DIMENSI HUKUM PERJANJIAN KREDIT BANK 1. KREDIT : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dpt dipersamakan dgn itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dgn pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam utk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu, dgn pemberian bunga. 2. Pasal 1313 KUHPerd menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dgn mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya thd satu orang lain atau lebih. 3. Perjanjian Kredit itu sendiri mengacu pada perjanjian pinjam meminjam. Di sisi lain, walaupun Perjanjian Kredit (PK) berakar dari perjanjian pinjam meminjam, tetapi ia berbeda dgn perjanjian pinjam meminjam yg tercantum dlm KUHPerdata. Menurut Psl 1754 KUHPerdata yang menjadi objek pinjam meminjam adalah barang-barang yang habis dalam pemakaian, dgn pengertian bahwa yang meminjam akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. 4. Dalam Buku III KUHPerdata tdk terdapat ketentuan khusus yang mengatur Perjanjian Kredit. Namun berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian kredit, sepanjang tdk bertentangan dgn undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan. Dgn disepakati dan ditanda-tanganin PK oleh para pihak, sejak detik itu perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya sbg undang-undang. 5. Perjanjian Kredit (PK) merupakan perjanjian konsensuil antara debitur dengan kreditur (bank) yang melahirkan hubungan utangpiutang, di mana debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh debitur dan kreditur. 6. Syarat sahnya perjanjian kredit mengacu pd Pasal 1320 KUHPerdata, yang terdiri dari syarat subjektif dan syarat objektif. Pelanggaran thd unsur subjektif mengandung makna bahwa perjanjian tsb dapat diminta untuk dibatalkan melalui upaya hukum dgn cara mengajukan gugatan kpd PN. Pelanggaran thd unsur objektif berarti PK tsb secara hukum batal dgn sendirinya, dan oleh karena itu PK tsb tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat / memaksa. 7. Jenis2 Perjanjian Kredit : a. Perjanjian Kredit di Bawah Tangan : - Perjanjian Kredit dibawah tangan biasa - Dicatatkan di kantor notaris (waarmerking) - Dilegalisasi oleh notaris. b. Perjanjian Kredit yang dibuat secara notaril, yang merupakan akta yang otentik dan sempurna. 8. Pihak-pihak dlm Perjanjian Kredit : a. Pemberi kredit atau kreditur b. Penerima kredit atau debitur. 9. Fungsi Perjanjian Kredit : a. Sbg perjanjian pokok, di mana PK tsb merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tdk batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. b. Sbg alat bukti mengenai batasan2 hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur, termasuk sebagai alat utk monitoring fasilitas kredit. 10. Komposisi/ Bagian2 dari Perjanjian Kredit : a. Judul b. Komparisi, yaitu bagian dari suatu akta yg memuat keterangan ttg orang/ pihak yg bertindak mengadakan perbuatan hukum. c. Isi, yaitu bagian dari perjanjian kredit yg memuat hal-hal yg diperjanjikan para pihak, termasuk jaminan yang diserahkan oleh debitur. d. Penutup. 11. Dalam komparisi biasanya berisi premise, yang merupakan bagian dari akta yang berisi uraian yang memuat alasan2 atau dasar pertimbangan para pihak dalam membuat perjanjian kredit. Dalam premise dimuat hal-hal atau pokok-pokok pikiran yang merupakan konstruksi fakta-fakta secara singkat, dan yang menggerakkan para pihak utk melakukan perjanjian kredit 12. Isi Perjanjian Kredit : a. Klausula hukum (legal clauses), yakni klausula yang berisikan ketentuan2 hukum yg biasanya berlaku utk pemberian kredit. Termasuk ke dalam klausula ini a.l. klausula mendebet rekening, klausula perlindungan bank, condition precedent, pernyataan dan jaminan, dll. b. Klausula Komersial (Commercial Clauses), yakni yang berkaitan dgn aspek komersial dlm pemberian kredit, jumlah kredit, jangka waktu, pembayaran angsuran, denda, bunga, asuransi, dll. 13. Klausula2 PK yg Memberatkan Nasabah Debitur, al : a. Kewenangan bank utk sewaktu2 tanpa pemberitahuan sebelumnya utk secara sepihak menghentikan izin penarikan kredit. b. Kewajiban debitur utk tunduk pd persyaratan kredit yang ada dan yg akan ada di kemudian hari. c. Pemberian kuasa dari debitur kpd bank yg tdk dpt dicabut kembali, utk dpt melakukan tindakan yg dipandang perlu oleh bank,…. d. Pencantuman klausula2 eksemsi, yang membebaskan bank dari tuntutan2 ganti kerugian oleh nasabah debitur, atas terjadinya kerugian yg diderita olehnya sbg akibat tindakan bank. Ini merupakan pencantuman klausula eksemsi mengenai tidak adanya hak nasabah debitur utk dapat menyatakan keberatan atas pembebanan bank thd rekeningnya. e. Catatan ttg Perjanjian Kredit dan Perlindungan Konsumen : - Sering sengketa berkaitan dgn Perjanjian Kredit yg dibuat secara baku dikaitkan dgn UU Perlindungan Konsumen (UUPK). - Psl 1 ayat 10 UUPK menyebutkan bahwa klausula baku adalah : “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat2 yg telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha, yg dituangkan