Uploaded by Zuhriaulfaa

MAKALAH AGAMA - Copy (2) footnot

advertisement
Reviews Jurnal / Paper yg berkaitan Kecerdasan
Buatan / Artificial Intellegence
MAKALAH
Dosen Pengampu Wali Ja’far Shudiq, M.Kom
Disusun Oleh :
SOFIAN ZAKARIA
16010314
FADIL AKBAR
16010126
ARDIANSYAH RABALADA
16010304
UNIVERSITAS NURUL JADID
Teknik Informatika Kelas Ekstensi (L)
Karanganyar Paiton Probolinggo
2017 - 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan
jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menghirup segarnya udara yang
tak terbatas ini dan menikmati indahnya alam ciptaan-Nya.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus
berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang
menjadi tugas mata kuliah agama dengan judul Halal bi Halal dalam waktu yang
singkat ini. Tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi, Namun penulis
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan dari dosen pengajar dan orang tua, sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa
Sekolah Tinggi Nurul Jadid. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kepada pembaca saya
meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang
akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Kraksaan, 1 Desember 2016
Sofian Zakaria
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A.
LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1
B.
RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ 3
C.
MANFAAT ............................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 4
A.
PENGERTIAN ....................................................................................................... 4
B.
KAPANKAH MELAKSANAKAN MAAF MEMAAFKAN ................................ 5
C.
HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL ................ 8
D.
PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL................................................. 10
E. KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH SHALAT
DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH KUBUR DI HARI RAYA ............................. 11
E.
BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI HALAL ....... 13
F.
KOMENTAR PARA ULAMA SEPUTAR MUSAFAHAH ................................ 15
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 19
A.
KESIMPULAN ..................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluq mukallaf yang sejatinya sudah mengemban
amanah untuk melaksanakan keta’atan kepada Allah sebagai tujuan dari
penciptaan dirinya sebagaimana yang termaktub dalam qur’an surat AdDzariyat:56. Maka sebagai makhluq mukallaf, sudah seyogyanya manusia harus
mau mengikuti apa yang diperintah Tuhannya, atau meninggalkan apa yang
dilarang oleh Tuhannya.
Dalam istilah fiqh, keberadaan hukum yang mengikat manusia sebagai
makhluq mukallaf paling tidak terbagi menjadi tiga, ya’ni yang dituntut
pelaksanaannya dimana nanti akan menjadi bentuk wajib atau sunnah, atau apa
yang dituntut untuk ditinggalkan dimana hal tersebut akan berwujud haram atau
makruh, dan apa yang tidak dituntut untuk dilaksanakan juga tidak dilarang untuk
dilaksanakan, maka inilah yang namanya mubah-Al-‘Itisham:25-.
Nabi s.a.w telah melakukan klasifikasi terhadap segala perbuatan manusia
menjadi dua bentuk, yaitu perkara dunia dan perkara agama. Maka semua yang
berkaitan dengan perkara dunia nabi memberi kebebasan dalam
mengekspresikannya sebagaimana haditsnya: “Kalian lebih tahu urusan dunia
kalian”-HR.Muslim-, tapi kalau dalam urusan agama nabi sangat membatasi
bahkan tidak memberi ruang kepada manusia untuk bebas berekspresi
sebagaimana sabdanya: “Dan jika yang berkaitan dengan agama kalian,maka
kembalikanlah kepadaku”-HR.Muslim-, dalam hadits lain nabi mengatakan:
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada padanya perintah
dari kami, maka perbuatan itu tertolak”.-Mutaffaq’Alaih‘Idul Fithri adalah perayaan umat islam setelah shaum Ramadhan sebulan
penuh yang dalam pelaksanaannya ditetapkan oleh syari’at, bahkan didefinisikan
sendiri maknanya oleh nabi sebagaimana hadits yang diriwayatkan tirmidzi:
“Sungguh Allah telah merubah kedua hari yang biasa padanya orang-orang
1
madinah pada masa jahiliyyah berhari raya dan bergembira ria dengan yang lebih
baik dari keduanya, yaitu hari adlha dan hari fithri”. Maka tidak heran jika dalam
‘idul fithri nabi mencontohkan sendiri amalan waktu ‘id seperti mandi dan
memakai wangi-wangian, memulai dengan makan sebelum kelapang, shalat ‘id
dilanjutkan dengan khutbah, kemudian amalan lainnya seperti pulang dari arah
yang berbeda atau amalan sahabat dalam mengucapkan tahniyyah ‘idul fithri yaitu
taqabbalallahu minna waminkum.
Dewasa ini di Indonesia, ‘Idul fithri bukan sekedar perayaan rutinan setelah
ramadhan saja, tetapi dimaknai dan bahkan difahami oleh kebanyakan orang
sebagai waktu untuk saling memaaf-maafkan dan saling berjabat tangan guna
saling membebaskan kesalahan masing-masing agar kembali kepada fihtrah
(kesucian)1. Kemudian dari pemahaman tersebut melahirkan tradisi yang
mengakar dalam masyarakat Indonesia untuk melakukan acara ziarah ke makam
untuk meminta maaf kepada yang sudah meninggal (nadran), atau mengadakan
acara halal-bihalal sebagai media untuk mengumpulkan orang dan sebagai
efektifitas waktu dalam melakukan acara saling memaafkan dan bersalaman,
sebagaimana definisi kamus bahasa Indonesia (Em Zul Fajri:344) dikatakan
bahwa: “halal-bihalal merupakan kata benda bermakna hal maaf memaafkan
setelah menyelesaikan ibadah puasa ramadhan, dalam acara halal bihalal nanti
akan diisi dengan ceramah agama.
