BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Jamur merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler (umumnya berbentuk benang disebut hifa, hifa bercabang-cabang membentuk bangunan seperti anyaman disebut miselium, dinding sel mengandung kitin, eukariotik, tidak berklorofil. Jamur hidup secara heterotrof dengan jalan saprofit (menguraikan sampah organik), parasit (merugikan organisme lain), dan simbiosis. Berdasarkan kingdongnya, fungi (jamur) dibedakan menjadi lima divisi yaitu, Zigomycotina (kelas Zygomycetes), Ascomycotina, Basidiomycotina, dan Deuteromycotina. Sedangkan Obat antijamur adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh jamur (Anonim, 2007). Penyakit yang disebabkan oleh jamur biasanya akan tumbuh pada daerah-daerah lembab pada bagian tubuh kita, diantaranya seperti pada bagian ketiak, lipatan daun telinga, jari tangan dan kaki dan juga bagian lainnya. Penyakit kulit karena jamur bisa menular karena kontak kulit secara langsung dengan penderitanya.Gejala dari penyakit ini adalah warna kulit yang kemerahan, bersisik dan adanya penebalan kulit. Dan yang jelas akan disertai dengan rasa gatal pada kulit yang sudah terifeksi jamur tersebut. Infeksi karena jamur disebut mikosis, umumnya bersifat kronis.Mikosis ringan menyerang permukaan kulit (mikosis kutan), tetapi dapat juga menembud kulit sehingga menimbulkan mikosis subkutan. Secara klinik, infeksi jamur dapat digolongkan menurut lokasi infeksinya, yaitu: 1. Mikosis sistemik. 2. Dermatofit. 3. Mikosis mukokutan (Munaf, 2004). B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan obat antijamur? 2. Apa saja yang termasuk dalam infeksi jamur sistemik berdasarkan penyebabnya? 1 3. Apa saja macam-macam golongan antijamur untuk infeksi sistemik? 4. Apa saja yang termasuk dalam golongan antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan (topikal)? 5. Menjelaskan pemilihan preparat infeksi antijamur? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui apa itu obat anti jamur 2. Untuk mengetahui macam-macam infeksi jamur sistemik bedasarkan peenyebabnya. 3. Untuk mengetahui macam-macam golongan antijamur untuk infeksi sistemik 4. Untuk mengetahui Apa saja yang termasuk dalam golongan antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan (topikal)? 5. Untuk mengetahui pemilahan preparat infeksi antijamur 2 BAB II PEMBAHASAN Dari segi terapeutik infeksi jamur pada manusia dapat dibedakan atas infeksi sistematik,dermatofit dan mukokutan.infeksi sistematik dapat lagi dibagi atas: 1. infeksi internal Seperti aspergilosis, blastomikosis, koksidiodomikosis, kriptokokosis, histoplasmosis, mukromikosis, parakoksidiodomikosis, dan kandidiasis 2. infeksi subkutan Misalnya Kromomikosis, misetoma dan sporotrikosis. infeksi dermatofit disebabkan oleh trichophyton, Epidermophyton dan mikrosporum yag menyerang kulit, rambut dan kuku.infeksi mukokutan disebabkan oleh kandida menyerang mukosa dan daerah lipatan kulit yang lembab.kandidiasis mukokutan dalam keadaan kronis umumnya mengenai mukosa kulit dan kuku. Dasar farmokologis dari pengobatan infeksi jamur belum sepenuhnya dimengerti.secara umum infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur sistematik dan infeksi jamur topikal(deramotif dan mukokutan).dalam pengobatan beberapa anti jamur(inidazol,triazol,dan antibiotik polien)dapat digunakan untuk kedua infeksi tersebut.ada infeksi jamur topikal yang dapat diobati secara sistematik ataupun topikal A. Obat Anti Jamur Obat-obat antijamur juga disebut obat-obat antimikotik, dipakai untuk mengobati dua jenis infeksi jamur, yaitu infeksi jamur superficial pada kulit atau selaput lender dan infeksi jamur sistemik pada paru-paru atau system saraf pusat.Infeksi jamur dapat ringan, seperti pada tinea pedis (athlete’s foot), atau berat, seperti pada paru-paru atau meningitis. Jamur, seperti Candidia spp. (ragi), merupakan bagian dari flora normal pada mulut, kulit, usus halus, dan vagina (Kee and Hayes,1993). 3 B. Infeksi Jamur Sistemik Infeksi jamur sistemik berdasarkan penyebabnya serta obatnya antara lain (Rosfanti, 2009) : 1. Arpergilosis Aspergilosis paru sering terjadi pada penderita penyakit imunosepresi yang berat dan tidak memberi respon memuaskan terhadap pengobatan dengan obat jamur. Obat pilihan untuk penyakit ini adalah Amfoterisin B secara intravena dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg BB setiap hari. 2. Blastomikosis Obat jamur terpilih untuk Blastomikosis adalah Ketokonazol per oral 400 mg sehari selama 6-12 bulan.Itrakonazol dengan dosis 200-400 mg sehari juga efektif pada beberapa kasus.Amfoterisin B sebagai cadangan untuk penderita yang tidak dapat menerima Ketokonazol. 3. Kandidiasis Pengobatan menggunakan Amfoterisin B. Flusitosin diberikan bersama Amfoterisin B untuk meningitis, endoftalmitis, arthritis, dan kandidia.Disamping penyebarannya yang lebih baik ke jaringan sakit, Flusitosin diduga bekerja aditif dengan Amfoterisin B sehingga dosis Amfoterisin B dapat dikurangi. 4. Koksidioidomikosis Adanya kavitis (ruang berongga) tunggal di paru atau adanya infiltrasi fibrokavvitis yang tidak responsif terhadap kemoterapi merupakan cirri khas penyakit kronis Koksidioidomikosis.Penyakit ini dapat diobati dengan Amfoterisin B secara intravena, Ketokonazol, dan Itrakonazol. 5. Kriptokokosis Obat terpilih untuk penyakit ini adalah Amfoterisin B dengan dosis 0,4-0,5 mg/kg BB perhari secara intravena. Penambahan Flusitosin dapat mengurangi pemakaian Amfoterisin B (0,3 mg/kg BB). Flukonazol bermanfaat untuk terapi supresi pada penderita AIDS. 4 6. Histoplasmosis Penderita histoplasmosis paru kronis sebagian besar dapat diobati dengan Ketokonazol 400 mg/hari selamaa 6-12 bulan.Itrakonazol 200-400 mg sekali sehari juga cukup efektif.Amfoterisin B secara intravena juga dapat diberikan selama 10 minggu. 7. Mukomikosis Amfoterisin B merupakan obat pilihan untuk mukornikosis paru kronis. 8. Parakoksidioimikosis Ketokonazol 400 mg/hari merupakan obat pilihan yang diberikan selama 6-12 bulan.Pada keadaan yang berat diberikan terapi awal Amfoterisin B. 9. Sporotrikosis Obat terpilih untuk keadaan ini adalah pemberian oral larutan jenuh Kalium Iodida (1 g/ml) dengan dosis 3 sampai 40 tetes sehari yang dicapuur dengan sedikit air.Obat Sporotrikosis yang menyerang paru, tulang. C. Anti jamur Untuk Infeksi Sistemik Antijamur untuk infeksi sistemik dibedakan menjadi beberapa golongan, antaralain golongan imidazol, amfoterisin B, flusitosin, kaspofungin, terbinafen, dan kalium iodida. 1. Golongan Imidazol Imidiazol merupakan obat antijamur spectrum luas dan resistensinya jarang timbul.Imidiazol tidak diabsorpsi dengan baik secara oral, kecuali ketokonazol (Neal, 2005).Yang termasuk dalam golongan ini adalah mikonazol, klotrimazol, ketokonazol, flukonazol, itrakonazol, triazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, dan bifonazol.Sifat dan penggunaan golongan ini praktis tidak berbeda (Munaf, 2004). Mekanisme kerja obat dalam golongan ini belum semuanya diketahui. Obat jenis ini bekerja dengan memblok biosintetis lipid yang dibutuhkan oleh jamur, khususnya ergosterol dalam membrane sel jamur, dan mungkin juga dengan mekanisme tambahan lain (mengganggu 5 sistesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel jamur yang menimbulkan kerusakan) (Munaf, 2004). Ketokonazol Ketokonazol merupakan suatu antijamur sintetik yang memiliki rumus bangun mirip dengan mikonazol dan kotrimazol.Mekanisme kerja obat ini adalah dengan masuk ke dalam sel jamur dan menimbulkan kerusakan pada dinding sel. Mungkin juga terjadi gangguan sintetis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel yang merusak jamur (Munaf, 2004). a. Farmakokinatik Ketokonazol merupakan antijamur pertama yang diberikan peroral. Ketokonazol diabsorpsi dengan baik melalui oral yang menghasilkan kadar yang cukup untuk menekan pertumbuhan berbagai jamur. Absorpsi obat ini akan menurun pada pH cairan lambung yang tinggi. Setelah pemberian oral, obat ini akan ditemukan dalam urine, kelenjar lemak, air ludah, kulit yang mengalami infeksi, tendon, dan cairan synovial (Munaf, 2004). b. Farakodinamik Ketokonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun nonsistemik yang efektif terhadap Candidia, Coccsidioides immitis, Cryptococcus neoformans, H. capsulatum, B. dermatitidis, Aspergillus, dan Sporotrix spp. Flukonazol Flukonazol merupakan derivate triazol, antijamur yang poten, yang bekerja spesifik menghambat pembentukan sterol pada membrane sel jamur.Flukonazol bekerja dengan spesifitas yang tinggi pada enzim-enzim “cytochrome P-450 dependent” (Munaf, 2004). a. Farmakokinetik