Parsa merupakan nama bagi penduduk nomadik Indo-Eropa yang bermigrasi ke suatu wilayah yang berada di bagian selatan Iran kira-kira pada tahun 1000 SM. Sejarah masa lalu Iran dapat dibagi ke dalam tiga fase: (1) periode prasejarah, dimulai dengan bukti-bukti paling awal adanya manusia yang menghuni dataran tinggi Iran (kira-kira 100.000 SM), (2) priode protosejarah, dimulai sejak paruh pertama milenium pertama SM, dan (3) periode dinasti Achaeminiyah (abad ke-6 sampai ke-4 SM), ketika Iran sepenuhnya memasuki sejarah tertulis. Untuk mengetahui lebih jauh masa-masa kekuasaam dinasti Achaeminiyah, seseorang harus mempelajari sumber-sumber lain, misalnya tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Mesopotamia, Elam, dan Iran. A. Peradaban Elam Kekuatan peradaban Elam didasarkan pada kemampuannya untuk mengatasi perbedaan wilayah di bawah koordinasi pemerintahan yang memberikan peluang terjadinya tukar-menukar sumber daya alam ke masing-masing wilayah. Secara tradisional hal ini dilakukan melalui struktur pemeritahan yang bersifat federal. Bentuk pemerintahan di Elam adalah adanya sistem pewarisan dan distribusi kekuasaan. Sejarah Elam dapat dibagi ke dalam diga fase utama: periode kuno, pertengahan, dan periode baru. Dalam semua periode, Elam memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan peradaban Sumeria, Babilonia, dan Assyria, baik dalam bentuk perdagangan dan terutama dalam peperangan. Dalam sikap yang sama, Elam juga sering terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di dataran tinggi Iran. Keduanya terlibat karena kepentingan untuk memadukan semua peradaban yang ada di dataran rendah dalam rangka menguasai penduduka yang suka perang dan untuk menguasai sumer-sumber ekonomi di wilayah itu. B. Peradaban Median Secara tradisioal, pendiri dari kerajaan Median adalah Deioces, yang menurut Herodotus, memerintah dari tahun 728-675 SM, dan menjadikan kota Ecbatana (sekarang Hamadan) sebagai ibukota kerajaan. Persatuan dan pengorganisasin kembali bangsa Median merupakan tantangan bagi Assyria. Mereka menyerang salah satu kota perbatasan penting Assyria, Arrapkha dan mengepung kota Niniveh, tetapi tidak berhasil menaklukkannya, dan berhasil memporak-porandakan pusat keagamaan Assyria, yaitu kota Ashur. Pasukan Babilonia dan Median kembali bersama-sama melakukan penyerangan terhadap tentara Assyria yang melarikan diri ke bagian barat, yaitu ke wilayah Syria. Daari perang yang terjadi, Babilonia memperoleh peninggalan Asyyria yang ada di wilayah bulan sabit yang subur (fertile crescent), sementara Median mendapatkan seluruh wilayah di dataran tinggi. Pemerintahan Median berhasil menguasai wilayah- wilayah di bagian timur Anatolia yang merupakan bagian dari kekuasaan Uratu. Akhirnya, kerajaan Median terlibat dalam peperangan dengan kerajaan Lydia, penguasa politik yang berkuasa di Asia Kecil bagian barat. Pada tahun 585 SM, kemungkinan melalui mediasi yang dilakukan oleh Babilonia, tercipta perdamaian antara Median dan Lydia, dan menjadikan Sungai Halys (Kizil) sebagai garis perbatasan antara dua kerajaan tersebut. C. Kebangkitan Persia di bawah Cyrus II Dinasti penguasa Persia berpusat di Fars, wilayah bagian selatan Iran.. Secara tradisional, ada tiga orang penguasa antara Achaemenes dan Cyrus II, yaitu: Teispes, Cyrus I, dan Cambyses I. Teispes, yang membebaskan diri dari dominasi Median pada masa yang disebut sebagai masa peralihan pemerintahan Scythian, berpikir untuk memperluas wilayah kekuasaannya dan membagi wilayah kerajaan pada saat menjelang kematiannya kepada kedua orang anaknya, yaitu Cyrus I dan Ariaramnes. Cyrus I menjadi raja Persia, yang dalam catatan Ashurbanipal, telah bersumpah untuk melakukan aliansi dengan Assyria setelah kehancuran Elam dalam penyerangan yang terjadi antara tahun 642-639 SM. Ketika Median menguasai Persia dan diperkirakan berada di bawah kekuasaan Cyaxares, Cambyses I berpikir untuk menyatukan Persia sebagau Vassal kerajaan Median. Anaknya, Cyrus II, menikah dengan anak perempuan raja Astyages, dan pada tahun 550 mewarisi kedudukan ayahnya dalam konfederasi Median.Cyrus II kemudian melakukan serangkaian ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Sedikit yang dikenal dari pemerintahan Cyrus II. Tindakan cepat yang dilakukan anaknya sekaligus penggantinya, Cambyses II, dengan melakukan penyerangan yang berhasil ke Mesir, menegaskan bahwa keberhasilan tersebut tidak lepas dari persiapan yang telah dilakukan dengan baik pada masa Cyrus II. D. Hellenistic dan Parthia (330 BC–226 SM) Dinasti Achaeminiyah pada dasarnya tidak pernah mengatur penaklukan terhadap Yunani, tetapi diakui bahwa ia kadang-kadang mendukung salah satu negara Yunani dalam suatu peperangan. Kelemahan Kerajaan Achaeminiyah pernah diberitahukan kepada Yunani pada tahun 401 SM oleh salah seorang pangeran yang memberontak, yaitu Cyrus the Younger. Ia kemudian memperoleh bantuan ribuan prajurit Yunani untuk dapat berkuasa. Pasukan ini, yang dikenal dengan pasukan sepuluh ribu, melakukan parade di jalan-jalan utama kota Persia dan kemudian kembali ke Yunani. Philip II dari Macedonia berusaha untuk menyatukan Yunani dan negaranegara Balkan di bawah kekuasaannya, dan memutuskan mengambil keuntungan dari kelemahan atau kemunduran Achaeminiyah. Karena setelah kematian Artaxerxes (Artaxšaçrā) III Ochus pada tahun 338 SM, Kerajaan Persia tidak memiliki pemimpin yang kuat. Dengan kematian Philip pada tahun 336 SM, anak dan sekaligus ahli warisnya, Alexander, melanjutkan serangannya ke Persia. Ia merupakan seorang jenderal yang sangat efektif dalam sejarah. Raja Achaeminiyah, Darius III, sewaktu mudanya memang merupakan raja yang pemberani, tetapi di usianya yang telah lanjut, bukan merupakan tandingan untuk Alexander. Menghadapi angkatan perang Macedonia yang sangat profesional, kerajaan Persia mengalami kehancuran hanya dalam waktu delapan tahun. Kerajaan Achaeminiyah akhirnya berada dalam kekuasaan Alexander. Sepanjang rute penaklukkannya, Alexander banyak membangun kota-kota koloni, yang diberi nama Alexandria. Selama beberapa abad kemudian, kota-kota ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani atau dikenal dengan kebudayaan Hellenistik, termasuk di Persia. Alexander tidak meninggalkan keturunan. Kematiannya pada tahun 323 SM mengisyaratkan dimualainya periode saling berperang yang panjang di antara para jenderal Macedonia untuk menguasai wilayah kerajaan. Pertanyaan : Bagaimana sistem pemerintahan Macedonia setelah kematian Alexander, sedangkan alexander tidak memiliki keturunan?