan satu uji klinis
membandingkan dua vehikulum berbeda dari satu jenis obat. Tindak
70
lanjut pengobatan dari ke-22 uji tersebut berkisar tujuh hari sampai satu
bulan. Semua studi merekomendasikan terapi kepada seluruh anggota
keluarga serumah atau kontak dekat yang waktunya bersamaan
dengan terapi pada penderita skabies. Hal tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kesembuhan dan mencegah reinfestasi. Faktor-faktor
yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan terapi dijaga
tetap sama pada setiap subjek misalnya keharusan mandi setiap hari
dan dekontaminasi barang-barang sekitar penderita misalnya pakaian.
Jika terdapat kombinasi pengobatan dengan herbal atau obat tradisional
lain dimasukkan kriteria eksklusi.
Dari systematic review tersebut, diperoleh tiga hal penting. Pertama,
permetrin topikal lebih efektif dibandingkan ivermektin oral (dua uji klinis,
140 subjek), krotamiton (dua uji klinis, 194 subjek), dan gama benzen
heksaklorida (lima uji klinis, 753 subjek). Kedua, permetrin unggul
dalam mengurangi pruritus persisten yang biasa dialami oleh penderita
skabies selama dan sesudah terapi dibandingkan krotamiton (satu uji
klinis, 94 subjek) atau gama benzen heksaklorida (dua uji klinis, 490
subjek). Ketiga, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara efektivitas
permetrin (piretroid sintetik) dengan agen topikal berbasis piretrin
alami (satu uji klinis, 40 subjek), atau antara permetrin dengan benzil
benzoat (satu uji klinis, 53 subjek). Strong et al81 menyimpulkan bahwa
untuk sediaan topikal, permetrin merupakan skabisida paling efektif,
sedangkan untuk terapi oral adalah ivermektin. Faktor yang dapat
memengaruhi keberhasilan atau rekurensi infestasi pasca pengobatan
adalah pemakaian krim permetrin kurang dari 12 jam, pemakaian yang
tidak merata ke seluruh tubuh terutama di bawah kuku, dan reinfestasi
tungau akibat penularan dari penderita yang tidak menunjukkan gejala
klinis. Berdasarkan hasil penelitian ini masih dibutuhkan penelitian
lebih lanjut mengenai manajemen terapi skabies terbaik dalam lingkup
institusi atau level komunitas.
Permetrin adalah insektisida yang efektif untuk mengobati skabies
namun obat tersebut masih memiliki kelemahan yaitu rasa lengket ketika
dioleskan di kulit dan terdapatnya efek samping berupa gatal dan rasa
panas atau sensasi terbakar. Pengolesan permetrin ke seluruh tubuh,
terutama di daerah tropis menimbulkan rasa tidak nyaman apalagi
ketika penderita berkeringat. Sehubungan dengan hal tersebut, Sungkar
et al81 mencoba mengobati skabies dengan mengoleskan permetrin
hanya di lesi saja selama 10 jam. Untuk menghilangkan tungau yang
berada di permukaan kulit, penderita diharuskan mandi dua kali sehari
71
memakai sabun. Penderita dievaluasi setiap minggu selama 6 minggu
dan jika terdapat lesi subklinis yang berubah menjadi lesi klinis, maka
lesi tersebut diobati dengan permetrin. Penelitian pendahuluan tersebut
dilakukan di sebuah pesantren di Jakarta dengan jumlah subjek 69
penderita skabies yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu satu kelompok
mendapat terapi standar berupa pengolesan permetrin ke seluruh tubuh
dan satu kelompok lainnya mendapat pengobatan permetrin hanya di
lesi saja. Pada evaluasi minggu keempat, angka kesembuhan permetrin
pada terapi standar adalah 96% dan pada pengobatan di lesi saja 92%
namun pada uji statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Pemberian permetrin di lesi saja lebih disukai penderita dibandingkan
pengobatan ke seluruh tubuh karena Indonesia merupakan negara
beriklim tropis dengan cuaca yang panas dan lembab sehingga tubuh
sering berkeringat dan pengolesan krim membuat kulit menjadi tidak
nyaman.
Efek samping yang timbul pada penggunaan di lesi saja lebih
ringan dibandingkan pengolesan krim ke seluruh tubuh yaitu rasa gatal
dan panas namun durasinya singkat. Hasil penelitian Sungkar et al81
tersebut belum dapat digeneralisasikan karena hanya berupa penelitian
pendahuluan yang perlu dilanjutkan dengan penelitian skala besar
dalam bentuk randomized clinical trial.
Gambar 15. Perbaikan Klinis skabies setelah Diterapi dengan Permethrin
72
Ivermektin
Ivermektin merupakan derivat makrolid semisintetik yang
menghambat gamma-aminobutyric-acid pada neurotransmitter
sehingga menyebabkan paralisis parasit. Ivermektin oral efektivitasnya
setara dengan permetrin sebagai skabisida sehingga menjadi alternatif
untuk terapi skabies karena lebih mudah ditoleransi tubuh, tidak
menyebabkan iritasi kulit, dan tidak menunjukkan efek samping sistem
saraf pusat karena molekulnya tidak menembus sawar darah otak.
Ivermektin memiliki potensi baik dalam menggantikan terapi topikal
skabies untuk penderita yang tidak nyaman dengan pengobatan topikal
atau dengan tingkat kepatuhan pemakaian yang rendah, misalnya
tidak dapat mengoleskan obat ke seluruh permukaan kulit karena
alasan tertentu. Selain itu penerimaan obat oral umumnya lebih baik
dibandingkan topikal untuk penderita skabies yang tinggal di daerah
minim air bersih untuk mandi atau kamar mandi yang tidak memadai,
misalnya di pemukiman kumuh atau daerah sulit air. Di Indonesia,
ivermektin belum digunakan untuk pengobatan skabies maupun
penyakit parasitik lainnya.
Ivermektin oral efektif untuk mengobati skabies dan biasanya
digunakan untuk skabies krustosa atau pada saat terjadi wabah di suatu
institusi. Pengobatan masal untuk mengatasi wabah skabies di Pulau
Solomon menunjukkan bahwa ivermektin oral berhasil menurunkan
prevalensi skabies sebanyak 24% bersamaan dengan menurunnya
prevalensi impetigo dan haematuria.17
Ribeiro et al82 meneliti efektivitas ivermektin oral sebagai profilaksis
terhadap skabies pada narapidana di suatu penjara Brazil pada tahun
2005. Ivermektin oral dengan dosis 300µg/kg perhari selama seminggu
efektif untuk profilaksis skabies di lingkungan seperti penjara. Manjhi
et al83 menguji efektivitas ivermektin (200µg/kgBB) dosis tunggal,
permetrin 5%, gama benzena heksaklorida 1%, dan benzil benzoat
25% terhadap 240 penderita skabies. Semua obat topikal diberikan
dalam satu kali pemakaian. Evaluasi dilakukan pada akhir minggu
ke-1 dan minggu ke-6. Parameter efektivitas obat adalah perbaikan
pruritus yang dibagi dalam 3 kategori yaitu ringan, sedang, dan
berat berdasarkan VAS. Keparahan lesi yang juga dibagi dalam 3
kategori. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa efektivitas
ivermektin, permetrin, gama benzen heksaklorida, dan benzil
benzoat dalam mengurangi keparahan pruritus adalah 85%, 90%,
73
75%, dan 68,33%. Efektivitas dalam mengurangi lesi dari keempat
obat tersebut adalah 80%, 88,33%, 71,66%, dan 65%. Permetrin
5% paling efektif dibandingkan kedua obat topikal lainnya (p<0,05)
dan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara efektivitas
permetrin dengan ivermektin (p>0,05). Manjhi et al83 menyimpulkan
bahwa ivermektin oral bermanfaat dan lebih cost-effective sebagai
terapi skabies pada komunitas atau manajemen epidemi skabies,
untuk terapi kasus skabies dengan komplikasi, resistensi permetrin,
atau intoleransi terhadap skabisid topikal lainnya.
Terapi Herbal untuk Skabies
Skabies memiliki sejarah panjang dalam kehidupan baik pada
manusia maupun hewan. Dahulu skabies diobati dengan obat
tradisional atau herbal namun dengan semakin majunya teknologi
dan ilmu kedokteran, semakin berkembang obat antiskabies modern
yang lebih banyak digunakan dibandingkan obat herbal. Meskipun
demikian, obat herbal masih terus diteliti dan dikembangkan.
Luo et al84 meneliti salah satu jenis tanaman yang sering
digunakan untuk terapi penyakit akibat tungau terutama pada
hewan yaitu Ligularia virgaurea yang termasuk family compositae
atau astraceae. L.virgaurea adalah tanaman gulma di padang
rumput dataran rendah Qinghai, Tibet bagian timur dan sekitarnya.
Luo et al84 meneliti efek akarisida ekstrak L.virgaurea terhadap
tungau skabies secara in vitro. S.scabiei diisolasi dari kelinci
yang menderita skabies yaitu dari lesi di kaki dan telinga. Tungau
dikumpulkan di cawan petri dan diinkubasi pada suhu 35OC selama
30 menit. L.virgaurea dibuat menjadi ekstrak dengan berbagai
konsentrasi dari 0,25g/ml sampai 2g/ml. Dari setiap konsentrasi
ekstrak, diambil 0,5ml lalu diteteskan ke cawan petri melalui kertas
saring. Sebanyak 10 spesimen yang diuji kemudian diinkubasi
pada suhu 25OC dengan kelembaban 75% selama 0,5-6 jam. Tiga
spesimen sebagai kontrol negatif (tidak diterapi) hanya diberikan air
suling dan gliserin 10% serta satu spesimen sebagai kontrol positif
diberikan ivermektin 2%.
74
Hasil penelitian bervariasi sesuai konsentrasi ekstrak.
Konsentrasi ekstrak tertinggi yaitu 2g/ml berhasil membunuh tungau
100%. Pada kontrol negatif yang hanya diberi gliserin 10%, seluruh
tungau tetap hidup setelah terapi 6 jam. Pada kontrol positif dengan
ivermektin 2%, sebagian tungau masih hidup setelah terapi 6 jam.
Selain L.virgaurea, tanaman yang juga bersifat akarisida adalah
Eupatorium adenophorum dan Psoroptes cuniculi. Semua penelitian
tersebut masih secara in vitro sehingga diperlukan penelitian lebih
lanjut secara in vivo yang dimulai dengan binatang.
75
BAB XIII
Skabies Krustosa
Pada skabies terdapat bentuk khusus yang manifestasi klinisnya
berbeda dengan skabies klasik yaitu skabies krustosa (crusted
scabies). Dahulu skabies krustosa disebut sebagai skabies norwegia
karena ditemukan pertama kali pada pengidap lepra/kusta/morbus
hansen di Norwegia.
Skabies krustosa disebabkan oleh tungau yang sama dengan
skabies klasik yaitu Sarcoptes scabiei varietas hominis namun
manifestasi klinisnya berbeda. Boeck berhasil mentransfer tungau
hidup dari penderita skabies krustosa ke relawan sehat dan belum
pernah menderita skabies untuk mengetahui patogenesis skabies
krustosa. Hasil eksperimen tersebut adalah tungau skabies dapat
hidup pada relawan namun bermanifestasi sebagai skabies klasik,
bukan skabies krustosa.
Skabies krustosa merupakan sumber utama wabah skabies di
rumah sakit, panti jompo dan rumah sakit jiwa. Fakta tersebut didukung
bukti dari studi molekular yang menunjukkan bahwa genotip tungau
dari hospes yang tinggal di satu rumah lebih homogen daripada genotip
tungau dari rumah berbeda walaupun berada dalam satu komunitas.85
Skabies
krustosa
biasanya
terjadi
pada
penderita
immunocompromised misalnya penderita yang sedang menjalani
pengobatan immunosupresif jangka panjang, transplantasi organ,
terinfeksi HIV atau infeksi virus yang menyerang sel limfosit T.
Kelompok lain yang rentan terinfestasi skabies krustosa adalah
mereka yang memiliki mental terbelakang atau cacat fisik seperti
kelumpuhan, neuropati sensoris atau neuropati seperti pada morbus
hansen terutama lepra lepromatosa.
Jumlah tungau yang menginfestasi satu penderita skabies krustosa
banyak sekali; bervariasi dari ribuan hingga jutaan tungau sedangkan
pada skabies klasik biasanya hanya terdapat sekitar 11 tungau pada
satu penderita. Pada skabies krustosa terdapat sekitar 4.700 tungau
tiap 1gram kulit hiperkeratosis yang terkelupas dan tungau juga
ditemukan pada barang-barang di sekitar penderita. Karena jumlah
tungau yang sangat banyak maka skabies krustosa sangat infeksius
dan sering menyebabkan wabah di institusi tempat penderita dirawat.
76
Gejala skabies krustosa adalah lesi berkrusta tebal dan di sel
keratin lapisan stratum korneum terjadi penebalan lapisan yang
abnormal (hiperkeratosis) bercampur dengan ribuan telur, kotoran,
dan kulit S.scabiei. Lesi pada skabies krustosa dapat tersebar di
seluruh permukaan kulit atau fokal yang terbatas di kulit kepala,
wajah, telapak tangan atau telapak kaki. Keluhan gatal jarang
dijumpai bahkan biasanya tidak ada rasa gatal sama sekali.
Terdapat perbedaan manifestasi klinis skabies klasik dengan
skabies krustosa (Tabel 2).
Tabel 2. Perbedaan Manifestasi Klinis Skabies Klasik dan Krustosa61
Karakteristik
Skabies Klasik
Skabies Krustosa
Lesi
Papul, vesikel, pustul
Hiperkeratosis tebal dan
luas
Predileksi
Sela jari tangan dan kaki, lipatan Telapak tangan dan
kulit seperti siku, ketiak, payudara, kaki, kulit kepala,
dan bokong, bahu, punggung, telinga, siku dan lutut
inguinal dan genital
Pruritus
Hebat, terutama malam hari
Lebih ringan
Jumlah tungau
<20 tungau dari seluruh
permukaan kulit
4000 tungau per gram
kulit terutama di lesi
berkrusta
Data epidemiologi menunjukkan banyaknya kasus skabies
krustosa yang diderita oleh penderita dengan defek neurologis
mayor seperti sindrom down atau neuropati akibat morbus hansen
dan diabetes melitus. Fakta tersebut menjadi salah satu dasar
teori proliferasi masif S.scabiei pada skabies krustosa yaitu akibat
terabaikannya penderita yang mengalami kerusakan persepsi
sensorik terhadap rangsang gatal dan defisiensi sistem imun. Defek
sensorik pada penderita kusta mencegah eliminasi efektif tungau
karena dengan garukan dapat membuang tungau secara mekanik.
Selain itu infeksi sekunder oleh bakteri juga menghasilkan pus
yang bersifat akarisida sehingga dapat membatasi jumlah tungau.
Karena banyaknya tungau pada penderita skabies krustosa, tidak
mengherankan jika sering terjadi epidemi pada orang-orang di
sekitarnya. Penyebab kematian pada penderita skabies krustosa
adalah infeksi sekunder oleh bakteri.61
77
Skabies krustosa berhubungan dengan efektivitas sistem imun
yang rendah. Penderita umumnya memiliki kadar serum IgA yang
rendah, kadar IgE dan IgG tinggi serta eosinofilia perifer. Kadar
serum IgA yang rendah berhubungan dengan kadar sekretori IgA di
kulit dan menjadi faktor predisposisi serta mendukung lingkungan
kondusif untuk infestasi skabies. Kemungkinan lain adalah kerentanan
hospes yang unik atau spesifik terhadap tungau. Hipersensitivitas kulit
terhadap tungau juga merupakan faktor predisposisi manifestasi yang
tidak biasa.62
Skabies krustosa lebih menonjol pada penderita kusta
lepromatosa dibandingkan tipe kusta lainnya akibat defisiensi
imunologi pada penderita kusta terutama tipe lepromatosa. Penderita
kusta lepromatosa biasanya mendapat terapi kortikosteroid sehingga
semakin menekan sistem imun. Jumlah tungau lebih banyak pada
penderita kusta lepromatosa, tetapi tidak ada perbedaan bermakna
pada jumlah tungau diantara ketiga tipe kusta.
