FARMAKOLOGI ANTIFUNGI – MUKOSA Disusun Oleh : Riska Sandiyani (NIM : 16. 0558) Sita Dwi Agustin (NIM : 16. 0559) Kharisma Ardea (NIM : 16.0595) Ayu Wulandari (NIM : 16.0597) Vavi Oktaviani (NIM : 16. 0598) Lika Aprilia (NIM : 16. 0600) Nur Hafni Audy (NIM : 16. 0632) AKADEMI FARMASI THERESIANA SEMARANG DASAR TEORI Antifungi adalah suatu obat yang digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh jamur. Penyakit atau infeksi yang disebabkan oleh jamur : 1. Mikosis Merupakan infeksi yang disebabkan jamur, biasanya infeksi kronis (longlasting) karena jamur tumbuh lambat. Terbagi 5 kelompok berdasakan tingkat jaringan yang terlibat dan cara masuk pada host yaitu mikosis: a. Sistemik Merupakan mikosis yang terjadi pda sejumlah jaringan dan organ, biasanya disebabkan oleh jamur geofilik (tanah), transmisi melalui spora yang terinhalasi lalu ke paru- paru menyebar ke jaringan tubuh lain. Contoh : Histoplasmosis, Cryptococcosis (Sri hartati, 2014). b. Sub cutaneous Merupakan mikosis yang terjadi di bwah kulit oleh jamur saprofitik, geofilik, dan tanaman, infeksi terjadi secara langsung dengan implantasi spora atau fragmen miselia melalui luka pada kulit (Sri hartati, 2014). c. Cutaneous = Dermatomycosis Merupakan mikosis yang terjadi pada epidermis, rambut, dan kuku. Disebabkan oleh jamur Dermatophyta yang mensekresikan keratinase. Transmisi dari manusia (antrofilik) ke manusia atau dari hewan (zoofolik) ke manusia secara kontak langsung atau kontak dengan rambut terinfeksi dan sel epidermis. Ada tiga genus jamur Dermatophyta, yaitu Miscrosporum, Epidermophyton, dan Tricophyton. Contoh mikosis adalah tinea capitis, tinea manum, tinea pedis, tinea favosa, tinea barbare, dan tinea cruris (Sri hartati, 2014). d. Superfisial Merupakan mikosis pada batang rambut dan permukaan / superfisiali, umumnya terjadi di iklim tropis. Penyebab atau etiologi adalah jamur non Dermatophyta. Contoh mikosis: tinea axilaris, tinea versicolor/panu, piedra hitam, piedra putih, dan onichomycosis (Sri hartati, 2014). e. Opportunistik Merupakan bersifat apatogen pada habitat normal, menjadi patogen bila ada faktor predisposisi (terapi antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu lama, imunosupesive). Contoh mikosis: Mucormycosis, Aspergillosis, Candidiasis (Sri hartati, 2014). 2. Mikotoksikosis atau keracunan mikotoksin Merupakan proses keracunan karena tertelannya mikotoksin (toksin jamur) ektraseluler. Contoh: Aspergillus flavus peghasil aflatoksin (Sri hartati, 2014). 3. Misetismus Merupakan proses yang terjadi akibat mengkonsumsi jamur dan toksin jamur. Contoh: Amanitus muscaria penghasil aminitin (Sri hartati, 2014). MEKANISME KERJA Mekanisme kerja obat antifungi adalah dengan mempengaruhi sterol membran plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan dinding sel jamur yaitu kitin, β - glukan, dan mannooprotein. 1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol. Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja obat antifungi secara langsung (golongan polien) adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di membrane sel jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antifungi secara tidak langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursorergosterol) (Gubbins, 2009). 2. Sintesis asam nukleat. Kerja obat antifungi yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh obat antifungi yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC), dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalamsel jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA (Gubbins, 2009). 3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans. Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsure penyangga adalah β-glukan. Obat antifungi seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan β1, 3 glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila β-glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami lisis (Gubbins, 2009). SEDIAAN OBAT YANG BEREDAR Secara klinik, infeksi jamur dapat digolongkan menurut lokasi infeksinya, yaitu : 1. Mikosis sistemik (infeksi jamur sistemik) terdiri dari deep mycosis (misalnya aspergilosis, blastomikosis, koksidioidomikosis, kriptokokosis, histoplasmosis, mukormikosis, parakoksidio – idomikosis, dan kandidiasis) dan sub – cutan mycosis (misalnya, kromomikosis, misetoma, dan sporottrikosis). 2. Dermatofit : yaitu infeksi jamur yang menyerang kulit, rambut, dan kuku, biasanya disebabkan oleh epidermofiton dan mikrosporum. 3. Mikosis mukokutan : yaitu infeksi jamur pada mukosa dan lipatan kulit yang lembab, biasanya disebabkan oleh kandida (UNSRI, 2004). Menurut indikasi klinis obat – obat antijamur dapat dibagi atas 2 golongan, yaitu: 1. Antijamur untuk infeksi sistemik :: amfoterisin B, flusitosin, imidazol (ketokonazol, flukonazol, mikonazol), dan hidroksistilbamidin. 2. Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan : griseofulfin, golongan imidazol (mikonazol, klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, dan bifonazol), nistatin, tolnaftat, dan antijamur topikal lainnya (kandisidin, asam undesilenat, dan natamisin) (UNSRI, 2004). Obat antijamur sistemik : A. Golongan Azol Kelompok azol dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol. Kelompok imidazol (ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol, flukonazol, varikonazol, dan posakonazol) mengandung tiga nitrogen (Onyewu, 2007). Kedua kelompok ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol (Gupta, 2002). Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P 450, C-14-α-demethylase yang bertanggung jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permeabel dan terjadi penghancuran jamur (Ashley et.al., 2006). 1. Ketokonazol Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malasezzia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes. Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida esofagitis, tinea versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam. Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya pada jamur. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati (Bennet, 2006). 2. Itrakonazol Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis sp., Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous mould dan dermatofita tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes (Bennet, 2006). Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada onikomikosis kuku tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan onikomikosis kuku kaki selama 3 bulan. Itrakonazol tersedia juga dalam bentuk kapsul 100 mg. Bentuk kapsul diberikan dalam kondisi lambung penuh untuk absorpsi maksimal, karena cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk ini sering menimbulkan keluhan gastrointestinal (Gupta, 2002). 3. Flukonazol Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan efektif pada sporotrikosis (limfokutaneus dan visceral) (Gupta, 2002). Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis mukotan. Pada pediatrik digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan Tinea tonsurans dengan dosis 6 mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada infeksi Mycoplasma canis. Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200mg; sediaan oral solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk sediaan intravena. Direkomendasikan pada anak-anak <6 bulan (Bellantoni, 2008). Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150 mg dosis tunggal. Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu selama 6 bulan atau lebih. Tinea pedis dengan 150 mg tiap minggu selama 3-4 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu ke-4. Pada terapi onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama dibandingkan flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada pitiriasis versikolor digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu penelitian open label randomized meneliti pitiriasis versikolor yang diterapi dengan 400 mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan dengan 400 mg itrakonazol, ternyata flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol dengan dosis sama (Bellantoni, 2008). 4. Varikonazol Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp., Blastomyces dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol resistant., Cryptococcus neoforams, Fusarium sp., Histoplasma capsulatum, dan Scedosporium apospermum. Tidak efektif terhadap Zygomycetes (Gubbins, 2009). Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200 mg setiap 12 jam untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam untuk berat badan < 40 kg. Untuk aspergilosis invasif dan penyakit jamur, lainnya yang disebabkan Scedosporium asiospermum dan Fussarium spp, direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam pertama, diikuti dengan dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam dengan pemberian intravena atau 200 mg setiap 12 jam per oral (Wu, 2004). 5. Posakonazol Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak ditemukan resistensi silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol merupakan satu-satunya golongan azol yang dapat menghambat jamur golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat digunakan dalam pengobatan aspergilosis dan fusariosis (Marr, 2002). Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat diberikan dengan rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol dibagi menjadi empat dosis guna mencapai level plasma adekuat. Pemberian posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari pada keadaan tidak membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan bersama dengan makanan atau suplemen nutrisi (Huang, 2004). B. Golongan Alilamin 1. Terbinafin Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp., Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa dermatiaceous moulds (Bellantoni, 2008). Pada onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa yang disebabkan dermatofita, pemberian terbinafin kontinyu lebih efektif daripada itrakonazol dosis puls. Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari, tetapi pada pasien dengan gangguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin klirens < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300 μmol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis tersebut. Pengobatan tinea pedis selama 2 minggu, tinea korporis dan kruris selama 1-2 minggu, sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau lebih (Bennet, 2006). C. Golongan Polien 1. Amfoterisin B Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp., Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp., Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei. Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fussarium sp., Malassezia furfur, Scedosporium sp., dan Trichosporon asahii biasanya resisten (Bennet, 2006). Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg amfoterisin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian diobservasi dan dimonitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi hipotensi berat atau reaksi anafilaksis. Dosis obat dapat ditingkatkan > 1mg/kgBB, tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil dan kadar obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam (Gupta, 2002). Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg BB dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih. Formula ini harus diberikan intravena dalam waktu 2 jam, jika ditoleransi baik maka waktu pemberian dapat dipersingkat menjadi 1 jam. Obat ini berikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kbBB/hari (Ray, 2000). Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5 mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata 2,5 mg/kbBB/jam. Obat ini pernah diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang signifikan (Ray, 2000). Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB diberikan intravena dengan rata-rata 1 mg/kgBB/jam dan jika dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-4,0 mg/kgBB. Obat ini pernah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa efek samping toksik yang signifikan (Gupta, 2002). 2. Nistatin Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur, diisolasi dari Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan kandidiasis oral, nistatin diberikan tablet nistatin 500.000 unit setiap 6 jam. Suspensi nistatin oral terdiri dari 100.000 unit/ml yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa 5 ml (Bennet, 2006). DAFTAR PUSTAKA Gubbins PO, Anaissie EJ. 2009. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinnMR, Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. p161-196. Sri hartati, Agnes. 2014.Mikrobiologi Kesehatan; Peran Mikrobiologi Dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset.