POLITIK PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA: Studi Terhadap Kebijakan Moratorium Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah POLITIK PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA: Studi Terhadap Kebijakan Moratorium Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia Penulis: Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Desain Kover: ____________ Tata Letak: Maryono Ahmad Cetakan I, September 2013 Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia: Studi Terhadap Kebijakan Moratorium Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia Mochamad Alvin Dwiana Qabulsyah ISBN: _____________________ Jakarta, Departemen Ilmu Politik x + 224 hlm; 140 x 205 mm Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ~ ii ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia DAFTAR ISI DAFTAR ISI ___ iii KATA PENGANTAR ___ vi DAFTAR SKEMA DAN TABEL ___ ix BAB I PENDAHULUAN ___ 1 1. Latar Belakang: Dinamika Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Malaysia ___ 1 2. Rumusan Masalah Penelitian dan Pembatasan Objek Kajian ___ 9 3. Tujuan dan Manfaat Kajian ___ 11 4. Sistematika Penulisan ___ 13 BAB II KERANGKA ALUR BERPIKIR DAN METODE PENELITIAN ___ 17 1. Kerangka Alur Berpikir ___ 17 2. Pendekatan dan Tipe Penelitian ___ 18 3. Kerangka Hipotesa Kerja ___ 20 4. Teknik Pengumpulan Data dan Strategi Validasi Data Kualitatif ___ 22 BAB III KAJIAN LITERATUR DAN KERANGKA KONSEPTUAL ___ 25 1. Kajian Literatur terkait Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ___ 25 2. Konsep Migrasi Global dan Interdependensi Ketenaga-kerjaan Antarnegara ___ 30 3. Teori Proses Pembuatan Kebijakan ___ 33 4. Konsep Politik Luar Negeri, Diplomasi dan Kapabilitas Negara ___36 BAB IV GAMBARAN ARUS MIGRASI PEKERJA MIGRAN INDONESIA KE MALAYSIA ___41 1. Kebijakan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri ___44 ~ iii ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah 2. 3. 4. Malaysia sebagai Negara Tujuan Pekerja Migran Indonesia ___ 51 Pasang Surut Arus Migrasi Indonesia Malaysia ___ 55 Industrialisasi dan Kebutuhan Malaysia akan Pekerja Sektor Domestik ___ 64 BAB V KONDISI UMUM PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK ___ 67 1. Profil Pekerja Migran Indonesia di Sektor Domestik ___ 67 2. Kerentanan Aspek Perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ___ 71 3. Kekosongan Perlindungan Hukum di Negara Tujuan Penempatan bagi Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ___ 74 BAB 1. 2. 3. 4. 5. 6. VI KRONOLOGISASI PEMBERLAKUAN KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK KE MALAYSIA TAHUN 2009-2011 __ 77 Pemberlakuan Moratorium Penempatan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia dan Respon Awal Pemerintah Malaysia ___ 77 Pertemuan-Pertemuan Awal Indonesia dan Malaysia Terkait Amandemen Memorandum of Understanding (MoU) Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia ___ 79 Dinamika Negosiasi Pemerintah Indonesia dan Malaysia: Negosiasi Alot Seputar Standar Upah Minimum serta Penyesuaian Biaya Rekrutmen dan Penempatan (Cost Structure) ___ 82 Perumusan Akhir Revisi MoU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia ___ 88 Penandatanganan Protokol Amandemen MoU Indonesia-Malaysia tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia ___ 90 Pencabutan Moratorium dan Rencana Penempatan Kembali Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia ___ 96 BAB VII POLITIK PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK DI MALAYSIA MELALUI KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN ___ 103 1. Politik Migrasi Tenaga Kerja Indonesia: Tinjauan tentang Kebijakan Moratorium Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia ___ 104 ~ iv ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia 2. 3. 4. Migrasi Global: Interdependensi Ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia ___ 107 Konteks Permasalahan yang Kerap Menimpa Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia ___ 114 a. Permasalahan di Tahap Pra-Penempatan ___ 117 b. Permasalahan di Tahap Penempatan ___ 120 c. Permasalahan di Tahap Purna-Penempatan dan Upaya Penyelesaian Permasalahan ___ 122 Formasi Kepentingan dalam Kebijakan Moratorium Penempatan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia ___ 126 BAB VIII PROPOSAL AMANDEMEN MOU PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK DI MALAYSIA ___ 137 1. Kewajiban Paspor Berada di Tangan Pekerja Migran Indonesia ___ 140 2. Pekerja Migran Indonesia Berhak atas 1 (Satu) Hari Libur dalam Seminggu ___ 143 3. Revisi Biaya Penempatan (Cost Structure) Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia ___ 148 4. Penetapan Standar Gaji dan Pembayaran Gaji Melalui Rekening ___ 152 5. Pembentukan Joint Task Force antara Indonesia dan Malaysia ___ 158 BAB IX KESIMPULAN DAN REKOMENDASI: KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN SEBAGAI TITIK BARU POLITIK PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA DI LUAR NEGERI? ___ 163 BIBLIOGRAFI ___ 173 LAMPIRAN-LAMPIRAN ___ 187 TENTANG PENULIS ___ 214 INDEKS ___ 221 ~v~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah KATA PENGANTAR Penelitian ini beranjak pada ketertarikan penulis terhadap isu-isu terkait migrasi transnasional, termasuk didalamnya migrasi pekerja antar negara. Dalam beberapa literatur, tersebutkan Indonesia sebagai salah satu negara asal pekerja migran yang utama di dunia, terutama di wilayah Asia Pasifik. Pekerja migran Indonesia umumnya berkualifikasi kecakapan rendah, sehingga lebih banyak bekerja di sektor yang tergolong 3D (dirty, dangerous, and demeaning), semisal sektor konstruksi, manufaktur, perkebunan, hingga sektor domestik sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT). Sektor yang disebut terakhir inilah yang paling rentan mengalami permasalahan di negara tujuan penempatan, karena umumnya terdapat kekosongan kerangka perlindungan hukum bagi pekerja sektor domestik di negara-negara tujuan penempatan dalam hukum ketenagakerjaan nasionalnya, hingga akhirnya penulis merasakan signifikansi untuk mengkaji upaya-upaya perlindungan ketenagakerjaan untuk pekerja migran pada sektor domestik. Buku ini adalah karya akademik perdana penulis terkait isu migrasi buruh transnasional yang diterbitkan dari skripsi penulis pada Program Sarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, dan tentu adalah sebuah kebahagiaan pada akhirnya karya ini dapat dirampungkan. Politik perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri dapat diselenggarakan dalam berbagai daya upaya, dan kebijakan moratorium penempatan pekerja migran yang menjadi unit analisa dalam buku ini adalah salah satu instrumennya. Proses penyusunan dan penulisan skripsi ~ vi ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ini berlangsung selama kurang lebih 18 bulan, dan dalam prosesnya penulis banyak memperoleh dukungan dan bantuan dari banyak sekali pihak. Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada: Orang tua terkasih, Wawan Gunawan dan Lina Herlina, yang sedemikian sabar memberikan waktu bagi anak lelakinya untuk bertualang di dunia kemahasiswaan, serta membiarkannya teguh pada skripsi idealnya yang memerlukan tempo waktu panjang. Penulis pun menghaturkan peluk hangat bagi Kakak dan Adik tercinta, Oktiani Pratiwi, Handi Pranoto dan Ghia Tri Jayanti yang maklum dengan saudara lelakinya yang sedemikian lama berulang-alik dengan kampung halamannya. Secara khusus, penulis sampaikan terima kasih tak terhingga kepada Anggia Utami Dewi, yang atas kehadirannya, skripsi ini dapat terus menjadi, terima kasih untuk kesabaran dan perhatiannya selama proses penulisan ini. Saya sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Valina Singka Subekti beserta seluruh jajaran Departemen Ilmu Politik FISIP UI, secara khusus aya sampaikan terima kasih kepada Ketua Program Sarjana Reguler Ilmu Politik FISIP UI, Hurriyah, S.IP, IMAS, beserta Sekretaris Program Dirga Ardiansa, S.Sos, M.Si., yang amat membantu proses pengajuan skripsi ini hingga pada proses akhir direngkuhnya gelar Sarjana Ilmu Politik. Juga kepada Ikhsan Darmawan, S.Sos, M.Si. yang mendukung pengajuan skripsi penulis untuk diterbitkan menjadi buku. Pembimbing skripsi Samuel Gultom, S.IP, MA, yang sedemikian intens dalam memberikan masukan, dan evaluasi dalam menjaga koherensi dan komprehensi skripsi ini hingga akhir rampungnya. Penguji ahli Dr. Cosmas Batubara yang memberikan banyak pandangannya tentang masa depan signifikansi perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri pada masa sidang skripsi. Terima kasih juga saya sampaikan kepada para narasumber dari Kemenakertrans RI, BNP2TKI, Kemenlu RI, Apjati serta ~ vii ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Migrant Care yang telah bersedia meluangkan waktunya dan berbagi informasi dalam proses penyusunan skripsi ini. Seluruh Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI atas segala wawasan, ilmu dan diskusinya dalam membangun nalar intelektual. Secara khusus penulis sampaikan terima kasih kepada Dra. Nuri Soeseno, MA dan Drs. Nur Iman Soebono, M. Hum. yang atas kuliah dan diskusinya membangun cara pandang dan kedewasaan tersendiri bagi pembangunan karakter penulis secara pribadi. Rekan-rekan seangkatan di Ilmu Politik FISIP UI 2008, Irham Pradipta Fadli, Adithia Ramadhan, Beringin ASAK, Dicky Kurniady, Hanif Rizky, Dana Agriawan, Diba Batari, dan rekan-rekan yang lain, terima kasih atas kebersamaannya selama masa perkuliahan, dan semoga kita diberikan jalan yang terbaik dalam mempertanggungjawabkan kesarjanaan yang telah kita raih. Rekan-rekan Alumni, Senior, dan Junior di FISIP UI, terima kasih atas inspirasi, pertemanan, dan gelak tawa selama berada di rumah besar bernama FISIP UI, semoga kelak dan lekas kita berjumpa lagi. Sebuah harapan besar bahwa buku ini dapat membuka sebuah kesadaran bahwa perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri akan segera menjadi isu yang semakin krusial di masa depan, saat sekat-sekat negara bangsa semakin cair dan mobilitas manusia akan semakin lesat dengan perkembangan teknologi dan moda transportasi yang ada. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan dalam proses penulisan dan penulisan buku ini, atas berkat Rahmat Tuhan yang Maha Bijaksana, penulis persembahkan buku ini bagi masyarakat Indonesia, almamater Universitas Indonesia, dan kemanusiaan. Bandung, September 2013 Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ viii ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia DAFTAR SKEMA DAN TABEL Tabel I.1 Skema II.1 Tabel III.1 Tabel IV.1 Tabel IV.2 Tabel IV.3 Tabel IV.4 Tabel IV.5 Tabel V.1 Tabel V.2 Tabel VI.1 Tabel VII.1 Penempatan TKI di Asia Pasifik menurut Negara Penempatan (2004-2009) ___ 2 Kerangka Alur Berpikir ___ 19 Proses Pembuatan Kebijakan menurut James Anderson ___ 35 Jumlah Pekerja Migran Indonesia pada masa Repelita I - Repelita VI ___ 42 Kebijakan Pemerintah terkait Penempatan dan Perlindungan Migrasi Tenaga Kerja (1966-2004) ___ 48 Kebijakan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terhadapPenempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ___ 50 Perbandingan Kondisi Ekonomi Indonesia dan Malaysia ___ 53 Sektor-sektor dimana Pekerja Migran Indonesia Bekerja di Malaysia ___ 54 Jumlah Penempatan TKI di Luar Negeri Berdasarkan Gender (1969-2011) ___ 69 Lokasi-lokasi TKI Sektor Domestik mengalami Kerentanan Perlindungan ___ 72 Tahapan Penempatan Kembali TKI Sektor Domestik ke Malaysia Pasca Moratorium ___ 101 Kerjasama Bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia terkait Ketenagakerjaan Lintas Negara (1984-2006) ___ 106 ~ ix ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Tabel VII.2 Kasus TKI yang Ditampung dan Ditangani oleh Perwakilan RI di Malaysia ___ 117 Tabel VII.3 Rincian Kasus di Shelter KBRI Kuala Lumpur pada Tahun 2010 ___ 121 Tabel VII.4 Persentase Penyelesaian Kasus Menyangkut TKI Tahun 2010 ___ 125 Tabel VIII.1 Laju Standar Gaji TKI di Beberapa Sektor Pekerjaan di Malaysia ___ 156 Tabel VIII.2 Indeks Keperluan Hidup Minimum TKI di Wilayah Kuala Lumpur dan Sekitarnya ___ 157 ~x~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia BAB I PENDAHULUAN Hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia dalam tiga dekade terakhir telah menjadi sebuah isu penting dalam hubungan kedua negara tersebut. Ketergantungan Malaysia terhadap tenaga kerja asing dalam perekonomian dan pembangunan nasionalnya terutama dalam sektor konstruksi dan jasa telah menjadi sebuah peluang tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang kerap kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan di tanah airnya. Namun, hubungan ketenagakerjaan ini tidak berjalan lancar dalam perjalanannya. Masalah-masalah menyangkut kondisi kerja yang tidak layak dan perlakuan sewenang-wenang majikan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terus mengiringi perjalanan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia. Pemberitaan mengenai berbagai perlakuan sewenang-wenang yang diterima TKI di negara tujuan penempatan, terutama Malaysia dan Arab Saudi tak henti mencuat di media massa. Kasus demi kasus penganiayaan terhadap pekerja migran Indonesia menjadikan fenomena ini mengemuka sebagai isu nasional selama satu dekade terakhir. Pertanyaan yang muncul atas fenomena ini adalah sejauh apa peran Pemerintah Indonesia dalam usaha mereduksi kasus-kasus permasalahan yang dihadapi oleh TKI. ~1~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah 1. Latar Belakang: Dinamika Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Malaysia Relasi antara Indonesia dan Malaysia dalam pengiriman tenaga kerja ini telah berlangsung sejak masa kolonial, dengan dikirimnya buruh perkebunan dari Jawa untuk lahan-lahan perkebunan kolonial Inggris di Malaysia. Malaysia adalah tujuan utama penempatan TKI di wilayah Asia Pasifik; Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tahun 2010 menunjukkan data penempatan TKI di kawasan Asia Pasifik sebagai berikut:1 Tabel I.1 Penempatan TKI di Asia Pasifik menurut Negara Penempatan (2004-2009)* Negara Malaysia Singapura Brunei D. Hong Kong Taiwan Korea Selatan Jepang 2004 127.175 9.131 6.503 14.183 969 2.924 2005 201.887 25.087 4.978 12.143 48.576 4.506 2006 270.009 9.075 2.780 13.613 28.090 3.100 2007 222.198 37.496 5.852 29.973 50.810 3.830 2008 257.701 21.867 4.967 30.207 62.433 13.546 2009 123.886 33.077 4.785 32.417 59.335 1.890 Jumlah 1.202.955 135.733 29.865 132.536 250.213 29.796 85 102 21 96 333 362 999 Sumber: Pusat Penelitian Pengembangan dan Sistem Informasi BNP2TKI,2010. *Data tahun 2010 belum terangkum dalam buku yang ada Alasan-alasan utama yang dapat menjelaskan posisi Malaysia sebagai salah satu tujuan utama TKI adalah kedekatan geografis dan budayanya.2 Hal ini memungkinkan pula jumlah 1 Berdasarkan Data Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri Periode 2004-2009, Sekretariat Utama Pusat Penelitian Pengembangan dan Sistem Informasi BNP2TKI, 2010, sebagaimana dikutip oleh Ana Sabhana Azmy, Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hlm. 4. 2 Dewi Anggraeni, Dreamseekers: Indonesian Women as Domestic Workers in ~2~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia TKI yang faktual berada di Malaysia melebihi jumlah yang tercatat di lembaga resmi Pemerintah, mengingat adanya peluang bagi calon TKI untuk memasuki pasar kerja Malaysia melalui jalur yang tidak resmi dikarenakan kedekatan geografis tersebut. Secara umum, alasan-alasan TKI untuk bermigrasi adalah himpitan ekonomi di Indonesia dan peluang bekerja yang luas di berbagai sektor perekonomian Malaysia termasuk di dalamnya sektor konstruksi, perkebunan, pertanian, jasa, dan juga sektor domestik sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT).3 TKI perempuan yang bekerja di sektor domestik Malaysia adalah TKI yang kerap menjadi korban perlakuan sewenangwenang baik oleh majikan maupun oleh aparat Pemerintah Malaysia. Perempuan buruh migran yang bekerja sebagai PLRT di Malaysia tidak diakui sebagai pekerja, karena PLRT tidak termasuk kategori buruh dalam hukum perburuhan di Malaysia.4 Situasi ini juga diperparah dengan maraknya kasus TKI tak berdokumen di Malaysia. Hal ini membuat TKI memiliki posisi tersudut dalam industri tenaga kerja di Malaysia. Migrant Care, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan buruh migran mencatat, bahwa pada tahun 2011 sebanyak 14.074 TKI tidak mendapatkan upah dari majikannya.5 Tercatat pula 3.070 TKI mendapatkan penganiayaan fisik, dimana 1.234 mengalami pelecehan seksual dan sekitar 1.203 TKI meninggal di perantauan.6 Selain itu, sebanyak 417 TKI menghadapi ancaman hukuman mati atas dakwaan pelanggaran hukum yang dilaporkan majikannya. Kedatangan TKI ke Malaysia tidak dapat dilepaskan dari diterapkannya “Kebijakan Ekonomi Baru” (New Economic Policy/NEP) oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 1971. Kebijakan tersebut memacu ekspansi industri di Malaysia, terutama sektor 3 4 5 6 Asia, (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), hlm 127. Komnas Perempuan, Op.cit., hlm.3. Ibid., hlm.4. The Jakarta Post, Selasa, 20 Desember 2011, hlm. 4. Ibid. ~3~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah manufaktur yang kemudian diikuti oleh penambahan kesempatan kerja di sektor perdagangan, jasa dan birokrasi pemerintahan yang hampir seluruhnya terpusat di daerah perkotaan.7 Kesempatan bekerja di Malaysia ini menjadi sebuah jalan keluar bagi sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia, akibatnya adalah semakin banyaknya jumlah TKI di Malaysia, temasuk juga TKI yang tidak berdokumen.8 Jumlah TKI (termasuk TKI tidak berdokumen) yang meningkat secara drastis tersebut mulai menarik perhatian masyarakat umum di Malaysia pada dekade 1980-an. Pada dekade tersebut, Malaysia terkena dampak resesi ekonomi dunia akibat krisis minyak dan melonjaknya harga kebutuhan barangbarang primer. Pertumbuhan manufaktur yang dijadikan andalan program NEP mulai mengalami penurunan keuntungan, sehingga banyak industri di Malaysia menghentikan produksinya dan menyebabkan peningkatan angka pengangguran. Keadaan ini menyebabkan penduduk Malaysia dan TKI (khususnya TKI tidak berdokumen) mulai bersinggungan dan berkompetisi secara langsung dalam pasar tenaga kerja. Masalah TKI ini mulai muncul ke permukaan dan menimbulkan dampak dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Malaysia.9 Masalah yang ditimbulkan oleh TKI, khususnya TKI yang termasuk kategori tidak berdokumen membuat pemerintah 7 Simela Victor Muhamad dan Adirini Pujayanti (ed.), “Migrasi TKI ke Malaysia” dalam Poltak Partogi Nainggolan, TKI dan Hubungan Indonesia-Malaysia, (Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005), hlm. 10. 8 Secara sederhana, buruh migran tak berdokumen dapat dipahami sebagai pekerja yang melakukan migrasi dengan tidak dilengkapi dokumen-dokumen yang absah, sebagaimana ketentuan yang berlaku baik dalam sistem hukum sebuah negara ataupun kesepakatan internasional. Buruh migran tak berdokumen ini seringkali diasosiasikan dengan clandestine migration atau migran sebagai pendatang asing yang illegal. Sidang Umum PBB Resolusi 3449 tanggal 9 Desember 1975 merekomendasikan untuk tidak menyebutnya “ilegal”, namun dengan sebutan “buruh migran tak berdokumen” (undocumented migrant) atau “migrasi dalam situasi tak biasa” (irregular migration). Pengertian ini dimaksudkan untuk menghindari kriminilisasi terhadap buruh migran ketika menyebutnya “illegal”. (lihat Komnas Perempuan, Op.cit. hlm.5). 9 Ibid., hlm. 13. ~4~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Malaysia melakukan serangkaian langkah-langkah penanggulangan, baik yang bersifat kooperatif maupun koersif. Langkah kooperatif dilakukan pada tahun 1984, dengan ditandatanganinya Medan Agreement antara Pemerintah Republik Indonesia, yang diwakili oleh Menteri Tenaga Kerja Sudomo, dengan Wakil Perdana Menteri/Menteri Dalam Negeri Malaysia, Datuk Musa Hitam.10 Namun, klausa perekrutan tenaga kerja pada perjanjian ini dirasakan terlalu berbelit-belit dan mahal oleh kedua belah pihak, sehingga dianggap tidak berhasil menjadi jalan keluar pengentasan maraknya TKI tidak berdokumen. Setelah kegagalan ini, diterapkanlah kebijakan amnesti oleh pemerintah Malaysia. Secara teknis, kebijakan ini memerintahkan para pengusaha Malaysia yang mempekerjakan TKI tidak berdokumen untuk segera mendaftarkan para pekerjanya tersebut ke Kedutaan Besar Republik Indonesia. Setelah masa amnesti berakhir, tindakan represif mulai dilakukan, Polisi Malaysia bergerilya menangkapi para tenaga kerja Indonesia yang tidak berdokumen. Pada waktu itu, tercatat 12.582 tenaga kerja Indonesia dideportasi dari Malaysia. Tahun 1992 kebijakan pengendalian pekerja migran kembali diketatkan oleh Pemerintah Malaysia dengan operasi militer yang disebut Ops Nyah I dan II. Pada waktu itu, sekitar 40.000 tenaga kerja Indonesia dideportasi dan 1.000 lainnya dipenjara.11 Peristiwa deportasi selanjutnya yang luar biasa menyita perhatian adalah saat sekitar 550.00 TKI dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 2002 pasca pemberlakuan undang-undang imigrasi baru di Malaysia. Undang-undang yang bertajuk Akta Imigresen Nomor A-1154 Tahun 2002 ini adalah pengganti Akta Imigresen Nomor 63 Tahun 1959. 12 Dalam undang-undang baru ini, tenaga kerja asing yang kedapatan tidak memiliki dokumen yang 10 Ibid., hlm. 14. 11 Komnas Perempuan, Op.cit., hlm. 52. 12 Achmad Sujudi et.al, Menyelamatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Nunukan. (Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2004), hlm. 4. ~5~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah sah akan ditangkap dan dihukum. Banyaknya TKI yang kedapatan tidak berdokumen lengkap akhirnya menjadi korban dalam kasus ini dan kemudian menumpuk di penampungan sementara Nunukan, Kalimantan Timur. Kebijakan pemulangan paksa atau deportasi oleh pemerintah Malaysia terhadap TKI tidak berdokumen seakan-akan selalu menyertai perjanjian bilateral ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia. Setelah peristiwa tersebut, elit-elit politik di kedua negara saling melontarkan kecaman, yang kemudian memicu insiden pembakaran bendera Malaysia di Jakarta. Malaysia membalas secara reaktif dengan mengeluarkan travel warning bagi warga negaranya yang akan bepergian ke Indonesia. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu titik terburuk dalam hubungan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia yang telah terjalin berpuluh-puluh tahun lamanya. Sejak saat itu, hubungan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia mengalami pasang surut yang lebih besar. Pada tahun 2002 pernah ada upaya dari kedua negara untuk memperbaiki hubungan ketenagakerjaan dengan ditandatanganinya MoU (Memorandum of Understanding/Nota Kesepahaman) mengenai penempatan TKI antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia. Di dalam MoU tersebut telah diatur sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan penempatan TKI di Malaysia. Namun dalam prakteknya di lapangan kemudian, ternyata masih banyak dijumpai pelanggaran atau pun penyimpangan prosedur, bahkan keberadaan TKI tidak berdokumen di Malaysia cenderung meningkat.13 Selepas deportasi massal yang terjadi pada tahun 2002 dan 2004 di atas, kasus demi kasus penganiayaan terhadap TKI terus mencuat ke permukaan dan menjadi isu nasional dalam satu dekade terakhir. Beberapa potret kasus kekerasan yang terjadi pada buruh migran perempuan Indonesia sektor domestik yang bekerja di Malaysia, dapat dilihat secara jelas mulai dari tahun 13 Simela Victor, Op.cit., hlm. 17. ~6~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia 2004 bulan Mei, di mana media massa gencar memberitakan tentang penganiayaan yang dialami Nirmala Bonat, seorang penata laksana rumah tangga (PLRT) migran yang bekerja di Malaysia. Ia mengalami penyiksaan dari majikannya berupa penyiraman air panas, bekas setrika pada badannya, pemukulan kepala dengan gantungan baju oleh majikannya, dan pemukulan cawan pada kepala Nirmala Bonat.14 Selain Nirmala Bonat, tindak kekerasan juga dialami oleh Ceriyati pada tahun 2007 dan Siti Hajar di tahun 2009. Keduanya PLRT migran yang bekerja di Malaysia. Siti Hajar disiksa oleh majikan dengan menggunakan air panas, martil, dan gunting. Ceriyati mengalami pemukulan dan pelarangan ibadah oleh majikannya. Selain itu, ia juga tidak mendapatkan gaji selama bekerja empat setengah bulan di rumah majikannya. Meski demikian, bukan berarti bahwa kejadian penganiayaan terhadap buruh migran perempuan Indonesia baru terjadi tahun 2004. Tentu sudah banyak terjadi penganiayaan, namun tidak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Kasus tindak kekerasan terhadap buruh migran perempuan menjadi pembicaraan khalayak dan mulai terekspos secara ramai di media massa mulai tahun 2004, karena pada tahun itulah Pemerintah yang terus mendapat tekanan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perlindungan buruh migran akhirnya merespon dengan disahkannya Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Adapun Undang-undang tersebut masih menuai penolakan dari LSM semisal Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Buruh Migran (KOPBUMI).15 Beberapa poin penolakan beranjak dari penilaian bahwa proses perundangan terasa terburu-buru serta bermasalahnya beberapa substansi dalam UU ini, yang terdiri atas: (1) Tidak 14 Ana Sabhana, Op.cit., hlm. 7 15 Lembar Info Komnas Perempuan, Vol.I, April 2006. ~7~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah cukup melindungi hak buruh migran; (2) Mengabaikan persoalan khas TKI penata laksana rumah tangga (TKI-PLRT) dan buruh migran tak berdokumen; (3) Mengandung sejumlah inkonsistensi dalam pasal-pasalnya dan (4) Memberi ruang bagi tumbuh suburnya praktek-praktek perdagangan manusia dalam pengiriman buruh migran.16 Dengan masih adanya penolakan terhadap Undang-undang dan masih mencuatnya berbagai kasus maka diperlukan instrumen perlindungan lain bagi TKI, khususnya yang bekerja di sektor domestik. Dalam upaya meningkatkan perlindungan dan pelayanan Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di masa Erman Suparno membentuk tim negosiator yang membahas kembali MoU penempatan TKI (Tenaga Kerja Luar Negeri) ke Malaysia. Pembahasan kembali MoU ini kemudian berujung pada kebijakan moratorium atau penghentian sementara penempatan TKI sektor penatalaksana rumah tangga (domestic worker) ke Malaysia sejak 26 Juni 2009 yang dimaksudkan agar kedua negara melakukan pembenahan dalam mekanisme penempatan serta perlindungan buruh migran. Pada dasarnya di balik penetapan kebijakan ini adalah pada MoU tahun 2006 yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia. Moratorium yang kemudian dicabut pada awal Desember 2011, memberikan sebuah titik baru relasi ketenagakerjaan Indonesia dengan Malaysia, dengan masuknya beberapa klausa yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia dalam perjanjian perlindungan TKI semisal paspor yang dipegang TKI, dari sebelumnya dipegang oleh majikan sebagaimana diatur dalam MoU sebelumnya. Pembahasan MoU ini berlangsung alot mengingat rencana awal pemberlakuan moratorium yang hanya satu setengah bulan kemudian terus berlanjut hingga hampir dua tahun saat moratorium ini kemudian dicabut dan diadakan persiapan penempatan kembali TKI sektor domestik ke Malaysia. 16 Ibid. ~8~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia 2. Rumusan Masalah Penelitian dan Pembatasan Objek Kajian Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium ini dalam rangka memberikan respon terhadap maraknya kasuskasus pelanggaran hukum dan kontrak kerja yang menimpa TKI sektor domestik di Malaysia. Diharapkan dengan adanya moratorium ini, kedua negara akan membenahi sistem perekrutan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia, salah satunya melalui pembaharuan perjanjian bilateral. Pemerintah Indonesia yang memiliki keuntungan ekonomi dengan penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia yang telah berlangsung selama puluhan tahun, tentu akan mengalami kemungkinan konsekuensi ekonomi dengan dicanangkannya moratorium ini, semisal kehilangan remitansi ataupun pemasukan negara dari keseluruhan proses perekrutan hingga kepulangan para TKI sektor domestik ke Malaysia. Moratorium ini juga membawa Pemerintah Indonesia menghadapi kemungkinan pemerintah Malaysia akan mencari negara alternatif pengirim tenaga kerja sektor domestik yang lain, sehingga dapat mengganggu hubungan ketenagakerjaan yang selama ini telah terjalin. Moratorium ini juga membuka kemungkinan meningkatkan jumlah TKI tidak berdokumen di Malaysia, menyangkut banyaknya permintaan TKI sektor domestik dari publik Malaysia, dan banyaknya calon TKI sektor domestik yang siap berangkat dari Indonesia, sehingga terbuka pula kemungkinan para calon TKI ini akan tetap berangkat melalui jalur tak resmi, yang kemudian berujung pada status TKI yang menjadi tidak berdokumen. Moratorium ini tentu tidak hanya melibatkan Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebagai aktor-aktor utama dalam isu ini, tapi juga membawa konsekuensi kepada pihak-pihak yang turut serta dalam urusan ketenagakerjaan lintas negara ini, semisal para pengusaha penyalur jasa tenaga kerja Indonesia, ~9~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ataupun lembaga swadaya masyarakat yang selama ini memberikan perhatian terhadap kondisi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Pihak-pihak non-negara ini tentu juga akan menerima dampak dari moratorium ini dan akhirnya memiliki pandangan mengenai moratorium sebagai salah satu instrumen negara dalam membenahi perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Moratorium penempatan TKI sektor domestik ini tidak hanya berlaku di Malaysia, melainkan juga ke beberapa negara tujuan utama TKI yang lain, yaitu Kuwait, Arab Saudi, Yordania dan Suriah. Kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini menjadi menarik, karena di wilayah Asia Pasifik hanya Malaysia yang dikenakan kebijakan ini. Hal ini juga berkaitan dengan posisi Malaysia sebagai negara dengan angka penempatan TKI sektor domestik yang tertinggi, juga dengan angka permasalahan terkait TKI sektor domestik yang tertinggi di wilayah ini. Selain daripada itu, dibandingkan negara-negara tujuan lain yang dikenakan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik, Malaysia adalah satu-satunya negara yang telah memiliki kerjasama bilateral ketenagakerjaan dengan Indonesia yang spesifik mengatur proses penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah penelitian di atas, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi alasanalasan, dan kondisi-kondisi mengapa dan bagaimana upaya Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium ini dengan tujuan meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dengan segala konsekuensi yang dihadapi, dengan melibatkan pula pandangan dari aktor-aktor non-pemerintah. Oleh karena itu peneliti mengangkat dua pertanyaan penelitian pada rumusan masalah ini, yaitu: a. “Mengapa Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ~ 10 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia tahun 2009-2011? Kondisi-kondisi bagaimanakah yang mempengaruhi proses pemberlakuan kebijakan moratorium tersebut?” b. “Bagaimana upaya Pemerintah Indonesia meningkatkan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri melalui kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011?” Batasan masalah yang akan dilihat adalah politik perlin0 dungan di negara tujuan penempatan, dalam hal ini politik perlindungan melalui mekanisme kerjasama ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia dan Malaysia yang memang lebih mengatur proses perlindungan pekerja migran Indonesia saat berada dalam fase penempatan di Malaysia. Selain daripada itu, politik perlindungan yang akan diteliti dibatasi pada kebijakan Negara sebagai unit analisanya, dan bukan politik secara umum, hal ini mengingat bahwa politik perlindungan juga dapat digerakkan oleh aktor-aktor non-Negara melalui ranah diluar kebijakan Negara. Adapun pemilihan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kerangka periodisasi analisa, dilandaskan pada kondisi bahwa kebijakan moratorium ini diberlakukan pada masa pemerintahan tersebut, selain juga beberapa kebijakan perlindungan terkait pekerja migran Indonesia banyak dikeluarkan pada masa pemerintahan tersebut. 3. Tujuan dan Manfaat Kajian Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan proses moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011 sebagai upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, serta mengidentifikasi dan menganalisa alasan, formasi kepentingan dan kondisi-kondisi yang mendorong Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan tersebut, dengan fokus mengkaji watak politik dari kebijakan ini. ~ 11 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Tujuan umum tersebut teruraikan dalam tiga tujuan inti berikut, yaitu: Pertama, menggambarkan latar belakang bagaimana hubungan ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia dan Malaysia dapat terjalin, serta kerentanan TKI sektor domestik dalam hubungan ketenagakerjaan tersebut. Kedua, menggambarkan proses moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia mulai dari pemberlakuan hingga pencabutan kebijakan moratorium tersebut (tahun 2009-2011). Ketiga, mengidentifikasi alasan, kepentingan dan kondisi-kondisi yang mendorong Pemerintah Indonesia dalam menerapkan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tersebut. Selain daripada itu penelitian ini bertujuan untuk memperbaharui kajian mengenai kebijakan perlindungan TKI terutama sekali yang berlangsung di era pasca Orde Baru serta berlandaskan pada sudut pandang negara pengirim pekerja migran. Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran besar kebijakan moratorium dalam politik migrasi tenaga kerja Indonesia sebagai salah satu instrumen dalam membenahi perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini adalah moratorium yang mengawali moratorium lain yang diterapkan Pemerintah Indonesia kepada beberapa negara tujuan penempatan TKI yang lain seperti Kuwait, Yordania dan Arab Saudi. Sehingga, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pintu awal untuk mengamati juga kebijakan moratorium yang diterapkan di negara-negara yang lain. Penelitian ini juga ditujukan untuk menambah literatur mengenai perspektif negara pengirim pekerja migran dalam hubungan ketenagakerjaan lintasnegara yang masih dirasakan amat kurang, apabila dibandingkan dengan perspektif negara tujuan penempatan/negara penerima. Dan dalam tataran praxis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk meninjau kembali instrumen moratorium pengiriman tenaga kerja migran sebagai upaya ~ 12 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia peningkatan perlindungan tenaaga kerja Indonesia di luar negeri, yang dirasakan memberi ruang baru bagi posisi tawar Indonesia dalam sebuah hubungan ketenagakerjaan dengan negara tujuan penempatan buruh migran. 4. Sistematika Penulisan Buku ini disusun daam sistematika sebagai berikut: Di bawah judul Pendahuluan, Bab I menjabarkan latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian beserta kontekstualisasi kajian dan pembatasan waktu unit analisa yang diteliti. Selain itu, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam kajian buku ini terdapat pula pada bab ini. Bab II dengan judul Kerangka Alur Berpikir dan Metode Penelitian, menggambarkan model alur berpikir untuk memudahkan pembaca memahami alur penulis dalam menyusun penelitian ini. Setelah menggambarkan alur berpikir, maka diuarikan metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam kajian buku ini, erasuk didalamnya pendekatan dan tipe penelitian, kerangka hipotesa kerja, hingga teknik pengumpulan data dan strategi validasi data ualitatif yang digunakan. Di bawah judul Kajian Literatur dan Kerangka Konseptual, Bab III mengulas kembali beberapa literatur yang digunakan penulis pada awal penelitian dalam menengarai penelitianpenelitian terkait perlindungan pekerja migran yang telah ada sebelumnya. Setelah itu, kerangka konseptual yang digunakan sebagai pisau analisis turut diterangkan secara ringkas pada bagian ini. Bab IV dengan judul Gambaran Arus Migrasi Indonesia ke Malaysia berupaya memberikan ilustrasi arus migrasi ketenagakerjaan migran Indonesia ke Malaysia, melalui pertama-tama membahas arus migrasi pekerja migran Indonesia ke luar negeri, pasang surut arus migrasi Indonesia-Malaysia, hingga pada akhirnya mengulas kondisi umum pekerja migran Indonesia sektor domestik di Malaysia. ~ 13 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Di bawah judul Kondisi Umum Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik, Bab V memberikan gambaran bagaimana kondisi pekerja migran sektor domestik dari Indonesia. Di dalamnya dibahas kaitan antara industrialisasi dengan kebuuhan akan pekerja sektor domestik, lalu profil pekerja migran Indonesia sektor domestik, hingga kerentanan aspek perlindungan bagi pekerja migran Indonesia di sektor domestik, yang salah satunya disebabkan oleh kekosongan kerangka perlindungan hukum di negara tujuan penempatan. Di bawah judul Kronologisasi Pemberlakuan Kebijakan Moratorium Penempatan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia Tahun 2009-2011, Bab VI berupaya menguraikan secara kronologi pemberlakuan kebijakan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke Malaysia pada rentang tahun 2009-2011. Mulai dari proses pemberlakuan, dinamika negosiasi erkait pembenahan nota kesepahaman terkait ketenagakerjaan sektor domestik di antara kedua negara, hingga akhirnya kebijakan moratorium dicabut dan persiapan penempatan kembali pekerja migran Indonesia sektor domestik dimulai. Bab VII dengan judul Politik Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik Melalui Kebijakan Moratorium Penempatan merupakan pemaparan analisa tentang bagaimana kebijakan moratorium penempatan ini diinisiasi dan diberlakukan. Interdependensi Ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia, serta Konteks Permasalahan yang dialami Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia dibahasa sebagai faktor pemicu kebijakan ini diinisiasi. Selain itu, formasi kepentigan para aktor pembuat kebijakan turut pula dibahas dalam Bab ini. Bab VIII dengan judul Proposal Amandemen MoU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia memaparkan analisa khusus terkait ~ 14 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia hasil proposal amandemen MoU penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia sektor domestik yang dinilai sebagai bentuk produk perlindungan dari kebijakan moratorium penempatan tenaga kerja ini. Buku ini kemudian ditutup dengan Bab IX berisikan kesimpulan dan rekomendasi yang diajukan dari penelitian ini dengan tajuk Kesimpulan dan Rekomendasi: Kebijakan Moratorium Penempatan Sebagai Titik Baru Politik Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri? [] ~ 15 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 16 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia BAB II KERANGKA ALUR BERPIKIR DAN METODE PENELITIAN 1. Kerangka Alur Berpikir Pada penelitian ini isu yang diangkat adalah politik migrasi Indonesia dalam membenahi perlindungan pekerja migran Indonesia sektor domestik di Malaysia. Isu ini dinilai signifikan untuk dikaji mengingat Indonesia memiliki kepentingan nasional terhadap isu ini dalam hal menunjukkan upaya perlindungan pekerja migran Indonesia dan juga keberlanjutan arus migrasi pekerja migran Indonesia ke Malaysia yang telah berlangsung sekian lama dan membawa keuntungan secara ekonomis dalam bentuk remitansi dan devisa. Perlunya perhatian Pemerintah Indonesia terhadap isu ini diihat dari banyaknya permasalahan yang menimpa pekerja migran Indonesia di Malaysia, serta perlunya pembaharuan nota kesepahaman antara kedua negara mengenai penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia sektor domestik di Malaysia. Kebijakan Pemerintah Indonesia yang kemudian dikaji adalah perihal kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia pada tahun 2009 hingga 2011. Fenomena migrasi global yang menyebabkan hubungan interdependensi ~ 17 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ketenagakerjaan antara kedua negara diasumsikan menjadi faktor mengapa arus migrasi koridor Indonesia-Malaysia dipertahankan hingga kebijakan penghentian bersifat moratorium dan bukan penghentian penuh. Untuk menganalisa bagaimana pembuatan dan implementasi kebijakan moratorium ini digunakan kerangka konseptual proses pembuatan kebijakan (policy-making process) serta diplomasi dan kapabilitas negara. Pada halaman berikut, digambarkan sebuah skema kerangka alur berpikir yang berisikan konsep-konsep dan rumusan masalah yang dipaparkan pada penelitian ini. Melalui konsepkonsep yang digunakan diharapkan masalah yang diangkat pada penelitian ini dapat dikaji dengan baik. Kerangka alur berpikir tersebut digunakan untuk mempermudah pemaknaan data yang didapatkan selama penelitian. 2. Pendekatan dan Tipe Penelitian Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif yang didefinisikan oleh Creswell sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibangun dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dengan sebuah latar alamiah.1 Riset kualitatif cenderung fokus pada usaha mengeksplorasi sedetail mungkin sejumlah contoh atau peristiwa yang dipandang menarik dan mencerahkan, dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang “mendalam” dan bukan “luas”.2 Penelitian kualitatif ini digunakan untuk dapat menangkap dan mengungkapkan fakta dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Data yang didapati kemudian diproses melalui analisis tematis atau generalisasi dari bukti yang didapat, sehingga menghasilkan suatu gambaran yang koheren dan konsisten 1 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (terjemahan), (Jakarta: KIK Press, 1996) hlm.169. 2 Lisa Harrison. Metodologi Penelitian Politik. (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 86. ~ 18 ~ Skema II.1 Kerangka Alur Berpikir Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 19 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah dapat disajikan.3 Penelitian kualitatif dapat melihat realitas sosial dari berbagai macam sisi. Hal ini karena realitas sosial adalah hasil dari konstruksi pemikiran dan bersifat holistik. Selain itu, penelitian kualitatif juga tidak lepas dari nilai yang dianut oleh penelitinya. Selanjutnya, pengumpulan data dalam penelitian kualitatif bersifat fleksibel karena selalu disesuaikan dengan keadaan di lapangan.4 Berdasarkan tujuannya, tipe penelitian ini termasuk deskriptif-analitis karena ingin menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana”. Dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas, penulis menggunakan studi kasus. Hal ini karena studi kasus adalah salah satu strategi untuk menjelaskan fenonemafenonema di dalam bidang psikologi, sosiologi, dan ilmu politik.5 Studi kasus sendiri memberikan manfaat dalam menginvestigasi fenonema yang bersifat kontemporer dalam kehidupan nyata, dan menjelaskan pertanyaan dalam bentuk kalimat tanya “mengapa” dan “bagaimana”.6 3. Kerangka Hipotesa Kerja Kerangka hipotesa kerja untuk menjawab pertanyaan penelitian dibangun sebagai berikut, “Kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia oleh Pemerintah Indonesia tahun 2009-2011 dilatarbelakangi oleh kondisi penempatan dan perlindungan arus migrasi koridor IndonesiaMalaysia yang ada pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, beserta berbagai kondisi-kondisi dan formasi kepentingan aktor-aktor yang menyertainya. Adapun upaya yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan 3 W. Laurence Neuman. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. (Boston: Allyn and Bacon, 2006), hlm. 145. 