Diagnosis
Diagnosis klinis skabies krustosa ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis dan tipe distribusi lesi karena jelas dan khas, namun
diagnosis pasti tetap berdasarkan penemuan tungau dari kerokan lesi.
Karakteristik skabies krustosa adalah lesi kulit berkrusta, hiperkeratosis,
berskuama, rasa gatal ringan atau bahkan tidak ada keluhan gatal.
Lokasi tersering di tangan, kaki, siku, dan ketiak. Skuama berwarna
khas seperi creamy colour.
Kerokan kulit untuk diagnosis skabies krustosa dilakukan dengan
cara berikut. Mula-mula identifikasi lokasi lesi berkrusta yang ditandai
dengan kulit menebal dan berskuama lalu dilakukan desinfeksi
menggunakan alkohol 70%. Secara lembut kulit dikerok menggunakan
skalpel tajam dengan membentuk sudut 90 derajat.85 Perlu diperhatikan
bahwa pada saat melakukan kerokan, kulit tidak boleh berdarah karena
dapat menimbulkan komplikasi infeksi. Hasil kerokan kulit ditampung di
wadah misalnya cawan petri. Jika lokasi kulit tersebut benar berkrusta,
maka akan mudah dikumpulkan. Kerokan kulit jangan dilakukan
terburu-buru, makin banyak sampel yang dikumpulkan, semakin
meningkat ketepatan diagnosis. Selanjutnya kirim sampel kerokan kulit
ke laboratorium untuk diperiksa. Jika pada pemeriksaan mikroskopik
ditemukan tungau maka diagnosis pasti skabies dapat ditegakkan
namun jika hasil pemeriksaan negatif, belum menyingkirkan
78
diagnosis dan pemeriksaan perlu diulang dari beberapa lesi yang
spesifik untuk skabies krustosa.62
Untuk menegakkan diagnosis krustosa penting untuk mencermati
rekam medis. Penderita yang pernah atau sedang terinfestasi skabies
krustosa rentan mengidap penyakit seumur hidupnya. Penderita
tersebut sering dirawat di rumah sakit karena skabies krustosa sering
kambuh. Oleh karena itu, penting untuk membaca rekam medik
secara teliti untuk mengetahui riwayat diagnosis dan rawat inap serta
mengetahui riwayat keparahan penderita skabies krustosa. Penderita
skabies krustosa merupakan sumber penularan, oleh karena itu jika
terjadi wabah skabies atau riwayat skabies berulang di keluarga
maka perlu mencurigai kemungkinan skabies krustosa.
Diagnosis banding skabies krustosa umumnya adalah penyakit
kulit lain yang bermanifestasi sebagai hiperkeratosis di telapak
tangan dan telapak kaki. Diagnosis bandingnya adalah psoriasis,
keratoderma blenorrhagikum, keratosis folikularis, dermatitis
ekzematosa kronik, pitiriasis rubra pilaris, limfoma, dan eritroderma
berkrusta.61
Pengobatan
Terapi skabies krustosa adalah menggunakan krim permetrin 5%
atau gama benzena heksaklorida 1%. Cara pemakaiannya sama
dengan pengobatan skabies klasik perlu disampaikan bahwa krim
dioleskan bukan hanya dari leher ke bawah namun ke seluruh tubuh
termasuk kepala, bagian belakang telinga, wajah, telapak tangan,
telapak kaki dan kulit di bawah kuku kaki. Skabies krustosa biasanya
tidak langsung sembuh dengan satu kali pengobatan memerlukan 3-4
kali pengobatan hingga penderita benar-benar dinyatakan sembuh dan
tidak lagi ditemukan tungau.61
Hal penting terkait pengobatan skabies krustosa adalah pemberian
antibiotik untuk mengatasi infeksi sekunder oleh bakteri yang sering
menyertai atau bila ada komorbid. Obat keratolitik seperti krim asam
salisilat 5-10% dapat digunakan sebagai tambahan terapi skabisida.
Dengan pemakaian keratolitik yang tepat, krusta tebal akan melunak
dan lebih mudah mengelupas.61
Untuk meningkatkan efektifitas obat digunakan skala penilaian untuk
penderita skabies krustosa. Skala tersebut dikembangkan pada
tahun 2002 berdasarkan pemeriksaan kulit lalu diklasifikasikan
79
ke dalam kategori ringan, sedang, dan berat. Aspek yang dinilai
meliputi distribusi dan luas krusta, ketebalan krusta, derajat fisura dan
pioderma, serta riwayat episode sebelumnya. Nilai 4-6 dikategorikan
derajat 1, nilai 7-9 derajat 2, dan nilai 10-12 derajat 3.61
Distribusi dan Luas Krusta
1. Pergelangan tangan, sela jari, dan telapak kaki (<10% luas
area permukaan tubuh)
2. Sampai ke lengan bawah, tungkai bawah, bokong, badan,
atau 10-30% luas area permukaan tubuh)
3. Sampai ke kulit kepala atau >30% luas area permukaan tubuh
Krusta
1. Krusta ringan (ketebalan<5mm)
2. Sedang (ketebalan 5-10mm)
3. Berat (ketebalan>10mm)
Kondisi Kulit
1. Tidak ada fisura atau pioderma
2. Pustul multipel dan atau rasa nyeri dan atau fisura dangkal
3. Fisura dalam sampai perdarahan dan eksudat purulen yang
luas
Riwayat Episode Sebelumnya
1. Tidak pernah mengalami
2. Dirawat di rumah sakit 1-3 kali karena skabies krustosa
ATAU depigmentasi di siku dan lutut
3. Dirawat di rumah sakit lebih dari 4 kali karena skabies
krustosa ATAU depigmentasi sampai atas tungkai, punggung
atau terdapat riwayat iktiosis
Penderita skabies krustosa sering merasa menderita seumur
hidupnya karena stigma dan sering menghindari petugas kesehatan.
Oleh karena itu, agar terapi berhasil terdapat hal-hal yang perlu
diperhatikan.
Tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi
kekuatiran penderita karena rasa kuatir dapat menghambat
kepatuhan berobat. Penderita kuatir ditempatkan di bangsal yang
terisolasi di rumah sakit, merasa membebani keluarga karena seluruh
80
anggota keluarga harus diobati, kuatir mengeluarkan biaya besar
dan kuatir pengobatan akan gagal lagi karena pernah mengalami
kegagalan terapi.
Tindakan kedua adalah bekerja sama dengan penderita dan
keluarga untuk merencanakan pengobatan yang sesuai. Kesalahan
yang sering terjadi pada manajemen skabies krustosa adalah petugas
kesehatan jarang atau tidak meluangkan waktu untuk mengunjungi
keluarga di rumah. Kesalahan yang lain adalah tidak fokus pada protokol
klinik pengobatan sebelum membina hubungan yang baik dengan
keluarga, tidak menjelaskan secara rinci tentang penyakit, keparahan,
dan pentingnya kepatuhan untuk mencegah kekambuhan. Selain itu,
petugas kesehatan tidak melakukan pendekatan kepada pembuat
keputusan dalam keluarga penderita untuk memastikan kepatuhan
pengobatan pada seluruh anggota keluarga.
Tindakan ketiga adalah memulai terapi. Idealnya semua penderita
skabies krustosa dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan terapi
terutama tingkat keparahan 2-3 karena risiko sepsis dan infeksi.
Untuk penderita yang pertama kali didiagnosis, penting untuk mencari
defisiensi imun atau penyakit lain yang mendasari. Untuk pengobatan
skabies krustosa di rumah, terapi topikal harus di bawah pengawasan
petugas kesehatan.
Pengobatan yang diberikan pada skabies krustosa adalah asam
laktat dan krim urea topikal. Cara menggunakan obat tersebut adalah
diberikan setiap hari untuk melembabkan kulit namun tidak diberikan
bersamaan dengan krim skabisida. Setelah diberikan asam laktat dan
krim urea, keesokan harinya penderita mandi dan berendam dalam air
hangat lalu digosok dengan spons untuk menghilangkan krusta. Setelah
itu diberikan permetrin setiap hari pada minggu pertama. Pada anak di
bawah 12 tahun diberikan benzil benzoat yang sudah diencerkan. Terapi
tersebut dioleskan setelah mandi dan setelah kulit dikeringkan. Setiap
hari pakaian, sprei, sarung bantal, sarung guling, pakaian dan linen
lainnya harus dicuci dan dijemur di bawah terik sinar matahari.
Pengobatan Seisi Rumah
Untuk membangun kepercayaan, pengertian, dan keberhasilan
terapi, petugas kesehatan perlu melakukan kunjungan rumah.
Penderita skabies krustosa diobati setiap hari selama satu minggu
sedangkan orang yang kontak dengan penderita skabies krustosa hanya
81
diberikan skabisida pada hari pertama. Lini pertama terapi skabies
krustosa sebagai berikut.
1. Permetrin 5%. Diberikan untuk penderita skabies krustosa berusia
lebih dari 2 bulan sampai dewasa. Krim dioleskan tipis-tipis ke
seluruh tubuh termasuk kepala dan wajah kecuali mata dan mulut,
lalu dibiarkan selama semalam. Untuk bayi berusia kurang dari 2
bulan dapat diberikan krotamiton dan tidak boleh diberikan permetrin.
2. Benzil benzoat. Obat ini membunuh tungau lebih cepat daripada
permetrin sehingga lebih sering dipilih, akan tetapi benzil benzoat
mempunyai efek samping berupa sensasi seperti terbakar yang
akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu 15 menit sehingga
penderita harus diedukasi sebelum pemakaian dan dicoba sedikit
dulu di kulit. Benzil benzoat diberikan kepada anak berusia 2-12
tahun dan orang dewasa. Penderita skabies yang berusia kurang
dari 2 tahun dapat diberikan permetrin dan yang berusia kurang dari
2 bulan diberikan krotamiton. Benzil benzoat dioleskan dari leher
kebawah dan dibiarkan selama semalam.
Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan pada Pengobatan Skabies
Krustosa
Hubungan yang baik antara petugas kesehatan dan penderita serta
keluarga dapat dibangun dengan meluangkan waktu untuk berbicara
dan menjelaskan manfaat pengobatan yang akan diperoleh seperti
mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas tidur. Penjelasan
terutama ditujukan pada anggota keluarga senior yang sering menjadi
pembuat keputusan pada keluarga. Pilih hari yang tepat dimana semua
anggota keluarga dapat hadir misalnya sore hari setelah pulang sekolah
atau bekerja. Pengobatan dimulai pada kunjungan pertama dengan
memberikan contoh mengoleskan krim dengan cara yang benar.
Pada anak kecil umumnya merasa takut pada pengobatan awal
sehingga pengobatan sebaiknya dimulai dari orang yang lebih tua atau
ibu yang memberikan obat kepada anaknya. Anggota keluarga diminta
untuk saling membantu mengoleskan atau mengingatkan kapan harus
memakai obat. Selanjutnya adalah meyakinkan penderita bahwa apa
yang dilakukan petugas kesehatan bersifat rahasia karena setiap
keluarga mungkin tidak ingin anggota keluarganya diketahui sedang
menjalani terapi skabies.
Sebelum memulai terapi, penderita harus diberikan informed
consent. Pengolesan skabisida kepada anak sebaiknya dilakukan oleh
82
orang tuanya. Krim yang dioleskan harus dipastikan melapisi sela jari
tangan dan kaki, di bawah kuku, telapak kaki, dan bokong. Obat dibiarkan
semalam dan jika terbasuh air, pengolesan perlu diulang. Penggunaan
krim skabisida ke seluruh tubuh selama semalam adalah tidak nyaman
sehingga penderita dan keluarga perlu diyakinkan bahwa kunci
keberhasilan pengobatan adalah kepatuhan menjalankan pengobatan
sesuai aturan. Setelah itu, perlu dilakukan skrining pada setiap anak
dan anggota keluarga lainnya. Catat orang yang menderita skabies
lalu dirujuk ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan terapi. Jika
keluarga setuju, rencanakan untuk kerja bakti serumah. Tiap anggota
keluarga dihimbau untuk menjemur baju, seprai, dan kasur di bawah
terik sinar matahari secara rutin.
Perencanaan jangka panjang penting untuk memelihara rencana
pencegahan kekambuhan agar penderita dan keluarga bebas dari
skabies. Pastikan ketersediaan obat sesuai kebutuhan penderita karena
putus obat dapat menjadi penyebab kekambuhan penderita. Terapi
profilaksis reguler hanya boleh menggunakan benzil benzoat saja karena
penggunaan permetrin sebagai profilaksis reguler dapat menimbulkan
resistensi. Penderita sebaiknya tidak berbagi tempat tidur dengan orang
lain. Penjelasan terapi berkelanjutan pada skabies krustosa dirangkum
dalam Tabel 3.
Tabel 3. Terapi Berkelanjutan untuk Skabies Krustosa62
Risiko Kambuh
Penilaian
dan Keparahan
Ringan-sedang - Lokasi kulit
berkrusta < 5% luas
permukaan tubuh
- Nilai skor 0-3
sebelum dirawat
Tinggi
Pemeriksaan
Terapi Pencegahan
Ulang
Setiap bulan
- Penggunaan asam
(periksa semua kulit
laktat/urea di daerah
termasuk bokong)
berkrusta setiap hari
- Mengoleskan benzil
benzoat jika diperlukan
setelah terpajan
skabies. Awasi
pemberian obat
- Lokasi krusta di
Setiap 2 minggu
- Penggunaan asam
kaki, bokong, badan (periksa semua kulit
laktat/urea di daerah
atau > 10% luas
termasuk bokong)
berkrusta setiap hari
permukaan tubuh
- Mengoleskan benzil
- Skor >3 dan atau
benzoat mulai dari
depigmentasi kaki
leher ke bawah setiap
atau punggung atau
2 minggu
sisa penebalan kulit
yang berskuama/
- Mengoleskan benzil
iktiosis
benzoat secepatnya
setelah terpajan
skabies
83
Kekambuhan merupakan hal yang biasa terjadi pada skabies
krustosa. Oleh karena itu, mendeteksi, memberikan pengobatan
segera, dan tidak mudah menyerah merupakan hal yang perlu
dipersiapkan. Jangan lupa melibatkan keluarga dalam pemecahan
masalah karena keluarga adalah bagian dari pengobatan. Penyebab
tersering kekambuhan adalah tidak semua anggota keluarga
mendapatkan dan melakukan terapi, tidak atau lupa mengoleskan
daerah yang terinfestasi terutama daerah bokong, kehabisan stok
krim untuk pengobatan, serta kunjungan tamu yang ternyata juga
mengidap skabies. Kedaan tersebut dapat menyebarkan skabies
ke seisi rumah sehingga ketersediaan krim skabies dan promosi
pengobatan kepada keluarga perlu lebih ditingkatkan. Jika skabies
masih terus ada laporkan ke tim penanggulangan agar dapat
dipantau lebih ketat. Apabila sampai tahap ini pengobatan belum
juga berhasil jangan menyalahkan keluarga. Setiap tindakan
pengendalian yang tidak berhasil harus diperbaiki segera dan bila
salah satu penyebab kegagalan teridentifikasi, maka diperlukan
pemberian skabisida ulang. Selain itu tingkat kesadaran terhadap
kebersihan, keterlibatan penduduk, peran pemantauan pemerintah,
penyediaan air bersih, dan kegagalan program kesehatan
berpengaruh besar terhadap peningkatan kasus skabies.
