Uploaded by User68330

neumotHORAKS + EMFISEMA

advertisement
Laporan Kasus
Seorang Pria Datang ke Rumah Sakit dengan Keluhan
Sesak Sejak 5 Jam SMRS
Oleh
Marini Rachma Ghaisani, S.Ked
04084821820027
M. Ananda Triansyahputra, S.Ked
04084841820002
Pembimbing:
Dr. dr. Zen Ahmad, Sp.PD, KP
BAGIAN/DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA /
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
“Seorang Pria Datang Ke Rumah Sakit Dengan Keluhan Sesak
Sejak 5 Jam SMRS”
Marini Rachma Ghaisani, S.Ked
04084821820027
M. Ananda Triansyahputra, S.Ked
04084841820002
Sebagai syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik periode 17 September 2018–26
November 2018 di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Palembang, Oktober 2018
Dr. dr. Zen Ahmad, Sp.PD, KP
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Seorang
Pria Datang ke Rumah Sakit dengan Keluhan Sesak Sejak 5 Jam SMRS”.
Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW,
sebagai tauladan umat manusia. Laporan ini merupakan salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMH
Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Zen Ahmad, Sp.PD, KP
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi
yang membacanya.
Palembang, Oktober 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
BAB II. STATUS PASIEN ....................................................................................... 3
2.1. Identifikasi Pasien .......................................................................................... 3
2.2. Anamnesis ...................................................................................................... 3
2.3. Pemeriksaan Fisik........................................................................................... 5
2.4. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 9
2.5. Diagnosis ...................................................................................................... 14
2.6. Diagnosis Banding ....................................................................................... 14
2.7.Tatalaksana .................................................................................................... 15
2.8. Rencana Pemeriksaan ................................................................................... 15
2.9. Prognosis ...................................................................................................... 15
2.10. Follow up .................................................................................................... 15
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 20
3.1. Pneumothorax ............................................................................................... 20
3.2. Emfisema Subkutis ....................................................................................... 28
BAB IV. ANALISIS KASUS .................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 35
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon
dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Paru-paru berada di dalam rongga toraks,
yanh dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi
gerakan paru-paru di dalam rongga. Pada keadaan normal rongga pleura berisi
sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan.
Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara bebas di dalam
ruang pleura. Pneumothorax dapat diklasifikasikan sesuai dengan penyebabnya
yaitu dapat terjadi spontan, trauma, serta akibat tindakan medis. Pneumothorax
mengurangi kapasitas vital paru dan menurunkan tekanan oksigen yang terjadi
akibat kebocoran antara alveolus dan rongga pleura, sehingga udara akan
berpindah dari alveolus dan rongga pleura berpindah dari alveolus ke rongga
pleura hingga tekanan di kedua sisi sama. Akibatnya, volume paru berkurang dan
volume rongga toraks bertambah. Gejala pneumothorax tergantung pada jenis dan
luasnya, biasanya keluhan berupa nyeri yang hebat. (Pappachan, 2008).
Insiden pneumothoraks terjadi lebih banyak pada pria dibanding wanita
dengan rasio 5:1 (Sudoyo, 2009). Pneumothorax spontan primer (PSP) sering
dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit sebelumnya (Sudoyo, 2009).
Tatalaksana pneumothorax bertujuan untuk mengeluarkan udara dari
rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kekambuhan. Penatalaksaan
pneumothorax tergantung pada berapa luas pneumothorax yang terjadi. Karena
tingginya angka mortalitas dan perlunya penatalaksanaan dan penegakan
diagnosis yang tepat, maka penulis membawakan kasus mengenai kasus tersebut.
Penulis berharap laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi yang
membacanya.
1
BAB II
STATUS PASIEN
I.
IDENTITAS
Nama
: Tn. ABMH
Umur
: 31 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Sumatera
Alamat
: Jl. Kekapung No. 142, Ilir Timur II, 11 Ilir, Palembang
Pekerjaan
: Tidak ada
MRS
: 21 September 2018
Tgl. Pemeriksaan : 28 September 2018
No. RM
II.
: 0001082174
ANAMNESIS (Autoanamnesis pada tanggal 28 September 2018 pukul
15.00 WIB)
Keluhan utama: Sesak hebat sejak 5 jam SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Empat tahun sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak,
sesak saat beraktivitas, dan tidak berkurang setelah istirahat. Batuk ada,
berdahak warna hijau kental, disertai darah, nyeri dada tidak ada, demam
tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, badan lemas tidak ada. BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Penurunan berat badan tidak ada, penurunan nafsu
makan tidak ada. Pasien berobat ke puskesmas terdekat rumah dan dirujuk ke
Rumah Sakit Mohammad Hosein Palembang. Pasien dirawat dan didiagnosis
menderita TB paru, pasien rutin berobat dan minum obat OAT selama enam
bulan. Setelah enam bulan obat OAT habis dan pasien berhenti berobat
karena pasien mengaku tidak ada keluhan lagi dan merasa sembuh, kemudian
2
pasien tidak melakukan pemeriksaan BTA dan rontgen thorax, sehingga tidak
pernah kontrol.
Lima jam sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh timbul sesak,
sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas ataupun posisi. Sesak tidak berkurang
setelah istirahat. Suara mengi tidak ada, batuk tidak ada, demam tidak ada,
nyeri dada tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, badan lemas tidak
ada, penurunan nafsu makan tidak ada. Penurunan berat badan tidak ada.
Pasien belum pernah berobat sebelumnya, dan hanya minta dikerik oleh
istrinya. Kemudian keluhan semakin berat, pasien lalu dibawa ke IGD Rumah
Sakit Mohammad Hosein Palembang. Pasien merupakan tahanan LP dan
pernah menderita tuberkulosis pada tahun 2014.
Pasien dirawat di IGD RSMH Palembang, dilakukan pemasangan
WSD (Water Sealed Drainage), kemudian pasien dirawat di bangsal penyakit
dalam. Saat ini keluhan sesak pasien berkurang. Pasien telah terpasang WSD
selama sebelas hari, pada hari Selasa tanggal 2 Oktober 2018 dilakukan aff
WSD pada pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat darah tinggi disangkal.

Riwayat kencing manis disangkal.

Riwayat asma disangkal.

Riwayat keganasan sebelumnya disangkal.

Riwayat sesak sebelumnya ada.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Riwayat darah tinggi disangkal.

Riwayat kencing manis disangkal.

Riwayat asma disangkal.

Riwayat sesak pada keluarga disangkal.

Riwayat keganasan pada keluarga disangkal.
3

Riwayat kontak dengan pasien TBC/ sakit paru disangkal.

