Kajian Ketersediaan Air Tanah Untuk Penentuan Surplus Defisit Air

advertisement
Kajian Ketersediaan Air Tanah untuk Penentuan Surplus-defisit Air Tanah dan Pola Tanam (Bistok H Simanjuntak, dkk)
KAJIAN KETERSEDIAAN AIR TANAH UNTUK PENENTUAN SURPLUSDEFISIT AIR TANAH DAN POLA TANAM
STUDY OF AVAILABILITY SOIL WATER FOR DETERMINATION OF SURPLUSDEFICIT SOIL WATER AND PLANTING PATTERN
Bistok Hasiholan Simanjuntak 1), Yohanes Hendro Agus2), Sri Yulianto JP3)
1), 2)
Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
3)
Fakultas Teknologi Informasi
Kontak Person: email: [email protected]
ABSTRACT
Water sources for agricultural production in rainfed land based on the rainfall.
Therefore, information on potential available soil water storage is needed on water
management in rainfed land. Fluctuations in the available soil water from month to
month can be determined by using a water balance approach between the magnitude
of the rainfall, the soil’s ability to store water and the potential evapotranspiration.
Through the water balance analysis can determined amount (mm) and time of water
surplus and deficit in the soil, so that it can determine the planting time and irrigation
provision. Therefore, the research objective to determine the available soil water
(surplus and deficit soil water) in the rainfed land using the water balance concept.
Research methods for water balance analysis using Java NRCS Newhall Simulation
Model (jNSM). The results of the soil water balance analysis mapped the geographic
information system (GIS) in order to know which districts have experienced a period
of water deficit and surplus. The study was conducted in March-June 2016 for 11
districts in Boyolali. The results showed the amount of annual rainfall in the district
of Boyolali greater than potential evapotranspiration, so that in total annual a water
surplus in soil by 1128.38 mm / year. Shows the average monthly rainfall in June-JulAugust-September is lower than potential evapotranspiration, so the month of JuneJuly-Aug-September there was a water deficit region Boyolali. Based on the condition
of deficit and surplus water in soil per month then the design of cropping patterns in
Boyolali are: 1). Rice planting season 1st (first) could begin in October/November to
January/February. 2). Rice planting season 2th (second) or pulses can be started in
January/February to May/June. 3). The land will experience water deficit in June/
July/August/September, so in this period of potential for fallow land
Keywords: Availability Soil Water, Water Balance, Deficit and Surplus Water, Cropping
Patterns
113
PROSIDING KONSER KARYA ILMIAH Vol.2, Agustus 2016 | ISSN: 2460-5506
PENDAHULUAN
Pada saat musim kemarau sebagian
wilayah di Indonesia mengalami kekeringan
karena kesulitan mendapatkan air. Berdasarkan
laporan Bappenas (2010) Pulau Jawa tergolong
pulau yang kritis air, dimana setiap penduduk
di Jawa hanya terpenuhi kebutuhan airnya
sebesar 1.750 m3/thn per kapita. Fenomena
El Nino pada tahun 2015 memberikan dampak
kekeringan secara ekstrim pada sejumlah lahan,
terutama pada lahan yang mengandalkan
sumber air dari curah hujan (lahan tadah hujan).
Lahan tadah hujan hanya mengandalkan
ketersediaan air dari curah hujan dalam proses
produksi pertanian. Pada lahan tadah hujan
akan tampak sekali secara mencolok antara
surplus air tanah saat musim hujan dan defisit
air tanah saat kemarau. Oleh karena itu pada
saat musim kemarau banyak lahan tadah hujan
yang mengalami bera (kosong tidak ada aktifitas
produksi tanaman). Lahan tadah hujan merupakan lahan potensial untuk pengembangan
komoditas pertanian, namun air menjadi factor
pembatas utama untuk produksi pertanian.
Oleh karena itu sebagian dari lahan tadah hujan
belum dimanfaatkan secara optimal dan pada
umumnya hanya ditanami sekali dalam setahun
yaitu dengan tanaman padi atau palawija saat
penghujan dan musim berikutnya dibiarkan
menjadi lahan tidur.
Variasi hujan baik dalam jumlah,
intensitas, dan saat/waktu hujan, menjadi
penyebab sulitnya prediksi waktu yang tepat
untuk melakukan penanaman atau mengatur
pola tanam. Hal ini dikarenakan variasi hujan
menyebabkan ketersediaan air yang fluktuatif.