4 Emy Susanti, “Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar”. Di dalam Bagong Suyanto danSutinah (ed), Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 168-169. 5 Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Methods: Applied Social Research and Methods Series Volume 5. (London: Sage Publication., 1989), hlm. 1. 6 Ibid., hlm. 9 ~ 20 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia dapat dilihat dari tuntutan Pemerintah Indonesia terhadap Pemerintah Malaysia dalam memperbaiki kerjasama ketenagakerjaan lintasnegara sektor domestik yang telah ada sebelumnya.” Hipotesa kerja tersebut coba diuraikan dalam langkah-langkah sebagai berikut: pertama-tama penelitian ini akan menguraikan secara umum apa yang menjadikan Indonesia menjadi negara pengirim pekerja migran, khususnya ke Malaysia, serta mengapa Malaysia menjadi begitu menarik bagi tenaga kerja Indonesia,. Setelah itu penelitian akan menggambarkan kondisi dan situasi yang dihadapi TKI sektor domestik di Malaysia, serta instrumen hukum dan kebijakan apa saja yang relevan menyangkut keberadaan TKI sektor domestik di Malaysia ini ditinjau dari perspektif Indonesia dan Malaysia, hal ini ditujukan untuk menunjukkan signifikansi koridor migrasi Indonesia-Malaysia dibandingkan koridor migrasi Indonesia dengan negara lain, sehingga dapat dilihat mengapa kebijakan perlindungan di Malaysia perlu diperhatikan dengan serius. Untuk meneliti alasan-alasan diberlakukannya moratorium ini, maka akan dilakukan penguraian secara kronologis bagaimana proses serta dinamika saat moratorium ini mulai diberlakukan hingga kemudian moratorium ini dicabut. Hal-hal yang menjadi alasan Pemerintah mencabut moratorium dapat dianalisa sebagai kepentingan-kepentingan Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium ini. Dalam logika peneliti, saat moratorium dicabut, berarti saat itu pula kepentingan Indonesia dalam isu moratorium ini terpenuhi. Untuk menambah perspektif tentang alasan-alasan Pemerintah memberlakukan moratorium ini juga dapat dilihat dengan meninjau bagaimana dinamika relasi kepentingan pihakpihak yang terlibat di dalamnya termasuk Pemerintah Indonesia, Pemerintah Malaysia, PJTKI, dan LSM yang peduli pada isu-isu buruh migran. Dari penelusuran ini diharapkan muncul ~ 21 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah argumen-argumen yang menjelaskan mengapa Pemerintah Indonesia tetap memberlakukan moratorium selama dua tahun, apa yang melatarbelakangi kebijakan Pemerintah Indonesia tersebut, sekaligus melihat formasi kepentingan dari pihakpihak yang terlibat. 4. Teknik Pengumpulan Data dan Strategi Validasi Data Kualitatif Teknik pengumpulan data akan menggunakan kombinasi antara data primer dan data sekunder. Berdasarkan perumusan masalah dan atas dasar keterbatasan sumber daya yang dimiliki peneliti dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data utama adalah data sekunder. Teknik pengambilan data sekunder ini akan dilakukan dengan studi pustaka literatur perjanjian hukum mengenai perlindungan TKI di luar negeri serta penelusuran pemberitaan mengenai dinamika hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia dalam moratorium ini di literatur, media massa, dan jurnal-jurnal terkait perlindungan buruh migran. Kewajiban negara sebagai pemangku treaty obligations akan dilihat melalui bahan hukum yang mengikat, sedangkan dinamika hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia akan coba ditelusuri dengan melakukan kajian pemberitaan di media massa dan jurnal-jurnal terkait perlindungan buruh migran, termasuk di dalamnya yang dilansir oleh lembaga swadaya masyarakat. Teknik pengumpulan data primer dilaksanakan sebagai upaya verifikasi dan pelengkapan dari data-data sekunder yang dapat dikumpulkan. Teknik ini akan menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview) dalam proses penarikan data. Proses pemilihan informan penelitian disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan oleh penulis sesuai dengan keahlian, pengetahuan, otoritas, pengalaman, maupun informasi lainnya yang mereka miliki. Berikut daftar informan yang menjadi ~ 22 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia sumber data primer: • Rendra Setiawan, Kepala Seksi Kerjasama Regional dan Multilateral, Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, Kemenakertrans RI • Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan Advokasi, Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI • Rafail Walangitan, Kasubdit I Perlindungan WNI di Wilayah Malaysia, Benua Amerika, Suriah, Yordania dan Timur Tengah, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Kemenlu RI • Rusdi Basalamah, Ketua APJATI (Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) • Wahyu Susilo, Analis Kebijakan Migrant Care Validitas merupakan derajat ketetapan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dilaporkan oleh peneliti. Untuk menguji validitas data, dapat dilakukan melalui proses triangulasi data. Terdapat tiga jenis triangulasi data, yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data dan triangulasi waktu.7 Adapun dalam penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi teknik pengumpulan data, yaitu dengan memanfaatkan berbagai teknik data dimana data dalam penelitian diperoleh melalui wawancara, dan analisis dokumen. Berikut adalah beberapa strategi validitas kualitatif yang digunakan oleh penulis: 1. Mentriangulasi sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti dari sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren; 2. Membuat deskripsi yang kaya dan padat, dengan menyajikan banyak perspektif mengenai perlindungan tenga kerja 7 Robert C. Bodgan and Biklen Kopp Sari, “Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods” (London: Allyn and Bacon Inc., 1982) sebagaimana dikutip dalam Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2009) hlm.88. ~ 23 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Indonesia di luar negeri agar hasilnya bisa lebih kaya dan realistis; 3. Melakukan tanya jawab dengan pembimbing penelitian, dan peneliti yang memiliki ketertarikan pada tema penelitian serupa dengan penelitian ini untuk membantu koherensi keseluruhan penelitian, serta peninjauan atas akurasi data yang disajikan dalam penelitian ini. [] ~ 24 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia BAB III KAJIAN LITERATUR DAN KERANGKA KONSEPTUAL Kajian Literatur terkait Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Penelitian ini merupakan suatu kajian mengenai kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia pada tahun 2009-2011. Penulisan buku ini menggunakan beberapa literatur sebagai tinjauan pustaka sebagai bahan pengantar mengenai penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai topik yang berkaitan dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka ini ditujukan untuk melihat penelitian-penelitian lain yang turut mengidentifikasi permasalahan yang kerap menimpa tenaga kerja Indonesia di luar negeri, serta upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Hasil penelitian yang disajikan dalam tinjauan pustaka ini meliputi masalah yang disoroti, fokus perhatian penelitian, serta ringkasan hasil penelitian. Terdapat tiga hasil penelitian yang digunakan dalam tinjauan pustaka ini: Pertama, penelitian Gunanto Surjono, dkk mengenai kebutuhan model pelayanan nasional sosial pekerja migran.1 Penelitian ini memusatkan perhatian pada 1. 1 Gunanto Surjono, dkk. Pengkajian Kebutuhan Model Pelayanan Sosial Pekerja ~ 25 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah pengkajian tentang kebutuhan model pelayanan sosial pekerja migran ke luar negeri yang didorong oleh pemikiran bahwa jumlah warga negara Indonesia yang menjadi pekerja migran di luar negeri di satu sisi cukup signifikan dalam mengurangi angka pengangguran dalam negeri serta berkontribusi dalam pemasukan devisa negara dalam bentuk remiten (remittance), namun di sisi lain mengalami kerentanan dalam hubungan kerja yang dijalaninya bersama majikan dan pihak-pihak yang terkait dalam keseluruhan proses persiapan, pemberangkatan, penempatan hingga kepulangan dari tempat bekerja di luar negeri. Pada penelitian ini ditemukan tiga tahapan permasalahan yang dihadapi pekerja migran Indonesia, yaitu: sejak di daerah asal, tempat kerja dan ketika pulang ke daerah asal. Permasalahan sejak dari daerah asal berupa kemiskinan, pendidikan rendah, belum cukup umur, dan rendahnya pengetahuan pekerja migran akan bahasa dan budaya negara tujuan kerja, serta keterampilan dalam melakukan pekerjaan yang diterimanya, membawa konsekuensi pekerja migran Indonesia rentan dijadikan objek pemalsuan, penipuan, pemerasan ketika berangkat, bekerja, dan pulang kembali ke Indonesia. Pelayanan sosial perlindungan bagi eksistensi pekerja migran oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat juga belum dilakukan secara koordinatif dan sinergis. Bertitik tolak dari kondisi riil yang dihadapi pekerja migran tersebut, kemudian diajukan prospek alternatif model perlindungan secara antisipatif (di daerah asal), protektif dalam bentuk pengawasan di pintu keluar-masuk pekerja migran dan tempat kerja, dan rehabilitatif bagi pekerja migran yang pulang menjadi korban hubungan kerja, dengan usulan penanganan yang memposisikan Kementerian Sosial sebagai garda utama dalam penanganan korban, dengan pelibatan secara koordinatif dan bersinergi berbagai lembaga pemerintah dan swadaya masyarakat menurut tugas dan fungsi masing-masing lembaga bersangkutan. Migran. (Yogyakarta: Karya Penerbit B2P3KS Press, 2009). ~ 26 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Kedua, penelitian Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan Indonesia mengenai kondisi kesewenang-wenangan tersistematik bagi tenaga kerja Indonesia. Laporan ini merupakan sebuah usaha penyajian data dan analisis atas situasi dan kondisi pekerja migran Indonesia di luar negeri.2 Termasuk dalam laporan ini, informasi kasus-kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia. Laporan ini ditulis berlandaskan pada premis bahwa orang miskin dan perempuan harus memiliki jaminan untuk bekerja dan bermigrasi, termasuk bekerja di luar tanah kelahirannya. Pemenuhan jaminan ini bertopang pula pada pemenuhan hak asasi manusia, semisal hak untuk bebas dari rasa takut, penyiksaan, penganiayaan dan tentu saja hak untuk hidup. Beberapa konklusi yang termuat dalam laporan ini antara lain bahwa kelompok pekerja migran Indonesia yang paling rentan mengalami tindakan sewenang-wenang oleh majikan adalah perempuan, berkaitan dengan proporsi pekerja migran Indonesia yang didominasi oleh perempuan. Selanjutnya adalah bahwa telah terjadi eksploitasi sistematis terhadap pekerja migran Indonesia, yang sebagiannya diakibatkan oleh lemahnya kebijakan perlindungan pekerja migran oleh Pemerintah Indonesia. Impunitas yang seakan-akan dimiliki oleh agen penyalur tenaga kerja Indonesia turut menyuburkan praktek eksploitasi ini. Adapun telah tumbuh inisiatif untuk membuat mekanisme perlindungan pekerja migran yang efektif oleh Pemerintah, namun inisiatif ini tidak komprehensif dalam mempromosikan hak-hak pekerja migran. Ketiga, laporan Komnas Perempuan tentang migrasi tanpa dokumen, strategi perempuan mempertahankan kehidupan, studi kasus lima tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia.3 Secara garis besar ada dua alasan mengapa perempuan 2 Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan/CARAM Indonesia, Indonesian Migrant Workers: Systematic Abuse at Home Abroad, (Indonesia: Penerbit Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan/CARAM Indonesia, 2002). 3 Komnas Perempuan, Migrasi Tanpa Dokumen: Strategi Perempuan Mempertahankan Kehidupan, Studi Kasus Lima Buruh Migran Indonesia yang Bekerja ~ 27 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah buruh migran memilih jalan tak berdokumen, pertama secara sadar perempuan mengambil status sebagai buruh migran tak berdokumen. Mereka yang masuk kategori ini, biasanya berpijak pada informasi para mantan buruh migran tak berdokumen yang beruntung. Artinya, jikapun terdapat resiko-resiko yang menghadang semuanya dapat ditepis dengan segenap informasi yang menguntungkan dan diceritakan oleh orang yang beruntung. Pilihan sadar tersebut juga seringkali didorong oleh ketiadaan dana untuk pengurusan berbagai dokumen yang dibutuhkan. Kedua, kemudahan dan kecepatan pengurusan visa, juga menjadi alasan perempuan buruh migran menjadi tidak berdokumen. Modus yang digunakan adalah dengan cara membawa dokumen visa pelancong/turis. Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebenarnya telah menjalin beberapa perjanjian bilateral sejak tahun 1984, namun umumnya, daya tawar Malaysia jauh lebih kuat dari Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari fenomena deportasi massal di tiap-tiap fase pasca kerjasama bilateral ini. Deportasi paling masif terjadi di tahun 2002 dan 2004. Catatan berbagai lembaga pemerhati buruh migran menunjukkan 700.000-900.000 buruh migran tak berdokumen menghadapi deportasi dari Pemerintah Malaysia. Mencermati respon dan kebijakan yang diambil saat deportasi berlangsung terutama di tahun 2004, pemerintah Indonesia sama sekali tidak berdaya menghadapi kebijakan sepihak pemerintah Malaysia. Proses deportasi yang telah berlangsung beberapa kali, pemerintah Indonesia hanya menunjukkan sikap menerima tanpa protes atau mencoba membangun negosiasi untuk mencari jalan yang lebih manusiawi. Tidak nampak sikap dan tindakan kritis dari Pemerintah Indonesia dalam memandang kebijakan deportasi, alasan-alasan yang mendasari hingga berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di lapangan. Tidak ada inisiatif untuk membangun satu sistem dan rencana advokasi yang tidak hanya memberikan pelayanan pemulangan deportan, di Malaysia. (Jakarta: Komnas Perempuan, 2005). ~ 28 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia tetapi melindungi hak-hak buruh migran sebagai warga negara dan sebagai manusia. Kebijakan penanganan buruh migran tak berdokumen yang dideportasi masih bersifat karitatif (pengurusan sementara) saat para deportan tiba di tanah air. Tidak ada penanganan holistik hingga pemulihan para deportan dan pemenuhan hak-haknya. Permasalahan sulitnya mengurai benang kusut buruh migran tak berdokumen ini kemudian coba diresolusikan dengan memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia dan Malaysia, serta Komisi HAM PBB dan Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran. Satu poin yang menarik adalah ditegaskan perlunya inisiatif bilateral yang lebih bagi Pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam membangun sebuah perjanjian pengiriman tenaga kerja, serta desakan untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Rekomendasi ini ditujukan agar Indonesia dan Malaysia memiliki daya tawar yang sama apabila terlibat polemik dalam hubungan ketenagakerjaan bilateral, karena masalah-masalah ini dapat kemudian diajukan lebih jauh ke forum internasional. Satu hal yang kurang tereksplorasi adalah analisa mengenai bagaimana daya tawar masing-masing negara dalam setiap perjanjian bilateral, dan mengapa Indonesia dapat dikatakan lebih lemah daya tawarnya dalam perjanjian bilateral selama ini. Kerangka Konseptual Untuk menjawab rumusan permasalahan pada penelitian ini, digunakan beberapa kerangka konsep untuk menjelaskan perilaku Pemerintah Indonesia dalam perumusan dan implementasi kebijakan perlindungan buruh migran yang mempengaruhi dinamika posisi tawarnya dengan Malaysia dalam hubungan ketenagakerjaan lintas negara. Kerangka konsep yang digunakan adalah konsep mengenai Migrasi Global, ~ 29 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Proses Perumusan Kebijakan serta Politik Luar Negeri, Diplomasi dan Kapabilitas Negara. Konsep Migrasi Global dan Interdependensi Ketenagakerjaan Antarnegara Kesenjangan antara populasi dan sumber daya ekonomi acapkali mendorong perpindahan manusia atau migrasi. Secara umum, migrasi adalah perpindahan populasi dari wilayah yang belum mapan secara ekonomi seperti wilayah Amerika Tengah, sebagian besar Asia, dan Eropa Timur menuju wilayah yang jauh lebih stabil ekonominya semisal Amerika Utara atau Eropa Barat. Namun, migrasi tidak hanya semata-mata didasarkan pada fenomena ekonomi, melainkan dapat juga didorong oleh kombinasi antara kelangkaan ekonomi, perang saudara, konflik etnis, gesekan antar-agama dan represi politik. Diestimasikan bahwa 70 juta orang kini bekerja di luar tanah kelahirannya baik secara legal ataupun ilegal, dengan angka pertumbuhan 2 juta orang per tahunnya.4 Terdapat berbagai bentuk imigran: individu bermigrasi sebagai seorang buruh individu, spesialis dalam bidang tertentu, wirausaha, pengungsi ataupun kerabat dari imigran sebelumnya. Penggolongan individu berdasarkan kelas bermain dalam hal ini: sebuah negara akan berusaha mengundang para spesialis ataupun profesional untuk bekerja di negaranya dengan berbagai privilese yang ditawarkan sedangkan pengungsi atau buruh biasa umumnya mengalami penolakan atau bahkan diskriminasi. Migrasi dapat merubah bentuk demografi dunia, struktur sosial dan ekonomi dan membawa keragaman budaya, di mana sering pula membawa masalah pada identitas nasional yang dibangun oleh suatu negara bangsa.5 Hal yang ingin 2. 4 Steven L. Spiegel, World Politics in a New Era, (Los Angeles, CA: Harcourt Brace & Company, 1995), hlm.444-445. 5 Stephen Castles dan Mark J. Miller, The Age of Migration: International Population Movements in the Modern World, (New York: The Guilford Press, 2009), hlm. 3-5. ~ 30 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ditekankan pada konsep ini adalah migrasi populasi berdasarkan kebutuhan ekonomi, yang berkonsekuensi memunculkan migrasi buruh sebagai istilah turunannya. Seringkali disebutkan bahwa migrasi buruh dari negara miskin ke negara kaya adalah simbiosis mutualisme. Negara miskin yang memiliki terlampau banyak buruh muda untuk ekonominya yang masih lemah kemudian berpikiran untuk mengekspor surplus buruh ini. Di sisi lain, negara kaya atau negara berkembang dengan populasi terbatas memiliki kekurangan buruh muda untuk mengisi lapangan kerja sehingga membutuhkan buruhmigran.6 Namun perlu ditengarai pula bahwa kebutuhan negara kaya dan negara berkembang dengan populasi terbatas akan buruh muda dengan kecakapan terbatas ini didasarkan pula atas kebutuhan mereka akan buruh yang dapat bekerja dengan gaji rendah dan kondisi kerja tertentu dalam suatu sektor tertentu, R. Munz berpendapat sebagai berikut tentang sektor-sektor tersebut:7 “[…] dirty, difficult and dangerous jobs, low-paid household service jobs, low skilled jobs in informal sector of the economy, jobs in sectors with strong seasonal fluctuation, e.g. farming, road`repairs and construction, hotel, restaurant and other tourism-related services.” (“[...] pekerjaan yang kotor, sulit dan berbahaya, pekerjaan jasa rumah tangga berupah rendah di sektor ekonomi informal, pekerjaan di sektor-sektor yang mengalami fluktuasi secara musiman, semisal pertanian, perbaikan jalan dan konstruksi, hotel, restoran dan pekerjaanpekerjaan lain yang terkait turisme.”) Pendapat di atas menyuratkan sebuah kebutuhan akan buruh migran dengan kualifikasi rendah, namun ada baiknya pula untuk mengetahui apakah buruh migran benar-benar dibutuhkan oleh negara tujuan penempatan8 atau tidak, karena terdapat 6 Ibid. hlm. 222. 7 Ibid. 8 Pada skripsi ini, istilah negara tujuan penempatan akan digunakan untuk merujuk pada neg- ~ 31 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah logika lain selain logika kebutuhan (need) yaitu logika permintaan (demand). Logika ini berkutat pada perspektif pemerintah, bahwa perlu diadakan aturan yang lebih ketat tentang siapa yang berhak masuk dan hidup dalam wilayah teritorinya. Ketatnya peraturan imigrasi yang dilakukan pada dua dekade terakhir adalah sebuah usaha negara penerima buruh migran dari ancaman terlalu banyaknya buruh migran yang masuk dan membentuk minoritas etnik baru. Alasan lainnya adalah adanya kepercayaan bahwa di masa`depan yang lebih dibutuhkan adalah para spesialis dan profesional, sehingga buruh-buruh dengan kecakapan rendah (low-skilled labour) tidak akan dibutuhkan lagi. Di masa depan dipercaya pula bahwa, dunia akan kehilangan batas-batasnya sebagaimana tesis Kenichi Ohmae dalam Dunia Tanpa Batas, yang mempercayai bahwa kini perusahaanperusahaan multinasional lah yang menguasai dunia, dan buruh migran-migran tidak dibutuhkan lagi karena para buruh migran tersebut dapat bekerja di negaranya sendiri.9 Hal yang menarik kini adalah bahwa kini yang bermigrasi adalah pabrik serta manajemen industri itu sendiri, dan bukanlah tenaga kerja atau buruh. Namun, asumsi di atas tidak mengubah kenyataan bahwa buruh migran tetap eksis hingga saat ini, terutama di negara-negara pengirim pekerja migran berkecakapan rendah semisal Indonesia atau Filipina. Dalam konteks koridor migrasi antara Indonesia dan Malaysia logika suplai dan permintaan tenaga kerja telah berlangsung ara-negara dimana pekerja migran Indonesia ditempatkan. Hal ini mengacu pada Undangundang RI No. 39 Tahun 2004 pasal 1 poin ke 3 yang berbunyi: “Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.” Substansi pada pasal di atas digunakan pada skripsi ini dalam menggunakan istilah “negara tujuan penempatan” untuk menggantikan istilah negara pengirim (sending countries) dan negara penerima (receiving countries) yang lebih umum digunakan dalam koridor migrasi buruh antarnegara. 