Struktur dan Morfologi Ikan Wader Bintik Dua (Puntius binotatus) Oleh Retno Fikria Idil Adhyaningtyas Perairan menyimpan beragam jenis biota yang terdiri atas hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme, yang membentuk beragam jenis interaksi antara jenis-jenis biota. Hewan yang identic keberadaannya di air yaitu salah satunya adalah ikan. Pada perairan terbuka dan mengalir, seperti laut, sungai, riam, parit dan selokan, umumnya dapat dijumpai ikan yang berbeda pada habitat yang berbeda pula. Serta kelimpahan yang berbeda pula pada tiap ikan, tergantung pada tingkat toleransi yang dimiliki ikan itu. Sungai sebagai salah satu bentuk perairan umum merupakan ekosistem yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme perairan dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai diketahui menyimpan banyak sekali jenis-jenis ikan. Dengan kondisi fisika dan kimia dari tiap sungai ini berbeda, maka ikan yang ditemukan dari tiap sungai, bahkan hanya terpisahkan oleh jarak pun masih terdapat perbedaan jenis ikan yang ditemukan. Serta tersedianya makanan yang disediakan oleh alam menyebabkan suatu wilayah perairan ini ditempati oleh satu atau beberapa jenis kumpulan ikan (Rahmawati, 2006). Ikan wader cakul (Puntius binotatus), sinonim dengan Barbodes binotatus, merupakan ikan yang persebarannya luas di berbagai aliran sungai, seperti Jawa, Sumatra, Nias, Bali, Lombok, Borneo, Bangka, Belitung, Singapura, dan Filipina (Weber dan Beufort, 1916; Kottelat et al., 1993; Roberts, 1989; 1993; Whitten et al., 1999; Inger dan Chin, 1962). Hal ini menunjukkan bahwa ikan ini tersebar dengan baik di wilayah Asia Tenggara. Nama lokal ikan ini dari tiap daerah berbeda –beda, benter, beunteur, dan bunter (Bandung); sepadak, dan tanah (Sumatra Selatan); bada putia (Padang); pujan (Kalimantan Selatan); tewaring (Kalimantan Timur); bilak, klemar, wader cakul (Jawa Tengah) dan keperas (Saanin, 1984; Schuster dan Djajadiredja, 1952). Persebaran ikan wader yang besar ini menandakan bahwa ikan wader ini memiliki kisaran toleransi yang tinggi serta toleran terhadap gangguan yang berasal dari alam (Chua, et al 2019). Ikan wader hidup di perairan tawar, ditemukan pada pertengahan dari perairan yang cukup dangkal. Merupakan spesies benthopelagic, yaitu ikan yang terdapat di permukaan laut hingga setidaknya 2.000 m di atas permukaan laut. Dimanapun ikan ini ditemukan, ikan ini cenderung melimpah (Chua et al, 2019). Ikan sebagai hewan air memiliki beberapa mekanisme fisiologi yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan, misalnya sebagai hewan yang hidup di air, baik itu perairan tawar maupun di perairan laut menyebabkan ikan harus dapat mengetahui kekuatan maupun arah arus, karena ikan dilengkapi dengan organ yang dikenal sebagai linea lateralis. Perbedaan konsentrasi antara medium tempat hidup dan konsentrasi cairan tubuh memaksa ikan melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan konsentrasi cairan tubuhnya akibat difusi dan osmosis. Osmoregulasi ini menyebabkan ikan laut tidak menjadi ikan kering yang asin, sedangkan ikan air tawar dapat mengalami kematian akibat kelebihan air (Fujaya, 2002). Menurut Rifai et al, (1983), penyebaran ikan diperairan sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor lingkungan yang dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu: faktor biotik, abiotik, faktor teknologi dan kegiatan manusia. Faktor biotik yaitu faktor alam yang hidup atau jasad hidup, baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Faktor abiotik mencakup faktor fisik dan kimia, yaitu cahaya, suhu, arus, garam-garam organik, angin, pH, oksigen terlarut, salinitas dan BOD. Ikan ini hidup pada kisaran pH 6,0-6,5 dan suhu perairan 24-26ºC (Roberts, 1989). Umumnya ikan ini dapat ditemukan di selokan-selokan, sungai, dan tambak (Weber dan de Beaufort, 1931). Karena penyebarannya yang umum, Barbodes binotatus digunakan sebagai indikator lingkungan untuk menilai kualitas habitat atau kesehatan lingkungan perairan (Baumgartner et al., 2005). Ikan wader cakul mempunyai variasi pola warna khususnya berdasarkan ukuran/umur, yaitu ikan muda terdapat bintik-bintik bulat yang memanjang di pertengahan tubuh, makin dewasa berubah menjadi garis hitam, selain itu terdapat bintik bulat