MAKALAH FARMAKOLOGI ANTIFUNGI Dosen Pengampu: Poppy Indrianti.S.Si.M.Farm DISUSUN OLEH: - Aggis Dirga Rusmana 1801002 - Agnes Meliana Br Nababan 1801003 - Barheta Susilo Suryaningsih 1802017 - Imelliani 1802050 - Muhammad Ashlansyah 1802073 Akademi Farmasi Bhumi Husada Jakarta 2019 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hanya dengan rahmat dan karunia-Nya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Ucapan terimakasih saya kepada seluruh pihak yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing mata kuliah farmakologi Ibu Poppy Indrianti, S.Si, M.Farm. Tujuan pembuatan makalah ini adalah tak lain untuk memenuhi tugas mata kuliah farmakologi. Makalah ini membahas tentang “Antifungi”. Dalam makalah ini dijelaskan berbagai informasi mengenai senyawa obat antifungi mulai dari rumus kimia hingga farmakologi obat, kontra indikasi, efek samping, regimen dosis, dll. Dengan adanya makalah ini tentunya diharapkan dapat mempermudah kami dalam mengetahui, memahami lebih jauh mengenai farmakologi berbagai jenis obat-obatan . Demikian makalah ini dibuat, semoga dapat memberikan manfaat yang seluas-luasnya untuk media pembelajaran. Makalah ini juga tentunya masih sangat jauh dari kata sempurna. Mohon maaf atas segala kekurangan. Segala saran tentunya akan sangat saya harapkan demi sempurnanya makalah ini. Jakarta, 23 Maret 2019 Penyusun i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii BAB I ...................................................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................... 1 1.3 Tujuan ..................................................................................................................................... 2 BAB II .................................................................................................................................................... 3 2.1 GOLONGAN POLIEN ................................................................................................................. 4 2.2 GOLONGAN AZOL .................................................................................................................... 7 2.2.1 SENYAWA IMIDAZOL ................................................................................................ 8 2.2.2 DERIVAT TRIAZOL .......................................................................................................... 12 2.3 GOLONGAN ALILAMIN ......................................................................................................... 14 2.4 GOLONGAN EKINOKANDIN ................................................................................................. 16 2.5 GOLONGAN LAIN ................................................................................................................... 18 BAB III................................................................................................................................................. 22 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... xxiii ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jamur merupakan salah satu organisme yang tidak memiliki kelas tersendiri, tidak ditempatkan sebagai kelas tumbuhan maupun kelas hewani. Sebagian besar jamur adalah saprofilik yang berperan sebagai pengurai bahan organik, peragian makanan dan produksi antibiotika. Meskipun demikian, jamur juga memiliki aktivitas yang menyebabkan penyakit infeksi yang disebut mikosis. Infeksi ini relatif jarang dibandingkan infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Infeksi oleh jamur biasanya baru terjadi apabila ada kondisi yang menghambat salah satu mekanisme pertahanan. Infeksi jamur atau mikosis dapat dikelompokkan menjadi dua: a) mikosis superfisial yang terdiri dari infeksi dermatofit dengan bagian infeksi pada kulit, kuku, rambut, dan infeksi mukokutan dengan bagian infeksi pada selaput lendir. Kemudian b) mikosis sistemik yang terdapat pada jaringan dan organ yang lebih dalam. Senyawa antifungi dapat digunakan dengan metode terapi pada mikosis superfisial berupa preparat lokal (dermatologi), kadang dengan obat sistemik. Sedangkan mikosis sistemik, terapi dapat dilakukan dengan obat sistemik jangka waktu panjang. Pada makalah ini akan dibahas secara detail mengenai beberapa golongan obat yakni golongan azol, golongan alilamin, golongan polien, golongan ekinokandin, dan beberapa golongan lain seperti flusitosin dan griseofulvin. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah penggolongan obat antifungi? 2. Bagaimanakah karakteristik masing-masing obat dari berbagai golongan tersebut? Ditinjau dari : a. Rumus kimia, rumus bangun, dan sifat fisis b. Golongan kelas terapi c. Aktivitas anti jamur d. Regimen dosis pemberian untuk pasien (dalam mg, mg/kg Berat badan, mg/luas permukaan tubuh atau satuan lainnya) 1 e. Kontra indikasi, efek samping, interaksi obat, mekanisme kerja obat, dan farmakokinetik obat. f. Jenis obat atau bahan lain yang dapat menimbulkan inkompatibilitas dengan obat tersebut. g. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran. 1.3 Tujuan 1. Mengetahui penggolongan obat antifungi 2. Mengetahui karakteristik masing-masing obat dari berbagai golongan tersebut 2 BAB II PEMBAHASAN INFEKSI JAMUR Infeksi Jamur Sistemik Infeksi dalam (Internal) Contoh penyakit: Aspergilosis Blamtomikosis Koksidiodomikosis Kriptokokosis Histoplasmosis Mukormikosis Parakoksidiodomikosis Kandidiasis Infeksi Jamur Topikal Infeksi subkutan Dermatofit (Kuku, Kulit, Rambut) Mokutan Contoh penyakit: Kromomikosis Misetoma Sporotrikosis Disebabkan oleh: Disebabkan oleh: Tricophyton Candida sp. Epidermophyton Kandidiasis pada mukosa kulit dan kuku. Microsporum PENGGOLONGAN ANTIFUNGI GOL. POLIEN - AMFOTERISIN B - NISTATIN - CANDICIDIN - FILIPIN GOL. AZOL IMIDAZOL TRIAZOL Bifonazole Butoconazole Albaconazole Efinaconazole GOL. ALILAMIN THIAZOL Abafungin GOL. EKINOKANDIN - ANIDULAFUNGIN - CASPOFUNGIN - MICAFUNGIN GOL. LAIN - Benzoic Acid - Ciclopurox - Flucytosine - Haloprogin - TERBINAFIN - AMOROLFIN - BUTENAFIN 3 2.1 GOLONGAN POLIEN 1. AMFOTERISIN B a. Rumus bangun: b. NamanIUPAC:(1R,3S,5R,6R,9R,11R,15S,16R,17R,18S,19E,21E,23E,25E,27E,29E,31 E,33R,35S,36R,37S)- 33-[(3-amino- 1,3,5,6,9,11,17,37-octahydroxy- 3,6-dideoxy- β-D-mannopyranosyl)oxy]- 15,16,18-trimethyl-13-oxo- 14,39-dioxabicyclo [33.3.1] nonatriaconta- 19,21,23,25,27,29,31-heptaene- 36-carboxylic acid. c. Rumus kimia: C47H73NO17 d. Sifat fisika dan kimia: Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi Streptomyces nodosus. Sembilan puluh delapan persen campuran ini terdiri amfoterisin B yang mempunyai aktivitas antijamur. Kristal seperti jarum atau prisma berwarna kuning jingga, tidak berbau dan tidak berasa ini merupakan antibiotik polien yang bersifat basa amfoter lemah, tidak larut dalam air, tidak stabil, tidak tahan suhu diatas 370C tetapi dapat bertahan sampai berminggu-minggu pada suhu 40C. e. Golongan kelas terapi: Antijamur golongan polien f. Aktivitas antijamur: Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sedang matang. Aktivitas antijamur nyata pada pH 6,0-7,5. Menghambat aktivitas Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, dan beberapa spesies Candida, Torulopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces dermatitis, Paracoccidioides braziliensis, beberapa spesies Aspergillus, Sporotrichum schenckii, Microsporum audiouini dan spesies Trychophyton. g. Regimen dosis: Amfoterisin B konvensional atau Amfoterisin B deoksikolat untuk injeksi dilarutkan dalam dekstrosa 5% dengan dosis kecil pada permulaan, lalu dosis bertahap sampai pada 0,5-0,7mg/kg BB. Kemudian pada sediaan yang telah ada dipasaran berupa formulasi baru yaitu Amfoterisin B liposomal atau Amfoterisin formulasi lipid. Dosisnya sebanyak 3-4mg/kgBB /hari yang diberikan dalam bentuk infus dalam 3-4 jam. h. Indikasi: Sebagai antibiotika spektrum luas, Amfoterisin B bersifat fungisidal dapat digunakan dalam hampir semua infeksi jamur.Obat ini digunakan untuk mengobati 4 infeksi jamur berupa koksidioidomikosis,parakoksidioidomikosis, aspergilosis, kromoblastomikosis, dan kandidiosis. i. Kontraindikasi: 1) Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif, 2) Gangguan fungsi ginjal 3) Ibu menyusui 4) Pada pasien yang mengonsumsi obat antineoplastik. j. Efek samping: 1) Deman dan menggigil: Keadaan ini paling sering muncul saat pemberian pertama intravena, tapi biasanya mereda setelah pemberian ulang. 2) gangguan ginjal: Pasien dapat memperlihatkan penurunan kecepatan penyaringan glomerulus dan fungsi tubulus ginjal. Bersihan kreatinin dapat menurun dan kadar kalium serta magnesium menghilang. 3) Hipotensi: Penurunan tekanan darah seperti syok yang disertai hipokalemiadapat terjadi sehingga membutuhkan suplementasi kalium.4) Anemia: Anemia normositik dan nomokromik akibat penekanan produksi eritrosit yang reversibel dapat terjadi.5) Efek neurologik: Pemberian secara intratekal dapat memicu masalah neurologik yang serius. 