dlm suatu dokumen dan/ atau perjanjian yg mengikat, dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. - Psl 18 ayat 2 UUPK menyebutkan bahwa : “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yg memenuhi ketentuan sbgmana disebutkan pd ayat 1 dan 2 dinyatakan batal demi hukum”. - Kasus yg terjadi di Indonesia, terdapat sengketa Perlindungan Konsumen yg diajukan konsumen melawan leasing company ttg Perjanjian Leasing Kenderaan Bermotor, dimana konsumen dimenangkan oleh BPSK. - Namun MA pada tingkat kasasi melalui Putusan No. 3 K/Pdt.SusBPSK/2016 tgl 24 Februari 2016 menyatakan bahwa : - Membatalkan Putusan PN Tangerang yg menguatkan Putusan BPSK sebelumnya. - Menyatakan BPSK tdk berwenang memeriksa dan mengadili perkara tsb. - Putusan MA No. 3 K/Pdt.Sus-BPSK/2016 tsb menjadi jurisprudensi bahwa atas sengketa konsumen dgn lembaga keuangan/ bank yg timbul dari perjanjian, harus diartikan bahwa bukan merupakan kompetensi BPSK utk mengadilinya. 14. Bagian Ketentuan Tambahan dan Penutup : Klausula ini dimaksudkan utk mengatur ketentuan yg belum tertampung secara khusus dlm klausula baku dlm perjanjian kredit. Antara lain memuat : a. Pilihan hukum (choice of law), dan b. Pilihan forum penyelesaian sengketa (choice of forum). Bagian Penutup Perjanjian Kredit dibubuhi tanggal (jika dibuat di bawah tangan) dan ditanda tangani oleh para pihak yang mempunyai otoritas untuk itu. 15. Akibat Hukum Perjanjian Kredit : Akibat hukum dari lahirnya suatu perjanjian kredit tidak ubahnya dgn akibat hukum dari lahirnya suatu perjanjian pada umumnya. Secara umum hal ini menimbulkan suatu perikatan dalam bentuk hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tsb tidak lain adalah hubungan timbal balik dari para pihak pada perjanjian tsb. Dengan kata lain, akibat hukum dari perjanjian kredit adalah hal yg mengikat dan memaksa thd pelaksanaan perjanjian kredit dimaksud. 16. Berakhirnya Perjanjian Kredit : Mengenai hapusnya Perjanjian Kredit mengacu kpd Psl 1381 KUHPerdata tentang hapusnya perikatan. Dlm praktek, hapusnya perikatan disebabkan : a. pembayaran b. subrogasi c. pembaharuan utang atau novasi, dan d. perjumpaan utang atau kompensasi. 17. Kaitan dgn AKTA PENGAKUAN UTANG : a. Meskipun Perjanjian Kredit dibuat secara notariil, tapi tdk mempunyai kekuatan eksekutorial. Dlm hal debitur wan-prestasi, kreditur tdk dapat melakukan eksekusi thd jaminan yg ada tetapi harus melakukan gugatan thd debitur melalui PN. b. Utk mengatasi hal itu sering ditempuh melalui pembuatan Akta Pengakuan Utang. c. Akta Pengakuan Utang adalah akta yg berisi pengakuan utang sepihak, di mana debitur mengakui bahwa dirinya mempunyai kewajiban membayar kpd kreditur sejumlah uang yang pasti (tetap). Akta Pengakuan Utang berbeda dgn Perjanjian Kredit. Keduanya yakni APU dan PK tidak boleh digabungkan di dalam satu akte, dlm hal Perjanjian Kredit dibuat secara notariil. d. Isi Akta Pengakuan Utang adalah semata-mata pengakuan utang saja. Di pihak lain, Perjanjian Kredit berisi juga hak dan kewajiban debitur dan kreditur, bunga, janji-janji, kuasa, dsb. e. Akta Pengakuan Utang bersifat pernyataan sepihak. Di pihak lain, perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak, yaitu antara kreditur dan debitur. f. Dalam Akta Pengakuan Utang, jumlah utang debitur berupa uang harus ditentukan secara tegas dan pasti. g. Jadi Akta Pengakuan Utang murni isinya pengakuan utang sejumlah uang dan tidak mengandung bunga, janji-janji, dsb, sebagaimana halnya dgn PK. h. Grosse Akta Pengakuan Utang merupakan alat bukti adanya utang. Grosse akta merupakan akta notaris yg mempunyai sifat dan karakteristik yang khusus bila dibandingkan dengan akta otentik lainnya. Grosse Akta adalah salah satu salinan akta utk pengakuan utang. i. Grosse Akta Pengakuan Utang dibubuhi irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. j. Pasal 224 HIR mengharuskan grosse akta memuat : * Syarat formil : - berbentuk notaril - memuat titel eksekutorial - kepala akta ditulis irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME” - bagian akhir akta mencantumkan kalimat “Sbg Grosse Pertama diberikan atas permintaan kreditur”. * Syarat Materiil : - memuat rumusan pernyataan sepihak dr debitur , yakni : - pengakuan berutang kpd kreditur - pengakuan kewajiban membayar pd waktu yg ditentukan - tidak memuat ketentuan perjanjian jaminan - jumlah utang sdh pasti ( utang yg pasti meliputi utang pokok + bunga) k. Akta yg tidak memuat ketentuan yg tercantum pd Psl 224 HIR mengandung cacat yuridis dan mengakibatkan tidak sah sbg suatu grosse akta. Grosse akta yg demikian kehilangan executorial kracht dan menjadikannya sbg grosse akta yg non-executable. l. Catatan : Grosse adalah salinan atau kutipan dari minuta akta asli, yang di atas/pada judul akta memuat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, dan dibawahnya dicantumkan kalimat :’’Diberikan sebagai Grosse Pertama, dengan menyebut nama orang, yang atas permintaannya grosse tsb diberikan dan tanggal pemberiannya”. ----js----