Flukonazol diserap baik melalui saluran cerna, dan kadarnya dalam plasma, setelah pemberian IV, diperoleh dari 90% kadar plasma. Absorpsi per oral tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Kadar puncak dalam plasma diperoleh ½ jam sampai 1½ 6 jam setelah pemberian dengan waktu paruh 30 jam. Kadar menetap dalam plasma dengan dosis harian diperoleh pada hari ke-4 sampai ke-5 yang kira-kira 80% dari kadar plasma (Munaf, 2004). b. Farmakodinamik Obat ini menghambat sintesis ergosterol dengan bekerja pada lanosteroldemetilase dan gangguan terhadap transport zat-zat karena kumulasi pada membra sitoplasma. Flukonazol aktif terhadap mikosis yang umumm disebabkan oleh Cryptococcus neoformans, infeksi jamur intracranial, mikrosporum, dan trikhofiton (Schmitz dkk, 2009). Itrakonazole Asal dan kimia Anti jamur sistemik turunan triazole ini erat hubungan nya dengan ketokonazole.Obat ini dapat diberikan per oral dan IV. efek samping Aktivitas anti jamurnya lebih lebar sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan ketokonazole. indikasi Itrakonazole tersedia dalam kapsule 100 mg, dosis yang disarankan 200 mg sekali sehari.Itrakonazole juga tersedia dalam suspensi 10 mg/ml dalam larutan IV 10 mg/ml dengan bioavailabilitas yang lebih baik. 10-15 % pasien mengeluh mual atau muntah namun pengobatan tidak perlu dihentikan. Kemerahan, pruritus, lesu, pusing, odema kaki, parestesia, dan kehilangan libido. Itrakonazole untuk mikosis dalam diberikan dengan dosis 2 x 200 mg sehari yang diberikan bersama dengan makanan. Untuk onikomikosis diberikan 1x 2oo mg sehari selama 12 minggu, atau dengan terapi berkala yakni 2x 200 mg sehari selama 1 minggu, diikuti 3 minggu periode bebas obat setiap bulannya. Lama pengobatannya biasanya 3 bulan. Infus diberikan dalam 1 jam. 7 2. Amfoterisin B Amfoterisin B dihasilkan oleh Sterptomyces nodosus.Untuk infeksi jamur sistemik, amfoterisin B diberikan melalui infuse secara perlahan-lahan. Amfoterisin B berikatan dengan Beta-lipoprotein plasma dan disimpan dalam jaringan depot, serta sukar berpenetrasi ke dalam SSP. Untuk meningitis jamur diperlukan pemberian secara intratekal.Pengembalian obat dari depot ke sirkulasi berlangsung lambat.Sebagian kecil diekskresi melalui urine atau empedu dalam waktu >1 minggu.Obat ini umumnya didegradasikan secara lokal di jaringan depot (Munaf, 2004). Obat ini bekerja dengan berikatan dengan membran sel jamur atau ragi yang sensitive.Integrasi dengan sterol-sterol membran sel jamur lebih permiabel terhadap molekul-molekul yang kecil.Amfoterisin B mempunyai aktivitas fungisid dan fungistatik terhadap sel-sel jamur yang sedang tumbuh dan yang tidak (Munaf, 2004). Amfoterisin B diberikan secara infus intravena secara perlahan selama 4-6 jam. Pada meningitis jamur, obat ini diberikan secara suntikan intratekal 0,5 mg 3x seminggu untuk 10 minggu atau lebih. Obat ini juga sering dikombinasikan dengan flusitosin untuk penghambatan meningitis oleh kandida, kriptokokus, dan kandidiasis sistemik. Pemberian kombinasi ini akan memperlambat timbulnya resistensi dan memungkinkan penggunaan dosis amfoterisin B yang lebih kecil (Munaf, 2004). Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi jamur seperti: a. Koksidiodomikosis b. Parakoksidioidomikosi c. Aspergilosis d. Kromoblastomikosis e. Kandidiosis f. Maduromikosis(misetoma) g. Mukormikosis (fikomikosis) 8 1) Indikasi • Untuk pengobatan infeksi jamur seperti koksidioidomikosis, parakoksidoidomikosis, aspergilosis, kromoblastomikosis dan kandidosis. • Amfoterisin B merupakan obat terpilih untuk blastomikosis. • Amfoterisin B secara topikal efektif terhadap keratitis mikotik. • Mungkin efektif thdp maduromikosis (misetoma) & mukomikosis (fikomikosis) • Secara topikal efektif thdp keratitis mikotik • Penderita dg terapi amfoterisin B hrs dirawat di RS, utkpengamatan ketat ES 2) Kontra Indikasi a. Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif / alergi b. Gangguan fungsi ginjal c. Ibu hamil dan menyusui d. Pada pasien yang mengonsumsi obat antineoplastik Infus amfoterisin B seringkali meninbulkan beberapa efek samping seperti kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, hipotensi, lesu, anoreksia, nyeri otot, flebitis, kejang dan penurunan fungsi ginjal. 50% pasien yang mendapat dosis awal secara iv akan mengalami demam dan menggigil. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada penyuntikan amfoterisin B tapi akan berkurang pada pemberian berikutnya. Reaksi ini dapat ditekan dengan memberikan hidrokortison 25-50 mg dan dengan antipiretik serta antihistamin sebelumnya. Flebitis dapat dikurangi dengan menambahkan heparin 1000 unit kedalam infuse. 3) Farmakodinamik Amfoterisin B bekerja dengan berikatan kuat dengan ergosterol (sterol dominan pada fungi) yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel bocor dan membentuk pori-pori yang menyebabkan bahan-bahan esensial dari 9 sel-sel jamur merembas keluar sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel. Efek lain pada membran sel jamur yaitu dapat menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel jamur. 4) Farmakokinetik Amfoterisin sedikit sekali diserap melalui saluran cerna. Suntikan yang dimulai dengan dosis 1,5 mg/hari lalu ditingkatkan secara bertahap sampai dosis 0,4-0,6 mg/kgBB/hari akan memberikan kadar puncak antara 0,5-2 µg/mL pada kadar mantap. Waktu paruh obat ini kira-kira 24-48 jam pada dosis awal yang diikuti oleh eliminasifase kedua dengan waktu paruh kira-kira 15 hari sehingga kadar mantapnya baru akan tercapai setelah beberapa bulan pemakaian. Obat ini didistribusikan luas ke seluruh jaringan.Kira-kira 95% obat beredar dalam plasma, terikat pada lipoprotein. Kadar amfoterisin B dalam cairan pleura, peritoneal, sinovial dan akuosa yang mengalami peradangan hanya kira-kira2/3 dari kadar terendah dalam plasma. Amfoterisin b juga dapat menembus sawar uri, sebagian kecil mencapai CSS, humor vitreus dan cairan amnion. Ekskresi melalui ginjal sangat lambat, hanya 3% dari jumlah yang diberikan selam 24 jam sebelumnya ditemukan dalam urine. 5) Dosis Infeksi jamur sistemik (melalui injeksi intravena). Dosis awal 1 mg selama 20-30 menit dilanjutkan dengan 250 mikrogram/kg perhari, dinaikan perlahan sampai 1 mg/kg perhari, pada infeksi berat dapat dinaikan sampai 1.5 mg/kg perhari. Catatan: terapi diberikan dalam waktu yang cukup lama. Jika terapi sempat terhenti lebih dari 7 hari maka dosis lanjutan diberikan mulai dari 250 mikrogram/kg perhari kemudian dinaikan secara bertahap. 10 6) Sediaan 1. Sediaan – Serbuk lofilik mgn 50 mg, dilartkan dg aquadest 10 ml lalu ditmbh ke lardextroa 5% = kadar 0,1 mg/ml 2. Lar elektrolit, asam/ mgdg pengawet tdk boleh digunakan sbg pelarut mengendapkan amfoterisin B 3. Untuk injeksi selalu dibuat baru 7) Interaksi Obat 1. Amikasin, siklosporin, Gentamisin, paromomycin, pentamidine, Streptomycin, Vancomycin : meningkatkan risiko kerusakan ginjal. 2. Dexamethasone, Furosemide, hidroklorotiazide, Hydrocortisone, Prednisolone : Meningkatkan risiko hipokalemia. 3. Digoxin : amphoterisin B meningkatkan risiko keracunan digoxin. 4. Fluconazole : melawan kerja amphoterisin B. 8) Aktivitas Obat Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dansel matang. Aktivitas anti jamur nyata pada pH 6,0-7,5: berkurang pada pH yang lebihrendah. Antibiotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung pada dosis dansensitivitas jamur yang dipengaruhi. Dengan kadar 0,3-1,0 µg/mL antibiotik ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma capsulaium, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, dan beberapa spesies Candida, Tondopsis glabrata, Paracoccidioides Rhodotorula, braziliensis, Blastomyces Beberapa spesies dermatitidis, Aspergillus, Sporotrichum schenckii, Microsporum audiouini dan spesies Trichophyton. Secara in vitrobila rifampisin atau minosiklin diberikan bersama amfoterisin B terjadi sinergisme terhadap beberapa jamur tertentu. 11 9) Mekanisme kerja Amfoterisin B berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur sehingga membran sel bocor dan kehilangan beberapa bahan intrasel dan menyebabkan kerusakan yang tetap pada sel. Salah satu penyebab efek toksik yang ditimbulkan disebabkan oleh pengikatan kolesterol pada membran sel hewan dan manusia. Resistensi terhadap amfoterisin B mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan reseptor sterol pada membran sel. 10) Efek Samping Demam, sakit kepala, mual, turun berat badan, muntah, lemas, diare, nyeri otot dan sendi, kembung, nyeri ulu hati, gangguan ginjal (termasuk hipokalemia, hipomagnesemia, kerusakan ginjal), kelainan darah, gangguan irama jantung, gangguan saraf tepi, gangguan fungsi hati, nyeri dan memar pada tempat suntikan. o Infus : kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri otot, flebitis, kejang dan penurunan faal ginjal. o 50% penderita yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami demam dan menggigil. o Flebitis (-) à menambahkan heparin 1000 unit ke dalam infus. o Asidosis tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai à pemberian kalium. o Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan bersama flusitosin. 