Laporan Kasus Seorang Pria Datang ke Rumah Sakit dengan Keluhan Sesak Sejak 5 Jam SMRS Oleh Marini Rachma Ghaisani, S.Ked 04084821820027 M. Ananda Triansyahputra, S.Ked 04084841820002 Pembimbing: Dr. dr. Zen Ahmad, Sp.PD, KP BAGIAN/DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA / RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2018 HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus “Seorang Pria Datang Ke Rumah Sakit Dengan Keluhan Sesak Sejak 5 Jam SMRS” Marini Rachma Ghaisani, S.Ked 04084821820027 M. Ananda Triansyahputra, S.Ked 04084841820002 Sebagai syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik periode 17 September 2018–26 November 2018 di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Palembang, Oktober 2018 Dr. dr. Zen Ahmad, Sp.PD, KP ii KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Seorang Pria Datang ke Rumah Sakit dengan Keluhan Sesak Sejak 5 Jam SMRS”. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai tauladan umat manusia. Laporan ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMH Palembang. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Zen Ahmad, Sp.PD, KP selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi yang membacanya. Palembang, Oktober 2018 Penulis iii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 BAB II. STATUS PASIEN ....................................................................................... 3 2.1. Identifikasi Pasien .......................................................................................... 3 2.2. Anamnesis ...................................................................................................... 3 2.3. Pemeriksaan Fisik........................................................................................... 5 2.4. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 9 2.5. Diagnosis ...................................................................................................... 14 2.6. Diagnosis Banding ....................................................................................... 14 2.7.Tatalaksana .................................................................................................... 15 2.8. Rencana Pemeriksaan ................................................................................... 15 2.9. Prognosis ...................................................................................................... 15 2.10. Follow up .................................................................................................... 15 BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 20 3.1. Pneumothorax ............................................................................................... 20 3.2. Emfisema Subkutis ....................................................................................... 28 BAB IV. ANALISIS KASUS .................................................................................. 32 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 35 iv BAB I PENDAHULUAN Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk mempertahankan pengembangannya. Paru-paru berada di dalam rongga toraks, yanh dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Pada keadaan normal rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan. Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara bebas di dalam ruang pleura. Pneumothorax dapat diklasifikasikan sesuai dengan penyebabnya yaitu dapat terjadi spontan, trauma, serta akibat tindakan medis. Pneumothorax mengurangi kapasitas vital paru dan menurunkan tekanan oksigen yang terjadi akibat kebocoran antara alveolus dan rongga pleura, sehingga udara akan berpindah dari alveolus dan rongga pleura berpindah dari alveolus ke rongga pleura hingga tekanan di kedua sisi sama. Akibatnya, volume paru berkurang dan volume rongga toraks bertambah. Gejala pneumothorax tergantung pada jenis dan luasnya, biasanya keluhan berupa nyeri yang hebat. (Pappachan, 2008). Insiden pneumothoraks terjadi lebih banyak pada pria dibanding wanita dengan rasio 5:1 (Sudoyo, 2009). Pneumothorax spontan primer (PSP) sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit sebelumnya (Sudoyo, 2009). Tatalaksana pneumothorax bertujuan untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kekambuhan. Penatalaksaan pneumothorax tergantung pada berapa luas pneumothorax yang terjadi. Karena tingginya angka mortalitas dan perlunya penatalaksanaan dan penegakan diagnosis yang tepat, maka penulis membawakan kasus mengenai kasus tersebut. Penulis berharap laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi yang membacanya. 1 BAB II STATUS PASIEN I. IDENTITAS Nama : Tn. ABMH Umur : 31 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Suku Bangsa : Sumatera Alamat : Jl. Kekapung No. 142, Ilir Timur II, 11 Ilir, Palembang Pekerjaan : Tidak ada MRS : 21 September 2018 Tgl. Pemeriksaan : 28 September 2018 No. RM II. : 0001082174 ANAMNESIS (Autoanamnesis pada tanggal 28 September 2018 pukul 15.00 WIB) Keluhan utama: Sesak hebat sejak 5 jam SMRS. Riwayat Perjalanan Penyakit: Empat tahun sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak, sesak saat beraktivitas, dan tidak berkurang setelah istirahat. Batuk ada, berdahak warna hijau kental, disertai darah, nyeri dada tidak ada, demam tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, badan lemas tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Penurunan berat badan tidak ada, penurunan nafsu makan tidak ada. Pasien berobat ke puskesmas terdekat rumah dan dirujuk ke Rumah Sakit Mohammad Hosein Palembang. Pasien dirawat dan didiagnosis menderita TB paru, pasien rutin berobat dan minum obat OAT selama enam bulan. Setelah enam bulan obat OAT habis dan pasien berhenti berobat karena pasien mengaku tidak ada keluhan lagi dan merasa sembuh, kemudian 2 pasien tidak melakukan