Nama : Refina Yuwita NIM : 16.I1.0036 Kelompok :A5 PEMBUATAN EGG POWDER 1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan pembuatan egg powder dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengamatan pembuatan egg powder Kel Sampel A1 Telur A2 A3 A4 A5 Telur Telur Telur Telur Keterangan: Warna: Perlakuan Pan drying, dengan mixer Pan drying, tanpa mixer Wet drying, dengan mixer Wet drying, dengan mixer Wet drying, tanpa mixer + = Cerah Warna Kemampuan Foaming (%) Pengemban Stlh Stabilitas gan Berat Tepung Telur (g) Kadar Air (%) Rendemen (%) Daya Larut (%) Sblm 22,78 4,53 22,78 38 + + 40 50 33,45 6,44 27, 64 29 + + 40 50 22,64 7,41 22, 64 43 + +++ 130 80 8,37 7,46 9,46 60 + +++ 260 77 20,89 6,27 19, 70 69 ++ +++ 50 80 ++ = Agak Cerah +++ = Gelap ++++ = Sangat Gelap 1 2 Pada Tabel 1. hasil pengamatan pembuatan egg powder dapat dilihat bahwa metode pengeringan yang digunakan adalah pan drying dan wet drying serta diberikan perlakuan pengocokan yang berbeda-beda. Dapat dilihat bahwa semakin besar berat tepung yang dihasilkan maka nilai rendemennya semakin besar juga. Semakin besar nilai rendemen daya larut tepung telur akan semakin kecil. Kandungan kadar air tertingi terdapat pada tepung telur kelompok A2 (pan drying, tanpa mixer), sedangkan kadar air terendah terdapat pada kelompok A4 (wet drying, dengan mixer). Pada pengamatan warna sebelum dikeringkan rata-rata telur berwarna cerah, sedangkan setelah proses pengeringan telur ratarata berwarna gelap sampai sangat gelap. Kemampuan pembentukan foaming, dapat dilihat dari pengembangan dan stabilitasnya. Kelompok A4 mendapatkan pengambangan terbanyak yaitu 260 sedangkan stabilitas tertinggi diperoleh kelompok A3 dan A4. 2. PEMBAHASAN Telur merupakan produk hasil peternakan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, karena harganya yang relative murah. Telur memiliki kandungan gizi yang lengkap seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, karena keungulan tersebut telur memiliki sifat yang mudah rusak. Sehingga diperlukan suatu penanganan, pengawetan dan pengolahan agar telur dapat lebih tahan lama. Salah satu caranya yaitu dengan dibuat tepung telur (Jiwanggoro dkk, 2013). Tepung telur atau telur kering merupakan bentuk awetan telur melalui proses pengeringan dan penepungan. Pengeringan merupakan suatu metode pengawetan dengan cara menghilangkan kadar air bahan pangan. Tepung telur ini dapat berupa tepung putih telur, tepung kuning telur, atau tepung telur utuh (tidak dipisahkan antara putih dan kuning telur) (Umar dan Saleh, 1990). Pembuatan tepung telur dapat meningkatkan daya simpan (shelf life) tanpa mengurangi nilai gizi, volume bahan menjadi lebih kecil, sehingga lebih hemat ruang dan biaya penyimpanan (Winarno dan Koswara, 2002). Telur mempunyai sifat fungsional yang berguna dalam pengolahan pangan, misalnya dalam pembuatan kue dengan memanfaatkan salah satu sifat fungsional telur yaitu daya buih dan stabilitas buih (Jiwanggoro dkk, 2013). Dalam industri pembuatan roti atau biscuit tepung telur dapat berfungsi sebagai thickeng agent, emulsifying agent, gelling agent, memberi rasa dan warna (Asghar A dan Abbas M, 2012). Metode pengeringan yang dapat digunakan untuk membuat tepung telur ada 4 macam, yaitu pengeringan semprot (spray drying), pengeringan secara lapis tipis (pan drying), pengeringan beku (freeze drying) dan pengeringan busa (foaming drying). Pada praktikum kali ini metode pengeringan yang digunakan adalah pan drying dan wet drying, dimana setiap kelompok memiliki perlakuan yang berbeda-beda. Kelompok A1 (Pan drying, dengan mixer), kelompok A2 (Pan drying, tanpa mixer), kelompok A3 (Wet drying, dengan mixer), kelompok A4 (Wet drying, dengan mixer), kelompok A5 (Wet drying, tanpa mixer). Setelah dilakukan perlakuan tersebut dan tercampur rata, telur di oven pada suhu 50oC selama 24 jam. Telur yang sudah kering kemudian dihancurkan dan diayak. Serbuk