LATAR BELAKANG Pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) merupakan salah satu bentuk Pemilu di Indonesia sebagai manifestasi prinsip negara demokrasi berdasarkan UUD 1945. Dengan sendirinya kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif menentukan kualitas negara demokrasi yang dijalankan. Dari sisi politik, pemilu legislatif mengawali agenda ketatanegaraan dan politik nasional. Hasil pemilu legislatif memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi pemilu presiden/ wakil presiden serta menentukan peta kekuatan politik nasional lima tahun berikutnya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu legislatif merupakan agenda konstitusional yang harus dikawal oleh segenap komponen bangsa. Pemilu merupakan proses panjang terdiri atas tahapan-tahapan yang saling terkait, mulai dari penentuan agenda dan jadwal hingga penetapan hasil dan calon terpilih. Setiap tahapan pemilu telah diatur dengan prosedur dan tata cara tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan yang dibentuk oleh KPU untuk memastikan bahwa pemilu akan diselenggarakan secara jujur dan adil, serta hasil pemilu nanti benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat. Dalam tahapan Pemilu Legislatif yang telah dilakukan memang muncul beberapa persoalan. Pada tahap verifikasi partai politik peserta pemilu terdapat gugatan dari partai politik yang dinyatakan tidak lolos. Putusan PTUN telah dijatuhkan dan KPU telah melaksanakan putusan tersebut. Pada tahap verifikasi calon anggota legislatif, KPU sempat memutuskan mencoret daftar calon yang diajukan partai politik di suatu daerah pemilihan karena tidak memenuhi syarat. Namun, putusan ini dieliminasi oleh Bawaslu, sementara KPU juga telah melaksanakan itu. Pada tahap pengumuman DPS, DPSHP, dan DPT berbagai masukan telah diberikan peserta pemilu dan publik yang tentu akan ditindaklanjuti oleh KPU. Tentu saja wajar jika di dalam setiap tahapan pemilu selalu ada persoalan, baik karena perbedaan penafsiran aturan main maupun karena persoalan teknis penyelenggaraan. Kompleksitas pemilu legislatif yang bersifat nasional, yang melibatkan ratusan juta pemilih, puluhan peserta, dan ratusan ribu calon anggota legislatif tentu saja memiliki peluang besar memunculkan berbagai persoalan. Karena itu, pada tahapan-tahapan pemilu selanjutnya permasalahan, baik dalam bentuk perselisihan maupun pelanggaran pasti akan terjadi. Untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dan pelanggaran, hukum pemilu (electoral laws) telah menyediakan mekanisme yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan terpenuhinya asas konstitusional penyelenggaraan pemilu dan tercapainya tujuan pemilu yang demokratis. Mekanisme hukum ini wujud dari prinsip bahwa demokrasi harus dijalankan berdasarkan aturan hukum sesuai prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum. Sepanjang mekanisme hukum yang berorientasi pada asas dan tujuan pemilu dijalankan, kita percaya bahwa semua persoalan yang ada akan dapat diselesaikan. Sebaliknya, jika terdapat pelanggaran terhadap mekanisme hukum atau bahkan pelanggaran terhadap asas dan tujuan pemilu yang demokratis sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, permasalahan akan berkembang dan berkelanjutan hingga mempengaruhi konstitusionalitas hasil pemilu. Terhadap perselisihan atau pelanggaran yang telah terjadi, terbuka kemungkinan untuk dipersoalkan kembali di Mahkamah Konstitusi (MK) saat persidangan perselisihan hasil pemilu (PHPU) yang akan datang. Dengan sendirinya ketika hal itu dipersoalkan, MK akan menilai dan memutus pelanggaran dan penyelesaian yang telah dilakukan dalam tahapan-tahapan itu, apakah terdapat pelanggaran terhadap konstitusi atau tidak. Ini konsekuensi dari jati diri MK sebagai peradilan konstitusi serta perkembangan putusan-putusan MK dalam perkara PHPU yang menegaskan bahwa peran MK tidak lagi sekadar memutus perselisihan hasil penghitungan suara, tapi memutus konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Putusan-putusan MK dalam perkara PHPU, baik PHPU Legislatif, PHPU Presiden, maupun PHPU Kepala Daerah telah membentuk prinsip-prinsip hukum penyelenggaraan pemilu yang demokratis sesuai konstitusi. Prinsip-prinsip hukum ini tafsiran yang harus dijalankan untuk mengawal konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Karena itu, putusan PHPU bersifat pseudo judicial review karena di dalamnya terdapat penilaian dan penafsiran hukum pemilu. Dengan demikian, putusan dan prinsip hukum yang dibentuk dalam putusan PHPU Kepala Daerah juga mengikat dan harus diperhatikan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan pemilu legislatif. Sebagai contoh terkait