6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus 2.1.1. Definisi

advertisement
 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus
2.1.1. Definisi
Diabetes Mellitus (DM) adalah kumpulan penyakit metabolik yang
ditandai dengan hiperglikemia akibat adanya gangguan sekresi insulin, kerja
insulin, ataupun keduanya.
Hiperglikemia tersebut berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. (ADA, 2012). World Health
Organization (WHO) merumuskan bahwa DM merupakan suatu kumpulan
problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat
sejumlah defisiensi insulin absolut atau relatif serta gangguan fungsi insulin
(Purnamasari, 2009).
2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi
DM diklasifikasikan berdasarkan
patogenesis yang mengakibatkan
terjadinya keadaaan hiperglikemia dan klasifikasi ini juga digunakan untuk
penatalaksanaan (Powers, 2005). DM secara garis besar dikelompokkan menjadi
empat, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain dan DM gestasional.
DM tipe 1 terjadi oleh karena adanya mekanisme autoimun terhadap sel
beta pankreas yang mengakibatkan terjadinya destruksi sel tersebut. Proses
destruksi ini akhirnya menurunkan produksi insulin hingga bahkan hampir tidak
ada insulin yang diproduksi (Powers, 2005). DM tipe 1 sering juga disebut
sebagai diabetes bergantung insulin, Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
karena untuk mampu bertahan hidup penderitanya memerlukan insulin
(Purnamasari, 2009) . DM tipe 1 merupakan 5-10% dari keseluruhan kasus DM
(ADA, 2012).
DM tipe 2 terjadi oleh karena adanya sekelompok campuran kelainan
dengan karakteristik resistensi insulin, kegagalan sekresi insulin, dan peningkatan
pembentukan glukosa darah. Adanya kelainan genetik dan metabolik pada
6
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
mekanisme kerja insulin atau proses sekresinya menjadi penyebab terjadinya
hiperglikemia pada DM tipe 2 (Powers, 2005). DM tipe 2 juga sering disebut
sebagai Non Independent insulin Diabetes Mellitus (NIDDM), karena penderita
DM tipe 2 tidak bergantung insulin untuk dapat bertahan hidup (Purnamasari,
2009). DM tipe 2 terdiri dari 90-95 % kasus DM (ADA, 2012).
Istilah IDDM
dan NIDDM sekarang sudah jarang digunakan. Istilah DM tipe 1 dan DM tipe 2
masih lebih sering digunakan walaupun sesungguhnya kedua istilah ini tidak
memiliki arti khusus, seperti implikasi etiopatogenik (Purnamasari, 2009).
DM tipe lain memasukkan jenis DM dengan etiologi berikut ini : adanya
kelainan genetik spesifik pada proses sekresi atau mekanisme kerja insulin,
kelainan metabolik yang mengakibatkan gagalnya sekresi insulin, kelainan
mitokondria dan adanya kegagalan toleransi glukosa atau Impaired Glucose
Tolerance (IGT) . Adanya mutasi pada reseptor insulin menyebabkan terjadinya
sekelompok gangguan yang ditandai oleh resistensi insulin berat (Powers, 2010).
DM tipe lain merupakan jenis DM yng sering ditemukan di daerah tropis dan
negara berkembang dimana biasanya disebabkan oleh malnutrisi yang bersamaan
dengan defisiensi protein ( Suyono, 2009).
DM gestasional adalah DM yang berkembang saat kehamilan. Resistensi
insulin berhubungan dengan perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama
kehamilan dan adanya peningkatan kebutuhan insulin mungkin menyebabkan
terjadinya IGT (Powers, 2010) .
Berdasarkan American Diabetes Association
(ADA, 2012), klasifikasi
etiologis DM adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1. Klasifikasi Etiologis DM
I.
II.
III.
Diabetes Mellitus tipe 1 ( destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut)
A. Melalui proses imunologik
B. Idiopatik
Diabetes Mellitus tipe 2 ( bervariasi mulai dari predominan resistensi
insuln disertai defisiensi insulin relatif sampai predominan gangguan
sekresi insulin bersama resistensi insulin)
Diabetes mellitus tipe lain
A. Defek genetik fungsi sel beta
1. Krpmosom 12, HNF 1α (MODY3)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
2. Kromosom 7, glukokinase (MODY2)
3. Kromosom 20, HNF-4α (MODY1)
4. Kromosom 13, Insulin Promotor Factor-1 (IPF-1; MODY4)
5. Kromosom 17, HNF 1β (MODY5)
6. Kromosom 2, NeuroD1 (MODY6)
7. DNA mitokondria
8. lainnya
B. Defek genetik kerja insulin : resstensi insulin tipe A,
leprechaunism, sindrom Rabson-Medenhall, diabetes lipoatrofik,
lainnya
C. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasia, fibrosis kistik, hemokromositoma, pankreatopati fibro
kalkulus, lainnya
D. Endokrinopati : akromegali, sindrom Cushing, glukagonoma,
feokromositoma,
hipertiroidisme,
somatostationoma,
aldosteronoma, lainnya.