Menurut Rizqon Khamami2 mengutip ungkapan Dr. Quraish Shihab, bahwa
halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang
diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Lanjut
beliau, meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, sejauh yang saya ketahui,
masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bihalal yang merupakan
hasil kreativitas bangsa Melayu. Halal-bihalal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi
ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bihalal merupakan tradisi
khas dan unik bangsa ini. Menurut Ustadz Anas Burhanuddin MA3 mengutip
pendapat Iwan Ridwan yang menyebutkan bahwa halal bihalal adalah suatu tradisi
1
pesantrenvirtual. (2014) pesantrenvirtual. [Online]. http://www.pesantrenvirtual.com
muslim. (2013) muslim.or.id. [Online]. http://muslim.or.id
3
Al-Maktabah As-Syamilah
2
2
berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu
untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram
menjadi halal. Umumnya kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat
Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halal bihalal juga dilakukan di hari-hari setelah
Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama. Menurut
beliau 4, Konon, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA
Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang terkenal dengan sebutan ‘Pangeran
Sambernyawa’. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka
setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan
prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib
melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh
Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam
dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga
mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari
berbagai pemeluk agama.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Halal Bi Halal ?
2. Manfaat Halal Bi Halal ?
3. Sejarah Halal Bi Halal ?
4. Pelanggaran Halal Bi Halal ?
C.
MANFAAT
Halal bi Halal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan
mempererat persaudaraan. Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan
sering mengharuskannya jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana
Halal bi Halal.
4
Muntaqa Syarah Muwattha, "maktabah as-syamilah," in maktabah as-syamilah.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan
berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak
dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab
sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para
jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab merekabertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka
menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan,
sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik
mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di
tempat umum, para jama’ah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan
bahwa makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli
negeri ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan
sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan,
biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang
dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia”.5
Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi
berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu
untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram
menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat
Idul Fithri 6. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari
setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
5
bahasakita.com. (2009) bahasakita.com. [Online]. http://bahasakita.com/2009/08/23/halalbihalal2/
6
Ibid.
4
Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA
Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran
Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah
shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan
prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib
melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh
Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam
dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga
mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari
berbagai pemeluk agama7.
Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan
penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga
menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan
pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia.8 Namun dalam
kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin
jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan
keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan
mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan
tradisi halal bi halal menurut pandangan syariat.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fithri
yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari
pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.
B.
KAPANKAH MELAKSANAKAN MAAF MEMAAFKAN
Dalam masalah maaf memaafkan yang merupakan esensi dari halal
bihalal, tentulah akan timbul pertanyaan dalam fikiran orang yang pernah
melakukan kesalahan, apakah maaf memaafkan itu harus dilakukan pada bulan
Syawwal setelah selesai menunaikan kewajiban puasa Ramadhan? Atau kapan
7
8
Ibid.
Ibid.
5
saat yang tepat untuk meminta maaf apabila telah melakukan kesalahan? Apakah
maaf memaafkan itu harus menunggu datangnya bulan Syawal?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, perlu kiranya setiap muslim
untuk kembali kepada sumber ajaran Islam yaitu al-Quran dan Hadis Nabi SAW.
Al-Quran menjelaskan bahwa waktu yang tepat untuk meminta maaf atas
kesalahan atau bertaubat dari dosa dan kesalahan yang telah diperbuat adalah pada
waktu yang secepat-cepatnya tidak perlu ditunda-tunda sampai hari raya tiba.
Allah SWT berfirman.
‫ب‬
ُّ ‫ِإنَّ َما الت َّ ْو َبةُ َعلَى هللاِ ِللَّ ِذيْنَ َي ْع َملُ ْونَ ال‬
ٍ ‫س ْو َء بِ َج َهالَ ٍة ث ُ َّم َيت ُ ْوبُ ْونَ ِم ْن قَ ِر ْي‬
)17:‫ب هللاُ َعلَ ْي ِه ْم َو َكانَ هللاُ َع ِل ْي ًما َح ِك ْي ًما (النساء‬
ُ ‫فَأُولئِ َك يَت ُ ْو‬
Artinya:”Sesungguhnya taubat yang diterima Allah itu hanyalah taubatnya
orang-orang yang berbuat suatu kejahatan dengan kebodohan, kemudian mereka
bertaubat dengan segara. Mereka itulah yang diterima Allah taubatnya. Allah
Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana”. (An-Nisa’:17)
Ayat di atas memberikan petunjuk bahwa saat taubat yang akan diterima
oleh Allah SWT. adalah apabila seseorang telah melakukan kesalahan (durhaka)
kepada Allah baik disengaja atau tidak disengaja atau karena kurang
pengetahuannya, maka dengan segera ia sadar dan menghentikannya serta
bertekad tidak akan mengulangi lagi kesalahannya itu. Adapun taubat yang tidak
akan diterima Allah ialah jika seseorang yang selalu bergelimang dosa, ia tidak
segara bertaubat dan baru bertaubat setelah maut berada dihadapannya, seperti
yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat An-Nisa’: 18.