Dekontaminasi
Pada skabies krustosa dekontaminasi sangat penting karena
jumlah tungau sangat banyak sehingga berpotensi tinggi menjadi
media penularan. Pada kasus skabies krustosa di sebuah rumah
sakit di Glasgow dikumpulkan sampel debu dari pakaian tidur
penderita, seprai, lantai, dan furnitur sebanyak dua kantung lalu
dihitung jumlah S.scabiei berikut telur yang ditemukan per gram
debu. Hasil sampel debu yang dominan berisi serpihan epitel kulit
manusia berikut krusta didapatkan 6312 tungau per gram debu.
Hampir semua tahap perkembangan tungau, mulai dari telur
hingga tungau betina gravid ditemukan pada sampel tersebut dan
sebagian besar tungau berada dalam tumpukan epitel. Sampel
debu lainnya yang lebih sedikit mengandung serpihan epitel kulit
dan krusta diperoleh 472 tungau per gram debu. Tungau dalam
sampel debu sudah mati karena tungau tidak dapat bertahan lama
setelah terlepas dari hospes. Tungau skabies manusia dapat hidup
dan tetap infeksius hingga 96 jam di luar hospes di lingkungan
84
dengan suhu dan kelembaban kondusif namun pada suhu 25OC
tungau umumnya mati setelah 24 jam berada di luar hospes.57,61
Petugas kesehatan perlu menginstruksikan cara dekontaminasi
yang komprehensif untuk penderita skabies krustosa dan kontak
dekatnya sebagai bagian dari terapi. Dekontaminasi perlu dikontrol
oleh pihak yang lebih mengerti dan berwenang untuk menjamin
terhentinya proses penularan skabies. Seluruh pakaian dan kain
yang pernah kontak dengan penderita sebelum dan selama terapi
harus disterilkan dengan pemanasan. Sofa, kursi, atau kasur yang
dilapisi kain harus disetrika, divakum dan dibersihkan dengan uap
panas. Saat mengibaskan kain, tungau dapat berterbangan dan
kontak langsung dengan kulit sehingga lebih baik menggunakan
alat pelindung diri seperti sarung tangan, apron, dan masker.
Furnitur yang berbahan selain kain misalnya kulit atau plastik, dapat
dilap dan disemprot insektisida. Jika menggunakan penyedot debu,
misalnya untuk dekontaminasi lantai dan dinding, semprotkan
insektisida ke area yang akan dibersihkan agar penyedot debu
tidak terinfestasi skabies dan menjadi media penularan. Bagian luar
penyedot debu juga harus disemprot insektisida.57,61
85
BAB XIV
Komplikasi dan Prognosis
Menurut WHO saat ini skabies termasuk dalam daftar penyakit
tropis terabaikan (neglected tropical diseases) karena kurangnya
kesadaran mengenai dampak morbiditas padahal skabies
menurunkan kualitas hidup penderita. Di daerah endemis skabies,
infestasi skabies dianggap suatu hal yang lumrah dan telah menjadi
bagian hidup sehingga semakin besar prevalensi di suatu area, semakin
sedikit dorongan untuk mencari pengobatan.
Gatal hebat mengganggu tidur sehingga keesokan harinya penderita
mengantuk, pusing dan keluhan akibat kurang tidur lainnya. Lesi skabies
juga menurunkan rasa percaya diri pada sebagian besar penderita.
Penderita perempuan merasa malu akan kondisinya dan 30% menarik
diri dari aktivitas sosial karena tidak percaya diri.86
Komplikasi skabies tidak hanya perasaan tidak nyaman dan tidur
yang tidak nyenyak karena gatal, namun terdapat keadaan lain yang
lebih berbahaya. Di kulit yang mengalami ekskoriasi, dapat terjadi infeksi
sekunder oleh bakteri. Bakteri juga dapat berasal dari tungau itu sendiri
karena Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A dapat diisolasi
dari tungau dan feses tungau.
Komplikasi infeksi sekunder oleh bakteri harus diperhatikan terutama
di daerah iklim tropis dan jarang turun hujan. Apabila telah dicurigai
infeksi bakteri, maka pemberian antibakteri topikal atau sistemik harus
diberikan secepatnya. Hal tersebut disebabkan pioderma akibat infeksi
bakteri dapat meluas, invasif bahkan fatal. Dapat terjadi limfangitis,
limfadenitis, selulitis bahkan sepsis. Di Gambia dilaporkan terdapat
hubungan antara septikemia fatal pada bayi yang disebabkan oleh
S.aureus dengan ruam kulit yang dicurigai skabies.
Studi pada masyarakat Aborigin Australia 80% hasil kultur dari
pioderma pada penderita skabies adalah Streptococcus grup A.Pada
penelitian Romani et al19 di Fiji diperoleh hasil bahwa skabies berasosiasi
kuat dengan impetigo. Penelitian tersebut dilakukan di daerah perkotaan
dan pedesaan yang mencakup 75 komunitas. Berdasarkan survei
nasional di Fiji, terdapat 93,1% population attributable risk dan skabies
menjadi risiko terjadinya impetigo. Romani et al19 mengatakan bahwa
anak-anak merupakan populasi yang paling rentan mengalami
skabies dan impetigo, terutama pada rentang usia 5-9 tahun namun
86
tidak ada kelompok umur yang bebas dari skabies dan impetigo.
Skabies dan impetigo memiliki prevalensi tinggi di setiap wilayah
geografis, gender dan kelompok etnis di Fiji.
Infeksi sekunder dapat memicu komplikasi sistemik yang berat
misalnya penyakit ginjal dan penyakit jantung rheumatik. Sekitar
50% kasus glomerulonefritis akut pasca-infeksi Streptococcus
disebabkan infeksi kulit. Wabah glomerulonefritis akut pasca-infeksi
Streptococcus biasanya terjadi bersamaan dengan wabah skabies.
Penyakit ginjal akut yang asimtomatik juga sering timbul bersama
dengan wabah skabies. Cedera di ginjal pada masa anak-anak
dapat mengakibatkan penyakit ginjal kronik pada masa dewasa.
Pencegahan skabies di masyarakat tanpa pengobatan infeksi
sekunder oleh bakteri dapat mengurangi angka kejadian infeksi kulit
oleh Streptococcus dan haematuria.
Glomerulonefritis akut pasca-infeksi Streptococcus dapat
berkembang menjadi penyakit ginjal kronik di kemudian hari.
Suatu penelitian yang dilakukan di Taiwan dengan desain kohort
retrospektif mengemukakan bahwa terdapat peningkatan risiko
penyakit ginjal kronik pada penderita skabies. Pada penelitian
tersebut, sebanyak 5071 penderita skabies diikuti selama 5 tahun
untuk mengetahui kejadian penyakit ginjal kronik (PGK). Hasilnya
menunjukkan insidens PGK adalah 9,66 per 1000 orang per tahun
dengan hazard ratio sebesar 1,34. PGK meningkatkan risiko rawat
inap di rumah sakit, morbiditas serta mortalitas. Penderita PGK
dapat berkembang menjadi end-stage renal disease (ESRD) yang
menimbulkan beban berat karena memerlukan dialisis rutin atau
transplantasi ginjal.87
Komplikasi skabies lainnya adalah hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi akibat inflamasi. Selain itu dapat pula terjadi pruritus
pasca-skabies yaitu pruritus yang terjadi beberapa hari sampai
beberapa minggu setelah infestasi primer akibat hipersensitivitas
terhadap tungau dan produk tungau. Dokter harus dapat
membedakan pruritus pasca-skabies dengan gagal terapi untuk
menghindari pemberian skabisida yang berlebihan. Pruritus pascaskabies dapat diatasi dengan antihistamin oral atau kortikosteroid
dan fototerapi dapat dicoba pada kasus yang resisten. Infestasi
skabies dapat menyebabkan stres emosi yang serius, meliputi
perasaan malu, bersalah, dan delusi parasitosis persisten.
87
Penyakit kulit dapat menyebabkan masalah dalam hubungan
personal dan pasangan seksual karena adanya lesi di area genital. Oleh
karena itu, konsekuensi psikososial penyakit kulit kronik merupakan
aspek penting yang perlu diperhatikan. Konsekuensi psikososial
tersebut mempunyai efek langsung terhadap kualitas hidup penderita.
Kualitas hidup adalah multidimensi yang belum dapat diukur secara langsung, tetapi dapat diperkirakan dari faktor-faktor yang memengaruhi. Untuk membatasi masalah psikososial penderita dianjurkan
memakai baju yang menutupi lesi. Hal tersebut lebih sering dilakukan
penderita perempuan dibandingkan laki-laki. Daerah Timur Laut Brazil.88
memiliki iklim yang panas dan kering sehingga penduduk lebih me­
nyukai pakaian terbuka. Laki-laki dan perempuan lebih sering memakai
baju tanpa lengan, celana pendek, dan sandal terbuka padahal bagian
tubuh yang tidak tertutup baju itulah yang sering menjadi lokasi lesi
skabies. Kegiatan aktivitas santai juga terganggu karena jika pergi ke
pantai, pakaian yang dipakai biasanya lebih terbuka sehingga memakai
baju tertutup akan menarik perhatian orang lain.
Penelitian di Sri Lanka menunjukkan bahwa penderita skabies
sering dikucilkan sehingga sering marah-marah dan depresi.
Hampir seperempat dari penderita skabies mengalami stigma yang
membuat mereka malu dan merasa terisolasi dari masyarakat. Cara
terbaik pencegahan komplikasi tersebut adalah dengan edukasi
kepada penderita untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan
kepatuhan berobat agar lebih cepat sembuh.
Komplikasi skabies bukan hanya berhubungan dengan infeksi,
tetapi juga berkaitan dengan kerugian ekonomi rumah tangga
terutama pada masyarakat yang kurang mampu. Penelitian di
daerah rural Meksiko menunjukkan bahwa terdapat pengeluaran
rumah tangga yang signifikan terhadap pengobatan skabies yang
tidak efektif. Hal tersebut berdampak pada kemampuan membeli
kebutuhan pokok seperti makanan untuk keluarga menjadi
berkurang. Skabies di lingkungan yang buruk merupakan masalah
morbiditas potensial dan sumber beban finansial.
Prognosis skabies sangat baik jika diagnosis dan terapi tepat,
namun pada penderita immunocompromised atau penderita yang
tinggal di panti asuhan atau asrama, angka kejadian infestasi
ulang tinggi khususnya pada penderita yang kembali ke lingkungan
asalnya yang belum dilakukan eradikasi skabies.
88
BAB XV
Pencegahan Skabies
Individu hidup di dalam sebuah sistem memiliki hubungan satu
sama lain. Di dalam sistem Mandala of Health, individu terdiri atas jiwa,
tubuh, dan pikiran. Kesehatan seorang individu akan dipengaruhi oleh
keluarga, komunitas, dan kebudayaan setempat. Pencegahan penyakit
melihat seluruh aspek tersebut mulai dari faktor biologis hingga sistem
kesehatan secara universal.
Untuk memahami pencegahan penyakit infeksi, model kesehatan
trias host-agent-environment merupakan model termudah yang dapat
dipakai. Host adalah hospes yang merupakan penderita baik secara
individual maupun kelompok. Agent adalah jenis bakteri, virus, atau
parasit yang menyebabkan sakit atau penyakit. Environment adalah
faktor lingkungan tempat tinggal yang mempengaruhi kondisi penderita.
Intervensi pencegahan penularan penyakit infeksi berfokus pada
hubungan ketiga aspek tersebut.
Pencegahan penyakit dibagi menjadi pencegahan primer, sekunder,
dan pencegahan tersier. Pencegahan primer merupakan pencegahan
penyakit yang dilakukan sebelum masa patogenesis, meliputi promosi
kesehatan dan perlindungan khusus. Pencegahan sekunder dan
tersier dilakukan selama masa patogenesis, saat kuman sudah masuk
ke dalam tubuh manusia. Pencegahan sekunder merupakan tahap
awal penyembuhan penyakit dan pencegahan dampak berikutnya,
meliputi early diagnosis and prompt treatment dan disability limitation,
yakni pencegahan komplikasi atau disabilitas akibat skabies dan
pengobatan dini menurut standar. Pencegahan tersier berupa
rehabilitasi dan mencegah berulangnya atau timbulnya komplikasi lain
akibat penyakit utama.89
Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan merupakan unsur pencegahan primer
terpenting. Salah satu definisi promosi kesehatan yang paling
sering dikutip adalah menurut Ottawa Charter.90 Definisi tersebut
menyatakan promosi kesehatan adalah proses yang menyebabkan
masyarakat mampu meningkatkan kontrol dan memperbaiki tingkat
kesehatan mereka. Ottawa Charter juga merekomendasikan
tiga strategi dasar promosi kesehatan, yaitu advokasi kesehatan
89
untuk menciptakan suasana kondusif demi terciptanya proses
promosi, mendorong seluruh komponen masyarakat untuk mencapai
seluruh potensi kesehatan dan mediasi perbedaan kepentingan di
masyarakat dalam mencapai tingkat kesehatan. Selain tiga strategi
dasar tersebut, terdapat lima area prioritas dalam promosi kesehatan.
Pertama, mengembangkan kebijakan publik berwawasan kesehatan.
Kedua, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan.
Ketiga, memperkuat kegiatan berwawasan kesehatan di masyarakat.
Keempat, mengembangkan kemampuan individu dan kelima,
reorientasi pelayanan kesehatan.
Promosi kesehatan meliputi pendidikan kesehatan yang
mencakup kesempatan untuk belajar melalui jalur komunikasi untuk
meningkatkan pengetahuan terhadap kesehatan. Pendidikan tidak
terbatas hanya pada penyampaian informasi kesehatan, tetapi
berupaya meningkatkan motivasi, keterampilan, dan rasa percaya diri
agar dapat mengambil tindakan untuk meningkatkan kesehatan.
Pendidikan kesehatan merupakan upaya pembelajaran yang
bertujuan meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan.
Pendidikan itu mencakup penyampaian informasi kesehatan secara
kognitif, motivasi untuk hidup sehat, peningkatan keterampilan dalam
berperilaku hidup bersih dan sehat, serta peningkatan rasa percaya
diri untuk mendidik masyarakat atau komunitas di sekitarnya.
Pendidikan kesehatan sebaiknya dilakukan secara rutin dan
berkala sehingga harus dikoordinasikan dengan dinas kesehatan
setempat atau organisasi nirlaba lainnya yang bergerak dalam
bidang pencegahan penyakit. Upaya tersebut dilakukan agar
setelah pendidikan kesehatan, tingkat pengetahuan dan perilaku
hidup bersih dan sehat di masyarakat tetap baik sehingga
pengobatan akan menjadi lebih mudah dan mengurangi angka
keparahan penyakit. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memberi
pendidikan kesehatan kepada masyarakat adalah isi pesan atau
materi pendidikan, metode pendidikan, dan media atau alat bantu.90
Materi Pendidikan
Pesan atau materi pendidikan sebaiknya disesuaikan dengan
masalah kesehatan yang sering terjadi dalam masyarakat dengan
tujuan meningkatkan dan memelihara tingkat kesehatan individu dan
komunitas mulai dari pencegahan primer, sekunder, hingga tersier.