E. Induksi oleh obat atau zat kimia : vacor, pentamidin, asam
nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxide, agonis β
adrenergik, tiazid, dilantin, interferon-γ, lainnya
F. Infeksi : rubella kongenital, Cytomegalovirus, lainnya
G. Imunologi (jarang terjadi) : sindrom Stiff-man, antibodi anti
reseptor insulin, lainnya
H. Sindrom genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindom
turner, sindrom Wolfram, ataksia Friedreich, kore Huntington,
distropi misotonik, porfiria, sindrom Prader-Willi, lainnya
IV.
Diabetes mellitus gestasional
Sumber : care.diabetesjournals.org
2.1.3. Faktor Risiko
Faktor risiko merupakan faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang
mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu.
Istilah mempengaruhi disini memiliki makna menimbulkan risiko lebih besar
pada individu untuk terjadinya suatu penyakit atau status kesehatan tertentu.
Faktor risiko ini mungkin dalam tahap dugaan, perkiraan atau memang sudah
dibuktikan kebenarannya ( Pratiknya, 2011).
Faktor risiko DM tipe 2, dapat dibagi menjadi faktor risko yang dapat
dimodifikasi, seperti riwayat keluarga, ras, jenis kelamin, dan usia serta yang tidak
dapat dimodifikasi seperti obesitas, glukosa darah yang tinggi, hipertensi,
metabolisme lemak yang abnormal, inflamasi dan hiperkoagulasi, kurangnya
aktivitas fisik dan merokok.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
2.1.3.1. Riwayat Keluarga Menderita DM tipe 2
Risiko terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali pada
individu yang memiliki riwayat keluarga menderita DM tipe 2 (Bennet, et al., 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alfiyah (2010), ditemukan bahwa
riwayat keluarga menderita DM tipe 2 memang memiliki hubungan dengan terjadinya
DM tipe 2. Individu dengan riwayat salah satu orang tua menderita DM tipe 2 akan
meningkat risikonya untuk mengalami DM tipe 2 sebesar 40%, sedangkan jika kedua
orang tua menderita DM tipe 2, risiko tersebut akan meningkat menjadi 70%.
Menariknya, risiko lebih tinggi jika ibu yang menderita penyakit ini. Selain itu, pada
kembar monozigot ditemukan terjadinya DM tipe 2 sebesar 70% sedangkan pada
kembar dizigot sebesar 20%-30% (Ahlqvist, 2011).
Seseorang yang menderita suatu penyakit kompleks kemungkinan memiliki
beberapa faktor genetik yang mengakibatkannya menderita penyakit tersebut yang
juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penyakit-penyakit kompleks ini
biasanya sulit dipelajari secara genetis karena memiliki banyak variabel (Taylor,
2006).
Perbedaan besar prevalensi antar kelompok etnis ditemukan dan tampaknya
hal ini memang tergantung pada faktor genetik. Di Swedia, imigran dari Timur
Tengah memiliki peningkatan risiko sebesar 2-3 kali lipat lebih besar dibandingkan
dengan penduduk asli Swedia. Imigran dari Timur Tengah tersebut juga memiliki
bentuk DM tipe 2 yang sedikit berbeda dibanding penduduk asli Swedia berdasarkan
onset awal dan konsentrasi C-peptida yang lebih rendah (Cho, 2011). Sebuah
penelitian kasus-kontrol tanpa matching oleh Wicaksono (2011) di
Poliklinik
Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang, diperoleh hasil bahwa orang
yang memiliki riwayat keluarga menderita DM mempunyai risiko terkena DM tipe 2
sebesar 42 kali dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat keluarga
menderita DM dan secara statistik hasil ini bermakna ( p=0,000) (Wicaksono, 2011).
Integrasi genotif dan ekspresi dapat membantu menemukan gen yang terkait
dalam suatu penyakit namun kewaspadaan tetap diperlukan karena ada beberapa
peluang untuk terjadi kesalahan serta adanya variasi dalam suatu teknik pemeriksaan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
Banyak hal telah dilakukan di bidang genetika untuk mencoba untuk menemukan
asal-usul genetik DM tipe 2.
Pada tahun 1996, sebuah genom yang secara signifikan berhubungan dengan
DM tipe 2 ditemukan di kromosom 2q37 dalam data gabungan 330-Meksiko ASP
Amerika dari Starr County, Texas. Lokus ini telah ditunjuk pada DM tipe 1.
