PERTIMBANGAN MORAL SISWA SMA YANG BERASAL DARI SUKU BANGSA MELAYU DI KABUPATEN LANGKAT SUMATRA UTARA Asih Menanti Dosen FIP Universitas Negeri Medan E-mail: [email protected] Abstract: Moral judgment is part of the individual development that should be optimized. This research purpose was to know high school students’ moral judgment stage and level especially those who originate from the Malay father and mother in Langkat District, North Sumatra. The used data in this research is ex post facto data. The research samples consisted of 116 students which were determined by using the total sample technique. The data of the moral judgment were collected by using the Defining Issues Test (DIT). The research results showed that 35.34% of the students’ moral judgment did not optimally develop, 25% optimally developed, and 39.65% included in mixed type, meaningless, and anti establishment moral judgment. Keywords: moral judgment, the Malay high school students, Langkat District Pendidikan Nasional Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003). Tujuan pendidikan nasional tersebut menunjukkan bahwa aspek moral (akhlak mulia) merupakan bagian yang wajib dikembangkan dalam pendidikan anak Indonesia. Moral dapat dikaji dari sudut pertimbangan moral (moral judgment). Pertimbangan moral setiap individu dikembangkan agar mencapai perkembangan yang optimal, yaitu mencapai pertimbangan moral tingkat pascakonvensional. Pertimbangan moral yang mencapai tingkat pascakonvensional tersebut mempunyai peran sangat penting, yaitu individu akan mampu mengambil keputusan-keputusan moral (keputusan baik-buruk, benar-salah) yang memperhatikan kepentingan orang-orang lain secara luas, dan anak terhindar dari suatu keputusan moral berwawasan sempit yang dapat merugikan diri mereka sendiri dan orang lain. Di samping untuk menghindari suatu keputusan moral yang dapat merugikan, individu akan lebih konsisten dalam perbuatan mereka, sesuai dengan yang mereka pertimbangkan. Contoh, jika anak mempertimbangkan bahwa menyontek adalah salah, maka perbuatannya lebih konsisten akan menghindari perbuatan menyontek. Adanya suatu konsistensi telah teruji dalam beberapa studi, seperti studi eksperimen dari McNamee, studi Haan, Smith, dan Block (Kohlberg dan Candee dalam Kurtines dan Gerwitz, 1984). Rest (1983) juga mengatakan bahwa pada umumnya individu yang berpikir pada tahap pertimbangan moral yang lebih tinggi, bertingkah laku dalam caracara lebih bermoral (Steinberg, 2002). Permasalahan yang selalu dihadapi berkenaan dengan pertimbangan moral adalah perkembangan yang tidak optimal, yaitu hanya mencapai pertimbangan moral tingkat konvensional dan prakonvensional. Sementara itu, seyogianya pada usia remaja telah mencapai pertimbangan moral tingkat pascakonvensional (Kohlberg dalam Hurlock, 1980). Berangkat dari kesenjangan tersebut, penulis mengamati perilaku beberapa siswa SMA, dari pengamatan tersebut penulis menemukan bahwa siswa masih dominan menggunakan pertimbangan moral tingkat konvensional dan tingkat prakonvensional. Gejala yang sama penulis temui pada remaja siswa SMA yang berasal dari suku bangsa Melayu yang selama ini dipandang sebagai salah satu suku bangsa yang selalu santun. Diharapkan, kesantunan remaja siswa SMA yang berasal dari suku bangsa Melayu tersebut didasari oleh pertimbangan moral yang 1 2 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 29, NOMOR 1, SEPTEMBER 2009 matang, yaitu pertimbangan moral tingkat pascakonvensional, yang mendasarkan pertimbangan moralnya pada nilai-nilai universal daripada nilai-nilai yang terbatas keberlakuannya untuk sebagian orang. Indikasi bahwa pertimbangan moral tidak berkembang optimal, menuntut solusi. Solusi diawali dengan mengetahui data yang akurat mengenai tingkat (level) dan tahap (stage) pertimbangan moral siswa, untuk selanjutnya data ini digunakan sebagai tolok ukur dalam menyusun program peningkatan pertimbangan moral siswa. Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan hasil penelitian tentang tingkat dan tahap pertimbangan moral yang dicapai oleh siswa SMA suku bangsa Melayu di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatra Utara, dan kemudian mengemukakan pembahasan tentang peran pendidikan dalam meningkatkan pertimbangan moral siswa. Kajian ini bermanfaat bagi siswa, pendidik di sekolah, orang tua, dan masyarakat luas yang menaruh perhatian pada pembinaan moralitas siswa dan generasi muda lain. Kajian tentang moral dalam psikologi dapat didekati dari tiga teori, yaitu teori behaviorisme, teori psikoanalisis, dan teori kognitif (Aronfreed dalam Lickona, 1976), Kohlberg (dalam Lickona, 1976). Teori behaviorisme dan teori psikoanalisis mempersoalkan tentang isi (content) moral. Kedua teori ini berupaya mengembangkan moral dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai moral yang dikehendaki dan mengurangi/menghilangkan nilai-nilai moral yang tidak dikehendaki. Teori kognitif mempersoalkan alasan (reasoning) yang digunakan oleh seseorang dalam memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk dan berupaya mengembangkan moral dengan cara menumbuhkan pertimbangan/pemikiran moral pada tingkat yang tinggi. Berpendapat hampir sama dengan Aronfreed, Sunar (dalam Lonner dan kawankawan, 2002) mengemukakan bahwa pada umumnya ada empat pendekatan yang mendominasi lapangan moralitas, yaitu teori psikoanalitik, teori-teori belajar, teori perkembangan kognitif, dan pendekatan psikologi evolusi. Pendekatan evolusi melihat moralitas sebagai suatu kecenderungan (fakultatif bawaan) sekumpulan sifat yang diaktifkan oleh pengalaman dan kondisi sosial tertentu. Kajian dalam penelitian ini mengacu pada teori perkembangan moral kognitif yang dikemukakan oleh Kohlberg. Menurut Kohlberg (Lickona, 1976), konsep moralitas lebih merupakan sebuah philosophis (ethical) daripada sebagai konsep tingkah laku. Hal yang paling esensial dari struktur moralitas adalah prinsip keadilan (justice) dan inti dari keadilan adalah distribusi antara hak dan kewajiban yang diatur oleh konsep-konsep persamaan hak (equality) bagi setiap individu dan hubungan timbal balik atau pertukaran hak antarindividu (reciprocity). Alasan/pertimbangan/pemikiran yang digunakan oleh seseorang dalam memutuskan persoalan moral merupakan fokus dari teori perkembangan moral kognitif. Maksudnya, teori ini tidak mempersoalkan mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mempersoalkan mengapa seseorang memandang benar/baik atau sebaliknya memandang salah/buruk. Pertimbangan yang digunakan oleh seseorang dalam mengambil keputusan moral dibedakan oleh Kohlberg atas tiga tingkat (level) dan enam tahap (stage). Masing-masing tingkat pertimbangan moral terdiri atas dua tahap, sehingga ada enam tahap pertimbangan moral (Arbuthnot dan Faust, 1981, Campbell dan Christopher, 1996, Smetana dan Turiel dalam Adams dan Berzonsky, 2003, Steinberg, 2002, Kohlberg dalam Lickona, 1976, Velasquez, 2002, Eckensberger dan Zimba dalam Berry, Dasen, Saraswathi, 2001). Ketiga tingkat pertimbangan moral tersebut adalah tingkat prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Pertimbangan moral tingkat prakonvensional terdiri atas tahap 1 (yaitu moralitas heterenomous, dan tahap 2 yaitu moralitas individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran). Pertimbangan moral tingkat konvensional