Reviews Jurnal / Paper yg berkaitan Kecerdasan Buatan / Artificial Intellegence MAKALAH Dosen Pengampu Wali Ja’far Shudiq, M.Kom Disusun Oleh : SOFIAN ZAKARIA 16010314 FADIL AKBAR 16010126 ARDIANSYAH RABALADA 16010304 UNIVERSITAS NURUL JADID Teknik Informatika Kelas Ekstensi (L) Karanganyar Paiton Probolinggo 2017 - 2018 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menghirup segarnya udara yang tak terbatas ini dan menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata kuliah agama dengan judul Halal bi Halal dalam waktu yang singkat ini. Tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi, Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari dosen pengajar dan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Sekolah Tinggi Nurul Jadid. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kepada pembaca saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Kraksaan, 1 Desember 2016 Sofian Zakaria i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1 B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ 3 C. MANFAAT ............................................................................................................. 3 BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 4 A. PENGERTIAN ....................................................................................................... 4 B. KAPANKAH MELAKSANAKAN MAAF MEMAAFKAN ................................ 5 C. HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL ................ 8 D. PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL................................................. 10 E. KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH SHALAT DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH KUBUR DI HARI RAYA ............................. 11 E. BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI HALAL ....... 13 F. KOMENTAR PARA ULAMA SEPUTAR MUSAFAHAH ................................ 15 BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 19 A. KESIMPULAN ..................................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 23 ii BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluq mukallaf yang sejatinya sudah mengemban amanah untuk melaksanakan keta’atan kepada Allah sebagai tujuan dari penciptaan dirinya sebagaimana yang termaktub dalam qur’an surat AdDzariyat:56. Maka sebagai makhluq mukallaf, sudah seyogyanya manusia harus mau mengikuti apa yang diperintah Tuhannya, atau meninggalkan apa yang dilarang oleh Tuhannya. Dalam istilah fiqh, keberadaan hukum yang mengikat manusia sebagai makhluq mukallaf paling tidak terbagi menjadi tiga, ya’ni yang dituntut pelaksanaannya dimana nanti akan menjadi bentuk wajib atau sunnah, atau apa yang dituntut untuk ditinggalkan dimana hal tersebut akan berwujud haram atau makruh, dan apa yang tidak dituntut untuk dilaksanakan juga tidak dilarang untuk dilaksanakan, maka inilah yang namanya mubah-Al-‘Itisham:25-. Nabi s.a.w telah melakukan klasifikasi terhadap segala perbuatan manusia menjadi dua bentuk, yaitu perkara dunia dan perkara agama. Maka semua yang berkaitan dengan perkara dunia nabi memberi kebebasan dalam mengekspresikannya sebagaimana haditsnya: “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian”-HR.Muslim-, tapi kalau dalam urusan agama nabi sangat membatasi bahkan tidak memberi ruang kepada manusia untuk bebas berekspresi sebagaimana sabdanya: “Dan jika yang berkaitan dengan agama kalian,maka kembalikanlah kepadaku”-HR.Muslim-, dalam hadits lain nabi mengatakan: “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka perbuatan itu tertolak”.-Mutaffaq’Alaih‘Idul Fithri adalah perayaan umat islam setelah shaum Ramadhan sebulan penuh yang dalam pelaksanaannya ditetapkan oleh syari’at, bahkan didefinisikan sendiri maknanya oleh nabi sebagaimana hadits yang diriwayatkan tirmidzi: “Sungguh Allah telah merubah kedua hari yang biasa padanya orang-orang 1 madinah pada masa jahiliyyah berhari raya dan bergembira ria dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari adlha dan hari fithri”. Maka tidak heran jika dalam ‘idul fithri nabi mencontohkan sendiri amalan waktu ‘id seperti mandi dan memakai wangi-wangian, memulai dengan makan sebelum kelapang, shalat ‘id dilanjutkan dengan khutbah, kemudian amalan lainnya seperti pulang dari arah yang berbeda atau amalan sahabat dalam mengucapkan tahniyyah ‘idul fithri yaitu taqabbalallahu minna waminkum. Dewasa ini di Indonesia, ‘Idul