BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging Ayam umumnya dapat menghasilkan daging maupun telur. Istilah “pedaging” yang diperoleh ayam pedaging dapat diberikan kepada seluruh jenis ayam yang dapat memproduksi daging. Namun Rasyaf (2008) mendefinisikan ayam pedaging sebagai ayam jantan dan ayam betina yang berumur di bawah delapan minggu dan ketika dijual memiliki bobot tubuh tertentu, mempunyai pertumbuhan yang cepat, serta mempunyai dada yang lebar, serta mempunyai timbunan daging yang baik dan banyak. Pengertian ini menyebabkan ayam ras pedaging lebih identik sebagai ayam pedaging jika dibandingkan dengan ayam buras. Namun di Indonesia, salah satu ayam buras, yaitu ayam buras, juga banyak digunakan sebagai ayam yang dijadikan bahan makanan,terutama di daerah pedesaan yang umumnya memelihara ayam. Ayam ras pedaging adalah ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki karakteristik ekonomis. Ayam ini memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, angka konversi pakan yang rendah, siap dipotong saat berumur relatif muda, dan menghasilkan daging berserat lunak. Biasanya ayam ini dipasarkan saat berumur 6–8 minggu. Umumnya ayam jantan menunjukkan pertumbuhan lebih cepat 10– 15% dengan efisiensi penggunaan pakan yang lebih baik dan persentase karkasnya lebih besar (Murhananto dan Purbani 2008) Ayam ras pedaging memiliki beberapa sifat, antara lain mempunyai sifat dan mutu daging yang baik (meatness), laju pertumbuhan dan bobot badan (rate of gain) tinggi, warna kulit kuning, konversi pakan rendah, bebas dari kanibalisme, sehat dan kuat, kaki tidak mudah bengkok, tidak temperamental dan cenderung malas dengan gerakan lamban, daya hidup tinggi (95%) tetapi tingkat kematian rendah, serta kemampuan membentuk karkas tinggi (Yuwanta 2004). Namun Murhananto dan Purbani (2008) menyatakan bahwa ayam ras pedaging tergolong hewan yang mudah stres sehingga pemeliharaannya harus dilakukan di tempat yang tenang dan agak jauh dari pusat-pusat keramaian. Ayam ini juga tidak tahan terhadap cekaman transportasi yang terlalu lama. 5 Ayam buras (bukan ras) merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara oleh masyarakat di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Ayam buras yang biasa digunakan untuk bahan makanan dikenal sebagai ayam buras. Ayam ini merupakan ayam jinak yang telah terbiasa hidup di tengah masyarakat, memiliki daya adaptasi ayam ini sangat tinggi, karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, lingkungan, dan iklim yang ada (Sarwono 2003). Menurut Nuroso (2010), pemeliharaan ayam buras sangat mudah karena tahan terhadap kondisi lingkungan dan pengelolaan yang buruk, tidak memerlukan lahan yang luas dan dapat dipelihara di lahan sekitar rumah, harga jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam pedaging lain, serta tidak mudah stres terhadap perlakuan yang kasar dan daya tahan tubuhnya lebih kuat dibandingkan dengan ayam pedaging lainnya. Namun, Cahyono (1996) mengungkapkan bahwa ayam ini memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan memelihara ayam ras pedaging, yaitu umumnya bertubuh kecil, memiliki pertumbuhan yang lambat, produksi telur yang rendah dan berukuran kecil, serta memiliki daya alih (konversi) pakan menjadi produk protein (daging) yang rendah dibanding dengan ayam ras. Saluran Pencernaan Ayam Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan pada hewan lainnya. Unggas tidak memiliki gigi sehingga tidak terjadi proses pengunyahan pakan. Pakan akan melewati esofagus dan langsung menuju tembolok. Pakan di dalam tembolok akan mendapatkan sekreta mukus yang berfungsi untuk menghaluskan pakan. Setelah melewati tembolok, pakan