terdiri atas tahap 3 (moralitas berdasarkan pada harapan-harapan interpersonal bersama, hubungan-hubungan, dan konformitas interpersonal, dan tahap 4 merupakan moralitas yang berangkat dari pertimbangan mempertahankan sistem sosial). Pertimbangan moral tingkat pascakonvensional terdiri atas tahap 5 (yaitu moralitas berdasarkan pada pertimbangan kontrak sosial atau kegunaan dan hakhak individu, dan tahap 6 (yaitu moral berdasarkan pada prinsip-prinsip etik yang universal). METODE PENELITIAN Penelitian ini mengungkap data ex post facto, yakni mengungkap data pertimbangan moral yang telah ada pada diri siswa. Penelitian dilakukan pada siswa kelas I, II, III SMAN yang Menanti, Pertimbangan Moral Siswa SMA yang Berasal 3 mempunyai ibu dan ayah suku bangsa Melayu, yang bermukim di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatra Utara. Perlu dikemukakan gambaran bahwa Kabupaten Langkat merupakan lingkungan masyarakat dominan beradat budaya Melayu. Mereka (suku bangsa Melayu) melakukan perkawinan antar ras, sehingga sering ditemui keluarga yang ayahnya suku bangsa Melayu, namun ibunya tidak suku bangsa Melayu. Sebaliknya, ayah tidak suku bangsa Melayu, tetapi ibu berasal dari suku bangsa Melayu. Tidak selalu ditemui siswa yang masih murni mempunyai ibu dan ayah berasal dari suku bangsa Melayu, khususnya di lingkungan siswa yang bersekolah di tingkat pendidikan SMA/ SMAN di Kabupaten Langkat. Penelitian menggunakan total sampel dengan jumlah sampel sebesar 116 siswa. Data pribadi untuk mengetahui identitas siswa di- kumpulkan menggunakan kuesioner dan data pertimbangan moral siswa dikumpulkan menggunakan DIT (Defining Issues Test). DIT diuji validitas dan reliabilitasnya, kemudian dilakukan analisis faktor konfirmatori untuk mengetahui apakah item-item valid mengukur indikator dan apakah bobot faktor indikator membentuk variabel. Analisis data untuk mengetahui profil pertimbangan moral siswa dilakukan sesuai dengan pedoman DIT yang dikemukakan oleh Rest (1979). HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat dan Tahap Pencapaian Pertimbangan Moral Siswa beserta Karakteristiknya Tingkat dan tahap pertimbangan moral siswa dapat dilihat pada Gambar 1. 21.55 Mixed Type 9.48 11 8.62 10 7.76 9 7.76 9 9.48 11 9.48 11 Tahap M Tahap A Tahap 6 Tahap 5B Tahap 5A Tahap 4 Persentase 13.79 16 12.07 14 Tahap 3 Tahap 2 0 5 10 15 25 Frekuensi 20 25 30 Gambar 1. Diagram Batang Pertimbangan Moral Siswa SMAN yang Berasal dari Suku Bangsa Melayu di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatra Utara Diagram 1 memperlihatkan besarnya persentase tahap-tahap pertimbangan moral siswa, dan berdasarkan tahap-tahap tersebut dapat diketahui persentase tingkat pertimbangan moral siswa. Tingkat pertimbangan moral siswa adalah sebagai berikut: Pada tingkat konvensional (yaitu tahap 3 dan 4) sebesar 23,27%, tingkat prakonvensional (tahap 1 dan 2) sebesar 12,07%, dan tingkat pascakonvensional (tahap 5 dan 6) sebesar 25,00%. Selebihnya sebesar 39,65% adalah pertimbangan moral yang sedang berkembang ke tahap yang lebih tinggi (yaitu pertimbangan moral A (Anti-establishment) sebesar 8,62% , M (Meaningless) 9,48%, dan MT (Mixed Type) sebesar 21,55%). Siswa-siswa yang mempunyai pertimbangan moral A adalah siswa-siswa yang pertimbangan moralnya ”sulit” dikategorikan secara tepat berada pada tahap 4 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 29, NOMOR 1, SEPTEMBER 2009 tertentu. Siswa-siswa yang mempunyai pertimbangan moral M adalah siswa-siswa yang pertimbangan moralnya ”tidak cukup kuat” untuk dikategorikan berada pada tahap tertentu, dan siswa-siswa yang mempunyai pertimbangan moral MT adalah siswa-siswa yang