fithri bukan sekedar perayaan rutinan setelah ramadhan saja, tetapi dimaknai dan bahkan difahami oleh kebanyakan orang sebagai waktu untuk saling memaaf-maafkan dan saling berjabat tangan guna saling membebaskan kesalahan masing-masing agar kembali kepada fihtrah (kesucian)1. Kemudian dari pemahaman tersebut melahirkan tradisi yang mengakar dalam masyarakat Indonesia untuk melakukan acara ziarah ke makam untuk meminta maaf kepada yang sudah meninggal (nadran), atau mengadakan acara halal-bihalal sebagai media untuk mengumpulkan orang dan sebagai efektifitas waktu dalam melakukan acara saling memaafkan dan bersalaman, sebagaimana definisi kamus bahasa Indonesia (Em Zul Fajri:344) dikatakan bahwa: “halal-bihalal merupakan kata benda bermakna hal maaf memaafkan setelah menyelesaikan ibadah puasa ramadhan, dalam acara halal bihalal nanti akan diisi dengan ceramah agama. Menurut Rizqon Khamami2 mengutip ungkapan Dr. Quraish Shihab, bahwa halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Lanjut beliau, meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, sejauh yang saya ketahui, masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bihalal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu. Halal-bihalal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini. Menurut Ustadz Anas Burhanuddin MA3 mengutip pendapat Iwan Ridwan yang menyebutkan bahwa halal bihalal adalah suatu tradisi 1 pesantrenvirtual. (2014) pesantrenvirtual. [Online]. http://www.pesantrenvirtual.com muslim. (2013) muslim.or.id. [Online]. http://muslim.or.id 3 Al-Maktabah As-Syamilah 2 2 berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halal bihalal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama. Menurut beliau 4, Konon, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sambernyawa’. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama. B. RUMUSAN MASALAH 1. Pengertian Halal Bi Halal ? 2. Manfaat Halal Bi Halal ? 3. Sejarah Halal Bi Halal ? 4. Pelanggaran Halal Bi Halal ? C. MANFAAT Halal bi Halal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan mempererat persaudaraan. Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan sering mengharuskannya jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana Halal bi Halal. 4 Muntaqa Syarah Muwattha, "maktabah as-syamilah," in maktabah as-syamilah. 3 BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab merekabertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka. Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia”.5 Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fithri 6. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama. 5 bahasakita.com. (2009) bahasakita.com. [Online]. http://bahasakita.com/2009/08/23/halalbihalal2/ 6 Ibid. 4 Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama7. Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia.8 Namun dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bi halal menurut pandangan syariat. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fithri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana. B. KAPANKAH MELAKSANAKAN MAAF MEMAAFKAN Dalam masalah maaf memaafkan yang merupakan esensi dari halal bihalal, tentulah akan timbul pertanyaan dalam fikiran orang yang pernah melakukan kesalahan, apakah maaf memaafkan itu harus dilakukan pada bulan Syawwal setelah selesai menunaikan kewajiban puasa Ramadhan? Atau kapan 7 8 Ibid. Ibid. 5 saat yang tepat untuk meminta maaf apabila telah melakukan kesalahan? Apakah maaf memaafkan itu harus menunggu datangnya bulan Syawal? Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, perlu kiranya setiap muslim untuk kembali kepada sumber ajaran Islam yaitu al-Quran dan Hadis Nabi SAW. Al-Quran menjelaskan bahwa waktu yang tepat untuk meminta maaf atas kesalahan atau bertaubat dari dosa dan kesalahan yang telah diperbuat adalah pada waktu yang secepat-cepatnya tidak perlu ditunda-tunda sampai hari raya tiba. Allah SWT berfirman. ب ُّ ِإنَّ َما الت َّ ْو َبةُ َعلَى هللاِ ِللَّ ِذيْنَ َي ْع َملُ ْونَ ال ٍ س ْو َء بِ َج َهالَ ٍة ث ُ َّم َيت ُ ْوبُ ْونَ ِم ْن قَ ِر ْي )17:ب هللاُ َعلَ ْي ِه ْم َو َكانَ هللاُ َع ِل ْي ًما َح ِك ْي ًما (النساء ُ فَأُولئِ َك يَت ُ ْو Artinya:”Sesungguhnya taubat yang diterima Allah itu hanyalah taubatnya orang-orang yang berbuat suatu kejahatan dengan kebodohan, kemudian mereka bertaubat dengan segara. Mereka itulah yang diterima Allah taubatnya. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana”. (An-Nisa’:17) Ayat di atas memberikan petunjuk bahwa saat taubat yang akan diterima oleh Allah SWT. adalah apabila seseorang telah melakukan kesalahan (durhaka) kepada Allah baik disengaja atau tidak disengaja atau karena kurang pengetahuannya, maka dengan segera ia sadar dan menghentikannya serta bertekad tidak akan mengulangi lagi kesalahannya itu. Adapun taubat yang tidak akan diterima Allah ialah jika seseorang yang selalu bergelimang dosa, ia tidak segara bertaubat dan baru bertaubat setelah maut berada dihadapannya, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat An-Nisa’: 18. ْ س ض َر أ َ َحدَ ُك ْم ْال َم ْوتُ قَا َل ِإ ِنِّ ْى ِ سيِِّئَا َّ ت الت َّ ْوبَةُ ِللَّ ِذيْنَ يَ ْع َملُ ْونَ ال َ ى َح َ َولَ ْي َّ ت َحت ت ُ ْبتُ اْآلنَ َوالَ الَّ ِذيْنَ يَ ُم ْوت ُ ْونَ َو ُه ْم ُكفَّا ٌر أُولئِ َك أ َ ْعت َ ْدنَالَ ُه ْم َعذَابًا )18:أ َ ِل ْي ًما(النساء Artinya: “Dan tidaklah taubat orang-orang yang berbuat kejahatan-kejahatan, (yang) hingga apabila maut telah datang kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia berkata:”sesunguhnya aku taubat sekarang!” Dan tidak (pula 6 diterima taubat ) orang-orang yang mati, padahal mereka kafir. (bagi) mereka itu telah Kami sediakan azab yang sangat pedih” Adapun kesalahan yang dilakukan oleh manusia ada 2 macam, yaitu: Pertama, kesalahan yang dilakukan manusia terhadap Allah SWT, dan Kedua, kesalahan yang dilakukan manusia terhadap manusia. Apabila seorang muslim melakukan suatu kesalahan pertama (terhadap Allah) karena ketidak tahuan dan ia segera melakukan taubat nashuha (taubat yang murni), maka merupakan hak Allah yang akan memaafkan terhadap kesaalahan tersebut. Sedang kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim terhadap sesama muslim lainnya , maka Allah SWT. akan memaafkannya jika telah mendapat maaf dari sasudara yang didlaliminya. Dan jika orang yang berbuat dlalim (kesalahan) kepada saudaranya belum sempat minta maaf kepada saudaranya, maka ia akan menanggung resiko yang lebih berat (jatuh pailit), seperti yang diterangkan dalam beberapa hadis sebagai berikut: ْ َم ْن َكان:سلَّ َم قَا َل َُت ِع ْندَه َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِِ بى ِّ ِ َّ َع ِن الن,َ َع ْن أ َ ِب ْى ُه َري َْرة ْ َم َ فَ ْليَت َ َحلَّ ْلهُ ْاليَ ْو َم قَ ْب َل أ َ ْن يُؤْ َخذَ ِحيْن,ض ِه أ َ ْو َما ِل ِه ِ ظلَ َمةٌ ِم ْن أ َ ِخ ْي ِه ِم ْن ِع ْر ْ أ ُ ِخذَ ِم ْنهُ ِبقَ ْد ِر َم,صا ِل ٌح ,ظلَ َمتِ ِه ٌ َاليَ ُك ْو ُن ِد ْين َ َو ِإ ْن َكانَ لَهُ َع َم ٌل,َار َوالَ د ِْر َه ٌم َعلَ ْي ِه ْ َاحبِ ِه فَ ُج ِعل ت ِ ص َ ت َوإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ أ ُ ِخذَ ِم ْن ِ سيِِّئَا َ )1058/502/2:(أحمد Artinya: Dari Abi Huraerah ra.. Dari Nabi SAW,. Ia bersabda:”Barang siapa berbuat aniaya terhadap saudaranya baik masalah kehormatannya atau hartanya, hendaklah ia minta dihalalkan (dimaafkan) oleh saudaranya pada hari itu juga sebelum ia diambil (nyawanya) dimana uang dan dirham tidak ada gunanya. (jika ia tidak sempat dihalalkan) apabila ia memiliki amal sholih (yang pernah dilakukan sewaktu hidupnya), maka amal sholih dari orang tersebut (yang berbuat aniaya) diambil sebesar kedloliman yang ia perbuat, dan jika ia tidak memiliki amal sholih, maka keburukan-keburukan dari orang yang telah dianiaya diambil dan dibebankan (diberikan) kepada orang tadi (yang berbuat aniaya)”. (HR. Ahmad) 7 Oleh karena itu, dalam rangka mensucikan diri (tazkiyatun Nafs) setelah melakukan ibadah puasa bulan Ramadhan, setiap muslim menganggap bahwa bulan Syawal merupakan kesempatanm yang baik untuk maaf memaafkan atas kesalahan yang telah diperbuat. Sedang kesalahan yang dilakukan terhadap Allah sudah langsung dilakukan setelah melakukan kesalahan itu dengan cara melakukan taubat nashuha, yaitu dengan melalui 3 syarat Pertama, menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan, Kedua, segera mencabut (meninggalkan) kesalahan yang sedang diperbuat dan Ketiga, mengakui serta bertekad tidak akan mengulangi lagi. Dan yang perlu mendapat perhatian bahwa memohon ampunan terhadap Allah lebih mudah dilaksanakan dari pada meminta maaf kepada orang lain atau memaafkan orang lain, karena kedua hal tersebut (meminta maaf dan memaafkan) sering dipengaruhi oleh penyakit hati (kesombongan, keangkuhan dan sifat harga diri yang enggan melakukan hal tersebut). Dengan adanya kegiatan halal bi halal itu diharapkan dapat menumbuhkan keberanian moral untuk mengakui kesalahan kepada orang lain dan suka memaafkan