6)Tromboflebitis k. Interaksi Obat: 1) Amikasin, siklosporin, Gentamisin, paromomycin, pentamidine, Streptomycin, Vancomycin : meningkatkan risiko kerusakan ginjal 2) Dexamethasone, Furosemide, hidroklorotiazide, Hydrocortisone, Prednisolone : Meningkatkan risiko hipokalemia 3) Digoxin : ampulhoterisin B meningkatkan risiko keracunan digoxin 4) Fluconazole : melawan kerja ampulhoterisin B. l. Mekanisme kerja obat: Zat Polyen mengikat ergosterol dalam membran sel jamur dan membentuk pori-pori yang menyebabkan bahan-bahan esensial dari sel jamur merembas keluar. Amfoterisin memiliki toksisitas yang selektif, karena dalam sel-sel manusia sterol utamanya adalah kolesterol dan bukannya ergosterol. Penggunaannya semakin meluas bagi penderita infeksi jamur sistemis dengan daya tahan tubuh yang lemah. m. Farmakokinetik Obat: Amfoterisin B diberikan melalui infus intravena yang lambat. Amfoterisin B deoksikolat diberikan melalui jalur intratekal yang lebih berbahaya kadang dipilih untuk menangani meningitis akibat fungi yang sensitif terhadap obat ini. Sedangkan Amfoterisin B pada formula liposomal memiliki keuntungan primer berupa pengurangan toksisitas terhadap ginjal dan infus. Amfoterisin B berikatan secara ekstensif dengan protein plasma dan didistribusikan menuju ke seluruh tubuh. Kadar obat dan metabolitnya yang rendah muncul dalam urine pada jangka waktu yang lama. Beberapa juga dieliminasi melalui empedu. 5 n. Inkompatibilitas: Disarankan untuk tidak mencampurkan amfoterisin B dengan obat lain. Kebanyakan inkompatibilitas disebabkan adanya pengendapan dari amfoterisin B yang disebabkan perubahan pH atau dikarenakan kerusakan suspense koloidalnya. Pengendapan dapat terjadi jika amfoterisin B ditambahkan pada larutan sodium klorida 0,9% atau larutan elektrolit. o. Bentuk dan kekuatan sediaan di pasaran:1) Amfoterisin B untuk injeksi tersedia dalam bentuk vial berisi 50 mg bubuk liofilik untuk membuat Amfoterisin deoksikolat. 2) Amfoterisin B formulasi dispersi koloid (ABCD), 3) Amfoterisin B formula vesikel unilamelar (Ambisome), dan 4) Amfoterisin B kompleks lipid (ABLC). 2. NISTATIN a. Rumus bangun: b. NamaIUPAC: (1S,3R,4R,7R,9R,11R,15S,16R,17R,18S,19E,21E,25E,27E,29E,31E,33R,35S,36R,37S)33-[(3-amino-3,6-dideoxy-β-L-mannopyranosyl)oxy]-1, 3,4,7,9,11,17,37-octahydroxy15,16,18-trimethyl-13-oxo-14,39dioxabicyclo[33.3.1]nonatriaconta-19, 21,25,27 ,29,31-hexaene-36-carboxylic acid. c. Rumus kimia: C47H75NO17 d. Sifat Fisika dan Kimia: Merupakan antibiotik polien yang dihasilkan dari Streptomyces noursei. Obat yang berupa bubuk berwarna kuning kemerahan ini bersifat higroskopis, berbau khas, sukar larut dalam kloroform dan eter. Larutannya mudah terurai dalam air dan plasma. Nistatin tidak digunakan sebagai obat sistemik karena bersifat lebih toksik. Nistatin juga tidak diserap melalui saluran cerna, kulit maupun vagina. e. Golongan kelas terapi: Antijamur golongan polien f. Aktivitas antijamur: Nistatin menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan ragi tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan virus. g. Regimen dosis: Dosis Nistatin dinyatakan dalam unit, tiap 1 mg obat ini mengandung tidak kurang dari 200 unit nistatin. Untuk pemakaian klinik tersedia dalam bentuk krim, 6 bubuk, salep, suspensi dan obat tetes yang mengandung 100.000 unit nistatin per gram atau per ml. Untuk pemakaian oral tersedia tablet 250.000 dan 500.000 unit. Tablet vagina mengandung 100.000 unit Nistatin. Untuk kandidiasis mulut pada dewasa diberikan dosis 500.000-1.000.000 unit, 3 atau 4 kali sehari. Obat tidak langsung ditelan tatapi ditahan dulu dalam rongga mulut. Pemakaian pada kulit disarankan 2-3 kali sehari, sedangkan pemakaian tablet vagina 1-2 kali sehari selama 14 hari. h. Indikasi: Nistatin digunakan terutama untuk infeksi kandida di kulit, selaput lendir, dan saluran cerna. Paronikia, vaginitis dan kandidiasis di mulut, esofagus dan lambung biasanya merupakan komplikasi dari penyakit darah yang ganas terutama pada pasien yang mendapat pengobatan imunosupresif. i. Kontraindikasi: penderita hipersensitif terhadap nistatin dan wanita hamil trimester pertama. j. Efek samping: Mual, muntah, diare ringan mungkin didapatkan setelah pemakaian per oral. Pemberian Nistatin pada dosis tinggi tidak menimbulkan superinfeksi. k. Interaksi obat: l. Mekanisme kerja obat: Nistatin hanya akan diikat oleh jamur atau ragi yang sensitif. Aktivitas antijamur tergantung dari adanya ikatan dengan sterol pada membran jamur atau ragi terutama ergosterol. Akibat terbentuknya ikatan antara sterol dengan antibiotik ini akan terjadi perubahan permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan berbagai molekul kecil. m. Farmakokinetik obat: Penyerapan dalam saluran pencernaan sangat kurang , kecuali dosis yang sangat tinggi diberikan . Kedua administrasi intramuskular dan intravena menyebabkan reaksi besar di injeksi atau efek samping beracun, sehingga penggunaannya tidak disarankan . Tidak diserap diterapkan pada kulit atau selaput lendir . Jumlah kecil yang dapat diserap, dan 95 persen di metabolisme dan eliminasi pada ginjal. n. Inkompatibilitas: o. Bentuk dan kekuatan sediaan di pasaran: 1) 500.000 IU /tablet, 2) 100.000 IU /ml, 3) suspensi 100.000 IU /g cream, 4) 100.000 IU / tab. vaginal 2.2 GOLONGAN AZOL Antijamur azol merupakan senyawa sintetik dengan aktivitas spektrum yang luas, yang diklasifikasi sebagai imidazol (mikonazol dan ketokonazol) atau triazol (itrakonazol dan 7 flukonazol) bergantung kepada jumlah kandungan atom nitrogennya ada 2 atau 3. Struktur kimia dan profil farmakologis ketokonazol dan itrakonazol sama, flukonazol unik karena ukuran molekulnya yang kecil dan lipofilisitasnya yang lebih kecil. Pada jamur yang tumbuh aktif, azol menghambat 14-α- demetilase, enzim yang bertanggung jawab untuk sintesis ergosterol, yang merupakan sterol utama membran sel jamur. Pada konsentrasi tinggi, azol menyebabkan K+ dan komponen lain bocor keluar dari sel jamur. 