ْ ‫س‬
‫ض َر أ َ َحدَ ُك ْم ْال َم ْوتُ قَا َل ِإ ِنِّ ْى‬
ِ ‫سيِِّئَا‬
َّ ‫ت الت َّ ْوبَةُ ِللَّ ِذيْنَ يَ ْع َملُ ْونَ ال‬
َ ‫ى َح‬
َ ‫َولَ ْي‬
َّ ‫ت َحت‬
‫ت ُ ْبتُ اْآلنَ َوالَ الَّ ِذيْنَ يَ ُم ْوت ُ ْونَ َو ُه ْم ُكفَّا ٌر أُولئِ َك أ َ ْعت َ ْدنَالَ ُه ْم َعذَابًا‬
)18:‫أ َ ِل ْي ًما(النساء‬
Artinya: “Dan tidaklah taubat orang-orang yang berbuat kejahatan-kejahatan,
(yang) hingga apabila maut telah datang kepada seseorang di antara mereka,
(barulah) dia berkata:”sesunguhnya aku taubat sekarang!” Dan tidak (pula
6
diterima taubat ) orang-orang yang mati, padahal mereka kafir. (bagi) mereka itu
telah Kami sediakan azab yang sangat pedih”
Adapun kesalahan yang dilakukan oleh manusia ada 2 macam, yaitu:
Pertama, kesalahan yang dilakukan manusia terhadap Allah SWT, dan Kedua,
kesalahan yang dilakukan manusia terhadap manusia. Apabila seorang muslim
melakukan suatu kesalahan pertama (terhadap Allah) karena ketidak tahuan dan ia
segera melakukan taubat nashuha (taubat yang murni), maka merupakan hak
Allah yang akan memaafkan terhadap kesaalahan tersebut. Sedang kesalahan yang
dilakukan oleh seorang muslim terhadap sesama muslim lainnya , maka Allah
SWT. akan memaafkannya jika telah mendapat maaf dari sasudara yang
didlaliminya. Dan jika orang yang berbuat dlalim (kesalahan) kepada saudaranya
belum sempat minta maaf kepada saudaranya, maka ia akan menanggung resiko
yang lebih berat (jatuh pailit), seperti yang diterangkan dalam
beberapa hadis
sebagai berikut:
ْ ‫ َم ْن َكان‬:‫سلَّ َم قَا َل‬
ُ‫َت ِع ْندَه‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِِ ‫بى‬
ِّ ِ َّ‫ َع ِن الن‬,َ ‫َع ْن أ َ ِب ْى ُه َري َْرة‬
ْ ‫َم‬
َ‫ فَ ْليَت َ َحلَّ ْلهُ ْاليَ ْو َم قَ ْب َل أ َ ْن يُؤْ َخذَ ِحيْن‬,‫ض ِه أ َ ْو َما ِل ِه‬
ِ ‫ظلَ َمةٌ ِم ْن أ َ ِخ ْي ِه ِم ْن ِع ْر‬
ْ ‫ أ ُ ِخذَ ِم ْنهُ ِبقَ ْد ِر َم‬,‫صا ِل ٌح‬
,‫ظلَ َمتِ ِه‬
ٌ ‫َاليَ ُك ْو ُن ِد ْين‬
َ ‫ َو ِإ ْن َكانَ لَهُ َع َم ٌل‬,‫َار َوالَ د ِْر َه ٌم‬
‫َعلَ ْي ِه‬
ْ َ‫احبِ ِه فَ ُج ِعل‬
‫ت‬
ِ ‫ص‬
َ
‫ت‬
‫َوإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ أ ُ ِخذَ ِم ْن‬
ِ ‫سيِِّئَا‬
َ
)1058/502/2:‫(أحمد‬
Artinya: Dari Abi Huraerah ra.. Dari Nabi SAW,. Ia bersabda:”Barang siapa
berbuat aniaya terhadap saudaranya baik masalah kehormatannya atau
hartanya, hendaklah ia minta dihalalkan (dimaafkan) oleh saudaranya pada hari
itu juga sebelum ia diambil (nyawanya) dimana uang dan dirham tidak ada
gunanya. (jika ia tidak sempat dihalalkan) apabila ia memiliki amal sholih (yang
pernah dilakukan sewaktu hidupnya), maka amal sholih dari orang tersebut (yang
berbuat aniaya) diambil sebesar kedloliman yang ia perbuat, dan jika ia tidak
memiliki amal sholih, maka keburukan-keburukan dari orang yang telah dianiaya
diambil dan dibebankan (diberikan) kepada orang tadi (yang berbuat aniaya)”.
(HR. Ahmad)
7
Oleh karena itu, dalam rangka mensucikan diri (tazkiyatun Nafs) setelah
melakukan ibadah puasa bulan Ramadhan, setiap muslim menganggap bahwa
bulan Syawal merupakan kesempatanm yang baik untuk maaf memaafkan atas
kesalahan yang telah diperbuat. Sedang kesalahan yang dilakukan terhadap Allah
sudah langsung dilakukan setelah melakukan kesalahan itu dengan cara
melakukan taubat nashuha, yaitu dengan melalui 3 syarat Pertama, menyesal atas
perbuatan yang telah dilakukan, Kedua, segera mencabut (meninggalkan)
kesalahan yang sedang diperbuat dan Ketiga, mengakui serta bertekad tidak akan
mengulangi lagi. Dan yang perlu mendapat perhatian bahwa memohon ampunan
terhadap Allah lebih mudah dilaksanakan dari pada meminta maaf kepada orang
lain atau memaafkan orang lain, karena kedua hal tersebut (meminta maaf dan
memaafkan) sering dipengaruhi oleh penyakit hati (kesombongan, keangkuhan
dan sifat harga diri yang enggan melakukan hal tersebut).
Dengan adanya kegiatan halal bi halal itu diharapkan dapat menumbuhkan
keberanian moral untuk mengakui kesalahan
kepada orang lain
dan suka
memaafkan kesalahan orang lain (yang menganiaya). Sehingga suka memaafkan
orang lain yang merupakan cirri orang yang bertaqwa dapat terwujud bagi kita
semua. Dan kegiatan praktek halal bi halal ini tidak hanya dilakukan pada bulan
Syawal.9
C.
HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL
Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram
(dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah,
segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan
hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah. Akan tetapi, masalah
‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa ‘id adalah
tauqifi (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga
memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan.
9
asepsholah. (2014) asepsholah. [Online]. http://asepsholah.blogspot.co.id/2014/07/makna-danhakikat-halal-bi-halal.html
8
ُ ‫ َو ِم ْن َحي‬،‫ي َعا ِديَّةٌ الَ بِ ْد َعةَ فِ ْي َها‬
ُ ‫ت ِم ْن َحي‬
‫ْث يُتعبَّدُ ِب َها أ َ ْو‬
ِ ‫َو ِإ َّن ْال َعا ِديَّا‬
َ ‫ْث ِه‬
ُ‫ض َع التَّعَبَّ ِد ت َ ْد ُخلُ َها ْالبِدَ َعة‬
ْ ‫ض ُع َو‬
َ ‫ت ُ ْو‬
Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di dalamnya.
Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya
10
Sifat taufiqi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :
1. Tauqifi dari sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam membatasi hanya ada dua hari raya dalam sau tahun, dan hal ini
berdasarkan wahyu.