90
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan materi pendidikan
adalah sebagai berikut.
Materi yang diberikan berisi perilaku yang mudah dimengerti,
dapat diterapkan oleh peserta dan dilakukan dalam kehidupan seharihari. Peserta pada umumnya mengetahui bahwa mencuci tangan
dapat mengurangi penularan kuman dan menurunkan angka sakit
perut, namun mayoritas belum mengetahui cara mencuci tangan
yang baik dan benar. Dengan pemberian informasi dan peragaan
yang jelas, peserta diharapkan menerapkan perilaku yang sudah
didapat melalui penyuluhan. Materi pendidikan berisi manfaat atau sisi
positif setelah penerapan perilaku tersebut. Dasar teori yang kuat dan
fakta di lapangan dapat ditampilkan pada saat penyuluhan. Tampilan
dapat berupa data penyakit secara umum dan foto manifestasi klinis
sehingga peserta dapat memiliki gambaran bahwa jika masyarakat
terus melakukan perilaku yang buruk, mereka dapat mengalami hal
yang sama.
Materi pendidikan perlu menampilkan alasan bahwa perilaku
tersebut bermanfaat. Hubungan sebab dan akibat memiliki kaitan
erat dalam perjalanan penyakit sehingga manfaat dari perilaku hidup
bersih dan sehat harus ditekankan agar peserta mengerti dan mau
melakukannya. Penyampaian materi disesuaikan dengan peserta
dan kondisi lingkungan. Pemberi materi pendidikan dapat melakukan
survei atau penelitian dalam skala kecil sebelum penyuluhan agar
data demografik peserta dan penyakit yang paling sering di diperoleh
secara lengkap. Materi pendidikan harus disesuaikan dengan data
yang didapat sehingga edukasi dapat diakhiri dengan penatalaksanaan
secara holistik.
Pemberi materi pendidikan harus orang yang ahli dibidangnya
dan dipercaya oleh masyarakat. Keahlian penyuluh kesehatan dalam
berkomunikasi harus mumpuni agar pesan yang diberikan merupakan
informasi paling mutakhir dan dapat diterima masyarakat. Tokoh
masyarakat juga dapat dilibatkan untuk meningkatkan kepatuhan para
peserta.
Penyusunan materi pendidikan perlu memperhatikan bahasa yang
sesuai dengan tingkat pendidikan peserta, isi sederhana dan mudah
dimengerti. Penyampaian materi secara bertahap dan sistematis
dengan mempertimbangkan faktor budaya, sosioekonomi, agama,
adat setempat, dan materi lainnya yang mungkin ditanyakan peserta.
91
Metode Pendidikan
Metode pendidikan dapat dilakukan melalui sistem tanya
jawab perorangan, ceramah, dan diskusi. Tanya jawab perorangan
dilakukan antara pemberi materi dengan peserta secara fleksibel
dari segi waktu dan tempat namun hanya dapat menjangkau sedikit
orang. Metode ceramah dapat menjangkau lebih banyak orang,
namun perlu persiapan tempat dan waktu. Perlu diperhatikan bahwa
penyampaian materi yang terlalu lama dapat mengurangi konsentrasi
peserta. Konseling merupakan kegiatan yang membantu peserta
mengambil keputusan atau tindakan dan umumnya bersifat rahasia.
Media
Media merupakan alat bantu yang dapat dipakai penyuluh untuk
menyampaikan materi edukasi kepada peserta; dapat berbentuk
media cetak seperti poster, selebaran (leaflet), flipchart, atau
berbentuk elektronik seperti slide presentasi. Media perlu dibuat
sedemikian rupa agar menarik dan mudah diingat, serta mengandung
informasi penting. Media diupayakan untuk dapat diakses secara
terus menerus, yakni dapat dibawa pulang atau mudah dilihat di
tempat umum, papan pengumuman sekolah, dan di pintu gerbang.
Hal tersebut dapat membantu target populasi untuk selalu mengingat
dan mulai melakukan perubahan setelah terpapar edukasi.
Konsep Pencegahan Penyakit Infeksi
Pencegahan skabies memiliki konsep yang sama dengan
preventive medicine yang membagi pencegahan penyakit menjadi
tiga tingkat yaitu pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan
tersier. Pembagian tingkat dilakukan dengan menghubungkan
pencegahan penyakit terhadap fase penyakit.
Pada fase prepatogenesis upaya yang dilakukan adalah
pencegahan primer berupa promosi kesehatan dan perlindungan
khusus. Pada fase patogenesis dilakukan pencegahan sekunder
berupa diagnosis dini, penatalaksanaan segera dan pembatasan
cacat serta pencegahan tersier berupa rehabilitasi.91
Pada fase prepatogenesis dilakukan pencegahan primer dengan
cara promosi kesehatan dan perlindungan khusus sedangkan pada
fase patogenesis dilakukan pencegahan sekunder dan pencegahan
92
tersier. Pencegahan sekunder berupa diagnosis dini dan perawatan
segera serta pembatasan cacat. Pencegahan tersier dilakukan
dengan rehabilitasi.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer pada saat fase pre patogenesis skabies
dilakukan dengan menjaga kebersihan badan, kebersihan pakaian, tidak
menggunakan alat pribadi seperti handuk, seprai, pakaian bersamasama dengan orang lain, dan penyuluhan untuk komunitas.
Skabies merupakan penyakit yang dapat dicegah apabila
seseorang mempunyai kesadaran untuk menjaga kebersihan diri
serta lingkungannya. Cara pencegahan skabies adalah dengan mandi
teratur minimal dua kali sehari menggunakan air mengalir dan sabun
serta membersihkan area genital dan mengeringkannya dengan
handuk bersih. Penderita tidak boleh memakai handuk atau pakaian
secara bergantian. Hindarkan kontak yang lama dan erat dengan
penderita skabies misalnya tidur bersama di atas satu kasur. Seluruh
anggota keluarga atau masyarakat yang terinfestasi perlu diobati secara
bersamaan untuk memutuskan rantai penularan skabies.
Semua pakaian, sprei, dan handuk harus dicuci dengan air panas
minimal 2 kali seminggu untuk mematikan tungau. Selanjutnya pakaian
dijemur di bawah terik sinar matahari minimal 30 menit lalu disetrika.
Populasi yang tinggal bersama perlu diberikan edukasi mengenai tanda
dan gejala skabies, pencegahan penularan, dan mendorong peserta
untuk memberikan laporan apabila mengalami keluhan skabies setelah
bepergian ke suatu tempat.
Dalam menjaga kebersihan tubuh hal yang perlu diperhatikan
adalah kebersihan kulit, kebersihan kuku tangan, dan kebersihan kaki.
Kebersihan kulit dapat dijaga dengan mandi teratur dua kali sehari
menggunakan sabun mandi yang lembut dan tidak membuat kulit kering.
Kebersihan kuku tangan dijaga dengan mencuci tangan memakai sabun
dan memotong kuku agar patogen tidak bersarang di kuku. Kebersihan
kaki perlu diperhatikan karena kaki sering tertutup sepatu dan menjadi
media lembab yang baik bagi parasit.
Rendahnya pengetahuan mengenai pentingnya kebersihan alat
kelamin mengakibatkan banyak remaja putra yang terinfestasi
skabies di area tersebut. Jika seseorang menderita skabies di bagian
tubuh lain akan sangat mudah untuk berpindah ke alat kelamin yang
93
tidak terjaga kebersihannya karena alat kelamin adalah daerah yang
lembab dan tertutup. Pada penelitian di pesantren, lesi skabies pada
santri laki-laki paling banyak di skrotum dan penis serta bokong.
Hal tersebut disebabkan santri memiliki kebiasaan memakai
pakaian berlapis-lapis yaitu celana dalam, celana pendek, celana
panjang atau sarung. Oleh karena itu, penting untuk mengajarkan
bagaimana cara membersihkan diri dengan benar dan memperbaiki
perilaku kebersihan.
Skabies menyebabkan gatal dan rasa gatal semakin parah
ketika berkeringat. Oleh sebab itu, jika berkeringat misalnya
setelah melakukan aktivitas, pakaian harus segera diganti.
Lebih baik lagi jika setelah beraktivitas segera mandi dan tidak
membiarkan keringat mengering dengan sendirinya. Integritas kulit
dapat terganggu jika kebersihan kulit tidak terjaga. Sianturi et al92
mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara perilaku hidup
bersih dengan infestasi skabies di sebuah pesantren di Jakarta Timur.
Promosi kesehatan yang merupakan pencegahan primer
dibutuhkan untuk mencegah wabah skabies. Promosi kesehatan
dalam bentuk penyuluhan perlu diberikan kepada masyarakat awam
khususnya subjek berisiko tinggi untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai skabies. Penyuluhan berisi informasi tentang penyebab,
gejala dan tanda, pengobatan, penularan, dan pencegahan skabies.
Media yang dapat digunakan untuk sosialisasi informasi mengenai
skabies dalam upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat dapat
berupa buku saku, pamflet atau flyer tentang skabies. Buku saku
lebih efektif dibandingkan media lain karena kapasitas informasinya
lebih banyak dan bentuknya yang kecil memudahkan pembaca
untuk membaca kapan saja dan dimana saja.
Penyuluhan juga harus disesuaikan dengan karakteristik
sosial budaya dan tingkat pendidikan masyarakat yang akan diberi
penyuluhan sehingga penyuluhan tersebut akan bermanfaat.
Untuk kelompok anak-anak di sekolah berasrama atau pesantren,
penyuluhan sebaiknya diberikan juga kepada orang tua atau wali
dan guru sekolah. Anak-anak masih sulit untuk memproses informasi
dengan terminologi yang sulit. Oleh sebab itu, perlu digunakan
media yang menarik dan mudah dimengerti. Anak-anak yang masih
kecil perlu mendapat perhatian lebih dari pengasuh.
94
Teman sebaya lebih berpengaruh terhadap sikap mengenai
perilaku pencegahan penyakit dibandingkan metode ceramah
terutama jika tutor adalah panutan dalam kelompok tersebut. Teman
sebaya mempunyai pengaruh yang sangat tinggi dalam penentuan
sikap pada kelompok usia remaja dan dewasa muda karena mereka
cenderung mengikuti sikap teman sebaya agar lebih diterima di
komunitas tersebut.
Pencegahan Sekunder
Ketika ada seseorang terinfestasi skabies tindakan yang harus
dilakukan adalah mencegah orang di sekitar penderita tertular
skabies. Bentuk pencegahan sekunder dilakukan dengan mengobati
penderita secara langsung agar tungau tidak menginfestasi orangorang yang berada di sekitarnya. Untuk sementara, hindari kontak
tubuh dalam waktu lama dan erat misalnya melakukan hubungan
seksual, berpelukan, dan tidur satu ranjang dengan penderita.
Orang yang pernah melakukan kontak langsung dengan penderita
atau yang sering berada di sekitar penderita perlu diperiksa.
Pencegahan Tersier
Setelah penderita dinyatakan sembuh dari skabies, perlu
dilakukan pencegahan tersier agar penderita dan orang-orang
disekitarnya tidak terinfestasi skabies untuk kedua kalinya.
Pakaian, handuk, dan sprei yang digunakan lima hari terakhir oleh
penderita harus dicuci dengan air panas agar seluruh tungau mati.
Cara lainnya adalah semua barang tersebut dicuci bersih dengan
deterjen dan dijemur di bawah terik sinar matahari. Barang-barang
yang tidak dapat dicuci tetapi diduga terinfestasi tungau diisolasi
dalam kantong plastik tertutup di tempat yang tidak terjangkau
manusia selama seminggu sampai tungau mati.
95
BAB XVI
Pemberantasan Skabies
Pada tahun 2013, International Alliance for the Control of
Scabies (IACS) mengusulkan tiga langkah pengendalian skabies
secara global. Pertama, meningkatkan kesadaran terhadap skabies
dan melakukan advokasi kepada pihak yang berpotensi mendanai
program pemberantasan skabies. Kedua, meningkatkan penelitian
klinis dan epidemiologi untuk memahami efek penyakit dengan lebih
baik. Ketiga, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi
pengendalian skabies yang efektif.
Skabies adalah penyakit yang sering ditemukan di berbagai
belahan dunia namun termasuk salah satu penyakit yang terabaikan.
Dikatakan terabaikan karena skabies umumnya endemis di daerah
tropis di negara berkembang yang terbatas sumber dananya
dan lebih memprioritaskan penyakit lain yang mortalitas dan
morbiditasnya lebih nyata terlihat. Perkiraan beban global yang
disebabkan skabies masih belum tepat dan diperlukan penelitian
dengan metode terstandar untuk mengetahui beban global yaitu
dampak individu hingga regional meliputi beban kesehatan hingga
ekonomi. WHO membuat program khusus menangani penyakit
terabaikan di daerah tropis atau yang disebut sebagai program
neglected tropical disease. Pada tahun 2014 WHO90 mencantumkan
skabies ke dalam daftar neglected tropical disease.
Di Indonesia belum terdapat panduan terpadu dan terstruktur
untuk manajemen skabies berskala komunitas yang berlaku umum,
walaupun kasus skabies yang menimpa komunitas tertutup, seperti
pesantren atau endemis daerah tertentu sudah sering ditemui.
Dalam mengadaptasi panduan manajemen skabies komunitas,
perlu diperhatikan kesamaan target dan fasilitas yang dapat
mendukung berjalannya terapi dengan baik dan efektif. Salah satu
panduan yang dapat diadaptasi adalah manajemen skabies di
komunitas Aborigin Australia.
Secara umum program manajemen komunitas yang berlaku di
Australia telah berhasil menurunkan prevalensi skabies menggunakan
ivermektin dan krim permetrin namun kesinambungan program sulit
dicapai karena tingginya mobilitas warga dalam komunitas tersebut.
Selain itu, tidak setiap daerah endemis mencapai keberhasilan
96
dengan program yang telah diterapkan. Sebagai contoh, program
kesehatan kulit telah dilaksanakan di komunitas terpencil Aborigin
di daerah Arnhem Timur, Australia utara sejak tahun 2004.93
Pada program tersebut dibagikan krim permetrin per tahun, skrining
rutin skabies, terapi di klinik dan di rumah namun setelah program
berjalan selama lima tahun, prevalensi skabies pada anak-anak di
daerah tersebut tidak turun. Berdasarkan pengalaman itu, diperlukan
studi untuk menilai efektivitas dan efisiensi program manajemen
komunitas dalam memberantas skabies sebelum diberlakukan di
daerah lain.
Vincente et al93 mengevaluasi program kesehatan kulit berbasis
masyarakat di dua komunitas Aborigin yang endemis skabies di
Australia utara. Terdapat 40 rumah tangga yang turut serta dalam
program tersebut dan tiap rumah tangga memiliki minimal satu
anak yang menderita skabies. Program tersebut menerapkan
terapi permetrin untuk semua anggota rumah tangga bila pada saat
kunjungan rumah ditemukan penderita skabies. Selain itu dijelaskan
bagaimana cara pengolesan obat yang benar dan dekontaminasi
lingkungan sekitar. Kunjungan rumah dilakukan pada hari berikutnya
untuk menilai kepatuhan terapi dan pada minggu kedua serta ke-4
pascaterapi untuk menilai insiden skabies pada anggota keluarga
terutama pada yang rentan terinfestasi skabies.