pertimbangan moralnya bercampur. Siswa-siswa yang mempunyai pertimbangan moral tingkat prakonvensional memandang bahwa yang bermoral adalah yang menekankan kepatuhan pada pemilik otoritas (seperti orang tua, guru). Mereka melakukan sesuatu berangkat dari dorongan untuk menghindari hukuman, dan untuk mendapatkan hadiah. Siswa-siswa yang tergolong pada tingkat konvensional mempunyai moralitas yang konform terhadap orang lain dan terhadap aturan yang ditentukan oleh persetujuan orang lain atau aturan-aturan masyarakat. Siswasiswa pada tingkat pascakonvensional memandang yang bermoral adalah yang mempunyai pertimbangan dengan acuan nilai-nilai universal (seperti kebenaran, keadilan, kemanusiaan), dan berasal dari hati nurani diri sendiri. Lebih rinci, diagram 1 memperlihatkan tahap-tahap pertimbangan moral siswa sebagai berikut: Siswa yang mempunyai pertimbangan moral sampai tahap 2 sebesar 12,07%, tahap 3 sebesar 13,79%, tahap 4 sebesar 9,48%, tahap 5A sebesar 9,48%, tahap 5B dan tahap 6 masingmasing sebesar 7,76%. Tahap A sebesar 8, 62%, tahap M sebesar 9,48%, dan tahap MT sebesar 21,55%. Siswa-siswa yang tergolong mempunyai pertimbangan moral tahap 1 menentukan baik atau buruk mengacu pada hukuman fisik dan kepatuhan terhadap pemilik otoritas. Kebenaran dikonsepsi oleh siswa dengan membuat kesamaan dengan pemilik otoritas dan menjauhi hukuman. Siswa-siswa pada tahap 2 memandang yang benar adalah yang melayani keinginan diri sendiri dan orang lain, yang berlaku dalam hubungan timbal balik yang sangat pragmatis. Misalnya siswa berpikir: “Engkau memberi contekan pada aku, maka aku juga memberitahu jawaban soal ujian padamu.” Jadi, kebenaran didefinisikan sebagai nilai instrumental yang memberi kesenangan pada diri dan orang lain. Siswa-siswa yang tergolong pada pertimbangan moral tahap 3, mempunyai moralitas untuk memelihara hubungan interpersonal, untuk memperoleh sebutan sebagai orang baik. Mereka berusaha memenuhi harapan orang lain, dan loyal kepada kelompok. Suatu tindakan dinilai baik atau buruk oleh siswa tergantung dari persetujuan orang lain. Pada tahap 4, moralitas siswa-siswa berorientasi pada pemeliharaan aturan/keteraturan. Hukum dipandang sebagai suatu cara menertibkan, belum sebagai kata hati. Kebenaran didefinisikan sebagai orang yang menjalankan tugas-tugas di masyarakat dan mencapai keteraturan sosial. Jadi loyalitas siswa pada hukum, bukan pada orang. Siswa-siswa yang mempunyai pertimbangan moral tahap 5, memandang yang benar adalah yang menegakkan hak-hak, nilai-nilai dasar, dan persetujuan masyarakat, walaupun menimbulkan konflik dengan hukum/aturan suatu kelompok. Siswa memandang hukum, aturan, nilai, dan kebenaran yang ada dalam konteks kelompok adalah relatif, dan memandang ada nilai-nilai yang absolut (seperti hak untuk hidup, untuk merdeka), yang harus ditegakkan. Pada tahap 6, siswa memutuskan apa yang benar berdasarkan prinsip moral sendiri yang dimaksudkan untuk seluruh kemanusiaan. Prinsip-prinsip yang diterima berdasarkan pemahaman-pemahaman dasar tentang keadilan, dan menghargai martabat individual setiap orang. Jika konsepsi siswa pada tahap 5 adalah berkaitan dengan kegunaan sosial, maka pada tahap 6 merupakan pertimbangan dari sebuah prinsip moral yang komprehensif, logis, konsisten, dan universal. Berdasarkan tingkat, tahap, beserta karakteristik pertimbangan moral yang telah dikemukakan, tampak bahwa pertimbangan moral siswa yang termasuk belum memenuhi harapan perkembangan (tidak berkembang optimal) adalah pertimbangan moral siswa pada tahap 1, 2, 3, 4 (tingkat prakonvensional dan konvensional), sebesar 35,34%. Faktor yang mempengaruhi perkembangan pertimbangan moral dapat dijelaskan berikut ini. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Pertimbangan Moral Siswa Murad dan Menanti (2007) mengemukakan bahwa pertimbangan moral tidak berkembang optimal disebabkan oleh: (1) terbatasnya kemampuan individu memahami situasi moralitas, (2) kurangnya stimulasi pertimbangan moral, dan (3) latar belakang budaya kolektivisme (mempunyai pemahaman diri interdependen/ interdependence self construal). Faktor pertama, yaitu terbatasnya kemampuan individu (siswa) dalam memahami situasi moralitas, disebabkan oleh terbatasnya kemampuan siswa melakukan alih peran (role taking). Konsekuensinya, per- Menanti, Pertimbangan Moral Siswa SMA yang Berasal 5 kembangan tahap pertimbangan moral terhambat. Kemampuan alih peran (disebut juga dengan kemampuan mengambil persepsi sosial atau perspektif orang lain) (Reimer¸ Paolitto, dan Hers, 1983), Kohlberg (dalam Lickona, 1976) adalah kemampuan melihat dan menginterpretasi pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan orang lain, melihat peran atau tempat mereka di lingkungan atau di masyarakat (Kohlberg dalam Lickona, 1976). Kemampuan alih peran ini merupakan persyaratan awal yang harus ada dalam pertimbangan moral. Alih peran yang kuat menimbulkan pertentangan-pertentangan moral (konflik moralkognitif konflik moral dalam domain kognitif). Arbuthnot dan Faust (1981) menjelaskan bahwa konflik moral kognitif menunjukkan keadaan tidak seimbang (disequilibrium) seperti pada situasi teka teki dan rasa ingin tahu bila menghadapi suatu persoalan yang menarik, yang mengundang pemikiran untuk menyelesaikannya. Keadaan tidak seimbang yang dialami oleh individu mendorong untuk memperoleh keseimbangan (equilibrium) kembali, hal ini diperoleh bila individu dapat menyelesaikan persoalan moral yang dihadapi. Bila persoalan dapat diselesaikan dengan menggunakan struktur pertimbangan moral yang lebih tinggi dari pertimbangan moral yang dimiliki oleh individu (N+1), maka pertimbangan moral individu tersebut meningkat. Faktor kedua, yaitu faktor orang tua dan lingkungan sekitar kurang menstimulasi pertimbangan moral siswa ke tingkat tinggi (tingkat pascakonvensional). Stimulasi moral yang kurang, mendorong siswa mencari sendiri prinsip moralnya. Akibatnya, perkembangan pertimbangan moral siswa berjalan lebih lambat. Faktor ketiga, latar belakang budaya kolektivisme atau pemahaman diri interdependen yang melekat pada diri siswa, mengakibatkan siswa menggunakan nilai-nilai pertimbangan moral konvensional, yaitu suatu pertimbangan moral yang berorientasi pada persetujuan orang lain, dan menghindari konflik (pertentangan pendapat) dengan orang lain. Nilai-nilai pertimbangan moral konvensional ini dipandang lebih mulia oleh siswa (yang berlatar belakang budaya kolektivisme/mempunyai pemahaman diri interdependen), dibandingkan nilai-nilai individualisme/independen (seperti menonjolkan nilai moral diri sendiri, meskipun harus bertentangan dengan orang lain). Dengan nilai-nilai budaya kolektivisme/ pemahaman diri interdependen yang melekat dalam diri siswa tersebut, maka dalam mengambil keputusan moral, siswa selalu bersikap konform terhadap orang lain, mengharmoni, dan berorientasi pada persetujuan orang lain (siswa menggunakan pertimbangan moral konvensional). Hasil penelitian Hadiyono dan Hahn (1985) menunjukkan bahwa orang Indonesia (representasi masyarakat kolektif), lebih menyetujui konformitas daripada orang Amerika (representasi masyarakat individualisme) (Kitayama & Markus dalam Matsumoto, 2004). Siswa juga menghindari ’konflik moral kognitif’ bila bertentangan pendapat, dan sebaliknya, memilih mengakomodasi pandangan orang lain. Tidak terjadinya ”konflik moral secara kognitif,” mengakibatkan pertimbangan moral siswa tidak cukup untuk dapat meningkat ke tahap yang lebih tinggi. Dalam perkataan lain, siswa tetap pada pertimbangan moral konvensional. Peran Pendidikan sebagai Wahana Transformasi Pertimbangan Moral Siswa Peran pendidikan dalam mengembangkan pertimbangan moral siswa adalah suatu usaha untuk membawa siswa ke tahap pertimbangan moral yang tinggi. Untuk membawa pertimbangan moral siswa ke tahap yang tinggi tersebut, pendidik harus mampu mengubah berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan pertimbangan moral siswa, yang meliputi faktor budaya yang melatarbelakangi siswa, faktor lingkungan seperti orang tua, faktor kesadaran dan perhatian siswa tentang moralitas, dan faktor-faktor yang mewadahi terjadinya proses perkembangan pertimbangan moral di sekolah, dan tidak menutup kemungkinan yang ada di masyarakat. Peran pendidik pada faktor budaya adalah menjelaskan bahwa kedua orientasi budaya interdependen-independen merupakan garis kontinum yang penting dimiliki oleh siswa, dan mereka harus mampu memilih serta menggunakan keduanya sesuai dengan situasi yang dihadapi. Misalnya, nilai-nilai moral independen seperti berani mengemukakan pertimbangan moral diri yang berbeda dari pertimbangan moral kelompok/orang lain, yang biasa dilakukan pada budaya individualisme, dikembangkan oleh siswa, namun cara siswa menampilkannya menggunakan etika budaya interdependen. Dari 6 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 29, NOMOR 1, SEPTEMBER 2009 faktor lingkungan, pendidikan/pendidik berupaya menstimulasi perkembangan pertimbangan moral siswa melalui kegiatan latihan menyelesaikan bermacam-macam persoalan sosial-moral. Disini, pendidik berperan sebagai fasilitator yang mencerahkan pemahaman moral siswa. Faktor perhatian dan kesadaran siswa tentang pentingnya moralitas, dapat ditingkatkan dengan memunculkan dan mengikutsertakan siswa dalam sudut pandang-sudut pandang moralitas yang berbeda-beda, dan yang terjadi dalam beragam peristiwa, sehingga siswa menghayati secara dalam. Berkenaan dengan wadah aktivitas yang dapat mengembangkan pertimbangan moral siswa, pendidik dapat mensosialisasikan fasilitas yang ada di sekolah, yang dapat mengembangkan pertimbangan moral siswa, seperti adanya buku dan kegiatan sekolah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa pertimbangan moral siswa SMA suku bangsa Melayu di Kabupaten Langkat yang dominan berkembang sampai pada tingkat konvensional, bila dipandang dalam kerangka teori pertimbangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg, belum berkembang optimal. Namun, apabila dipandang dari sudut pandang suku bangsa Melayu, pertimbangan moral konvensional tersebut dipandang telah cukup. Mereka memandang nilai-nilai moral konvensional adalah lebih mulia daripada nilai-nilai moral pascakonvensional. Disini berlangsung pengaruh budaya setempat terhadap pencapaian tahapan pertimbangan moral. bangkan pertimbangan moral mereka, dan membudayakan nilai-nilai budaya individualisme/ independen yang berorientasi pada pertimbangan moral pascakonvensional, yang sesuai dengan budaya Indonesia. Terutama lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal, melaksanakan program-program pengembangan. Demikian pula dengan siswa itu sendiri, mereka harus mengembangkan dirinya. Pendidikan formal (sekolah) dapat mengembangkan pertimbangan moral siswa dengan melibatkan siswa pada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan-kegiatan pengembangan diri di sekolah, yang mengandung kesempatan interaksi sosial yang kaya antar siswa dan antara siswa dengan guru. Di samping itu, guru-guru menyusun