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫س ِم َع رسول‬
َّ ‫عن أَن َِس بْنَ َما ِل ِك رضي‬
‫َّللا‬
َ ‫ قَد َِم‬: ‫َّللا عنه قال‬
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫ فَقَا َل رسول‬،‫ان َيل َعبُونَ في ِه َما‬
‫َّللا‬
ِ ‫عليه وسلم ْال َمدِينَةَ َولَ ُهم َيو َم‬
:‫ قال‬،‫ب فِ ْي ِه َما فِي ال َجا ِه ِليَّ ِة‬
ُ ‫ ُكنَّا ن َْل َع‬: ‫ قالُوا‬،‫ان؟‬
ِ ‫ان ْال َي ْو َم‬
ِ َ‫ َما َهذ‬: ‫عليه وسلم‬
ْ ‫يَ ْو َم ْال ِف‬
َّ ‫ ِإ َّن‬: ‫ط ِر َويَ ْو َم النَّ ْح ِر‬
‫َّللاَ َع َّز َو َج َّل قَ ْد أ َ ْبدَلَ ُك ْم ِب ِه َما َخي ًْرا ِم ْن ُه َما‬
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana
mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya : Apakah dua hari ini?
Mereka menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa jahiliyah.
Beliau pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya dengan dua hari yang
lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR Abu Dawud no. 1134 dihukumi
shahih oleh Al-Albani]11
Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun
10
11
Al-I’tisham 2/98.
Shahih Sunan Abi Dawud 4/297.
9
selain dua hari raya ini12, berbeda dengan umat Islam zaman ini yang memiliki
banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki landasan syar’i.
2. Tauqifi dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari raya
bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara
pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir,
zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang
dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan-minum, berpakaian,
bermain-main dan bergembira juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariat. 13
D.
PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL
Di satu sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di sisi lain
tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan ‘id, seperti
bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan berpakaian, atau
permainan apa yang boleh dilakukan. Syari’at Islam merujuk perkara ini
kepadaadat dan tradisi masing-masing.
Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling
berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu ditekankan
agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya, sehingga
mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak ada dasarnya
dalam Islam.14
Namun mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan
membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan
atau berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan)
tersendiri yang membutuhkan dalil.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah
melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada
pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama,
12
Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499.
Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262.
14
Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6.
13
10
bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat untuk membebaskan diri
dari kesalahan kepada orang lain. Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat
mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan.
Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah
penambahan syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata.
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫ى َع ْه ِد رسول‬
‫َّللا عليه وسلم‬
ِ َ ‫فَ ُك ُّل أ َ ْم ٍر يَ ُك ْو ُن ْال ُم ْقت‬
َ َ‫ضي ِلف ْع ِله َعل‬
‫صلَ َح ٍة‬
ْ ‫ْس بِ َم‬
ْ ‫َم ْو ُج ْوداًلَ ْو َكانَ َم‬
َ ‫ يُ ْعلَ ُم أَنَّهُ لَي‬،‫صلَ َحةً َولَ ْم يُ ْفعَ ْل‬
Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu (betul-betul) merupakan sebuah
kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) beliau tidak melakukannya, berarti bisa
diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan. 15
E.
KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH
SHALAT DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH KUBUR DI HARI
RAYA
Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad
terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas halal bi halal secara
khusus. Namun ada masalah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan
halal bi halal dan sudah banyak dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu,
yaitu masalah berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah shalat dan
pengkhususan ziarah kubur di hari raya.
Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits berikut.
15
Ibid. 2/101.
11
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫ رسول‬: ‫َّللا عنه قا َل‬
َّ ‫اء ِِ رضي‬
‫ام ْن‬
ِ ‫عن ْالبَ َر‬
ِ ‫ َم‬: ‫َّللا عليه وسلم‬
ِ
َ ‫غ ِف َر لَ ُه َما قَ ْب َل أ َ ْن يَتَفَ َّر قَا‬
ُ َّ‫ان إِال‬
َ َ ‫ان فَيَت‬
ِ ‫صا فَ َح‬
ِ َ‫ُم ْس ِل َمي ِْن يَ ْلت َ ِقي‬
Dari al-Bara (bin Azib) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah dua orang Muslim bertemu lalu berjabat
tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah” [HR Abu Dawud
no. 5212 dan at-Tirmidzi no. 2727, dihukumi shahih oleh al-Albani] 16
Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini sebagai
sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat, hukumnya berubah ;
karena pengkhususan ini adalah tambahan syariat baru dalam agama.
Disamping itu, bersalam-salaman setelah shalat juga membuat orang
menomorduakan amalan sunnah setelah shalat yaitu berdzikir. 17
Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang masalah ini, maka beliau menjawab :
Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah bid’ah, wallahu
a’lam. 18
Lebih jelas lagi, para ulama mengkategorikan pengkhususan ziarah kubur di hari
raya termasuk bid’ah, 19 padahal ziarah kubur juga merupakan amalan yang pada
dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan dalam hadits berikut
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫ رسول‬:‫َّللا عنه قال‬
َّ ‫ عن بُ َر ْيدَة َ رضي‬: ُ‫ِإنِِّي ُك ْنت‬
‫َّللا عليه وسلم‬
‫آلخ َرة‬
ِ ْ‫وروهَا؟ فَإِنَّ َها تُذَ ِ ِّك ُر ا‬
ُ ‫ور فَ ُز‬
َ َ‫نَ َه ْيت ُ ُكم ْ َعن ِزي‬
ِ ُ‫ارةِ ْالقُب‬
Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur, maka
sekarang berziarahlah ; karena ia mengingatkan akhirat. [HR Ashabus Sunnan,
16
As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525.
Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141.
18
Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339.
19
Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247.
17
12
dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang dihukumi shahih oleh
Syu’aib al-Arnauth]
Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari ajaran
Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini sebagai sunnah
yang terus-menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya berubah menjadi tercela.
Wallahu a’lam.
E.
BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI
HALAL
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bi halal juga sering didapati
beberapa pelanggaran syariat, di antaranya ;
1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fithri. Ketika
melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu
Idul Fithri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal
‘urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran’. Dan jadilah “mohon maaf
lahir dan batin” ucapa yang “wajib”. pada hari raya Idul Fithri. Padahal belum
tentu kita akan hidup sampai Idul Fithri dan kita diperintahkan untuk segera
menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits
berikut
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫َّللا عنه أ َ َّن رسول‬
َّ ‫عن أ َ ِبي ُه َري َْرة َ رضي‬
: ‫َّللا عليه وسلم قال‬
ْ ‫َت ِع ْندَهُ َم‬
ْ ‫َم ْن َكان‬
‫َار َوال‬
ٌ ‫ْس ث َ َّم ِد ْين‬
َ ‫ظ ِل َمةٌ أل َ ِِ ِخي ِه فَ ْليَت َ َحلَّ ْلهُ ِم ْن َها؟ فَإِنَّهُ لَي‬
َ‫َات أ ُ ِخذ‬
ٌ ‫سن‬
َ ‫ فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َح‬،‫سنَاتِ ِه‬
َ ‫در َه ٌم ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن يُؤ َخذَ أل َ ِِ ِخي ِه ِم ْن َح‬
ُ َ‫ت أ َ ِخي ِه ف‬
ْ ‫ط ِر َح‬
‫ت َعلَ ْي ِه‬
ِ ‫سيِِّئَا‬
َ ‫ِم ْن‬
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya,
hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya ; karena di sana (akhirat)
tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan
13
kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan
saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya. [HR al-Bukhari no. 6169]
2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang lain,
seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut.
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫س ِم َع رسول‬
َّ ‫ى رضي‬
‫َّللا‬
َ ُ‫َّللا عنه أَنَّه‬
َ ُ ‫عن أَبِى أ‬
َ ‫س ْي ٍد اْأل َ ْن‬
ِّ ِ ‫ار‬
ِ ‫ص‬
َ َ‫َار ٌخ ِمنَ ْال َم ْس ِج ِد فَا ْختَل‬
‫اء ِفى‬
ِ ‫س‬
ِّ ِ ‫ط‬
َ ِّ‫الر َجا ُل َم َع ال ِن‬
ِ ‫عليه وسلم َيقُو ُل َو ُه َوخ‬
َّ
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫ق فَقَا َل رسول‬
‫ْس‬
ِ ‫س‬
ِ َ ‫اء ا ْست‬
َ ِِّ‫َّللا عليه وسلم ِالن‬
َ ‫أخ ْرنَ فَإِنَّهُ لَي‬
ِ ‫الط ِري‬
َّ ‫ت‬
َّ َ‫لَ ُك َّن أ َ ْن ت َ ْحقُ ْقن‬
‫ص ُق‬
ِ َ‫ فَ َكان‬،‫ق‬
ِ ‫الط ِريْقَ َعلَ ْي ُك َّن ِب َحافَا‬
ِ َ ‫ت ْال َم ْراَة ُ ت َلت‬
ِ ‫الط ِر ْي‬
‫صوقِ َهابِ ِه‬
ُ ُ‫الجدَ ِار َحتَى ِإ َّن ث َ ْوبَ َها لَيَتَعَلَّ ُق بِ ْال ِجدَ ِار ِم ْن ل‬
ِ ِ‫ب‬
Dari Abu Usaid al- Anshari Radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria
bercampur-baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada
para wanita : “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan,
berjalanlah di pinggirnya”. Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju
mereka menempel di dinding, lantaran begitu mepetnya baju mereka dengan
dinding” [HR Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani].20
3. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini banyak
diremehkan oleh banyak orang dalam cara halal bihalal atau kehidupan seharihari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadist berikut.
َّ ‫َّللا صلى‬
َّ ‫ قال رسول‬: ‫َّللا عنه يَقُو ُل‬
َّ ‫ار رضي‬
‫َّللا عليه‬
َ َ‫عن َم ْع ِقل بن ي‬
ِ ‫س‬
ْ ُ‫ أل َ ْن ي‬: ‫وسلم‬
‫طعَنَ فِي رأْ ِس أ َ َح ِد كُ ِْم بِ ِم ْخيَ ِط ِم ْن َحد ِي ٍد َخي ٌْر لَهُ ِم ْن أ َ ْن‬
ُ‫س ْام َر أَة ً ت َ ِح ُّل لَه‬
َّ ‫َي َم‬
20
As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856.
14
Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk
kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh
wanita yang tidak halal baginya”. [HR ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh alAlbani]. 21
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Ancaman keras bagi orang yang
menyentuh wanita yang tidak halal baginya yang terkandung dalam hadits ini
menunjukkan haramnya menjabat tangan wanita (yang bukan mahram, ed) karena
tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat
Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama” 22
F.
KOMENTAR PARA ULAMA SEPUTAR MUSAFAHAH
‫قوله ( قلت ألنس بن مالك هل كانت المصافحة في أصحاب رسول هللا‬
‫قال نعم ) فيه مشروعية المصافحة قال بن بطال المصافحة حسنة عند‬
‫ وقال النووي المصافحة‬.‫عامة العلماء وقد استحبها مالك بعد كراهته‬
‫ تنبيه قال النووي في األذكار اعلم أن هذه‬.‫سنة مجمع عليها عند التالقي‬
‫المصافحة مستحبة عند كل لقاء وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد‬
‫صالتي الصبح والعصر فال أصل له في الشرع على هذا الوجه ولكن ال‬
‫بأس به فإن أصل المصافحة سنة وكونهم حافظوا عليها في بعض‬
‫األحوال وفرطوا فيها في كثير من األحوال أو أكثرها ال يخرج ذلك‬
‫وقد ذكر االمام‬.‫البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها‬
‫أبو محمد بن عبد السالم أن البدع على خمسة أقسام واجبة ومحرمة‬
‫ومكروهة ومستحبة ومباحة قال ومن أمثلة البدع المباحة المصافحة‬
‫عقب الصبح والعصر انتهى‬
21
22
Lihat Ghayatul Maram 1/137.
Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah).
15
(maksud) Perkataannya: (Aku berkata kepada anas bin malik apakah bersalaman
terjadi pada masa sahabat rasulullah? Aku berkata” ya” ) pada hadits itu
terdapat syari’at bersalaman. Berkata Ibnu Baththal: Bersalaman itu baik menurut
keumuman para ulama dan sungguh malik telah menyunnahkan bersalaman itu
setelah dia memakruhkannya. Berkata imam an-nawawi: Bersalaman itu sunnah
yang disepakati atasnya ketika bertemu. Perhatian: Berkata imam An-Nawawi
didalam Al-Adzkar: Ketahuilah bahwa berjabat tangan ini adalah sunnah pada
setiap bertemu. Adapun apa yang dilakukan orang-orang seperti bersalamaan
setelah shalat subuh dan ashar, tidak ada dasarnya menurut syara’ dalam aspek ini,
akan tetapi tidak apa-apa, karena asal dari bersalaman itu adalah sunnah,
sedangkan mereka memelihara bersalaman dalam sebagian keadaan dan mereka
menyalah gunakannya dalam setiap keadaan atau kebanyakannya. Dan
sebagiannya tidak akan keluar dari kedudukannya termasuk musafahah yang
ditetapkan syara’ secara asli. Sungguh Imam Abu Muhammad bin ‘Abdus Salam
telah menyebutkan bid’ah itu ada lima, yaitu wajib, haram, makruh, sunnah dan
mubah. Nawawi berkata: Dan diantara bentuk-bentuk bid’ah yang mubah adalah
bersalaman setelah subuh dan ashar,selesai.
‫قال الحافظ بعد ذكر كالم النووي هذا ما لفظه وللنظر فيه مجال فإن‬
‫أصل صالة النافلة سنة مرغب فيها ومع ذلك فقد كره المحققون‬
‫تخصيص وقت بها دون وقت ومنهم من أطلق مثل ذلك كصالة الرغائب‬
‫ وقال القارىء بعد ذكر كالم النووي وال يخفى‬.‫التي ال أصل لها انتهى‬
‫أن في كالم االمام نوع تناقض ألن إتيان السنة في بعض األوقات ال‬
‫يسمى بدعة مع أن عمل الناس في الوقتين المذكورين ليس على وجه‬
‫االستحباب المشروع فإن محل المصافحة المشروعة أول المالقاة وقد‬
‫يكون جماعة يتالقون من غير مصافحة ويتصاحبون بالكالم ومذاكرة‬
‫العلم وغير مدة مديدة ثم إذا صلوا يتصافحون فأين هذا من السنة‬
16
‫المشروعة ولهذا صرح بعض علمائنا بأنها مكروهة حينئذ وأنها من‬
‫البدع المذمومة انتهى‬
Berkata Al-Hafidz setelah menyebutkan perkataan Nawawi: ini adalah apa yang
beliau ungkapkan dan untuk melihatnya ada beberapa aspek, sebab sesungguhnya
asal shalat sunnah itu adalah sunnah yang dicintai, dan oleh sebab itu para ahli
tahqiq tidak menyukai pengkhususan waktu musafahah bukan pada waktunya.
Dan diantara mereka ada yang memutlakan yang seperti itu, seperti shalat raghaib
(shalat pengharapan) yang tidak ada dalilnya, selesai. Berkata Al-Qari setelah
menyebutkan pendapat Nawawi: Jelas sekali bahwa dalam pendapat Imam
Nawawi terdapat bagian yang diperdebatkan, karena sesungguhnya
mengkhususkan sunnah dalam sebagian waktu tidak dikatakan bid’ah padahal
amalan orang-orang pada dua waktu yang disebutkan tidak menurut aspek sunnah
yang disyari’atkan, karena tempat musafahah yang disyari’atkan adalah awal
pertemuan, sedangkan kadang-kadang sekelompok orang saling bertemu tanpa
bermusafahah dan mereka saling akrab dalam pembicaraan dan kajian keilmuan
dan seterusnya. Kemudian jika mereka shalat, lalu ini (musafahah) ditegaskan
sebagai sunnah yang disyari’atkan, oleh sebab itu sebagian ulama kami
menegaskan bahwa musafahah (setelah shalat) tercela pada saat tersebut, dan
bahwasanya dia itu termasuk bid’ah yang tercela, selesai.
‫ وقال صاحب عون المعبود‬.‫قلت األمر كما قال القارىء والحافظ‬
‫وتقسيم البدع إلى خمسة أقسام كما ذهب إليه بن عبد السالم وتبعه‬
‫النووي أنكر عليه جماعة من العلماء المحققين ومن آخرهم شيخنا‬
‫القاضي العالمة بشير الدين القنوجي فإنه رد عليه ردا بليغا قال وكذا‬
‫المصافحة والمعانقة بعد صالة العيدين من البدع المذمومة المخالفة‬
‫ قلت وقد أنكر القاضي الشوكاني أيضا على تقسيم البدعة‬.‫للشرع انتهى‬
‫إلى األقسام الخمسة في نيل األوطار في باب الصالة في ثوب الحرير‬
17
-.‫والقصب وأنكر عليه أيضا صاحب الدين الخالص ورده بستة وجوه‬
-55/11:‫فتح الباري‬, 426/7:‫المكتبة الشاملة‬,‫تحفة األحوذي‬
Aku mengatakan: Urusan (musafahah) itu seperti yang dikatakan Al-Qari dan AlHafidz. Berkata pengarang ‘Aun Al-Ma’bud: dan pembagian bid’ah menjadi 5
bagian sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Abdus Salam dan diikuti
Nawawi telah diingkari oleh jama’ah ‘Ulama ahli tahqiq, dan diantara yang paling
akhir dari mereka adalah Syaikh kami Al-Qadlhi Al-‘Allamah Basyirud Din AlQanuji, sesungguhnya dia menolak dengan penolakan yang fasih, dia berkata:
Begitupula Musafahah dan berpelukan setelah shalat dua ‘Id (‘Idul Adlha dan
‘Idul Fithri) termasuk bid’ah yang tercela yang menyelisihi Syara’, selesai. Aku
berkata: Sungguh Al-Qadlhi As-Syaukani juga telah mengingkari pembagian
bid’ah menjadi 5 bagian dalam Nailul Authar pada bab As-Shalatu fi Tsaubil harir
wal qashabi, dan diingkari juga (pembagian bid’ah menjadi 5) oleh Shahibud Din
Al-Khalis, dan beliau membantahnya dengan 6 aspek.-Tuhfatul Ahwadzi, AlMaktabah As-Syamilah:7/426, Fathul Bari:11/55-23
23
pemudapersisjabar. pemudapersisjabar. [Online].