Selanjutnya pada populasi dari Botnia di Western Finland, sejumlah kecil silsilah
keluarga yang terpilih dengan tingkat insulin yang tinggi setelah tes toleransi glukosa
oral, menunjukkan bukti yang signifikan adanya hubungan DM tipe 2 pada kromosom
12q, dan lokus ini ditunjuk untuk DM tipe 2.
Tak satu pun dari penelitian yang dilaporkan tersebut menunjukkan tingkat
signifikansi untuk setiap linkage. Atas dasar itu, tidak ada hubungan jelas yang dapat
dibuktikan antara setiap lokus tertentu dengan DM tipe 2. Kaitan pada sejumlah gen
telah dilaporkan oleh beberapa penulis, yang mana tidak dapat ditemukan oleh
peneliti lain pada populasi yang berbeda. Bahkan ketika sebuah linkage telah
ditemukan pada kromosom yang sama oleh lebih dari satu peneliti namun sering
berada di tempat yang berbeda pada kromosom tersebut. Hanya pada kromosom
1q21-24 ditemukan adanya hubungan dengan DM tipe 2 meskipun lemah, tetapi telah
ditemukan oleh penelitian yang sama pada populasi yang berbeda. Kemungkinan
mutasi pada kromosom 1 ini adalah mutasi yang sudah lama terjadi pada manusia.
Mutasi pada kromosom 1q ditambah dengan mutasi lain serta perubahan gaya hidup
yang cenderung kebarat-baratan berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2 (Taylor,
2006).
2.1.3.2.Obesitas
Obesitas adalah keadaan penyerta yang sangat sering bersamaaan dengan DM
tipe 2. Banyak penelitian menunjukkan obesitas merupakan prediktor kuat
perkembangan penyakit ini. Pada individu yang tidak mengalami obesitas,
insidensinya rendah sekalipun pada masyarakat Pima India yang memiliki risiko DM
tipe 2 sangat tinggi. Hubngan antara obesitas dan DM tipe 2 bervariasi dengan
berbagai faktor risiko laiinya (Benett, et al., 2005).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
2.1.3.3.Hipertensi
Penelitian oleh Aksu et al. (2006) menemukan hubungan antara hipertensi dan
DM yang tidak tergantung pada faktor-faktor risiko lain. Orang dengan hipertensi
memiliki prevalensi DM yang lebih tinggi dan mereka mengalami 3,2 kali lebih
sering insiden DM ketika dievaluasi dengan faktor-faktor risiko lainnya. Berbagai
survei juga menemukan hubungan antara diabetes dan hipertensi. WHO
merekomendasikan skrining untuk diabetes pada individu dengan hipertensi.
2.1.3.4.Minimnya Aktivitas Fisik
Banyak penelitian membuktikan kurangnya aktivitas fisik memiliki peran
penting dalam terjadinya DM tipe 2. Beberapa penelitian juga menunjukkan bukti
untuk hal ini. Aktivitas fisik atau olahraga dapat menurunkan risiko terjadinya DM
pada individu yang mengalami kegagalan toleransi glukosa atau Impaired Glucose
Tollerance (IGT) (Benett, et al.,2005). Laporan terbaru ahli bedah tentang aktivitas
fisik dan kesehatan menggarisbawahi peran penting aktivitas fisik dalam promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk
melakukan aktifitas fisik yang tidak terlalu berat tiga puluh menit per hari. Dalam
konteks diabetes hal ini semakin memperjelas bahwa terjadinya peningkatan kejadian
DM tipe 2 disebabkan oleh karena kurangnya aktivitas fisik serta meningkatnya angka
obesitas (ADA, 2004).
2.1.3.5.Faktor Risiko Lainnya
Selain yang tealah disebutkan di atas, factor risiko DM tipe 2 adala sebagai
berikut.
1. Faktor Sebelumnya diidentifikasi IFG (Impaires Fasting Glucose) atau
IGT (Impaired Glucose Tolerance).
2. Riwayat
melahirkan
bayi
>4
kg
atau
mengalami
diabetes
gestasional.