Penguasaan sifat hujan sepanjang musim pada
lahan tadah hujan dapat digunakan untuk
perkiraan jumlah air tanah tersedia pada suatu
114
periode tertentu (Ayu dkk., 2013). Ketersediaan air tanah akan menentukan pertumbuhan dan
hasil tanaman secara langsung, karena kekurangan air menyebabkan penurunan laju
fotosintesis dan distribusi asimilat terganggu,
serta berdampak negatif pada pertumbuhan
tanaman baik pada fase vegetatif maupun fase
generative (Aqil dkk., 2008).
Air hujan adalah sumber utama air tanah
pada lahan tadah hujan. Informasi potensi
simpanan air tanah diperlukan pada manajemen
air di lahan tadah hujan. Fluktuasi ketersediaan
air tanah dari bulan ke bulan dapat diketahui
dengan menggunakan pendekatan neraca air
antara besarnya masukan air hujan, kemampuan
tanah menyimpan air dan keluaran dari
evapotranspirasi potensial. Menurut Hillel
(1972) neraca air merupakan perincian tentang
semua masukan, keluaran, dan perubahan
simpanan air yang terdapat pada suatu lahan.
Besaran tiap komponen siklus dapat diukur dan
digabungkan satu dengan yang lain sehingga
menghasilkan neraca atau keseimbangan air
(Suprayogo, 2000). Neraca air bermanfaat
untuk melengkapi gambaran umum dari
keadaan air pada suatu daerah (presipitasi,
evapotranspirasi, kandungan dan perubahan
kelembaban tanah); menilai kemampuan suatu
daerah untuk ditanami melalui pendugaan
kebutuhan air bagi tanaman, menguji hubungan
iklim atau cuaca dengan hasil produksi tanaman
(Ayu dkk, 2013). Melalui analisis neraca air
maka dapat ditentukan besarannya (mm) dan
waktu terjadinya defisit air di dalam tanah.
Sehingga dengan mengetahui defisit air tanah
dapat ditentukan waktu tanam dan waktu
pemberian air irigasi.
Setiap jenis tanaman membutuhkan air
yang bervariasi bergantung sifat genetis dan
Kajian Ketersediaan Air Tanah untuk Penentuan Surplus-defisit Air Tanah dan Pola Tanam (Bistok H Simanjuntak, dkk)
faktor lingkungan. Ketersediaan air tanah akan
menentukan status air tanaman dan penting
dalam proses absorbsi CO2 (Grant et al., 1993).
Pemodelan didalam bidang pertanian dapat
digunakan untuk studi neraca air untuk
mengetahui dampak perubahan iklim terhadap
ketersediaan air (deficit air) pada suatu wilayah.
Dalam rangka pengembangan tanaman pangan
terutama untuk palawija yang berkelanjutan,
maka pengukuran defisit air tanah melalui
pendekatan neraca air sangat diperlukan. Jenifa
Latha et al. (2010) mendifinisikan neraca air
sebagai perubahan bersih dalam air tanah,
dengan mempertimbangkan memperhitungkan
semua arus masuk dan arus keluar dari sistem
hidrologi. Variasi penggunaan lahan, tekstur
tanah, kelerengan, kemampuan tanah
mengikat air (water holding capacity),
dan kondisi iklim terutama curah hujan,
suhu udara dan suhu tanah menjadi
faktor perhitungan dalam pendugaan
neraca air. Hasil perhitungan neraca
air memberikan informasi berupa kadar
air tanah, surplus dan defisit air serta
limpasan permukaan dapat dimanfaatkan untuk perencanaan sistem usaha
tani, yaitu dalam memberikan pertimbangan waktu tanam dan pola tanam.
Oleh karena itu tujuan dari kajian
adalah untuk mengetahui ketersediaan
air tanah (surplus dan defisit air tanah)
pada lahan tadah hujan dengan menggunakan konsep neraca air.
ketinggian antara 100 meter sampai dengan
1.500 meter dari permukaan laut. Sebelah timur
dan selatan merupakan daerah rendah, sedang
sebelah utara dan barat merupakan daerah
pegunungan (Bappeda, 2015). Pengukuran
neraca air dilakukan di 11 lokasi Stasiun
Klimatologi Kecamatan Selo, Cepogo,
Mojosongo, Boyolali, Andong, Ngemplak,
Wonosegoro, Juwangi, Musuk, Simo dan
Kemusu (Gambar 1), dimana di lokasi tersebut
dilakukan pengambilan contoh tanah dan
pengambilan data iklim 10 tahun yaitu mulai
tahun 2006 hingga 2015. Pengukuran tekstur
tanah dan kadar air kapasitas lapang dilakukan
di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian dan
Bisnis UKSW Salatiga.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian berada di
Kabupaten Boyolali, dengan luas
wilayah lebih kurang 101.510.0965 ha.
Wilayah Boyolali terletak antara 110o 22’ BT –
110o50’ BT dan 7o36’ LS – 7o71’LS dengan
Gambar 1 Lokasi Penelitian
115
PROSIDING KONSER KARYA ILMIAH Vol.2, Agustus 2016 | ISSN: 2460-5506
Penelitian dilakukan pada Maret 2016
sampai 30 Juni 2016. Pemodelan di dalam
bidang pertanian dapat digunakan untuk studi
neraca air untuk mengetahui dampak perubahan
iklim terhadap ketersediaan air (defisit air) pada
suatu wilayah. Salah satu pemodelan untuk
menentukan neraca air adalah menggunakan
NRCS Java Newhall Simulation Model
(jNSM) (Douglas and Brian, 2011). Model
jNSM adalah model komputer dengan bahasa
basic Java yang digunakan untuk memahami
neraca air tanah yang didasarkan pada kondisi
iklim di tanah dan udara dengan data iklim
jangka panjang. Perhitungan dari model jNSM
terhadap defisit air dan suhu tanah dapat untuk
menentukan kondisi iklim tanah terutama dalam
menentukan regime kelembaban tanah dan
regime suhu tanah. Dalam model jNSM, data
yang diperlukan adalah curah hujan, suhu tanah,
suhu udara, nilai Evapotrasnpirasi Potensial
(ETP), Tekstur tanah, kandungan air tanah pada
tingkat kapasitas lapang (KL). Selanjutnya hasil
analisis neraca air tanah dipetakan dengan
menggunakan sistem informasi geografis (SIG)
sehingga dapat diketahui wilayah kecamatan
yang mengalami periode defisit air maupun yang
mengalami periode surplus air. Prosedur
perhitungan neraca air menurut NRCS Java
Newhall Simulation Model (jNSM) menggunakan langkah-langkah sebagai berikut 1)
Pengukuran tekstur tanah; 2) Pengukuran
kandungan air tanah pada kondisi kapasitas
lapang; 3) Pengumpulan data suhu tanah
bulanan selama 10 tahun (2006-2015); 4)
Pengumpulan data suhu udara bulanan selama
10 tahun (2006-2015); 5) Analisis perbedaan
bulanan suhu udara terhadap suhu tanah; 6)
Pengumpulan data curah hujan bulanan selama
10 tahun (2006-2015); 7) Melakukan input
data hujan, suhu udara, perbedaan suhu tanah
dan udara, kemampuan tanah memegang air,
koordinat statsiun klimatologi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Curah Hujan dan Suhu Udara
Masukan utama alami untuk air tanah
adalah serapan dari air permukaan, terutama
dari air hujan. Oleh karena itu kajian air tanah
pada suatu wilayah akan selalu berhubungan
dengan besaran curah hujan diwilayah tersebut.
Adapun rataan curah hujan bulanan di 11 lokasi
area penelitian di Kabupaten Boyolali dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Sebaran Curah Hujan Bulanan di Area Penelitian (11 lokasi)
116
Kajian Ketersediaan Air Tanah untuk Penentuan Surplus-defisit Air Tanah dan Pola Tanam (Bistok H Simanjuntak, dkk)
Selama tahun 2006-2015 terlihat
bahwa rata-rata di Kabupaten Boyolali
setiap bulan terjadi turun hujan walaupun
pada bulan Juli, Agustus, September adalah
bulan-bulan dengan curah hujan lebih
rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Rataan total curah hujan tahunan di
Kabupaten Boyolali adalah 2.499 mm/
tahun. Adapun peta sebaran curah hujan
di Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada
Gambar 3.