Riwayat sakit tumor paru dalam keluarga di sangkal.

Riwayat batuk lama pada keluarga disangkal.
Riwayat Kebiasaan

Riwayat merokok dan konsumi narkotika suntik.
Riwayat Obat-obatan

III.
Riwayat minum obat OAT selama enam bulan pada tahun 2014.
PEMERIKSAAN FISIK
(di ruangan pada tanggal 28 September 2018 pukul 15.00 WIB)
Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 84 x/m, reguler, isi dan tegangan cukup.
Frekuensi pernapasan
: 20 x/m, regular, tipe pernapasan
abdominothorakal.
Suhu
: 36,70C (aksila)
BB
: 49 kg
TB
: 170 cm
IMT
: 16,96 (underweight)
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk
: normosefali
Ekspresi
: wajar
Rambut
: hitam, lurus dan tidak mudah dicabut
Alopesia
: (-)
Deformitas
: (-)
Perdarahan temporal
: (-)
4
Nyeri tekan
: (-)
Wajah sembab
: (-)
Mata
Eksoftalmus
: (-)
Endoftalmus
: (-)
Palpebral
: edema (-)
Konjungtiva palpebra : pucat (-)
Sklera
: ikterik (-)
Kornea
: katarak (-)
Pupil
: bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya
(+/+)
Hidung
Sekret
: (-)
Epistaksis
: (-)
Septum
: deviasi (-)
Telinga
Meatus akustikus eks. : lapang
Nyeri tekan
: processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik
: aurikula (-/-)
Sekret
: (-)
Pendengaran
: baik
Mulut
Higiene
: baik
Bibir
: cheilitis (-), rhagaden (-), sianosis (-),
Lidah
: kotor (-), atrofi papil (-)
Tonsil
: T1-T1
Mukosa
Mulut
: basah, stomatitis (-), ulkus (-)
5
Gusi
: hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis
: (-)
Gigi
: (-)
Bau Pernapasan
: bau keton (-)
Leher
Inspeksi
: benjolan (-)
Palpasi
: pembesaran kelenjar tiroid/struma (-)
Auskultasi
: bruit (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cmH2O
Dada
Inspeksi
: dada kanan cembung, sela iga melebar (+), retraksi
dinding dada (-), spider nevi (-), venektasi (-)
Palpasi
: nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)
Paru-paru (anterior)
Inspeksi:
Statis
: paru kanan cembung, retraksi iga (-)
Dinamis
: paru kanan tertinggal
Palpasi
: nyeri tekan (-), sela iga melebar, stem fremitus kanan
menurun dibandingkan paru kiri, krepitasi (+)
Perkusi
: kanan: hipersonor, nyeri ketok (-)
kiri: sonor pada semua lapangan paru, nyeri ketok (-),
batas hepar dan lien tidak teraba
Auskultasi
: kanan: vesikuler (+) menurun pada seluruh lapangan paru,
ronkhi (-), wheezing (-)
kiri: vesikuler (+), ronkhi basah sedang (+), wheezing (-)
6
Paru-paru (posterior)
Inspeksi:
Statis
: paru kanan = kiri
Dinamis
: paru kanan = kiri
Palpasi
: nyeri tekan (-), stem fremitus kanan menurun
dibandingkan paru kiri, krepitasi (+)
Perkusi
: kanan: hipersonor, nyeri ketok (-)
kiri: sonor pada semua lapangan paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi
: kanan: vesikuler (+) menurun pada seluruh lapangan paru,
ronkhi (-), wheezing (-)
kiri: vesikuler (+), ronkhi basah sedang (+), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi
: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi
: Batas jantung atas LS ICS 2 , batas jantung kanan sulit
dinilai, Batas jantung kiri LMC ICS V
Auskultasi
: HR 84 x/menit, reguler, BJ I-II (+) cepat, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: datar, venektasi (-), scar (-), caput medusae (-)
Palpasi
: lemas, nyeri tekan (-), defans muskuler (-), ballotement
ginjal (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
: timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Ekstremitas
Inspeksi:
Superior
: deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-), kulit lembab,
7
flapping tremor (-), onikomikosis (-)
Inferior
: deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (-/-),
koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis (-)
Palpasi:
Superior
: akral hangat (+/+), edema (-/-), krepitasi (-/-)
Inferior
: akral hangat (+/+), edema pretibial (-/-), krepitasi (-/-)
ROM:
Superior
: kekuatan 5, rom aktif pasif luas
Inferior
: kekuatan 5, rom aktif pasif luas
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
Kulit
Kulit
: sawo matang
Efloresensi
: (-)
Pigmentasi
: (-)
Jaringan parut
: (-)
Turgor
: baik
Keringat
: cukup
Pertumbuhan rambut
: dalam batas normal
Lapisan lemak
: kurang
Ikterus
: (-)
Lembab/kering
: lembab
Kelenjar getah bening (KGB)
Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periauricular, submandibula,
cervical anterior dan posterior, supraclavicula, infraclaviculla, axilla, dan
inguinal
8
Pembuluh darah
a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis
posterior, a.dorsalis pedis: teraba
Status neurologis
Tidak dilakukan pemeriksaan
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (tanggal 25 September 2018)
Pemeriksaan
Hasil
Rujukan
Hemoglobin
14,4 g/dL
13,48 – 17,40 g/dL
RBC
4,76x106/mm3
4,40 – 6,30 x106/mm3
WBC
6.9x103/mm3
4.73 – 10.89 x103/mm3
Hematokrit
43%
41 – 5%
Trombosit
252x103/𝜇L
170 – 396 x103/𝜇L
Basofil
0%
0 – 1%
Eusinofil
3%
1 – 6%
Netrofil
70%
50 – 70%
Limfosit
17%*
20 – 40%
Monosit
10%*
2 – 8%
Glukosa Sewaktu
168 mg/dL
< 200 mg/dL
Pemeriksaan Kultur Sputum (tanggal 22 September 2018)
I. Hasil Mikroskopis:
Gram (+) coccus (+)
Gram (-) bacil (+)
Leukosit 2-4/Lp
Epitel 1-2/Lp
9
II. Jumlah Koloni
No
Nama Antibiotik
Interpretasi
MIC
1
Ampicilin (AMP)
R
4
2
Ciprofloxacin
S
≤0.25
3
Gentamicin
S
≤1
4
Trimetrohoprim/Sulfamethoxazole
S
≤20
5
Nitrofuranoin
I
64
6
Tigecycline
S
<0,5
7
Ceftriaxone
S
≤1
8
Amikacin
S
≤2
9
Ampicillin/Sulbactam
R
≤2
10
Aztreonam
S
≤1
11
Cefazoline
R
≥64
12
Cefepime
S
≤1
13
Ceftazdime
S
≤1
14
Ertapenem
S
≤0.5
15
Meropenem
S
≤0.25
16
Piperacillin/Tazobactam
S
8
Terapi Antibiotika
Jenis Bahan
: Resismosputum
Jenis Pemeriksaan
: Kultur dan resistensi MO SPUT
10
Electrocardiography (EKG)
Interpretasi:

Sinus takikardia

P. Pulmonal
Pemeriksaan Rontgen Thorax AP (tanggal 19 September 2018)
Interpretasi:

Jantung terdorong ke kiri.