9 Kenichi Ohmae, Dunia dan Strategi di Dalam Ekonomi yang Saling Mengait, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1991), hlm.23-24. ~ 32 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia sejak Malaysia menerapkan industrialisasi dalam konsep pembangunan ekonominya. Pembangunan ekonomi Malaysia, telah membuat pasar tenaga kerja lokal di negara tersebut mulai mengarah pada pemenuhan kebutuhan pekerjaan di perkotaan, sehingga terjadi kelangkaan tenaga kerja di pedesaan untuk sektor ekonomi semisal pertanian dan perkebunan yang lebih membutuhkan tenaga kerja manual dengan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan upah pekerjaan di perkotaan. Selain itu, di wilayah perkotaan juga terjadi fenomena perempuan yang bekerja, sehingga dibutuhkan pekerja di sektor rumah tangga. Sektor-sektor pekerjaan yang ditinggalkan pekerja lokal dan kebutuhan akan pekerja di sektor domestik inilah yang membuat arus pekerja migran kemudian memenuhi kebutuhan tersebut. Teori Proses Pembuatan Kebijakan Analisa proses pembuatan kebijakan (policy-making process) menjadi penting dalam penelitian ini, mengingat salah satu unit analisa yang akan diteliti adalah pola perilaku negara dalam penyusunan serta implementasi kebijakan luar negeri dalam menghadapi negara lain. Diharapkan konsepsi mengenai proses pembuatan kebijakan ini, dapat membantu mengurai faktor-faktor yang determinan serta aktor-aktor yang berperan dalam pembuatan kebijakan luar negeri yang kemudian mempengaruhi posisi tawarnya terhadap negara lain dalam sebuah hubungan bilateral. Kebijakan sendiri dapat didefinisikan sebagai “rangkaian tindakan yang diadopsi dan diambil oleh pemerintah, partai politik, penguasa, atau negarawan, dimana rangkaian keputusan (baik pilihan mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan) dianggap dapat memberikan keuntungan dan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.”10 Sedangkan kebijakan luar negeri didefinisikan sebagai “strategi atau 3. 10 Michael Hill, The Policy Process in the Modern State 3rd Edition, (London: Prentice Hall-Harvester Wheatsteaf , 1997), hlm. 6-7. ~ 33 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah pendekatan yang diambil oleh suatu negara untuk mencapai tujuan dalam hubungan dengan entitas eksternal. Ini juga termasuk kebijakan untuk tidak melakukan sesuatu apapun (inaction).”11 Pilihan untuk tidak melakukan sesuatu apapun oleh suatu negara dalam suatu kebijakan perlu digarisbawahi, karena tidak semua kebijakan bersifat menginginkan perubahan, namun juga dapat bersifat mempertahankan situasi sementara (status quo), terutama sekali dalam kebijakan luar negeri yang diimplementasikan dalam lingkungan internasional. Lingkungan internasional dalam konteks proses kebijakan dibentuk oleh para aktor yang terdiri dari entitas negara maupun non-negara, yang masing-masingnya memiliki kepentingan, tujuan dan prioritas masing-masing dalam mempengaruhi lingkungan internasional ini.12 Negara tidak dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri serta independen dalam proses pembuatan kebijakan luar negerinya, karena dalam proses pembuatan kebijakan tersebut terjadi proses bargaining (pertarungan kepentingan antar individu atau kelompok yang saling bertemu) yang terus menerus sejak proses formulasi kebijakan dilakukan. James Anderson menggambarkan proses pembuatan kebijakan dalam tabel berikut:13 11 Valerie M. Hudson, The History and Evolution of Foreign Policy Analysis dalam Steve Smith,dkk, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, (New York: Oxford University Press, 2008), hlm. 12. 12 Elisabeth Brighi and Christopher Hill: Implementation and Behavior dalam Steve Smith,dkk, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, (New York: Oxford University Press, 2008), hlm. 118. 13 James Anderson, Public Policy Making: an Introduction, 7th Edition (USA: Wadsworth, 2011), hlm.4, sebagaimana dikutip oleh Ana Sabhana Azmy dalam Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2012), hlm. 22. ~ 34 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Tabel III.1 Proses Pembuatan Kebijakan menurut James Anderson Terminologi Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Kebijakan Agenda Formulasi Adopsi Implementasi Evaluasi Kebijakan Definisi Kebijakan Kebijakan Di antara Pengembangan Pengembangan Aplikasi Kebijakan Usaha banyaknya atas hal yang dukungan untuk kebijakan oleh pemerintahn permasalahan, berhubungan pengajuan yang mesin adminitratif untuk manakah yang dengan lebih spesifik, pemerintahan. mendapat pengajuan karenanya apakah perhatian yang diterima kebijakan dapat kebijakan sudah serius dari atas aksi untuk dilegitimasikan. efektif dan pemerintahan. sepakat dengan menetapkan mengapa atau masalah publik. Konsep umum Kebijakan mengapa tidak. Mendapat Apa yang Mendapatkan Menerapkan Apakah perhatian diajukan untuk perhatian kebijakan kebijakan itu pemerintah dilakukan pemerintah pemerintah berjalan efektif? untuk mengenai untuk menerima kepada masalah. menyiapkan masalah. solusi khusus aksi atas atas masalah. masalah. Sumber: Diadopsi dari James E. Anderson, David W. Brady and Charles Bullock III, Public Policy and Politics in The United States, 1984. James menyebutkan bahwa dalam kebijakan publik, memang ada beberapa kelompok yang mempunyai akses lebih daripada yang lain. Kebijakan publik dalam waktu kapan pun akan merefleksikan kepentingan orang yang dominan. Dalam pembuatan kebijakan, baik secara ekonomi atau politik, individu atau siapa pun akan didorong oleh pilihan-pilihan, dan kemudian mencari untuk memaksimalkan keuntungan yang mereka dapatkan.14 Penulis teori kebijakan publik lainnya, Thomas Birkland, menjelaskan bahwa ada dua kategori partisipan dalam pembuatan kebijakan publik, yaitu: 14 Ibid, hlm. 25 ~ 35 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah 1. Official actors (aktor resmi), yaitu mereka yang terlibat dalam kebijakan publik karena tanggung jawab mereka disetujui oleh hukum atau konstitusi, dan karena itulah mereka mempunyai kekuasaan untuk membuat dan menegakkan kebijakan-kebijakan. Pihak ini biasanya dikenal dengan badan legislatif, eksekutif, dan yudikiatif, yang disebut secara eksplisit. 2. Unofficial actors (aktor tidak resmi), yaitu aktor yang terlibat dan berperan dalam proses kebijakan tanpa otoritas legal secara langsung untuk berpartisipasi. Sebutan aktor tidak resmi bukan berarti mereka kurang penting dari aktor resmi, atau peran mereka harus dibatasi. Sesungguhnya, kelompok ini dilibatkan karena mempunyai hak untuk terlibat, karena mereka mempunyai kepentingan yang penting untuk melindungi dan memajukan, karena dalam banyak hal sistem pemerintahan tidak akan berjalan baik tanpa mereka.15 Spesifik untuk kebijakan luar negeri, unit analisanya sendiri meliputi aktor-aktor internasional (organisasi internasional, aktor-aktor luar negeri transnasional serta negara-negara), lingkungan internasional serta situasi tertentu termasuk di dalamnya faktor-faktor domestik.16 Konsep Politik Luar Negeri, Diplomasi dan Kapabilitas Negara Politik luar negeri dan diplomasi adalah dua buah istilah yang berkaitan dalam prakteknya, namun kerap tumpang 4. 15 Thomas Birkland, An Introduction to the Policy Process: Theories, Concepts and Models of Public Policy Making, 3rd Edition, (New York: ME Sharpe 2011), hlm. 93 sebagaimana dikutip oleh Ana Sabhana Azmy dalam Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2012), hlm. 23-24. 16 H. Lentner, “Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach”, (Ohio: Merryl Pubishing Company, 1974), hlm. 3, sebagaimana dikutip oleh Aria Chandra Utama, Kebijakan Pemerintah Malaysia terhadap Indonesia menganai TKI Ilegal di Malaysia (1997-2002)¸Tesis – FISIP UI, 2003. ~ 36 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia tindih dalam pendefinisiannya. Praktik pengusahaan politik luar negeri seperti yang dijalankan orang sebelum tahun 1914 tidak dipahami orang bahwa semuanya itu terdiri atas dua bagian. Yaitu yang pertama: bagian menetapkan haluan selaras dengan suasana internasional, dan yang kedua: bagian pelaksanaan mengikuti haluan yang telah ditetapkan tadi. Keduanya dianggap adalah satu hal dalam pengertian yang dinamakan “diplomasi”. Padahal yang sebenarnya yang bernama diplomasi hanyalah bagian yang nomor dua.17 Politik luar negeri atau kebijakan luar negeri suatu negara menunjukkan dasar-dasar umum yang dipakai pemerintah untuk bereaksi terhadap lingkungan internasional.18 Adapun lingkungan internasional ini dipengaruhi oleh dinamika yang mengendalikan sistem negara telah lama dikenal sebagai politik kekuatan (power politics) yang dilandasi oleh sekumpulan asumsi yang diterima dan dilaksanakan oleh setiap pemerintahan. Asumsi-asumsi tadi ialah: (1) Tidak adanya hak mutlak dalam hubungan antarnegara; (2) Satu-satunya nilai kolektif yang dimiliki oleh negara peserta adalah dikehendakinya pelestarian sistem; (3) Menolong diri (negara) sendiri merupakan aturan setiap tindakan; (4) Setiap negara mempunyai kekuatan sesuai dengan batas kemampuannya sendiri untuk dipergunakan bila dikehendaki; (5) Hubungan antarnegara tidak ditentukan oleh pemakaian prinsip-prinsip umum melainkan oleh kemampuan atau kapabilitasnya sendiri; (6). Karena itu faktor kekuatan menentukan siapa yang benar.19 Menurut Hans J. Morgenthau, pemerintah yang baik harus memilih tujuan dan metode politik luar negerinya dengan mengingat kekuatan yang tersedia untuk membantu mereka dengan kemungkinan keberhasilan yang maksimum. Dengan 17 Soedjono. Ilmu Politik II: Diplomasi dan Politik Luar Negeri. (Jakarta: Djambatan, 1955.), hlm.17. 18 Dahlan Nasution..Politik Internasional: Konsep dan Teori. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991), hlm. 9. 19 Ibid., hlm.43. ~ 37 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah demikian, kekuatan nasional yang tersedia menetapkan batas politik luar negeri. 20 Dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya melalui politik luar negeri, kapabilitas suatu negara untuk mempengaruhi lingkungan internasionalnya menjadi signifikan. Definisi luas dari kapabilitas adalah kemampuan negara untuk mengadakan perubahan dalam lingkungan internasional bagi kepentingan dirinya. Perubahan dalam lingkungan merupakan inti dari penalaran konsep kapabilitas ini. Negara melakukan usaha-usaha efektif dalam dunia nyata dengan kapabilitasnya. Kapabilitas adalah segi “cara” dalam kesinambungan antara tujuan – cara dalam politik luar negeri. Dalam sistem politik internasional, suatu negara hanya dapat mencapai maksud-maksudnya setelah lebih dahulu memperoleh persepakatan dari negara-negara sahabatnya.21 Dalam garis besarnya unsur-unsur kapabilitas dibagi dalam dua kategori. Unsur-unsur yang kelihatan ada lima, yaitu: (1) Posisi geografik; (2) Kependudukan dan tenaga kerja; (3) Kekayaan sumber-sumber; (4) Kemampuan produksi industri dan pertanian; (5) Kekuatan militer. Sedangkan unsur-unsur yang tidak tampak ada empat, yaitu: (1) Struktur politik, ekonomi dan sosial; (2) Tingkat pendidikan dan teknik; (3) Semangat kebangsaan; (4) Posisi strategis internasional.22 Setelah aspek kapabilitas diperhitungkan maka kemudian diplomasi lah yang menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan luar negeri tersebut. Diplomasi meliputi kegiatan: (1) Menentukan tujuan dengan mempergunakan semua daya dan tenaga untuk mencapai tujuan tersebut; (2) Menyesuaikan kepentingan dari bangsa lain dengan kepentingan nasional sesuai dengan daya dan tenaga yang ada padanya; (3) Menentukan apakah tujuan nasional sejalan atau berbeda 20 Hans J. Morgenthau. Politik Antarbangsa. .(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990.), hlm.219. 21 Dahlan, Op.cit., hlm. 25. 22 Ibid.,hlm. 28. ~ 38 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia dengan kepentingan bangsa atau negara lain; (4) Mempergunakan sarana dan kesempatan yang ada sebaik-baiknya23. Diplomasi modern berusaha untuk mencapai perdamaian atau kerjasama antarnegara dengan mengadakan perjanjian (treaty) atau persetujuan (agreement). Hal tersebut adalah salah satu dari bentuk hukum internasional. Suatu perjanjian bilateral adalah suatu persetujuan sukarela di mana masing-masing negara setuju untuk menaatinya. Hanya dengan itikad baik (goodwill) bersama atau dengan kekuatan dari salah satu peserta yang lebih kuat maka perjanjian itu dapat dijamin akan dapat ditaati.24 Dalam konteks kerjasama antarnegara (bilateral), secara garis besar dapat dibedakan dua jenisnya:25 1. Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding [MoU]), kerjasama ini bersifat lebih lunak dibandingkan perjanjian bilateral, menyediakan kerangka kerja umum (broad framework) yang ditujukan untuk kepentingan bersama (common concerns). 2. Perjanjian Bilateral (Bilateral Agreements), kerjasama ini bersifat formal dan mengikat, lebih spesifik dibandingkan MoU, serta lebih berorientasi pada tindakan (action-oriented). Adapun negara-negara Asia lebih memilih MoU dibandingkan Perjanjian Bilateral dalam membuat sebuah kerjasama antarnegara di bidang ketenagakerjaan. Wickramasekara mengasumsikan hal ini disebabkan oleh beberapa alasan: 1) MoU lebih mudah untuk dinegosiasikan dan diimplementasikan; 2) MoU memiliki fleksibilitas lebih untuk dimodifikasi dengan perubahan kondisi ekonomi dan pasar tenaga kerja, dan; 3) MoU adalah pilihan untuk berhadapan dengan masuknya buruh migran 23 Sumarsono Mestoko. Indonesia dan Hubungan Antarbangsa..( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 25. 24 Ibid.,hlm. 27-28. 25 Piyasiri Wickramasekara, Labour Migration in Asia Role of Bilateral Agreements and MoU, Presentasi ILO pada “JIPLT Workshop on International Migration and Labour Market in Asia” yang diselenggarakan di Tokyo pada tanggal 17 Februari 2006. ~ 39 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah berkecakapan rendah (low-skilled workers). Hal ini juga berlaku pada kondisi kerjasama ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia-Malaysia yang masih menggunakan instrumen MoU dibandingkan perjanjian bilateral yang lebih mengikat. [] ~ 40 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia BAB IV GAMBARAN ARUS MIGRASI PEKERJA MIGRAN INDONESIA KE MALAYSIA Pemerintah Indonesia mulai menggalakkan program pengiriman pekerja migran pada dekade 1970-an setelah melihat penghasilan yang dibawa para pekerja migran di luar negeri turut membantu neraca keuangan negara. Selain itu, keberangkatan para pekerja migran ini juga amat membantu mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Pengiriman pekerja migran ke luar negeri menjadi salah satu program pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintahan Orde Baru kala itu, dan termaktub dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I-VI. Pekerja migran Indonesa umumnya berkualifikasi untuk mengerjakan pekerjaan dengan kebutuhan keterampilan rendah, semisal buruh manual di konstruksi atau manufaktur, dan juga pekerjaan domestik seperti penatalaksana rumah tangga (PLRT). Dilihat dari tingkat pendidikan, buruh migran Indonesia rata-rata maksimum hanya menempuh pendidikan formal hingga tingkat sekolah menengah pertama, dimana ada juga sebagian yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal sama sekali. Buruh migran Indonesia yang berangkat umumnya juga berada pada tingkat usia produktif (usia 10-34 tahun), ~ 41 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah sehingga pada tataran makro hal ini dapat berimplikasi jangka panjang pada pasar tenaga kerja di Indonesia itu sendiri.1 Apabila dibandingkan negara-negara Asia lain, semisal Thailand, Filipina, Malaysia dan Korea Selatan; Indonesia dapat dikatakan terlambat dalam membuat kebijakan terkait pekerja migran. Hal ini kemudian berhubungan pada jumlah penempatan buruh migran Indonesia yang kecil dibandingkan dengan negara pengirim pekerja migran yang lain, pada tahun 1975, Indonesia menempatkan pekerja migran sejumlah sepertiga dari buruh migran yang dikirimkan oleh Thailand ke luar negeri.2 Tabel IV.1 Jumlah Pekerja Migran Indonesia pada masa Repelita I - Repelita VI Repelita Repelita I Repelita II Repelita III Repelita IV Repelita V Repelita VI TOTAL Periode 1969-1974 1974-1979 1979-1984 1984-1989 1989-1994 1994-1999 Jumlah 5.624 17.042 96.410 292.262 652.272 1.461.236 2.524.846 Sumber: Direktorat AKAN Depnaker RI, 1994, The Development of of Export Labour Program in Repelita IV and V 3 Tingginya angka pengangguran pada tahun 1970-an yang menjadi salah satu faktor pendorong fenomena pekerja migran Indonesia salah satunya disebabkan oleh berkurangnya 1 Sukamdi dan Abdul Haris, “A Brief Overview of International Migration”, dalam Sukamdi, et.al. (Eds.), Labour Migration in Indonesia: Policies and Practice, (Yogyakarta: Population Studies Center Gadjah Mada University, 2000), hlm. 6 2 Prijono Tjiptoherijanto, “International Migration: Process, System and Policy Issues”, dalam, Sukamdi, et.al, Op.cit., hlm.81 3 Sebagaimana dikutip oleh M. Arif Nasution, “International Migration in South East-Asia: A Case Study of Indonesian Workers in the Malaysian Peninsula” dalam Sukamdi, et.al. (Eds.), Op.cit., hlm. 195. ~ 42 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia lapangan pekerjaan di pertanian desa akibat adanya kebijakan mekanisasi pertanian. Kebijakan ini dikenal sebagai Revolusi Hijau yang berusaha melakukan modernisasi dan mekanisasi di sektor pertanian semisal penggalakkan pemakaian traktor dalam pengolahan tanah. Kebijakan-kebijakan ini menimbulkan berbagai akibat terhadap penyerapan tenaga kerja di desa, terlebih kebijakan ini bersifat irreversible (setelah mekanisasi dijalankan, maka model pengolahan pertanian secara tradisional akan sulit untuk dijalankan kembali).4 Mekanisasi sektor pertanian di pedesaan Jawa misalnya; penggunaan metode penggilingan padi menggantikan metode penumbukan padi dengan tangan, telah menghilangkan lapangan kerja bagi ratusan ribu petani wanita di desa-desa Jawa. Demikian juga halnya dengan penggunaan sistem tebasan yang menggantikan cara-cara penuaian padi yang tradisional telah menghilangkan lapangan kerja di pedesaan bagi kaum wanita. Kebanyakan wanita yang kehilangan pekerjaan ini keluar dari desa dan mencoba peruntungan di kota dan luar negeri.5 Ini juga awal mula bagaimana kemudian terjadi feminisasi pekerja migran Indonesia, dimana jumlah pekerja migran perempuan mulai melebihi jumlah pekerja migran laki-laki, terlebih setelah pekerjaan-pekerjaan di sektor domestik mulai terbuka. Negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia secara historis dapat diperiodisasikan sebagai berikut: 6 Pertama, antara tahun 1969-1979, hampir 50% dari keseluruhan pekerja migran Indonesia pergi bekerja ke Eropa, terutama ke Belanda; Kedua, antara tahun 19779-1989, negara-negara Timur Tengah menjadi tujuan utama pekerja migran Indonesia, terutama bagi pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor domestik sebagai PLRT, dan; Ketiga, mulai tahun 1989 hingga sekarang, negara4 Zainab Bakir dan Chris Manning (Eds.), Angkatan Kerja di Indonesia: Partisipasi, Kesempatan dan Pengangguran, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hlm. 22. 5 Ibid., hlm. 50. 6 Prijono Tjiptoherijanto, “International Migration: Process, System and Policy Issues”, dalam Sukamdi,et.al., Op.cit.,hlm. 69 ~ 43 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah negara tetangga di Asia Tenggara yaitu Malaysia dan Singapura menjadi tujuan penempatan yangutama, perubahan tren negara tujuan penempatan disebabkan oleh kemajuan ekonomi dan luasnya sektor lapangan kerja yang dapat dimasuki oleh pekerja migran Indonesia di negara tujuan tersebut. 1. Kebijakan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri Kebijakan perlindungan TKI di luar negeri, tidak dapat dilepaskan dari kebijakan penempatan yang sedianya selalu mendahului kebijakan perlindungan itu sendiri. Proses penempatan TKI mulai marak pada tahun 1970-an ditandai oleh kebijakan Pemerintah Indonesia yang secara khusus mengatur perihal penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. a. Era Orde Baru Pada tahun 1970, Pemerintah Indonesia memberlakukan pengerahan tenaga kerja melalui Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAN) yang kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1970. Peraturan ini memberikan wewenang kepada pemerintah dan swasta untuk mengatur penempatan TKI ke luar negeri. Setelah peraturan pemerintah ini keluar, maka pengurusan TKI dapat dipegang oleh swasta selain oleh pemerintah.7 Pada saat peraturan pemerintah ini diberlakukan, TKI yang berangkat ke luar negeri umumnya berkecakapan rendah dan tidak terdidik. Sehingga, Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) pada saat itu memberikan kuota atas penempatan TKI tidak terdidik selama Repelita VI, sebagai upaya mengurangi penempatan TKI tidak terdidik sekalgus berusaha meningkatkan penempatan TKI yang terdidik.8 7 Awani Irewati, “Kebijakan Indonesia terhadap Masalah TKI di Malaysia”, dalam Awani Irewati, (Ed.), Kebijakan Luar Negeri Indonesiaterhadap Masalah TKI Ilegal di Negara ASEAN, (Jakrta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2003), hlm. 34 8 Prijono Tjiptoheriyanto, “Migrasi Internasional: Proses, Sistem, dan Masalah Kebijakan”, dalam Arif Nasution (Ed.), Globalisasi dan Migrasi Antar Negara, (Bandung: Yayasan ~ 44 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Namun, angka pengangguran yang tinggi pada saat itu, tetap menjadikan opsi menjadi TKI ke luar negeri sebagai jalan keluar, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki bekal kecakapan dan pendidikan yang cukup untuk bersaing di pasar kerja domestik. Pada akhirnya, angka penempatan TKI yang tidak terdidik tetap berjalan, dan kemudian menimbulkan banyak permasalahan, seperti tindak kekerasan seperti penganiayaan, pelecehan seksusal dan sebagainya, sebagai konsekuensi dari pendidikan dan pelatihan kerja yang kurang baik Kondisi ini juga diperparah dengan kondisi perlindungan Negara terhadap TKI pada saat itu yang belum memadai, dilihat dari kerangka kebijakan perlindungan yang hanya mencapai level Peraturan Menteri (Permen), dan belum mencapai level Undang-undang. Untuk menyikapi kondisi ini, sekaligus melihat volume migrasi yang terus meningkat, Pemerintahan Orde Baru akhirnya mengeluarkan Permen No. 5 tahun 1988 yang mengatur tentang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang dibentuk pada masa kepemimpinan Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara (1988-1993).9 b. Era B.J. Habibie s/d Megawati Soekarnoputeri Kebijakan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri era pasca orde baru (reformasi) ini, diawali di masa kepemimpinan B. J. Habibie yang masih berada pada masa Repelita VI, yaitu tahun 1994-1999. Situasi penempatan TKI ke luar negeri pada masa ini sangat terpengaruhi dampak krisis moneter tahun 1997, dimana terjadi peningkatan drastis terhadap target penempatan TKI ke luar negeri dari 500.000 orang di Repelita V, menjadi 1.250.000 orang di Pelita VI. Pada masa ini pula, proporsi penempatan ke Malaysia dan Singapura cenderung meningkat, dikarenakan kedua negara tersebut adalah negara tujuan penempatan Adikarya IKAPI, 1999), hlm. 129. 9 Riwanto Tirtosudarmo, “Dimensi Politik Migrasi Internasional: Indonesia dan Negara Tetangga”, Arif Nasution (Ed.), Globalisasi dan Migrasi Antar Negara, (Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI, 1999), hlm. 151. ~ 45 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah yang terdekat secara letak dengan Indonesia.10 Pemerintahan Habibie menginisiasi dua kebijakan terkait penempatan dan perlindungan TKI: Pertama, Keputusan Menteri (Kepmen) Tenaga Kerja RI No. 204 Tahun 1999 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesa ke Luar Negeri; Kedua, Kepmen No. 92 Tahun 1998, yang mengatur tentang skema asuransi sosial yang dibangun untuk buruh migran. Namun tidak banyak poin yang mengatur tentang perlindungan dalam kedua kebijakan diatas, karena keduanya hanya terpusat pada isu-isu yang berhubungan dengan aspek manajerial dan operasional dengan hanya sedikit menyinggung tentang perlindungan.11 Pada masa kepemimpinan berikutnya, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), situasi penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri diwarnai oleh fenomena meningkatnya jumlah tenaga kerja perempuan ke luar negeri melebihi jumlah tenaga kerja lakilaki. Data dari Kemenakertrans menunjukkan peningkatan jumlah penempatan TKI perempua pada masa kepemimpinan Gus Dur: 302.791 TKI perempuan, dan 124.828 TKI laki-laki (1999); 297.274 TKI perempuan, dan 137.949 TKI laki-laki (2000),dan; 239.942 TKI perempuan dan 55.206 TKI laki-laki (2001).12 Fenomena meningkatnya jumlah penempatan TKI perempuan ini, juga beriringan pada meningkatnya proporsi pekerjaan sektor domestik bagi TKI di luar negeri terhadap sektor pekerjaan lain. Hal ini mengingat pada umumnya TKI perempuan bekerja di sektor domestik, terutama sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT). Pekerjaan sektor domestik memiliki 10 Aswatini Raharto, Migrasi Tenaga Kerja Internasional di Indonesia: Pengalaman Masa Lalu, Tantangan Masa Depan, Kertas Kerja No. 31, (Jakarta: Pusat Penelitian KependudukanLIPI, 2001), hlm. 18. 11 Komnas Perempuan, et.al. Indonesian Migrant Workers: Systematic Abuse at Home and Abroad. (Jakarta: Komnas Perempuan, 2002), hlm. 16 12 Indonesian OverseasWorkers Data Final, Kemenakertrans RI, dikutip dari Ana Sabhana Azmy. Negara dan Buruh Migran Perempuan: Kebijakan Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010 (Studi Terhadap Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia di Malaysia), UI-Tesis,( Jakarta:Universitas Indonesia, 2011), hlm. 44. ~ 46 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ragam permasalahan tersendiri, mengingat tempat bekerjanya yang berada di lingkungan tempat tinggal privat/perseorangan, sehingga dibutuhkan pengawasan lebih untuk menjamin perlindungan TKI sektor domestik saat berada di negara penempatan. Sebagai upaya meningkatkan perlindungan TKI di luar negeri, Pemerintahan Gus Dur mempertegas komitmen Departemen Luar Negeri (Deplu) kala itu untuk memberikan perlindungan yang optimal. Hal ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 109 Tahun 2001 yang kemudian mendorong dikeluarkannya Kepmenlu (Keputusan Menteri Luar Negeri) No. 53 Tahun 2001dan kemudian melahirkan Direktorat baru di Deplu RI yaitu Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia.13 Kepemimpinan selanjutnya di bawah Megawati Soekarnoputeri, ditandai oleh peristiwa deportasi massal yang dialami TKI di Malaysia pada tahun 2002. Peristiwa ini menunjukkan betapa banyak TKI tidak berdokumen yang berada di Malaysia, yang menandakan pula ada manajemen pra-penempatan TKI yang tidak optimal di dalam negeri. Peristiwa yang kemudian terberitakan secara luas ini, membuat kebutuhan akan undangundang yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri tidak dapat ditawar-tawar lagi. Maka pada masa pemerintahan inilah UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) disahkan. Namun, Undang-undang ini sendiri dinilai belum cukup melindungi karena: (1) Tidak cukup melindungi hak buruh migran; (2) Mengabaikan persoalan khas TKI penata laksana rumah tangga (TKI-PLRT) dan buruh migran tak berdokumen; (3) Mengandung sejumlah inkonsistensi dalam pasal-pasalnya dan (4) Memberi ruang bagi tumbuh suburnya praktek-praktek 13 Ibid., hlm. 45 ~ 47 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah perdagangan manusia dalam pengiriman buruh migran.14 Dari keseluruhan 109 pasal dalam UU No. 39 Tahun 2004 ini, sebanyak 67 pasal membahas mengenai penempatan, dan hanya 8 pasal yang membahas mengenai perlindungan.15 Perjalanan keberpihakan dan perhatian Pemerintah Indonesia terhadap proses penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sejak era Orde Baru hingga Pemerintahan Megawati Soekarnoputeri dapat dilihat sebagai berikut pada tabel 4: Tabel IV.2 Kebijakan Pemerintah terkait Penempatan dan Perlindungan Migrasi Tenaga Kerja (1966-2004) No. Era Pemerintahan dan Kebijakan yang Dihasilkan 1. Soeharto (Orde Baru, 1966-1998) a. Peraturan Pemerintah (PP) No.4 Tahun 1970 tentang Pengerahan AKAD (Antar Kerja Antar Daerah) dan AKAN (Antar Kerja Antar Negara. b. Peraturan Menteri (Permen) No.5 Tahun 1988 tentang Pengiriman Tenaga Kerja ke Luar Negeri 2. B.J. Habibie (Reformasi, 1998-1999) a. Kepmenaker No.92 Tahun 1998 tentang Skema Asuransi Sosial bagi Buruh Migran b. Kepmenaker No.209 Tahun 1999 tentang Penempatan TKI ke Luar Negeri 3. Abdurrahman Wahid (Reformasi, 1999-2001) a. Permenaker No.150 Tahun 2000 tentang Pesangon untuk Antisipasi Dampak Pemberhentian Kerja pada Buruh b. Keppres No.109 Tahun 2001 yang mencetuskan pembentukan Direktorat Perlindungan WNI dan BHI di Kemenlu RI 4. Megawati Soekarnoputeri (Reformasi, 2001-2004) a. UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri. Pada masa inilah Indonesia memiki UU mengenai migrasi tenaga kerja sejak era Orde Baru, dimana penempatan tenaga kerja mulai menjadi kebijakan Pemerintah. UU ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Sumber: Ana Sabhana Azmy (2011) 14 Lembar Info Komnas Perempuan, Vol.I, April 2006. 15 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kemenlu RI dan UKHP Universitas Airlangga, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri, (Jakarta: BPPK Kemenlu RI, 2011), hlm. 6. ~ 48 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Pada tabel klasifikasi diatas, dapat terlihat bahwa dibutuhkan waktu sekitar 16 tahun hingga akhirnya melahirkan undang-undang yang secara khusus mengatur migrasi tenaga kerja. Undang-undang ini pun mendapat berbagai masalah dalam implementasinya, yang lebih jauh baru berjalan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. c. Era Susilo Bambang Yudhoyono Awal masa pemerintahan SBY diwarnai oleh maraknya pemberitaan mengenai permasalahan-permasalahan yang menimpa TKI di Malaysia, termasuk di dalamnya tindak penganiayaan, dan proses penyelesaian permasalahan TKI di negara penempatan yang sering terkatung-katung. Sekalipun telah hadir UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, namun implementasi UU ini di lapangan kerap menemui hambatan, hal ini juga berkaitan dengan substansi UU yang lebih banyak mengatur mengenai prosedur penempatan, dan masih sangat sedikit mengatur mengenai penyiapan dan pendidikan calon TKI serta mekanisme perlindungan TKI di luar negeri. Perhatian Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap proses penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dapat dilihat dari beberapa kebijakan terkait migrasi tenaga kerja yang dihasilkan pada masa ini, kebijakan ini juga merupakan upaya implementasi dari UU No.39 Tahun 2004 yang membutuhkan beberapa peraturan teknis dalam pengimplementasiannya. Ana Sabhana Azmy telah merangkum beberapa kebijakan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terkait proses penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia, yang tertuang dalam tabel 5 berikut: ~ 49 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Tabel IV.3 Kebijakan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia No. Kebijakan yang Dihasilkan 1. Perpres No.81 Tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), dimana struktur operasional kerjanya melibatkan berbagai unsur instansi pemerintah pusat terkait pelayanan buruh migran Indonesia, antara lain, Kemenlu, Kemenhub, Kemenakertrans, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi (Kemenhukam), Setneg, dan lain-lain. 2. Inpres No.6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKILN. Inpres ini dibentuk atas instruksi Presiden SBY pada jajaran kementerian sebagai output dari keluh kesah buruh migran Indonesia di Malaysia dan Qatar. Namun, pada tahap penyusunan kebijakan ini, para organisasi buruh migran dan buruh migran itu sendiri tidak diundang. Poin penting dari proses penempatan buruh migran melalui inpres ini adalah penyederhanaan dan desentralisasi pelayanan dan penempatan TKI dan peningkatan kualitas dan kuantitas calon TKI. Adapun terdapat pula penguatan fungsi perwakilan di negara tujuan penempatan dalam hal peningkatan perlindungan. 3. Inpres No.3 Tahun 2006 mengenai Paket Kebijakan Iklim Investasi. Pada inpres ini terdapat suatu poin yang menyebutkan tentang penghilangan kepemilikan Balai Latihan Kerja (BLK) dari syarat berdirinya PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta). Mekanisme ini sudah baik mengingat banyak PPTKIS melakukan kebohongan bahwa calon TKI telah dilatih di BLK-nya. 4. Keppres No.2 Tahun 2007 tentang Pembentukan BNP2TKI dengan Jumhur Hidayat sebagai pimpinannya. Pada faktanya, pembentukan BNP2TKI membuat calon TKI kebingungan mengingat ada dua pintu rekrutmen dan keberangkatan yaitu BNP2TKI dan Kemenekertrans. 5. Permenakertrans No.18 Tahun 2007, tentang Pelaksanaan dan Penempatan Perlindungan TKI 6. Permenakertrans No.14 Tahun 2010 yang membahas tentang pemisahan tanggung jawab antara Kemenakertrans sebagai regulator dan BNP2TKI sebagai penanggung jawab operasional 7. Permenakertrans No.7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI ~ 50 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Selain kebijakan-kebijakan yang tertulis di atas, terdapat pula beberapa kebijakan lain yang utamanya mengatur mengenai peningkatan pelayanan dan penyiapan keberangkatan calon TKI, diantaranya: 1) Kepmenaker No.14 Tahun 2005 tentang Tim Pencegahan Pemberangkatan TKI Non-Prosedural dan Pelayanan Pemulangan TKI; 2) Permenakertrans No.5 tahun 2009 tentang Pelaksanaan Penyiapan Calon TKI untuk Bekerja di Luar Negeri, dan; 3) Permenakertrans No.23 Tahun 2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan bagi Calon TKI di Luar Negeri. 2. Malaysia sebagai Negara Tujuan Pekerja Migran Indonesia Malaysia adalah tujuan utama penempatan Buruh Migran Indonesia (BMI) di wilayah Asia Pasifik. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tahun 2010 menunjukkan bahwa 123.826 BMI telah ditempatkan di Malaysia pada tahun 2009 dengan jumlah yang meningkat dari tahun ke tahun.16 Keberadaan buruh migran Indonesia di Malaysia tidak dapat dilepaskan dari persoalan internal Indonesia. Persoalan internal yang dihadapi Indonesia adalah kurangnya lapangan kerja yang yang berdampak pada tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Pusat Data Informasi (Pusdatin) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) RI mencatat ada 22.753.520 angka pengangguran terbuka17 di tahun 2005. Pada tahun 2006 menjadi 22.036.693 orang dan 20.559.059 orang di tahun 2007. Tahun 2008 jumlah ini menjadi 18.822.105 orang dan 9.258.964 16 Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) diunduh dari http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/ diunduh pada tanggal 22 September 2012 Pukul 22.10. 17 Penganggur terbuka didefinisikan oleh Sakernas (Survei Tenaga Kerja Nasional) sebagai orang yang sedang mencari pekerjaan atau yang sedang mempersiapkan usaha atau juga yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin lagi mendapatkan pekerjaan, termasuk juga mereka yang baru mendapat kerja tetapi bellum mulai bekerja. Pengangguran terbuka tidak termasuk orang yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga, sehingga hanya orang yang termasuk angkatan kerja saja yang merupakan pengangguran terbuka. Disadur dari Ana Sabhana, Op.cit., hlm. 1. ~ 51 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah orang berstatus sebagai penganggur terbuka hingga bulan Februari 2009.18 Bagi sebagian besar buruh migran Indonesia, Malaysia merupakan negara tujuan utama sejak dua dekade lalu. Faktor kedekatan jarak geografi, persamaan adat/budaya dan bahasa serta terbukanya peluang pekerjaan di berbagai sektor selama ini dinilai telah mendorong pekerja migran Indonesia bermigrasi ke Malaysia. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi tingginya arus migrasi dari para buruh migran Indonesia ke Malaysia:19 Pertama, terdapat masalah ketenagakerjaan internal baik di Malaysia maupun di Indonesia. Malaysia mengalami kelangkaan tenaga kerja setelah proses industrialisasi dimulai, sedangkan Indonesia mengalami surplus tenaga kerja setelah mengalami ledakan angka kelahiran dan angkatan kerja pada masa-masa awal setelah kemerdekaan. Kondisi ini membuat arus migrasi pekerja migran Indonesia ke Malaysia terus meningkat seiring dengan sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia, serta terbukanya beberapa sektor pekerjaan di Malaysia bagi pekerja migran Indonesia. Kedua, kondisi perekonomian Malaysia yang lebih baik dari Indonesia dan jumlah ketersediaan tenaga kerja yang jauh lebih rendah dari Indonesia, membuat upah buruh di Malaysia jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Sebagai gambaran, seorang buruh bangunan di Malaysia memperoleh penghasilan RM 728 per bulan (sekitar Rp 2,3 Juta) yang kurang lebih sama dengan penghasilan pekerja yang tamat SMA atau Sarjana di Indonesia. Bahkan untuk buruh bangunan di Kuala Lumpur, seorang buruh dapat memperoleh antara RM 832-RM 1842 per bulan 18 Berdasarkan Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja, Pusat Data dan informasi Ketenagakerjaan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2009, hlm. 42, sebagaimana diolah oleh Ana Sabhana, Op.cit., hlm.1. 19 Mei Lin, A Study on Indonesian Labour Migrants in Malaysia, ICS Working Paper No.2006-11, (Kuala Lumpur: Institute of China Studies, University of Malaya: 2006), hlm. 13, diunduh dari http://ics.um.edu.my/images/ics/workingpaper/2006-11.pdf pada hari Kamis, 18 Oktober 2012 pukul 20.39 WIB. ~ 52 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia (Rp 2,3 juta-. Rp 5,8 juta per bulan).20 Berikut adalah beberapa perbandingan kondisi ekonomi antara Indonesia dan Malaysia yang disusun oleh Asian Development Bank: 21 Tabel IV.4 Perbandingan Kondisi Ekonomi Indonesia dan Malaysia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Indikator Kunci Jumlah penduduk (juta ) (tahun 2004) Jumlah penduduk usia kerja (juta) (tahun 1997) Jumlah pengangguran (juta) (tahun 2003) Tingkat pengangguran (%) (tahun 2003) GDP per kapita (USD) (tahun 2000) Indeks kemiskinan (1 USD/hari) (tahun 2003) Indeks kemiskinan (2 USD/hari) (tahun 2003) Indonesia Malaysia 216,0 113,0 9,5 9,5% 728 6,5% 50,5% 25,6 13,0 0,3 3,6% 3881 0,2% 9,0% Sumber: Key Indicators 2005 dilansir oleh Asian Development Bank Ketiga, kedekatan geografis, sejarah dan budaya antara Indonesia dan Malaysia. Posisi Malaysia yang bertetangga dengan Indonesia, membuat buruh migran dapat dengan mudah masuk ke wilayah Malaysia, ini pula salah satu maraknya buruh tak berdokumen yang masuk ke wilayah tanpa jalur yang resmi baik lewat darat ataupun laut. Mobilitas buruh migran Indonesia ke Malaysia juga sudah berlangsung sejak masa kolonial bahkan sebelumnya. Tidak sedikit masyarakat Malaysia yang masih memiliki darah Indonesia, yang merupakan keturunan para perantau Indonesia di masa lalu. Dari sisi kebudayaan pun, Malaysia memiliki kesamaan agama dan etnis dengan Indonesia, yaitu agama Islam dan etnik Melayu. Migrasi pekerja migran dari Indonesia ke Malaysia pun didukung oleh kebijakan politik Pemerintah Malaysia untuk mempertahankan keseimbangan komposisi antara etnis Melayu dengan Cina dan India. Keempat, peranan calo atau taekong yang memainkan peranan 20 Suhartono, “TKI dan Implikasinya terhadap Hubungan Indonesia-Malaysia Pasca Penerapan UU Imigrasi Malaysia No.1154”, dalam Poltak Partogi, Op.cit., hlm.158. 21 Sebagaimana dikutip oleh Mei Lin, Op.cit., hlm.14. ~ 53 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah penting dalam menarik minat calon pekerja migran Indonesia untuk bermigrasi ke Malaysia. Mereka berperan sebagai perantara dalam proses perekrutan atau bisa juga mengurus proses migrasi dengan imbalan bayaran dua kali lipat dari jumlah biaya resmi. Seringkali, mereka berperan juga sebagai sponsor yang membiayai keseluruhan proses migrasi. Jaringan antara calo dan agensi perekrutan yang telah berlangsung bertahun-tahun tersebut telah melembaga dan mendorong tumbuhnya industri pekerja migran di Indonesia. Faktor-faktor di atas melatarbelakangi tingginya proporsi buruh migran Indonesia di Malaysia dibandingkan dengan buruh migran dari negara lain-lain. Menurut catatan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, Malaysia, jumlah pekerja migran Indonesia berdokumen yang bekerja di Malaysia pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 1,2 juta orang, yang terdiri dari 310 ribu orang buruh di perkebunan, 294 ribu orang pekerja rumah tangga, 200 ribu orang buruh manufaktur, 100 ribu orang buruh di sektor jasa, dan selebihnya sekitar 90 ribu orang bekerja di sektor pertanian. Sementara itu juga KBRI KBRI memperkirakan jumlah buruh migran tak berdokumen mencapai 800 ribu orang.22 Tabel IV.5 Sektor-sektor dimana Pekerja Migran Indonesia Bekerja di Malaysia (2005) No. Sektor Pekerjaan 1. Perkebunan 2. Domestik/PRT 3. Konstruksi 4. Manufaktur 5. Jasa 6. Pertanian Jumlah Jumlah dan Proporsi Buruh Migran 310.000 (25,5%) 294.000 (24,2%) 220.000 (18,1%) 200.000 (16,5%) 100.000 (8,2%) 90.000 (7,5%) 1.214.000 (11,0%) Sumber: KBRI Kuala Lumpur, 2005. 22 The Institute for Ecosoc Rights, Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI: Antara Indonesia-Singapura-Malaysia, (Jakarta: The Insitute for Ecosoc Rights, 2010), hlm.105. ~ 54 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia 3. Pasang Surut Arus Migrasi Indonesia Malaysia Hubungan ketenagakerjaan Indonesia-Malaysia dapat dikatakan merupakan bagian dari fenomena migrasi penduduk yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Masyarakat Filipina, Indonesia dan Malaysia. Yang dikenal sebagai komunitas Melayu, telah menjalin hubungan cukup luas sejak lama melalui kegiatan-kegiatan perdagangan dan berbagai interaksi lainnya. Mobilitas penduduk yang terjadi secara spontan di Asia Tenggara ini sempat menglamai penurunan ketika negara-negara di kawasan ini memasuki masa kolonialisme Eropa. Negara-negara kolonial, sepeerti Inggris dan Belanda, tidak saja membuat kebijakan garis batas wilayah, tetapi juga membuat kebijakan yang berkaitan dengan kependudukan di masing-masing koloninya.23 Jumlah struktur dan faktor penentu arus masuk pekerja migran dari Indonesia ke Malaysia bervariasi dari waktu-waktu. Arus masuk ini dapat dibagi menjadi enam tahap.24 Siklus arus migrasi buruh migran ke Malaysia ini terkait dengan siklus bisnis dan perubahan stuktur ekonomi Malaysia. a. Tahap I: Era Pra-Kolonial dan Semasa Kolonialisme (19001957) Migrasi dari Indonesia dan wilayah Asia lain ke Malaysia tidak dapat dilepaskan dari strategi pendiri Singapura, Thomas Stamford Raffles (1781-1826) yang sedang mempromosikan Singapura sebagai pusat perdagangan baru di Selat Malaka dan Semenanjung Malaya. Setelah tahun 1870, Pemerintah Kolonial Inggris melanjutkan strategi ini yang menegaskan tidak ada larangan untuk bermigrasi ke wilayah Semenanjung Malaya. Kebijakan imigrasi liberal (Liberal Immigration Policy) bertahan hingga tahun 1930, di saat kuota migrasi mulai diberlakukan. 25 23 Graeme Hugo, ”International Migration in Southeast Asia since World War II”, dalam Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, (Ed.), International Migration in Southeast Asia, (Singapura: ISEAS, 2004), hlm.30-31. 24 The Instite of Ecosoc Rights, Op.cit., hlm. 25 25 Amarjit Kaur, Mobility, Labour Mobilisation and Border Controls: Indonesian Labour Migration to Malaysia Since 1900, Papaer yang disajikan dalam 15th Bien- ~ 55 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Kehadiran dari para migran awal Indonesia dapat ditemukan jejaknya di hampir seluruh wilayah Semenanjung Malaysia, terutama di negara bagian Negeri Sembilan, Selangor, Johor dan Perak.26 Para migran awal ini hadir saat pemerintah kolonial Inggris mulai membuka pintu masuk bagi para pekerja migran dari Jawa dan wilayah lain Indonesia, guna memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang tidak dapat dipenuhi oleh buruh migran dari Cina dan India Selatan. Pemerintah kolonial Inggris memandang dan memperlakukan imigran dari Indonesia ini berbeda dari imigran yang datang dari Cina atau India Selatan. Imigran dari Indonesia ini dianggap berasal dari ras yang sama dengan masyarakat Melayu di Semenanjung. Kebijakan diferensiasi pekerja migran berdasarkan ras ini kemudian berlanjut dan memiiki dampak yang besar pada struktur pekerja migran yang masuk ke Malaysia setalah kemerdekaannya tahun 1957.27 Banyak dari migran Indonesia ini kemudian menetap dan memiliki keturunan, sehingga saat Malaysia memperoleh kemerdekaan, para keturunan ini diberikan pilihan untuk memiliki kewarganegaraan Malaysia. Para keturunan migran awal Indonesia ini kemudian menjadi bagian dari etnik Bumiputera di Malaysia. Keturunan Indonesia di Malaysia juga dibentuk oleh migrasi spontan masa lalu, dimana calon jemaat haji Indonesia di masa lalu menjadikan Singapura dan Malaysia sebagai tempat transit untuk bekerja dan melengkapi perbekalan sebelum melanjutkan perjalanan ke Mekah. Sepulangnya dari ibadah haji, banyak dari jemaat haji Indonesia ini kembali ke Singapura dan Malaysia untuk bekerja, menetap dan kemudian berketurunan.28 nial Coference of The Asian Studies Association of Australia di Canberra, 29 Juni-2 Juli 2004, hlm. 3, diunduh dari http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/ASAA/biennial-conference/2004/ Kaur-A-ASAA2004.pdf pada hari Jumat, 19 Oktober 2012 pukul 19.48 WIB. 26 Azizah Kassim, “The Unwelcome Guests: Indonesian Immigrants and Malaysian Public Responses”, dalam Southeast Asian Studies, Vol. 25 No.2, Sptember 1987, hlm. 267 27 Kaur, Op.cit., hlm.4. 28 Calon jemaat haji Indonesia ini umumnya berasal dari Pulau Bawean Jawa Timur. Lihat, ~ 56 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia b. Tahap II: 1957-1980 Migrasi pekerja migran Indonesia ke Malaysia menurun saat berlangsungnya Perang Dunia II, dan kemudian sempat merangkak naik, sebelum terjun drastis saat terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di tahun 1963. Pada masa Sabah dan Serawak belum masuk bergabung pada Federasi Malaysia, banyak warga Indonesia yang tinggal di perbatasan Kalimantan Timur dan Sabah. Saat ditandatanganinya perjanjian lintas batas antara pemerintah Indonesia dan Malaysia, warga yang tinggal di perbatasan ini kemudian menyeberang ke Malaysia dan berpindah kewarganegaraan. Sebagian dari warga ini bermigrasi karena desakan ekonomi, dan sisanya mencari perlindungan dari kerusuhan yang ditimbulkan gerakan separatis di Kalimantan sejak tahun 1940-an. Mereka yang bermigrasi ini kemudian bekerja sebagai serdadu tentara diraja Malaysia, pegawai di kesultanan, atau bekerja di sektor pertanian.29 Setelah konfrontasi berakhir pada tahun 1966, dengan ditandatanganinya normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia, berangsur-angsur arus pekerja migran Indonesia kembali normal dan cenderung meningkat. Hal ini tejadi terutama setelah Malaysia menerapkan “Kebijakan Ekonomi Baru” di tahun 1971. Pada pertengahan tahun 1970-an, jumlah pekerja migran Indonesia meningkat drastis, dan pekerja migran Indonesia tidak hanya bekerja di sektor pertanian di pedesaan sebagaimana masa-masa sebelumnya, tetapi juga di sektor domestik dan konstruksi yang kebanyakan berada di wilayah perkotaan.30 Kedatangan imigran dari Indonesia ke Malaysia di tahun 1970-an, antara lain disebabkan oleh adanya permintaan khusus Jacob Vredenbergt, Bawean and Islam, terj. A,B. Lapian (Jakarta: INIS, 1990), sebagaimana dikutip oleh Ida Bagoes Mantra, “Indonesian Labour Mobility to Malaysia: A Case study East Flores, West Lombok, and the Island of Bawean, dlm Suhamdi, et.al.,Op.cit., hlm. 145. 29 Suko Bandiyono dan Fadjri Alihar, “A Review of Research Work on International Migration in Indonesia”, dalam Suhamdi, et.al., Op.cit., hlm. 120 30 Kassim, 1987, Op.cit., hlm. 268 ~ 57 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah dari pemerintah Malaysia yang disampaikan oleh Perdana Menteri Tun Abdul Razak kepada Presiden Soeharto dalam sebuah pertemuan informal tahun 1974. Saat itu, Malaysia yang bernama Persekutuan Tanah Melayu tidak siap menghadapi persaingan dengan etnik Cina. Dalam pertemuan tersebut, Pemerintah Malaysia meminta warga negara Indonesia, yang masih merupakan saudara serumpun Melayu, untuk datang ke Malaysia demi meningkatkan komposisi penduduk Melayu untuk mengimbangi jumlah penduduk etnik Cina dan India di Malaysia.31 Pada tahun 1976, jumlah pekerja migran dari Indonesia sedemikian besar hingga akhirnya menarik perhatian dari publik Malaysia. Hal ini merupakan perkembangan terbaru atas eksistensi pekerja migran Indonesia di Malaysia. Hal ini dikarenakan pekerja migran Indonesia yang kini telah merambah sektor pekerjaan di perkotaan, dari sebelumnya bekerja di pertanian atau perkebunan kelapa sawit dan karet yang jauh dari hingar bingar publik. Respon publik terhadap pekerja migran Indonesia terjadi terutama di negara bagian Johor, yang merupakan pintu masuk utama pekerja migran tak berdokumen dari Indonesia untuk wilayah Semenanjung Malaya.32 Hal ini kemudian direspon oleh Pemerintah Malaysia, dengan mengadakan razia dan penggerebekan di wilayah kantung imigran tak berdokumen asal Indonesia bertempat tinggal, dan juga di lokasi-lokasi perkebunan atau konstruksi dimana banyak pekerja migran tak berdokumen asal Indonesia dipekerjakan. Dengan kedatangan pekerja migran asal Indonesia yang terus membanjiri Malaysia, Pemerintah Malaysia kemudian menghadapi sebuah dilema saat harus merespon publik Malaysia yang mulai resah atas banyaknya pekerja migran asal Indonesia. Di satu sisi, Malaysia tetap membutuhkan banyak pekerja migran untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di sektor agrikultur dan konstruksi yang mulai ditinggalkan tenaga kerja 31 Simela Victor, Op.cit., hlm.11. 32 Kassim, Op.cit. ~ 58 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia lokal, namun di satu sisi lain, kehadiran pekerja migran Indonesia ini menimbulkan dampak perubahan struktur sosial ekonomi dan stabilitas politik di Malaysia. c. Tahap III: 1981-1988 Pada tahap ini Pemerintah Malaysia berupaya melegalisasi perekrutan tenaga kerja asing dengan membuat saluran resmi untuk perekrutan tenaga kerja asing dan menandatangani perjanjian bilateral dengan beberapa negara pengirim pekerja migran yang utama. Pada tahun 1982 didirikan Komite untuk Perekrutan Tenaga Kerja Asing (Comittee for the Recruitment of Foreign Worker) dan pada tahun 1984 Malaysia menandatangani perjanjian bilateral Government to Government (G to G) dengan Pemerintah Indonesia di Medan, Sumatera Utara guna mengatur penyediaan pekerja migran Indonesia untuk dipekerjakan di sektor perkebunan dan domestik. 33 Pada tahun 1985, buruh migran tak berdokumen jumlahnya makin meningkat sehingga Pemerintah Malaysia mengambil langkah tegas untuk mengatasinya. Gugus tugas khusus dibentuk oleh Pemerintah Malaysia dibentuk guna mengawasi eksistensi buruh migran tak berdokumen asal Indonesia, gugus tugas ini dikenal dengan sebutan Task Force VII. Gugus tugas ini kemudian melakukan identifikasi dan patroli di titik-titik wilayah dimana buruh migran masuk secara ilegal ke Malaysia. Gugus tugas ini bekerjasama dengan kepolisian, angkatan laut, angkatan udara serta pasukan sipil sukarela yang disebut dengan RELA.34 Tim gabungan ini kemudian mengadakan berbagai pengintaian, penggerebekan, serta penangkapan terhadap buruh migran Indonesia untuk kemudian dimasukkan kedalam rumah detensi dan dapat berujung pada deportasi. Pada dekade ini juga Malaysia terkena dampak resesi ekonomi dunia akibat krisis minyak dan melonjaknya harga kebutuhan barang-barang primer. Pertumbuhan manufaktur yang 33 Ibid., 34 Ibid., hlm. 269. ~ 59 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah dijadikan andalan program NEP mulai mengalami penurunan keuntungan, sehingga banyak industri di Malaysia menghentikan produksinya dan menyebabkan peningkatan angka pengangguran. Keadaan ini menyebabkan penduduk Malaysia dan TKI (khususnya TKI tidak berdokumen) mulai bersinggungan dalam pasar kerja, dan kemudian saling berkompetisi secara langsung di pasar tenaga kerja Malaysia. Hal ini juga menjadi faktor utama mengapa usaha penangkapan dan penindakan terhadap pekerja migran tak berdokumen asal Indonesia oleh publik Malaysia, dan berita-berita mengenai penangkapan pekerja migran tak berdokumen ini senantiasa menghiasi halaman depan surat kabar Malaysia setiap minggunya. d. Tahap IV: 1988-1996 Pemerintah Malaysia pada tahap ini mulai menerapkan kebijakan pengampunan (amnesti) yang ditujukan untuk pekerja domestik dan kemudian diperluas untuk pekerja di sektor perkebunan dan konstruksi. Secara teknis, kebijakan ini memerintahkan para pengusaha Malaysia yang mempekerjakan pekerja migran Indonesia yang tidak berdokumen untuk segera mendaftarkan para pekerjanya tersebut ke Kedutaan Besar Republik Indonesia. Setelah masa amnesti berakhir, tindakan represif kembali mulai dilakukan, Polisi Malaysia bergerilya menangkapi para tenaga kerja Indonesia yang tidak berdokumen. Pada waktu itu, tercatat 12.582 tenaga kerja Indonesia dideportasi dari Malaysia. Tahun 1992 kebijakan pengendalian pekerja migran kembali diketatkan oleh Pemerintah Malaysia dengan operasi militer yang disebut Ops Nyah I dan II. Pada waktu itu, sekitar 40.000 tenaga kerja Indonesia dideportasi dan 1000 lainnya dipenjara.35 Pada era ini polisi dikerahkan untuk menjaga daerah-daerah pantai untuk mencegah masuknya pekerja migran tak berdokumen. Era ini juga ditandai oleh implementasi sistem perekrutan buruh migran secara resmi yang didasarkan semata-mata pada 35 Komnas Perempuan, Op.cit.,hlm. 52. ~ 60 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia perekrutan jarak jauh. Pada era ini, Pemerintaah Indonesia membentuk satu perusahaan tunggal (PT. Bijak) pada tahun 1992 untuk mengawasi bisnis perekrutan tenaga kerja dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam mengontrol perekrutan tenaga kerja.36 Hal ini berkaitan dengan kesediaan buruh migran tak berdokumen asal Indonesia yang bersedia menerima upah lebih rendah dari standar gaji nasional di Malaysia, dan mengganggu posisi tawar pekerja lokal Malaysia. Beberapa serikat buruh lokal di Malaysia semisal National Union of Plantation Worker (NUPW) dan Malaysia Trade Union Congress (MTUC) turut mendesak Pemerintah Malaysia agar membicarakan masalah disparitas upah ini dengan Pemerintah Indonesia.37 e. Tahap V: 1997-1998 Pada era ini sebagian besar negara-negara Asia, termasuk Asia Tenggara diterpa krisis ekonomi yang membuat masingmasing negara perlu merestrukturisasi ekonominya, termasuk dalam hal ketenagakerjaan, Malaysia dan Indonesia tidak luput dari krisis ekonomi ini. Selama era ini pemerintah Malaysia memaksakan pelarangan total untuk memasukkan buruh migran dan menerapkan kebijakan penghematan serta pemulangan buruh migran. Secara umum, jumlah buruh migran berkurang sebsar 38% dari 1,2 juta orang pada tahun 1997 menjadi 780 ribu orang pada tahun 1998.38 Upaya untuk mengontrol buruh migran tak berdokumen terus berlanjut, salah satunya dengan program amnesti. Dengan program ini buruh migran tak berdokumen dapat kembali ke negara asal tanpa dikenai hukuman. Pada era ini pula Malaysia menjalankan sistem pemberian kerja berdasarkan perekrutan jarak jauh (offshore). Selain itu, Pemerintah Malaysia juga berusaha mulai melepaskan ketergantungan terhadap pekerja migran asal Indonesia, dengan melakukan diversifikasi negara pengirim pekerja 36 Kaur, Op.cit., hlm.20. 37 Simela Victor, Op.cit., hlm.13. 38 Data dari Bank Negara Malaysia tahun 2004 yang dikutip oleh The Institue of Ecosoc Rights, Op.cit., hlm. 30 ~ 61 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah migran. Pemerintah Malaysia juga melakukan pemeriksaan kesehatan yang lebih ketat dibanding masa-masa sebelumnya. f. Tahap VI: 1999-2011 Tahap ini diawali oleh pemulihan ekonomi dari krisis dan kebijakan yang memudahkan untuk mempekerjakan buruh migran. Arus masuk buruh migran Indonesia ke Malaysia perlahan meningkat. Keberadaan buruh migran tak berdokumen menurun dengan adanya kebijakan amnesti yang diikuti dengan hukuman, baik terhadap buruh yang tak berdokumen maupun majikan yang mempekerjakannya, sehingga cukup memberikan efek jera. Pemerintah Malaysia mulai menekankan pula penggunaan buruh migran yang terampil dan terlatih. Jika majikan dapat membuktikan bahwa buruh migran yang mereka pekerjakan itu terampil, mereka dapat memperpanjang kontrak buruh migran yang mereka pekerjakan. Pulihnya ekonomi Malaysia dari krisis kembali meningkatkkan jumlah buruh migran, dari sekitar 847 ribu pada tahun 2002 menjadi 1,1 juta orang pada tahun 2003. Pada Desember 2005 jumlah buruh berdokumen mencapai 1,9 juta orang.39 Data tersebut menunjukkan jumlah buruh migran terkait dengan tingkat perkembangan ekonomi dan keberhasilan dalam mencegah migrasi ilegal. Meningkatnya jumlah buruh migran berdokumen sepanjang tahun 2002-2005 dilatarbelakangi oleh adanya kebijakan dan tindakan Pemerintah Malaysia yang ditujukan untuk membendung migrasi ilegal. Pada tahun 2002, terjadi peristiwa deportasi yang luar biasa menyita perhatian adalah saat sekitar 550.00 BMI dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 2002 pasca pemberlakuan undang-undang imigrasi baru di Malaysia. Undang-undang yang bertajuk Akta Imigresen Nomor A-1154 Tahun 2002 ini adalah pengganti Akta Imigresen Nomor 63 Tahun 1959. 40 Dalam undang39 Ibid., hlm.31. 40 Achmad Sujudi et.al, Menyelamatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Nunukan. (Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2004), hlm. 4. ~ 62 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia undang baru ini, tenaga kerja asing yang kedapatan tidak memiliki dokumen yang sah akan ditangkap dan dihukum. Banyaknya pekerja migran Indonesia yang kedapatan tidak berdokumen lengkap akhirnya menjadi korban dalam kasus ini dan kemudian menumpuk di penampungan sementara Nunukan, Kalimantan Timur. Kebijakan pemulangan paksa atau deportasi oleh pemerintah Malaysia terhadap pekerja migran Indonesia tidak berdokumen seakan-akan selalu menyertai perjanjian bilateral ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia. Setelah peristiwa tersebut, elit-elit politik di kedua negara saling melontarkan kecaman, yang kemudian memicu insiden pembakaran bendera Malaysia di Jakarta. Malaysia membalas secara reaktif dengan mengeluarkan travel warning bagi warga negaranya yang akan bepergian ke Indonesia. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu titik terburuk dalam hubungan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia yang telah terjalin berpuluh-puluh tahun lamanya. Sejak saat itu, hubungan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia mengalami pasang surut yang lebih besar. Pada tahun 2002 pernah ada upaya dari kedua negara untuk memperbaiki hubungan ketenagakerjaan dengan ditandatanganinya MoU (Memorandum of Understanding/Nota Kesepahaman) mengenai penempatan BMI antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia. Di dalam MoU tersebut telah diatur sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan penempatan BMI di Malaysia. Namun dalam prakteknya di lapangan kemudian, ternyata masih banyak dijumpai pelanggaran atau pun penyimpangan prosedur, bahkan keberadaan BMI tidak berdokumen di Malaysia cenderung meningkat.41 Dalam upaya meningkatkan perlindungan dan pelayanan buruh migran Indonesia di Malaysia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di masa Erman Suparno membentuk tim negosiator yang membahas kembali MoU penempatan TKLN (Tenaga 41 Simela Victor, Op.cit.,hlm. 17. ~ 63 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Kerja Luar Negeri) ke Malaysia. Pembahasan kembali MoU ini kemudian berujung pada kebijakan moratorium atau penghentian sementara penempatan TKI sektor penatalaksana rumah tangga (domestic worker) ke Malaysia sejak 26 Juni 2009 yang dimaksudkan agar kedua negara melakukan pembenahan dalam mekanisme penempatan serta perlindungan buruh migran. Pada dasarnya di balik penetapan kebijakan ini adalah pada MoU tahun 2006 yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia. Moratorium yang kemudian dicabut pada awal Desember 2011, memberikan sebuah titik baru relasi ketenagakerjaan Indonesia, dengan masuknya beberapa klausa yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia dalam perjanjian perlindungan TKI semisal paspor yang dipegang TKI, dari sebelumnya dipegang oleh majikan sebagaimana diatur dalam MoU sebelumnya. 4. Industrialisasi dan Kebutuhan Malaysia akan Pekerja Sektor Domestik Malaysia adalah salah satu negara yang menjalankan industrialisasi dalam salah satu rencana pembangunan ekonomi nasionalnya. Kebijakan ini dikenal sebagai New Economic Policy (NEP) yang mulai diterapkan pada tahun 1971. Kebijakan tersebut memacu ekspansi industri di Malaysia, terutama sektor manufaktur yang kemudian diikuti oleh penambahan kesempatan kerja di sektor perdagangan, jasa dan birokrasi yang hampir seluruhnya terpusat di daerah perkotaan.42 Jumlah kebutuhan tenaga kerja terus meningkat dalam kurun waktu 1987 hingga 1997, dengan rata-rata kenaikan 3,7 % setiap tahun, sedangkan pertumbuhan angka tenaga kerja lokal hanya mencapai rata-rata 3,1 % setiap tahunnya, ketidakseimbangan neraca tenaga kerja iniliah yang kemudian dipenuhi oleh tenaga kerja migran.43 42 Simela Victor Muhammad dan Adirini Pujiyanti, “Migrasi TKI ke Malaysia”, dalam Poltak Partogi Nainggolan, TKI dan Hubungan Indonesia-Malaysia, (Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005), hlm. 10 43 Mei Lin, A Study on Indonesian Labour Migrants in Malaysia, ICS Working Paper No.2006-11, (Kuala Lumpur: Institute of China Studies, University of Malaya: 2006), hlm. 13, ~ 64 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Salah satu implikasi dari kebijakan ekonomi tersebut adalah terbukanya peluang bagi perempuan Malaysia untuk bekerja di luar rumah, khususnya di sektor industri dan jasa di luar urusan rumah tangga dan merawat anak. Akibatnya, banyak perempuan Malaysia harus pergi bekerja di luar rumah. Kekosongan tenaga kerja di rumah tangga kemudian menciptakan kebutuhan akan penatalaksana rumah tangga (PLRT) yang menggantikan tugas perempuan kelas menengah Malaysia dalam menjaga anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Karena adanya ketidakmampuan publik Malaysia dalam mempekerjakan orang lokal di sektor domestik dan juga semakin berkurangnyanya jumlah PLRT lokal, publik Malaysia kemudian mulai mempekerjakan PLRT migran. Pada pertengahan 1980 sekitar 4.000 PLRT asal Filipina dan Indonesia mulai masuk ke Malaysia. Pada tahun 1980-an hanya PLRT asal Filipina dan Indonesia yang diizinkan masuk ke Malaysia, namun memasuki tahun 1990-an, PLRT asal Thailand, Kamboja dan Sri Lanka pun diizinkan bekerja di Malaysia.44 Malaysia bersama Singapura merupakan negara kantung penerima migran utama di Asia Tenggara. Pada tahun 2010, jumlah imigran di Malaysia menyentuh angka 2,4 juta orang atau sekitar 8,4 % dari total populasi.45 Remiten yang keluar (outflow remittance) dari Malaysia juga merupakan yang terbesar di Asia Tenggara, dimana mencapai angka $ 6,4 Milyar.46 Hal ini berkaitan dengan kebutuhan Malaysia akan buruh migran guna memenuhi jumlah angkatan kerja di beberapa sektor yang mulai ditinggalkan penduduk lokal, semisal perkebunan, konstruksi, dan sektor-sektor informal, semisal PLRT.47 44 45 46 47 diunduh dari http://ics.um.edu.my/images/ics/workingpaper/2006-11.pdf pada hari Kamis, 18 Oktober 2012 pukul 20.39 WIB. Institute of Ecosoc Rights, Op.cit., hlm. 107. International Office of Migration (IOM), World Migration Report 2010, The Future of Migration: Building Capacities for Change, (Jenewa: IOM, 2010), hlm. 171. Ibid., hlm.172. International Labour Organization (ILO), mendefinisikan pekerja sektor informal sebagai seseorang yang statusnya tidak diakui atau dilindungi sebuah kerangka peraturan hukum yang ditegakkan institusi hukum berwenang. Adapun, di Malaysia dan Indonesia, istilah “pekerja ~ 65 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Malaysia juga merupakan negara yang paling membutuhkan PLRT migran di antara negara-negara tujuan migrasi TKI di Asia Pasifik. Pada tahun 2004, misalnya jumlah PLRT migran di Malaysia mencapai 250.000 orang, sementara jumlah PLRT migran di Hong Kong sebesar 217.000 orang, Taiwan 125.000 orang, dan Singapura 150.000 orang.48 Jumlah PLRT migran di Malaysia terus meningkat dari tahun ke tahun dan sampai awal tahun 2003 tercatat sejumlah 233.000 PLRT migran yang masuk ke Malaysia, 95 % berasal dari Indonesia dan sisanya dari Filipina, Sri Lanka, Thailand dan Kamboja. Pada tahun 2005, jumlah PLRT Indonesia di Malaysia mencapai jumlah 294.000 orang.49 PLRT migran bukan merupakan subyek hukum dalam Workmens’ Compensation Act di Malaysia dan kerap kali merupakan subyek obyek eksploitasi yang dilakukan oleh majikannya. Hingga saat ini Malaysia telah mempekerjakan PLRT migran sebanyak 240 ribu orang, dimana 90% diantaranya berasal dari Indonesia.50 Sementara PLRT migran tidak berdokumen diperkirakan telah mencapai angka 2 juta orang. Pekerja asing tidak berdokumen yang terbukti bersalah, kerap kali mengalami siksaan hukum cambuk dan ditahan pihak kepolisian untuk kemudian dideportasi ke negara asalnya. Pekerja migran ini juga kerap menjadi korban pengejaran oleh ratusan relawan kepolisian (RELA).51 [] 48 49 50 51 informal” merujuk pada status majikan. Apabila pekerja bekerja di rumah pribadi atau usaha tidak berbadan hukum maka dia disebut pekerja informal, pada penelitian ini digunakan definsi tersebut. Institute of Ecosoc Rights, Op.cit. Ibid. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri, (Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2011), hlm. 66 Ibid. ~ 66 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia BAB V KONDISI UMUM PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK Pekerjaan sektor domestik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan bukan oleh anggota keluarga, melainkan oleh seseorang yang memperoleh bayaran untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga tersebut”. Pekerjaan domestik ini telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu, namun seiring dengan transformasi sosial dan ekonomi masyarakat yang didorong oleh industrialisasi serta proses ekonomi kapitalistik, pekerjaan ini telah menemukan bentuknya yang baru.1 Di masa lalu hanya kelompok masyarakat tertentu yang dapat mempekerjakan pekerja sektor domestik semisal kaum aristokrat di Abad Pertengahan Eropa, atau kaum borjuis pemilik modal era pasca revolusi industri. Namun kini, setelah meningkatnya perdagangan lintas negara, serta berjalannya industrialisasi di sebagian besar negara, terjadilah peningkatan jumlah kelas menengah di masyarakat yang mampu mempekerjakan pekerja sektor domestik. 1 Jose Moja, “Domestic Service in Global Perspectives: Gender, Migration and Ethnic Niches”, dalam Journal of Ethnic and Migration Studies, Vol. 33, April 2007, hlm. 559. ~ 67 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah 1. Profil Pekerja Migran Indonesia di Sektor Domestik Merujuk pada studi yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan, profil TKI sektor domestik didominasi oleh perempuan dari wilayah pedesaan, dengan rentang usia dari 18 tahun hingga 45 tahun. Namun, selama tahun 1993-2000, Solidaritas Perempuan juga menemukan TKI sektor domestik yang berusia 50 tahun-an yang bekerja di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.2 Mereka yang berusia lebih dari ketentuan ini, umumnya dikirim oleh agen penempatan dengan cara pemalsuan usia di dokumen keberangkatan. Banyak dari TKI sektor domestik ini miskin secara ekonomi dan tidak berpendidikan secara formal. Mereka berangkat didorong oleh pengangguran di daerah asal serta pengharapan akan upah yang lebih tinggi di luar negeri. Hal ini mendorong jumlah TKI sektor domestik untuk terus meningkat setiap tahunnya.3 Besarnya angka penempatan TKI sektor domestik ini juga tidak dapat dilepaskan dari kenyataan profil sumber daya manusia Indonesia, dimana 51,94% dari total 113, 74 juta angkatan kerja Indonesia tidak lulus Sekolah Dasar, dan berdampak langsung pada mutu dan kompetensi SDM yang dimiliki Indonesia.4 Akibatnya, sebagian besar TKI hanya dapat mengisi pangsa pasar tenaga kerja pada sektor-sektor informal yang tersedia di luar negeri. Selain itu, dengan dihapuskannya syarat minimum pendidikan bagi calon TKI melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.019-0120/PUU-III/2005, maka tidak ada yang menghalangi calon TKI dengan pendidikan minim untuk berangkat ke luar negeri.5 Padahal kondisi pendidikan minim serta 2 Komnas Perempuan, Indonesian Migrant Domestic Workers: Their Vulnerabilities and New Initiatives fr the Protection of Their Rights, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2002), hlm. 10. 3 Ibid. 4 Paparan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Rapat Kerja Kepala Perwakilan RI Tahun 2010, sebagaimana dikutip dalam Teguh Wardoyo, “Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”, Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Maret Tahun 2010, hlm. 47. 5 Ibid. ~ 68 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia kompetensi yang rendah ini rentan menjadi pemicu timbulnya masalah-masalah baru bagi TKI ketika berhadapan langsung dengan pekerjaannya dan majikan. Sejak tahun 1970-an, jumlah perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri melonjak tajam, mengimbangi bahkan melampau jumlah pekerja laki-laki yang berangkat ke luar negeri. Jumlah ini pun belum termasuk TKI yang bekerja di luar negeri yang melalui jalur tidak resmi, sehingga kemungkinan jumlah TKI yang bekerja di luar negeri jauh lebih besar lagi. Tabel 8 di bawah mengilustrasikan komposisi penempatan TKI di luar negeri pada rentang tahun 1969-2011: 6 Tabel V.1 Jumlah Penempatan TKI di Luar Negeri Berdasarkan Gender (1969-2011) Tahun 1969-1974 1974-1979 1979-1984 1984-1989 1989-1994 1994-1999 1999-2002 2002-2007 2007-2011 Perempuan * 3.817 55.000 198.735 442.310 503.980 972.198 1.519.542 2.582.429 Laki-laki * 12.235 41.410 93.527 208.962 310.372 383.496 577.737 941.833 TOTAL 5.624 16.042 96.410 292.262 651.272 814.352 1.355.694 2.097.279 3.524.262 Keterangan: * data tidak tersedia Sumber : Migrant Care (2007), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, (2012) 6 Data pada tabel ini disarikan dari Komnas Perempuan, Op.cit., hlm.9 (tahun 1969-2002), Migrant Care (2003-2007), serta data penempatan TKI ke luar negeri terbaru (tahun 2007-2011) dikutip dari data Depnakertrans RI dapat diunduh dari laman http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/katalog/download.php?g=2&c=17, data Migrant Care dikutip dari Gunanto Surjono, Pengkajian Kebutuhan Model Pelayanan Sosial Pekerja Migran, (Jakarta: B2P3KS Press, 2009), hlm.1. ~ 69 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Peningkatan tajam jumlah TKI perempuan didorong oleh beberapa faktor, diantaranya: meningkatnya permintaan dari negara tujuan penempatan karena secara relatif upah TKI secara umum lebih murah dibanding pekerja migran dari negara lain; merebaknya jumlah agen penempatan TKI swasta yang gencar mempromosikan peluang bekerja di luar negeri dengan iming-iming upah yang besar; dan kebijakan pemerintah yang mengindahkan bisnis pengiriman dan penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.7 Proses meningkatnya jumlah TKI perempuan ini juga bisa dilacak pada pendekatan pembangunan yang berjalan sejak tahun 1970, di mana industrialisasi mulai berlangsung. Banyak pengamat/ahli menilai bahwa industrialisasi di pedesaan yang lebih dikenal dengan revolusi hijau mengakibatkan banyaknya perubahan mendasar pada bidang ekonomi, sosial dan kultural di pedesaan. Salah satu faktor yang dibawa revolusi hijau ini adalah penyingkiran dan pembatasan ruang gerak usaha bagi kaum perempuan di sektor pertanian. Proses meledaknya pengangguran perempuan di pedesaan tersebut mulai tidak tertampung lagi melalui mekanisme kultural.8 Pertanian di pedesaan pun lambat laun mengalami kebangkrutan, muncul anggapan bahwa menjadi petani tidak menjanjikan dalam kehidupan. Sehingga implikasi dari revolusi hijau ini, memberikan kontribusi dorongan untuk menjadi TKI (dalam hal ini menjadi TKI sektor domestik bagi perempuan di pedesaan). Fenomena tersebut semakin memperoleh penjelasan saat biaya yang digunakan untuk berangkat ke luar negeri bagi TKI perempuan ini adalah dana pinjaman dan penjualan alat produksi pertanian.9 Latar belakang TKI sektor domestik yang umumnya tidak cukup berpendidikan dan kekurangan informasi karena berasal 7 Komnas Perempuan, Op.cit. hlm. 9. 8 Rusdi Tagaroa dan Encop Sofia, Buruh Migran Indonesia Mencari Keadilan, (Jakarta: Solidaritas Perempuan, 2001), hlm. 75. 9 Ibid., ~ 70 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia dari pedesaan membawa implikasi TKI sektor domestik inilah yang paling rentan mengalami perlakuan sewenang-wenang dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses pengiriman hingga kepulangan dirinya bekerja di luar negeri. Perlakuan sewenang-wenang ini mencakup pelanggaran dalam hal ketenagakerjaan hingga pelanggaran hukum yang bersifat pidana, mulai dari penganiayaan, perkosaan hingga praktik perdagangan manusia. 2. Kerentanan Aspek Perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik Kerentanan TKI sektor domestik dapat dilihat dari berbagai aspek, semisal posisi tawar TKI di lingkungan masyarakat tempatnya bekerja, tingkat pendidikan TKI tersebut, dan akses TKI terhadap perlindungan hukum yang seharusnya ia terima. Budaya patron-klien, feodalisme dan patriarkhi di negara tujuan penempatan, termasuk Malaysia juga turut menegaskan lemahnya posisi tawar TKI di masyarakat. Tingkat pendidikan TKI sektor domestik tercatat: sebanyak 81% hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD, 6% hingga tingkat SMP, dan 9% nya hingga SMA.10 Umumnya TKI sektor domestik ini hidup dalam situasi teropresi, diskriminatf, eksploitatif, dan di saat bersamaan TKI sektor domestik ini juga tidak memiliki kelancaran berbahasa asing yang cukup.11 Lokasi kerentanan TKI ini terjadi pada tiga fase: pra-keberangkatan (pre-departure), saat bekerja (employment), dan saat kembali ke tanah air (return). Solidaritas Perempuan menyusun sebuah matriks lokasi-lokasi dimana TKI sektor domestik mengalami kerentanan perlindungan: 12 10 Komnas Perempuan, Op.cit., hlm. 17. 11 Ibid., 12 Sebagaimana dikutip oleh Komnas Perempuan, Op.cit., hlm. 22. ~ 71 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Tabel V.2 Lokasi-lokasi TKI Sektor Domestik mengalami Kerentanan Perlindungan LOKASI Daerah Asal Tempat Penampungan Tempat Bekerja BENTUK KERENTANAN - Kepulangan - Kurangnya informasi mengenai standar biaya perekrutan. Pemerasan biaya perekrutan oleh calo Pelecehan seksual Pemalsuan identitas TKI Pengisolasian TKI dari dunia luar Lamanya waktu penampungan tanpa kejelasan waktu pemberangkatan Kurang layaknya makanan dan minuman selama di penampungan Terbatasnya fasilitas sanitasi Pelecehan seksual Terserang penyakit Kematian Pelanggaran kontrak kerja: bekerja untuk lebih dari satu majikan, penahanan gaji, gaji tidak dibayar, menanggung sendiri biaya makan dan minum oleh TKI Pelecehan seksual Tidak ada jaminan kesehatan Kematian Pemecatan tidak beralasan oleh majikan, pengusiran paksa, deportasi Penuduhan atas pencurian Pembatasan akses untuk menghubungi dunia luar Pemaksaan perpanjangan kontrak Penolakan pengembalian aset milik TKI oleh majikan; misal, dokumen atau harta benda TKI pulang dengan biaya sendiri Pemerasan saat tiba di bandara Pemaksaan penukaran valas dengan kurs rendah Gaji tidak ditransfer oleh majikan Kematian akibat kecelakaan saat kepulangan Pembiaran anak yang lahir akibat perkosaan di tempat kerja Sumber: YPK, Kopbumi, LBH Apik Pontianak, Solidaritas Perempuan Kerentanan ini kemudian terbukti pada angka permasalahan yang secara nyata dialami oleh TKI sektor domestik bekerja di Malaysia. Data yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Perlindungan ~ 72 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia Kementrian Luar Negeri RI menggambarkan jenis-jenis permasalahan yang dialami TKI sektor domestik. Jenis permasalahan yang paling banyak dialami adalah kasus gaji tidak dibayar (45,50%), disusul oleh majikan tidak sesuai (16,26%), sakit (11,42), beban kerja tidak sesuai (10,01%), penyiksaan/kekerasan fisik (9,93%), pelecehan seksual (3,99%), tidak betah (2,35%), berselisih paham (0,39%), dan jam kerja tidak sesuai (0,16%).13 Secara umum, TKI sektor domestik ini mengalami eksploitasi pada tempatnya bekerja, terlebih apabila TKI sektor domestik tersebut bekerja pada lingkungan rumah yang mengisolasi dirinya dari dunia luar. Dalam kondisi demikian sering ditemui kondisi dimana TKI sektor domestik bekerja dalam jam kerja yang tidak terbatas, dan bahkan tidak memiliki jeda libur ataupun waktu senggang. Studi yang dilakukan International Labour Organization (ILO) menemukan fenomena bahwa pekerja domestik di dunia bekerja lebih dari 15 jam sehari, dan majikannya memiliki kewenangan dan ekspektasi bahwa pekerja domestik ini harus siap dipanggil kapan saja.14 Kondisi ini juga berlaku di Malaysia, di mana majikan yang memberlakukan kebiasaan ini berargumen bahwa dilarangnya TKI sektor domestik keluar rumah adalah untuk kebaikan perlindungannya sendiri, dengan kekhawatiran TKI sektor domestik tersebut hamil di luar nikah akibat pergaulannya di luar rumah tempatnya bekerja.15 Rendahnya upah, serta mekanisme pembayaran upah yang bergantung pada majikan juga menjadi salah satu masalah yang dialami TKI sektor domestik. Majikan cenderung lebih memilih membayarkan upah secara tunai dibandingkan transfer perbankan, dan kemudian kadang menunda pembayaran upah tersebut dengan alasan akan dibayar pada akhir kontrak TKI 13 “Dilema Perlindungan TKI”, Tabloid Diplomasi, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, No.47 Tahun IV, 15 September-14 Oktober 2012, hlm. 8. 14 Alice Hulling, “Domestic Workers in Malaysia: Hidden Victims of Abuse and Forced Labour”, dalam International Law and Politics, Vol.44, hlm. 644 15 Ibid. ~ 73 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah tersebut.16 Ancaman akan penganiayaan serta pelecehan seksual juga menjadi kerentanan dan masalah utama yang dialami TKI sektor domestik. Migrant Care melaporkan hingga tahun 2009 telah terjadi 1.018 kasus kematian TKI, dan umumnya terjadi di Malaysia dan Arab Saudi.17 3. Kekosongan Perlindungan Hukum di Negara Tujuan Penempatan bagi Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik Salah satu hal yang menyulitkan dalam penyelesaian kasus ketenagakerjaan antara TKI dan majikan adalah: pekerjaan sektor informal, khususnya Penata Laksana Rumah Tangga, tidak diatur dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan nasional di sebagian besar negara tujuan penempatan karena sifatnya yang dipandang informal. Hal ini menjadi penting, karena aspek perlindungan yang sifatnya interventif dan melalui jalur diplomatik hanya bisa dilakukan bila dua hal telah terpenuhi: (1) mekanisme nasional di negara tujuan penempatan telah ditempuh total (exhaustion of local remedies) dan (2) perlindungan diberikan terkait dengan individu yang memiliki kewarganegaraan negara pemberi perlindungan sejak tanggal terjadinya permasalahan hingga tanggal selesainya permasalahan tersebut.18 Kondisi ini juga terjadi di Malaysia, sebagai salah satu negara tujuan utama TKI sektor domestik. Akta Ketenagakerjaan Malaysia Tahun 1955 (The Malaysian Employment Act 1955) adalah hukum ketenagakerjaan yang menjadi pegangan bagi hukum-hukum ketenagakerjaan lain yang ada di Malaysia. Namun, pekerja sektor domestik (domestic workers) direferensikan sebagai pembantu sektor domestik (domestic servant) dalam akta ini, sehingga menyingkirkan pekerja sektor domestik untuk mendapatkan hak-hak yang dijamin bagi pekerja-pekerja di 16 Ibid., hlm. 646. 17 Ibid., hlm. 648. 18 Wardoyo, loc.cit, hlm. 57 ~ 74 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia sektor lain. Termasuk dalam hak-hak yang diekslusikan bagi pekerja sektor domestik adalah hak adanya hari libur dalam seminggu, hak berlibur, hak upah lembur, dan pesangon atas pemutusan kontrak.19 Selain Akta Ketenagakerjaan tahun 1956, aturan ketenagakerjaan lain di Malaysia juga turut menyingkirkan pekerja sektor domestik untuk memperoleh hak-hak seperti pekerja di sektor lain. Akta Kompensasi bagi Pekerja di Malaysia Tahun 1952 (1952 Workmen’s Compensation Act of Malaysia) turut mengekslusikan pekerja domestik migran dalam hal memperoleh kompensasi apabila terjadi kecelakaan kerja atau sakit akibat kondisi kerja.20 Aturan imigrasi yang berlaku bagi pekerja migran di Malaysia. Adanya kekosongan kerangka perlindungan hukum bagi pekerja sektor domestik di Malaysia dan beberapa negara tujuan penempatan lain, dan dalam rangka memenuhi mandat pasal 11 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 yang mensyaratkan penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara pengguna TKI atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan,21 maka Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Luar Negeri RI harus mendorong terbentuknya perjanjian bilateral di bidang penempatan dan perlindungan TKI antara Indonesia dengan negara-negara tujuan, misalnya dengan menyepakati sebuah Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU). Hingga bulan Desember 2009, Pemerintah Indonesia baru memiliki kerjasama bilateral dengan sembilan negara, yaitu: Malaysia; Korea Selatan; Yordania; Kuwait; Taiwan; Uni Emirat Arab; Australia; Qatar; dan Jepang, padahal BNP2TKI 19 CARAM Asia, Reality Check! Rights and Legislation for Migration Domestic Workers Across Asia, (Kuala Lumpur: CARAM Asia, 2011), hlm. 26. 20 Ibid., hlm. 27 21 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Pasal 11 ayat 1. ~ 75 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah menyatakan TKI tersebar di 32 negara di seluruh dunia.22 Singapura dan Hongkong meski tidak memiliki perjanjian dengan Indonesia dapat dikecualikan karena sistem ketenagakerjaannya telah mengatur masalah pekerja migran/tenaga kerja asing termasuk diantaranya pekerja migran pada sektor informal.23 [] 22 Wardoyo, loc.cit. 23 Ibid. ~ 76 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia BAB VI KRONOLOGISASI PEMBERLAKUAN KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK KE MALAYSIA TAHUN 2009-2011 Bab ini akan menguraikan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia sejak mulai kebijakan ini dicanangkan pada pertengahan tahun 2009, hingga pencabutannya di penghujung tahun 2011. Latar belakang serta dinamika isu dalam negosiasi selama periode moratorium ini akan menjadi bahan analisa kepentingan Pemerintah Indonesia dalam kebijakan moratorium ini yang akan disampaikan pada bab berikutnya. 1. Pemberlakuan Moratorium Penempatan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia dan Respon Awal Pemerintah Malaysia Tanggal 26 Juni 2009 menjadi titik awal babak baru hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia, terutama dalam koridor penempatan TKI sektor domestik yang telah berlangsung sekian lama. Pemerintah Indonesia melalui Dirjen Binapenta, Kemenakertrans (Direktorat Jenderal ~ 77 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi) melansir surat yang menyatakan penghentian sementara (moratorium) penempatan TKI sektor penata laksana rumah tangga (PLRT/domestik) ke Malaysia.1 Pemerintah Indonesia dalam surat tersebut menyampaikan bahwa pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia, khususnya sektor domestik seringkali menimbulkan banyak permasalahan. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan evaluasi terhadap penempatan dan perlindungan sektor domestik ke Malaysia. Selain daripada itu, penghentian sementara pelayanan penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini juga untuk menunggu penyelesaian permasalahan TKI yang ada dan juga perbaikan/revisi Memorandum of Understanding (MoU/Nota Kesepahaman) antara Indonesia dan Malaysia mengenai penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia.2 Malaysia yang merasa terganggu dengan keputusan Pemerintah Indonesia yang menghentikan pengiriman tenaga penata laksana rumah tangga ke Malaysia secara sepihak, kemudian meminta Indonesia untuk berunding terlebih dahulu dengan Malaysia. Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia, Datuk S. Subramaniam, mengatakan bahwa ada baiknya Indonesia melihat semua kemungkinan jalan keluar sebelum mengambil keputusan. Subramaniam menambahkan, apabila Indonesia menganggap keputusan moratorium itu final, maka Malaysia akan mengambil pilihan lain yang tersedia, misalnya mengambil tenaga kerja dari negara ASEAN lain.3 Pada kesempatan lain, Subramaniam pun menilai keputusan boikot dalam bentuk 1 Surat Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, Nomor B.677/PPTK-TKLN/VI/2009, Perihal Penghentian Sementara Penempatan TKI ke Malaysia tertanggal 26 Juni 2009, ditandatangani oleh Direktur PTKLN (Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri) Abdul Malik Harahap. 