2.2.1 SENYAWA IMIDAZOL 1. KETOKONAZOL a. Rumus bangun: b. Nama IUPAC: 1-[4-(4-{[(2R,4S)-2-(2,4-Dichlorophenyl)-2-(1H-imidazol-1-ylmethyl)1,3-dioxolan-4-yl]methoxy}phenyl)piperazin-1-yl]ethan-1-one c. Rumus kimia : C26H28Cl2N4O4 d. Sifat fisika dan kimia: Ketokonazol berupa serbuk putih hingga sedikit abu-abu dan praktis tidak larut dalam air. Ketokonazol mempunyai pKa 2.9 hingga 6.5. Larut dalam DMSO atau kloroform. e. Golongan kelas terapi: antifungi golongan azol f. Aktivitas antijamur: Ketokonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun nonsistemik. Efektif terhadap Candida, Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans, H. capsulatum, B. dermatitis, Aspergillus dan Sporothrix spp. g. Regimen dosis: Dewasa adalah satu kali 200-400mg sehari. Pada anak-anak diberikan 3,3-6,6 mg/kgBB/hari. Lama pengobatan: 5 hari untuk kandidiasis vulvovagnitis, 2 minggu untuk kandidiasis esofagus dan 6-12 bulan untuk mikosis dalam. h. Indikasi: Efektif untuk histoplasmosis paru, tulang, sendi, dan jaringan lemak. Efektif pula untuk kriptokokus nonmeningeal, parakoksidioidomikosis, dermatomikosis, kandidiasis ( mukokutan, vaginal, oral). i. Kontra indikasi: Penggunaan ketokonazol dengan terfenadin, astemizol atau sisaprid dikontraindikasikan karena dapat menyebabkan perpanjangan interval QT dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel jantung. 8 j. Efek samping yang sering dijumpai seperti mual dan muntah. Keadaan akan lebih ringan apabila obat ditelan bersama makanan. Sedangkan yang jarang dijumpai adalah sakit kepala, vertigo, nyeri epigastrik, fotofobia,pruritus, parestesia, gusi berdarah, erupsi kulit dan trombositopenia. Hepatotoksisitas berat pada wanita berusia lebih dari lima puluh tahun, nekrosis hati pada penggunaan jangka panjang, ginekomastia pada pasien pria dan haid tidak teratur bagi wanita. k. Interaksi obat: Pemberian ketokonazol bersama dengan obat yang menginduksi enzim mikrosom hati (rifampisin, isoniazid, fenitoin) dapat menurunkan kadar ketokonazol. Sebaliknya, ketokonazol dapat meningkatkan kadar obat yang dimetabolisme oleh enzim CYP3A4 sitokrom P450 (siklosporin, warfarin, midazolam, indinavir ). l. Mekanisme kerja Obat: Mengganggu sintesis ergosterol, diikuti peningkatan permeabilitas pada membrane sel fungi (jamur) dan kebocoran komponen sel. Mempengaruhi permeabilitas dinding sel melalui penghambatan sitokrom P450 jamur; menghambat biosintesa trigliserida dan fosfolipid jamur; menghambat beberapa enzim pada jamur yang mengakibatkan terbentuknya kadar toksik hidrogen peroksida; juga menghambat sintesis androgen. m. Farmakokinetik obat: Penyerapan melalui saluran cerna berkurang pada pasien dengan pH lambung tinggi. Setelah pemberian per oral, obat ini ditemukan dalam urin, kelenjar lemak, liur, juga pada kulit yang mengalami infeksi. Dalam plasma 84% ketokonazol berikatan dengan protein plasma terutama albumin, 15% berikatan dengan eritrosit, dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol sebagian diekskresikan bersama cairan empedu ke lumen usus dan hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan bersama urin, semuanya dalam bentuk metabolit yang tidak aktif. n. Inkompatibilitas: Pemberian bersama-sama dengan terfenadine dan astemizole. o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: Tablet 200mg, krim 2% dan shampo 2%. 3. KLOTRIMAZOL a. Rumus bangun: 9 b. Nama IUPAC: 1-[(2-Chlorophenyl)(diphenyl)methyl]-1H-imidazole c. Rumus Kimia: C22H17ClN2 d. Sifat Fisika dan Kimia: Vagina Tablet putih atau hampir putih, atau hampir putih dengan warna kekuningan, parallelepipedic, lenticular, dengan ujung bulat, dengan permukaan yang homogen dan struktur homogen. d. Golongan kelas terapi: Antijamur golongan Azol e. Aktivitas antijamur: Klotrimazol mempunyai efek antijamur dan antibakteri dengan mekanisme kerja mirip mikonazol dan secara topikal digunakan untuk pengobatan tinea pedis, kruris dan korporis yang disebabkan olehT. rubrum, T. mentagrophytes, E.floccosum dan M. canis dan untuk tinea versikolor. Juga untuk infeksi kulit dan vulvovaginitis yang disebabkan oleh C. albicans. f. Regimen dosis: oleskan salep 2-3 kali/hari, digunakan pada kondisi kulit bersih dan kering (kulit dibersihkan dulu) g. Indikasi: Dermatomikosis yang disebabkan oleh dermatofites, ragi, cendawan & jenis jamur lainnya, panu, eritrasma. h. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap klotrimazol i. Efek samping: Eritema, rasa tersengat, lepuh, kulit mengelupas, edema, gatal, urtikaria, rasa terbakar, dan iritasi pada kulit j. Interaksi Obat: klotrimasol dapat meningkatkan efek dari benzodiazepine, kalsiumchannel bloker, cisapride, siklosporin, mesoridazine, mirtazapine, nateglinide, nefazodone, pimozide. k. Mekanisme kerja obat: Menghambat pertumbuhan jamur dengan meningkatkan permeabilitas sel membran jamur. l. Farmakokinetik Obat: Ketika dioleskan clotrimazole baik ke berbagai lapisan kulit, mencapai konsentrasi terapeutik. Bila diterapkan secara topikal jumlah clotrimazole kecil diserap ke dalam darah. m. Inkompatibilitas: 10 n. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: 1) Cream 1% /5g, 2) 10g Solutio 1% /10ml, 3) 100mg / tablet vaginal, 4) 500mg / tablet vaginal 4. MIKONAZOL a. Rumus bangun: b. Nama IUPAC: (RS)-1-(2-(2,4-Dichlorobenzyloxy)-2-(2,4-dichlorophenyl)ethyl)-1Himidazole c. Rumus kimia: C18H14Cl4N2O d. Sifat Fisika dan Kimia: Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang rlatif stabil, mempunyai spektrum antijamur yang lebar terhadap jamur dermatofit. Obat ini berbentuk kristal putih, tidak berwarna dan tidak berbau, sebagian kecil larut dalam air tapi lebih larut dalam pelarut organik. e. Golongan kelas terapi: Antijamur golongan azol f. Aktivitas antijamur: Mikonazol menghambat aktifitas jamur Trycophyton, Epidermophyton, Microsporum, Candida dan Malassezia furfur. Mikonazol in vitro efektif terhadapa bakteri gram positif. g. Regimen dosis: infeksi kulit 1-2 dd salep 2% (gram nitrat) selama 3-5 minggu, infeksi kuku: 1-2 dd tingtur 2% selama 8 bulan atau lebih. Krem vaginal 2% (gyno-daktarin) malam hari selama 2 minggu. h. Indikasi: Infeksi topikal dermatofit dan jamur lain seperti kandida, tinea, dan Pityaris versicolor. Kandidiasis vagina i. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap mikonazol dan komponen lain dalam sediaan 11 j. Efek samping: : Iritasi lokal, sensitasi dan kontak dermatitis, eritema, rasa terbakar lemah. k. Interaksi Obat: : Inhibitor lemah dari CYP2C9. Obat Dimetabolisme oleh Enzim mikrosomal hepatik . Obat dimetabolisme oleh CYP2C9: mungkin meningkat konsentrasi plasma. l. Mekanisme kerja obat: Inhibisi biosintesis ergosterol, merusak membran dinding sel jamur yang selanjutnya akan meningkatkan permeabilitas, sehingga menyebabkan hilangnya nutrisi sel m. Farmakokinetik Obat: Daya absorbsi Miconazole melalui pengobatan oral kurang baik.. Miconazole sangat terikat oleh protein di dalam serum. Konsentrasi di dalam CSF tidak begitu banyak, tetapi mampu melakukan penetrasi yang baik ke dalam peritoneal dan cairan persendian. Kurang dari 1% dosis parenteral diekskresi di dalam urin dengan komposisi yang tidak berubah, namun 40% dari total dosis oral dieliminasi melalui kotoran dengan komposisi yang tidak berubah pula. Miconazole dimetabolisme oleh liver dan metabolitnya diekskresi di dalam usus dan urin. Tidak satupun dari metabolit yang dihasilkan bersifat aktif n. Inkompatibilitas: o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: 1) Cream 2%, 2) Bedak 2%, 3) Sabun Liquid, 4) 2% Cream 2 % 2.2.2 DERIVAT TRIAZOL 1. FLUKONAZOL a. Rumus bangun: b. Nama IUPAC: 2-(2,4-Difluorophenyl)-1,3-bis(1H-1,2,4-triazol-1-yl)propan-2-ol c. Rumus kimia: C13H12F2N6O 12 d. Sifat Fisika dan Kimia: Flukonazol merupakan serbuk kristal putih, dan sedikit larut dalam air dengan kelarutan 8 mg/ml pada suhu 37°C. Obat mempunyai kelarutan 25 mg/ml dalam alkohol pada temperatur kamar. Obat ini larut dalam metanol dan kloroform. Flukonazol mempunyai pKa 1.76 pada suhu 24°C dalam 0.1 M NaCl. e. Golongan kelas terapi: antijamur golongan azol f. Aktivitas antijamur: FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan efektif pada sporotrikosis (limfokutaneus dan visceral). g. Regimen dosis: Dosis kandidiasis mulut 1 dd 50-100 mg selama 1-2 minggu, candidiasis vaginal 150 mg sebagai dosis tungga. Pada candidiasis sistemis , permulaan 400 mg , lalu 1 dd 200-400mg. h. Indikasi: candidiasis mulut, kerongkongan, dan vagina i. Kontraindikasi: Penderita yang hipersensitif terhadap Fluconazole atau golongan azole lainnya. j. Efek samping: masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma Stevens Johnsons, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat. k. Interaksi Obat: Kadar plasma fenitoin dan sulfonilurea akan meningkat pada pemakaian bersama