kesalahan orang lain (yang menganiaya). Sehingga suka memaafkan orang lain yang merupakan cirri orang yang bertaqwa dapat terwujud bagi kita semua. Dan kegiatan praktek halal bi halal ini tidak hanya dilakukan pada bulan Syawal.9 C. HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram (dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah. Akan tetapi, masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan. 9 asepsholah. (2014) asepsholah. [Online]. http://asepsholah.blogspot.co.id/2014/07/makna-danhakikat-halal-bi-halal.html 8 ُ َو ِم ْن َحي،ي َعا ِديَّةٌ الَ بِ ْد َعةَ فِ ْي َها ُ ت ِم ْن َحي ْث يُتعبَّدُ ِب َها أ َ ْو ِ َو ِإ َّن ْال َعا ِديَّا َ ْث ِه ُض َع التَّعَبَّ ِد ت َ ْد ُخلُ َها ْالبِدَ َعة ْ ض ُع َو َ ت ُ ْو Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya 10 Sifat taufiqi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi : 1. Tauqifi dari sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi hanya ada dua hari raya dalam sau tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu. َّ َّللا صلى َّ س ِم َع رسول َّ عن أَن َِس بْنَ َما ِل ِك رضي َّللا َ قَد َِم: َّللا عنه قال َّ َّللا صلى َّ فَقَا َل رسول،ان َيل َعبُونَ في ِه َما َّللا ِ عليه وسلم ْال َمدِينَةَ َولَ ُهم َيو َم : قال،ب فِ ْي ِه َما فِي ال َجا ِه ِليَّ ِة ُ ُكنَّا ن َْل َع: قالُوا،ان؟ ِ ان ْال َي ْو َم ِ َ َما َهذ: عليه وسلم ْ يَ ْو َم ْال ِف َّ ِإ َّن: ط ِر َويَ ْو َم النَّ ْح ِر َّللاَ َع َّز َو َج َّل قَ ْد أ َ ْبدَلَ ُك ْم ِب ِه َما َخي ًْرا ِم ْن ُه َما Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya : Apakah dua hari ini? Mereka menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa jahiliyah. Beliau pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR Abu Dawud no. 1134 dihukumi shahih oleh Al-Albani]11 Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun 10 11 Al-I’tisham 2/98. Shahih Sunan Abi Dawud 4/297. 9 selain dua hari raya ini12, berbeda dengan umat Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki landasan syar’i. 2. Tauqifi dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan-minum, berpakaian, bermain-main dan bergembira juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariat. 13 D. PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL Di satu sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan ‘id, seperti bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan. Syari’at Islam merujuk perkara ini kepadaadat dan tradisi masing-masing. Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu ditekankan agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya, sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak ada dasarnya dalam Islam.14 Namun mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, 12 Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499. Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262. 14 Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6. 13 10 bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat untuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain. Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan. Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah penambahan syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata. َّ َّللا صلى َّ ى َع ْه ِد رسول َّللا عليه وسلم ِ َ فَ ُك ُّل أ َ ْم ٍر يَ ُك ْو ُن ْال ُم ْقت َ َضي ِلف ْع ِله َعل صلَ َح ٍة ْ ْس بِ َم ْ َم ْو ُج ْوداًلَ ْو َكانَ َم َ يُ ْعلَ ُم أَنَّهُ لَي،صلَ َحةً َولَ ْم يُ ْفعَ ْل Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu (betul-betul) merupakan sebuah kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan. 15 E. KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH SHALAT DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH KUBUR DI HARI RAYA Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas halal bi halal secara khusus. Namun ada masalah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan halal bi halal dan sudah banyak dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah shalat dan pengkhususan ziarah kubur di hari raya. Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut. 15 Ibid. 2/101. 11 َّ َّللا صلى َّ رسول: َّللا عنه قا َل َّ اء ِِ رضي ام ْن ِ عن ْالبَ َر ِ َم: َّللا عليه وسلم ِ َ غ ِف َر لَ ُه َما قَ ْب َل أ َ ْن يَتَفَ َّر قَا ُ َّان إِال َ َ ان فَيَت ِ صا فَ َح ِ َُم ْس ِل َمي ِْن يَ ْلت َ ِقي Dari al-Bara (bin Azib) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah dua orang Muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah” [HR Abu Dawud no. 5212 dan at-Tirmidzi no. 2727, dihukumi shahih oleh al-Albani] 16 Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat, hukumnya berubah ; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariat baru dalam agama. Disamping itu, bersalam-salaman setelah shalat juga membuat orang menomorduakan amalan sunnah setelah shalat yaitu berdzikir. 