3. Tingkat kolesterol HDL <35 mg/dl atau kadar trigliserida >250 mg/dl.
4. Sindrom ovarium pilikistik atau Akantosis nigrikans.
5. Adanya riwayat kelainan darah (Powers, 2010).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
2.1.4. Patogenesis
DM tipe 1 terjadi karena adanya interaksi antara genetik, lingkungan dan
faktor imunologi yang mendasari terjadinya destruksi pada sel beta pankreas. Hal
ini akhirnya menyebabkan defisiensi insulin. Pada DM tipe 1, hampir semua
pasien terbukti mengalami mekanisme autoimun pada pulau langerhans pankreas
(powers, 2006). Marker sistem imun pada destruksi sel beta ini terdiri dari
autoantibodi sel pulau langerhans, autoantibodi
insulin, autoantibodi GAD65
serta autoantibodi tirosin posfatase IA-2 dan IA-2 beta. Satu atau lebih dari
autoantibodi tersebut ditemukan pada 85-90% saat kondisi hiperglikemia puasa
terdeteksi. DM tipe 1 juga berkaitan erat dengan HLA yang tersambung dengan
gen DQA dan DQB . dan juga dipengaruhi oleh gen DRB (ADA, 2012).
Pada DM tipe 1 proses destruksi sel beta bervariasi, dapat timbul cepat
(saat anak-anak dan remaja) yang merupakan paling umum terjadi, namun juga
dapat terjadi lambat (saat dewasa) (ADA, 2012). Mekanisme autoimun pada DM
tipe 1 dapat dipicu oleh adanya infeksi atau stimulus lingkungan lain seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya. Sel beta dapat mulai berkurang jumlahnya dan
sekresi insulin menurun secara progresif meskipun kadar gula darah masih dapat
dipertahankan. Hal ini terjadi karena gambaran diabetes tidak akan terlihat sampai
sebanyak 80% dari sel beta dihancurkan. Namun, pada saat kebutuhan insulin
meningkat (masa puberitas dan infeksi), serta proses destruksi yang terus-menerus
berlanjut mengakibatkan jumlah insulin semakin sedikit dan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehingga gejala DM akan semakin nyata (Powers, 2006).
DM tipe 2 dapat terjadi oleh berbagai penyebab , walaupun etiologi
pastinya belum diketahui (ADA, 2012).
Resistensi insulin dan abnormalitas
sekresi insulin adalah penyebab umum DM tipe. Meskipun masih diperdebatkan,
namun banyak penelitian mendukung bahwa resistensi insulin mendahului
terjadinya gangguan sekresi dan gejala DM akan muncul setelah sekresi insulin
tersebut tidak adekuat.
Terjadinya DM tipe 2 seperti sebelumnya telah dipaparkan berkaitan kuat
dengan masalah genetik, yang sampai saat ini kelainan tersebut belum
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
teridentifikasi. Namun dipastikan bahwa penyakit ini poligenik dan multifaktor.
Ada beragam masalah genetik yang diduga berperan serta faktor-faktor
lingkungan (nutrisi dan aktivitas fisik) yang mendukung munculnya gejala DM
tipe 2 (Powers, 2006).
2.1.5. Patofisiologi
DM tipe 2 ditandai oleh adanya kegagalan sekresi insulin, resistensi
insulin, peningkatan produksi glukosa oleh hati, dan metabolisme lemak yang
abnormal. Obesitas, terutama yang jenis viseral atau sentral sangat sering
ditemukan pada DM tipe 2. Pada tahap awal dari gangguan, toleransi glukosa
masih mendekati normal, meskipun telah terdapat resistensi insulin. Hal ini terjadi
karena sel beta pankreas meningkatkan sekresi insulin yang akhirnya dapat
menimbulkan hiperinsulinemia. Namun, resistensi insulin yang terus-menerus
terjadi
akhirnya
mengakibatkan
ketidakmampuan
pankreas
untuk
mempertahankan status hiperinsulinemia ini. Pada saat inilah IGT akhirnya
muncul yang ditandai oleh peningkatan glukosa pos prandial. Sekresi insulin yang
semakin lama semakin berkurang, dan ditambah lagi oleh adanya peningkatan
produksi glukosa oleh hati yang mengakibatkan keadaan hiperglikemia semakin
nyata dan pada akhirnya terjadilah kegagalan sel beta pankreas.
2.1.5.1.Resistensi Insulin
Adalah penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada
jaringan target (khususnya otot, hati dan lemak). Hal ini paling menonjol pada
gambaran klinis DM tipe 2 yang disebabkan oleh kombinasi dari genetik dan
obesitas. Resistensi insulin adalah relatif, tapi karena jumlah insulin yang beredar
lebih banyak dari biasanya akhirnya dapat menormalkan kadar glukosa plasma.
Namun lama-kelamaan, produksi insulin semakin berkurang dan ditambah adanya
resitensi insulin akhirnya mengakibatkan kegagalan penggunaan glukosa oleh
jaringan-jaringan yang bergantung insulin serta akan terjadi peningkatan produksi
glukosa oleh hati. Hal inilah yang megakibatkan keadaan hiperglikemia.