flukonazol, sebaliknya akan terjadi penurunan kadar plasma warfarin dan siklosporin. Flukonazol berguna untuk mencegah relaps meningitis yang disebabkan Cryptococcus pada pasien AIDS setelah pengobatan dengan amfoterisin B. l. Mekanisme kerja obat: Flukonazol merupakan inhibitor cytochrome P-450 sterol C-14 alpha-demethylation (biosintesis ergosterol) jamur yang sangat selektif. Pengurangan ergosterol, yang merupakan sterol utama yang terdapat di dalam membran sel-sel jamur, dan akumulasi sterol-sterol yang mengalami metilase menyebabkan terjadinya perubahan sejumlah fungsi sel yang berhubungan dengan membran. Secara in vitro flukonazol memperlihatkan aktivitas fungistatik terhadap Cryptococcus neoformans dan Candida spp. m. Farmakokinetik obat: Flukonazol larut air dan cepat diabsorpsi sesudah pemberian oral, dengan 90% bioavailabilitas, 12% terikat pada protein. Obat ini mencapai konsentrasi tinggi dalam LCS, paru dan humor aquosus, dan menjadi obat pilihan pertama untuk meningitis karena jamur. Konsentrasi fungisidanya juga meningkat dalam vagina, 13 saliva, kulit dan kuku. Obat ini diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi adanya makanan ataupun keasaman lambung. Kadar puncak 4-8 µg dicapai setelah beberapa kali pemberian 100 mg. Waktu paruh eliminasi 25 jam sedangkan ekskresi melalui ginjal melebihi 90% bersihan ginjal. n. Inkompatibilitas: o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: Flukonazol tersedia untuk pemakaian sistemik (IV) dalam formula yang mengandung 2mg/ml dan untuk pemakaian per oral dalam kapsul di Indonesia mengandung 50,100,150,200 mg. Di Indonesia yang tersedia adalah sediaan 50 dan 150 mg. 2.3 GOLONGAN ALILAMIN 1. TERBINAFIN a. Rumus bangun b. Nama IUPAC: [(2E)-6,6-dimethylhept-2-en-4-yn-1-yl](methyl)(naphthalen-1- ylmethyl)amine c. Rumus kimia: C21H25N d. Sifat Fisika dan Kimia: Chemically, Terbinafine hydrochloride is (E)-N-(6, 6- dimethyl-2-hepten-4-ynyl)-N-methyl-1-naphthalenemethanamine hydrochloride. The empirical formula C21H26CIN with a molecular weight of 327.90, and the following structural formula: Terbinafine hydrochloride, USP is a white to off-white fine crystalline powder. It is freely soluble in methanol and methylene chloride, soluble in ethanol, and slightly soluble in water. Each tablet contains: Active Ingredients: Terbinafine hydrochloride, USP (equivalent to 250 mg base) Inactive Ingredients: colloidal silicon dioxide NF, hypromellose USP, magnesium stearate NF, microcrystalline cellulose NF, and sodium starch glycolate NF. e. Golongan kelas terapi: antijamur golongan alilamin 14 f. Aktivitas antijamur: Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp., Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa dermatiaceous moulds. g. Regimen dosis: Dewasa Onikomikosis Anak-anak Kuku tangan : 250 mg/hr x 6 3-6 minggu mg/khg/hr x 6-12 minggua Kuku kaki : 250 mg/hr x 12 minggu Tinea kapitis 250 mg/hr x 2-8 minggu Infeksi Trichophyton : 3-6 mg/kg/hr x 2-4 minggua Infeksi Microsporum : 3-6 mg/kg/hr x 6-8 minggua Tinea korporis, tinea kruris 250 mg/hr x 1-2 minggu 3-6 mg/kg/hr x 1-2 minggu Tinea pedis (mokasin) 250 mg/hr x 2 minggu b Dermatitis seboroik 250 mg/hr x 4-6 minggu b h. Indikasi: bekerja terhadap Malassezia furfur, penyebab panu, juga bekerja pada kandidiasis, lebih banyak terhadap kuku kapur, Tinea capitis pada anak-anak. i. Kontraindikasi: Penderita hipersensitif terhadap terbinafine dan zat tambahan yang terkandung dalam tablet atau krim j. Efek samping: gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar kronik atau aktif k. Interaksi Obat: Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama rifampisin. Namun kadar dalam darah dapat meningkat apabila diberikan bersama simetidin yang merupakan suatu inhibitor sitokrim P-450. l. Mekanisme kerja obat: Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang berfungsi sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel jamur sehingga menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama pada membran plasma sel jamur). Terbinafin menyebabkan Hal ini mengakibatkan berkurangnya ergosterol yang berfungsi untuk mempertahankan 15 pertumbuhan membran sel jamur sehingga pertumbuhan akan berhenti (efek fungistatik) dan dengan adanya penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur (efek fungisidal). m. Farmakokinetik Obat: Dosis oral 250 mg secara tunggal menghasilkan kadar puncak plasma 0,8 mg/l 2 jam setelah pemberian. Total klirens plasma terbinafine sekitar 1250 ml/menit dan paruh eliminasi plasma sampai 16 jam. Bioavailabilitas terbinafine tidak dipengaruhi oleh makanan.Terbinafine terikat kuat pada protein plasma (99%). Obat ini secara cepat berdifusi melalui jaringan dermis dan tertumpuk di dalam lapisan lipofilik