3. Flusitosin Flusitosin adalah 5-Fluorositosin yang merupaka antijamur sistemik yang dapat diberikan per oral. Flusitosin menghambat pertumbuhan galur, seperti kandida, kriptokokus, torulopsis, dan beberapa galur aspergilosis, serta jamur lain (Munaf, 2004). 12 Obat ini bekerja karena adanya sel-sel jamur yang sensitif sehingga mengubah flusitosin menjadi fluorourasil yang dapat menghambat timidilat dan sintesis DNA. Mutan-mutan yang resisten akan berkembang secara teratur dengan cepat dan obat-obat antijamur akan menyeleksi strai-strain yang resisten ini. Hal inilah yang membatasi manfaat penggunaan obat ini.Oleh karena itu, pemberian flusitosin dikombinasikan dengan amfoterisin B untuk menghasilkan efek terapi yang lebih baik (Munaf, 2004). Ekskresi obat ini sebagian besar melalui ginjal, dan kadar dalam urine mencapai 10x kadar dalam serum. Bila terdapat kelemahan ginjal, flusitosin dapat di akumulasi dalam serum sampai mencapai kadar toksik, tetapi bila terdapat kelemahan hati tidak memberikan efek tersebut. Flusitosin dapat dikeluarkan dengan hemodialisis (Munaf, 2004). Flusitosin ternyata relatif tidak toksik untuk sel-sel mamalia. Namun, kadar serum yang tinggi dalam jangka lama dapat menimbulkan depresi sum-sum tulang belakang, rambut rontok, dan gangguan fungsi hepar. Pemberian urasil dapat mengurangi toksisitas pada jaringan hemopoetik yang bermanifestasi dengan depresi sum-sum tulang, tetapi tampaknya tidak memberikan efek pada aktivitas antijamur ini (Munaf, 2004). 4. Kaspofungin Adalah anti jamur sistematik dari suatu kelas baru yang disebut eiknokandin.dalam daerah 97% obat terikat protein dan massa paruh eliminasinya 9-11 jam.obat ini dimetabolisme secara lambat dengan cara hidrolisis dan asetilasis.eksresinya melalui urin hanya sedikit sekali. Kospofungin diindikasikan untuk indikssi jamur sebagai berikut 1. Kandidiasis invasif,termasuk kandidemia pada pasien neutropenia atau non-neutropenia 2. Kandidiasis esofagus 3. Kandidiasis orofarings 4. Aspergilosis invasif yang sudah refakter terhadap anti jamur laiinnya. 13 Obat ini pada umumnya dapat dioleransi dengan baik.efek samping yang mungkin timbul adalah demam,mual,muntah flushing,dan prutis karena lepasnya histamin.secara umum dapat dikatakan bahwa kaspofungin dapat ditoleransi lebih baik dari pada amafoterisin B.oba ini tidak boleh diberikan bersama siklosporin dan takrolimus karena konsentrasi.siklosporin dan takrolimus dalam darah dapat menurun. Untuk pasien dewasa,obat ini diberikan pada hari pertama dengan dosis tunggal 70 mg IV ,dilanjutkan dengan dosis tunggal dengan 50 mg sehari pada hari-hari berikutnya.data penyusunan dosis untuk pasien dengan insufisiensi fungsi hati yang berat(child-pugh lebih dari sembilan)belum diketahui.pengobatan umunya diberikan selama 14 hari keamanan obati ini belum diketahui pada wanita hamil dan anak berumur kurang dari 18 tahun. 5. Terbinafin Asal dan kimia terbinafin merupakan suatu derivat alilamin sintetik dengan struktur mirip naftitin.obat ini digunakan untuk terapi darmofitosis terutama onikomikosis,namun pada pengobtan kandidiasis kutaneus dan tinea versikolor,terbinafin biasanya dikombinasikan dengan golongan imidazol ataau triazol karena penggunaannya sebagi monoterapi kurang efektif. Farmakonetik Terbinafin terserap baik melalui saluran cerna, tetapi bioavailabilitasnya oralnya hanya 40% karena mengalami metabolisme lintas pertama dihati obat ini terkait dengan protein plasma lebih dari 99% yang terakumulasi dikulit,dan jaringan lemak.waktu paruh awalnya adalah sekitar 12 jam dan berkisar antara 200-400 jam bila telah mencapai kadar mantap bila obat ini masih dapat ditemukan dalam plasma hingga 4-8 minggu setelah pengobatn yang lama.terbinafin d metabolisme dihati menjadi metabolit yang tidak aktif dan dieksresikan diurine.terbinafin tidak boleh diberikan untuk pasien azotemia atau gagal hati karena dapat terjadi peningkatan kadar terbinafin yang sulit diperikirakan. 