Pada penelitian tersebut, dari 40 anak yang menderita skabies 32
(80%) diobati dengan krim permetrin. Kepatuhan terapi oleh anggota
rumah tangga sangat rendah yaitu hanya 193 dari 440 (44%) anggota
rumah tangga yang melaksanakan terapi. Dari 193 orang tersebut,
hanya 76% yang melakukan terapi secara lengkap dan sesuai anjuran.
Sebanyak 20% dari 40 rumah tangga tidak melakukan pengobatan
sama sekali. Anggota keluarga yang menderita skabies sejak awal
kunjungan rumah bersedia mengikuti terapi namun yang tidak sakit
tidak mematuhi program pengobatan. Hasil studi juga menunjukkan
bahwa laki-laki dan individu yang berasal dari rumah dengan beban
skabies tinggi menolak menjalani terapi. Hal tersebut mungkin karena
masyarakat banyak menderita skabies, penyakit tersebut telah menjadi
bagian hidup dan warga umumnya telah sering mengalami kegagalan
pengobatan. Dari 185 individu rentan skabies, terdapat 17 kasus
baru skabies dalam 4 minggu (9,2%). Peluang untuk tetap bebas
skabies hampir enam kali lebih besar bagi individu yang berasal
dari rumah tangga yang setiap anggotanya menjalankan terapi.
97
Kemauan untuk menjalankan terapi bagi anggota rumah tangga
yang tidak sakit cukup rendah. Faktor-faktor penghambat adalah
kesadaran untuk memprioritaskan terapi masih rendah, tidak
merasa sakit, atau tidak merasa nyaman dengan pemakaian obat.
Efektivitas dan kesinambungan program skabies belum optimal
karena rendahnya jumlah anggota rumah tangga yang menjalani
terapi dan tingginya penularan penyakit sehingga dibutuhkan
program manajemen komunitas endemis skabies yang lebih praktis
dan mudah laksana.
Program Pencegahan dan Pengendalian Skabies
Orang yang tinggal bersama dalam suatu institusi dianjurkan
untuk mengikuti program pencegahan skabies meliputi pemeriksaan
kulit, rambut, dan kuku sejak mulai tinggal bersama di institusi.
Semua kelainan yang ditemukan harus didokumentasi dan
ditindaklanjuti. Menurut Nevada State Health Division,45 ada enam
elemen penting untuk keberhasilan program pencegahan skabies.
Pertama, terdapat peraturan tertulis dan prosedur pencegahan dan
pengendalian skabies yang didapatkan dari institusi tempat tinggal.
Kedua, perlu pegawai yang dilatih untuk mendeteksi skabies
pada warga atau diri sendiri dan untuk melaporkan ke supervisor
mereka. Ketiga, terdapat peraturan untuk mendeteksi dini skabies
pada warga baru pada saat orang tersebut memasuki institusi dan
warga yang dicurigai menderita skabies diisolasi hingga dilakukan
pemeriksaan. Keempat, terdapat peraturan yang mengharuskan
pegawai baru, terutama yang bekerja di lebih dari satu institusi untuk
dilakukan pemeriksaan skabies sebagai bagian dari pemeriksaan
awal pra-pegawai. Kelima, terdapat akses ke ahli dermatologi
untuk mendiagnosis kasus sulit dan tidak biasa atau bagi mereka
yang memiliki respons tidak biasa terhadap pengobatan. Keenam,
terdapat dukungan untuk evaluasi dan pengobatan bagi pegawai,
warga maupun mantan warga pada keadaan khusus seperti wabah.
Manajemen Wabah Skabies di Institusi Pelayanan Kesehatan
Tujuan utama dari suatu investigasi wabah adalah untuk
mengidentifikasi faktor risiko yang berkontribusi tehadap timbulnya
wabah dan mengambil langkah tepat untuk mencegah penularan
skabies lebih jauh. Secara umum, suatu wabah didefinisikan
sebagai peningkatan insiden skabies diatas baseline dalam periode
98
waktu dan lokasi geografis tertentu (contoh: unit rawat inap, satu lantai,
satu departemen, atau seluruh rumah sakit). Tidak ada standar baseline
kasus skabies bagi institusi sehingga definisi wabah akan berbeda-beda
di tiap fasilitas kesehatan. Perlu ditetapkan definisi untuk menentukan
apakah wabah telah terjadi atau untuk mengukur seberapa besar wabah
tersebut. Berikut ini adalah contoh definisi wabah di fasilitas kesehatan
sesuai panduan: (1) Dua atau lebih kasus terkonfirmasi dengan
hasil positif kerokan kulit yang diidentifikasi dari penderita, tenaga
kesehatan, atau pengunjung dalam periode dua minggu, atau (2) satu
kasus terkonfirmasi positif kerokan kulit dan minimal dua kasus suspek
yang diidentifikasi dari penderita, tenaga kesehatan, atau pengunjung
dalam periode dua minggu, atau (3) minimal dua kasus suspek yang
diidentifikasi dari penderita, tenaga kesehatan, atau pengunjung dalam
periode dua minggu. Selain itu, penularan nosokomial juga mungkin
terjadi dan perlu dipertimbangkan bila kasus skabies terkonfirmasi
ditemukan pada dua atau lebih tenaga kesehatan yang bekerja dalam
satu area yang sama di fasilitas kesehatan dalam periode enam minggu
dan tidak memiliki kemungkinan pajanan lain.
Setelah mengidentifikasi kasus dan faktor risiko, langkah selanjutnya
dalam manajemen wabah adalah menentukan definisi kontak. Pada
kasus skabies tipikal (non-krustosa), kontak didefinisikan sebagai orang
yang pernah bersentuhan langsung (kulit-ke-kulit) dengan penderita
skabies; berkontak dengan pakaian, seprai, atau benda lain yang
terinfestasi; atau tidur di tempat yang sama dengan penderita skabies
selama periode pajanan berlangsung.
Pada kasus skabies krustosa atau atipik, definisi kontak juga
termasuk semua individu yang berada di lingkungan atau area yang
sama dengan penderita skabies selama periode pajanan. Sebagai
contoh adalah tenaga kesehatan atau petugas kebersihan yang bekerja
di satu unit rawat inap yang sama dengan penderita skabies krustosa,
walaupun tidak pernah secara langsung berkontak dengan penderita,
namun tetap perlu diperiksa. Bila penderita skabies pernah ditempatkan
di beberapa unit sebelum manajemen pemberantasan dimulai, maka
tiap unit tersebut dianggap terpajan.
Berdasarkan definisi diatas, penting untuk menyamakan persepsi
mengenai periode pajanan di fasilitas kesehatan. Periode pajanan
wabah adalah periode antara tanggal penderita skabies krustosa
mulai dirawat di rumah sakit hingga tanggal kasus terkonfirmasi
99
dan manajemen pemberantasan diterapkan. Jika penderita di rawat
inap jangka panjang atau bila penderita tidak dapat diidentifikasi, maka
periode tersebut diperpanjang hingga enam minggu sebelum muncul
awitan gejala.
Langkah selanjutnya dalam manajemen wabah adalah
perencanaan untuk alat pelindung personal dan suplai obat. Fasilitas
kesehatan dan farmasi perlu menyediakan minimal permetrin 5% atau
ivermektin yang jumlahnya mencukupi untuk semua individu yang
akan menerima terapi baik kuratif maupun profilaksis.
Panduan manajemen pengendalian skabies di rumah sakit
atau pelayanan kesehatan yang diterbitkan departemen kesehatan
pemerintah Australia Selatan mencakup hal-hal spesifik berikut.
Pertama pegawai yang kontak dengan penderita, baju atau spreinya,
harus mengenakan gaun sekali pakai berlengan panjang dan sarung
tangan. Tindakan tersebut dilakukan sejak diagnosis ditegakkan
hingga 24 jam setelah pengobatan selesai. Jika memungkinkan
penderita skabies perlu diisolasi hingga sembuh. Jika penderita harus
dipindahkan ke fasilitas kesehatan lain, maka institusi yang menerima
dan transportasi yang digunakan harus diberitahu mengenai status
infestasi skabies. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah deteksi
penyakit sangat penting agar penyebaran skabies dapat dicegah
dengan mengidentiikasi sumber dan penanganan dini. Selanjutnya,
pegawai dan penghuni fasilitas layanan kesehatan yang dicurigai
mengalai kontak kulit-ke-kulit dengan penderita utama harus diperiksa
untuk mendeteksi skabies. Penderita dan orang yang terbukti kontak
dengannya harus mandi menggunakan air hangat dan sabun kemudian
mengeringkan tubuh sebelum pengobatan. Penderita perlu mengganti
pakaian, handuk, dan sprei segera sebelum dan sesudah pengobatan
serta mengoleskan obat topikal dari leher ke bawah meliputi seluruh
lipatan kulit, sela jari tangan, sela jari kaki, belahan bokong, genitalia
eksterna, pusat, ketiak dan telapak kaki. Hindarkan pengolesan obat
di sekitar mata dan membran mukosa. Jika obat terhapus dari kulit
semasa pengobatan misalnya saat cuci tangan obat perlu dioleskan
lagi di tempat yang terhapus.
Pada kelompok anak dan lansia, jika lesi skabies terdapat di daerah
lebih tinggi dari leher maka obat dapat dioleskan di lokasi tersebut.
Karena tungau dapat melekat di bagian bawah kuku saat penderita
menggaruk kulit yang gatal maka kuku tangan penderita perlu
100
diperhatikan. Kuku harus dipotong cukup pendek agar obat dapat
dioleskan di kulit bawah kuku. Karena lesi skabies sering terinfeksi
oleh bakteri dan menyebabkan komplikasi maka keberadaan infeksi
bakteri sekunder perlu diobati dan dipantau. Pengobatan skabies
harus dilakukan secara serentak sehingga pegawai perlu ditugaskan
untuk memeriksa stok obat secara teratur agar saat kasus skabies
bertambah banyak tidak kehabisan obat.
Pakaian dalam, pakaian, handuk, seprai, dan barang pribadi lain
yang digunakan penderita 4 hari sebelum pengobatan harus dicuci
bersih menggunakan air panas dan atau dikeringkan menggunakan
mesin pengering dengan suhu panas selama 10 menit untuk
membunuh seluruh tungau agar penularan dapat dicegah. Untuk
barang yang tidak dapat dicuci, barang tersebut diletakkan di
dalam kantong plastik selama 4 hari dan diangin-anginkan sebelum
digunakan kembali.
Lantai harus dipel dengan seksama setiap hari menggunakan
detergen. Area toilet bersama dan sofa atau tempat duduk bersama
lainnya harus dibersihkan menggunakan detergen. Perlu diingat
bahwa kontak adalah mereka yang memilik hubungan kulit-kekulit yang lama dengan penderita dan lingkungannya dalam masa
inkubasi maksimum. Penderita lain, keluarga, teman, relawan,
pelayan kesehatan, pegawai kebersihan dapat menjadi kontak.
Pengurus laundry dan petugas kebersihan harus dianggap sebagai
kontak. Penanggulangan kontak dilakukan secara serentak dan
sangat penting untuk mencari kasus skabies diantara kontak. Untuk
menjelaskan situasi kepada staf dan orang yang berisiko terinfestasi
skabies perlu dilakukan rapat staf.
Langkah-Langkah Penting yang Harus Segera Dilakukan untuk
Mengatasi Wabah di Institusi Kesehatan
Langkah pertama adalah segera menjauhkan tenaga kesehatan
yang memiliki tanda dan gejala skabies dari unit tempat bekerja,
kemudian rujuk ke dokter yang berpengalaman dalam mendiagnosis
skabies. Selanjutnya adalah mengevaluasi penderita dari unit yang
terpajan tersebut dan menempatkan penderita suspek skabies
dalam isolasi.
Pihak fasilitas kesehatan perlu melakukan pertemuan untuk
koordinasi. Pihak yang dilibatkan termasuk departemen administrasi,
101
ketenagakerjaan, pelayanan lingkungan, kontrol infeksi, farmasi,
dan perwakilan staf medis. Langkah selanjutnya adalah mencari
penderita skabies. Bila dua atau lebih pegawai yang bekerja dalam
satu unit/area terdiagnosis skabies, maka besar kemungkinan
sumber infeksi skabies adalah penderita skabies krustosa.
Kasus suspek skabies perlu dikonfirmasi dengan kerokan
kulit. Perlu disiapkan daftar penderita dan tenaga kesehatan yang
bergejala beserta daftar kontaknya untuk dievaluasi. Seluruh
penderita dan tenaga kesehatan yang terkonfirmasi skabies diberi
pengobatan hingga tuntas.
Fasilitas kesehatan juga bertanggung jawab dalam
menyediakan profilaksis pada seluruh kontak yang terdaftar dan
melakukan dekontaminasi menyeluruh pada unit yang terpajan.
Idealnya langkah tersebut (terapi, profilaksis, dan dekontaminasi
lingkungan), dilakukan dalam waktu 24 jam sejak dimulai tindakan
pemberantasanuntuk mencegah reinfestasi. Seluruh staf fasilitas
kesehatan perlu dilatih untuk mengenali tanda dan gejala skabies
dan juga ditekankan bahwa manusia dapat terinfestasi dan
menularkan skabies hingga enam minggu sebelum gejala muncul.
Langkah terakhir adalah tindak lanjut terapi. Bagi penderitayang
mendapatkan terapi kuratif, tidak dapat dipulangkan kecuali benarbenar telah sembuh agar rantai penularan terputus. Bagi kontak
yang mendapat terapi profilaksis, dapat diatur waktu yang tepat
untuk dilakukan evaluasi, baik di fasilitas kesehatan maupun
kunjungan rumah. Manajemen pemberantasan skabies tersebut
merupakan tanggung jawab penuh dari fasilitas kesehatan tempat
wabah terjadi.
Faktor - Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemberantasan
Skabies
Agar pengobatan dan pemberantasan skabies berhasil dan
rantai penularan dapat diputus, terdapat berbagai hal yang perlu
diperhatikan. Faktor-faktor tersebut adalah partisipasi masyarakat
secara umum dalam penanggulangan skabies yaitu pengobatan,
pencegahan, dan kontrol kekambuhan terutama pada komunitas
yang memiliki risiko tinggi tertular skabies atau pernah terdapat
penderita skabies dalam komunitas tersebut.
102
Partisipasi masyarakat adalah kesadaran warga untuk
senantiasa melakukan hal-hal yang dapat mencegah penularan
atau kekambuhan skabies. Faktor lainnya adalah motivasi kuat
untuk menjalani program pengobatan skabies hingga selesai dan
mematuhi cara penggunaan obat dan dosis. Edukasi yang tepat
mengenai pengobatan skabies dari dokter, tenaga kesehatan lain
atau kader juga perlu digalakkan. Diperlukan tindak lanjut terapi dan
skrining ulang secara rutin terutama bagi masyarakat berisiko tinggi
penularan skabies.
Menentukan tindakan
yang tepat dan
diagnosis banding
tidak
Apakah penderita
mempunyai gejala
skabies yang
menetap
Pertimbangkan
tidak skabies atipik
Apakah kerokan kulit positif
skabies ?