yang dihasilkan ditimbang dan dianalisa kadar airnya, daya larut, persen rendemen, pengembangan buih dan stabilitas buih, dan uji sensori warnanya. Dari tabel 1. Hasil pengamatan pembuatan tepung telur dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi dihasilkan oleh kelompok A4 dengan perlakuan wet drying dengan mixer yaitu 7,46% sedangkan kadar air terendah dihasilkan kelompok A1 dengan perlakuan pan drying dengan mixer. Hal ini sesuai dengan pernyataan Umar dan Saleh, (1990) bahwa prinsip pengeringan adalah menghilangkan sebagian besar kandungan air pada bahan pangan, sehingga pertumbuhan mikroba dapat terhambat dan dapat memperpanjang umur simpan. Selain itu, metode pan drying yang dilakukan dengan cara menggoreng telur terlebih dahulu tanpa menggunakan minyak ini dapat mengurangi kadar air yang ada dalam telur sebelum dimasukan kedalam oven. Sehingga kandungan air pada tepung telur akan lebih kecil dan umur simpan akan semakin panjang. Kadar air yang terdapat pada 3 4 tepung telur ini juga berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan (Said et al., 2015). Kadar air tepung telur yang didapatkan semua kelompok memenuhi standar SNI 01-43231996 maksimal kandungan kadar airnya adalah 8%. Nilai rendemen merupakan salah satu peubah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan efektifitas dan efesiensi suatu proses pengeringan. Semakin tinggi nilai rendemen dari suatu perlakuan menunjukkan bahwa, proses yang dilakukan akan semakin efektif dan efisien (Said et al., 2015). Hal ini kurang sesuai dengan hasil praktikum kali ini, seharusnya kelompok A1 (pan drying) dengan kadar air 4,53% memiliki nilai rendemen lebih tinggi dari kelompok lain, karena kadar air yang didapatkan sangat kecil sehingga menandakan bahwa pengeringan berjalan efektif dan efisen.Pada kelompok A4 sudah sesuai dengan teori Said et al., (2015) dimana kelompok A4 memiliki kadar air tertinggi, sehingga kelompok A4 dengan perlakuan pan drying dengan mixer memiliki nilai rendemen terendah yaitu 27,64% ini menandakan bahwa proses pengeringan dengan metode wet drying kurang efektif dan efisien. Daya larut/kelarutan adalah kemampuan tepung telur untuk larut. Hasil praktikum menunjukan bahwa perlakuan dengan pan drying (kelompok A1 dan A2) memiliki daya larut yang lebih rendah dibandingkan perlakuan wet drying (kelompok A3,A4, dan A5). Menurut Stadelman dan Cotterill (1994), hal ini dapat terjadi karena metode pan drying menghasilkan partikel yang cenderung menggumpal dan akan membentuk bulatan kecil ketika bercampur dengan air sehingga tepung putih telur sulit larut dan daya kelarutan menjadi rendah. Selain itu, tepung telur yang terdiri dari kuning telur dan putih telur, di memiliki jumlah kandungan lemak yang lebih tinggi dalam kuning telur dibandingkan jumlah kandungan protein yang terdapat dalam putih telur sehingga kelarutannya menjadi lebih rendah (Nahariah, 2005). Menurut Stadelman dan Cotterril (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi daya buih adalah umur telur, metode pengocokan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator. Penambahan waktu pengocokan dan kecepatan yang cepat akan membuat akan memperbanyak udara yang tertangkap, sehingga volume buih meningkat. Warna pada kuning telur terbentuk karena adanya pigmen xanthofil, lutein dan zeaxantin dalam jumlah besar serta beta karoten dalam telur. Kuning telur juga mengandung zat warna (pigmen) yang umumnya termasuk dalam golongan karotenoid (Zakaria, 2004). Pada hasil praktikum, sebelum dilakukan pengeringan telur berwarna cerah untuk semua kelompok, setelah dilakukan pengeringan warna dari tepung telur kelompok A4 dan A5 (wet drying) menjadi gelap. Menurut (Stadelman dan Cotterill, 1997) daya emulsi, daya koagulasi, dan warna tepung telur umumnya tidak banyak berbeda dibandingkan dengan telur segar. Tetapi jika kandungan gula pereduksi lebih dari 0,1%, warna telur akan