https://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/dian-hardiana/halal-bi-halal-sunnah-ataubidah/
18
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan semua keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa halal
bihalal yang menjadiu media dan didalamnya mengharuskan bermaaf-maafan dan
bersalam-salaman sangat bermasalah baik dari segi istilah maupun inti keberadaan
halal bihalal itu sendiri dan bahkan merupakan perbuatan mengada-ada dalam
agama atau perbuatan bid’ah. Maka bagi kita yang takut akan ancaman dari
rasulullah bahwa “Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan agama apa yang
tidak ada dalilnya dari kami, maka hal itu tertolak”-HR.Muslim-, bahkan dalam
redaksi lain rasul mengusir kaum muslimin yang mengada-ada suatu perbuatan
dalam agama dengan bahasa “innaka laa tadri maa ahdatsu ba’daka
”(sesungguhnya kamu tidak tau apa yang mereka ada-adakan setelah kamu tiada)
lalu nabi mengusir mereka dari telaga.-HR.BukhariDan perlu kita ketahui bahwa apapun yang dipandang baik apalagi dapat
mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari ‘adzabnya pasti telah
ditetapkan oleh Allah dan dicontohkan oleh nabi dan para sahabat sebab telah
sempurnanya islam sebagaimana dalam QS.Al-Maidah:4, maka apapun yang tidak
dilakukan nabi dan para sahabat dalam urusan agama janganlah kita mengira itu
baik apalagi sunnah, dan apapun yang dilakukan nabi dan para sahabat sekalipun
tidak cocok dengan keinginan kita maka janganlah kita mengatakan tidak baik
apalagi meninggalkannya, sebab mereka adalah generasi terbaik yang pernah
dilahirkan sebagaimana firman Allah dalam QS.Ali Imran:110 yang ditafsirkan
Ibnu Katsir dengan hadits: “Sebaik-baik zaman adalah zamanku (nabi), kemudian
seterusnya, kemudian selanjutnya”.-HR.BukhariMaka marilah kita tempatkan dan maknai ‘Idul ithri seperti nabi dan para sahabat
memaknainya sebagaimana keterangan-keterangan dibawah ini:
19
‫ان‬
‫سو ُل ه‬
ُ ‫ع َْن أَنَ ٍس قَا َل قَ ِد َم َر‬
ِ ‫ ا ْل َمدِينَةَ َولَ ُه ْم يَ ْو َم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
َ ُ‫يَ ْلعَب‬
‫يه َما فِى‬
ُ َ‫ قَالُوا ُكنها نَ ْلع‬.» ‫ان‬
ِ ‫ان ا ْليَ ْو َم‬
ِ َ‫يه َما فَقَا َل « َما َهذ‬
ِ ِ‫ب ف‬
ِ ِ‫ون ف‬
‫َّللاَ قَ ْد أ َ ْب َدلَ ُك ْم‬
‫ « ِإ هن ه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
‫سو ُل ه‬
ُ ‫ فَقَا َل َر‬.‫ا ْل َجا ِه ِليه ِة‬
ْ َ ‫ِب ِه َما َخ ْي ًرا ِم ْن ُه َما يَ ْو َم األ‬
‫رواه أبو داود وأحمد قال‬-.» ‫ض َحى َويَ ْو َم ا ْل ِف ْط ِر‬
-‫صحيح‬:‫األلباني‬
Dari Anas dia berkata: Rasulullah s.a.w. datang ke Madinah, sedangkan mereka
memiliki dua hari yang mereka bermain pada hari itu, kemudian nabi s.a.w.