14 Aktifitas anti jamur Terbinafin mempenagruhi bersifat biosintesis kertofilik dan ergosterol,dinding fungisidal.obat sel jamur ini melalui penghambatan enzim skualen epoksidese pada jamur dan bukan melalui penghambatan enzim sitokrom P450 Efek samping Efek samping terbinafin jaraang terjadi,biasanya berupa gangguan saluran cerna.sakit kepala atau rash.hepatotoksisitas netro penia beraat,sindroma stevens johnson atau nekrolisis epidermal toksik dapat terjadi,namun sangat jarang.pad wanita hamil,penggunaan obat ini termasuk kategori B.penggunaan terbinafin pada ibu menyusui sebaiknya dihindari.hingga saat ini belum ada obt berinteraksi secara signifikan dengan terbinafin. 6. Kalium Iodida Kalium iodida adalah bentuk umum dari garam.Dikenal juga sebagai potassium iodide.Zat ini dapat melindungi kelenjar tiroid dari radiasi dan kanker yang disebabkan oleh yodium radioaktif. Dikenal secara kimia sebagai KI, ia memenuhi kelenjar itu dengan yodium nonradioaktif, mengurangi penyerapan yodium radioaktif berbahaya (Jordan, 2011). Kalium iodida adalah obat non-resep yang dapat digunakan untuk melindungi kelenjar tiroid dari paparan radiasi.Hal ini dapat berbahaya bagi orang-orang dengan alergi terhadap yodium atau kerang dan untuk mereka yang masalah tiroid, penyakit ginjal dan kelainan kulit tertentu dan penyakit kronis.Ini bisa dapat memiliki efek samping yang serius termasuk irama jantung yang tidak normal, mual, muntah, kelainan elektrolit dan perdarahan (Jordan, 2011). Iodin, umumnya jumlah yang dianjurkan per hari 150 mcg (mikrogram=0,001 mg) berguna untuk membantu kesehatan metabolisme tubuh dan mencegah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI) serta meningkatkan warna dan penyusunan rambut, meningkatkan metabolisme lemak, merangsang reaksi metal (Jordan, 2011). 15 D. Antijamur Untuk Infeksi Dermatofit dan Mukokutan (Topikal) 1. Griseofulvin Griseofulvin adalah antibiotika yang bersifat fungistatik.Secara in-vitro griseofulvin dapat menghambat pertumbuhan berbagai spesies dari Microsporum, Epidermophyton dan Trichophyton.Pada penggunaan per oral griseofulvin diabsorpsi secara lambat, dengan memperkecil ukuran partikel, absorpsi dapat ditingkatkan. Griseofulvin ditimbun di selsel terbawah dari epidermis, sehingga keratin yang baru terbentuk akan tetap dilindungi terhadap infeksi jamur (Santoso, 2009). a. Farmakokinetik Absorpsi griseofulvin sangat bergantung pada keadaan fisik obat ini dan absorpsinya dibantu oleh makanan yang banyak mengandung lemak.Senyawa dalam bentuk partikel yang lebih kecil diabsorpsi 2 kali lebih baik daripada partikel yang lebih besar (Munaf, 2004). Metabolismenya terjadi di hati.Metabolit utamanya adalah 6metilgriseofulvin dengan waktu paruh sekitar 24 jam.Jumlah yang diekskresikan melalui urine adalah 50% dari dosis oral yang diberikan dalam bentuk metabolit dan berlangsung selama 5 hari. Kulit yang sakit mempunyai afinitas lebih besar terhadap obat ini, ditimbun dalam sel pembentuk keratin, terikat kuat dengan keratin dan akan muncul bersama sel yang baru berdiferensiasi sehingga sel baru ini akan resisten terhadap serangan jamur. Keratin yang mengandung jamur akan terkelupas dan digantikan oleh se baru yang normal. Griseofulvin ini dapat ditemukan dalam sek tanduk 4-8 jam setelah pemberian oral (Munaf, 2004). b. Farmakodinamik Obat ini bekerja dengan menghambat skualenapoksidase dan obat ini memberiakn efek fungistatik. Spectrum aktivitasnya hanya efektif terhadap dermatofit, karena di sel-sel kandida tidak tercapai konsentrasi yang cukup (Schmitz dkk, 2009). 