berwarna hitam pada pangkal sirip punggung dan pangkal ekor yang umum dijumpai pada ikan muda maupun dewasanya. Ikan wader memiliki ciri-ciri antara lain kepala simetris, bentuk tubuh pipih dan memanjang dengan perut membundar, tubuh bersisik sikloid, bentuk ekor cagak, garis rusuk atau Linea lateralis (L.1) lengkap dan tidak terputus dari belakang operculum paling luar hingga pertengahan pangkal ekor. Posisi mulut terminal dan dapat disembulkan, mempunyai dua pasang sungut, dan tidak bergigi. Tubuh berwarna abu-abu keperakan, pada anak ikan terdapat bintik hitam pada pangkal dasar sirip punggung, dan pada pertengahan batang ekornya. Pada ikan dewasa bintik hitam hanya terdapat pada pertengahan batang ekornya. Posisi sirip dada terhadap sirip perut adalah abdominal. Ikan wader cakul (Barbodes binotatus) merupakan ikan air tawar yang termasuk ke dalam subfamili Barbinae dari famili Cyprinidae yang memiliki beberapa nama sinonim dalam literatur ilmiah yaitu Puntius binotatus, Systomus binotatus, Capoeta binotata dan Barbus maculatus (Kottelat, 2013; Jenkins et al., 2015). Roberts (1989) menyatakan bahwa sirip punggung ikan wader cakul memiliki jari-jari keras (D.IV.8) dan sirip dubur (A.III.5). Menurut Kottelat, et al. (1993), sirip punggung ikan beunteur memiliki 7-101 /2 jari-jari bercabang dan sirip duburnya memiliki 5-6 1 /2 jari-jari bercabang. Jari-jari terakhir sirip dubur tidak mengeras. Jari-jari sirip punggung ada yang bergerigi, dan ada yang tidak bergerigi pada bagian belakangnya . Menurut Saanin (1984) sirip punggung ikan wader cakul memiliki beberapa jarijari lemah mengeras dengan bagian belakangnya bergerigi dan 7-9 jari-jari lemah; sirip duburnya memiliki beberapa jari-jari lemah mengeras dan 5 jari-jari lemah bercabang; jari-jari lemah mengeras paling belakang tidak bergerigi. Saanin (1984) menyatakan bahwa ikan ini perutnya membundar, memiliki 2 pasang sungut, mulutnya dapat disembulkan, rahang tidak bergigi, permulaan sirip punggung di depan permulaan sirip perut, dan sirip perut jauh ke belakang, di muka dubur. Menurut Kottelat et al. (1993), mulutnya kecil, bibir halus, dan tidak ada tonjolan di ujung rahang bawah. Menurut Saanin (1984), ikan ini memiliki beberapa bercak hitam dan seluruh tubuhnya bersisik. Menurut Roberts (1989), warnanya bervariasi, dari abu-abu keperakan sampai abu-abu kehijauan, agak gelap atau kehitaman pada bagian punggung, terdapat tanda bintik atau pita pada tubuh ikan kecil yang akan menghilang pada saat ikan dewasa atau ukurannya besar, kecuali bintik pada pangkal ekor. Menurut Kottelat et al. (1993), ikan ini tidak memiliki duri di bagian manapun dari tubuhnya. Menurut Saanin (1984), ikan ini memiliki ukuran kepala 3,3-4,5 kali lebar mata, dan tinggi batang ekornya sama dengan panjangnya dan 1/3-1/2 kepala. Menurut Roberts (1989), panjang maksimalnya bisa mencapai 20 cm. Saanin (1984) dan Kottelat et al. (1993) menyatakan ikan beunteur memiliki gurat sisi yang lengkap. Memiliki kurang dari 40 sisik sepanjang gurat sisi, dan tidak ada pori tambahan pada sisik sepanjang gurat sisi; di antara gurat sisi dengan sirip punggung terdapat maksimal 7 sisik. Sekeliling batang ekor terdapat 12 sisik. Menurut Haryono (2006), ikan wader cakul memiliki ciri khas untuk membedakannya dengan ikan dengan genus Puntius yang lainnya, seperti Puntius microps. Perbedaan ini terletak dari morfologi sisik pada kedua ikan itu, Pengamatan terhadap sisik ikan, yaitu pada wader goa (P. microps) mempunyai proyeksi jari-jari yang di tengahnya terdapat penghubung berupa lingkaran-lingkaran kecil, sedangkan pada wader cakul (P. binotatus) proyeksi jari-jari tersebut langsung dari pusat ke pinggir yang tampak seperti jari-jari pada roda. Dengan demikian struktur sisik P. binotatus lebih sesuai dengan pertelaan Kottelat et al. (1993) yang menyatakan bahwa ciri khusus sisik anggota marga Puntius terdapat proyeksi dari pusat ke pinggir seperti jari-jari pada roda. Menurut Weber dan Beaufort (1916) dijelaskan bahwa karakter utama yang membedakan kedua jenis tersebut adalah tinggi pangkal ekor (CPD) dan diameter mata (ED). Akan tetapi, diameter mata merupakan poin pembeda yang terpenting antara wader cakul dan wader goa. Diameter mata dari kedua ikan ini memisahkan antara dua jenis ikan yang berbeda