menuju lambung kelenjar (proventrikulus) yang merupakan organ berdinding tebal dan berada di depan lambung otot (gizzard). Pakan disimpan secara sementara di proventrikulus dan dicampur dengan enzim pepsin dan amilase yang dihasilkan oleh organ tersebut. Setelah itu, pakan masuk ke lambung otot, yang merupakan organ tersusun dari otot yang kuat, yang berisi bebatuan atau pasir, dan di dalamnya pakan akan dihancurkan. Pakan kemudian berpindah menuju usus halus, sekum dan usus besar, dan berakhir di kloaka. Sistem pencernaan pada unggas tergolong 6 cepat karena membutuhkan waktu cerna hanya 2½ jam pada ayam petelur dan 812 jam pada ayam lain (Scanes et al. 2004). Gambar 1 Anatomi saluran pencernaan ayam (Bell 2002) Tembolok adalah modifikasi dari esofagus. Fungsi utama dari organ ini adalah untuk menyimpan pakan sementara, terutama pada saat ayam makan dalam jumlah banyak. Bolus berada di tembolok selama dua jam. Kapasitas tembolok mampu menampung pakan 250 g. Pada tembolok terdapat saraf yang berhubungan dengan pusat kenyang-lapar di hipotalamus sehingga banyak sedikitnya pakan yang terdapat dalam tembolok akan memberikan respon pada saraf untuk makan atau menghentikan makan (Yuwanta 2004). Tembolok mensekresikan mukus yang berfungsi sebagai cairan lubrikasi yang dapat menghaluskan pakan. Jika ayam lapar, pakan akan melewati tembolok dan menuju langsung ke proventrikulus dan lambung otot. Selama proses memakan, tembolok mulai terisi dan bertindak sebagai organ penyimpanan (Scanes et al. 2004). Usus besar, atau kolon, pada unggas tergolong pendek dan mempunyai struktur yang mirip dengan usus halus. Usus besar dianggap tidak memiliki peranan yang nyata dalam proses pencernaan dan penyerapan. Sekum merupakan organ berbentuk tabung yang buntu pada perbatasan antara usus besar dan usus halus. Pada unggas pemakan biji-bijian terdapat dua 7 sekum yang besar, sedangkan pada tipe unggas lainnya hanya terdapat satu kantung rudimenter bahkan terdapat beberapa unggas yang tidak memiliki sekum sama sekali (Scanes et al. 2004). C. albicans C. albicans adalah khamir komensal (normal) di mukosa mulut, saluran pencernaan dan vagina. Namun, khamir ini bisa menjadi masalah bila fase pertumbuhannya berubah dari fase khamir ke fase kapang ketika berada di membran mukosa inang. Kejadian ini biasa disebut kandidiasis (Berman dan Sudbery 2002). Blastospora (sel khamir) berbentuk bulat sampai oval dan selnya terpisah satu sama lain. Selain blastospora, C. albicans juga dapat membentuk hifa sejati dan pseudohifa. Hifa sejati adalah sel yang panjang dan berkutub dengan sisi yang pararel tanpa ada batas yang jelas. Pseudohifa adalah sel khamir berbentuk elipsoida yang tetap menempel satu sama lain dan dibatasi oleh septa. Perbedaan antara hifa sejati dan pseudohifa adalah hifa sejati terbentuk dari blastospora dan cabang dari hifa sejati lain, sedangkan pseudohifa terbentuk dari blastospora atau pertunasan dari hifa dan sel baru tersebut tetap menempel pada sel induknya dan tetap menjulur (Calderone 2002). Fase-fase yang dapat dibentuk oleh C. albicans ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini. Perubahan bentuk C. albicans dari khamir ke kapang bisa terjadi karena pengaruh berbagai macam faktor lingkungan, antara lain perubahan dari komposisi media, penambahan serum, tumbuh pada kondisi kadar CO2 yang tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu. Suhu dan pH yang optimal bagi blastospora C. albicans berubah menjadi hifa adalah lebih dari 35oC dan 6,5-7,0 atau mendekati suasana basa. C. albicans juga dapat membentuk khlamidospora. Khlamidiospora merupakan berntuk pertahanan yang dibentuk pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Calderone 