Manusia Moralitas dan Hukum Manusia sebagai makhluk social dan berbudaya pada dasarnya dipengaruhi oleh nilai-nilai kemanusiaan. Nilai tersebut berupa: etika yang erat hubungannya dengan moralitas, maupun estetika yang berhubungan dengan keindahan. Dalam realitas sosial, pengembangan supremasi hukum sangat tergantung pada empat komponen, yaitu (a) materi hukum, (b) sarana prasarana hukum, (c) aparatur hukum, dan (sd) budaya hukum masyarakat. Tatkala terjadi dilema antara materi hukum, konflik diantara penegak hukum, kurangnya sarana dan prasarana hukum, serta rendahnya budaya hukum masyarakat, maka setiap orang (masyarakat dan aparatur hukum) harus mengembalikan pada rasa keadilan hukum masyarakat, artinya harus mengutamakan moralitas masyarakat. Demikian pula dalam pengembangan estetika yang akan menjadi wujud budaya masyarakat sangat mungkin terjadi dilema dan benturan dengan nilai etika. • Hukum tidak dapat dipisahkan dari aspek moral. bila hukum belum ada secara kongkrit yang mengatur, dan moralitas telah menuntut ditransformasikan, maka moralitas haruslah diutamakan. Kebebasan berekpresi tidak boleh bertentangan dengan moralitas, karena negara kita berfalsafahkan pancasila yang memuat nilai religious, yakni moralitas. • Sebagaimana telah maklum bahwa negara kita adalah negara hukum. Artinya segalanya harus ditundukkan di bawah hukum, tanpa ada diskriminasi. Akan tetapi hukum bukanlah segala-galanya. Hukum bukanlah suatu tujuan. Hukum itu sendiri diciptakan bukanlah sematamata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu untuk mencapai tujuan yang luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. • Hukum kita adalah produk warisan kolonial. Hukum kita masih tergategorikan legal positivism tidak banyak legal realism. • Betapa tidak!, realitanya hukum sendiri belum banyak memenuhi tujuan tersebut. Hukum sendiri --sebagaimana dinyatakan oleh H.L.A. Hart dalam bukunya General Theory of Law and State, 1965-sebenarnya harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. • Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral (Jeffrie Murphy dan Jules Coelman, The Philosophy of Law, 1984). Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya ketimuran yang berbeda dengan bangsa Barat. Bangsa kita sangat menjunjung tinggi moralitas bangsa. • Dalam kekaisaran Roma terdapat suatu pepatah, Quid leges sine moribus?'' "Apa artinya undang-undang, jika tidak disertai moralitas?'' Hukum dapat memiliki kekuatan, jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum tampak kosong dan hampa • Untuk itu, suatu keputusan pengadilan dalam lingkup hukum, karena keadilan merupakan dasar hukumnya, harus benarbenar dipertimbangkan dari sudut moralnya, dalam hal ini rasa keadilan masyarakat. Sebab, sesuatu yang menyangkut hukum dan keadilan memiliki dampak moralitas yang sangat luas bagi masyarakat bangsa. • Apabila suatu keputusan pengadilan dibuat tanpa mempertimbangkan aspek moral, pengadilan tersebut dapat dinyatakan sebagai pengadilan yang terisolasi. Pengadilan yang terisolasi itu juga dinyatakan dalam ungkapan pengadilan sebagai corong undang-undang tidak lebih tidak kurang. Memang semangat liberal dan legalisme-positivistik yang sangat kuat di masa lampau telah memberikan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan berada. • Isolasi tersebut yang oleh Satjipto Rahardjo dinyatakan mengundang asosiasi arah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship). Oleh karena ia memutus perkara semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika dan hati nurani masyarakat. Itulah sebabnya secara sosiologis pengadilan atau sesuatu yang menyangkut keputusan pengadilan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat dan semakin dibenci dan dimusuhi.