Mekanisme yang mengakibatkan terjadinya resistensi insulin masih belum dapat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
dijelaskan. Jumlah reseptor insulin dan dan aktifitas tirosin kinase memang
berkurang, tetapi perubahan ini merupakan akibat dari keadaan hiperinsulinemia
dan bukan merupakan kelainan awal. Untuk itu, kelainan pada pos reseptor insulin
dalam mengatur fosforilasi dan defosforilasi kemungkinan memainkan peranan
penting (Powers, 2010).
2.1.5.2. Kegagalan Sekresi Insulin
Sekresi insulin berhubungan
dengan sensitifitasnya. Pada DM tipe 2,
mulanya sekresi insulin meningkat sebagai respon terhadap resistensi insulin
untuk mempertahankan glukosa normal. Pada awalnya, kelain sekresi insulin
berada pada tingkat sedang dan secara selektif melibatkan sekresi insulin oleh
stimulasi glukosa. Penyebab terjadinya pengurangan dari banyaknya sekresi
insulin pada DM tipe 2 masih belum jelas. Diperkirakan bahwa ada kelainan pada
gen kedua – resistensi insulin – yang akhirnya mengakibatkan kegagalan sel beta
pankreas. Konsisi metabolisme pada pasien DM tipe 2 seperti hiperglikemia
(toksisitas glukosa), semakin berefek buruk terhadap pulau langerhans pankreas
dan semakin memperparah kondisi hiperglikemia. Massa sel beta pankreas lama
kelamaan akan berkurang pada pasien DM tipe 2 jangka panjang. (Powers, 2010).
2.1.5.3.Peningkatan Produksi Glukosa dan Lemak oleh Hati
Pada DM tipe 2, resistensi insulin megakibatkan kegagalan penghambatan
proses glukoneogenesis oleh hati, yang mana menghasilkan terjadinya
hiperglikemia puasa dan penurunan penyim panan glikogen oleh hati pada saat
pos prandial. Peningkatan produksi glukosa terjadi pada awal diabetes, yaitu saat
sudah terdapat sekresi insulin yang abnormal dan resistensi insulin pada otot
rangka. Sebagai akibat dari resistensi insulin pada jaringan lemak , asam lemak
bebas dikeluarkan dari jaringan lemak dan mengakibatkan peningkatan sintesis
lemak pada sel-sel hati (Powers, 2010).
2.1.6. Diagnosis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti berikut
ini.
1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (PERKENI, 2011).
Diagnosis DM menurut ADA (2012) dapat ditegakkan melalui salah satu
cara berikut ini.
1. HbA1c ≥6,5%. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan
metode bersertifikat serta sudah distandarisasi.
2. Glukosa plasma puasa (Fasting Plasma Glucose = FPG) ≥ 126 mg/dl (7,0
mmol/l). Puasa didefinisikan sebagai tidak adanya asupan kalori selama
minimal 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam ≥ 200 mg/dl (11.1mmol/l) selama tes toleransi glukosa
oral (TTGO). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan oleh WHO yaitu
menggunakan glukosa dengan beban 75 g dilarutkan dalam air.
4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia,
plasma acak glukosa ≥200 mg/dl (11,1 mmol/l).
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0
mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL (PERKENI, 2011).
2.1.7. Komplikasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
2.1.7.1. Komplikasi Akut
Diabetic Ketoacidosis (DKA) dan Hyperglicemic Hyperosmolar State
(HHS) adalah komplikasi akut DM. DKA lebih sering terjadi pada DM tipe 1,
namun juga dapat ditemukan pada penderita DM tipe 1 yang tidak memiliki gejala
imunologi . HHS lebih sering ditemukan pada DM tipe 2. Kedua kelainan ini
berhubungan dengan defisiensi insulin relatif atau absolut, penurunan volume,
serta ketidakseimbangan asam-basa.
2.1.7.2. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik pada DM mempengaruhi banyak sistem organ dan
bertanggung jawab terhadap tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit.
Komplikasi
kronik
dapat
dibagi
menjadi
komplikasi
mikrovaskular,
makrovaskular dan lainnya. Komplikasi mikrovaskular meliputi retinopati, edema
makula, neuropati, dan nefropati. Komplikasi makrovaskular yaitu,
penyakit
arteri koroner, penyakit arteri perifer, dan penyakit serebrovaskular. Komplikasi
lain yang juga dapat disebabkan oleh DM tipe 2 adalah penyakit gastrointestinal
(gastroparesis, diare), penyakit genitourinary (uropati, disfungsi seksual), penyakit
kulit, infeksi katarak, glukoma, penyakit periodontis (Powers, 2010).
2.1.8. Pencegahan
Menurut PERKENI (2011),
pencegahan DM tipe 2 terdiri dari
pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
2.1.8.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan serta pengelolaan
yang ditujukan untuk kelompok masyarakat terutama yang memiliki risiko tinggi
dan mengalami intoleransi glukosa. Materi penyuluhan antara lain sebagai berikut.