17 Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang masalah ini, maka beliau menjawab : Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah bid’ah, wallahu a’lam. 18 Lebih jelas lagi, para ulama mengkategorikan pengkhususan ziarah kubur di hari raya termasuk bid’ah, 19 padahal ziarah kubur juga merupakan amalan yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan dalam hadits berikut َّ َّللا صلى َّ رسول:َّللا عنه قال َّ عن بُ َر ْيدَة َ رضي: ُِإنِِّي ُك ْنت َّللا عليه وسلم آلخ َرة ِ ْوروهَا؟ فَإِنَّ َها تُذَ ِ ِّك ُر ا ُ ور فَ ُز َ َنَ َه ْيت ُ ُكم ْ َعن ِزي ِ ُارةِ ْالقُب Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah ; karena ia mengingatkan akhirat. [HR Ashabus Sunnan, 16 As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525. Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141. 18 Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339. 19 Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247. 17 12 dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang dihukumi shahih oleh Syu’aib al-Arnauth] Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari ajaran Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang terus-menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya berubah menjadi tercela. Wallahu a’lam. E. BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI HALAL Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bi halal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariat, di antaranya ; 1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fithri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fithri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal ‘urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran’. Dan jadilah “mohon maaf lahir dan batin” ucapa yang “wajib”. pada hari raya Idul Fithri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fithri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut َّ َّللا صلى َّ َّللا عنه أ َ َّن رسول َّ عن أ َ ِبي ُه َري َْرة َ رضي : َّللا عليه وسلم قال ْ َت ِع ْندَهُ َم ْ َم ْن َكان َار َوال ٌ ْس ث َ َّم ِد ْين َ ظ ِل َمةٌ أل َ ِِ ِخي ِه فَ ْليَت َ َحلَّ ْلهُ ِم ْن َها؟ فَإِنَّهُ لَي ََات أ ُ ِخذ ٌ سن َ فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َح،سنَاتِ ِه َ در َه ٌم ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن يُؤ َخذَ أل َ ِِ ِخي ِه ِم ْن َح ُ َت أ َ ِخي ِه ف ْ ط ِر َح ت َعلَ ْي ِه ِ سيِِّئَا َ ِم ْن Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya ; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan 13 kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya. [HR al-Bukhari no. 6169] 2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut. َّ َّللا صلى َّ س ِم َع رسول َّ ى رضي َّللا َ َُّللا عنه أَنَّه َ ُ عن أَبِى أ َ س ْي ٍد اْأل َ ْن ِّ ِ ار ِ ص َ ََار ٌخ ِمنَ ْال َم ْس ِج ِد فَا ْختَل اء ِفى ِ س ِّ ِ ط َ ِّالر َجا ُل َم َع ال ِن ِ عليه وسلم َيقُو ُل َو ُه َوخ َّ َّ َّللا صلى َّ ق فَقَا َل رسول ْس ِ س ِ َ اء ا ْست َ َِِّّللا عليه وسلم ِالن َ أخ ْرنَ فَإِنَّهُ لَي ِ الط ِري َّ ت َّ َلَ ُك َّن أ َ ْن ت َ ْحقُ ْقن ص ُق ِ َ فَ َكان،ق ِ الط ِريْقَ َعلَ ْي ُك َّن ِب َحافَا ِ َ ت ْال َم ْراَة ُ ت َلت ِ الط ِر ْي صوقِ َهابِ ِه ُ ُالجدَ ِار َحتَى ِإ َّن ث َ ْوبَ َها لَيَتَعَلَّ ُق بِ ْال ِجدَ ِار ِم ْن ل ِ ِب Dari Abu Usaid al- Anshari Radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria bercampur-baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita : “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya”. Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, lantaran begitu mepetnya baju mereka dengan dinding” [HR Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani].20 3. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam cara halal bihalal atau kehidupan seharihari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadist berikut. َّ َّللا صلى َّ قال رسول: َّللا عنه يَقُو ُل َّ ار رضي َّللا عليه َ َعن َم ْع ِقل بن ي ِ س ْ ُ أل َ ْن ي: وسلم طعَنَ فِي رأْ ِس أ َ َح ِد كُ ِْم بِ ِم ْخيَ ِط ِم ْن َحد ِي ٍد َخي ٌْر لَهُ ِم ْن أ َ ْن ُس ْام َر أَة ً ت َ ِح ُّل لَه َّ َي َم 20 As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856. 14 Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh alAlbani]. 