program pembelajarannya dengan menyertakan capaian aspek softskill (berkenaan dengan etika, kematangan sosial-moral), di samping capaian hardskill (intelektual, keterampilan). Demikian pula dengan lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga kursus bahasa, lembaga pelatihan keterampilan komputer, kelompok belajar antarsiswa dan kelompok belajar yang dibina oleh guru, agar mengembangkan situasi interaksi sosial yang kaya, melalui metode dan strategi pembelajaran yang tepat (misalnya menggunakan metode pembelajaran diskusi kelompok). Di dalam pendidikan informal (keluarga), orang tua disarankan menciptakan situasi dialog moral di dalam keluarga tentang peristiwa-peristiwa moral yang terjadi di dalam keluarga, tetangga, dan di masyarakat luas. Orang tua juga dapat mencontohkan kisah-kisah nabi atau tokoh-tokoh agama yang menggambarkan pertimbangan moralitas tinggi/mulia. DAFTAR RUJUKAN Saran Disarankan agar dalam memahami pencapaian pertimbangan moral siswa SMA yang berasal dari suku bangsa Melayu, ditempatkan dalam perspektif adat budaya suku bangsa Melayu. Pertimbangan moral siswa dioptimalkan, sehingga mereka memiliki pertimbangan moral yang handal, yang dapat digunakan untuk menghadapi tantangan moralitas dalam budaya berbeda, dalam era global yang sarat dengan stimulasi negatif. Disarankan agar seluruh pihak yang berkontribusi terhadap perkembangan moralitas generasi muda khususnya siswa SMA suku bangsa Melayu, berperan serta aktif mengem- Arbuthnot, J. B. & D. Faust. 1981. Teaching Moral Reasoning: Theory and Practice. New York: Harper and Row. Aronfreed, J. 1976. Moral Development from The Standpoint of a General Psychology Theory. Dalam Lickona, T. (editor). Moral Development and Behavior: Theory, Research, and Social Issues, hlm. 54-69. New York: Holt, Rinehart & Winston, Inc. Campbell, R. L. & J. C. Christopher. 1996. “Moral Development Theory: A Critique of Its Kantian Presuppositions”. Developmental Review 1-47. Melalui <www. Menanti, Pertimbangan Moral Siswa SMA yang Berasal 7 hubcap.clemson.edu/~campber/Mordevcrit .pdf - > [08/11/05]. Eckensberger, L. H. & R. F. Zimba. 2001. The Development of Moral Judgment. Dalam Berry, J. W., P. R. Dasen., T. S. Saraswathi (editor). Handbook of CrossCultural Psychology, volume 2: Basic Processes and Human Development, hlm. 229-338. Boston: Allyn and Bacon. Hurlock, E. B. 1980. Developmental Psychology: A Life Span Approach. Fifth Edition. New York: McGraw Hill, Inc. Kohlberg, L. 1976. Moral Stage and Moralization: The Cognitive-Developmental Approach. Dalam Lickona, T. (editor). Moral Development and Behavior: Theory, Research, and Social Issues, hlm. 31-53. New York: Holt, Rinehart & Winston. Lickona, T. 1976. Critical Issues in the Study on Moral Development and Behavior. Dalam Lickona, T. (editor). Moral Development and Behavior: Theory, Research, and Social Issues, hlm. 3-27. New York: Holt, Rinehart & Winston. Matsumoto, D. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Terjemahan A. Aditomo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Murad, Abdul & Asih Menanti. 2007. Tingkat dan Tahap Pertimbangan Moral Siswa SMAN IV Medan. Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan, volume 13, edisi Khusus, hlm. 138-147. Medan: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan. Reimer , J., D. P. Paolitto, R. H. Hersh. 1983. Promoting Moral Growth: From Piaget to Kohlberg. Second Edition. New York: Longman Inc. Rest, J. R. 1979. Revised Manual for The defining Issues Test: An Objective Test of Moral Judgment Development. Minneapolis: Minnesota Moral Research Projects. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.