Trakea terdorong ke kiri. Mediastinum superior terdorong ke kiri.

Kedua hilus tidak menebal.

Corakan bronkovaskular meningkat.
11

Tampak infiltrat pada lapangan paru kiri.

Tampak lusensi avaskular basal paru kanan.

Tampak atelektasis paru kanan.

Tampak perselubungan homogan pada laterobasal hemitoraks paru kiri.

Diafragma dan sudut costophrenicus kanan baik, kiri terselubung.

Tulang-tulang dan jaringan lunak baik.
Kesan:

Tension pneumothorax kanan

Atelektasis lobus inferior paru kanan

Gambaran TB paru kiri

Efusi pleura kiri
Pemeriksaan Rontgen Thorax PA (tanggal 21 September 2018)
Interpretasi:

CTR <50%, bentuk jantung normal.

Trakea tertarik ke kiri, mediastinum superior tidak melebar.

Sinus dan diafragma kiri berselubung. Tampak deep sulci sign kanan.
12

Pulmo: Hilus kanan tidak melebar, hilus kiri sulit dinilai, corakan
bronkhivaskular tidak meningkat.

Tampak bayangan lusen avaskuler dengan pleural line (+) di hemithorax atas
sampai bawah kanan.

Tampak infiltrat di lapang atas paru kanan dan lapang tengah kiri. Tampak
perselubungan opak homogen di hemithorax atas sampai bawah kiri.

Cavum thorax kiri mengecil.

Terpasang CTT dengan ujung setinggi ICS 5-6 kanan.
Kesan:

Pneumothorax kanan,

TB paru lama aktif, disertai penebalan pleura kiri DD/ efusi pleura kiri.
Echocardiography
13
Interpretasi Hasil:

Wall motion normokinetik

Katup normal

LVH (-), RVH (-)

LA/RA dilatasi (-)

TR (-), PR (-)

E/A = 1,4
Kesan: Normal ECHO
V.
VI.
DIAGNOSIS

Pneumothorax dextra dengan emfisema subkutis

TB paru kasus kambuh
DIAGNOSIS BANDING

Pneumothorax dextra dengan emfisema subkutis + MDR TB

Pneumothorax dextra dengan emfisema subkutis + bekas TB
14
VII.
TATALAKSANA
Non farmakologis

Istirahat

Edukasi

WSD (Suction/ spooling setiap hari )
Farmakologis
VIII.

IVFD asering gtt XX/menit.

Neurodex 1x1 tab po

N. asetyl systein 3x200 mg po
RENCANA PEMERIKSAAN
1. Cek BTA sputum I/ II/ III, gen expert
2. Ro thorax post WSD
3. Pemeriksaan spirometri
4. Kultur M. TB
IX.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad functionam
: Dubia ad bonam
Quo ad sanationam
: Dubia ad bonam
Follow up perkembangan pasien
Tanggal 28 September 2018
S
O:
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Temperatur
VAS
Sesak berkurang
Tampak sakit sedang
Compos mentis
110/80 mmHg
84x/menit
20x/ menit
36,3oC
0
15
Keadaan spesifik
Thorax:
Paru
WSD
A
P
A: vesikuler (+) menurun pada paru kiri ICS V, rhonki (-),
wheezing (-), redup pada paru kiri
air bubble (+), undulasi (-)
Pneumothorax dextra dengan infeksi sekunder
Atelektasis paru kiri dengan emfisema kompensata dextra
Malnutrisi
PPOK cor pulmonale kompensata
Non Farmakologis
 Tirah baring
 WSD (Suction/spooling setiap hari)
 Edukasi
 Diet NB TKTP
 Konsul gizi
 Rencana spirometri
Farmakologis
 IVFD Asering gtt XX/m makro
 Neurodex 1x1 tab po
 N.Asetyl systein 3x200 mg po
 Berotec inhaler 2x1
Tanggal 29 September 2018
S
O:
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Temperatur
Keadaan spesifik
Thorax:
Paru
WSD
A
Sesak berkurang
Tampak sakit sedang
Compos mentis
120/80 mmHg
80x/menit
21x/ menit
36,5oC
A: vesikuler (+) menurun pada paru kiri ICS V, rhonki (-),
wheezing (-)
air bubble (-), undulasi (-), perdarahan (-)
Pneumothorax dextra dengan infeksi sekunder
Atelektasis paru kiri dengan emfisema kompensata dextra
Malnutrisi
PPOK cor pulmonale kompensata
16
P
Non Farmakologis
 Tirah baring
 Edukasi
 Diet NB TKTP
 WSD (Suction/ spooling setiap hari)
 Konsul gizi
 Rencana spirometri
Farmakologis
 IVFD Asering gtt XX/m makro
 Neurodex 1x1 tab po
 N.Asetyl systein 3x200 mg po
Tanggal 30 September 2018
S
O:
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Temperatur
Keadaan spesifik
Thorax:
Paru
WSD
Badan lemas
A
Pneumothorax dextra dengan infeksi sekunder
Atelektasis paru kiri dengan emfisema kompensata dextra
Malnutrisi
PPOK cor pulmonale kompensata
Non Farmakologis
 Tirah baring
 Edukasi
 Diet NB TKTP
 WSD (Suction/ spooling setiap hari)
 R/spirometri
 R/pleurodisis
Farmakologis
 IVFD Asering gtt XX/m makro
P
Tampak sakit sedang
Compos mentis
120/80 mmHg
80x/menit
20x/ menit
36,7oC
A: vesikuler (+) menurun pada paru kiri ICS V, rhonki (-),
wheezing (-)
air bubble (-), undulasi (-)
17