berubah kecoklatan selama penyimpanan. Keadaan ini dapat diatasi dengan cara mengurangi kandungan glukosa dalam cairan telur sebelum dikeringkan yaitu dengan fermentasi menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae. 5 Pengembangan buih dapat dipengaruhi kadar air yang tinggi pada tepung telur menyebabkan sulitnya proses pembentukan buih. Kadar air yang tinggi menyebabkan nilai pH akan meningkat sehingga menyebabkan daya buih yang dihasilkan rendah. Akibat nilai pH yang tinggi menyebabkan kondisi protein putih telur terutama globulin akan pecah, sehingga akan menurunkan kemampuan untuk mengikat udara dalam proses pembentukan buih (Feed and Nagodawithana, 1991). Hal ini sesuai dengan hasil pratikum pengembangan buih kelompok A2 rendah yaitu 40% dan kandungan air yang dimiliki juga lumayan tinggi. Pada A3 dan A4 (wet drying dengan mixer) menghasilkan persen pengembangan terbesar yaitu 130% dan 260%. Hal karena telur tidak mengalami proses pemanasan terlebih dahulu, selain itu pengocokan telur juga menggunakan mixer yang kecepatannya cepat dan stabil sehingga buih yang dihasilkan lebih cepat naik. Pada hasil pengukuran stabilitas buih, kelompok A3 dan A5 (wet drying) memperoleh persen stabilitas tertinggi yaitu 80%, sedangkan kelompok A1 dan A2 (pan drying) memperoleh persen stabilitas terendah yaitu 50%. Menurut Romantica et al., (2013) jumlah air yang rendah pada tepung putih telur dengan lama fermentasi 0 menit mengakibatkan stabilitas buih yang terbentuk menjadi lebih baik. Hal ini tidak sesuai dengan hasil praktikum, seharusnya kelompok A1 yang memiliki kadar air lebih rendah memiliki stabilitas yang lebih baik atau lebih besar persennya dibandingkan kelompok A4 yang memiliki kadar air lebih tinggi. Stabilitas buih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lamanya telur disimpan, suhu telur, pH telur, lama pengocokan, perlakuan pendahuluan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator (Stadelman and Cotterril,1995). Karakteristik tepung telur yang baik harus dipertahankan karena akan menentukan kemampuan tepung telur untuk digunakan dalam pembuatan makanan olahan. Sifat-sifat yang harus dipertahankan antara lain daya busa, sifat emulsi, sifat koagulasi (kemampuan menggumpal dan membentuk gel) dan warna (Stadelman dan Cotterill, 1997). Kecepatan pengeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti suhu cairan, luas permukaan cairan, suhu udara pengering, dan tekanan uap di udara. Metode pan frying dapat mengurangi kadar air dari tepung telur, karena sebelum dikeringkan dilakukan proses penggorengan sehingga kadar air akan berkurang akibat pemanasan. Tetapi metode ini dapat membuat tepung telur memiliki warna yang gelap dibandingkan wet drying (Stadelman dan Cotterill, 1997). Perbedaan berat tepung telur yang dihasilkan karena setiap telur memiliki bobot yang berbeda-beda sehingga komposisi putih telur dan kuning telur tidak dapat sama satu sama lain. 3. KESIMPULAN Menggoreng telur (pan frying) terlebih dahulu tanpa menggunakan minyak dapat mengurangi kadar air yang ada dalam telur sebelum dimasukan kedalam oven. Kandungan kadar air maksimal pada tepung telur adalah 8%. Kadar air yang terdapat pada tepung telur berpengaruh terhadap nilai rendemen yang dihasilkan. Nilai rendemen merupakan acuan untuk menentukan efektifitas dan efesiensi suatu proses pengeringan Faktor-faktor yang mempengaruhi daya buih adalah umur telur, metode pengocokan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator, penambahan waktu pengocokan dan kecepatan pengocokan. Jumlah kandungan lemak yang lebih tinggi dalam kuning telur dibandingkan jumlah kandungan protein dalam putih telur membuat kelarutannya lebih rendah. Warna tepung telur umumnya tidak banyak berbeda dibandingkan dengan telur segar. Kadar air yang tinggi menyebabkan nilai pH akan meningkat sehingga menyebabkan daya buih yang dihasilkan rendah. Jumlah air yang rendah pada tepung putih telur dengan lama fermentasi 0 menit mengakibatkan stabilitas buih yang terbentuk menjadi lebih baik. Sifat-sifat yang harus dipertahankan antara lain daya busa, sifat emulsi, sifat koagulasi (kemampuan menggumpal dan membentuk gel) dan warna. Metode pan frying dapat mengurangi kadar air dari tepung telur. Semarang, 15 November 2019 Praktikan, Asisten Praktikum, Refina Yuwita 16.I1.0036 Nengah Wida Renata 6 4. DAFTAR PUSTAKA Asghar, A. dan Abbas, Mudassar. 