16 2. Nistatin (Mikostatin) Nistatin adalah antibiotika antifungal yang berasal dari streptomyces noursei. Aktifitas antifungalnyadiperoleh dengan cara mengikatkan diri pada sterol membrane sel jamur, sehingga permeabilitas membrane sel tersebut akan terganggu dan komponen intraseluler dapat hilang (Anonim, 2012). Nistatin merupakan obat yang termasuk kelompok obat yang disebut antijamur (antifungal).Bubuk kering, tablet hisap, dan bentuk cair dari obat ini digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada mulut (Ratnadita, 2011). a. Farmakokinetik Setelah pemberian oral, nistatin hanya sedikit diabsorpsi dari saluran cerna. Pada dosis yang dianjurkan, tidak akan terdeteksi dalam darah. Hampir seluruhnya diekskresi melalui feses dalam bentuk tidak diubah (Anonim, 2012). b. Farmakodinamik Nistatin tidak memberikan efek terhadap bakteri atau protozoa, tetapi secara in vitro menghambat banyak jamur termasuk kandida, dermatofit, dan organism yang dihasilkan oleh mikosis dalam badan manusia.Secara in vivo, kerjanya terbatas pada permukaan dengann obat yang tidak diserap dan dapat kontak langsung dengan ragi atau jamur.Secara in vivo, tidak ditemukan resistensi terhadap nistatin, tetapi dapat ditemukan galur kandida yang resisten terhadap nistatin (Munaf, 2004). Mekanisme kerjanya ialah dengan jalan berikatan dengan sterol membrane sel jamur, terutama ergosterol.Oleh karena itu, terjadi gangguan pada permeabilitas membrane se jamur dan mekanisme transpornya.Akibatnya, sel jamur kehilangan banyak kation dan makromolekul.Resistensi dapat timbul karena menurunnya jumlah sterol pada membrane sel jamaur atau terjadi perubahan sifat struktur atau sifat ikatannya (Munaf, 2004). 17 3. Haloprogin Haloprogin berkhasiat fungisid terhadap berbagai jenis Epidermofiton, Pityrosporum, Trichophyton dan Candida.Kadang-kadang terjadi sensitasi dengan timbulnya gatal-gatal, perasaan terbakar, dan iritasi kulit. Zat ini digunakan sebagai krem atau larutan 1% terhadap panu dan kutu air (Tinea pedis) dengan persentase penyembuhan lebih kurang 80%, sama dengan tolnafat (Tjan dan Rahardja, 2007). 4. Kandisidin Kandisidin merupakan suatu antibiotik polien yang diperoleh dari golongan aktinomisetes. Kandisidin hanya digunakan untuk pemakain topical pada kandidiasis vaginalis 0,06% yang dilengkapi dengan aplikatornya. Dosisnya adalah 2x sehari 1 tablet atau 2x sehari dioleskan di vagina.Efek sampingnya dapat berupa iritasi vulva atau vagina, dan jarang timbul efek samping yang serius (Munaf, 2004). 5. Salep Whitfield Salep Whitfield adalah campuran asam salisilat dengan asam benzoate dengan perbandingan 1:2 (biasanya 6% dan 12%).Asam salisilat bersifat keratolitik dan asam benzoate bersifat fungistatik.Karena asam benzoate hanya bersifat fungistatik, penyembuhan dapat tercapai setelah lapisan kulit terkelupas seluruhnya sehingga penggunaan obat ini memerlukan waktu beberapa minggu sampai bulanan.Salep ini banyak digunakan untuk Tinea pedis dan kadang-kadang juga untuk tinea kapitis.Efek sampingnya dapat berupa iritasi ringa lokal pada tempat pemakaian (Munaf, 2004). 6. Natamisin Natasimin merupakan antijamur antibiotic polien yang aktif terhadap banyak jamur.Pemakaian pada mata jarang menimbulkan iritasi maka digunakan untuk keratitis jamur.Natasimin merupakan obat terpilih untuk infeksi Fusarium solani, tetapi daya oenetrasinya ke ornea kurang memadai.Natasimin juga efektif untuk kandidiasis oral dan vagina.Sediaan tersedia dalam suspensei 5% dan salep 1% untuk pemakaian pada mata (Munaf, 2004). 18 E. Pemilihan Preparat Infaksi jamur yang paling sering dijumpai adalah infeksi nonsistemik.dermatofitosis dapat diatasi dengan obat bebas(dapat dibeli tanpa resep dokter).obat topikal dengan efektivitas sedang yang digunakan untuk kelainan ini adalah haloprogin.infeksi yang lebih berat dapat diatasi dengan golongan inidazol. Lesi hiperkeratosis pada kuku dan telapak memerlukan kombinasi antijamur topikal yang poten dengan zat karatoltik.infeksi berat pada kepala,telapak dan kuku bisanya memerlukan pemberian griseofulvin selama beberapa bulan. Pemakaian kombinasi kortikosteroid dan anti jamur topikal hanya untuk jangka waktu pendek,pada infeksi hanya dengan tanda peradangan yang jelas.bila peradagan telah reda dan rsa gatal sudah berkurang maka pengobatan dapat dilanjutkan dengan menggunakan preparat antijamur saja,karena pemakaian kortikosteroid dalam waktu berbulan-bilan dapat menyebabkan atrofi kulit.indikasi yang benar untuk penggunaan kombinasi antijamur,antibakteri,kortikosteroid topikal ialah untuk infeksi jamur yang disertai infeksi bakteri dengan tanda radang yang mencolok.kombinasi di kombinasikan secara tidak benar,bila dikemukan bahwa dengan memberikan obat tersebut dokter tidak perlu lagi menetapkan diagnosis penyakit yang dihadapi,baik itu infeksi jamur,bakterial atau hanya suatu dermatitis biasa. Dewasa ini