Suhu udara akan mempengaruhi
ketersediaan air tanah melalui mekanisme
besarnya evapotranspirasi. Nilai suhu udara
berfluktuatif terhadap nilai evapotranspirasi
yaitu terjadi kenaikan dan penurunan suhu
disertai kenaikan dan penurunan evapotranspirasi, hal ini disebabkan oleh-oleh unsurunsur iklim. Menurut Handoko (1996) bahwa
secara potensial evapotrans-pirasi ditentukan
hanya oleh unsur-unsur iklim (suhu dan udara),
sedangkan secara aktual evapotranspirasi juga
ditentukan oleh kondisi tanah dan sifat tanaman.
Dari data pengukuran selama 2006-2015
menunjukkan rataan suhu udara bulanan di 11
lokasi area penelitian di Kabupaten Boyolali
dapat dilihat pada Gambar 4.
Evapotranspirasi
Air merupakan kebutuhan mutlak untuk
menopang pertumbuhan tanaman, dimana
Gambar 3 Peta Hujan di Kabupaten Boyolali
jumlah air yang dibutuhkan tanaman tergantung
dari faktor lingkungan (iklim dan tanah ) serta
tanaman (jenis, pertumbuhan, dan fase
perkembangan (Djufry, 2012). Kehilangan air
melalui permukaan tanaman (penguapanevaporasi) dan melalui tanaman (penguapan
stomata atau kutikula - transpirasi) disebut
evapotranspirasi. Oleh karena itu evapotranspirasi disebut juga penggunaan air tanaman
(water use). Evapotranspirasi merupakan
proses yang sangat penting bagi tanaman.
Metabolisme tanaman berlangsung jika
evapotranspirasi terjadi. Evapotranspirasi
Gambar 4 Sebaran Temperatur Udara Bulanan di Area Penelitian (11 lokasi)
117
PROSIDING KONSER KARYA ILMIAH Vol.2, Agustus 2016 | ISSN: 2460-5506
merupakan peubah yang sangat berkaitan
dengan produksi tanaman. Pengamatan evapotranspirasi dapat digunakan sebagai peringatan
dini terhadap kekurangan air. Jika kekurangan
air dapat diatasi sedini mungkin maka penurunan produksi dapat dihindari. Peubah-peubah
dari sistem atmosfir digunakan untuk menduga
evapotranspirasi potensial (Doorenbos dan
Pruitt, 1977).
Evapotranspirasi merupakan salah satu
komponen neraca air. Neraca air merupakan
model hubungan kuantitatif antara jumlah air
yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan
jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan
kurun waktu tertentu. Ketersediaan air tanah
dipengaruhi kondisi iklim, topografi, jenis tanah,
tutupan lahan serta struktur geologi suatu daerah
(Ayu dkk, 2013). Tingkat ketersediaan air tanah
diperoleh dengan menganalisa data kandungan
air tanah (lengas tanah) terhadap nilai suhu, dan
Evapotranspirasi Potensial. Evapotranspirasi
potensial terjadi pada kondisi air tersedia
maksimum atau kapasitas lapang (Handoko,
1996). Tabel 1 adalah besarnya evapotranspirasi
potensial dari wilayah pengamatan di Kabupaten Boyolali.
Potensi air tersedia dalam tanah sangat
diperlukan dalam manajemen air dalam rangka
pengembangan tanaman pangan di lahan tadah
hujan. Fluktuasi ketersediaan air tanah dari bulan
ke bulan dapat diketahui dengan menggunakan
pendekatan neraca air (Ayu dkk, 2013; Djufry
Fadjry, 2012). Curah hujan dan evapotranspirasi memberikan informasi tentang perkiraan
jumlah air tanah yang dapat disimpan dalam
matriks tanah untuk menentukan periode surplus
atau defisit air di lahan, yang dapat dianalisis
melalui perhitungan neraca air. Berdasarkan
Tabel 1 dan Gambar 3, menunjukkan rata-rata
total ETP selama tahun 2005 sampai 2015 di
area penelitian sebesar 1370,50 mm/tahun.
Secara rata-rata bulanan menunjukkan ETP
tertinggi pada bulan Mei sebesar 149,16 mm/
bulan dengan suhu udara rata-rata 24,52oC.
Adapun ETP terendah pada bulan Januari
sebesar 77,67 mm/bulan dengan suhu udara
rata-rata sebesar 24,07oC.