stratum korneum. n. Inkompatibilitas: o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: tablet 250mg 2.4 GOLONGAN EKINOKANDIN 1. ANIDULAFUNGIN a. Rumus bangun: b. Nama IUPAC: N-[(3S,6S,9S,11R,15S,18S,20R,21R,24S,25S,26S)-6-[(1S,2R)-1,2dihydroxy-2-(4-hydroxyphenyl)ethyl]-11,20,21,25-tetrahydroxy-3,15-bis[(1R)-1 16 hydroxyethyl]-26-methyl-2,5,8,14,17,23-hexaoxo-1,4,7,13,16,22-hexaazatricyclo [22.3.0.09,13]heptacosan-18-yl]- 4-{4-[4-(pentyloxy)phenyl]phenyl}benzamide c. Rumus kimia: C58H73N7O17 d. Sifat Fisika dan Kimia: e. Golongan kelas terapi: antijamur golongan ekinokandin f. Aktivitas antijamur: Anindulafungin merupakan kelompok ekinokandin yang telah disetujui FDA tahun 2006 untuk penatalaksanaan kandidiasis esophagus, peritonitis dan abses intraabdomen disebabkan kandida. g. Regimen dosis: infus intravena, dosis awal 200 mg sebagai dosis tunggal, diikuti 100 mg/hari. Terapi dilanjutkan selama minimal 14 hari sesudah hasil positif terakhir pada kultur. h. Indikasi: kandidemia pada pasien dewasa non-neutropenia. i. Kontraindikasi: hipersensitif terhadap anidulafungin j. Efek samping: trombositopenia, koagulapati, hiperkalemia, hipokalemia, hipomagnesemia, kejang, sakit kepala, kemerahan, diare, peningkatan gamaglutamiltransferase, peningkatan alkalin fosfatase dalam darah, peningkatan alanin aminotransferase, ruam, pruritus. k. Interaksi Obat: Saccharomyces boulardii : Agen antijamur ( sistemik , oral ) dapat mengurangi efek terapi dari Saccharomyces boulardii . Hindari kombinasi l. Mekanisme kerja obat: Inhibitor nonkompetitif dari synthase 1,3- beta - D - glucan menghasilkan pembentukan berkurang dari 1,3- beta - glukan - D , sebuah polisakarida penting yang terdiri dari 30 % sampai 60 % dari dinding sel Candida ( absen dalam sel mamalia ) ; menurun konten glukan mengarah ke ketidakstabilan osmotik dan lisis seluler m. Farmakokinetik Obat: Distribusi: 30-50 L. Metabolisme: Tidak metabolisme hati di ; mengalami hidrolisis kimia lambat untuk membuka - cincin peptida mengurangi aktivitas antijamur. Pengeluaran: Tinja ( 30 % , 10 % sebagai obat tidak berubah ) ; urin ( < 1 % ) Eliminasi Terminal : 40-50 jam. n. Inkompatibilitas: ertapenem, sodium bicarbonate. o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: intravena 50 mg dan 100mg 17 2.5 GOLONGAN LAIN 1. FLUSITOSIN a. Rumus bangun: b. Nama IUPAC: 4-amino-5-fluoro-1,2-dihydropyrimidin-2-one c. Rumus kimia: C4H4FN3O d. Sifat Fisika dan Kimia: Flusitosin (5-fluorositosin; 5FC) merupakan antijamur sintetik yang berasal dari fluorinasi pirimidin, dan mempunyai persamaan struktur dengan fluorourasil dan floksuridin. Obat ini berbentuk kristal putih tidak berbau, sedikit larut dalam air tapi mudah larut dalam alkohol. e. Golongan kelas terapi: Antijamur f. Aktivitas antijamur: Flusitosin efektif terhadap Candida sp., Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii, Fonsecaea sp., Phialophora verrucosa. g. Regimen dosis: Flusitosin tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan 500 mg. Dosis yang biasanya digunakan ialah 50-150 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam 4 dosis. Indikasi: infeksi sistemik, karena selain kurang toksik obat ini dapat diberikan per oral. Penggunaannya sebagai obat tunggal hanya diindikasikan pada kromoblastomikosis h. Kontraindikasi: hipersensitif terhadap flusitosin i. Efek samping: mual,muntah dan diare. Dapat menimbulkan anemia, leukopenia, dan trombositopenia, terutama pada penderita dengan kelainan hematologik, yang sedang mendapat pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi tulang, dan penderita dengan riwayat pemakaian obat tersebut. Mual,muntah, diare dan enterokolitis yang hebat. Kira-kira 5% penderita mengalami peninggian enzim SGPT dan SGOT, hepatomegali. Terjadi sakit kepala, kebingungan, pusing, mengantuk dan halusinasi. j. Interaksi Obat: k. Mekanisme kerja obat: Flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase dan dalam sitoplasma akan bergabung dengan RNA setelah mengalami deaminasi menjadi 5-fluorourasil dan fosforilasi. Sintesis protein sel jamur terganggu akibat penghambatan Iangsung sintesis DNA oleh metabolit fluorourasil. Keadaan ini 18 tidak terjadi pada sel mamalia karena dalam tubuh mamalia flusitosin tidak diubah menjadi fluorourasil. l. Farmakokinetik Obat: Absorbsi cerna.Pemberian bersama : diserap dengan cepat dan baik melalui saluran makanan memperlambat penyerapan diserap tidak berkurang. Penyerapan juga diperlambat pada suspensi alumunium Distribusi tapi jumlah yang pemberian bersama hidroksida/magnesium hidroksida dan dengan neomisin. :didistribusikan dengan baik ke seluruh jaringan dengan volume distribusi mendekati total cairan tubuh. Ekskresi : 90% flusitosin akan dikeluarkan bersama melalui filtrasi glomerulu dalam bentuk utuh, kadar dalam urin berkisar antara 200500µg/ml. Kadar puncak dalam darah setelah pemberian per-oral dicapai 1-2 jam. Kadar ini lebih tinggi pada penderita infusiensi ginjal. Masa paruh obat ini dalam serum pada orang normal antara 2,4-4.8 jam dan sedikit memanjang pada bayi prematur tetapi dapat sangat memanjang pada penderita insufisiensi ginjal m. Inkompatibilitas: n. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran 1. GRISEOFULVIN a. Rumus bangun: b. Nama IUPAC: (2S,6'R)- 7-chloro- 2',4,6-trimethoxy- 6'-methyl- 3H,4'H-spiro [1benzofuran- 2,1'-cyclohex[2]ene]- 3,4'-dione c. Rumus kimia: C17H17ClO6 d. Sifat Fisika dan Kimia: Griseofulvin berwarna putih atau putih krem, rasa pahit, termostabil. Dalam perdagangan obat ini tersedia untuk penggunaan secara oral sebagai Griseofulvin Microsize dan Griseofulvin Ultramicrosize. Griseofulvin Microsize mengandung partikel berukuran diameter 4 μm dan Griseofulvin Ultramicrosize mengandung partikel berukuran diameter < 1 μm Kelarutan: Larut dalam etanol, metanol, aseton, benzen, kloroform,etil asetat dan asam asetat; Praktis tidak larut dalam air, petroleum eter. 19 e. Golongan kelas terapi: Antijamur f. Aktivitas antijamur: Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies Epidermophyton flocossum, Microsporum sp., dan Trichophyton sp., yang merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidiasis kutaneus dan pitiriasis versikolor. g. Regimen dosis: Dewasa :500 mg sehari dalam dosis terbagi atau dosis tunggal, pada infeksi berat dosis dapat ditingkatkan hingga dua kali lipat , kemudian dosis diturunkan jika telah ada respon; Anak-anak : 10 mg/kg sehari dalam dosis terbagi atau dosis tunggal. h. Indikasi: Infeksi dermatofit pada kulit, kulit kepala, rambut dan kuku jika terapi topikal tidak berhasil atau tidak cocok. i. Kontraindikasi: Penyakit hati yang berat, lupus erytematosus sistemik (risiko serangan); porfiria; kehamilan (hindari kehamilan selama penggunaan obat dan hingga 1 bulan setelah pengobatan; menyusui; pria sebaiknya tidak merencanakan mempunyai anak selama 6 bulan dalam pengobatan. j. Efek samping: Mual, muntah, diare ; sakit kepala; tidak banyak terjadi hepatotoksisitas, pusing, kebingungan, rasa lelah, gangguan tidur, gangguan koordinasi, neuropati perifer, leukopenia, ruam termasuk yang jarang terjadi erithema multiform, necrolysis epidermal toksik, dan fotosensitivitas. k. Interaksi Obat: - Dengan Obat Lain : Efek sitokrom P450: induksi CYP1A2 (lemah), 2C8/9 (lemah), 3A4 (lemah); Meningkatkan efek/toksisitas : Toksisitas ditingkatkan dengan etanol, dapat menyebabkan takikardi dan flushing (kemerahan); Menurunkan efek : barbiturat dapat menurunkan kadar griseofulvin. Menurunkan aktivitas warfarin. Menurunkan efektivitas kontrasepsi oral. Dengan Makanan : Konsentrasi griseofulvin dapat meningkat jika digunakan bersama makanan , terutama makanan yang mengandung lemak tinggi. Etanol : hindari etanol (dapat meningkatkan depresi SSP), Etanol akan menyebabkan reaksi type ’’disulfiram’’ seperti kemerahan, sakit kepala, mual dan pada beberapa pasien mengalami muntah dan nyeri dada dan/atau abdominal. l. Mekanisme kerja obat: Menghambat mitosis sel jamur pada metafase; berikatan dengan keratin manusia menyebabkan resistensi terhadap invasi jamur. m. Farmakokinetik Obat: Absorpsi : absorpsi Griseofulvin ultramicrosize hampir sempurna;Distribusi : menembus plasenta; Metabolisme : sebagian besar di hati; T½ eliminasi : 9-22 jam; Ekskresi : urine (< 1% dalam bentuk obat tidak berubah); feses dan keringat 20 n. Inkompatibilitas:o. Bentuk dan kekuatan sediaan yang ada dipasaran: 125mg(500mg)/tablet(forte)250mg / tablet. 21 BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Jamur merupakan makhluk hidup yang memiliki banyak jenis, itulah yang menyebabkan masing-masing infeksi yang ditimbulkan juga berbeda-beda. Golongan – golongan obat antijamur sudah cukup dapat menangani infeksi akibat jamur. Tempat infeksi jamur pada tubuh manusia juga menjadi tolak ukur jenis infeksi. 3.2 SARAN Menjelaskan lebih detil jenis infeksi yang disebabkan fungi Menjelaskan keterkaitan antara jenis penyakit dan pengobatan yang diambil Menjelaskan lebih detil macam-macam jenis jamur yang menyebabkan infeksi 22 DAFTAR PUSTAKA Andini, DM, dkk. 2015. Farmakologi kelas X. Jakarta: CV Karya Agung. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Hoan Tjay, T . 2013. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo. Harvey, Richard, dkk. 2013. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: EGC. Hardman, Joel. 2012. Goodman&Gilman Dasar Farmakologi dan Terapi vol.3. Jakarta: EGC. Hardman, Joel. 2008. Goodman&Gilman Dasar Farmakologi dan Terapi vol.2. Jakarta: EGC. xxiii