Ya
Hentikan isolasi
dan lakukan
pencegahan
setelah
pengobatan
lengkap
Apakah gejala
menurun dalam
dua minggu
pengobatan awal?
tidak
ya
- Melaporkan wabah ke
departemen kesehatan
setempat
- Lakukan tindakan
pencegahan pada semua
suspek skabies
- Lakukan kerokan kulit pada
4-6 bagian kulit per kasus
untuk pemeriksaan
laboratorium
Pengobatan ulang dan
pembersihan
lingkungan
Pemantauan
terhadap kasus
tambahan untuk
menghentikan
transmisi
Pertimbangkan
gagal pegobatan,
investasi ulang
atau diagnosis
banding
- Segera obati penderita dan kontak
terdekat dalam waktu 24 jam
- Ganti dan cuci pakaian setelah dan
sebelum pemberian skabisida
- Masukan peralatan yang tidak bisa
dicucike
dicuci
ke tas plastik dan letakan di
pengering panas selama 20 menit atau
diletakkan di suhu ruang selama 7 hari
- Lakukan investigasi terhadap orang
memiliki kontak dengan penderita dan
mencari kasus tambahan
Gambar 16. Alur Investigasi Skabies45
103
BAB XVII
Pemberantasan Skabies di Pesantren
Pesantren merupakan sekolah berasrama dengan fokus
pada pendidikan agama Islam. Murid yang sekolah di pesantren
disebut santri. Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi
beragama Islam terbanyak di dunia dan memiliki 16.000 pesantren
yang tersebar di berbagai pulau. Sebagian besar pesantren berada
di daerah rural.
Pesantren pada mulanya berasal dari sekolah pendidikan agama
Islam pada pertengahan abad ke-18 seperti didokumentasikan oleh
Van der Chijs pada tahun 1864. Pendidikan umumnya dilakukan di
masjid, balai kerajaan, atau rumah pemuka agama. Santri biasanya
berjumlah 50 orang dalam satu ruangan besar yang diajar oleh
seorang kyai. Pada awalnya santri diwajibkan tinggal di sekitar
rumah kyai atau pengajar dalam sebuah pondok kecil yang berisi
2-3 orang agar pengajaran agama lebih intensif dan santri dapat
meneladani perilaku kyai.94
Pada perkembangannya, banyak kyai mendirikan pondok
yang lebih besar dan jumlah santri pun semakin banyak. Pondok
pesantren terbesar di Indonesia saat ini adalah pondok pesantren
Lirboyo di Kediri, Jawa Timur yang memiliki 10.000 santri. Usia
santri termuda adalah 4-5 tahun, tetapi siapa pun boleh menjadi
santri tanpa batasan usia.94
Dalam kehidupan di pesantren santri sering tidur bersama-sama
dalam satu ruangan serta saling meminjam dan menggunakan
pakaian serta handuk milik teman sebagai sikap tenggang rasa dan
kebersamaan. Di sisi lain, kebersamaan dan kedekatan tersebut
menyebabkan penularan skabies. Mitos di kalangan pesantren
terutama pesantren besar adalah skabies merupakan “stempel
resmi” yang menunjukkan bahwa santri telah siap untuk menempuh
tingkatan yang lebih tinggi dalam pembelajaran holistik di pesantren.
Banyak kyai menyatakan “kalau kamu sudah mengalami gatalgatal di pesantren, tandanya kamu sudah betah dan ilmu akan lebih
mudah masuk”. Penyakit kudis yang diderita santri adalah tanda
awal turunnya berkah.94
104
Secara sosiologis dan psikologis jika santri telah mengalami
skabies berarti telah memiliki hubungan sosial yang lebih dekat
dengan santri lain, yang mungkin juga seorang penderita. Keakraban
antar pribadi atau kelompok santri, menandakan kenyamanan
dalam pergaulan yang mendukung proses pembelajaran. Secara
psikologis, santri baru yang menderita skabies akan dilatih untuk
bersabar menghadapi penyakitnya, bersikap lebih dewasa untuk
mengatasi masalahnya sendiri dan proses instropeksi mengenai
kebersihan pribadi.94
Dalam kitab tasawuf, berkah diartikan sebagai bertambahnya
kebaikan dalam segala hal. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Yang disebut kaya bukanlah kaya harta, kekayaan
sebenarnya adalah kekayaan hati”.
Sikap tersebut sangat diutamakan di pesantren, sehingga
apapun yang terjadi, berkah adalah nomor satu.
Berkah dapat dipersepsikan sebagai banyaknya manfaat suatu
hal yang kian bertambah setiap hari disertai perasaan merasa cukup
dengan keadaan. Kehidupan yang sederhana menjadikan santri
untuk selalu yakin bahwa apapun yang didapatkan di pesantren
adalah sebuah proses yang baik dalam pembelajaran, termasuk
menderita skabies.94
Apakah benar santri harus mengalami skabies? Apakah
menderita skabies merupakan proses menuju keberkahan ilmu?
Mengingat saat ini kondisi pesantren sudah jauh lebih baik
dibandingkan dahulu seharusnya skabies tidak boleh lagi menjadi
stempel santri dan pesantren harus bebas dari skabies.94
Rasulullah Nabi Muhammad SAW melalui berbagai haditsnya
mengajarkan umat Islam agar menjadi pelopor dalam menjaga
kebersihan baik kebersihan badan, pakaian, maupun lingkungan.
Berikut adalah hadits tentang kebersihan.
1. Sesungguhnya Allah SWT itu suci dan menyukai hal-hal
yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan,
Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah
yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempattempatmu (HR Tirmizi).
105
2. Sesungguhnya Allah baik dan menyukai kebaikan,
bersih dan menyukai kebersihan, murah hati dan senang
kepada kemurahan hati, dermawan dan senang kepada
kedermawanan. Karena itu bersihkan halaman rumahmu dan
jangan meniru orang Yahudi (Orang Yahudi biasa menumpuk
sampah di halaman rumah) (HR. Tirmidzi).
3. Siapa yang mengenakan pakaian hendaklah yang bersih.
(HR.Ath-Thahawi).
4. Wahai Abu Hurairah, potonglah kuku-kukumu (HR Ahmad).
5. Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat
akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun
hingga malaikat berdoa “Ya Allah, ampunilah hambamu karena
tidur dalam keadaan suci” (HR.Ibn Hibban).
Kebersihan merupakan sebagian dari iman; maksudnya adalah
keimanan seseorang akan menjadi lengkap jika dapat menjaga
kebersihan. Dengan kata lain, orang yang tidak dapat menjaga
kebersihan berarti keimanannya masih belum sempurna. Hadis
tersebut menekankan bahwa kebersihan bagi umat Islam sangat
penting untuk diterapkan, salah satunya dalam bentuk berwudhu.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 6 yang
menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, bila kamu hendak
mengerjakan shalat maka basuhlah wajahmu dan
lenganmu sampai ke siku, usaplah kepalamu dan
basuh kakimu sampai kedua mata kaki.”
Wudhu merupakan tindakan bersuci sebelum melakukan
kegiatan keagamaan. Tata cara berwudhu dimulai dari membasuh
kedua telapak tangan dengan air sambil menggosok sela-sela jari
tangan kemudian berkumur, membasuh wajah, membasuh kedua
tangan sampai siku, membasuh kepala dan terakhir membasuh kaki.
Orang muslim wajib sholat lima kali dalam sehari dan sebelum
sholat perlu berwudhu terlebih dahulu; dalam sehari orang berwudhu
sebanyak 5 kali. Tungau skabies hidup di dalam stratum korneum,
namun tungau dapat keluar dari terowongan dan berjalan di
permukaan kulit. Jika orang mandi dua kali sehari dan wudhu lima kali
sehari yang dilakukan dengan benar, maka tungau di permukaan
106
tubuh akan terhapus. Dengan demikian, jika santri mandi dan berwudhu
dengan baik, maka dapat mengurangi risiko terinfestasi skabies.
Gejala khas skabies adalah gatal hebat terutama pada malam
hari. Jika gatal terjadi pada saat tidur, penderita akan menggaruk tanpa
disadari dan memindahkan tungau dari satu tempat ke tempat lainnya.
Oleh karena itu, pada saat bangun tidur kita perlu mencuci tangan
dengan sabun.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan HR Bukhari dikatakan bahwa:
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya
maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia
memasukkan tangannya ke air wudhu karena ia tidak
tahu di mana tangannya bermalam”
Berdasarkan Al Quran dan hadits jelaslah bahwa Islam mengajarkan
kebersihan dan jika kita menjaga kebersihan maka dapat terhindar
dari penyakit. Dengan demikian, santri dan pengelola pesantren perlu
diingatkan pentingnya menjaga kebersihan sesuai ajaran Islam. Untuk
mengendalikan skabies di pesantren hal-hal yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut.
Pemeriksaan Kesehatan
Pemeriksaan kesehatan rutin perlu menjadi bagian dalam kegiatan
pesantren untuk mendeteksi skabies dan penyakit lainnya, baik menular
maupun tidak menular. Pengelola pesantren perlu menjalin kerja sama
dengan puskesmas atau dinas kesehatan setempat untuk mengatur
jadwal pemeriksaan dan penyuluhan kesehatan.
Pemeriksaan kesehatan sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya
setelah santri kembali ke asrama dari rumah mereka masing-masing
setelah libur panjang, penerimaan murid baru atau sebelum santri pulang
ke rumah untuk berlibur. Pemeriksaan kulit perlu dilakukan dengan teliti.
Santri harus membuka pakaiannya dan mengizinkan pemeriksaan
kulit termasuk genital. Kadang-kadang, santri menolak untuk diperiksa
apalagi pemeriksaan bokong dan genital. Pada keadaan tersebut, kyai
perlu menjelaskan kepada santri pentingnya pemeriksaan kesehatan
termasuk pemeriksaan kulit.
Kyai dan keluarganya merupakan suri teladan bagi santri dan
memiliki peran penting dalam membentuk pengetahuan, sikap, dan
perilaku santri dalam kehidupannya. Santri umumnya loyal kepada kyai
107
dan meminta nasehat, berkah, atau petunjuk kepada kyai. Oleh
karena itu, sebagai figur autoritatif di pesantren, kyai perlu dilibatkan
dalam upaya pencegahan dan pengendalian skabies di pesantren
Pengobatan
Pengobatan santri yang menderita skabies harus dilakukan
secara serentak sehingga perlu mempertimbangkan waktu yang
tepat agar dapat mencakup semua santri. Pengobatan skabisida
memerlukan waktu 8-12 jam tergantung jenis obat yang digunakan.
Karena memerlukan waktu yang cukup lama maka pengobatan
sebaiknya dilakukan pada waktu malam agar tidak mengganggu
aktivitas atau terhapus air saat mencuci tangan atau wudhu.
Lingkungan harus dibersihkan serentak untuk mencegah
infestasi skabies ulang. Tempat tidur, lemari, dan perabot lainnya
baik di dalam pesantren maupun di luar perlu dibersihkan secara
rutin. Selain dibersihkan, perabot yang dapat diangkat sebaiknya
dijemur di bawah terik matahari. Ventilasi yang baik di setiap ruangan
dibutuhkan agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan lancar.
Edukasi
Edukasi mengenai informasi skabies, mulai dari definisi, gejala,
pengobatan dan pencegahan skabies perlu diberikan kepada
semua santri dan pengelola pesantren. Kyai atau pemimpin
pesantren perlu diberdayakan untuk menjadi contoh teladan dan
mengingatkan santri serta penghuni pesantren untuk mewaspadai
skabies dan mencegah penyakit. Metode edukasi yang menarik
dibutuhkan agar para santri semakin menyimak dan akses media
harus mudah dilihat agar apabila lupa, para santri dapat mengingat
kembali dengan melihat media tersebut.
Manajemen Wabah Skabies di Pesantren
Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata
melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu
serta dapat menimbulkan malapetaka. Dalam menghadapi wabah
skabies, diperlukan investigasi wabah yang bertujuan untuk
mengidentifikasi bagaimana wabah dapat terjadi dan mengambil
tindakan untuk mengatasinya serta mencegah penularan lebih
108
lanjut. Definisi spesifik mengenai skabies harus dikembangkan untuk
menentukan apakah wabah telah terjadi dan untuk memperkirakan
besar wabah.
Tim wabah skabies terdiri atas pemimpin pesantren, kyai,
administrasi, kebersihan, dan karyawan kesehatan bila ada. Tim
harus bertanggungjawab dan menentukan langkah yang tepat
untuk mengatasinya. Anggota tim sebaiknya berkomunikasi dengan
dinas kesehatan setempat untuk memberikan informasi wabah
dan merencanakan pelaksanaannya. Tim wabah skabies harus
dibentuk dan fungsi tugas harus diketahui oleh masing-masing
anggota sehingga penanggulangan menjadi efisien. Hubungan dan
kerja sama dengan pihak klinik, puskesmas, dan dinas kesehatan
setempat harus tetap dijalin agar pada saat mendesak seluruh
pihak dapat bekerja tanpa hambatan.
Menegakkan Diagnosis
Manifestasi klinis dan riwayat pajanan sebaiknya dijadikan
pertimbangan ketika mendiagnosis skabies. Tes kerokan kulit
negatif dapat terjadi pada wabah skabies karena jumlah tungau
yang sedikit. Diagnosis banding perlu dipertimbangkan apabila tes
kerokan kulit negatif pada beberapa penderita dan respons terhadap
pengobatan kurang baik setelah dua minggu terapi.
Setiap santri yang menunjukkan ruam, gatal, atau lesi kulit sebaiknya
dibatasi pekerjaannya sampai diagnosis skabies disingkirkan atau
sampai pengobatan skabies selesai. Seseorang yang diobati dapat
kembali bekerja setelah pengobatan selesai. Bagian fasilitas sebaiknya
mempertimbangkan kebijakan dan prosedur untuk menangani karyawan
yang menderita skabies.
Langkah pertama dari pengawasan rutin adalah menentukan
anggota staf yang terdiri atas pengendalian infeksi profesional atau
pengawas keperawatan, anggota yang menerima laporan mengenai
kasus skabies tambahan dan koordinator wabah. Selanjutnya perlu
staf khusus untuk menginformasikan kepada orang yang telah
ditunjuk apabila ada penderita yang menunjukkan gejala dan tanda
infestasi skabies.
Alat pengumpulan data sangat membantu untuk mengenali
distribusi kasus skabies di dalam suatu instansi. Selain itu, alat
109
pengumpulan data juga berfungsi untuk memantau kasus skabies.
Manajemen kasus harus dikembangkan dan digunakan untuk
memantau gejala klinis. Informasi yang harus dikumpulkan adalah
nama, lokasi instansi, tanggal pajanan, sumber yang pernah kontak
dengan penderita skabies, tanggal onset gejala, tanggal dan hasil
tes kerokan kulit bila dilakukan, tanggal pengobatan pertama, tanggal
gejala menghilang, tanggal pengobatan kedua bila diperlukan,
tanggal gejala menghilang setelah pengobatan kedua, jenis infestasi
skabies, metode pengobatan, serta informasi lain yang berhubungan
misalnya faktor risiko yang menyebabkan skabies atipik. Setiap
santri, kyai, atau karyawan pesantren diminta untuk memberitahukan
bila kontak dengan kasus skabies dalam sebulan terakhir.
Tatalaksana Wabah Skabies di pesantren
Berikut adalah ringkasan tatalaksana wabah skabies di pesantren
yang diadaptasi dari Nevada State Health Division.45 Pertama,
segera mengistirahatkan santri yang mempunyai tanda dan gejala
skabies lalu segera dirujuk ke dokter. Kedua, mengevaluasi santri
yang berada di area infestasi skabies. Ketiga, mengobati santri
yang menunjukkan gejala skabies dengan skabisida.
Berikan skabisida profilaksis kepada semua orang yang
mengalami kontak dengan penderita dan lakukan pembersihan
lingkungan di area yang terinfestasi skabies. Langkah-langkah
tersebut adalah pengobatan, pencegahan, dan pembersihan
lingkungan yang sebaiknya dilakukan dalam waktu 24 jam untuk
mencegah infestasi ulang pada penderita yang telah diobati atau
untuk mencegah penyebaran terhadap orang lain. Keempat,
melakukan penyuluhan kepada semua santri dan karyawan
mengenai tanda dan gejala skabies. Kelima, melakukan evaluasi
terhadap santri yang terinfestasi skabies serta evaluasi orang yang
kontak dengan penderita skabies.