Tabel 1 Evapotranspirasi Potensial (ETP) Bulanan di Area Penelitian
Lokasi
Kecamatan
Boyolali
Jan
Peb
Mar
April
Mei
Jun
Jul
Agst
Sep
Okt
Nop
Des
Total
73.94
79.96
105.89
127.13
145.21
139.41
131.68
124.90
117.18
106.85
84.02
73.60
1,309.77
Andong
90.18
95.05
127.77
152.11
166.60
158.96
149.21
148.16
143.10
128.34
102.60
88.89
1,550.97
Kemusu
90.05
96.24
127.61
151.97
171.03
160.94
151.05
147.92
143.10
128.34
102.60
90.02
1,560.87
Cepogo
57.80
61.62
84.30
97.19
112.40
109.91
104.57
98.75
89.58
82.12
64.23
56.57
1,019.04
Mojosongo
79.75
84.06
114.31
133.95
150.98
148.50
138.20
131.22
121.89
115.60
88.52
77.44
1,384.42
Selo
46.27
49.79
67.78
76.42
88.38
85.92
82.17
73.39
66.97
62.36
51.52
45.59
796.56
Juwangi
95.58
100.75
137.70
155.25
179.55
170.68
159.84
159.15
147.87
132.20
109.21
94.50
1,642.28
Simo
75.06
92.04
121.99
145.06
165.56
158.34
146.93
141.63
135.48
124.20
98.42
84.85
1,489.56
Wonosegoro
86.79
92.75
124.66
148.37
164.77
159.51
151.98
146.61
140.46
124.20
102.60
86.72
1,529.42
Musuk
81.29
87.99
116.59
136.72
152.03
149.40
138.80
131.90
127.67
121.18
96.37
82.14
1,422.08
Rataan
77.67
84.03
112.86
132.42
149.65
144.16
135.44
130.36
123.33
112.54
90.01
78.03
1,370.50
118
Kajian Ketersediaan Air Tanah untuk Penentuan Surplus-defisit Air Tanah dan Pola Tanam (Bistok H Simanjuntak, dkk)
Gambar 5 Peta Evapotranspirasi Potensial (ETP)
Tahunan di Kabupaten Boyolali
Ketersediaan Air Tanah dan Defisit Air Tanah
Secara kuantitatif, neraca air menggambarkan prinsip bahwa selama periode waktu
tertentu masukan air total sama dengan keluaran
air total ditambah dengan perubahan air
cadangan (change in storage) (Djufry Fadjry.
2012). Nilai perubahan air cadangan ini dapat
bertanda positif atau negatif. Jika nilai perubahan
cadangan air tanah adalah negatif maka dapat
dikatakan bahwa kondisi air tanah mengalami
defisit air. Bila cadangan air tanah adalah positif
maka dapat dikatakan tersimpan sejumlah air
ditanah.
Curah hujan dan evapotranspirasi akan
memberikan informasi perkiraan jumlah air yang
dapat diperoleh untuk menentukan periode
surplus (S) atau defisit (D) air tanah di lahan,
yang dapat dianalisis melalui perhitungan neraca
air. Defisit air dihitung berdasarkan keseim-
bangan air tanah dan tanaman. Keseimbangan
air tanah dipengaruhi oleh ketersediaan air, curah
hujan dan evapotranspirasi. Terdapat hubungan
nilai antara curah hujan (P) dengan evapotranspirasi potensial (ETP). Apabila curah hujan
melebihi evapotranspirasi maka akan terjadi
surplus air pada lahan dan sebaliknya jika curah
hujan lebih kecil dari evapotranspirasi maka
akan terjadi defisit air pada lahan. Berdasarkan
model NRCS Java Newhall Simulation Model
(jNSM) untuk memahami neraca air tanah yang
didasarkan pada kondisi iklim di tanah dan
udara dengan data iklim 10 tahun (2006-2015)
di 11 wilayah kecamatan di Kabupaten Boyolali
memiliki kandungan air tanah dan defisit air yang
tertera dalam Tabel 2 dan Gambar 6. Tabel 2
adalah distribusi bulanan untuk kandungan
ketersediaan air tanah dan kondisi surplus (S)
defisit (D) air tanah (besaran dan waktu
terjadinya).