telah dipasarkan vorikonazol,suatu anti jamur untu infeksi sistematik yang spektrumnya luas,diberikan per oral dan toksisitasnya relatif rendah.data uji kompratif membuktikan bahwa vorikonazol lebih aktif terhadap Aspergillus sp daripada amforterisin B. 19 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Obat-obat antijamur juga disebut obat-obat antimikotik, dipakai untuk mengobati dua jenis infeksi jamur, yaitu infeksi jamur superficial pada kulit atau selaput lender dan infeksi jamur sistemik pada paru-paru atau system saraf pusat.Menurut indikasi klinik obat-obat anti jamur dibagi atas dua golongan, yaitu golongan antijamur untuk infeksi sistemik dan golongan antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan (topikal). Yang termasuk dalam golongan golongan antijamur untuk infeksi sistemik antaralain amfoterisin B, flusitosin, golongan imidazol, dan kalium iodida.Sedangkan yang termasuk dalam golongan antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan (topikal) adalah griseofulvin, nistatin (mikostatin), haloprogin, kandisidin, salep whitfield, natamisin, dll. B. Saran Semoga paper ini dapat menjadi bahan acuan dan referensi bagi para pembaca, khususnya mahasiswa STIKES PIALA SAKTI DIII KEBIDANAN Semoga kedepannya dapat dibuat lebih banyak informasi mengenaiobat-obat antijamur yang diperlukan oleh mahasiswa kebidanan ataupum masyarakat secara umum. 20 DAFTAR PUSTAKA Farmakologi dan terapi fk-ui edisi 5(cetak ulang 2009),jakarta,april,2007,hal 571583. Jordan sue,farmakologi kebidanan,2003,jakarta:egc,hal 318-320. 21 KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kepada ALLAH SWT. Yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami menyelesaikan makalah ini yang alhamdulilla tepat pada waktunya mengenai Anti jamur. Makalah ini berisi mengenai tentang Farmakologi atau khususnya membahas tentang Anti jamur. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh Karen aitu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga ALLAH SWT. Senantiasa meridhoi segala usaha kita. amin. Pariaman i 22 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ......................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1 C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN A. Obat Anti Jamur ...................................................................................................... 3 B. Infeksi Jamur Sistemik ............................................................................................ 4 C. Anti jamur Untuk Infeksi Sistemik ......................................................................... 5 1) Indikasi.................................................................................................................... 9 2) Kontra Indikasi........................................................................................................ 9 3) Farmakodinamik ..................................................................................................... 9 4) Farmakokinetik ..................................................................................................... 10 5) Dosis ..................................................................................................................... 10 6) Sediaan .................................................................................................................. 11 7) Interaksi Obat ........................................................................................................ 11 8) Aktivitas Obat ....................................................................................................... 11 9) Mekanisme kerja ................................................................................................... 12 10) Efek Samping .................................................................................................... 12 D. Antijamur Untuk Infeksi Dermatofit dan Mukokutan (Topikal) .......................... 16 E. Pemilihan Preparat ................................................................................................ 19 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................................... 20 B. Saran ..................................................................................................................... 20 DAFTAR PUSTAKA ii 23