21 Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Ancaman keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya yang terkandung dalam hadits ini menunjukkan haramnya menjabat tangan wanita (yang bukan mahram, ed) karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama” 22 F. KOMENTAR PARA ULAMA SEPUTAR MUSAFAHAH قوله ( قلت ألنس بن مالك هل كانت المصافحة في أصحاب رسول هللا قال نعم ) فيه مشروعية المصافحة قال بن بطال المصافحة حسنة عند وقال النووي المصافحة.عامة العلماء وقد استحبها مالك بعد كراهته تنبيه قال النووي في األذكار اعلم أن هذه.سنة مجمع عليها عند التالقي المصافحة مستحبة عند كل لقاء وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صالتي الصبح والعصر فال أصل له في الشرع على هذا الوجه ولكن ال بأس به فإن أصل المصافحة سنة وكونهم حافظوا عليها في بعض األحوال وفرطوا فيها في كثير من األحوال أو أكثرها ال يخرج ذلك وقد ذكر االمام.البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها أبو محمد بن عبد السالم أن البدع على خمسة أقسام واجبة ومحرمة ومكروهة ومستحبة ومباحة قال ومن أمثلة البدع المباحة المصافحة عقب الصبح والعصر انتهى 21 22 Lihat Ghayatul Maram 1/137. Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah). 15 (maksud) Perkataannya: (Aku berkata kepada anas bin malik apakah bersalaman terjadi pada masa sahabat rasulullah? Aku berkata” ya” ) pada hadits itu terdapat syari’at bersalaman. Berkata Ibnu Baththal: Bersalaman itu baik menurut keumuman para ulama dan sungguh malik telah menyunnahkan bersalaman itu setelah dia memakruhkannya. Berkata imam an-nawawi: Bersalaman itu sunnah yang disepakati atasnya ketika bertemu. Perhatian: Berkata imam An-Nawawi didalam Al-Adzkar: Ketahuilah bahwa berjabat tangan ini adalah sunnah pada setiap bertemu. Adapun apa yang dilakukan orang-orang seperti bersalamaan setelah shalat subuh dan ashar, tidak ada dasarnya menurut syara’ dalam aspek ini, akan tetapi tidak apa-apa, karena asal dari bersalaman itu adalah sunnah, sedangkan mereka memelihara bersalaman dalam sebagian keadaan dan mereka menyalah gunakannya dalam setiap keadaan atau kebanyakannya. Dan sebagiannya tidak akan keluar dari kedudukannya termasuk musafahah yang ditetapkan syara’ secara asli. Sungguh Imam Abu Muhammad bin ‘Abdus Salam telah menyebutkan bid’ah itu ada lima, yaitu wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah. Nawawi berkata: Dan diantara bentuk-bentuk bid’ah yang mubah adalah bersalaman setelah subuh dan ashar,selesai. قال الحافظ بعد ذكر كالم النووي هذا ما لفظه وللنظر فيه مجال فإن أصل صالة النافلة سنة مرغب فيها ومع ذلك فقد كره المحققون تخصيص وقت بها دون وقت ومنهم من أطلق مثل ذلك كصالة الرغائب وقال القارىء بعد ذكر كالم النووي وال يخفى.التي ال أصل لها انتهى أن في كالم االمام نوع تناقض ألن إتيان السنة في بعض األوقات ال يسمى بدعة مع أن عمل الناس في الوقتين المذكورين ليس على وجه االستحباب المشروع فإن محل المصافحة المشروعة أول المالقاة وقد يكون جماعة يتالقون من غير مصافحة ويتصاحبون بالكالم ومذاكرة العلم وغير مدة مديدة ثم إذا صلوا يتصافحون فأين هذا من السنة 16 المشروعة ولهذا صرح بعض علمائنا بأنها مكروهة حينئذ وأنها من البدع المذمومة انتهى Berkata Al-Hafidz setelah menyebutkan perkataan Nawawi: ini adalah apa yang beliau ungkapkan dan untuk melihatnya ada beberapa aspek, sebab sesungguhnya asal shalat sunnah itu adalah sunnah yang dicintai, dan oleh sebab itu para ahli tahqiq tidak menyukai pengkhususan waktu musafahah bukan pada waktunya. Dan diantara mereka ada yang memutlakan yang seperti itu, seperti shalat raghaib (shalat pengharapan) yang tidak ada dalilnya, selesai. Berkata Al-Qari setelah menyebutkan pendapat Nawawi: Jelas sekali bahwa dalam pendapat Imam Nawawi terdapat bagian yang diperdebatkan, karena sesungguhnya mengkhususkan sunnah dalam sebagian waktu tidak dikatakan bid’ah padahal amalan orang-orang pada dua waktu yang disebutkan tidak menurut aspek sunnah yang disyari’atkan, karena tempat musafahah yang disyari’atkan adalah awal pertemuan, sedangkan kadang-kadang sekelompok orang saling bertemu tanpa bermusafahah dan mereka saling akrab dalam pembicaraan dan kajian keilmuan dan seterusnya. Kemudian jika mereka shalat, lalu ini (musafahah) ditegaskan sebagai sunnah yang disyari’atkan, oleh sebab itu sebagian ulama kami menegaskan bahwa musafahah (setelah shalat) tercela pada saat tersebut, dan bahwasanya dia itu termasuk bid’ah yang tercela, selesai. وقال صاحب عون المعبود.