2002; Heitman 2006) 8 Gambar 2 Fase pada C. albicans (Anonim 2010) Menurut Sen dan Baksi (2009), klasifikasi C. albicans adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Subfilum : Ascomycotina Kelas : Ascomycetes Ordo : Saccharomycetales Famili : Saccharomycetaceae Genus : Candida Spesies : C. albicans Kasus Kandidiasis (Candidiasis) pada Ayam Candidadapat menyebabkan kandidiasis pada ayam. Kondisi yang dapat memacu terjadinya kandidiasis antara lain adalah umur ayam. Ayam yang lebih muda umumnya lebih rentan terhadap penyakit ini. Sanitasi kandang ataupun peralatan, kondisi kandang dengan populasi yang padat, serta timbulnya cekaman merupakan faktor-faktor lain yang dapat memicu terjadinya kandidiasis. Di Indonesia, penyakit ini dapat dijumpai pada berbagai peternakan ayam komersial yang tersebar di berbagai daerah. Penyakit tersebut kerapkali ditemukan juga pada ayam bukan ras (buras), terutama yang dipelihara pada lingkungan yang 9 mempunyai tingkat sanitasi yang kurang memadai. Penyakit ini dapat ditemukan pada berbagai jenis unggas pada semua tingkatan umur, terutama ayam, kalkun, burung merpati, burung merak, burung puyuh, dan angsa. Manusia dan hewan peliharaan juga peka terhadap kandidiasis. Faktor pendukung kejadian kandidiasis adalah tingkat higienis dan sanitasi yang tidak memadai, penggunaan antibiotika yang berlebihan, penurunan kondisi tubuh/kelemahan umum, dan berbagai cekaman, misalnya kepadatan kandang yang tinggi dan defisiensi nutrisi (Tabbu 2000;Janmaat dan Morton 2010). C. albicans merupakan spesies utama penyebab kandidiasis, meskipun spesies Candida non-albicans juga telah diisolasi dari unggas sehat maupun sakit. Dalam survei terhadap tembolok yang berasal dari ayam ras pedaging, 95% dari isolat terdiri atas C. albicans, dan sisanya diidentifikasikan sebagai C. ravautii, C. salmonicola, C. guilliermondii, C. parapsilosis, C. catenulata, atau C. brumptii. Berdasarkan hasil penelitian, hanya C. albicans dan C. parapsilosis yang berhubungan dengan kasus mikosis pada tembolok. Berdasarkan hasil isolasi dari kalkun yang terjangkit candidiasis, terdeteksi C. albicans, C. rugosa, C. famata, C. tropicalis, dan C. guilliermondii dengan hanya C. rugosa yang terisolasi dari beberapa tembolok yang terinfeksi (Kunkle 2003). Menurut Butcher dan Miles (2009), gejala klinis dari ayam yang menderita kandidiasis berupa hilangnya berat badan, terjadi muntah secara berkala, dan terlihat lesu. Gejala lain adalah menurunnya laju pertumbuhan pada ayam muda, diare, dan terhambatnya pengosongan dan perbesaran tembolok. Selain gejala klinis di atas, gejala lain yang biasanya muncul adalah terjadinya lesio di mulut berupa peradangan kaseosa pada mulut. Lesio ini serupa dengan lesio pada defisiensi vitamin A dan lesio proliferasi pada avian pox bentuk basah. Pada tahap yang lebih parah, lesio pada mulut menjadi obstruktif dan dapat mengganggu respirasi dan pencernaan, sehingga menyebabkan kelesuan dan terhambatnya pertumbuhan serta penambahan bobot badan. Tingginya kasus kandidiasis pada tembolok dikarenakan fungsi tembolok sebagai tempat untuk menampung pakan sementara. Sisa-sisa pakan, terutama spora jamur yang mencemari pakan, akan bertahan lama di dalam tembolok, sehingga akan tebentuk koloni khamir pada tembolok. 10 Kandidiasis tidak menular dari ayam satu ke ayam lainnya. Penyakit ini dapat menular melalui oral karena memakan pakan atau meminum air minum atau karena kontak dengan bahan/lingkungan yang tercemar oleh khamir tersebut. Penyakit ini dapat menular dengan mudah melalui air minum yang kotor yang tercemar oleh C. albicans (Tabbu 2000). Antibiotika dan Anticendawan dalam Budidaya Ayam Imbuhan pakan (feed additive) sering digunakan dalam pakan untuk merangsang pertumbuhan dan kinerja ayam, seperti menghasilkan telur, memperbaiki efisiensi pakan, dan berguna untuk memberikan pengendalian terhadap kesehatan atau metabolisme ternak. Salah satu bahan yang sering digunakan sebagai pakan tambahan adalah antibiotika (Scanes et al. 2004).Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Bahri et al. (2005), hampir semua pabrik pakan menambahkan obat hewan berupa antibiotika ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika. Menurut Windisch et al. (2008), antibiotika digolongkan sebagai feed additive, karena tidak termasuk dalam kategori pakan meskipun dalam peternakan ayam memiliki peranan penting dalam merangsang pertumbuhan dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan. Antibiotika ini sanggup menekan pertumbuhan mikroorganisme yang menyebabkan penyakitterutama bakteri patogen sehingga absorpsi nutrisi dalam sistem pencernaan. Selain itu, pemberian antibiotika ke dalam pakan juga memiliki dampak negatifkarena dapat menimbulkan resistensi terhadap antibiotika. Menurut Murtidjo (1987),penggunaan aureomisin (khlortetrasiklin), teramisin (oksitetrasiklin) dan penisilin yang dicampurkan dalam pakan ternak unggas berpengaruh merangsang pertumbuhan yang baik dibandingkan dengan ternak unggas yang memakan pakan tanpa dicampur antibiotika. Sedangkan antibiotika seperti basitrasin, streptomisin, dan lainnya tidak dapat dipergunakan karena berpengaruh buruk. Pemberian CO2, kedap udara, fumigan (fosfin/PH3)dan metil bromida pada pakan dimaksudkan untuk menurunkan populasi cemaran kapang pada pakan. 11 Sedangkan untuk mencegah terjadinya timbulnya penyakit yang disebabkan oleh kapang ataupun khamir dapat dilakukan dengan pemberian nistatin melalui pakan (Ahmad 2009; Tabbu 2000) Penggunaan antibiotika sebagai feed additive di Eropa dalam upaya untuk meningkatkan produksi hewan telah dilarang. Namun, antibiotika ionofor masih dipergunakan sebagai feed additive untuk mengontrol koksidiosis, meskipun dalam aplikasinya juga dipergunakan sebagai pemacu pertumbuhan (Elwinger et al. 1998). Menurut Hastiono (1987), antibiotika juga dapat menyebabkan jumlah khamir, terutama khamir yang bersifat patogen, meningkat secara sangat nyata dalam tembolok ayam pedaging. Keberadaan khamir yang terlacak di dalam penelitian tersebut diantaranya C. albicans, C. guillermondii, C. krusei, C. parapsilopsis, C. pseudotropicalis, C. tropicalis, Geotrichum sp., Rhodotula sp., Saccharomyces sp., Torulopsis sp., dan Trichosporon sp.Peningkatan jumlah khamir oleh pemberian antibiotika ini terjadi karena khamir mempunyai kemampuan menggunakan antibiotika, dalam hal ini penisilin dan tetrasiklin, sebagai sumber nitrogen bagi pertumbuhannya.Selain itu, antibiotika juga membunuh bakteri yang berfungsi untuk menyaingi khamir dalam memperoleh zat-zat hara serta mengurangi ataupun menghilangkan jasad yang menghasilkan bahan-bahan anticendawan. Menurut Rochette et al. (2003), sejumlah anticendawan yang digunakan untuk mengobati kandidiasis pada unggas adalah amfoterisin B (amphotericin B), flukonazol (fluconazole), itrakonazol (itraconazole), ketokonazol (ketoconazole), mikonazol (miconazole), nystatin (nystatin), dan parkonazol (parconazole) seperti yang tercantum pada Tabel 1. Dun (1999) mengungkapkan bahwa sejak diperkenalkannya anticendawan golongan azol, sediaan ini lebih dipilih penggunaannya untuk mengobati infeksi akibat Candida. Hal ini disebabkan karena terapi dan pengobatan dengan menggunakan sediaan anticendawan dari golongan azol menghasilkan efek samping yang lebih sedikit dan mengeliminasi cendawan sama baiknya dengan terapi dan pengobatan dengan amfoterisin. 