2012. Dried Egg Powder Utilization, a New Frontier in Bakery Product. Agricilture And Biology Journal Of North America. Vol 3(12): 493-505. Jiwanggoro, Adhitya, R. Singgih, S. S. dan Kusuma, Widyaka. 2013. Pengaruh Lama Maserasi Kuning Telur pada Pembuatan Tepung Kuning Telur Puyuh menggunakan Berbagai Level Etanol terhadap Daya dan Stabilitas Buih. Jurnal Ilmiah Peternakan Volume 1 No.(3): 1143-1149. Nahariah. 2005. Karakteristik Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur yang Telah Difermentasi Oleh Saccharomyces cereviceae dengan Penambahan Sukrosa. Program Studi Sistem-sistem Pertanian, Konsentrasi Peternakan. Universitas Hasanuddin, Makassar. Romantica, W., Thohari, I., Radianti, L. I. 2013. Pengaruh Lama Fermentasi yang Berbeda pada Pembuatan Tepung Telur Pan Drying terhadap dari Kadar Air, Rendemen, Daya Buih dan Kestabilan Buih. Student at Departement of Animal Food Technology, Faculty of Animal Husbandry, Brawijaya University. Said, M. I., Johanna C., Likadja., Asteria. 2015. Karakteristik Tepung Telur Ayam Ras Yang Difermentasi Dengan Ragi Tape Secara Aerob. Program Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Stadelman, W. J. and O. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York. Standar Nasional Indonesia 01-4323-1996. Tepung Putih Telur. Badan Standarisasi Nasional. Umar, N dan Saleh, E. 1990. Pengawetan Telur. Diktat Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Winarno, F.G dan S. Koswara. 2002. Telur, Penanganan dan Pengolahannya. M-BRIO Press, Bogor. Zakaria, S. 2004. Materi Kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. 7 5. LAMPIRAN 5.1. Gambar sebelum dan sesudah pembuatan egg powder Foto Sebelum dikeringkan A1 A2 A4 A1 A4 A3 A5 Foto sesudah dikeringkan A2 A5 8 A3 9 5.2. Perhitungan Rumus : Rendemen = 𝑤 𝑡𝑒𝑝𝑢𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑤 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙 × 100% Berat akhir = (b-a) Daya larut = (𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟) 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 Pengembangan buih = Stabilitas buih = × 100% 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑏𝑢𝑖ℎ 𝑑𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛−𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑏𝑢𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 30 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑏𝑢𝑖ℎ × 100% Kelompok A1 23,7 Rendemen = 104 × 100% = 22,78% Berat Akhir = 0,75 – 0,13 = 0,62 1−0,62 Daya larut = × 100% = 38% 1 Pengembangan buih = 10 140−100 100 × 100% = 40% Stabilitas buih = 20 × 100% = 50% Kelompok A2 33,45 Rendemen = 121 × 100% = 27,64% Berat Akhir =0,84– 0,13 = 0,71 1−0,71 Daya larut = 1 × 100% = 29% Pengembangan buih = 10 140−100 100 × 100% = 40% Stabilitas buih = 20 × 100% = 50% Kelompok A3 22,64 Rendemen = 100 × 100% = 22,64% Berat Akhir = 0,70 – 0,13 = 0,57 1−0,57 Daya larut = 1 × 100% = 43% Pengembangan buih = 40 250−100 100 × 100% = 150% Stabilitas buih = 50 × 100% = 80% Kelompok A4 20,89 Rendemen = 106 × 100% = 19,70% Berat Akhir = 0,57 – 0,26 = 0,31 1−0,31 Daya larut = 1 × 100% = 19,70% Pengembangan buih = 40 150−100 100 × 100% = 50% Stabilitas buih = 50 × 100% = 80% × 100% 10 Kelompok A5 8,37 Rendemen = 88,5 × 100% = 9,46% Berat Akhir =0,57– 0,17 = 0,40 1−0,40 Daya larut = 1 × 100% = 60% Pengembangan buih = 70 90−25 25 × 100% = 260% Stabilitas buih = 90 × 100% = 77% 5.3. Laporan Sementara