قلت األمر كما قال القارىء والحافظ وتقسيم البدع إلى خمسة أقسام كما ذهب إليه بن عبد السالم وتبعه النووي أنكر عليه جماعة من العلماء المحققين ومن آخرهم شيخنا القاضي العالمة بشير الدين القنوجي فإنه رد عليه ردا بليغا قال وكذا المصافحة والمعانقة بعد صالة العيدين من البدع المذمومة المخالفة قلت وقد أنكر القاضي الشوكاني أيضا على تقسيم البدعة.للشرع انتهى إلى األقسام الخمسة في نيل األوطار في باب الصالة في ثوب الحرير 17 -.والقصب وأنكر عليه أيضا صاحب الدين الخالص ورده بستة وجوه -55/11:فتح الباري, 426/7:المكتبة الشاملة,تحفة األحوذي Aku mengatakan: Urusan (musafahah) itu seperti yang dikatakan Al-Qari dan AlHafidz. Berkata pengarang ‘Aun Al-Ma’bud: dan pembagian bid’ah menjadi 5 bagian sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Abdus Salam dan diikuti Nawawi telah diingkari oleh jama’ah ‘Ulama ahli tahqiq, dan diantara yang paling akhir dari mereka adalah Syaikh kami Al-Qadlhi Al-‘Allamah Basyirud Din AlQanuji, sesungguhnya dia menolak dengan penolakan yang fasih, dia berkata: Begitupula Musafahah dan berpelukan setelah shalat dua ‘Id (‘Idul Adlha dan ‘Idul Fithri) termasuk bid’ah yang tercela yang menyelisihi Syara’, selesai. Aku berkata: Sungguh Al-Qadlhi As-Syaukani juga telah mengingkari pembagian bid’ah menjadi 5 bagian dalam Nailul Authar pada bab As-Shalatu fi Tsaubil harir wal qashabi, dan diingkari juga (pembagian bid’ah menjadi 5) oleh Shahibud Din Al-Khalis, dan beliau membantahnya dengan 6 aspek.-Tuhfatul Ahwadzi, AlMaktabah As-Syamilah:7/426, Fathul Bari:11/55-23 23 pemudapersisjabar. pemudapersisjabar. [Online]. https://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/dian-hardiana/halal-bi-halal-sunnah-ataubidah/ 18 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan semua keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa halal bihalal yang menjadiu media dan didalamnya mengharuskan bermaaf-maafan dan bersalam-salaman sangat bermasalah baik dari segi istilah maupun inti keberadaan halal bihalal itu sendiri dan bahkan merupakan perbuatan mengada-ada dalam agama atau perbuatan bid’ah. Maka bagi kita yang takut akan ancaman dari rasulullah bahwa “Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan agama apa yang tidak ada dalilnya dari kami, maka hal itu tertolak”-HR.Muslim-, bahkan dalam redaksi lain rasul mengusir kaum muslimin yang mengada-ada suatu perbuatan dalam agama dengan bahasa “innaka laa tadri maa ahdatsu ba’daka ”(sesungguhnya kamu tidak tau apa yang mereka ada-adakan setelah kamu tiada) lalu nabi mengusir mereka dari telaga.-HR.BukhariDan perlu kita ketahui bahwa apapun yang dipandang baik apalagi dapat mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari ‘adzabnya pasti telah ditetapkan oleh Allah dan dicontohkan oleh nabi dan para sahabat sebab telah sempurnanya islam sebagaimana dalam QS.Al-Maidah:4, maka apapun yang tidak dilakukan nabi dan para sahabat dalam urusan agama janganlah kita mengira itu baik apalagi sunnah, dan apapun yang dilakukan nabi dan para sahabat sekalipun tidak cocok dengan keinginan kita maka janganlah kita mengatakan tidak baik apalagi meninggalkannya, sebab mereka adalah generasi terbaik yang pernah dilahirkan sebagaimana firman Allah dalam QS.Ali Imran:110 yang ditafsirkan Ibnu Katsir dengan hadits: “Sebaik-baik zaman adalah zamanku (nabi), kemudian seterusnya, kemudian selanjutnya”.-HR.BukhariMaka marilah kita tempatkan dan maknai ‘Idul ithri seperti nabi dan para sahabat memaknainya sebagaimana keterangan-keterangan dibawah ini: 19 ان سو ُل ه ُ ع َْن أَنَ ٍس قَا َل قَ ِد َم َر ِ ا ْل َمدِينَةَ َولَ ُه ْم يَ ْو َم-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا َ ُيَ ْلعَب يه َما فِى ُ َ قَالُوا ُكنها نَ ْلع.» ان ِ ان ا ْليَ ْو َم ِ َيه َما فَقَا َل « َما َهذ ِ ِب ف ِ ِون ف َّللاَ قَ ْد أ َ ْب َدلَ ُك ْم « ِإ هن ه-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا سو ُل ه ُ فَقَا َل َر.ا ْل َجا ِه ِليه ِة ْ َ ِب ِه َما َخ ْي ًرا ِم ْن ُه َما يَ ْو َم األ رواه أبو داود وأحمد قال-.» ض َحى َويَ ْو َم ا ْل ِف ْط ِر -صحيح:األلباني Dari Anas dia berkata: Rasulullah s.a.w. datang ke Madinah, sedangkan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain pada hari itu, kemudian nabi s.a.w. bersabda: Hari apa ini? Mereka menjawab: Kami suka bermain-main pada dua hari itu sewaktu jahiliyyah. Lalu rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah menggantikan buat kalian dua hari yang lebih baik dari pada keduanya, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.