spesies ini. Pada wader goa (P. microps) memiliki diameter sebesar 4,580% SL sedangkan P. binotatus ratarata 8,093% SL (SL : Panjang Standar). Berdasarkan penelitian Haryono (2006) diameter mata ikan wader goa jauh lebih kecil dibandingkan dengan wader cakul baik yang berasal dari Jawa, Sumatra, maupun Kalimantan. Keberadaan ikan wader cakul pada tiap titik pada wilayah yang sama ini dipengaruhi oleh kondisi perairan yang ditempatinya. Lowe-McConnel (1987) menyatakan bahwa terjadinya fluktuasi kondisi perairan dan adanya migrasi, mortalitas atau pemijahan menyebabkan fluktuasi pada populasi ikan. Hal lain yang diduga mempengaruhi perbedaan frekuensi adalah tersedianya makanan yang cukup. Menurut Rahmawati (2006), titik yang berada di sekitar pemukiman penduduk dan daerah persawahan yang menghasilkan limbah dari sawah dan rumah tangga ini akan mendorong pertumbuhan plankton yang diduga menjadi makanan utama ikan wader cakul, seperti menurut Roberts (1989) bahwa ikan beunteur memakan zooplankton, larva serangga, dan akar beberapa jenis tanaman. Persebaran yang luas pada jenis ikan wader cakul di alam membuat status nya dikategorikan dalam spesies dengan risiko rendah berdasarkan IUCN Red List yang dipublikasi pada tahun 2019. Dengan memgang status spesies berisiko rendah, tidak disarankan juga untuk mengekploitasi ikan wader cakul secara liar dan besar-besaran. Perlunya memperhatikan aspek kelestarian dari ikan ini agar tetap terjaga keberadaannya. Ikan wader cakul digunakan sebagai obat sakit kepala oleh etnis Lom di Bangka, digunakan sebagai obat luar dan menggunakan bagian kepala dari ikan itu (Afriansyah dkk, 2016). Oleh karena pemanfaatan ini, perlunya memberikan sosialisasi bagi warga setempat untuk memperhatikan aspek kelestarian bila memanfaatkan ikan wader cakul ini. DAFTAR PUSTAKA Afriansyah, B., Hidayati, N. A., dan Aprizan, H., 2016, Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat Tradisional oleh Etnik Lom di Bangka, Jurnal Penelitian Sains, Volume 18 Nomor 2 Mei 2016 JPS MIPA UNSRI 18212-66. Baumgartner L. 2005. Fish in Irrigation Supply Offtakes: A Literature Review, NSW Departmen of Primary Industries – Fisheries Research Report Series: 11. Department of Primary Industries, New South Wales, AustraliaRifai, S.A., Nurdawati & Nasution. 1983. Biologi Perikanan. Edisi Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Chua, K.W.J. & Lim, K. 2019. Barbodes binotatus. The IUCN Red List of Threatened Species 2019: e.T169538A90996154. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2019- 2.RLTS.T169538A90996154.en Fujaya, Y. 2002. Fisiologi lkan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta. Jakarta. Haryono, 2006, STUDI MORFOMETRI IKAN WADER GOA (Puntius microps Gunther, 1868) YANG UNIK DAN DILINDUNGI UNDANG-UNDANG, Berk. Penel. Hayati: 12 (51–55), 2006. Jenkins A., Kullander F. F dan Tan H. H. 2015. Barbodes binotatus. The IUCN Red List of Threatened Species. e: T169538A70031333. Kottelat, M. A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Singapore : Barkeley Books. Pte Itd, Terrer Road. Lowe-McConnel, R. H. L. 1987. Ecological Studies in Tropical Fish Communities. Sydney: Cambridge University Press. Hal 212-269. Rahmawati, I., 2006, ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BEUNTEUR (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) DI BAGIAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG, JAWA BARAT, Skripsi, DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN, FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Roberts, T. R. 1989. The Freswater Fishes of Western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). San Fransisco : California Academy of Sciences. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I. Bandung : Bina Cipta. Schuster, W. H. dan R. R. Djajadiredja. 1952. Local Common Names of Indonesian Fishes. W. Van Hoeve. Bandung. Weber, M., and L. F. de Beaufort. 1916. The Fishes of Indo Australian Archipleago (Ostariophysi II: Cyprinoidea, Apodes. Synbranchi). E.J BrillLeiden Ltd. Whitten T, Soeriatmadja RE, dan Afiff SA, 1999. The Ecology of Java and Bali. Jakarta : Prenhallindo. Inger RF and Chin PK, 1962. The Freshwater fishes of North Borneo. Fieldiana: Zoology Vol. 45. Chicago Natural History Museum, Chicago, USA.