bersabda: Hari apa ini? Mereka menjawab: Kami suka bermain-main pada dua
hari itu sewaktu jahiliyyah. Lalu rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah
SWT telah menggantikan buat kalian dua hari yang lebih baik dari pada
keduanya, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.-HR.Abu Daud dan Ahmad. Berkata
Al-Bani:Shahih-
َ ‫عبَا َدةَ قَا َل َما ِم ْن ش َْيءٍ ك‬
َ ‫علَى‬
َ ‫َان‬
ُ ‫س ْع ِد ْب ِن‬
ِ‫َّللا‬
َ ‫ع َْن قَ ْي ِس ْب ِن‬
‫سو ِل ه‬
ُ ‫ع ْه ِد َر‬
‫صلهى‬
َ ‫سله َم إِ هَّل َوقَ ْد َرأ َ ْيتُهُ إِ هَّل‬
َ ُ‫َّللا‬
َ ِ‫َّللا‬
َ
ِ ‫ش ْيئ ًا َو‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
‫سو َل ه‬
ُ ‫احدًا أ َ هن َر‬
‫صلهى ه‬
َ ‫سله َم ك‬
‫رواه‬-.‫ب‬
َ ُ‫َّللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
‫ه‬
ُ ‫س لَهُ يَ ْو َم ا ْل ِف ْط ِر قَا َل َجابِ ٌر ُه َو الله ِع‬
ُ ‫َان يُقَله‬
-‫أحمد‬
Dari Qais bin Sa’id bin ‘Ubadah dia berkata: Tidak ada sesuatupun yang terjadi
pada masa rasulullah kecuali aku telah melihatnya, kecuali ada satu saja (yang
baru kuketahui), bahwa rasulullah s.a.w. dipukulkan rebana sambil bernyanyi
untuknya pada hari ‘Idul Fithri. Jabir berkata: dia itu adalah permainan.HR.Ahmad-
20
‫ان‬
َ ‫ع َْن عَائِشَةَ أ َ هن أَبَا بَك ٍْر َد َخ َل‬
ِ ‫ان فِى أَيه ِام ِمنًى تُغَنِ َي‬
ِ َ ‫علَ ْي َها َو ِع ْن َد َها َج ِاريَت‬
ْ َ ‫َوت‬
‫س ًّجى بِث َ ْوبِ ِه فَا ْنت َ َه َر ُه َما‬
َ ‫ ُم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
‫سو ُل ه‬
ُ ‫ان َو َر‬
ِ َ‫ض ِرب‬
‫ع ْنهُ َوقَا َل « َد ْع ُه َما َيا‬
َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
‫سو ُل ه‬
ُ ‫َف َر‬
َ ‫أَبُو َبك ٍْر فَ َكش‬
-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
‫سو َل ه‬
ُ ‫ َوقَالَتْ َرأَيْتُ َر‬.» ‫أَبَا بَك ٍْر فَ ِإنه َها أَيها ُم ِعي ٍد‬
ُ ‫ست ُ ُرنِى ِب ِردَائِ ِه َوأَنَا أ َ ْن‬
َ ُ‫ش ِة َو ُه ْم يَ ْلعَب‬
‫رواه مسلم باب‬-.‫ون‬
َ َ‫ظ ُر إِلَى ا ْل َحب‬
ْ َ‫ي‬
-‫الرخصة في اللعب الذي َّل معصية فيه في أيام العيد‬
‫ب الهذِى َّلَ َم ْع ِصيَةَ فِي ِه فِى أَيه ِام ا ْل ِعي‬
َ ‫الر ْخ‬
ِ ‫ص ِة فِى الله ِع‬
ُّ ‫باب‬
Dari ‘Aisyah bahwa Abu Bakar datang kepadanya, sedangkan bersamanya ada
dua pelayan perempuan pada har-hari Mina (hari raya) dan mereka berdua
bernyanyi dan memukul rebana sedangkan rasulullah s.a.w. santai saja. Kemudian
Abu Bakar membentak keduanya, lalu rasulullah mencegahnya dan berkata
kepadanya: Tinggalkan keduanya wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah
hari-hari ‘Id. ‘Aisyah berkata: Aku melihat rasulullah s.a.w. menutupiku dengan
pakaiannya ketika aku melihat orang habsyi bermain-main.-HR.Muslim, Bab
Rukhsah dalam permainan yang tidak ada padanya kemaksiatan pada hari-hari
raya-
‫صالَ ِة قَ ْب َل ا ْل ُخ ْط َب ِة ث ُ هم قَا َل‬
ُ ‫عبَ ْي ٍد قَا َل ش َِهدْتُ ا ْل ِعي َد َم َع‬
ُ ‫ع َْن أ َ ِبى‬
‫ع َم َر فَ َبدَأ َ ِبال ه‬
‫ نَ َهى ع َْن ِصيَ ِام َهذَ ْي ِن ا ْليَ ْو َم ْي ِن أ َ هما‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
‫سو َل ه‬
ُ ‫ِإ هن َر‬
ْ َ ‫يَ ْو ُم األ‬
َ ُ‫ض َحى فَتَأ ْ ُكل‬
‫س ِك ُك ْم َوأ َ هما يَ ْو ُم ا ْل ِف ْط ِر فَ ِف ْط ُر ُك ْم ِم ْن‬
ُ ُ‫ون ِم ْن لَ ْح ِم ن‬
‫وقال‬,‫رواه أبو داود وابن ماجة والتروذي والبخاري وأحمد‬-.‫ام ُك ْم‬
ِ َ‫ِصي‬
-‫صحيح‬:‫األلباني‬
Dari ‘Abu ‘Ubaid dia berkata: Aku menghadiri ‘Id bersama ‘Umar, kemudian
beliau memulai shalat sebelum khutbah, kemudian berkata: Sesungguhnya
rasulullah s.a.w. melarang shaum di duahari ini. Adapun hari Adlha adalah hari
21
kalian makan daging sembelihan kalian, dan hari fithri adalah hari kalian makanmakan setelah kalian shaum ramadhan.-HR.Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi,
Bukhari, dan Ahmad, berkata Al-Bani:Shahih-
-‫رواه مسلم‬-.» ‫يو ُم ا ْل َج َوائِ ِز‬
َ ‫عن‬
ْ ‫َّللاِ ْب ِن ع َْم ٍرو « يَ ْو ُم ا ْل ِف ْط ِر‬
‫ع ْب ِد ه‬
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr: Hari Fithri adalah hari hadiah (hari diperkenankannya
segala hal kecuali kemaksiatan-Pen).-HR.Muslim-
22
DAFTAR PUSTAKA
[1] pesantrenvirtual. (2014) pesantrenvirtual. [Online].
http://www.pesantrenvirtual.com
[2] muslim. (2013) muslim.or.id. [Online]. http://muslim.or.id
[3] Al-Maktabah As-Syamilah,.
[4] Muntaqa Syarah Muwattha, "maktabah as-syamilah," in maktabah as-
syamilah.
[5] bahasakita.com. (2009) bahasakita.com. [Online].
http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] asepsholah. (2014) asepsholah. [Online].
http://asepsholah.blogspot.co.id/2014/07/makna-dan-hakikat-halal-bihalal.html
[10] Al-I’tisham 2/98.
[11] Shahih Sunan Abi Dawud 4/297.
[12] Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499.
[13] Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262.
[14] Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6.
[15] Ibid. 2/101.
[16] As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525.
[17] Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141.
[18] Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339.
23
[19] Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247.
[20] As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856.
[21] Lihat Ghayatul Maram 1/137.
[22] Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah).
[23] pemudapersisjabar. pemudapersisjabar. [Online].
https://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/dian-hardiana/halal-bi-halalsunnah-atau-bidah/
24
Download