Neurodex 1x1 tab po
N.Asetyl systein 3x200 mg po
Berotec inhaler 2x1
Tanggal 01 Oktober 2018
S
O:
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Temperatur
Keadaan spesifik
Thorax:
Paru
WSD
A
P
Sesak berkurang
Tampak sakit sedang
Compos mentis
110/70 mmHg
80x/menit
20x/ menit
36,5oC
A: vesikuler (+) menurun pada paru kiri ICS V, rhonki (-),
wheezing (-)
air bubble (-), undulasi (-)
Pneumothorax dextra dengan infeksi sekunder
Atelektasis paru kiri dengan emfisema kompensata dextra
Malnutrisi
PPOK cor pulmonale kompensata
Non Farmakologis
 Tirah baring
 Edukasi
 Diet NB TKTP
 WSD (Suction/ spooling setiap hari)
 Rencana spirometri
 Rencana pleurodisis
Farmakologis
 IVFD Asering gtt XX/m makro
 Neurodex 1x1 tab po
 N.Asetyl systein 3x200 mg po
 Berotec inhaler 2x1
18
Tanggal 02 Oktober 2018
S
O:
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Temperatur
Keadaan spesifik
Thorax:
Paru
WSD
A
P
Sesak berkurang
Tampak sakit sedang
Compos mentis
110/70 mmHg
86x/menit
24x/ menit
36,7oC
A: vesikuler (+) menurun pada paru kiri ICS V, rhonki (-),
wheezing (-)
Buka klem di WSD (evaluasi jika air bubble (-) maka aff
WSD)
Pneumothorax dextra dengan infeksi sekunder
Atelektasis paru kiri dengan emfisema kompensata dextra
Malnutrisi
PPOK cor pulmonale kompensata
Non Farmakologis
 Tirah baring
 Edukasi
 Diet NB TKTP
 Rencana spirometri
 Rencana aff WSD jika tidak ada air bubble
Farmakologis
 IVFD Asering gtt XX/m makro
 Neurodex 1x1 tab po
 N.Asetyl systein 3x200 mg po
 Berotec inhaler 2x1
19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumothorax
2.1.1 Definisi
Pneumothorax adalah suatu kondisi dimana terjadi akumulasi udara pada
cavum pleura yang dapat terjadi secara spontan atau pasca traumatik. Pada
keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap rongga dada. Pneumothorax dapat terjadi secara spontan
dan traumatik (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.1.2 Klasifikasi Penumothorax
Klasifikasi pneumothorax berdasarkan dengan penyebabnya adalah
sebagai berikut:
1. Pneumothorax Spontan
Pneumothorax spontan adalaha setiap pneumthorax yang terjadi tiba-tiba tanpa
adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik), ada 2 jenis yaitu:

Pneumothorax Spontan Primer
Disebabkan oleh ruptur kista kecil udara subpleura di apeks, tetapi jarang
menyebabkan gangguan fisiologis yang signifikan. Biasanya menyerang
laki-laki (L:P 5:1) muda (20-40 tahun) bertubuh tinggi tanpa penyakit paru
penyebab. Pneumothorax spontan primer merupakan jenis paling sering
5
pada
pneumothorax
(prevalensi
8/10 /tahun,
meningkat
sampai
5
200/10 /tahun pada orang dengan tinggi badan > 1,9 m). Setelah
Pneumothorax spontan primer kedua, mungkin terjadi rekurensi (> 60%).
Pleurodesis untuk menyebabkan fusi pleura viseralis dan parietalis yang
menggunakan tindakan medis (misalnya insersi bleomisin atau talcum ke
dalam pleura) atau pembedahan (misalnya abrasi lapisan pleura ) dianjurkan
(Ward et al, 2007).
20

Pneumothorax Spontan Sekunder
Pneumothorax spontan sekunder dihubungkan dengan penyakit respirasi
yang merusak arsitektur paru, paling sering bersifat obstruktif (misalnya
penyakit paru obstruktif kronik/PPOK, asma) fibrotik atau infektif
(misalnya pneumonia) dan kadang-kadang gangguan langka atau herediter
(misalnya sindrom Marfan, Fibrosis kistik). Insidensi SPP meningkat seiring
bertambahnya usia dan memberatnya penyakit paru penyebab. Pasien
tersebut biasanya perlu dirawat di rumah sakit karena meskipun
pneumothorax sekunder kecil, pada pasien dengan cadangan respirasi yang
berkurang,
dapat
terjadi
komplikasi
yang
lebih
serius
daripada
pneumothorax spontan primer besar.
2. Pneumothorax Traumatik
Pneumothorax tersebut terjadi setelah trauma toraks tumpul (misalnya
kecelakaan lalu lintas) atau tajam (misalnya fraktur iga, luka tusuk).
Berdasarkan kejadiannya pneumothorax traumatik dibagi menjadi:

Pneumothorax traumatik bukan iatrogenic
Pneumthorax yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada
dinding dada baik terbuka maupun tertutup

Pneumothorax traumatik iatrogenic
Pneumthorax yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis,
dibedakan menjadi 2 yaitu:
-
Pneumothorax traumatik iatrogenik aksidental, adalah pneumothorax
yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi
tindakan tersebut, misalnya pada tindakan parasintesis dada, biopsi
pleura, biopsi transbronkial, biopsi/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi
vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik).
-
Pneumothorax traumatik iatrogenik artifisial (deliberate), adalah
pneumothorax yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke
dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box.
21
Berdasarkan jenis fistulnya pneumothorax dapat dibagi menjadi:

Pneumothorax Tension
Pneumothorax
tension
dapat
menyulitkan
(menjadi
komplikasi)
pneumothorax spontan primer atau pneumothorax sekunder tetapi paling
sering terjadi selama ventilasi mekanis dan setelah pneumothorax
traumatik. Pneumtohorax tersebut terjadi bila udara menumpuk dalam
rongga pleura lebih cepat daripada yang dapat dikeluarkan. Peningkatan
tekanan intratoraks menyebabkan aliran balik vena, dan syok yang
disebabkan oleh penurunan curah jantung. Keadaan tersebut merupakan
kegawatan medis dan fatal jika tidak dihilangkan secara cepat dengan
drainase. Deteksi merupakan suatu diagnosis klinis, menunggu konfirmasi
foto torkas dapat mengancam jiwa. dilakukan.

Pneumothorax Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pneumothorax tertutup yaitu suatu pneumothorax dengan tekanan udara di
rongga pleura yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada
sisi hemitoraks kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dan
tekanan atmosfir.

Pneumothorax Terbuka (Open Pneumothorax)
Pneumothorax terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada
sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada
saat inspirasi, mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat
ekspirasi mediastinum bergeser kearah sisi dinding dada yang terluka
(sucking wound).
2.1.3 Manifestasi Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah:

Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien.

Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien.

Lindskog dan Halasz menemukan 69% dari 72 pasien mengalami
nyeri dada.

Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
22

Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan
biasanya pada pneumthorax sekunder spontan.
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan
menurut Mills dan Luce deajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau
menimbulkan gangguan ringan sampai berat (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.1. 5 Patogenesis
Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk
melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang-tulang
yang menyusun struktur pernapasan seprti tulang clavicula, sternum, scapula.
Kemudian yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada
proses inspirasi dan ekspirasi. Pada fisiologi pernafasan normal, pada waktu
inspirasi tekanan intrapleura lebih negatif daripada tekanan intrabronkial sehingga
paru mengembang mengikuti gerakan dinding dada yang mengakibatkan udara
luar akan masuk melalui bronkus hingga ke alveolus. Sedangkan pada saat
ekspirasi dinding dada menekan rongga dada sehingga tekanan intrapleura akan
lebih tinggi daripada tekanan udara luar maupun intrabronkial sehingga
menyebabkan udara tertekan keluar melalui bronkus. Tekanan intrabronkial akan
meningkat apabila ada tahanan pada saluran pernapasan, tekanan ini akan lebih
meningkat pada permulaan batuk, bersin, atau mengejan. Apabila terjadi
peningkatan tekanan intrabronkial disertai kelemahan bagian perifer bronkus atau
alveolus, maka kemungkinan akan terjadi robekan alveolus maupun bronkus.
Pneumothoraks dapat dijelaskan melalui adanya mekanisme kebocoran di bagian
paru yang berisi udara melalui robekan pleura yang pecah dimana bagian yang
pecah ini berhubungan dengan bronkus. Pelebaran alveolus dan septa-septa
alveolus yang pecah kemudian dapat membentuk suatu bula berdinding tipis di
dekat daerah yang terdapat proses radang nonspesifik atau fibrosis granulomatosa
(Punarwaba dan Suarjaya, 2013).
Alveolus disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan
mudah robek, apabila alveolus melebar dan tekanan intraalveolar meningkat,
maka udara dengan mudah menuju ke jaringan peribronkovaskuler. Gerakan nafas
23
yang kuat, infeksi, dan obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor
presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan, selanjutnya udara yang terbebas
dari alveolus dapat mengoyak jaringan fibrotik peribronkovaskuler. Robekan
pleura yang berlawanan arah dengan hilus akan menimbulkan pneumothoraks,
sedangkan
robekan
yang
mengarah
ke
hilus
dapat
menyebabkan
pneumomediastinum. Di antara organ-organ mediastinum terdapat jaringan ikat
longgar sehingga mudah ditembus udara. dari leher, udara menyebar merata di
bawah kulit leher dan dada sehingga timbul emfisema subkutis (Punarwaba dan
Suarjaya, 2013).
Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan
dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari
udara pada kapiler pembuluh darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura
lebih rendah dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang sulit terjadi pada keadaan normal.
Jadi yang menyebabkan masuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma
yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal atau visceral, atau
disebabkan kelainan kongenital adanya bula pada subpleura yang akan pecah jika
terjadi peningkatan tekanan pleura (Punarwaba dan Suarjaya, 2013).
2.1.4 Penegakan Diagnosis
Keluhan utama pasien pneumothoraks spontan adalah sesak nafas,
bernafas terasa berat, nyeri dada, dan batuk. Sesak sering mendadak dan semakin
lama semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat,
tertekan, dan terasa lebih nyeri pada saat gerakan pernapasan. Pada
pneumothoraks spontan, sebagai pencetus adalah batuk keras, bersin, mengangkat
barang-barang berat, kencing, atau mengejan. Penderita mengeluhkan munculnya
gejala dirasakan setelah melakukan hal-hal tersebut. Pada pneumothoraks
traumatik, gejala-gejala pneumothoraks tersebut muncul setelah terjadi peristiwa
yang menyebabkan trauma pada thoraks. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan
pneumothoraks akan muncul tanda:
24
a. Tampak sesak ringan sampai berat, tergantung pada kecepatan udara yang
masuk serta ada tidaknya klep. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek
dengan mulut terbuka.
b. Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis
c. Badan tampak lemah dan dapat disertai syok, pada pneumothoraks dengan
onset akut dapat pula disertai keringat dingin.
d. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik pada sesak nafas ringan. Pada
sesak nafas berat, nadi menjadi cepat dan lemah disebabkan waktu pengisian
kapiler berkurang.
e. Pada pemeriksaan fisik thoraks ditemukan:

Inspeksi
Hemithoraks yang sakit dapat lebih cembung dibandingkan hemithoraks
sehat, gerakan nafas tertinggal pada bagian thoraks yang sakit, trakhea dan
jantung terdorong ke sisi yang sehat.

Palpasi
Pada sisi yang sakit, SIC dapat normal atau melebar, iktus cordis terdorong
ke arah sisi thoraks yang sehat, vocal fremitus melemah atau menghilang
pada sisi yang sakit.

Perkusi
Pada sisi yang sakit didapatkan suara hipersonor dan tidak menggetar,
batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleural tinggi.

Auskultasi
Pada bagian yang sakit, suara dasar nafas melemah sampai menghilang,
suara nafas terdengar amforik bila ada fistel bronkopleura yang cukup
besar pada pneumothoraks terbuka, suara vokal melemah dan tidak
menggetar serta bronkofoni negatif, dapat pula dilakukan coin test dengan
menggunakan ketukan 2 koin logam yang satu ditempelkan di dada dan
yang lain diketokkan pada koin pertama, kemudian akan terdengar bunyi
metalik pada punggung.
25
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakan diagnosis
pneumothoraks antara lain foto rontgen thoraks PA yang memperlihatkan
gambaran hiperlusen, corakan bronkovaskuler menghilang, paru mengempis, dan
trakhea terdorong ke arah hemithoraks yang sehat. Analisis gas darah arteri
memberikan gambaran hipoksemia, namun pemeriksaan ini kadang tidak
diperlukan. Pada pneumothoraks kiri dapat menimbulkan perubahan aksis QRS
dan gelombang T precordial pada gambaran EKG dan seringkali ditafsirkan
sebagai Infark Myokard Akut (IMA). Selain itu, dapat pula dilakukan CT scan
thorax pada pasien yang diagnosisnya belum tegak setelah dilakukan foto rontgen.
pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan emfisema bulosa dan
pneumothoraks, batas antar udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner, serta
dapat membedakan pneumothoraks spontan primer atau sekunder.
2.1.5 Penatalaksanaan
Tindakan
pengobatan
pneumothoraks
tergantung
dari
luasnya
pneumothoraks, tujuannya untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan
meminimalkan risiko kambuh lagi. British Thoracic Society dan American
College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan
pneumothoraks, yaitu:

Observasi dan pemberian tambahan oksigen

Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan
atau tanpa pleurodesis

Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau
bula

Torakotomi
Pada pneumothoraks tertutup dengan paru kolaps minimal dan tekanan
intrapleural masih negatif, hanya dilakukan tindakan observasi apakah gejala
klinis menetap atau bertambah berat dengan diberikan terapi oksigenasi. Apabila
keluhan sesak memberat, dapat dicurigai sebagai pneumothoraks terbuka atau
bahkan tension pneumothoraks sehingga selanjutnya diperlukan tindakan
dekompresi atau membuat hubungan rongga pleura dengan dunia luar dengan
26
menggunakan infus set, jarum abbocath, atau pemasangan pipa Water Sealed
Drainage (WSD). Apabila diperlukan, dapat pula dibantu dengan continous
suction agar tekanan intrapleural cepat kembali menjadi negatif. Tindakan
pembedahan yang mungkin dilakukan antara lain dengan pembukaan dinding
thoraks melalui operasi, dicari lubang yang menyebabkan pneumothoraks
kemudian dijahit. Apabila ditemukan penebalan pleura yang mengganggu
pengembangan paru, dapat dilakukan reseksi. Pilihan terakhir yang dapat
dilakukan adalah dengan pleurodesis, yaitu dilakukan penjahitan setelah masingmasing pleura dikerok atau lapisan tebal dibuang, selanjutnya kedua pleura
dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
untuk menangani penyakit paru yang mendasarinya. Selain itu, pasien dengan
pneumothoraks dilarang melakukan kerja keras, batuk dan bersin terlalu keras,
dan mengejan. Untuk mencegah obstipasi dan memperlancar defekasi, dapat
diberikan laksan ringan untuk mengurangi mengejan terlalu keras pada saat
defekasi.
Pencegahan Pneumothoraks adalah sebagai berikut:

Pada penderita PPOK, diberikan pengobatan yang adekuat terutama jika
pasien batuk-batuk berkepanjangan. Pilihan obat yang dapat diberikan adalah
bronkodilator dan antitusif ringan, ditambah dengan edukasi agar pasien tidak
batuk dan mengejan terlalu keras serta menghindari aktifitas berat.

Pada penderita TB paru, harus dilakukan terapi OAT hingga tuntas. Prognosis
pasien pneumothoraks dengan TB paru lebih baik pada pasien yang lesinya
masih minimal.
Rehabilitasi:

Pasien yang telah sembuh dari pneumothoraks harus dilakukan pengobatan
secara baik untuk penyakit paru yang mendasarinya.

Pasien diberikan edukasi agar menghindari batuk dan mengejan terlalu
berat, derta menghindari beraktifitas berat seperti mengangkat beban.