pemeriksaan BTA dan rontgen thorax, sehingga tidak pernah kontrol. Lima jam sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh timbul sesak, sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas ataupun posisi. Sesak tidak berkurang setelah istirahat. Suara mengi tidak ada, batuk tidak ada, demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, badan lemas tidak ada, penurunan nafsu makan tidak ada. Penurunan berat badan tidak ada. Pasien belum pernah berobat sebelumnya, dan hanya minta dikerik oleh istrinya. Kemudian keluhan semakin berat, pasien lalu dibawa ke IGD Rumah Sakit Mohammad Hosein Palembang. Pasien merupakan tahanan LP dan pernah menderita tuberkulosis pada tahun 2014. Pasien dirawat di IGD RSMH Palembang, dilakukan pemasangan WSD (Water Sealed Drainage), kemudian pasien dirawat di bangsal penyakit dalam. Saat ini keluhan sesak pasien berkurang. Pasien telah terpasang WSD selama sebelas hari, pada hari Selasa tanggal 2 Oktober 2018 dilakukan aff WSD pada pasien. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat darah tinggi disangkal. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat asma disangkal. Riwayat keganasan sebelumnya disangkal. Riwayat sesak sebelumnya ada. Riwayat Penyakit dalam Keluarga Riwayat darah tinggi disangkal. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat asma disangkal. Riwayat sesak pada keluarga disangkal. Riwayat keganasan pada keluarga disangkal. 3 Riwayat kontak dengan pasien TBC/ sakit paru disangkal. Riwayat sakit tumor paru dalam keluarga di sangkal. Riwayat batuk lama pada keluarga disangkal. Riwayat Kebiasaan Riwayat merokok dan konsumi narkotika suntik. Riwayat Obat-obatan III. Riwayat minum obat OAT selama enam bulan pada tahun 2014. PEMERIKSAAN FISIK (di ruangan pada tanggal 28 September 2018 pukul 15.00 WIB) Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi : 84 x/m, reguler, isi dan tegangan cukup. Frekuensi pernapasan : 20 x/m, regular, tipe pernapasan abdominothorakal. Suhu : 36,70C (aksila) BB : 49 kg TB : 170 cm IMT : 16,96 (underweight) Keadaan Spesifik Kepala Bentuk : normosefali Ekspresi : wajar Rambut : hitam, lurus dan tidak mudah dicabut Alopesia : (-) Deformitas : (-) Perdarahan temporal : (-) 4 Nyeri tekan : (-) Wajah sembab : (-) Mata Eksoftalmus : (-) Endoftalmus : (-) Palpebral : edema (-) Konjungtiva palpebra : pucat (-) Sklera : ikterik (-) Kornea : katarak (-) Pupil : bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+) Hidung Sekret : (-) Epistaksis : (-) Septum : deviasi (-) Telinga Meatus akustikus eks. : lapang Nyeri tekan : processus mastoideus (-/-), tragus (-/-) Nyeri tarik : aurikula (-/-) Sekret : (-) Pendengaran : baik Mulut Higiene : baik Bibir : cheilitis (-), rhagaden (-), sianosis (-), Lidah : kotor (-), atrofi papil (-) Tonsil : T1-T1 Mukosa Mulut : basah, stomatitis (-), ulkus (-) 5 Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-) Faring hiperemis : (-) Gigi : (-) Bau Pernapasan : bau keton (-) Leher Inspeksi : benjolan (-) Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid/struma (-) Auskultasi : bruit (-) Tekanan vena jugularis : (5-2) cmH2O Dada Inspeksi : dada kanan cembung, sela iga melebar (+), retraksi dinding dada (-), spider nevi (-), venektasi (-) Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-) Paru-paru (anterior) Inspeksi: Statis : paru kanan cembung, retraksi iga (-) Dinamis : paru kanan tertinggal Palpasi : nyeri tekan (-), sela iga melebar, stem fremitus kanan menurun dibandingkan paru kiri, krepitasi (+) Perkusi : kanan: hipersonor, nyeri ketok (-) kiri: sonor pada semua lapangan paru, nyeri ketok (-), batas hepar dan lien tidak teraba Auskultasi : kanan: vesikuler (+) menurun pada seluruh lapangan paru, ronkhi (-), wheezing (-) kiri: vesikuler (+), ronkhi basah sedang (+), wheezing (-) 6 Paru-paru (posterior) Inspeksi: Statis : paru kanan = kiri Dinamis : paru kanan = kiri Palpasi : nyeri tekan (-), stem fremitus kanan menurun dibandingkan paru kiri, krepitasi (+) Perkusi : kanan: hipersonor, nyeri ketok (-) kiri: sonor pada semua lapangan paru, nyeri ketok (-) Auskultasi : kanan: vesikuler (+) menurun pada seluruh lapangan paru, ronkhi (-), wheezing (-) kiri: vesikuler (+), ronkhi basah sedang (+), wheezing (-) Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat Palpasi : ictus cordis tidak teraba, thrill (-) Perkusi : Batas jantung atas LS ICS 2 , batas jantung kanan sulit dinilai, Batas jantung kiri LMC ICS V Auskultasi : HR 84 x/menit, reguler, BJ I-II (+) cepat, murmur (-), gallop (-) Abdomen Inspeksi : datar, venektasi (-), scar (-), caput medusae (-) Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), defans muskuler (-), ballotement ginjal (-), hepar dan lien tidak teraba Perkusi : timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-) Auskultasi : bising usus (+) normal Ekstremitas Inspeksi: Superior : deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-), kulit lembab, 7 flapping tremor (-), onikomikosis (-) Inferior : deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (-/-), koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis (-) Palpasi: Superior : akral hangat (+/+), edema (-/-), krepitasi (-/-) Inferior : akral hangat (+/+), edema pretibial (-/-), krepitasi (-/-) ROM: Superior : kekuatan 5, rom aktif pasif luas Inferior : kekuatan 5, rom aktif pasif luas Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan Kulit Kulit : sawo matang Efloresensi : (-) Pigmentasi : (-) Jaringan parut : (-) Turgor : baik Keringat : cukup Pertumbuhan rambut : dalam batas normal Lapisan lemak : kurang Ikterus : (-) Lembab/kering : lembab Kelenjar getah bening (KGB) Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periauricular, submandibula, cervical anterior dan posterior, supraclavicula, infraclaviculla, axilla, dan inguinal 8 Pembuluh darah