Evaluasi Pengendalian Skabies
Santri dan penghuni pesantren lainnya yang terinfestasi skabies
sebaiknya dievaluasi setiap minggu minimal empat minggu untuk
mengetahui apakah pengobatan berhasil atau gagal. Pengobatan
tambahan perlu dipertimbangkan pada gejala skabies yang tidak
mengalami perbaikan klinis selama evaluasi. Orang lain yang
kontak dengan penderita skabies dan tidak diobati harus diperiksa
110
ulang setiap harinya selama empat minggu untuk menentukan
apakah mereka mempunyai gejala yang mengarah pada infestasi
skabies. Pengobatan harus segera diberikan apabila gejala muncul.
Gatal dan ruam biasanya mulai menghilang pada hari ke-7 sampai
hari ke-14 pengobatan. Gagal pengobatan dan/atau infestasi ulang
skabies harus dipikirkan apabila gejala dan tanda skabies menetap
atau memburuk setelah periode tersebut. Penyebab kegagalan
pengobatan adalah obat yang tidak memadai termasuk kegagalan
memberikan pengobatan ulang pada periode pengobatan, gagal
mematuhi aturan pemakaian skabisida, penggunaan steroid
topikal selama periode pengobatan, dan gagal dalam memberikan
pengobatan ke seluruh tubuh.
Penyebab kegagalan lainnya adalah terpajan terus-menerus
terhadap orang yang terinfestasi skabies karena kasus skabies tidak
teridentifikasi atau terpajan terus-menerus barang pribadi penderita
skabies, seperti tempat tidur, pakaian, handuk dan peralatan
pribadi lainnya. Kegagalan pengobatan juga dapat disebabkan
oleh resistensi tungau terhadap skabisida, penekanan respons
imun pada penderita immunocompromised serta kegagalan dalam
mengidentifikasi, melaporkan penderita yang terinfestasi skabies
dan memantau kontak langsung dengan kasus.
111
Penutup
Sampai saat ini prevalensi skabies masih tetap tinggi dan diagnosis
pasti dengan menemukan tungau masih tetap sulit. Oleh karena itu,
kewaspadaan terhadap skabies perlu ditingkatkan. Faktor yang berperan
pada tingginya prevalensi skabies adalah kemiskinan, kepadatan
penghuni rumah, tingkat pendidikan rendah, keterbatasan air bersih, dan
perilaku kebersihan buruk. Berdasarkan faktor risiko tersebut prevalensi
skabies yang tinggi umumnya terdapat di asrama, panti asuhan, pondok
pesantren, penjara, dan pengungsian.
Skabies dapat ditularkan secara langsung atau tidak langsung
namun cara penularan skabies yang paling sering adalah melalui
kontak langsung kulit-ke-kulit yang cukup lama misalnya pada saat tidur
bersama.
Gejala klinis yang khas adalah keluhan gatal hebat pada malam hari
atau saat udara panas dan penderita berkeringat. Selain itu terdapat
erupsi kulit yang khas berupa terowongan, papul, vesikel, dan pustul
di tempat predileksi yaitu di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan,
penis, areola mammae, periumbilikalis, di bawah payudara, pinggang,
bokong bagian bawah, paha serta lipatan aksila anterior dan posterior.
Diagnosis pasti skabies ditetapkan dengan menemukan tungau
atau telurnya pada pemeriksaan laboratorium namun dengan cara
pemeriksaan tersebut tungau sulit ditemukan karena tungau yang
menginfestasi penderita hanya sedikit. Pemeriksaan laboratorium dapat
dilakukan dengan kerokan kulit, mengambil tungau dengan jarum, usap
kulit, burrow ink test, pemeriksaan histopatologik dan dermoskopi.
Prinsip pengobatan skabies adalah menggunakan skabisida topikal
diikuti dengan perilaku hidup bersih dan sehat baik pada penderita
maupun lingkungannya. Pengolesan obat topikal umumnya selama
8-12 jam. Obat yang dapat digunakan untuk mengobati skabies adalah
sulfur presipitatum, gama benzen heksaklorida, dan permetrin. Apabila
terdapat infeksi sekunder oleh bakteri, perlu diberikan antibiotik topikal
atau oral sesuai indikasi. Pengobatan skabies perlu diikuti dengan
dekontaminasi lingkungan untuk membunuh tungau yang berada
di luar tubuh hospes. Pakaian, seprai, sarung bantal dan sarung
guling, mukena, kerudung, dan sarung harus dicuci dengan air
panas. Karpet, kasur, batal, guling, sofa, furnitur dan barang-barang
112
berbulu lainnya perlu dijemur di bawah terik sinar matahari minimal
dua kali seminggu.
Pemberantasan skabies di asrama, panti asuhan, pondok
pesantren dan tempat lain dengan kepadatan penghuni yang tinggi
tidak dapat dilakukan secara individual melainkan harus serentak
dan menyeluruh. Semua penderita skabies harus diobati dan
lingkungan harus dibersihkan.
Pencegahan skabies memiliki konsep yang sama dengan
preventive medicine yang membagi pencegahan penyakit
menjadi tiga tingkat yaitu pencegahan primer, sekunder, dan
pencegahan tersier. Pembagian tingkat pencegahan dilakukan
dengan menghubungkan pencegahan penyakit terhadap fase
penyakit. Pada fase prepatogenesis upaya yang dilakukan adalah
pencegahan primer berupa promosi kesehatan dan perlindungan
khusus. Pada fase patogenesis dilakukan pencegahan sekunder
berupa diagnosis dini, penatalaksanaan segera dan pembatasan
cacat serta pencegahan tersier berupa rehabilitasi.
113
Lampiran 1.
Formulir Pemeriksaan Skabies
Tanggal : ………………………………………………………………
Nama santri: ………………………………………………………….
Umur : ………………………………………………………………
Pendidikan:
Lokasi lesi :
1.
Skalp
2.
Dahi
3.
Nasolabial
4.
Pipi
5.
Pre/postaurikuler
6.
Leher
7.
Tengkuk
8.
Dada
9.
Punggung
10. Ketiak
11. Lengan atas
12. Lengan bawah
13. Peri-umbilikal
14. Perut
15. Pubis
16. Lipat paha
17. Bokong
18. Tungkai atas
19. Tungkai bawah
20. Sela jari
21. Tidak ada lesi kulit
Luas lesi skabies: A. Terbatas
B. Luas
Status dermatologikus:
1.
Papul
2.
Makula
3.
Plak
4.
Eritematosa
5.
Hipopigmentasi
6.
Hiperpigmentasi
7.
Vesikel/bula
8.
Pustul/bula purulen
9.
Skuama
10.
Krusta kuning/hitam
11.
Erosi
12.
Ekskoriasi
13.
Ulkus
14.
Nodus
15.
Tidak ada lesi kulit
16.
Lain-lain:…………………………………
114
Kuesioner Tingkat Pengetahuan Murid Mengenai Skabies
Petunjuk Pengisian Kuesioner:
1. Isi bagian Identitas dan Karakteristik Responden dengan lengkap
2. Baca terlebih dahulu soal dengan saksama dan pilih jawaban yang sesuai
3. Lingkari jawaban yang benar menurut Anda (jangan mencontek)
4. Waktu yang diberikan adalah 20 menit untuk 20 soal
5. Setelah selesai periksa kembali semua jawaban, perhatikan apakah semua identitas dan soal
sudah dijawab dengan lengkap
Identitas dan Karakteristik Responden :
1. Nama
:
2. Tanggal Lahir/umur :
3. Jenis Kelamin
:
4. Tingkat Pendidikan : ( ) tsanawiyah/SMP kelas
( ) aliyah/SMA kelas
5. Apakah anda sudah mendapat informasi mengenai kudisan sebelum tinggal di pesantren?
A. Ya
B. Tidak
6. Sumber informasi tentang kudisan sebelum tinggal di pesantren diperoleh dari:
A. guru
B. dokter
C. teman
D. orang tua
E. internet
F. radio
G. TV
H. koran
I. majalah
Survei Pengetahuan Mengenai Skabies: jawaban boleh lebih dari satu
Penyebab
1. Istilah kedokteran untuk penyakit kudisan adalah...
A. skabies
B. radang kulit
C. eksim
D. Tidak tahu
2. Kudisan disebabkan oleh...
A. Kutu
B. Alergi
C. Bakteri
D. Lainnya: ......
E. Tidak tahu
3. Organisme penyebab kudisan hidup di...
A. Kulit kepala
B. Sela jari tangan
C. Pergelangan tangan
D. Lainnya.....
E. Tidak tahu
115
4. Di luar badan manusia, organisme penyebab kudisan juga dapat hidup di....
A. Seprai
B. Sarung bantal
C. Kasur
D. Lainnya....
E. Tidak tahu
5. Organisme penyebab kudisan berkembang biak dengan...
A. Bertelur
B. Membelah diri
C. Mengeluarkan larva
D. Tidak tahu
Gejala Klinis: jawaban boleh lebih dari satu
1. Pada orang yang kudisan, kulitnya mengalami....
A. Gatal
B. Bintik-bintik merah
C. Bernanah
D. Lainnya....
E. Tidak tahu
2. Rasa gatal pada kudisan biasanya timbul pada waktu....
A. Malam hari
B. Siang hari
C. Berkeringat
D. Lainnya.....
E. Tidak tahu
3. Gejala kudisan adalah koreng di daerah.....
A. Sela jari tangan
B. Wajah/muka
C. Kelamin
D. Perut
E. Pantat
F. Dada
G. Lainnya....
H. Tidak tahu
4. Selain gangguan di kulit, penderita kudisan dapat mengalami...
A. Demam
B. Mual
C. Pusing
D. Lainnya...
E. Tidak tahu
5. Kudisan banyak ditemukan pada orang yang tinggal di...
A. Asrama
B. Kampung
C. Rumah pribadi
D. Lainnya.....
E. Tidak tahu
116
Pengobatan: jawaban boleh lebih dari satu
1. Penderita kudisan harus diobati karena...
A. Akan menular ke orang lain
B. Gejalanya akan bertambah parah
C. Gejalanya sangat mengganggu
D. Lainnya....
E. Tidak tahu
2. Kudisan dapat diobati dengan.....
A. Salep kudis
B. Jamu
C. Antibiotik
D. Lainnya....
E. Tidak tahu
3. Cara menggunakan obat kudisan adalah...
A. Dioleskan, lalu didiamkan selama 12 jam
B. Dioleskan tiga kali sehari
C. Dioleskan dua kali sehari
D. Tidak tahu
4. Setelah pengobatan pertama, penggunakan salep kudis perlu diulang lagi setelah:
A. Satu minggu
B. Dua minggu
C. Satu bulan
D. Lainnya..
E. Tidak tahu
5. Di asrama/pesantren, pengobatan kudisan harus dilakukan:
A. Semua santri harus diobati pada waktu bersamaan
B. Santri mengobati sendiri-sendiri
C. tidak tahu
Penularan: jawaban boleh lebih dari satu
1. Orang yang mudah terkena kudisan adalah yang tinggal di:
A. perumahan
B. asrama
C. pengungsian
D. lainnya....
E. tidak tahu
2. Kudisan dapat menular dengan cara:
A. Melalui air
B. Tidur bersama penderita
C. Tinggal satu rumah dengan penderita
D. Lainnya...
E. Tidak tahu
3. Barang-barang pribadi yang dapat menjadi perantara penularan kudisan:
A. Handuk
B. Pakaian
C. Perlengkapan tidur
D. Lainnya....
E. Tidak tahu
117
4. Agar tidak menulari temannya, maka penderita kudisan harus:
A. Dipulangkan ke rumah
B. Dirawat di rumah sakit
C. Diobati dengan salep kudis
D. lainnya
E. Tidak tahu
5.
Kudisan paling mudah ditularkan melalui (satu jawaban yang benar):
A. Makanan
B. Udara
C. Bersentuhan langsung waktu tidur
D. Lainnya...
E. Tidak tahu
Pencegahan: jawaban boleh lebih dari satu
1. Kudisan dapat dicegah dengan cara:
A. Mandi dengan sabun 2 x sehari
B. Tidak menggunakan pakaian teman
C. Menjemur kasur seminggu sekali
D. Lainnya...
E. Tidak tahu
2. Tindakan yang harus dilakukan agar kudisan tidak menular adalah:
A. Mencuci pakaian dengan sabun
B. Menyetrika pakaian
C. Mencuci spreii dan sarung bantal
D. Lainnya...
E. Tidak tahu
3. Untuk mencegah wabah kudisan tindakan yang dilakukan adalah:
A. Menjaga kebersihan pribadi
B. Memberikan penyuluhan tentang kudisan
C. Mengobati orang yang mengidap kudisan
D. Lainnya..
E. Tidak tahu
4. Bila ada orang di sekitar kita yang terkena kudisan, sikap kita adalah:
A. Mengucilkan penderita kudisan
B. Hindari bersentuhan/kontak lama dan erat
C. Bantu untuk mendapatkan pengobatan
D. Lainnya
E. Tidak tahu
5. Untuk mencegah penyakit kudis, ruangan di dalam rumah harus:
A. Berventilasi baik agar udara masuk
B. Mendapat cahaya matahari
C. Mendapat penerangan lampu
D. Lainnya
E. Tidak tahu
118
Daftar Pustaka
1. Hengge UR, Currie BJ, Jäger G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: a ubiquitous
neglected skin disease. Lancet Infect Dis. 2006;6:769-79.
2. Azizah IN, Setiyowati W. Hubungan tingkat pengetahuan ibu pemulung
tentang personal hygiene dengan kejadian skabies pada balita di
tempat pembuangan akhir Kota Semarang. Dinamika Kebidanan.
2011;1(1).
3. Zayyid MM, Saadah RS, Adil AR, Rohela M, Jamaiah I. Prevalence
of scabies and head lice among children in a welfare home in Pulau
Pinang, Malaysia. Tropical Biomedicine. 2010;27(3):442-6.
4. Taufik S. Promosi kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan,
sikap dan perilaku pengungsitentang, pencegahan penyakit skabies,
studi di hunian sementara pengungsi Kecamatan Blang Mangat
Kota Lhokseumawe Nanggroe Aceh Darussalam [tesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada; 2006.
5. Salhani J. Scabies outbreak in refugee camps [Internet]. 2015 [cited
2 November 2015]. Diunduh dari: https://now.mmedia.me/lb/en/
reportsfeatures/scabies-outbreak-in-refugee-camps.
6. Nazari M, Moradi A, Anvari Peyman M. Epidemiological survey of
scabies in the central prison of Hamadan. Pajouhan Scientific Journal.
2015;13(3):1-7.
7. Amro A, Hamarsheh O. Epidemiology of skabies in the west bank,
Palestinian Territories (occupied). Int J Infect Dis. 2012;16(2):E117-20.
8. Hay RJ, Steer AC, Engelman D, Walton S. Scabies in the developing
world–its prevalence, complications, and management. Clin Microbiol
Infect. 2012;18:313-23.
9. Fuller LC. Epidemiology of scabies. Curr Opin Infect Dis. 2013;26:123-6.
10 Ratnasari AF, Sungkar S. Prevalensi skabies dan faktor-faktor yang
berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur. EJKI. 2014;1:2.