119
PROSIDING KONSER KARYA ILMIAH Vol.2, Agustus 2016 | ISSN: 2460-5506
Tabel 2 Kandungan Air Tanah Bulanan (mm/bulan) dan Waktu Defisit Air di Wilayah Penelitian
Lokasi
Kecamatan
Boyolali
Jan
Peb
Mar
April
Mei
Jun
Juli
Agst
Sep
Okt
Nop
Des
Total
276.06
253.04
251.11
141.87
36.79
(39.41)
(74.68)
(78.90)
(63.18)
25.15
170.98
239.40
1,138.23
Andong
354.42
294.55
191.03
185.69
45.00
(42.36)
(97.41)
(127.16)
(88.10)
(5.74)
226.60
153.51
1,090.03
Kemusu
250.05
266.86
171.99
54.53
(77.64)
(96.32)
(111.55)
(122.84)
(118.69)
43.46
140.70
156.38
556.93
Cepogo
460.20
379.38
412.70
198.81
135.60
50.09
(7.57)
(30.75)
15.42
88.88
307.77
395.43
2,405.96
Mojosongo
252.25
230.94
219.69
125.05
23.02
(52.50)
(84.20)
(87.22)
(70.89)
12.40
145.48
210.56
924.58
Selo
392.73
352.21
347.22
225.58
111.62
11.08
0.83
(20.39)
(3.97)
94.64
272.48
357.41
2,141.44
Juwangi
242.42
177.25
130.30
45.75
(31.55)
(95.68)
(97.84)
(104.15)
(60.87)
29.80
107.79
182.50
525.72
Simo
257.94
207.96
214.01
114.94
26.44
(61.34)
(76.93)
(89.63)
(63.48)
35.80
117.58
186.15
869.44
Wonosegoro
255.21
205.25
198.34
106.63
27.23
(72.51)
(74.98)
(91.61)
(63.46)
44.80
118.40
197.28
850.58
Musuk
241.71
234.01
221.41
90.28
6.97
(82.40)
(89.80)
(99.90)
(84.67)
0.82
135.63
206.86
780.92
Rataan
298.30
260.15
235.78
128.91
30.35
(48.14)
(71.41)
(85.26)
(60.19)
37.00
174.34
228.55
1,128.38
S
S
S
S
D
D
D
D
S
S
S
Kondisi
Surplus
atau Defisit
Air Tanah
S
Keterangan:
= Kondisi waktu deficit air; S = Suplus A; D = DefisitAir
Analisis GIS terhadap Tabel 2 dan
Gambar 6 menunjukkan beberapa wilayah
di kecamatan Boyolali, Andong, Ampel,
Cepogo dan Selo adalah wilayah dengan
kandungan air tanah tersedia yang lebih tinggi
dibandingkan wilayah kecamatan lainnya.
Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 7, untuk
waktu saat (bulan) mengalami defisit air
tanah, menunjukkan untuk wilayah
kecamatan Ampel, sebagian kecamatan
Cepogo dan kecamatan Selo hanya
mengalami kejadian defisit air tanah selama
2 bulan yaitu untuk Ampel dan beberapa
wilayah kecamatan Cepogo akan terjadi
defisit air tanah pada Juli dan Agustus
sedangkan beberapa wilayah kecamatan Selo
dan beberapa wilayah kecamatan Cepogo
akan terjadi defisit air tanah pada bulan
Agustus dan September. Sementara wilayah
kecamatan lainnya di Kabupaten Boyolali
Gambar 6 Kandungan Total Potensial Air Tanah Tersedia memiliki lama defisit air berkisar 4 hingga 5
Tahunan
bulan.
120
Kajian Ketersediaan Air Tanah untuk Penentuan Surplus-defisit Air Tanah dan Pola Tanam (Bistok H Simanjuntak, dkk)
Menurut Jackson (1977), neraca air
merupakan perimbangan yang terjadi antara
curah hujan (P) dan laju evapotranspirasi
potensial (ETP). Apabila curah hujan melebihi
evapotranspirasi potensial (P > ETP), maka
terjadi peningkatan air tanah sehingga air cukup
tersedia bahkan lahan mengalami kelebihan air
atau surplus (S), dan sebaliknya jika curah
hujan lebih kecil dari evapotraspirasi potensial
(P < ETP), akan berkurang kandungan air
dalam tanah bahkan dapat mencapai keadaan
defisit (D).