-HR.Abu Daud dan Ahmad. Berkata Al-Bani:Shahih- َ عبَا َدةَ قَا َل َما ِم ْن ش َْيءٍ ك َ علَى َ َان ُ س ْع ِد ْب ِن َِّللا َ ع َْن قَ ْي ِس ْب ِن سو ِل ه ُ ع ْه ِد َر صلهى َ سله َم إِ هَّل َوقَ ْد َرأ َ ْيتُهُ إِ هَّل َ َُّللا َ َِّللا َ ِ ش ْيئ ًا َو َ علَ ْي ِه َو سو َل ه ُ احدًا أ َ هن َر صلهى ه َ سله َم ك رواه-.ب َ َُّللا َ علَ ْي ِه َو ه ُ س لَهُ يَ ْو َم ا ْل ِف ْط ِر قَا َل َجابِ ٌر ُه َو الله ِع ُ َان يُقَله -أحمد Dari Qais bin Sa’id bin ‘Ubadah dia berkata: Tidak ada sesuatupun yang terjadi pada masa rasulullah kecuali aku telah melihatnya, kecuali ada satu saja (yang baru kuketahui), bahwa rasulullah s.a.w. dipukulkan rebana sambil bernyanyi untuknya pada hari ‘Idul Fithri. Jabir berkata: dia itu adalah permainan.HR.Ahmad- 20 ان َ ع َْن عَائِشَةَ أ َ هن أَبَا بَك ٍْر َد َخ َل ِ ان فِى أَيه ِام ِمنًى تُغَنِ َي ِ َ علَ ْي َها َو ِع ْن َد َها َج ِاريَت ْ َ َوت س ًّجى بِث َ ْوبِ ِه فَا ْنت َ َه َر ُه َما َ ُم-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا سو ُل ه ُ ان َو َر ِ َض ِرب ع ْنهُ َوقَا َل « َد ْع ُه َما َيا َ -صلى هللا عليه وسلم- َِّللا سو ُل ه ُ َف َر َ أَبُو َبك ٍْر فَ َكش -صلى هللا عليه وسلم- َِّللا سو َل ه ُ َوقَالَتْ َرأَيْتُ َر.» أَبَا بَك ٍْر فَ ِإنه َها أَيها ُم ِعي ٍد ُ ست ُ ُرنِى ِب ِردَائِ ِه َوأَنَا أ َ ْن َ ُش ِة َو ُه ْم يَ ْلعَب رواه مسلم باب-.ون َ َظ ُر إِلَى ا ْل َحب ْ َي -الرخصة في اللعب الذي َّل معصية فيه في أيام العيد ب الهذِى َّلَ َم ْع ِصيَةَ فِي ِه فِى أَيه ِام ا ْل ِعي َ الر ْخ ِ ص ِة فِى الله ِع ُّ باب Dari ‘Aisyah bahwa Abu Bakar datang kepadanya, sedangkan bersamanya ada dua pelayan perempuan pada har-hari Mina (hari raya) dan mereka berdua bernyanyi dan memukul rebana sedangkan rasulullah s.a.w. santai saja. Kemudian Abu Bakar membentak keduanya, lalu rasulullah mencegahnya dan berkata kepadanya: Tinggalkan keduanya wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari-hari ‘Id. ‘Aisyah berkata: Aku melihat rasulullah s.a.w. menutupiku dengan pakaiannya ketika aku melihat orang habsyi bermain-main.-HR.Muslim, Bab Rukhsah dalam permainan yang tidak ada padanya kemaksiatan pada hari-hari raya- صالَ ِة قَ ْب َل ا ْل ُخ ْط َب ِة ث ُ هم قَا َل ُ عبَ ْي ٍد قَا َل ش َِهدْتُ ا ْل ِعي َد َم َع ُ ع َْن أ َ ِبى ع َم َر فَ َبدَأ َ ِبال ه نَ َهى ع َْن ِصيَ ِام َهذَ ْي ِن ا ْليَ ْو َم ْي ِن أ َ هما-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا سو َل ه ُ ِإ هن َر ْ َ يَ ْو ُم األ َ ُض َحى فَتَأ ْ ُكل س ِك ُك ْم َوأ َ هما يَ ْو ُم ا ْل ِف ْط ِر فَ ِف ْط ُر ُك ْم ِم ْن ُ ُون ِم ْن لَ ْح ِم ن وقال,رواه أبو داود وابن ماجة والتروذي والبخاري وأحمد-.ام ُك ْم ِ َِصي -صحيح:األلباني Dari ‘Abu ‘Ubaid dia berkata: Aku menghadiri ‘Id bersama ‘Umar, kemudian beliau memulai shalat sebelum khutbah, kemudian berkata: Sesungguhnya rasulullah s.a.w. melarang shaum di duahari ini. Adapun hari Adlha adalah hari 21 kalian makan daging sembelihan kalian, dan hari fithri adalah hari kalian makanmakan setelah kalian shaum ramadhan.-HR.Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Bukhari, dan Ahmad, berkata Al-Bani:Shahih- -رواه مسلم-.» يو ُم ا ْل َج َوائِ ِز َ عن ْ َّللاِ ْب ِن ع َْم ٍرو « يَ ْو ُم ا ْل ِف ْط ِر ع ْب ِد ه Dari ‘Abdullah bin ‘Amr: Hari Fithri adalah hari hadiah (hari diperkenankannya segala hal kecuali kemaksiatan-Pen).-HR.Muslim- 22 DAFTAR PUSTAKA [1] pesantrenvirtual. (2014) pesantrenvirtual. [Online]. http://www.pesantrenvirtual.com [2] muslim. (2013) muslim.or.id. [Online]. http://muslim.or.id [3] Al-Maktabah As-Syamilah,. [4] Muntaqa Syarah Muwattha, "maktabah as-syamilah," in maktabah as- syamilah. [5] bahasakita.com. (2009) bahasakita.com. [Online]. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/ [6] Ibid. [7] Ibid. [8] Ibid. [9] asepsholah. (2014) asepsholah. [Online]. http://asepsholah.blogspot.co.id/2014/07/makna-dan-hakikat-halal-bihalal.html [10] Al-I’tisham 2/98. [11] Shahih Sunan Abi Dawud 4/297. [12] Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499. [13] Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262. [14] Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6. [15] Ibid. 2/101. [16] As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525. [17] Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141. [18] Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339. 23 [19] Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247. [20] As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856. [21] Lihat Ghayatul Maram 1/137. [22] Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah). [23] pemudapersisjabar. pemudapersisjabar. [Online]. https://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/dian-hardiana/halal-bi-halalsunnah-atau-bidah/ 24