1. Program penurunan berat badan
Jika seseorang mempunyai risiko diabetes dan berat badan lebih, penurunan
berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terjadinya DM
tipe 2. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan berat badan
5-10 % dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
2. Diet sehat
Diet sehat meliputi:
1. Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.
2. Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal.
3. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan
seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang
tinggi setelah makan. Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat
larut.
3. Latihan jasmani
1. Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah,
mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan
kadar kolesterol HDL.
2. Latihan jasmani yang dianjurkan, yaikerjakan sedikitnya selama 150
menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut
jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobic berat
(mencapai denyutjantung>70% maksimal). Latihan jasmani dibagi
menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.
4. Menghentikan merokok
Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular.
Meskipun merokok tidak berkaitan secara langsung dengan timbulnya
intoleransi
glukosa,
tetapi
merokok
dapat
memperberat
komplikasi
kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe2.
2.1.8.2. Pencegahan sekunder
Ditujukan pada orang yang sudah positif menderita DM (terutama pasien
baru) sebagai upaya penghambatan terjadinya penyulit penyakit. Penyulit penyakit
yang paling sering adalah masalah kardiovaskular.
Pencegahan
dilakukan
dengan cara pemberian pengobatan serta deteksi dini terhadap penyulit tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
Peran penyuluhan sangat besar terhadap suksesnya pencegahan di tahap ini
karena berpengaruh terhadap kepatuhan pasien kepada program pengobatan.
2.1.8.3. Pencegahan tersier
Ditujukan kepada pasien DM yang sudah menderita penyulit penyakit
dalam upaya untuk melakukan penghambatan terhadap terjadinya kecacatan lebih
lanjut. Upaya rehabilitasi dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kecatatan
tersebut menetap.
2.1.9. Penatalaksanaan DM tipe 2
Penyakit DM tipe 2 adalah penyakit seumur hidup (Yunir dan Soebardi,
2009) . Oleh karena itu, terapi pada penyakit ini tentu dilakukan seumur hidup
pula untuk menjaga agar KGD tetap stabil sehingga pasien dapat terhindar dari
komplikasi. Penatalaksanaan DM tipe 2 meliputi terapi non farmakologis dan
farmakologis.
2.1.9.1. Non Farmakologis
Terapi ini berupa edukasi kepada pasien untuk melakukan perubahan pola
hidup. Perubahan tersebut dilakukan dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani.
Terapi gizi medis dilksanakan dengan pengaturan pola makan pada pasien dibates
yang berdasar pada status gizi serta kebutuhan individual. Latihan jasmani yang
dapat dilakukan seperti jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda, dan sepak bola
(perkeni 2011, Yunir dan Soebardi, 2009).
2.1.9.2. Farmakologis
Terapi farnakologis dilakukan jika pengendalian glikemia masih gagal setelah
dilakukan perubahan pola hidup (Soegondo, 2009). Terapi farmakologis
dilakukan dengan dua cara, yaitu obat hioglikemik oral serta suntikan.
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi lima golongan, yaitu: pemicu
sekresi insulin (insulin secretagogue), seperti, sulfonilurea dan glinid,
peningkat sensitivitas terhadap insulin, seperti metformin dan tiazolidindion,
penghambat glukoneogenesis (metformin), penghambat absorpsi glukosa,
penghambat glukosidase alfa, dan DPP-IV inhibitor.
2. Suntikan
Suntikan yang diberikan pada pasien diabetes ada dua jenis, yaitu, insulin dan
analog inkretin. Keduanya berfungsi untuk menurunkan KGD. Insulin bekerja
dengan
menekan produksi glukosa hati serta menstimulasi pemanfaatan
glukosa. Analog inkretin meningkatkan sekresi insulin dan menghambat
sekresi glukagon (PERKENI, 2011).
2.2. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, yang dapat terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu hal. Penginderaan yang paling sering
digunakan untuk memperoleh pengetahuan adalah penglihatan dan pendengaran.
Pengetahuan adalah domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang.
Pengetahuan telah terbukti memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku
seseorang. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan bahwa sebelum seseorang
mengadopsi sebuah perilaku baru, orang tersebut harus melalui beberapa tahapan
sebagai berikut.
1. Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari dengan pengertian
mengetahui stimulus terlebih dahulu.
2. Interest, artinya orang mulai tertarik terhadap suatu stimulus.
3. Evaluation, artinya seseorang mulai mempertimbangkan stimulus tersebut
apakah bermanfaat bagi dirinya atau tidak.
4. Trial, yatu seseorang sudah mulai melakukan perilaku baru yang dianngapnya
bermanfaat.
5. Adoption,
yaitu
seeorang
sudah
berperilaku
baru
sesuai
dengan
pengetahuannya terhadap suatu hal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
Pada penelitian selanjutnya dibuktikan bahwa perubahan perilaku tidaklah
harus melalui tahapan seperti itu. Namun, perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Misalnya, ibu-ibu yang mengikuti program keluarga berencana
(KB) karena diperintahkan oleh pemerintah. Perilaku mereka mengikuti program
KB ini tidak akan bertahan lama dan mereka akan berhenti dari program setelah
tidak diperintahkan lagi karena tidak didasari oleh pengetahuan tentang manfaat
KB.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam
tingkatan sebagai berikut.
1. Tahu (Know).
Tahu diartikan sebagai kemampuan mengingat suatu materi yang telah
diajarkan sebelumnya. Pada tingkat pengetahuan ini seseorang dapat
mengingat kembali (recall) hal-hal spesifik dari bahan yang telah dipelajari.
Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah dan diukur
dengan kata kerja seperti menguraikan, menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehension).
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan utuk dapat menjelaskan dan
menginterpretasikan sesuatu yang diketahui secara benar. Kepahaman dapat
dinilai dari kemampuannya dalam menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan , dan sebagainya terhadap objek yang telah
dipelajari.
3. Aplikasi (application).
Aplikasi adalah kemampuan meggunakan pengetahuan yang dimiliki dari
proses belajar pada situasi yang nyata. Aplikasi tersebut diwujudkan seperti
dengan cara menggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dan situasi yang lain.
4. Analisis (analysis).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen yang mana masih testruktur dalam suatu
organisasi dan masih berkaitan satu sama lain. Kemampuan dalam
menganalisis
dapat
diukur
dengan
penggunaan
kata
kerja
seperti
menggambarkan, membedakan, memisahkan dan sebagainya.
5. Sintesis (synthesis).
Sintesis merujuk kepada kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Hal ini dapat
dilakukan dengan pengungkapkan dengan kalimat lain atau mampu menyusun
rumus baru dari rumus-rumus yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation).
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan melakukan penilaian terhadap suatu
materi ataupun objek tertentu. Penilaian ini dilakukan berdasarkan kriteriakriteria yang ditentukan sendiri atau dengan memakai kriteria-kriteria yang
telah ada.
Pengetahuan dapat diukur dengan cara wawancara atau pengisian
kuesioner yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian
atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur
dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan pengetahuan yang telah
dipaparkan (Notoatmodjo, 2007).
Tingkat pengetahuan dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala
yang bersifat kualitatif sebagai berikut:
a. Baik : Hasil presentase 76%-100%
b. Cukup : Hasil presentase 56%-75%
c. Kurang : Hasil presentase kurang dari 56% (Wawan A, 2010 dalam Rahadian,
2012).
Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut.
1. Pendidikan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
Pendidikan adalah proses bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepda
orang lain tentang sesuatu hal sehingga orang lain tersebut dapat memahami
hal tertentu. Tidak dapat disangkal lagi bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin mudah orang tersebut dalam menerima
informasi. Semakin mudah seseorang menerima informasi maka akan semakin
mudah pula orang tersebut dalam memahami dan akan semakin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki (Mubarak, 2007).
2. Pengalaman.
Pengalaman adalah suatu peristiwa yang pernah dialami oleh seseorang ketika
berinteraksi dengan lingkungan. Seseorang yang memiliki pengalaman yang
kurang baik tentang suatu hal akan cenderung berusaha melupakan dan
sebaliknya jika ia memiliki pengalaman yang menyenangkan maka orang
tersebut akan cenderung mengingat hal tersebut (Mubarak, 2007).
3. Intelegensia.
Intelegensia adalah kemampuan yang dimiliki seseorang sejak lahir sehingga
memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Tingkat
intelegensia seseorang mempengaruhi kemampuannya dalam menerima suatu
informasi. Orang yang memiliki intelegensia tinggi maka akan lebih mudah
menerima informasi (Wawan A, 2010 dalam Rahadian, 2012)
4. Usia.
Usia adalah hal yang sangat berpengaruh terhadap perubahan aspek fisik dan
psikologis seseorang. Perubahan aspek fisik meliputi perubahan ukuran,
perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru. Pada
aspek psikologis, usia berpengaruh terhadap kematangan dan kedewasaan
seseorang .
5. Pekerjaan.
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengetahuan
dan pengalaman baik secara langsung maupun tidak langsung (Mubarak,
2007).