12 Tabel 1 Obat anticendawan yang digunakan pada unggas dan burung (Rochette et al. 2003) Anticendawan Amfoterisin B Parkonazol Rute penggunaan Injectable lotions 3%, i.v., intratrakeal, nebulisasi Nebulisasi Oral (sediaan tablet, cair) Oral Spray Oral, sediaan di dalam kapsul Oral (tablet) Nebulisasi Oral dengan mencampurkan ke dalam pakan, tablet, suspensi, injeksi Bubuk di dalam pakan Tiabendazol Smoke tablet Klotrimazol Flukonazol Flusitosin Enilkonazol Itrakonazol Ketokonazol Mikonazol Nistatin Untuk infeksi oleh Aspergillus, Candida Aspergillus Candida sistemik Aspergillus Aspergillus pada mesin penetas Aspergillus, Candida Candida (Aspergillus) Aspergillus Candida pada saluran pencernaan, kulit Candida (trush) pada ayam mutiara Aspergillus Amfoterisin B Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi oleh Streptomyces nodosus. Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel dewasa. Antibiotika ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung dari dosis dan kepekaan cendawan yang dipengaruhi. Aktivitas anticendawan ini sangat terlihat nyata pada pH 6,0-7,5 dan berkurang pada pH yang lebih rendah. Mekanisme kerja amfoterisin B adalah dengan cara berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel cendawan. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel bocor sehingga terjadi kehilangan beberpa bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang permanen pada sel (Bahry dan Setiabudy 1995). Amfoterisin B telah digunakan untuk mengobati infeksi cendawan baik secara sistemik maupun topikal pada unggas. Formulasi intravena telah diberikan dengan rute injeksi secara intravena, melalui trakea menggunakan kateter, atau diinjeksikan ke kantung hawa yang terinfeksi. Formulasi intravena juga digunakan melalui nebulisasi pada burung berparuh bengkok(psittacines) dan burung pemangsa (raptors ) (Orosz dan Frazier 1995). 13 Gambar 3 Struktur kimia pembentuk amfoterisin B (Ghannoum dan Rice 1999) Flukonazol Flukonazol adalah turunan dari triazol dan bersifat fungistatik. Gugus derivat triazol, seperti imidazol (kloritomazol, ketokonazol, dll.), mempunyai mekanisme kerja mengubah membran sel cendawan yang mempunyai kepekaan terhadap anticendawan tersebut, sehingga meningkatkan permeabilitas dan membiarkan komponen di dalam sel bocor dan mengganggu ikatan prekusor purin dan pirimidin (Plumb 1999) Flukonazol merupakan obat yang dapat diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi adanya pakan ataupun keasaman lambung. Oleh karena itu, flukonazol dikatakan ditoleransi dengan baik. Efek samping yang sering ditemukan akibat penggunaan flukonazol adalah gangguan saluran pencernaan (Bahry dan Setiabudy 1995). Gambar 4 Struktur kimia pembentuk flukonazol (Ghannoum dan Rice 1999) Berdasarkan penelitian Dun (1999) yang membandingkan efikasi flukonazol dengan amfoterisin B dalam morbiditas dan mortalitas pada pasien yang mengalami kandidiasis, menunjukkan bahwa flukonazol sama efektifnya dengan amfoterisin dalam mengobati infeksi Candida sistemik. Selain itu, secara nyata flukonazol juga memberikan efek samping yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan amfoterisin B. 14 Itrakonazol Itrakonazol merupakan anticendawan sistemik turunan triazol yang erat hubungannya dengan ketokonazol dan dapat diberikan secara peroral. Aktivitas anticendawannya diduga lebih luas sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan ketokonazol. Itrakonazol dapat diserap lebih sempurna bila diberikan bersama pakan (BahrydanSetiabudy 1995). Penyerapan itrakonazol sangat bergantung pada pH lambung dan kehadiran pakan. Bioavabilitas itrakonazol hanya