11. Soedarman S. The prevalance of scabies related to behaviour and
level of education of santris in a pesantren in south Jakarta. [Skripsi].
Jakarta: Universitas Indonesia; 2014.
12. Sudarsono, Tanjung C, Lakswinar S, Yusuf EA. Pengaruh skabies
terhadap prestasi belajar santri di sebuah pesantren di Kota Medan.
Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.
13. Golant AK, Levvit JO. Scabies: a review of diagnostic and management
based on mite biology. Pediatrics in Review. 2012;33;E48-59.
14. Bonomo G. Discoverer of the etiology of scabies. Int J Dermatol.
1998;37(8):625-30.
119
15. Orion E, Marcos B, Davidovici B, Wolf R. Itch and scratch: scabies and
pediculosis. Clinics inDermatology. 2006:168-75.
16. Mellanby K. Immunology of scabies. In: Orkin M, Maibach, Parish,
Schwartzman, eds. Scabies and pediculosis. Philadelphia: JB
Lippincott Co, 1977; 84-7.
17. Engelman D, Kiang K, Chosidow O, McCarthy J, Fuller C, et al. Toward
the global control of human scabies: introducing the international
alliance for the control of scabies. PLoS Negl Trop Dis. 2013;7: e2167.
18. Los Angeles County Department of Public Health Acute Communicable
Disease ControlProgram. Scabies prevention and control guidelines acute
and sub-acute care facilities [internet].2009 [diakses 9 April 2012]. Diunduh
dari: http://publichealth.lacounty.gov/acd/docs/ skabiesguidelinesfinal8.
20.09_1.pdf.
19. Romani L, Koroivueta J, Steer Ac, Kama M, Kaldor Jm, Wand H, Et
Al. Scabies and impetigo prevalence and risk factors in Fiji: a national
survey. Plos Negl Trop Dis. 2015;9(3): E452.
20. Hilmy F. Prevalensi penyakit skabies dan hubungannya dengan
karakteristik santri Pesantren X Jakarta Timur [Skripsi]. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2011.
21. Lay CJ, Wang CL, Chuang HY, et al. Risk factors for delayed diagnosis
of scabies in hospitalizedpatients from long-term care facilities. J Clin
Med Res. 2011;3:72-7.
22. Montoya A, Mody L. Common infection in nursing homes: a review of
current issues and challenges. Aging Health. 2011;7(6):889-9.
23. Meyer EP, Herammey D, Foegle J, Chamouard V, Hernandez C,
Mechkour S. Management of a scabies epidemic in The Strasbourg
Teaching Hospital, France. 2011:41(2):92-6.
24. Fakoorziba M, Amin M, Moemenbellah-Fard M, Najafi M. The frequency
rate of scabies and itsassociated demographic factors in Kazerun, fars
province, Iran. ZJRMS. 2011;14(8):90-91.
25. Burgess IF. Biology and epidemiology of scabies. Curr Opin Infect Dis.
1999;12:177-80.
26. Centers for Disease Control and Prevention. CDC-scabies-general
information-frequently asked questions (FAQs) [internet]. 2015
[diakses 2 November 2015]. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/
parasites/scabies/gen_info/faqs.html.
27. Putri BSSA. Hubungan higiene perseorangan, sanitasi lingkungan,
dan status gizi terhadapkejadian skabies pada anak: studi kasus di
Sekolah Dasar Negeri 3 Ngablak, Magelang [skripsi]. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2011.
120
28. Susilo RA. The association between the prevalence of scabies and the
personal hygiene of the students in Islamic Boarding School X In East
Jakarta [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia;2014.
29. Sarayar R.Hubungan antara prevalensi skabies dengan perilaku
kebersihan santri Pesantren X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2013.
30. Gilmore S. Control strategies for endemic childhood scabies. PLoS
ONE. 2011;6(1):e15990.
31. Kanish B, Bhatia A. Pattern of cutaneous disease s in inmates of
central jail, Ludhiana, Punjab. Journal of Evolution of Medical and
Dental Sciences. 2014;3(14):3679-81.
32. Ubaidilah. Hubungan karakteristik, faktor lingkungan dan perilaku
terhadap kejadian skabies Di Pondok Pesantren Alqui Oumania Desa
Kauman, Kecamatan Jengkulo, Kabupaten Kudus [skripsi]. Semarang:
Universitas Muhammadiyah Semarang; 2010.
33. Nindrya ZB. Tingkat pengetahuan mengenai gejala klinis skabies dan
hubungannya dengankarakteristik demografi santri di Pesantren X,
Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: UniversitasIndonesia; 2012.
34. Ramadhan BB. Pengetahuan santri pesantren di Jakarta Timur tentang
penularan skabies danhubungannya dengan faktor terkait [skripsi].
Jakarta: Universitas Indonesia; 2012.
35. Aulia E. Tingkat pengetahuan mengenai penyebab skabies dan
hubungannya dengan karakteristik demografi pada santri pesantren
X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012.
36. Ningtiyas YS. Tingkat pengetahuan mengenai pengobatan skabies
dan hubungannya dengan karakteristik demografi santri di Pesantren
X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012.
37. Rangganata E. Tingkat pengetahuan mengenai pencegahan skabies
dan hubungannya dengan karakteristik demografi santri di pesantren
X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012.
38. Rosandi M. The level of knowledge on skabies amongst student in a
pesantren in East Jakarta, before and after skabies lecture [thesis].
Jakarta: Universitas Indonesia; 2014.
39. Sari TK. Pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan santri
pesantren X, Jakarta Timur mengenai penyebab skabies [skripsi].
Jakarta: Universitas Indonesia; 2011.
40. Thamrin F. Pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan santri
Pesantren X, Jakarta Timur mengenai pengobatan skabies. [skripsi].
Jakarta : Universitas Indonesia; 2011.
121
41. Adriansyah IA. Effectiveness of health promotion on level of knowledge
of scabies etiology and clinical features among X Boarding School
students in East Jakarta [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2013.
42. Landika AE. Efektifitas penyuluhan terhadap pengetahuan santri
mengenai penularan dan pencegahan skabies di Pesantren X, Jakarta
Timur [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012.
43. Nugraheni DN. Pengaruh sikap tentang kebersihan diri terhadap timbulnya
skabies (gudik) pada santriwati di Pondok Pesantren Al-Muayyad [skripsi].
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2008.
44. Arlian LG. Host specificity of S. scabiei var canis and the role of host
odor. J Med Ent. 1988;25:49-54.
45. Nevada State Health Division.Scabies prevention and control
guidelines residential/group home facilities.USA: Nevada State Health
Division; 2011.
46. Georgia Department Of Public Health. Scabies handbook. 2012
[diakses 2 November 2015]. Diunduh dari: https://dph.georgia.gov/
sites/dph.georgia.gov/files/related_files/document/ ADES_ Georgia_
Scabies_Handbook_v2011.pdf.
47. Morgan MS, Arlian LG, Markey MP. Sarcoptes scabiei mites
modulate gene expression in human skin equivalents. PLos One.
2013;8(8):E71143.
48. Swe P, Fischer K. A Scabies mite serpin interferes with complementmediated neutrophil functions and promotes staphylococcal growth.
PLoS Negl Trop Dis. 2014;8(6):e2928.
49. California Department of Public Health Division of Communicable
Disease Control. Prevention and control of skabies in California longterm care facilities. 2008 [Diakses pada 19 Maret 2012]. Diunduh
dari:http://www.cdph.ca.gov/pubsforms/guidelines/documents/
prevconofskabies.pdf
50. HicksMI, Elston DM. Scabies. Dermatologic Therapy. 2009;22:279-92.
51. Karaca S, Kelekci KH, Er O, Pektas B, Gokmen AA. Scabies incognito
presenting as a subcorneal pustular dermatosis-like eruption. Turkiye
Parazitol Derg. 2015;39:244-7.
52. Ploysangam T, Breneman DL, Mutasim DF. Cutaneus pseudolymphomas.
J Am Acad Dermatol. 1998;38(6):877-98.
53. Maan AM, Sohail AH. Bullous scabies: a case report and review of the
literature. BMC Research Notes. 2015;8(1):254.
54. Gutte RM. Bullous scabies in an adult: a case report with review of
literature. Indian Dermatol Online J. 2013;4(4):311-3.
122
55. Ljunggren EL. Molecular analysis of Sarcoptes scabies [thesis].
Uppsala: Swedish University of Agricultural Sciences;2005.
56. Katsumata K. Simple method of detecting Sarcoptes scabiei var hominis
mites among bedridden elderly patients suffering from severe scabies
infestation using an adhesive-tape. Intern Med. 2006;45(14):857-9.
57. Fernández-Sánchez M, Saeb-Lima M, Alvarado-de la Barrera C,
Reyes-Terán G. Crusted scabies-associated immune reconstitution
inflammatory syndrome. BMC Infect Dis. 2012;12(1):323.
58. Buechner SA. Common skin disorders of the penis. BJU International.
2002;90(5):498-506.
59. Yang YS, Byun YS, Kim JH, Kim HO, Park CW. Infantile scabies
masquerading as langerhans cell histiocytosis. Ann Dermatol.
2015;27(3):349.
60. Park JH, Kim CW, Kim SS. The diagnostic accuracy of dermoscopy of
scabies in a resource-poor setting. Arch Dermatol. 2011; 147(4):468-73
61. Sungkar S. Norwegian Scabies. Maj Kedokt Indon. 1989;39(3):169–71.
62. Davis JS, Mcgloughlin S, Tong SYC, Walton S, Currie BJ. A novel
clinical grading scale to guide the management of crusted scabies.
Plos Negl Trop Dis. 2013;7(9):E2387.
63. Dupuy A, Dehen L, Bourrat E, et al. Accuracy of standard dermoscopy
for diagnosing scabies. J Am Acad Dermatol. 2007;56(1):53-62.
64. Walton SF, Currie BJ. Problems in diagnosing scabies, a global disease
in human and animal population. Clin Microbiol Rev. 2007;20(2):268–79.
65. Walter B, Heukelbach J, Fengler G, Worth C, Hengge U, Feldmeier
H. Comparison of dermoscopy, skin scraping, and the adhesive tape
test for the diagnosis of scabies in a resource-poor setting. Arch
Dermatol.2011;147(4):468-73.
66. Banzhaf CA, Themstrup L, Ring HC, Welzel J, Mogensen M, Jemec
GBE. In vivo imaging of Sarcoptes scabieiinfestation using optical
coherence tomography. Case Rep Dermatol. 2013;5:156-162.
DOI:10.1159/000352066.
67. Arlian LG, Morgan MS. Serum antibody to S. scabiei and house dust
mite prior to and during infestation with S. scabiei. Vet Parasitol.
2000;90(4):315-26.
68. Brenaut E, Marcorelles P, Genestet S, Menard D, Misery L. Pruritus:
An underrecognized symptom of small-fiber neuropathies. J Am Acad
Dermatol.2015; (72):328-32
69. McCroskey. Scabies in emergency medicine treatment & management
[internet]. 2010 [diakses 13 April 2011]. Diunduh dari: www.emedicine.
medscape.com
123
70. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku ajar ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
71. Maxine AP, McPhee J. Current medical diagnosis and treatment. New
York: Lange,McGraw-Hill;2007.
72. Albakri L, Goldman RD. Permethrin for scabies in children. Can Fam
Physician.2010;56(10):1005.
73. Singalavanija S, Limpongsanurak W, Soponsakunkul S. A comparative
study between 10% sulfur ointment and 0.3 per cent gamma benzene
hexachloride gel in the treatment of scabies in children. Journal of the
Medical Association of Thailand.2003;3:531-6.
74. Avila-Romay A, Alvarez-Franco M, Ruiz-Maldonado R. Therapeutic
efficacy, secondary effects, and patient acceptability of 10% sulfur in
either pork fat or cold cream for the treatment of scabies. Pediatric
Dermatology.1991;8(1):64–6.
75. Wooldridge WE. The gamma isomer of hexachlorcyclohexane in the
treatment of scabies. J Invest Dermatol. 1948;10:363–6.
76. Roos TC, Alam M, Roos S, et al. Pharmacotherapy of ectoparasitic
infections. Drugs2001;61:1067–88.
77. Rauch AE, Kowalsky SF, Leser TS, et al. Gamma benzene hexachloride
(Kwell) induced aplastic anemia. Arch Intern Med. 1990;150:2393–5.
78. Anderson BM, Haughen H, Rasch M, et al. Outbreak of scabies in
Norwegian nursing homes and home care patients; control and
prevention. J Hosp Infect. 2000;45:160–4.
79. Konstantinov D, Stanoava I, Yawalker SJ. Crotamiton cream and lotion
in the treatment of infants with scabies. J Int Med Res.1979;7:443.
80. Strong M, Johnstone P. Interventions for treating scabies: review.
Cochrane Database Syst Rev. 2010;3:1-73.
81. Sungkar S, Agustin T, Menaldi SL, Fuady H, Herqutanto, Angkasa H,
et al. Effectiveness of permethrin standard and modified methods in
scabies treatment. Med J Indones. 2014;23(2):93-8.
82. Ribeiro, FAQ. Oral ivermectin for the treatment and prophylaxis of scabies
in prison. Journal of Dermatological Treatment. 2005;16(3):138-41.
83. Manjhi PK, Sinha RI, Kumar M, Sinha KI. Comparative study of
efficacy of oral ivermectin versus some topical antiscabies drugs in the
treatment of scabies. J Clin Diagn Res. 2014;8{9):1-4.
84. Luo B, Liao F, Hu Y, Liu X, He Y, Wu L, Et Al. Acaricidal activity of
extracts from ligularia virgaurea against the Sarcoptes scabieimite in
vitro. Exp Ther Med. 2015;10: 247-50.
124
85. One Disease. Managing crusted scabies in remote aboriginal communities. 2014. [diakses 6 November 2015]. Diunduh darihttp://1disease.org/
wp-content/uploads/2014/07/ Crusted-Scabies-guide-2014_final1.pdf
86. Mclean FE. The elimination of scabies: a task for our generation.
International Journal of Dermatology. 2013;52:1215-23.
87. Chung SD, Wang KH, Huang CC, Lin HC. Scabies increased the risk
of chronic kidney disease: a 5-year follow up study. Journal of The
European Academy of Dermatology and Venereology; 2014:28:286-92.
88. Worth C, Heukelbach J, Fengler G, Walter B, Liesenfeld O, Feldmeier
H. Impaired quality of life in adults and children with scabies from an
impoverished community in Brazil. Int J Dermatol. 2012;51:275-82.
89. sKementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan
Indonesia 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014.
90. WHO. The ottawa charter for health promotion. 2015. [diakses 11
November 2015]. Diunduh dari: http://www.who.int/healthpromotion/
conferences/previous/ottawa/en/
91. Jekel J. Epidemiology, biostatistics, and preventive medicine. Philadelphia:
Saunders/Elsevier; 2000.
92. Sianturi I, Sungkar S. The relationship between hygienic practices
towards scabies infestation in a boarding school of East Jakarta.EJKI.
2014;2(2):357-41.
93. Vincente SL, Kearns T, Christine C, Cameron S, Carapetis J, Andrews
R. Community management of endemic scabies in remoteaboriginal
communities of Northern Australia: lowtreatment uptake and high
ongoing acquisition. PLoS Negl Trop Dis. 2009;26:3(5):1-8.
94. Syauqi MI. Warta Times. Berkah Penyakit Kudis di Pesantren. 31
Oktober 2014. Diunduh dari http://www.wartatimes.com/pendidikan/
berkah-penyakit-kudis-di-pesantren,diakses 31 Januari 2016
125
126
Download