Hasil perhitungan neraca air bulanan
pada lokasi penelitian yang mewakili gambaran
ketersediaan air di kabupaten Boyolali, terlihat
bahwa:
1. Secara total tahunan menunjukkan curah
hujan selama setahun sebesar 2.499 mm/
tahun (Gambar 2), dipergunakan untuk Gambar 7 Sebaran Waktu (Bulan) Tanah Mengalami
Defisit Air di Kabupaten Boyolali.
keperluan evapotranspirasi potensial
sebesar 1.270,50 mm/tahun (Tabel 1) mm,
sehingga terjadi surplus air (tersimpan dalam
Pola Tanam
potensial air tanah) sebesar 1.128,38 mm/
Periode surplus (S) dan defisit (D) air
tahun.
dapat digunakan untuk menentukan pola tanam
2. Secara bulanan menunjukkan rata-rata
maupun jadwal pemberian air irigasi. Periode
curah hujan pada bulan Juni-Juli-Agustussurplus atau defisit air dapat untuk mengatur
September lebih rendah dibandingkan
pola tanam dan air irigasi. Tabel 3 adalah
dengan besarnya evapotranspirasi potensial.
rancangan pola tanam untuk padi dan palawija
Kondisi demikian menunjukkan secara
berdasarkan kondisi surplus dan defisit air tanah
bulanan rata-rata pada bulan Juni-Juliuntuk wilayah Kabupaten Boyolali.
Agustus-September terjadi defisit air
diwilayah Kabupaten Boyolali (Tabel 2).
Adapun lebih jelasnya wilayah-wilayah yang
mengalami defisit air setiap bulannya selama
setahun dapat dilihat pada Gambar 7.
121
PROSIDING KONSER KARYA ILMIAH Vol.2, Agustus 2016 | ISSN: 2460-5506
Tabel 3 Pengaturan Pola Tanam
Keterangan
Jan
Peb
Mar
April
Mei
Jun
Juli
Agst
Sep
Okt
Nop
Des
298.30
260.15
235.78
128.91
30.35
(48.14)
(71.41)
(85.26)
(60.19)
37.00
174.34
228.55
S
S
S
S
S
D
D
D
D
S
S
S
Pilihan
Tanaman
Padi
1
Padi 2/
Padi 2/
Padi 2/
Padi 2/
bero
bero
bero
bero
Palawija
Palawija
Palawija
Palawija
Padi
1
Padi
1
Padi
1
Pola Tanam
Penanaman
Padi MT 1
Kandungan
Air Tanah
(mm/bln)
Kondisi Air
Tanah
Total
Ketersediaan
Air Tanah
Penanaman Padi MT 2/Palawija
Bero
Penanaman Padi MT 1
Total Ketersediaan Air
Tanah Selama Masa
Tumbuh = 738.19 mm
Total Ketersediaan Air Tanah Selama Masa
Tumbuh = 655.19 mm
Keterangan:
1. S=surplus air; D= defisit air
2. Asumsi untuk kebutuhan air tanaman padi selama masa siklus hidup (3-4 bulan) adalah 600 mm, dan kebutuhan air
tanaman palawija selama siklus hidup (3-4 bulan) adalah 450 mm
KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil kajian maka dapat
disimpulkan:
1. Secara total tahunan besarnya curah hujan
di wilayah Kabupaten Boyolali lebih besar
dari evepotranspirasinya, sehingga secara
total tahunan terjadi surplus air tanah sebesar
1.128,38 mm/tahun.
2. Secara bulanan menunjukkan rataan curah
hujan pada bulan Juni-Juli-AgustusSeptember lebih rendah dibandingkan
dengan besarnya evapotranspirasi potensialnya. Kondisi demikian menunjukkan pada
bulan Juni-Juli-Agustus-September terjadi
deficit air diwilayah Kabupaten Boyolali.
3. Berdasarkan dari kondisi deficit dan surplus
air tanah per bulan menunjukkan rancangan
pola tanam dan kalender tanam di
Kabupaten Boyolali bahwa:
1) Musim tanam padi 1 dapat dimulai pada
Oktober/Nopember hingga Januari/
Pebruari
2) Musim tanam padi 2 atau palawija dapat
dimulai pada Januari/Pebruari hingga
Mei/Juni
122
3) Lahan akan mengalami deficit air pada
bulan Juni/Juli/Agustus/September
sehingga pada periode potensi terjadi
lahan bero
Ucapan Terimakasih
Makalah ini adalah bagian dari penelitian besar
PUSNAS 2016-2017, oleh karena itu diucapkan banyak terimakasih kepada Direktorat
Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kemenristek atas
dana hibah penelitian PUSNAS 2016-2017.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Ieke Wulan, Sugeng Prijono, Soemarno.
2013. Evaluasi Ketersediaan Air Tanah
Lahan Kering di Kecamatan Unter Iwes,
Sumbawa Besar. J-PAL, Vol. 4, No. 1,
2013 ISSN: 2087-3522, E-ISSN:
2338-1671
Aqil. M, Firmansyah.I.U dan Akil, M. (2008).
Pengelolaan Air Tanaman Jagung. Balai
Penelitian Tanaman Serealia. Maros
BAPPEDA. 2015. Kabupaten Boyolali Dalam
Angka 2015. BPS dan Bappeda Kab.
Boyolali.
Kajian Ketersediaan Air Tanah untuk Penentuan Surplus-defisit Air Tanah dan Pola Tanam (Bistok H Simanjuntak, dkk)
BAPPENAS. 2010. Letter of Sector Policy
Water Resources and Irrigation Sector:
Policy, Institutions, Legal and Regulatory
Reform Program. Jakarta: Pokja
Reformasi Kebijakan Sektor Sumberdaya
Air, Bappenas.
Brook B. Fonnesbeck. 2015. Digital Soil
Mapping Using Landscape Stratification
for Arid Rangelands in the Eastern Great
Basin, Central Utah. Thesis. All Graduate
Theses and Dissertations. Paper 4525.
Utah State University. http://
digitalcommons.usu.edu/etd
Grant, R.F., P. Rochette, R.L. Desjardins. 1993.
Energy Exchange and Water Use
Efficiency of Field Crops: Validation of a
Simulation Model.Agron. J., 85:916 – 928.
Handoko, 1996. Analisis Sistem dan Model
Simulasi Komputer untuk Perencanaan
Pertanian di Indonesia. Jurusan Geofisika
dan Meteorologi. FMIPA. IPB. Bogor.
Hilell. 1972. The Field Water Balanced And
Water Use Efesiensi. In: D Hillel (Ed)
Optimizing The Soil Physical Enviroment
Toward Greater Crop Yields. Academic
Press. New York.
Doorenbos, J., W.O. Pruitt. 1977. Guidelines
for Predicting Crop Water Requirements.
FAO of United Nation. Rome
Jackson, IJ. 1977. Climate, Water an
Agriculture in The Tropics. Longman,
London and New York.
Douglas A. Miller and Brian Bills. 2011. Java
Newhall Simulation Model (jNSM).
CESU 68-7482-9-527 Enhanced
Newhall Simulation Model Project.
Center for Environment Information.
Pennstate University USA.
Jenifa Latha, C., Saravanan,S. Palanichamy,K.
2010. A Semi – Distributed Water
Balance Model For Amaravathi River
Basin Using Remote Sensing And GIS.
International Journal Of Geomatics And
Geosciences Volume 1, No 2. ISSN
0976 – 4380.
Djufry Fadjry. 2012. Pemodelan Neraca Air
Tanah Untuk Pendugaan Surplus Dan
Defisit Air Untuk Pertumbuhan Tanaman
Pangan Di Kabupaten Merauke, Papua.
Informatika Pertanian, Vol. 21 No.1,
Agustus 2012: 1 - 9.
Eko Sulistyono, Suwarto, Yulianti Ramdiani.
2005. Defisit Evapotranspirasi sebagai
Indikator Kekurangan Air pada Padi
Gogo (Oryza sativa L.). Buletin
Agronomi (33) (1), p.6 – 11.
Suprayogo D, 2000. Testing the safety-net
hypothesis in hedgerow intercropping:
waterbalance and mineral-N leaching in
the humid tropics. PhD. Thesis. Imperial
College of Science, Technology and
Medicine, University of London.
123
PROSIDING KONSER KARYA ILMIAH Vol.2, Agustus 2016 | ISSN: 2460-5506
124
Download