a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis posterior, a.dorsalis pedis: teraba Status neurologis Tidak dilakukan pemeriksaan IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium (tanggal 25 September 2018) Pemeriksaan Hasil Rujukan Hemoglobin 14,4 g/dL 13,48 – 17,40 g/dL RBC 4,76x106/mm3 4,40 – 6,30 x106/mm3 WBC 6.9x103/mm3 4.73 – 10.89 x103/mm3 Hematokrit 43% 41 – 5% Trombosit 252x103/𝜇L 170 – 396 x103/𝜇L Basofil 0% 0 – 1% Eusinofil 3% 1 – 6% Netrofil 70% 50 – 70% Limfosit 17%* 20 – 40% Monosit 10%* 2 – 8% Glukosa Sewaktu 168 mg/dL < 200 mg/dL Pemeriksaan Kultur Sputum (tanggal 22 September 2018) I. Hasil Mikroskopis: Gram (+) coccus (+) Gram (-) bacil (+) Leukosit 2-4/Lp Epitel 1-2/Lp 9 II. Jumlah Koloni No Nama Antibiotik Interpretasi MIC 1 Ampicilin (AMP) R 4 2 Ciprofloxacin S ≤0.25 3 Gentamicin S ≤1 4 Trimetrohoprim/Sulfamethoxazole S ≤20 5 Nitrofuranoin I 64 6 Tigecycline S <0,5 7 Ceftriaxone S ≤1 8 Amikacin S ≤2 9 Ampicillin/Sulbactam R ≤2 10 Aztreonam S ≤1 11 Cefazoline R ≥64 12 Cefepime S ≤1 13 Ceftazdime S ≤1 14 Ertapenem S ≤0.5 15 Meropenem S ≤0.25 16 Piperacillin/Tazobactam S 8 Terapi Antibiotika Jenis Bahan : Resismosputum Jenis Pemeriksaan : Kultur dan resistensi MO SPUT 10 Electrocardiography (EKG) Interpretasi: Sinus takikardia P. Pulmonal Pemeriksaan Rontgen Thorax AP (tanggal 19 September 2018) Interpretasi: Jantung terdorong ke kiri. Trakea terdorong ke kiri. Mediastinum superior terdorong ke kiri. Kedua hilus tidak menebal. Corakan bronkovaskular meningkat. 11 Tampak infiltrat pada lapangan paru kiri. Tampak lusensi avaskular basal paru kanan. Tampak atelektasis paru kanan. Tampak perselubungan homogan pada laterobasal hemitoraks paru kiri. Diafragma dan sudut costophrenicus kanan baik, kiri terselubung. Tulang-tulang dan jaringan lunak baik. Kesan: Tension pneumothorax kanan Atelektasis lobus inferior paru kanan Gambaran TB paru kiri Efusi pleura kiri Pemeriksaan Rontgen Thorax PA (tanggal 21 September 2018) Interpretasi: CTR <50%, bentuk jantung normal. Trakea tertarik ke kiri, mediastinum superior tidak melebar. Sinus dan diafragma kiri berselubung. Tampak deep sulci sign kanan. 12 Pulmo: Hilus kanan tidak melebar, hilus kiri sulit dinilai, corakan bronkhivaskular tidak meningkat. Tampak bayangan lusen avaskuler dengan pleural line (+) di hemithorax atas sampai bawah kanan. Tampak infiltrat di lapang atas paru kanan dan lapang tengah kiri. Tampak perselubungan opak homogen di hemithorax atas sampai bawah kiri. Cavum thorax kiri mengecil. Terpasang CTT dengan ujung setinggi ICS 5-6 kanan. Kesan: Pneumothorax kanan, TB paru lama aktif, disertai penebalan pleura kiri DD/ efusi pleura kiri. Echocardiography 13 Interpretasi Hasil: Wall motion normokinetik Katup normal LVH (-), RVH (-) LA/RA dilatasi (-) TR (-), PR (-) E/A = 1,4 Kesan: Normal ECHO V. VI. DIAGNOSIS Pneumothorax dextra dengan emfisema subkutis TB paru kasus kambuh DIAGNOSIS BANDING Pneumothorax dextra dengan emfisema subkutis + MDR TB Pneumothorax dextra dengan emfisema subkutis + bekas TB 14 VII. TATALAKSANA Non farmakologis Istirahat Edukasi WSD (Suction/ spooling setiap hari ) Farmakologis VIII. IVFD asering gtt XX/menit. Neurodex 1x1 tab po N. asetyl systein 3x200 mg po RENCANA PEMERIKSAAN 1. Cek BTA sputum I/ II/ III, gen expert 2. Ro thorax post WSD 3. Pemeriksaan spirometri 4. Kultur M. TB IX. PROGNOSIS Quo ad vitam : Dubia ad bonam Quo ad functionam : Dubia ad bonam Quo ad sanationam : Dubia ad bonam Follow up perkembangan pasien Tanggal 28 September 2018 S O: Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Temperatur VAS Sesak berkurang Tampak sakit sedang Compos mentis 110/80 mmHg 84x/menit 20x/ menit 36,3oC 0 15 Keadaan spesifik Thorax: Paru WSD A P A: vesikuler (+) menurun pada paru kiri ICS V, rhonki (-), wheezing (-), redup pada paru kiri air bubble (+), undulasi (-) Pneumothorax dextra dengan infeksi sekunder Atelektasis paru kiri dengan emfisema kompensata dextra Malnutrisi PPOK cor pulmonale kompensata Non Farmakologis Tirah baring WSD (Suction/spooling setiap hari) Edukasi Diet NB TKTP Konsul gizi Rencana spirometri Farmakologis IVFD Asering gtt XX/m makro Neurodex 1x1 tab po N.Asetyl systein 3x200 mg po Berotec inhaler 2x1 Tanggal 29 September 2018 S O: Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Temperatur Keadaan spesifik Thorax: Paru WSD A Sesak berkurang Tampak sakit sedang Compos mentis 120/80 mmHg 80x/menit 21x/ menit 36,5oC A: vesikuler (+) menurun pada paru kiri ICS V, rhonki (-), wheezing (-) air bubble (-), undulasi (-), perdarahan (-) Pneumothorax dextra dengan infeksi sekunder Atelektasis paru kiri dengan emfisema kompensata dextra Malnutrisi PPOK cor pulmonale kompensata 16 P Non Farmakologis Tirah baring Edukasi Diet NB TKTP WSD (Suction/ spooling setiap hari) Konsul gizi Rencana spirometri Farmakologis IVFD Asering gtt XX/m makro Neurodex 1x1 tab po N.Asetyl systein 3x200 mg po Tanggal 30 September 2018 S O: Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Temperatur Keadaan spesifik Thorax: Paru WSD Badan lemas A Pneumothorax dextra dengan infeksi sekunder Atelektasis paru kiri dengan emfisema kompensata dextra Malnutrisi PPOK cor pulmonale kompensata Non Farmakologis Tirah baring Edukasi Diet NB TKTP WSD (Suction/ spooling setiap hari) R/spirometri R/pleurodisis Farmakologis IVFD Asering gtt XX/m makro P Tampak sakit sedang Compos mentis 120/80 mmHg 80x/menit 20x/ menit 36,7oC A: vesikuler (+) menurun pada paru kiri ICS V, rhonki (-), wheezing (-) air bubble (-), undulasi (-) 17 Neurodex 1x1 tab po N.Asetyl systein 3x200 mg po Berotec inhaler 2x1 Tanggal 01 Oktober 2018 S O: Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Temperatur Keadaan spesifik Thorax: Paru WSD A P Sesak berkurang Tampak sakit sedang Compos mentis 110/70 mmHg 80x/menit 20x/ menit 36,5oC A: vesikuler (+) menurun pada paru kiri ICS V, rhonki (-), wheezing (-) air bubble (-), undulasi (-) Pneumothorax dextra dengan infeksi sekunder Atelektasis paru kiri dengan emfisema kompensata dextra Malnutrisi PPOK cor pulmonale kompensata Non Farmakologis Tirah baring Edukasi Diet NB TKTP WSD (Suction/ spooling setiap hari) Rencana spirometri Rencana pleurodisis Farmakologis IVFD Asering gtt XX/m makro Neurodex 1x1 tab po N.Asetyl systein 3x200 mg po Berotec inhaler 2x1 18 Tanggal 02 Oktober 2018 S O: Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernapasan Temperatur Keadaan spesifik Thorax: Paru WSD A P Sesak berkurang Tampak sakit sedang Compos mentis 110/70 mmHg 86x/menit 24x/ menit 36,7oC A: vesikuler (+) menurun pada paru kiri ICS V, rhonki (-), wheezing (-) Buka klem di WSD (evaluasi jika air bubble (-) maka aff WSD) Pneumothorax dextra dengan infeksi sekunder Atelektasis paru kiri dengan emfisema kompensata dextra Malnutrisi PPOK cor pulmonale kompensata Non Farmakologis Tirah baring Edukasi Diet NB TKTP Rencana spirometri Rencana aff WSD jika tidak ada air bubble Farmakologis IVFD Asering gtt XX/m makro Neurodex 1x1 tab po N.Asetyl systein 3x200 mg po Berotec inhaler 2x1 19 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumothorax 2.1.1 Definisi Pneumothorax adalah suatu kondisi dimana terjadi akumulasi udara pada cavum pleura yang dapat terjadi secara spontan atau pasca traumatik. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pneumothorax dapat terjadi secara spontan dan traumatik (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.1.2 Klasifikasi Penumothorax Klasifikasi pneumothorax berdasarkan dengan penyebabnya adalah sebagai berikut: 1. Pneumothorax Spontan Pneumothorax spontan adalaha setiap pneumthorax yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik), ada 2 jenis yaitu: Pneumothorax Spontan Primer Disebabkan oleh ruptur kista kecil udara subpleura di apeks, tetapi jarang menyebabkan gangguan fisiologis yang signifikan. Biasanya menyerang laki-laki (L:P 5:1) muda (20-40 tahun) bertubuh tinggi tanpa penyakit paru penyebab. Pneumothorax spontan primer merupakan jenis paling sering 5 pada pneumothorax (prevalensi 8/10 /tahun, meningkat sampai 5 200/10 /tahun pada orang dengan tinggi badan > 1,9 m). Setelah Pneumothorax spontan primer kedua, mungkin terjadi rekurensi (> 60%). Pleurodesis untuk menyebabkan fusi pleura viseralis dan parietalis yang menggunakan tindakan medis (misalnya insersi bleomisin atau talcum ke dalam pleura) atau pembedahan (misalnya abrasi lapisan pleura ) dianjurkan (Ward et al, 2007). 20 Pneumothorax Spontan Sekunder Pneumothorax spontan sekunder dihubungkan dengan penyakit respirasi yang merusak arsitektur paru, paling sering bersifat obstruktif (misalnya penyakit paru obstruktif kronik/PPOK, asma) fibrotik atau infektif (misalnya pneumonia) dan kadang-kadang gangguan langka atau herediter (misalnya sindrom Marfan, Fibrosis kistik). Insidensi SPP meningkat seiring bertambahnya usia dan memberatnya penyakit paru penyebab. Pasien tersebut biasanya perlu dirawat di rumah sakit karena meskipun pneumothorax sekunder kecil, pada pasien dengan cadangan respirasi yang berkurang, dapat terjadi komplikasi yang lebih serius daripada pneumothorax spontan primer besar. 2. Pneumothorax Traumatik Pneumothorax tersebut terjadi setelah trauma toraks tumpul (misalnya kecelakaan lalu lintas) atau tajam (misalnya fraktur iga, luka tusuk). Berdasarkan kejadiannya pneumothorax traumatik dibagi menjadi: Pneumothorax traumatik bukan iatrogenic Pneumthorax yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup Pneumothorax traumatik iatrogenic Pneumthorax yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis, dibedakan menjadi 2 yaitu: - Pneumothorax traumatik iatrogenik aksidental, adalah pneumothorax yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada tindakan parasintesis dada, biopsi pleura, biopsi transbronkial, biopsi/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik). - Pneumothorax traumatik iatrogenik artifisial (deliberate), adalah pneumothorax yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box. 21 Berdasarkan jenis fistulnya pneumothorax dapat dibagi menjadi: Pneumothorax Tension Pneumothorax tension dapat menyulitkan (menjadi komplikasi) pneumothorax spontan primer atau pneumothorax sekunder tetapi paling sering terjadi selama ventilasi mekanis dan setelah pneumothorax traumatik. Pneumtohorax tersebut terjadi bila udara menumpuk dalam rongga pleura lebih cepat daripada yang dapat dikeluarkan. Peningkatan tekanan intratoraks menyebabkan aliran balik vena, dan syok yang disebabkan oleh penurunan curah jantung. Keadaan tersebut merupakan kegawatan medis dan fatal jika tidak dihilangkan secara cepat dengan drainase. Deteksi merupakan suatu diagnosis klinis, menunggu konfirmasi foto torkas dapat mengancam jiwa. dilakukan. Pneumothorax Tertutup (Simple Pneumothorax) Pneumothorax tertutup yaitu suatu pneumothorax dengan tekanan udara di rongga pleura yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi hemitoraks kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dan tekanan atmosfir. Pneumothorax Terbuka (Open Pneumothorax) Pneumothorax terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat inspirasi, mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser kearah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound). 2.1.3 Manifestasi Klinis Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah: Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Lindskog dan Halasz menemukan 69% dari 72 pasien mengalami nyeri dada. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien. 22 Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan biasanya pada pneumthorax sekunder spontan. Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan menurut Mills dan Luce deajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau menimbulkan gangguan ringan sampai berat (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.1. 5 Patogenesis Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang-tulang yang menyusun struktur pernapasan seprti tulang clavicula, sternum, scapula. Kemudian yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada proses inspirasi dan ekspirasi. Pada fisiologi pernafasan normal, pada waktu inspirasi tekanan intrapleura lebih negatif daripada tekanan intrabronkial sehingga paru mengembang mengikuti gerakan dinding dada yang mengakibatkan udara luar akan masuk melalui bronkus hingga ke alveolus. Sedangkan pada saat ekspirasi dinding dada menekan rongga dada sehingga tekanan intrapleura akan lebih tinggi daripada tekanan udara luar maupun intrabronkial sehingga menyebabkan udara tertekan keluar melalui bronkus. Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan pada saluran pernapasan, tekanan ini akan lebih meningkat pada permulaan batuk, bersin, atau mengejan. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrabronkial disertai kelemahan bagian perifer bronkus atau alveolus, maka kemungkinan akan terjadi robekan alveolus maupun bronkus. Pneumothoraks dapat dijelaskan melalui adanya mekanisme kebocoran di bagian paru yang berisi udara melalui robekan pleura yang pecah dimana bagian yang pecah ini berhubungan dengan bronkus. Pelebaran alveolus dan septa-septa alveolus yang pecah kemudian dapat membentuk suatu bula berdinding tipis di dekat daerah yang terdapat proses radang nonspesifik atau fibrosis granulomatosa (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Alveolus disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek, apabila alveolus melebar dan tekanan intraalveolar meningkat, maka udara dengan mudah menuju ke jaringan peribronkovaskuler. Gerakan nafas 23 yang kuat, infeksi, dan obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan, selanjutnya udara yang terbebas dari alveolus dapat mengoyak jaringan fibrotik peribronkovaskuler. Robekan pleura yang berlawanan arah dengan hilus akan menimbulkan pneumothoraks, sedangkan robekan yang mengarah ke hilus dapat menyebabkan pneumomediastinum. Di antara organ-organ mediastinum terdapat jaringan ikat longgar sehingga mudah ditembus udara. dari leher, udara menyebar merata di bawah kulit leher dan dada sehingga timbul emfisema subkutis (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari udara pada kapiler pembuluh darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi yang menyebabkan masuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal atau visceral, atau disebabkan kelainan kongenital adanya bula pada subpleura yang akan pecah jika terjadi peningkatan tekanan pleura (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). 2.1.4 Penegakan Diagnosis Keluhan utama pasien pneumothoraks spontan adalah sesak nafas, bernafas terasa berat, nyeri dada, dan batuk. Sesak sering mendadak dan semakin lama semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri pada saat gerakan pernapasan. Pada pneumothoraks spontan, sebagai pencetus adalah batuk keras, bersin, mengangkat barang-barang berat, kencing, atau mengejan. Penderita mengeluhkan munculnya gejala dirasakan setelah melakukan hal-hal tersebut. Pada pneumothoraks traumatik, gejala-gejala pneumothoraks tersebut muncul setelah terjadi peristiwa yang menyebabkan trauma pada thoraks. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan pneumothoraks akan muncul tanda: 24 a. Tampak sesak ringan sampai berat, tergantung pada kecepatan udara yang masuk serta ada tidaknya klep. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek dengan mulut terbuka. b. Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis c. Badan tampak lemah dan dapat disertai syok, pada pneumothoraks dengan onset akut dapat pula disertai keringat dingin. d. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik pada sesak nafas ringan. Pada sesak nafas berat, nadi menjadi cepat dan lemah disebabkan waktu pengisian kapiler berkurang. e. Pada pemeriksaan fisik thoraks ditemukan: Inspeksi Hemithoraks yang sakit dapat lebih cembung dibandingkan hemithoraks sehat, gerakan nafas tertinggal pada bagian thoraks yang sakit, trakhea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat. Palpasi Pada sisi yang sakit, SIC dapat normal atau melebar, iktus cordis terdorong ke arah sisi thoraks yang sehat, vocal fremitus melemah atau menghilang pada sisi yang sakit. Perkusi Pada sisi yang sakit didapatkan suara hipersonor dan tidak menggetar, batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan intrapleural tinggi. Auskultasi Pada bagian yang sakit, suara dasar nafas melemah sampai menghilang, suara nafas terdengar amforik bila ada fistel bronkopleura yang cukup besar pada pneumothoraks terbuka, suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif, dapat pula dilakukan coin test dengan menggunakan ketukan 2 koin logam yang satu ditempelkan di dada dan yang lain diketokkan pada koin pertama, kemudian akan terdengar bunyi metalik pada punggung. 25 Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakan diagnosis pneumothoraks antara lain foto rontgen thoraks PA yang memperlihatkan gambaran hiperlusen, corakan bronkovaskuler menghilang, paru mengempis, dan trakhea terdorong ke arah hemithoraks yang sehat. Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia, namun pemeriksaan ini kadang tidak diperlukan. Pada pneumothoraks kiri dapat menimbulkan perubahan aksis QRS dan gelombang T precordial pada gambaran EKG dan seringkali ditafsirkan sebagai Infark Myokard Akut (IMA). Selain itu, dapat pula dilakukan CT scan thorax pada pasien yang diagnosisnya belum tegak setelah dilakukan foto rontgen. pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan emfisema bulosa dan pneumothoraks, batas antar udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner, serta dapat membedakan pneumothoraks spontan primer atau sekunder. 2.1.5 Penatalaksanaan Tindakan pengobatan pneumothoraks tergantung dari luasnya pneumothoraks, tujuannya untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan meminimalkan risiko kambuh lagi. British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan pneumothoraks, yaitu: Observasi dan pemberian tambahan oksigen Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau tanpa pleurodesis Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau bula Torakotomi Pada pneumothoraks tertutup dengan paru kolaps minimal dan tekanan intrapleural masih negatif, hanya dilakukan tindakan observasi apakah gejala klinis menetap atau bertambah berat dengan diberikan terapi oksigenasi. Apabila keluhan sesak memberat, dapat dicurigai sebagai pneumothoraks terbuka atau bahkan tension pneumothoraks sehingga selanjutnya diperlukan tindakan dekompresi atau membuat hubungan rongga pleura dengan dunia luar dengan 26 menggunakan infus set, jarum abbocath, atau pemasangan pipa Water Sealed Drainage (WSD). Apabila diperlukan, dapat pula dibantu dengan continous suction agar tekanan intrapleural cepat kembali menjadi negatif. Tindakan pembedahan yang mungkin dilakukan antara lain dengan pembukaan dinding thoraks melalui operasi, dicari lubang yang menyebabkan pneumothoraks kemudian dijahit. Apabila ditemukan penebalan pleura yang mengganggu pengembangan paru, dapat dilakukan reseksi. Pilihan terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan pleurodesis, yaitu dilakukan penjahitan setelah masingmasing pleura dikerok atau lapisan tebal dibuang, selanjutnya kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan untuk menangani penyakit paru yang mendasarinya. Selain itu, pasien dengan pneumothoraks dilarang melakukan kerja keras, batuk dan bersin terlalu keras, dan mengejan. Untuk mencegah obstipasi dan memperlancar defekasi, dapat diberikan laksan ringan untuk mengurangi mengejan terlalu keras pada saat defekasi. Pencegahan Pneumothoraks adalah sebagai berikut: Pada penderita PPOK, diberikan pengobatan yang adekuat terutama jika pasien batuk-batuk berkepanjangan. Pilihan obat yang dapat diberikan adalah bronkodilator dan antitusif ringan, ditambah dengan edukasi agar pasien tidak batuk dan mengejan terlalu keras serta menghindari aktifitas berat. Pada penderita TB paru, harus dilakukan terapi OAT hingga tuntas. Prognosis pasien pneumothoraks dengan TB paru lebih baik pada pasien yang lesinya masih minimal. Rehabilitasi: Pasien yang telah sembuh dari pneumothoraks harus dilakukan pengobatan secara baik untuk penyakit paru yang mendasarinya. Pasien diberikan edukasi agar menghindari batuk dan mengejan terlalu berat, derta menghindari beraktifitas berat seperti mengangkat beban. Apabila mengalami kesulitan defekasi, dapat diberikan laksan ringan 27 Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama jika ada keluhan batuk dan sesak nafas. 2.1.6 Komplikasi Tension pneumothoraks dapat menyebabkan kegagalan respirasi akut, empyema, hidro-pneumothoraks, hematothoraks, pneumomediastinum dan emfisema subkutis, hingga henti jantung paru dan kematian. Selain itu, pneumothoraks dapat pula menyebabkan terjadinya pneumothoraks simultan bilateral (insidensi + 2 %) dan pneumothoraks kronik, bila tetap ada selama waktu lebih dari 3 bulan (insidensi + 5 %). 2.1.7 Prognosis Pasien dengan pneumothoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami kekambuhan, baik setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracostomy. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumothoraks spontan sekunder prognosisnya tergantung dari penyakit paru yang mendasaarinya. 2.2. Emfisema Subkutis 2.2.1 Definisi Emfisiema merupakan suatu keadaan dimana terkumpulnya udara secara patologik dalam jaringan atau organ. Subkutis merupakan suatu lapisan kulit setelah dermis, sehingga definisi emfisiema subkutis adalah emfisiema intertisial yang ditandai dengan adanya udara dalam jaringan subkutan, biasanya disebabkan oleh cedera intratoraks, dan pada kebanyakan kasus disertai dengan pneumothoraks dan pneumomediastinum, disebut juga pneumoderma (Dorland, 2002). Emfisiema subkutis merupakan suatu kondisi yang tidak membahayakan, namun menimbulkan masalah kecantikan pada pasien dan keluarga pasien. Hal ini disebabkan karena terdapatnya sekumpulan udara di dalam rongga subkutan pada dinding dada yang menjalar ke jaringan lunak di wajah, leher, dada atas, dan bahu. Terkumpulnya udara di wajah menimbulkan pembengkakan pada kelopak mata 28 yang menyebabkan pasien tidak dapat membuka mata, selain itu juga disertai terjadinya perubahan suara yang menjadi lebih tinggi akibat dari pengumpulan udara di dalam laring (Cerfolio, 2015). Udara pada jaringan subkutan yang terkumpul dapat menyebar secara langsung ke daerah sekitar, sehingga bagian tubuh atas lebih sering terkena daripada bagian tubuh bawah. Keadaan yang tampak pada emfisiema subkutis adalah pembengkakan pada kulit yang jika dipalpasi teraba seperti renyah (crunchy). Pada gambaran radiologi akan tampak pengumpulan udara pada permukaan kulit yang biasanya meliputi sebagian besar dari tubuh. 2.2.2 Etiologi Emfisiema subkutis dapat disebabkan oleh trauma pada sistem respirasi ataupun sistem gastrointestinal. Umumnya trauma yang terjadi pada dada dan leher, dimana udara dapat terperangkap sebagai hasil dari trauma tajam seperti luka tembak atau luka tikam, maupun luka tumpul. Emfisiema subkutis juga dapat disebabkan oleh prosedur dan tindakan medis, yang menyebabkan tekanan pada alveoli, sehingga alveoli menjadi ruptur. Hal ini biasanya disebabkan oleh pneumothoraks dan kateterisasi paru (chest tube). Keadaan ini disebut sebagai surgical emphysema. Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis yaitu: 1. Trauma Trauma tumpul maupun trauma penetrasi merupakan kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis. Trauma pada bagian dada merupakan penyebab umum terjadinya emfisiema subkutis, dimana udara yang berasal dari dada dan paru dapat masuk ke kulit dinding dada. Sebagai contoh adalah terjadinya luka tusuk atau luka tembak pada dada yang menyebabkan robeknya pleura, sehingga udara yang berasal dari paru menyebar ke otot-otot dan lapisan subkutan. Emfisiema subkutis juga dapat terjadi pada pasien dengan patah tulang iga, dimana iga melukai parenkim paru yang menyebabkan rupturnya alveolus. 29 2. Tindakan medis Emfisiema subkutis merupakan suatu komplikasi yang umum disebabkan pada berbagai tindakan operasi, seperti operasi dada, operasi daerah sekitar esofagus, operasi gigi dengan menggunakan teknik berkecepatan tinggi, tindakan laparoscopy, cricothyrotomy, dan sebagainya. 3. Infeksi Udara Udara dapat terperangkap di bawah kulit yang mengalami infeksi nekrosis seperti pada gangren. Gejala emfisiema subkutis dapat dihasilkan ketika organisme infeksius memproduksi gas sebagai hasil dari fermentasi. Kemudian gas ini menyebar ke sekitar lokasi awal pembentukan infeksi, maka terbentuklah emfisiema subkutis. 2.2.3. Patogenesis Emfisiema subkutis merupakan hasil dari peningkatan tekanan di dalam paru dikarenakan rupturnya alveoli. Udara dapat masuk ke jaringan lunak pada leher dari mediastinum dan retroperitoneum. Pada emfisiema subkutis, udara menyebar dari alveoli yang ruptur masuk ke interstitium dan sepanjang pembuluh darah paru, masuk ke mediastinum dan berlanjut ke jaringan lunak pada leher dan kepala. Emfisiema pada daerah subkutan, servikofasial, mediastinum terjadi karena udara yang masuk ke jaringan fasial kepala dan daerah leher. Daerah ini mempunyai suatu rongga yang memungkinkan untuk terisi dengan udara. Daerah ini dibatasi oleh fasia otot, organ, dan struktur lainnya. Udara yang masuk ke daerah leher dapat masuk ke retrofaringeal yang terletak antara dinding posterior dan kolumna vertebra, dari sini akan dapat terus ke posterior fasial kemudian ke Grodinsky and Holyoke’s yang disebut sebagai daerah yang berbahaya karena berhubungan langsung ke posterior mediastinum. Jika udara mengalir pada daerah ini akan menekan vena trunks yang bisa menyebabkan gagal jantung atau asfiksia karena adanya tekanan di trakea (Rusdy, 2008). 30 2.2.4. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala dari emfisiema subkutis bervariasi tergantung pada penyebab dan lokasi terjadinya, tetapi sering berhubungan dengan pembengkakan pada leher dan nyeri dada, dan terkadang juga terjadi nyeri tenggorokan, nyeri leher, wheezing (mengi) dan kesulitan bernafas. Pada hasil inspeksi tampak jaringan di sekitar emfisiema subkutis biasanya membengkak. Jika kebocoran udara sangat banyak, wajah dapat menjadi bengkak sehingga kelopak mata tidak dapat dibuka (Cerfolio, 2008). 2.2.5. Penatalaksanaan Emfisiema subkutis biasanya bersifat jinak, sehingga tidak membutuhkan penanganan karena dalam 3 atau 4 hari bahkan sampai seminggu pembengkakan akan berkurang secara menyeluruh karena udara diserap secara spontan dan terjadi penyembuhan. Pada kasus emfisiema subkutis yang berat, kateter dapat dipasangkan di jaringan subkutan untuk mengeluarkan udara. Irisan kecil atau lubang kecil dapat dibuat di permukaan kulit untuk mengeluarkan udara. Penanganan emfisiema subkutis tidak hanya dengan istirahat total, tetapi juga dengan penggunaan obat-obatan penghilang rasa nyeri, serta pemberian sejumlah oksigen. Dengan pemberian sejumlah oksigen dapat membantu tubuh untuk mempercepat penyerapan udara di lapisan subkutan. Monitor dan observasi ulang juga merupakan hal penting dalam tatalaksana emfisiema subkutis (Rusdy, 2008). 2.2.6 Prognosis Udara di jaringan subkutan biasanya tidak menimbulkan kematian, sejumlah kecil udara dapat di reabsorbsi oleh tubuh. Terkadang pneumothoraks atau pneumomediastinum yang menyebabkan emfisiema subkutis, dengan atau tanpa tindakan medis emfisiema subkutis biasanya dapat hilang sendiri. 31 BAB IV ANALISIS KASUS Tn. ABMH datang dengan keluhan sesak hebat sejak 5 jam SMRS. Sesak atau dipsneu adalah kesulitan bernapas yang disebabkan karena suplai oksigen ke dalam jaringan tubuh tidak sebanding dengan oksigen yang dibutuhkan tubuh. Patofisiologi dari dipsneu dapat dibagi menjadi: kekurangan oksigen, kelebihan karbondioksida, hiperaktifasi refleks pernapasan, emosi, asidosis dan penambahan kecepatan metabolisme. Kesulitan bernapas ini terlihat dengan adanya kontraksi dari otot-otot pernapasan. Keluhan sesak dapat berasal dari gangguan organ paru, jantung, ginjal, maupun kelainan metabolik. Sesak pada pasien tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Sesak yang dipengaruhi aktivitas dapat terjadi pada infark miokard dan asma bronkial. Dipsneu yang disebabkan asidosis, anemia atau anoksia biasanya berhubungan dengan exertional (latihan). Sesak juga tidak dipengaruhi oleh posisi. Pada pneumothorax, sesak napas tidak akan berkurang dengan perubahan posisi. Hal ini sesuai dengan anamnesis pada pasien. Sesak juga tidak disertai mengi, dimana pada asma bronkiale terdapat pemanjangan dari ekspirasi dan wheezing (mengi). Jadi dapat disimpulkan sesak yang terjadi pada pasien dikarenakan adanya pneumothorax. JVP tidak mengalami peningkatan. JVP yang meningkat adalah tanda klasik hipertensi vena dan COPD. Pada pemeriksaan ekstremitas tidak ditemukannya edema tungkai. Edema tungkai dapat terjadi pada COPD, bronkitis dan hiperkapnia. Dilakukan pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui adanya anemia. Pada pasien, hemoglobin dalam batas normal. Pada inspeksi thoraks, dada terlihat asimetris dimana dada kanan lebih cembung daripada dada kiri. Pada keadaan dinamis, paru kanan tertinggal dari paru kiri. Hal ini tidak normal karena