Apabila mengalami kesulitan defekasi, dapat diberikan laksan ringan
27

Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama jika ada keluhan batuk
dan sesak nafas.
2.1.6 Komplikasi
Tension pneumothoraks dapat menyebabkan kegagalan respirasi akut,
empyema,
hidro-pneumothoraks,
hematothoraks,
pneumomediastinum
dan
emfisema subkutis, hingga henti jantung paru dan kematian. Selain itu,
pneumothoraks dapat pula menyebabkan terjadinya pneumothoraks simultan
bilateral (insidensi + 2 %) dan pneumothoraks kronik, bila tetap ada selama waktu
lebih dari 3 bulan (insidensi + 5 %).
2.1.7 Prognosis
Pasien dengan
pneumothoraks
spontan hampir separuhnya
akan
mengalami kekambuhan, baik setelah sembuh dari observasi maupun setelah
pemasangan tube thoracostomy. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup
baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumothoraks spontan
sekunder prognosisnya tergantung dari penyakit paru yang mendasaarinya.
2.2. Emfisema Subkutis
2.2.1 Definisi
Emfisiema merupakan suatu keadaan dimana terkumpulnya udara secara
patologik dalam jaringan atau organ. Subkutis merupakan suatu lapisan kulit
setelah dermis, sehingga definisi emfisiema subkutis adalah emfisiema intertisial
yang ditandai dengan adanya udara dalam jaringan subkutan, biasanya disebabkan
oleh
cedera
intratoraks,
dan
pada
kebanyakan
kasus
disertai
dengan
pneumothoraks dan pneumomediastinum, disebut juga pneumoderma (Dorland,
2002). Emfisiema subkutis merupakan suatu kondisi yang tidak membahayakan,
namun menimbulkan masalah kecantikan pada pasien dan keluarga pasien. Hal ini
disebabkan karena terdapatnya sekumpulan udara di dalam rongga subkutan pada
dinding dada yang menjalar ke jaringan lunak di wajah, leher, dada atas, dan bahu.
Terkumpulnya udara di wajah menimbulkan pembengkakan pada kelopak mata
28
yang menyebabkan pasien tidak dapat membuka mata, selain itu juga disertai
terjadinya perubahan suara yang menjadi lebih tinggi akibat dari pengumpulan
udara di dalam laring (Cerfolio, 2015). Udara pada jaringan subkutan yang
terkumpul dapat menyebar secara langsung ke daerah sekitar, sehingga bagian
tubuh atas lebih sering terkena daripada bagian tubuh bawah. Keadaan yang
tampak pada emfisiema subkutis adalah pembengkakan pada kulit yang jika
dipalpasi teraba seperti renyah (crunchy). Pada gambaran radiologi akan tampak
pengumpulan udara pada permukaan kulit yang biasanya meliputi sebagian besar
dari tubuh.
2.2.2 Etiologi
Emfisiema subkutis dapat disebabkan oleh trauma pada sistem respirasi
ataupun sistem gastrointestinal. Umumnya trauma yang terjadi pada dada dan
leher, dimana udara dapat terperangkap sebagai hasil dari trauma tajam seperti
luka tembak atau luka tikam, maupun luka tumpul. Emfisiema subkutis juga dapat
disebabkan oleh prosedur dan tindakan medis, yang menyebabkan tekanan pada
alveoli, sehingga alveoli menjadi ruptur. Hal ini biasanya disebabkan oleh
pneumothoraks dan kateterisasi paru (chest tube). Keadaan ini disebut sebagai
surgical emphysema. Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya emfisiema
subkutis yaitu:
1. Trauma
Trauma tumpul maupun trauma penetrasi merupakan kondisi yang dapat
menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis. Trauma pada bagian dada
merupakan penyebab umum terjadinya emfisiema subkutis, dimana udara yang
berasal dari dada dan paru dapat masuk ke kulit dinding dada. Sebagai contoh
adalah terjadinya luka tusuk atau luka tembak pada dada yang menyebabkan
robeknya pleura, sehingga udara yang berasal dari paru menyebar ke otot-otot
dan lapisan subkutan. Emfisiema subkutis juga dapat terjadi pada pasien
dengan patah tulang iga, dimana iga melukai parenkim paru yang
menyebabkan rupturnya alveolus.
29
2. Tindakan medis
Emfisiema subkutis merupakan suatu komplikasi yang umum disebabkan pada
berbagai tindakan operasi, seperti operasi dada, operasi daerah sekitar
esofagus, operasi gigi dengan menggunakan teknik berkecepatan tinggi,
tindakan laparoscopy, cricothyrotomy, dan sebagainya.
3. Infeksi Udara
Udara dapat terperangkap di bawah kulit yang mengalami infeksi nekrosis
seperti pada gangren. Gejala emfisiema subkutis dapat dihasilkan ketika
organisme infeksius memproduksi gas sebagai hasil dari fermentasi. Kemudian
gas ini menyebar ke sekitar lokasi awal pembentukan infeksi, maka
terbentuklah emfisiema subkutis.
2.2.3. Patogenesis
Emfisiema subkutis merupakan hasil dari peningkatan tekanan di dalam
paru dikarenakan rupturnya alveoli. Udara dapat masuk ke jaringan lunak pada
leher dari mediastinum dan retroperitoneum. Pada emfisiema subkutis, udara
menyebar dari alveoli yang ruptur masuk ke interstitium dan sepanjang pembuluh
darah paru, masuk ke mediastinum dan berlanjut ke jaringan lunak pada leher dan
kepala. Emfisiema pada daerah subkutan, servikofasial, mediastinum terjadi
karena udara yang masuk ke jaringan fasial kepala dan daerah leher. Daerah ini
mempunyai suatu rongga yang memungkinkan untuk terisi dengan udara. Daerah
ini dibatasi oleh fasia otot, organ, dan struktur lainnya. Udara yang masuk ke
daerah leher dapat masuk ke retrofaringeal yang terletak antara dinding posterior
dan kolumna vertebra, dari sini akan dapat terus ke posterior fasial kemudian ke
Grodinsky and Holyoke’s yang disebut sebagai daerah yang berbahaya karena
berhubungan langsung ke posterior mediastinum. Jika udara mengalir pada daerah
ini akan menekan vena trunks yang bisa menyebabkan gagal jantung atau asfiksia
karena adanya tekanan di trakea (Rusdy, 2008).
30
2.2.4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari emfisiema subkutis bervariasi tergantung pada
penyebab dan lokasi terjadinya, tetapi sering berhubungan dengan pembengkakan
pada leher dan nyeri dada, dan terkadang juga terjadi nyeri tenggorokan, nyeri
leher, wheezing (mengi) dan kesulitan bernafas. Pada hasil inspeksi tampak
jaringan di sekitar emfisiema subkutis biasanya membengkak. Jika kebocoran
udara sangat banyak, wajah dapat menjadi bengkak sehingga kelopak mata tidak
dapat dibuka (Cerfolio, 2008).
2.2.5. Penatalaksanaan
Emfisiema subkutis biasanya bersifat jinak, sehingga tidak membutuhkan
penanganan karena dalam 3 atau 4 hari bahkan sampai seminggu pembengkakan
akan berkurang secara menyeluruh karena udara diserap secara spontan dan
terjadi penyembuhan. Pada kasus emfisiema subkutis yang berat, kateter dapat
dipasangkan di jaringan subkutan untuk mengeluarkan udara. Irisan kecil atau
lubang kecil dapat dibuat di permukaan kulit untuk mengeluarkan udara.
Penanganan emfisiema subkutis tidak hanya dengan istirahat total, tetapi juga
dengan penggunaan obat-obatan penghilang rasa nyeri, serta pemberian sejumlah
oksigen. Dengan pemberian sejumlah oksigen dapat membantu tubuh untuk
mempercepat penyerapan udara di lapisan subkutan. Monitor dan observasi ulang
juga merupakan hal penting dalam tatalaksana emfisiema subkutis (Rusdy, 2008).
2.2.6 Prognosis
Udara di jaringan subkutan biasanya tidak menimbulkan kematian,
sejumlah kecil udara dapat di reabsorbsi oleh tubuh. Terkadang pneumothoraks
atau pneumomediastinum yang menyebabkan emfisiema subkutis, dengan atau
tanpa tindakan medis emfisiema subkutis biasanya dapat hilang sendiri.
31
BAB IV
ANALISIS KASUS
Tn. ABMH datang dengan keluhan sesak hebat sejak 5 jam SMRS. Sesak
atau dipsneu adalah kesulitan bernapas yang disebabkan karena suplai oksigen ke
dalam jaringan tubuh tidak sebanding dengan oksigen yang dibutuhkan tubuh.
Patofisiologi dari dipsneu dapat dibagi menjadi: kekurangan oksigen, kelebihan
