Kudisan Bisa Berasal dari Hewan Upik Kesumawati Hadi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor Sebagaimana halnya orang, hewan pun tak luput dari serangan kudis, skabies atau penyakit “Agogo”. Skabies pada hewan cukup berbahaya, bila tak segera diobati jangan harap hewan anda kembali dalam keadaan semula, sehat, kulitnya mulus dan menyenangkan sebagai hewab kesayangan. Tidak jarang kudis pada kelompok hewan tertentu dapat mengakibatkan musnahnya kelompok hewan tersebut. Contoh nyata adalah musnahnya kelinci akibat skabies di desa Ngancar Kabupaten Magetan yang pernah mendapat gelar desa kelinci tingkat nasional dan mendapat piala penghargaan dari Presiden dan Ny Tien Soeharto pada tahun 1990, yang akhirnya juga tidak jelas riwayatnya. Selain berbahaya bagi hewan itu sendiri, skabies pada hewan dapat menulari manusia terutama orang-orang yang selalu berhubungan dengan hewan seperti pemilik hewan, perawat hewan, serta dokter hewan yang sehari-hari menangani penyakit hewan. Oleh karena itu melalui media ini penulis mengingatkan kembali pada Anda agar berhati-hati terhadap kemungkinan tertularnya penyakit ini dari hewan. Meskipun sifat penyakit zoonosis ini ringan, sekali Anda tertular cukup merepotkan juga. Tungau Penyebab Semua hewan dapat diserang oleh skabies. Tetapi yang paling sering kita lihat di lapangan adalah hewan-hewan domba, kambing, kelinci, anjing, dan kucing. Penyebab kudis adalah hewan kecil lonjong dan cembung di bagian dorsal, pipih di bagian ventral, tidak mempunyai mata, yang betina berukuran 330-430 mikron dan yang jantan lebih kecil yaitu 200-250 mikron. Hewan kecil ini seringkali disebut tungau kudis dari keluarga Sarcoptidae dan Psoroptidae, dengan jenis yang paling banyak adalah Sarcoptes scabiei. Jenis ini pada anjing disebut Sarcoptes scabiei var canis, pada domba S. scabiei var ovis, pada kambing S. scabiei var caprae, pada babi S. scabiei var suis, pada sapi S. scabiei var bovis dan seterusnya. Jenis-jenis dari hewan ini sebenarnya hanya bisa hidup dan berkembang pada inangnya masing-masing. Tetapi seringkali dengan kondisi seperti di Indonesia ini kudis dari hewan dapat menulari manusia, walaupun sifat skabies ini pada manusia kurang ganas bila dibandingkan dengan jenis S. scabiei var humanus penyebab kudis pada manusia. Tungau kudis asal hewan pada manusia tinggal untuk sementara waktu tanpa berkembang lebih lanjut. Namun demikian dalam kulit manusia tungau asal hewan ini juga menimbukan kegatalan yang meresahkan dan merangsang Anda untuk menggaruk-garuk dengan keras, bahkan sampai terjadi luka. Kerusakan kulit biasanya terlokalisir tidak menyebar dan lama-lama sembuh, kecuali apabila sudah terjadi infeksi sekunder oleh kuman. Bila demikian terjadi, dapat menimbulkan rasa minder bila bertemu dengan orang lain. Berbeda halnya bila orang itu tertular oleh jenis tungau yang asalnya memang dari manusia. Kegatalan yang hebat membuat Anda semangat juga dalam menggaruk kulit. Akibat garukan ini kerusakan kulit makin meluas dan infestasi atau serangan tungau makin menyebar. Seringkali luka-luka dapat diperhebat oleh adanya infeksi kuman atau bakteri. Penderita kudis tampak menjijikkan dan seringkali disertai dengan bau. Tempat-tempat yang biasa diserang kudis adalah sela-sela jari tangan, bagian pergelangan, siku, ketiak, punggung, pangkal paha dan alat kelamin. Membuat Terowongan Mengapa timbul rangsangan gatal dan panas pada kulit yang menderita skabies? Rangsangat di atas tidak lain adalah karena tungau-tungau itu hidup di bawah kulit dan membuat terowongan-terowongan. Di dalam terowongan inilah tungau hidup, bertelur dan berkembang biak. Setiap 2-3 hari di dalam terowongan ini tungau betina bertelur dan menetap selama hidupnya (sekitar dua bulan). Larva menetas dari telur, biasanya dalam waktu 3 hari, tetapi kadang-kadang sampai 10 hari baru menetas tergantung suhu dan kelembaban kulit. Larva yang beru menetas berkaki enam dapat bergerak bebas bersama-sama stadium nimfa membentuk sebuah terowongan baru dengan bagian mulutnya sambil memakan jaringan kulit. Demikian seterusnya sampai menjadi stadium dewasa jantan dan betina. Bagimana tungau kudis ini bisa menular dari satu orang ke orang lain? Umumnya penyakit ini ditularkan melalui kontak langsung antar orang ke orang, khususnya bagi orang-orang yang tidur bersama. Melalui pakaian, handuk, sprei bisa juga terjadi tetapi sangat jarang. Yang jelas, bagi Anda yang sehat dan hidup dalam keadaan serba bersih, derajat infeksi skabies sangat rendah dan infeksinya hanya berlangsung dalam waktu terbatas. Sebaliknya bagi orang-orang di kampung dan kurang menjaga kesehatan maka infeksi skabies masih sering terjadi. Juga di rumah-rumah penjara, tentara yang sedang perang, asrama, atau bahkan pesantren sring dilaporkan adanya kasus skabies. Mudah Diobati Pada orang ataupun hewan, kudisan ini sebenarnya suatu penyakit yang mudah diobati bila masih ringan. Berbeda keadaanya bila infeksi sudah berlangsung lama dan sudah menyebar ke seluruh tubuh, maka pengobatannya juga perlu waktu lama dan harus rajin dan tekun setiap hari. Pada orang, obat-obat yang dapat diberikan antara lain (1) salep yang mengandung anti tungau (mitisida) yang dapat membunuh tungau dewasa dan pradewasa, bisa dengan mudah dibeli di apotek. Dulu ada salep Lindane 1%, dioleskan setelah mandi dengan air panas dan sabun, tetapi sekarang di Indonesia obat ini sudah dilarang. (2) Emulsi benzyl benzoat 20% dioleskan secara merata. (3) Di kampung-kampung orang sering menggunakan oli bekas dicampur dengan belerang kemudian dioleskan secara merata. Sekarang ini banyak sekali beredar di pasaran berbagai merek obat kudis, semuanya bisa dicoba dan cukup efektif. Sebenarnya kunci utama untuk mencegah penyakit ini adalah kebersihan diri dan lingkungan sehat. Jangan lupa bagi Anda yang memiliki anjing dan kucing, jaga kesehatannya dan setiap hari disiir atau disikat supaya bebas dari skabies. Bila terkena skabies segera periksakan ke dokter hewan relasi Anda. Emulsi benzyl benzoat 33%, larutan sulfur 3-10% dan suntikan Ivermectin adalah contoh-contoh skabies untuk anjing. Skabies pada domba, kambing dan kelinci di lapangan seringkali berakibat fatal bila tidak segera diobati. (Ditulis ulang oleh Upik Kesumawati Hadi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, FKH IPB, pernah dimuat di Poultry Indonesia No 132/TH XII - Januari 1991)