mencapai 50% atau kurang ketika diberikan saat lambung kosong. Bioavabilitas akan mencapai 100%jika di dalam lambung terdapat pakan. Itrakonazol mampu mengikat protein dan disalurkan ke seluruh tubuh, terutama ke dalam jaringan yang memiliki kandungan lemak yang tinggi karena obat ini bersifat lipofilik (Plumb 1999). Ketokonazol Ketokonazol digunakan untuk infeksi khamir sistemik maupun lokal. Pengobatan dengan menggunakan ketokonazol secara peroral mencegah dan mengobati kandidiasis pada tembolok di kalkun. Anticendawan ini juga efektif untuk melawan kandidiasis di ayam (Roschette et al. 2003). Ketokonazol merupakan anticendawan sistemik peroral yang diserap baik melalui saluran pencernaan dan menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk menekan aktivitas berbagai jenis cendawan. Sebanyak 84% ketokonazol di dalam plasma darah berikatan dengan protein plasma, terutama albumin. Lima belas persen berikatan dengan sel darah dan 1% dalam bentuk bebas. Sebagian besar dari obat ini mengalami metabolisme lintas pertama (Bahry dan Setiabudy 1995). Menurut Plumb (1999), ketokonazol berifat fungistatik terhadap cendawan yang peka. Pada kadar yang lebih tinggi untuk periode yang lama atau pada organisme yang sangat peka, ketokonazol dapat bersifat fungisidal. Ketokonazol dipercaya dapat meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan efek metabolis sekunder dan menghambat pertumbuhan cendawan. Mekanisme kerja secara pasti dari ketokonazol tidak diketahui. Kemungkinan karena ketokonazol bekerja melalui sintesis ergosterol. Aktifitas fungisidal dari ketokonazol mungkin dikarenakan efek langsung pada membran sel. 15 Pemberian ketokonazol pada pakan unggas diberikan pada pakan atau air minum. Pada air minum,dosis yang diberikan adalah 200mg/L untuk 7-14 hari pada pH normal. Sedangkan pada pakan, dosis yang diberikan adalah 10-20 mg/kg untuk 7-14 hari dengan cara dimasukkan langsung ke dalam pakan atau dihancurkan (Plumb 1999). Mikonazol Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil, mempunyai spektrum anticendawan yang luas baik terhadap jamur sistemik maupun cendawan dermatofita. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui sepenuhnya. Mikonazol menghambat sintesis ergosterol yang menyebabkan permeabilitas membran sel jamur meningkat. Mungkin pula terjadi gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel cendawan yang akan menimbulkan kerusakan (Bahry dan Setiabudy 1995). Nistatin Nistatin merupakan suatu antibiotika polien yang dihasilkan oleh Streptomyces noursel. Nistatin bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan berbagai cendawan dan ragi, tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan virus. Anticendawan ini hanya efektif pada berbagai macam jenis cendawan, namun secara klinis digunakan untuk mengobati infeksi Candida topikal, osofaringeal, dan gastrointestinal. Nistatin mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan amfoterisin B. Nistatin hanya akan diikat oleh khamir atau kapang yang sensitif. Aktivitas anticendawan tergantung dari adanya ikatan dengan sterol pada membran sel kapang atau khamir, terutama ergosterol. Akibat terbentuknya ikatan antara sterol dengan anticendawan ini adalah terjadinya perubahan permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan berbagai molekul kecil. C. albicans hampir tidak memperlihatkan resistensi terhadap nistatin (Bahry dan Setiabudy 1995; Plumb 1999). 16 Parkonazol Parkonazol digunakan untuk mengobati kandidiasis di ayam mutiara. Parkonazol mempunyai toksisitas yang renndah dan residu daily intake di bawah ADI (acceptable daily intake), meskipun telah diberikan setelah 24 jam (Roschette et al. 2003).