6. Faktor Lingkungan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
Faktor lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar individu
dimana berpengaruh terhadap perkembangan dan perilaku seseorang. Faktor
lingkungan dapat berkaitan dengan keadaan di sekitar daerah tempat
tinggalnya (Wawan A, 2010 dalam Rahadian 2012).
Tempat tinggal
merupakan tempat menetap sehari-hari. Lingkungan berpengaruh terhadap
proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam
lingkungan tersebut (Notoatmodjo, 2003 dalam Rahadian 2012)
7. Tingkat ekonomi.
Tingkat ekonomi akan mempengaruhi tingkah laku. Individu dengan status
tingkat ekonomi yang baik umumnya memiliki sikap yang lebih positif
terhadap kesehatan daripada individu yang berasal dari keluarga dengan
tingkat ekonomi rendah. Faktor ekonomi berhubungan dengan kesempatan
untuk mendapatkan informasi (Wawan A, 2010 dan Kosnodiharjo, 1988
dalam Rahadian 2012). Beberapa cara yang dapat digunakan dalam
menghitung tingkat ekonomi, salah satunya dengan menggunakan model
tingkat konsumsi, model kesejahteraan keluarga, upah minimum kabupaten/
kota (UMK) dan sebagainya (Cahyat, 2004 dalam Rahadian, 2012).
8. Media massa.
Media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan penyuluhan
kesehatan dapat memberikan informasi yang dapat memberikan pengaruh
jangka pendek sehingga menghasilkan pengetahuan. Semakin banyak
informasi mengenai suatu penyakit maka pengetahuannya mengenai penyakit
tersebut pun akan meningkat (Wawan A, 2007 dan Notoadmojo, 2010 dalam
Rahadian, 2012) .
2.3 Hubungan Memiliki Riwayat Keluarga Menderita DM tipe 2 dengan
Kesadaran tentang DM tipe 2
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, pengetahuan merupakan
faktor yang memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku seseorang. Tahapan yang
paling dasar ketika seseorang dalam memperoleh pengetahuan adalah kesadaran
(awareness), dimana pada tahap ini seseorang sudah mengetahui stimulus tentang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
suatu hal (Notoatmojo, 2007). Kesadaran tentang DM tipe 2 merupakan hal yang
penting dimiliki oleh setiap individu mengingat perilaku pencegahan terhadap
penyakit ini akan dilakukan jika individu tersebut memiliki pengetahuan yang
cukup tentang DM tipe 2 (Wee, 2002).
Kesadaran seseorang tentang suatu penyakit kronik seperti diabetes akan
meningkat satu level jika ada keluarga yang menderita penyakit tersebut (Alsarayra, 2012). Hal ini terjadi oleh karena berkembangnya rasa kerentanan akan
menderita penyakit yang sama seperti yang dialami oleh keluarganya, serta
terdapat persepsi bahwa penyakit tersebut akan diwarisi olehnya. Persepsi ini akan
cenderung meningkat karena individu yang memiliki keluarga dengan penyakit
tersebut menyaksikan sendiri penderitaan yang dialami oleh keluarganya yang
sedang sakit (Walter, 2004).
Beberapa penelitian tentang tingkat kesadaran akan penyakit
DM
menunjukkan bahwa kesadaran tentang DM lebih tinggi pada kelompok yang
memiliki riwayat keluarga menderita DM. Pada penelitian oleh Al-sarayra et al.
(2012) ditemukan bahwa dari seluruh responden pada penelitian tersebut yang
memiliki riwayat keluarga DM, 65% sadar akan DM. Pada penelitian lain oleh
Osman et al didapati adanya hubungan memiliki riwayat keluarga menderita DM
dengan kesadaran tentang DM. Pada penelitian tersebut, dari 98 responden yang
memiliki riwayat keluarga menderita DM, 65% diantaranya sadar tentang DM,
sedangkan dari 202 responden yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita
DM, yang sadar akan DM hanya sebesar 32% dengan p < 0.001.
Hubungan adanya riwayat keluarga dengan kesadaran tentang DM juga
dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh McManus et al. (2006) dimana
pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa responden
yang memiliki riwayat
keluarga menderita DM lebih sering melakukan pemeriksaan gula darah ke dokter
dibanding responden yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita DM. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Al-Shafaee, et al. (2008) yang melaporkan bahwa
tingginya pengetahuan tentang DM berhubungan dengan tingkat ekonomi,
pendidikan serta adanya riwayat keluarga menderita DM pada responden. Namun,
pada penelitian Ayiesah, et al. (2010) di Malaysia, ditemukan hasil yang berbeda
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
dimana dilaporkan bahwa memiliki riwayat keluarga menderita DM, jenis
kelamin dan ras pada responden tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
kesadaran tentang DM (p > 0,05).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Download