pada normalnya pengembangan dari kedua sisi toraks harus terlihat simetris pada waktu inspirasi. Jika ada kelainan, kemungkinan yang terjadi adalah hiperinflasi (emfisema), berkurangnya compliance paru (fibrosis) dan rongga dada (ankilosis, spondilitis), gerakan otot 32 yang berkurang (miastenia gravis) atau berkurangnya gerakan toraks ipsilateral (pneumothorax dan efusi pleura). Pada palpasi thorax didapatkan stem fremitus menurun pada paru kanan. Stem fremitus yang menurun bisa terjadi jika ada udara atau cairan pada rongga pleura. Pada perkusi thorax, didapatkan hipersonor pada paru kanan dan sonor pada paru kiri. Perkusi paru yang normal adalah sonor. Pada auskultasi paru didapatkan bunyi vesikuler yang menghilang pada paru kiri bagian basal. Suara pernapasan yang menurun pada paru kanan dan ronkhi basah sedang pada paru kiri menunjukkan bahwa terdapat sesuatu di rongga pleura, seperti gas atau cairan yang biasa terjadi pada pneumothorax dan efusi pleura. Hampir 30% dari cairan pleura (pleura effusion) disebabkan oleh karena keganasan dan 25% disebabkan karena tuberkulosa. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelainan pada pemeriksaan fisik pada toraks disebabkan karena efusi pleura. Rencana pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan fungsi paru untuk mengetahui apakah kelainannya bersifat obstruktif atau restriktif. Pemeriksaan analisis gas ditujukan pada udara inspirasi, ekspirasi, udara alveoli dan untuk menganalisis gas darah maupun reaksi dari paru terhadap pemberian O2 dengan konsentrasi yang tinggi. Tindakan biopsi pleura biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis keganasan atau tuberkulosa. Insiden pneumothorax terjadi lebih banyak pada pria dibanding wanita dengan rasio 5:1 (Sudoyo, 2009). Hal ini sesuai dengan kasus dimana pasien berjenis kelamin laki-laki. Pneumothorax spontan primer (PSP) sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit sebelumnya. Hal ini sesuai dengan riwayat penyakit dahulu pasien yang tidak pernah sesak seperti ini sebelumnya. Pneumothorax spontan primer banyak dijumpai pada pria dengan usia antara dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus PSP berusia kurang dari 45 tahun. Hal ini sesuai dengan usia Tn.ABMH yang berusia 31 tahun. Tn. ABMH dicurigai sebagai TB paru karena menurut Seaton dkk. Melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi pneumothorax sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru komplikasi 33 pneumothorax meningkat lebih dari 90%. Pneumothorax spontan primer (PSP) adalah suatu pneumothorax yang terjadi tanpa ada riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya, umumnya pada individu yang sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas fisik yang berat tetapi justru terjadi pada saat istirahat. Penyebab lain biasanya karena sarcoma kaposi, pemakaian obat-obatan intravena, toksoplasmosis, infeksi bakterial, jamur maupun virus. Tatalaksana pneumothorax bertujuan untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Prinsip penanganan dengan observasi dan pemberian tambahan oksigen, aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakoskopi dengan pleurodesis. Pada pasien ini dipasang O2 3L/m nasal kanul dan Water Sealed Drainage (WSD). 34 DAFTAR PUSTAKA Aditama TY, et al. 2006. Tuberkulosis. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta. Bartlett JG. 1987. Anaerobic Bacterial Infections of the Lung. Chest 91(6): 901-9. Fishman. 2008. Pulmonary Disease and Disorders Fourth Edition Volume Two. United States: p.2141-60. Cerfolio RJ, Bryant AS, Maniscalco LM. 2008. Management of Subcutaneous Emphysema After Pulmonary Resection. Ann Thorac Surg. Danusantoso Halim. 2005. Tuberkulosis Paru. Ilmu Penyakit Paru. Penerbit Hipokrates Palgunadimargono B. Pedoman diagnosa dan terapi BAG/ SMF Ilmu Penyakit Paru, Edisi 3. Surabaya. Dorland WAN. 2002. Alih bahasa: Setiawan A dkk. Kamus Kedokteran Dorland, ed.29. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Goetz MB, Finegold SM. 2000. Pyogenic Bacterial Pneumonia, Lung Abses, dan Empyema. In: Textbook of respiratory medicine. Editor: Murray JF, Nadel JA. 3rd. Ed. Philadelphi; WB Sauders.p.1031-2. Halim H. 2009. Penyakit-penyakit Pleura. In: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi kelima jilid III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p.2329-36. Harish P, Gwilt C. 2008. Crash Course: Respiratory System, 3rd edition. London: Elseiver.p. Hisyam B, Budiono E. 2009. Pneumotoraks Spontan. In: In: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi kelima jilid III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p.2339-46. Hood A, Pradjoko I. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: FK Unair.p. Light ER. 2001. Effusions and Empyema. In: Pleural disease. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.p. 51-81. 35 Nadel M. 2000. Text Book of Respiratory Medicine Third Edition Volume One. Philadelphia: McGraw-Hill Companies.p.985-1041. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia. Jakarta. Price S, Mary P. Standridge. 2003. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. EGC, Jakarta, p.852-864. Rosenbluth DB. 2002. Pleural Effusion: Nonmalignant and Malignant. In: Fishman’s of Pulmonary Disease and Disorders. Editors: Fishman AP, Elias JA, et al. 3rd. Ed. New York: McGraw-Hill Companies.p.487-506. Rab HT. 2004. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: CV Trans Info Media. p.79-102. Harries A, et al. TB/HIV a Clinical Manual. 2nd Edition. Department of HIAIDS WHO. Geneva. Rusdy H, Nurwiyadh A. 2008. Empisiema Sebagai Komplikasi Pembedahan Molar Tiga Bawah dengan Menggunakan High Speed Turbine. Dentika Dental Journal, Vol.13, No.1,: 90 – 92. Ward, J.P.T., Ward ,J., Leach, R.M., Wiener, C.M., 2007. At a Glance Sistem Respirasi. Edisi ke-2. Jakarta:EGC. 36