TUGAS HADITS Nama : Prayoga Noor Rizki NIM : 1710110030 Kelas : PAI A/ Semester II Makul : Hadits BIOGRAFI ABDULLAH BIN UMAR Abdullah bin Umar bin Khattab (Arab: )عبد هللا بن عمربن الخطابatau sering disebut Abdullah bin Umar atau Ibnu Umar saja (lahir 612 - wafat 693/696 atau 72/73 H) adalah seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Ia adalah anak dari Umar bin Khattab, salah seorang sahabat utama Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin yang kedua. Lahir Meninggal Pasangan Saudara kandung Anak Orang Tua : 610 M, Mekkah, Arab Saudi : 693 M, Mekkah, Arab Saudi : Safiyah Bint Abi Ubaid, Sahla bint Malik, Um Alqamah bint Alqamah : Hafsah binti Umar, Ubaydullah bin Umar, dll : Salim bin Abdullah, Soda bint Abd-Allah, Zaid ibn Abd-Allah,dll : Umar bin Khattab, Zainab binti Maz'un Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia masih kecil, dan ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya. Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia ikut berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang Mu'tah, dan turut pula dalam pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal, ia ikut dalam Perang Yarmuk dan dalam penaklukan Mesir serta daerah lainnya di Afrika. Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat sebagai hakim, tetapi Abdullah ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh, sebagian kaum muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah, tetapi ia juga menolaknya. Ia tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia cenderung menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat terlibat konflik dengan Abdullah bin Zubair yang pada saat itu telah menjadi penguasa Makkah. Periwayat Hadits Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah Abu Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana Rasulullah pergi. Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata :"Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya ia tidak mau melakukan ijtihad. Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada kesempatan lainnya. Di antara para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah anaknya Salim dan hamba sahayanya, Nafi'. Pendapat dari Para Sahabat Ahli Hadits Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan kaum muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami disenangi oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya Abdullah." Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada seorang pun yang sebanding dengan dia". Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak berderma. Ia hidup sampai 60 tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80 tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota Makkah. Kisah Abdullah bin Umar Yang Menghindari Jabatan Dan Anti Kekerasan Abdullah bin Umar sangat bergairah ketika panggilan jihad berkumandang. Namun sungguh suatu keanehan, ia juga anti kekerasan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan Islam. Kendati berulangkali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah, namun tawaran itu ditolaknya. Hasan ra meriwayatkan, tatkala Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbaiat kepada anda!" Namun Ibnu Umar menyahut, "Demi Allah, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetes pun tertumpah disebabkan aku." Massa di luar mengancam, "Anda harus keluar, atau kalau tidak, kami bunuh di tempat tidurmu!" Diancam begitu Ibnu Umar tak tergerak. Massa pun bubar. Sampai suatu ketika, datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih oleh seluruh kaum Muslimin tanpa paksaan. Jika baiat dipaksakan sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah (kelompok), bahkan saling mengangkat senjata. Ada yang kesal lantas menghardik Ibnu Umar. "Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap manusia kecuali kamu," kata mereka. "Kenapa? Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka tidak pula berpisah dengan jamaah mereka, apalagi memecah-mecah persatuan mereka?" jawab Ibnu Umar heran. "Seandainya kau mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang." "Aku tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak." Ketika Muawiyah II, putra Yazid bin Muawiyah, menduduki jabatan khalifah, datang Marwan menemui Ibnu Umar. "Ulurkan tanganmu agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya." "Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur?" "Kita gempur mereka sampai mau berbaiat." "Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang tujuh puluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku," kata Ibnu Umar. Penolakan Ibnu Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa yang berkata, 'marilah shalat', akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'marilah menuju kebahagiaan' akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan 'marilah membunuh saudara kita seagama dan merampas hartanya', maka saya katakan, tidak!" Hal ini bukan karena Ibnu Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih jika umat Islam terpecah dalam beberapa golongan. Ia tak suka berpihak pada salah satunya. Meskipun pada akhirnya ia pernah berkata, "Tiada sesuatu pun yang kusesalkan karena tidak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tidak mendampingi Ali memerangi golongan pendurhaka." Seseorang menggugatnya, kenapa ia tidak membela Ali dan pengikutnya jika ia merasa Ali di pihak yang benar. Ibnu Umar menjawab, "Karena Allah telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim."