Dampak Kebijakan Gubernur Jenderal Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia Tumbuhnya jiwa kebangsaan Indonesia pada penduduk nusantara tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Belanda yaitu Politik Etis (Etische Politiek). . Politik kolonial memasuki era Politik Etis yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander WF Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916) (Putri, 2020). Pada paruh pertama abad ke-20, banyak masalah yang dihadapi oleh para gubernur-jenderal Hindia-Belanda. Masalahnya dimulai dari penerapan politik etis. Dari situlah masalah lain pun yang sangat penting muncul, yaitu munculnya gerakan nasionalisme. Pemerintah mencoba mencegahnya dengan menerapkan undang-undang dan sangsi yang amat keras dengan alasan untuk menegakkan ketenteraman dan keteraturan (rust en orde) (Suratminto, 2016, hlm. 69).. Pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff (1926-1931) gerakan nasionalis mulai memunculkan perbedaan sini–sana (hier ’orang pribumi’ dan daar ’orang Belanda’). Pada masa itu pegawai pemerintahan (Binnenlands Bestuur) dikenal sangat galak dan ditakuti banyak orang. Bonifacius Cornelis de Jonge (1931-1936) tidak kurang kerasnya. Ia bahkan melaksanakan hal yang sangat dibenci orang banyak, bahkan oleh bangsa Belanda sendiri, yaitu pembredelan terhadap sejumlah media cetak yang mendukung pergerakan nasional. Dengan sembrononya ia mengatakan: ”Kita (bangsa Belanda) sudah berada di Hindia-Belanda selama 300 tahun, kita pasti harus bisa berada di sini 300 tahun lagi”. Kata-kata itu justru dipakai Bung Karno untuk semakin membakar semangat rakyat untuk membenci pemerintah kolonial dan menuntut kemerdekaan (Suratminto, 2016, hlm. 70). Kebijakan Trias Politika yang berdampak positif pada penduduk pribumi hanya pendidikan. Politik Etis memunculkan elit baru di kalangan masyarakat pribumi yang menyadari harga dirinya. Elit baru ini kemudian mendirikan berbagai perkumpulan seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam dan Indische Partij. Organisasi-organisasi tersebut menjadi cikal bakal pergerakan nasional dan melahirkan kebangsaan Indonesia (Putri, 2020). Kebijakan Politik Etis pemerintah Kolonial Belanda dalam mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak pribumi merupakan langkah awal dalam perjuangan pemuda di Indonesia. Meskipun sebagian besar yang diperbolehkan sekolah adalah anak-anak dari para bangsawan pribumi (elit pribumi), namun kemudian para anak bangsawan itu muncul sebagai kaum intelek yang memikirkan nasib bangsanya yang tertindas. Pada awalnya, perjuangan pemuda Indonesia dimulai dari Sekolah Menengah (STOVIA, OSVIA dan sekolah pertanian), namun kemudian mahasiswa dari sekolah tinggi pun ikut mengambil bagian. Lulusan sekolah-sekolah menengah maupun sekolah tinggi itu yang kemudian menjadi pioner dalam perjuangan bangsa Indonesia dan pergerakan emansipasi kemerdekaan (Leirissa, 1985, hlm. 29). Melihat keadaan bangsanya yang tertindas, demi kepentingan para petinggi dan negara Belanda, para elit pribumi itu kemudian memiliki gagasan dan mengajak rakyat pribumi untuk melawan pemerintahan Kolonial Belanda. Perlawanan tersebut dilatar belakangi atas hasrat ingin maju dan memperluas kesempatan menuntut pendidikan. Gagasan perlawanan atau gagasan untuk mengemansipasi diri tersebut diawali dengan pembentukan organisasi-organisasi pergerakan nasional, seperti Budi Utomo, Serikat Islam, Indische Partij yang kemudian diikuti dengan terbentuknya beberapa organisasi pergerakan nasional lainnya. Di dalam organisasi-organisasi bentukan para elit pribumi tersebut mereka kemudian menyusun siasat-siasat untuk menaikkan derajat bangsa pribumi agar tidak lagi tertindas oleh keserakahan pemerintahan Kolonial Belanda (Susilo, 2018). Lahirnya golongan terpelajar merupakan solusi terbaik bagi bangsa Indonesia. Golongan terpelajar berupaya membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai diskriminasi yang membangkitkan dilakukan kesadaran penjajah. masyarakat Golongan akan rasa terpelajar nasionalisme berupaya melalui pendidikan. Pelaksanaan pendidikan kolonial Belanda melahirkan golongan terpelajar yang berusaha meperjuangkan kemerdekaan Indonesia (Ismawati, Handayani, & Sumardi, 2017, hlm. 285) Tahun 1922, kondisi politik ekonomi dan sosial mayarakat Indonesia sangat mengkhawatirkan, sehingga Suwardi mengikuti kongres All Indie dengan maksud agar bangsa Indonesia dapat memperoleh pemerintahan sendiri. Suwardi Suryaningrat memberi gambaran mengenai kondisi masyarakat yang menderita akibat peraturan pemerintah kolonial yang kejam dan sewenang-wenang (Soeratman, 1986, hlm.71). Golongan terpelajar beranggapan perlu menyusun kekuatan rakyat untuk mengambil alih kekuasaan politik. Golongan terpelajar mengambil keputusan bahwa organisasi pergerakan nasional harus menuju kearah Indonesia merdeka. Perubahan ekonomi dan politik yang dipengaruhi sistem kolonial dan modernisasi menimbulkan perkembangan dalam masyarakat Indonesia. Kedudukan sosial dan nilai-nilai yang mengarahkan perbedaan tindakan dalam perubahan tersebut. Elite lama seperti ulama, bangsawan, elite aristokrasi merasa terancam kedudukan dan kepentingannya. Fungsi mereka semakin berkurang meskipun kedudukan mereka tetap tinggi dikalangan masyarakat Indonesia (Kartodirjo, 1999, hlm. 87). Fungsi birokrasi hanya sebagai perantara penguasa asing dengan rakyat. Perubahan politik serta nilai-nilainya menjadikan birokrasi tidak lagi berfungsi sebagai pusat kegiatan dan kebudayaan. Keterikatan pada tingkat birokrasi sudah tidak ada lagi. Golongan elite profesional memperoleh status sosial dengan gaya priyayi. Kemajuan mulai tersebar dengan tumbuhnya kesadaran nasional bangsa Indonesia. Kemajuan tersebut akan dapat tercapai melalui pendidikan. Perkembangan masyarakat Indonesia terus mengalami peningkatan karena pendidikan. Pertumbuhan nasionalisme manjadikan organisasi mennjadi alat untuk melawan penjajahan kolonial. Pembentukan organisasi-organisasi pergerakan di dorong oleh pertentangan kepentingan sosial dengan kaum penjajah. Pergerakan nasional dipandang sebagai suatu proses nasional yang ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi pergerakan. Golongan terpelajar mendirikan organisasi pergerakan nasional untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar terbebas dari tangan penjajah. Organisasi pergerakan dibawah naungan golongan terpelajar mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari pergerakan nasional menuju masyarakat yang merdeka. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa pendidikan berfungsi sebagai pembentuk kesadaran nasional (Ismawati, Handayani, & Sumardi, 2017, hlm. 290). Daftar Pustaka Ismawati, N. D., Handayani, S., & Sumardi. (2017).The Intelectual's Constribution In The National Movement Of In Indonesian 1908-1928. Jurnal Historica, 1 (2), ISSN: 2252-4673. Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Leirissa, R.Z. (1985). Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950. Jakarta: Akademika Pressindo. Putri, S. A. (2020). Politik Etis: Kebijakan, Penyimpangan dan Dampak. [Online]. Diakses dari: https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/06/183000769/politik-etis--ke ijakan-penyimpangan-dan-dampak?page=all. Soeratman, D. 1986. Ki Hajar Dewantara. Jakarta:Depdikbud. Suratminto, L. (2016). Belajar Sejarah Kolonial Melalui Pemeran Koleksi Lukisan Jadoel. [Online]. diakses dari: http://paradigma.ui.ac.id/index.php/paradigma/article/download/5/pdf. Susilo, A. (2018). Politik Etis dan Pengaruhnya Bagi Lahirnya PergerakaN Bangsa Indonesia. Jurnal HISTORIA, 6 (2), ISSN: 2337-4713. Doi: 10.24127/hj.v6i2.1531.