karbondioksida, hiperaktifasi refleks pernapasan, emosi, asidosis dan penambahan
kecepatan metabolisme. Kesulitan bernapas ini terlihat dengan adanya kontraksi
dari otot-otot pernapasan. Keluhan sesak dapat berasal dari gangguan organ paru,
jantung, ginjal, maupun kelainan metabolik.
Sesak pada pasien tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Sesak yang
dipengaruhi aktivitas dapat terjadi pada infark miokard dan asma bronkial.
Dipsneu yang disebabkan asidosis, anemia atau anoksia biasanya berhubungan
dengan exertional (latihan). Sesak juga tidak dipengaruhi oleh posisi. Pada
pneumothorax, sesak napas tidak akan berkurang dengan perubahan posisi. Hal ini
sesuai dengan anamnesis pada pasien. Sesak juga tidak disertai mengi, dimana
pada asma bronkiale terdapat pemanjangan dari ekspirasi dan wheezing (mengi).
Jadi dapat disimpulkan sesak yang terjadi pada pasien dikarenakan adanya
pneumothorax.
JVP tidak mengalami peningkatan. JVP yang meningkat adalah tanda
klasik hipertensi vena dan COPD. Pada pemeriksaan ekstremitas tidak
ditemukannya edema tungkai. Edema tungkai dapat terjadi pada COPD, bronkitis
dan hiperkapnia. Dilakukan pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui adanya
anemia. Pada pasien, hemoglobin dalam batas normal.
Pada inspeksi thoraks, dada terlihat asimetris dimana dada kanan lebih
cembung daripada dada kiri. Pada keadaan dinamis, paru kanan tertinggal dari
paru kiri. Hal ini tidak normal karena pada normalnya pengembangan dari kedua
sisi toraks harus terlihat simetris pada waktu inspirasi. Jika ada kelainan,
kemungkinan yang terjadi adalah hiperinflasi (emfisema), berkurangnya
compliance paru (fibrosis) dan rongga dada (ankilosis, spondilitis), gerakan otot
32
yang berkurang (miastenia gravis) atau berkurangnya gerakan toraks ipsilateral
(pneumothorax dan efusi pleura).
Pada palpasi thorax didapatkan stem fremitus menurun pada paru kanan.
Stem fremitus yang menurun bisa terjadi jika ada udara atau cairan pada rongga
pleura. Pada perkusi thorax, didapatkan hipersonor pada paru kanan dan sonor
pada paru kiri. Perkusi paru yang normal adalah sonor. Pada auskultasi paru
didapatkan bunyi vesikuler yang menghilang pada paru kiri bagian basal. Suara
pernapasan yang menurun pada paru kanan dan ronkhi basah sedang pada paru
kiri menunjukkan bahwa terdapat sesuatu di rongga pleura, seperti gas atau cairan
yang biasa terjadi pada pneumothorax dan efusi pleura. Hampir 30% dari cairan
pleura (pleura effusion) disebabkan oleh karena keganasan dan 25% disebabkan
karena tuberkulosa. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelainan pada pemeriksaan
fisik pada toraks disebabkan karena efusi pleura.
Rencana pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan fungsi paru
untuk mengetahui apakah kelainannya bersifat obstruktif atau restriktif.
Pemeriksaan analisis gas ditujukan pada udara inspirasi, ekspirasi, udara alveoli
dan untuk menganalisis gas darah maupun reaksi dari paru terhadap pemberian O2
dengan konsentrasi yang tinggi. Tindakan biopsi pleura biasanya dilakukan untuk
menegakkan diagnosis keganasan atau tuberkulosa.
Insiden pneumothorax terjadi lebih banyak pada pria dibanding wanita
dengan rasio 5:1 (Sudoyo, 2009). Hal ini sesuai dengan kasus dimana pasien
berjenis kelamin laki-laki. Pneumothorax spontan primer (PSP) sering dijumpai
pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit sebelumnya. Hal ini sesuai dengan
riwayat penyakit dahulu pasien yang tidak pernah sesak seperti ini sebelumnya.
Pneumothorax spontan primer banyak dijumpai pada pria dengan usia antara
dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus PSP berusia
kurang dari 45 tahun. Hal ini sesuai dengan usia Tn.ABMH yang berusia 31
tahun.
Tn. ABMH dicurigai sebagai TB paru karena menurut Seaton dkk.
Melaporkan
bahwa
pasien
tuberkulosis
aktif
mengalami
komplikasi
pneumothorax sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru komplikasi
33
pneumothorax meningkat lebih dari 90%. Pneumothorax spontan primer (PSP)
adalah suatu pneumothorax yang terjadi tanpa ada riwayat penyakit paru yang
mendasari sebelumnya, umumnya pada individu yang sehat, dewasa muda, tidak
berhubungan dengan aktivitas fisik yang berat tetapi justru terjadi pada saat
istirahat. Penyebab lain biasanya karena sarcoma kaposi, pemakaian obat-obatan
intravena, toksoplasmosis, infeksi bakterial, jamur maupun virus. Tatalaksana
pneumothorax bertujuan untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan
menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Prinsip penanganan dengan
observasi dan pemberian tambahan oksigen, aspirasi sederhana dengan jarum dan
pemasangan tube torakoskopi dengan pleurodesis. Pada pasien ini dipasang O2
3L/m nasal kanul dan Water Sealed Drainage (WSD).
34
DAFTAR PUSTAKA
Aditama TY, et al. 2006. Tuberkulosis. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Jakarta.
Bartlett JG. 1987. Anaerobic Bacterial Infections of the Lung. Chest 91(6): 901-9.
Fishman. 2008. Pulmonary Disease and Disorders Fourth Edition Volume Two.
United States: p.2141-60.
Cerfolio RJ, Bryant AS, Maniscalco LM. 2008. Management of Subcutaneous
Emphysema After Pulmonary Resection. Ann Thorac Surg.
Danusantoso Halim. 2005. Tuberkulosis Paru. Ilmu Penyakit Paru. Penerbit
Hipokrates Palgunadimargono B. Pedoman diagnosa dan terapi BAG/ SMF Ilmu
Penyakit Paru, Edisi 3. Surabaya.
Dorland WAN. 2002. Alih bahasa: Setiawan A dkk. Kamus Kedokteran Dorland,
ed.29. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Goetz MB, Finegold SM. 2000. Pyogenic Bacterial Pneumonia, Lung Abses, dan
Empyema. In: Textbook of respiratory medicine. Editor: Murray JF, Nadel JA. 3rd.
Ed. Philadelphi; WB Sauders.p.1031-2.
Halim H. 2009. Penyakit-penyakit Pleura. In: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi kelima jilid III.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p.2329-36.
Harish P, Gwilt C. 2008. Crash Course: Respiratory System, 3rd edition. London:
Elseiver.p.
Hisyam B, Budiono E. 2009. Pneumotoraks Spontan. In: In: Sudoyo WA,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam
edisi kelima jilid III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p.2339-46.
Hood A, Pradjoko I. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: FK Unair.p.
Light ER. 2001. Effusions and Empyema. In: Pleural disease. 4th Ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.p. 51-81.
35
Nadel M. 2000. Text Book of Respiratory Medicine Third Edition Volume One.
Philadelphia: McGraw-Hill Companies.p.985-1041.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Jakarta.
Price S, Mary P. Standridge. 2003. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sylvia A. Price dan
Lorraine M. Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. EGC, Jakarta, p.852-864.
Rosenbluth DB. 2002. Pleural Effusion: Nonmalignant and Malignant. In:
Fishman’s of Pulmonary Disease and Disorders. Editors: Fishman AP, Elias JA,
et al. 3rd. Ed. New York: McGraw-Hill Companies.p.487-506.
Rab HT. 2004. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: CV Trans Info Media. p.79-102.
Harries A, et al. TB/HIV a Clinical Manual. 2nd Edition. Department of HIAIDS
WHO. Geneva.
Rusdy H, Nurwiyadh A. 2008. Empisiema Sebagai Komplikasi Pembedahan
Molar Tiga Bawah dengan Menggunakan High Speed Turbine. Dentika Dental
Journal, Vol.13, No.1,: 90 – 92.
Ward, J.P.T., Ward ,J., Leach, R.M., Wiener, C.M., 2007. At a Glance Sistem
Respirasi. Edisi ke-2. Jakarta:EGC.
36
Download