2 Ibid. 3 “Malaysia Janji Hukum Penyiksa TKI, SBY Didesak Kirim Nota Protes”, Senin 29 Juni 2009, Pukul 08.41 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid= 8&artid=598 diunduh pada tanggal 4 Mei 2012, Pukul 12.31 WIB. ~ 78 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia moratorium ini merupakan keputusan yang emosional serta hanya akan menjadi isu sementara saja, dan sesudah Pemilu Presiden Indonesia tahun 2009, semua akan kembali normal.4 Menyikapi kebijakan moratorium ini, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak merespon dengan berjanji akan mengambil tindakan keras terhadap para majikan yang bertindak kejam terhadap penata laksana rumah tangga asal Indonesia. Ia juga mendesak para majikan lebih memperhatikan kesejahteraan para PLRT itu. Menteri SDM Malaysia, S. Subramaniam mengatakan setiap tahun rata-rata muncul 50 kasus penganiayaan penatalaksana rumah tangga asal Indonesia di Malaysia yang jumlahnya mencapai 300 ribu orang. Malaysia tidak memiliki undang-undang yang mengatur pekerja rumah tangga, namun Malaysia berjanji akan merancang undang-undang untuk melindungi pekerja domestik migran dari pelecehan seksual, gaji tidak dibayar dan kondisi kerja yang menyedihkan.5 2. Pertemuan-Pertemuan Awal Indonesia dan Malaysia Terkait Amandemen Memorandum of Understanding (MoU) Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia Pembicaraan bilateral pertama antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia terkait penempatan dan perlindungan TKI dijadwalkan akan dilangsungkan pada 6 Juli 2009 di Puterajaya, Selangor, Malaysia. Menakertrans Erman Suparno dijadwalkan bertemu dengan Menteri Hal Ehwal Dalam Negeri, serta Kepala Kepolisian Malaysia. Erman menyatakan bahwa pertemuan ini akan membahas soal revisi MoU terkait solusi bagaimana agar Pemerintah Malaysia benar-benar dapat menyeleksi calon majikan TKI dan menghukum tegas oknum majikan yang 4 “Menyikapi Kepongahan Negeri Tetangga”, Rabu, 1 Juli 2009 Pukul 00.00 WIB, http://www. migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=599 diunduh pada tanggal 4 Mei 2012, Pukul 12.44 WIB. 5 “Malaysia Janji Hukum…”, loc.cit. ~ 79 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah melanggar hukum atas TKI. Pembicaraan ini sebenarnya telah dimulai sebelumnya antara Menakertrans RI dan Menteri SDM Malaysia S.Subramaniam di sela-sela sidang Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization, [ILO]) di Jenewa, Swiss sebulan sebelumnya.6 Pertemuan pertama tersebut kemudian akan dilanjutkan pada pertemuan kedua pada tanggal 15 Juli 2009, namun akhirnya mundur hingga akhir bulan, karena beberapa isu dan tuntutan Indonesia terkait revisi MoU harus Malaysia bawa terlebih dahulu pada pembahasan di tingkat parlemen. Adapun proposal revisi MoU yang Indonesia usulkan antara lain: 1) paspor di tangan TKI; 2) libur sehari dalam seminggu; 3) kenaikan gaji; 4) kontrak kerja yang transparan dengan deskripsi kerja yang jelas; 5) akses pemantauan oleh perwakilan tetap RI dan agen; 6) penghapusan penempatan TKI secara individual, dan; 7) penegakan hukum terhadap pengguna jasa TKI tidak berdokumen. Namun, Malaysia pada pertemuan bilateral ini hanya bersedia membahas empat isu yaitu hari libur sehari dalam seminggu, perlindungan asuransi dan gaji minimal. Adapun Malaysia tidak akan menyinggung izin bagi TKI untuk memegang paspor yang selama ini ada di majikan.7 Menjelang pertemuan pertama tersebut dilangsungkan, Pemerintah Malaysia juga sempat meminta Pemerintah Indonesia segera menyampaikan usulan mengenai struktur biaya (cost structure) yang lebih realistis dalam perekrutan dan penempatan TKI sektor domestik untuk Malaysia. Sampai dengan bulan Juli 2009, pihak pengguna jasa atau majikan TKI di Malaysia harus membayar RM 6.000 hingga RM 8.000 untuk mendapatkan TKI di sektor informal atau yang bekerja sebagai penata 6 “RI-Malaysia Bertemu”, Senin 6 Juli 2009 Pukul 04.10 WIB, http://lipsus.kompas.com/dulmatin/read/2009/07/06/09300760/Bahas.TKI..RI.Malaysia.Bertemu diunduh pada tanggal 5 Mei 2012, Pukul 10.12 WIB. 7 “Malaysia Siap Bahas Empat Isu”, Rabu 15 Juli 2009, Pukul 02.21 WIB, http://www.republika. co.id/berita/breaking-news/ekonomi/09/07/15/62198-malaysia-siap-bahas-empat-isu-soal-prt diunduh pada tanggal 13 Mei 2012, Pukul 15.14 WIB. ~ 80 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia laksana rumah tangga. Dana yang dikeluarkan tersebut setara dengan Rp 18 juta hingga Rp 24 juta. 8 Adapun Konsuler Penerangan, Sosial dan Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, Widyarka Ryananta, menerangkan berdasarkan sejumlah poin dalam rencana revisi MoU kedua negara, tertera biaya yang ditanggung oleh majikan atau pengguna jasa sebesar RM 2.415 atau sekitar Rp 7,25 juta dan yang ditanggung setiap penata laksana rumah tangga sebesar RM 1000 atau sekitar Rp 3,07 juta.9 Biaya yang harus ditanggung TKI itu akan dibayarkan dengan cara pemotongan gaji mereka setiap bulan dalam jangka waktu tertentu. Selepas kedua pertemuan tersebut, Pemerintah Indonesia pada akhirnya melanjutkan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia hingga selesainya pembahasan Joint Working Group (JWG) antar kedua negara. Keputusan untuk melanjutkan moratorium ini diambil mengingat berakhirnya batas waktu pembahasan pada 1 Agustus 2009 yang sebelumnya telah disepakati oleh kedua belah pihak. Menakertrans Erman Suparno menyatakan ia telah menerima informasi bahwa pembahasan Pemerintah Malaysia dengan parlemen telah selesai dilaksanakan dan usulan dari Indonesia pada prinsipnya tidak ada masalah, tapi tidak semua usulan dapat direalisasikan. Dari hasil pembahasan tersebut, dari tujuh usulan Indonesia hanya ada empat usulan yang disetujui, yakni hak libur TKI sehari dalam seminggu, perlindungan asuransi, perbaikan kontrak kerja dan pemberian gaji minimal.10 Pemerintah Indonesia awalnya yakin moratorium akan dicabut pada 1 Agustus 2009 sesuai tenggat waktu yang disepakati 8 “Struktur Biaya TKI dinilai Tak Realistis”, Selasa, 28 Juli 2009, Pukul 00.00 WIB http://www. migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=612 diunduh pada tanggal 13 Mei 2012, Pukul 15.16 WIB. 9 Ibid., 10 “Moratorium TKI Informal Berlanjut”, Senin 3 Agustus 2009, Pukul 00.00 WIB, http://www. migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=618 diunduh pada tanggal 15 Mei 2012, Pukul 12.18 WIB. ~ 81 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah kedua belah pihak, namun ternyata perundingan lebih alot dari yang dibayangkan. Pembahasan MoU diakui Menakertrans Erman Suparno berjalan lambat, karena pasal-pasal dalam draft MoU harus mendapat persetujuan dari Parlemen Malaysia. Karena itu, tim negosiator Malaysia sering meminta penundaan sidang untuk konsultasi dengan parlemen. Klausul yang paling alot dibahas terkait dengan paspor yang dipegang oleh TKI. Pemerintah Indonesia meminta paspor tetap dipegang TKI, sesuai ketentuan perburuhan internasional.11 Terkait klausul paspor yang dipegang TKI, masalah struktur biaya penempatan TKI yang dinilai tidak rasional juga turut mempersulit upaya Pemerintah Indonesia untuk mendesak Malaysia menyetujui usulan agar paspor TKI tidak lagi dipegang oleh majikan mereka, tetapi diserahkan kepada pekerja. Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah mengatakan para majikan TKI di Malaysia akan enggan membiarkan paspor dipegang sendiri oleh TKI, karena majikan tersebut telah mengeluarkan uang yang cukup besar untuk bisa mempekerjakan mereka.12 Alotnya pembahasan poin-poin revisi MoU ini pada akhirnya membawa konsekuensi masa moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia menjadi lebih panjang. 3. Dinamika Negosiasi Pemerintah Indonesia dan Malaysia: Negosiasi Alot Seputar Standar Upah Minimum serta Penyesuaian Biaya Rekrutmen dan Penempatan (Cost Structure) Setelah batas tenggat waktu pembahasan revisi MoU terlampaui, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia segera merumuskan detail kesepakatan nota kesepahaman 11 “RI Tolak Cabut Moratorium TKI Malaysia”, Kamis 6 Agustus 2009, Pukul 07.15 WIB, http:// www.equator-news.com/utama/ri-tolak-cabut-moratorium-tki diunduh pada tanggal 2 Juni 2012, Pukul 15.32 WIB. 12 “Biaya Penempatan TKI akan Persulit Negosiasi”, Rabu, 12 Agustus 2009, Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=633 diunduh pada tanggal 13 Juni 2012, Pukul 02.16 WIB. ~ 82 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia pada tanggal 5 September 2009. Negosiator dari kedua negara sebelumnya telah membahas usulan perubahan terbaru MoU di Kuala Lumpur yang diadakan padad 20 Agustus 2009. Direktur Perlindungan Warga Negara dan Bantuan Hukum Indonesia Kemenlu RI, Teguh Wardoyo menyampaikan bahwa pertemuan kedua negara ini dilakukan setelah Indonesia mengajukan usulan peninjuan kembali nota kesepahaman tentang tenaga kerja Indonesia. Usulan yang disampaikan antara lain masalah kenaikan gaji, paspor harus dipegang oleh pekerja, serta hak cuti dan libur satu hari dalam seminggu.13 Pada tahap ini, Kepala Pusat Humas Kemenakertrans RI, Sumardoko, menyatakan bahwa semua usulan sudah disetujui pihak Malaysia, tapi masih perlu dirumuskan secara detail, karena hanya usulan paspor yang dipegang TKI dan upah terendah yang telah dibahas lebih rinci. Pemerintah Malaysia menyetujui usulan upah minimum sebesar RM 600 atau setara dengan Rp 1,8 juta. Upah minimum sebesar RM 600 ini diberlakukan untk seluruh pekerja informal. Namun, Sumardoko melanjutkan, masalah asuransi dan sanksi bagi majikan yang menggunakan pekerja tidak berdokumen tidak masuk bahasan negosiasi.14 Terkait masalah upah minimum dan paspor ini, Wahyu Susilo, analis kebijakan Migrant Care ini menyatakan kekhawatiran bahwa hasil rumusan nota kesepahaman ini berdasarkan jual beli kepentingan. Indonesia menginginkan paspor dipegang pekerja dan Malaysia menginginkan upah rendah. Upah minimum yang diajukan Pemerintah Indonesia menurut Wahyu Susilo terlampau kecil, karena kesepakatan soal jumlah tersebut akan menurunkan upah sejumlah pekerja yang selama ini lebih tinggi, sekitar RM 1000-1.200, menurutnya upah yang 13 “Soal TKI di Malaysia, Kesepakatan Dirumuskan September”, Rabu, 26 Agustus 2009, Pukul 00.00 WIB, diunduh dari http://koran.tempo.co/konten/2009/08/27/174929/SOAL-TKI-DIMALAYSIA-Kesepakatan-Dirumuskan-September diunduh pada tanggal 11 Mei 2012, Pukul 12.42 WIB. 14 Ibid. ~ 83 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah layak seharusnya RM 900-1000.15 Setelah pertemuan dan negosiasi yang berlangsung alot tersebut, Malaysia akhirnya menerima beberapa proposal yang diajukan Indonesia terkait pelayanan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di Malaysia, khususnya untuk penata laksana rumah tangga, antara lain diizinkannya TKI memegang sendiri paspornya. Dengan demikian, kartu pengenal TKI yang dikeluarkan Pemerintah Malaysia, yang selama ini dianggap pengganti paspor, tidak diberlakukan lagi. Seiring dengan kebijakan itu, Pemerintah Malaysia menegaskan akan memberlakukan sanksi yang tegas kepada pelanggar hukum, baik TKI maupun majikan yang mempekerjakan TKI tidak berdokumen.16 Selain tentang paspor, Pemerintah Malaysia juga menyetujui TKI di sektor rumah tangga menerima hak libur dalam seminggu dan ketentuan tentang upah minimum. Namun, dua hal itu masih harus dibahas dengan parlemen Malaysia karena menyangkut kebijakan publik. Adapun tentang struktur biaya penempatan TKI, pelaksana penempatan TKI swasta Indonesia dan agen penempatan di Malaysia akan bertemu di Jakarta pada tanggal 5 September 2009. Dalam pertemuan itu, RI dan Malaysia sepakat membentuk satuan tugas pengawasan pelayanan dan perlindungan TKI di Malaysia.17 Namun selepas pertemuan pada tanggal 5 September 2009, Pemerintah Malaysia masih tidak menyetujui usulan upah minimum RM 800 bagi TKI yang bekerja di sana. Angka tersebut dinilai terlalu tinggi dan akan sulit terjangkau bagi banyak majikan. Menteri Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat Malaysia, Datuk Seri Shahrizat Abdul Jalil mengatakan juga bahwa Undang-undang Tenaga Kerja Malaysia Tahun 1955 tidak mengatur tentang upah minimum untuk setiap sektor 15 Ibid. 16 “Malaysia Terima Usul Indonesia, Hak Libur Sehari Menunggu Putusan Parlemen”, Senin 24 Agustus 2009, Pukul 03.12 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=v iewarticle&cid=8&artid=641 diunduh pada tanggal 11 Juli 2012, Pukul 12.11WIB. 17 Ibid., ~ 84 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia pekerjaan. Sehingga usulan kebijakan upah minimum untuk pekerja asing di Malaysia yang diusulkan negara asal pekerja, harus dipelajari dengan teliti terlebih dahulu sebelum disetujui. Shahrizat menerangkan bahwa Malaysia adalah negara yang menerapkan ekonomi terbuka, sehingga upah bagi setiap pekerja di semua sektor harus ditentukan oleh pasar.18 Menanggapi pendapat demikian, Menakertrans Erman Suparno menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia masih harus menunggu kesepakatan Parlemen Malaysia terhadap perubahan nota kesepahaman pekerja sektor domestik antara pihak Indonesia dan Malaysia hingga bulan Oktober 2009. Sidang Parlemen Malaysia masih akan membahas standar minimum gaji yang baru akan dibahas bulan Oktober. Prinsipnya, standar upah minimum sudah disepakati, namun besarannnya masih dinegosiasikan.19 Media-media Malaysia melaporkan, pihak Indonesia terlalu menuntut gaji tinggi dengan standar RM 800, atau sekitar Rp 2 juta/bulan, dari rata-rata gaji selama ini yang sekitar RM 400-450. Menakertrans Erman Suparno menyatakan bahwa komite bersama Indonesia-Malaysia memang sedang membahas standar upah baru, yang diharapkan akan menjadi standar kenaikan gaji secara regular setiap tahun. Namun masalahnya adalah Malaysia selama ini tidak mempunyai ketentuan upah bagi para pekerjanya, seperti Upah Minimum Regional (UMR) di Indonesia, sehingga mereka kesulitan menghitung dan memastikan besaran upah buruh. Untuk itu mereka menunggu rekomendasi dari parlemen.20 Sampai dengan tahap ini, dari berbagai masalah yang 18 “Malaysia tidak Setuju Upah Minimum TKI 800 Ringgit”, Senin 7 September 2009, Pukul 04.25 WIB, diunduh dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=235117 diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.16 WIB. 19 “Standar Upah Minimum TKI Disepakati”, Senin 7 September 2009, Pukul 16.28 WIB, http:// www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher$op=viewarticle&cid=8&artid=674 diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.23 WIB. 20 Ibid. ~ 85 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah dibahas komite ketenagakerjaan Indonesia-Malaysia, ada dua poin penting yang telah disepakati, diantaranya kesepakatan kebijakan pemberian satu hari libur per minggu bagi TKI sektor domestik asal Indonesia di Malaysia, dan kebijakan paspor boleh disimpan dan dipegang sendiri oleh pembantu rumah tangga. Menakertrans Erman Suparno juga mengatakan, ada satu poin lagi yang kini masih menjadi bahan perundingan, yaitu soal asuransi tenaga kerja. Ada substansi yang paling mendasar yakni pengguna (majikan) harus menanggung masalah asuransi.21 Memasuki bulan Oktober 2009, wacana babak akhir negosiasi terkait pembaharuan MoU Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik ke Malaysia antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia mulai bergulir. Hasil perundingan antar kedua negara selama ini menyetujui tiga usulan dari enam usulan yang disampaikan Pemerintah Indonesia, yakni mengenai paspor yang diserahkan kepada TKI, libur satu hari dalam seminggu, dan adanya kenaikan gaji. Plt. Dirjen Binapenta Kemenakertrans, I Gusti Made Arka menerangkan bahwa yang masih dalam tahap pembicaraan secara intensif adalah mengenai struktur pembiayaan (cost structure) perekrutan dan penempatan TKI ke Malaysia.22 I Gusti Made Arka pun menjelaskan ketiga usulan Pemerintah Indonesia yang disepakati oleh kedua negara itu sudah dibicarakan secara spesifik dan mendapat persetujuan dari Pemerintah dan Parlemen Malaysia. Mengenai usulan lain Pemerintah Indonesia: transparansi kontrak kerja dan deskripsi yang kerja yang jelas; penghapusan penempatan TKI secara individual, dan; penegakan hukum bagi pengguna jasa atau majikan yang menggunakan TKI ilegal masih belum ada persetujuan antarkedua negara. Soal skala upah TKI yang sudah disepakati 21 Ibid. 22 “Revisi MoU TKI Segera Diteken, Moratorium ke Malaysia Masih Berlaku”, Senin 5 Oktober 2009, Pukul 00.49 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticl e&cid=8&artid=685 diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.43 WIB. ~ 86 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia pada tahap awal bekerja sebagai TKI sebesar RM 600 dan akan mengalami kenaikan sesuai dengan masa kerja, serta keterampilan dari setiap TKI.23 Sementara itu, mengenai struktur pembiayaan rekrutmen dan penempatan TKI ke Malaysia yang tengah dalam pembahasan, Made Arka menyatakan ketentuan lama sebesar RM 3.450 per TKI yang bekerja di sektor informal. Perinciannya sebesar RM 1.035 dibayar oleh pihak Indonesai dalam hal ini oleh pelaksana penempatan tenaga kerja swasta (PPTKIS) dan sekitar RM 2.415 dibayar oleh pengguna jasa (majikan) di Malaysia. Yang kini dibahas adalah pembagian struktur biaya rekrutmen dan penempatan agar bisa mencapai sebesar 30% dari biaya yang ditanggung PPTKIS atau TKI dan 70% oleh majikan atau pengguna jasa. Namun, angka struktur biaya tersebut masih belum ideal, karena yang diinginkan Pemerintah Indonesia adalah 25% dari total biaya sekitar RM 3.450 ditanggung PPTKIS atau TKI dan selebihnya 75% dibebankan kepada majikan atau pengguna jasa di Malaysia.24 Pertemuan terakhir di tahun 2009 dilangsungkan pada tanggal 19 November 2009, beriringan dengan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Malaysia pada tanggal 19-21 November 2009. Menakertrans Muhaimin Iskandar yang turut mengawal kunjungan Presiden tersebut akan bertemu dengan Menteri dalam Negeri Malaysia, Datuk Sri Hishammuddin Tun Hussein, dan Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia, Datuk S. Subramaniam. Terdapat lima poin yang akan dirundingkan Pemerintah RI dan Malaysia antara lain revisi aturan majikan memegang paspor TKI, pemberian cuti sehari dalam seminggu, peningkatan gaji dan kondisi kerja, perlunya lembaga pengawasan (monitoring) terhadap kondisi kerja TKI, serta pengurangan biaya penempatan TKI.25 23 Ibid. 24 Ibid. 25 “Larangan Pengiriman TKI ke Malaysia akan Dicabut”, Kamis 12 November 2009, Pukul ~ 87 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah 4. Perumusan Akhir Revisi MoU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia Memasuki tahun 2010, Menakertrans Muhaimin Iskandar menyatakan substansi revisi MoU tentang Rekrutmen Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia telah selesai dibahas pada tanggal 10 Maret 2010. Malaysia akhirnya menyepakati empat poin yang diajukan. Keempatnya adalah, dicabutnya aturan majikan yang memegang paspor tenaga kerja, adanya cuti satu hari bagi pekerja dalam seminggu, perlunya lembaga pengawasan (Joint Task Force), serta penyesuaian biaya penempatan tenaga kerja (cost structure). Direktur PPTKLN Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, Abdul Malik Harahap, menyatakan bahwa perumusan redaksional nota kesepahaman akan dilakukan kemudian di Jakarta pada tanggal 25-26 Maret 2010.26 Dalam perundingan yang dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 2010, Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, I Gusti Made Arka mengatakan pembahasan kerap menemui jalan buntu ketika membahas tentang struktur biaya penempatan (cost structure). Ada tiga pendapat dari parlemen Malaysia, yaitu biaya rekrutmen TKI ke Malaysia ditanggung 75% oleh pihak Malaysia, sisanya dari Indonesia. Kedua, berdasarkan ketentuan yang lama, 60% ditanggung oleh Malaysia dan 40% Indonesia. Pandangan terakhir adalah, Malaysia harus menanggung seluruh biaya pengiriman TKI. Adapun pemerintah Indonesia mengacu pada cost structure yang disesuaikan dengan kebutuhan. Biaya setiap tenaga kerja berbeda-beda tergantung asal daerahnya. Itu sebabnya, pembahasan soal biaya penempatan sulit mencapai titik temu.27 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&art id=740 diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.48 WIB. 26 “MoU Tenaga Kerja Akhirnya Tuntas: Baru Sebatas Kebutuhan Minimal Perlindungan TKI”, Jumat, 12 Maret 2010, Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publi sher&op=viewarticle&cid=8&artid=848 diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.53 WIB. 27 Ibid. ~ 88 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Pada tahun 2010 ini pula sempat dijalankan pertemuan bilateral keenam antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia dalam Joint working Group pada tanggal 23 Agustus 2010 di Jakarta. Pertemuan ini membahas lebih dalam Letter of Intent Amandemen MoU Rekrutmen dan Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia yang telah dirumuskan sebelumnya di Putrajaya, Malaysia pada tanggal 18 Mei 2010. Adapun poinpoin yang disepakati pada Letter of Intent tersebut antara lain28: a. TKI berhak atas one day-off atau satu hari libur setiap pekannya; b. Paspor dipegang TKI dan bukan majikan; c. Pembayaran gaji tidak lagi dilakukan secara tunai, namun dikirim ke rekening TKI yang bersangkutan. hal ini untuk memudahkan kontrol apakah gaji dibayar sesuai kesepakatan; d. Pembentukan Joint Task Force yang beranggotakan perwakilan Indonesia di Malaysia dan petugas Depnaker Malaysia. Satgas ini bertugas melakukan pengawasan dan perlindungan pada TKI yang telah berada di Malaysia; e. Gaji TKI disesuaikan dengan harga pasar. Terkait gaji yang disesuaikan harga pasar, Pemerintah Indonesia tidak membuat standar gaji minimum lantaran jenis pekerjaan yang tidak sama. Pekerjaan di sektor informal begitu beragam dan kualitas TKI juga bermacam-macam. Harga pasar adalah harga umum di satu negara bagian tertentu terkait dengan jenis pekerjaannya.29 Selain daripada itu, pada tahun 2010 ini juga Kemenakertrans melakukan verifikasi data PPTKIS bermasalah. Dari verifikasi itu, 165 PPTKIS sudah dibekukan izinnya karena melakukan kesalahan administrasi maupun kinerja. PPTKIS bermasalah 28 “Gaji TKI di Malaysia Tak Lagi dalam Uang Cash”, Rabu 23 Maret 2010, Pukul 03.10 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=1030 diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 16.14 WIB. 29 Ibid. ~ 89 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ini kemudian diberi waktu untuk memperbaikinya. Beberapa PPTKIS yang dianggap masih bisa dibina didorong untuk melakukan merger, dengan asumsi perusahaan yang berjalan sendiri-sendiri dengan modal terbatas, akan lebih kuat pendanaan perusahaan jika dilakukan merger. Di Indonesia pada saat itu ada sekitar 550 PPTKIS. Dari angka itu, sepertiganya dalam status pembekuan izin oleh Kemenakertrans.30 5. Penandatanganan Protokol Amandemen MoU IndonesiaMalaysia tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia Pada tahun 2011, Pemerintah Malaysia akhirnya menyetujui persyaratan perlindungan TKI sektor domestik yang diajukan Pemerintah Indonesia. Demikian kesepakatan yang diperoleh dari pertemuan bilateral antara Menakertrans RI Muhaimin Iskandar dan Menteri SDM Malaysia S. Subramaniam di Hotel Legend, Kuala Lumpur, Malaysia pada hari Senin, 21 Maret 2011. Muhaimin menyatakan, bahwa dua tahun terakhir kedua negara telah menghadapi isu moratorium ini, hingga akhirnya pada pertemuan tersebut telah disepakati bersama terkait beberapa masalah menyangkut keberadaan TKI di Malaysia, khususnya yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga. Adapu hal-hal teknis menyangkut naskah revisi MoU ini akan dibicarakan lebih detail dalam Joint Working Group. Kesepakatan dan detail teknis secara resmi akan disahkan dalam penandatanganan pembaruan MoU antara kedua menteri paling lambat bulan Mei di Indonesia.31 Muhaimin menegaskan beberapa hal yang telah disepakati menyangkut pelayanan penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik, yaitu paspor akan dipegang oleh TKI bersangkutan, bukan lagi di tangan majikan, serta setiap tenaga kerja 30 Ibid. 31 “Malaysia Setujui Persyaratan Perlindungan”, Selasa 22 Maret 2011, Pukul 03.51 WIB, http://internasional.kompas.com/read/2011/03/22/03512475/Malaysia.Setujui.Persyaratan. Perlindungan diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 16.47 WIB. ~ 90 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia akan mendapatkan libur satu hari setiap minggunya. Adapun biaya pengiriman tenaga kerja akan diatur kemudian, tetapi akan ada standar operasional. Besar kecil biaya bergantung daerah asal TKI atau titik pemberangkatan awal. Upah atau gaji tenaga kerja juga akan diatur kemudian, yang terpenting adalah upah harus layak dan pemerintah kedua negara dapat mengawasi. Malaysia juga akan memperbaharui sistem pengupahan melalui perbankan, sehingga transaksi dapat jelas tercatat.32 Pada kesempatan lain, Muhaimin mengatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah rapat terbatas kabinet pernah mengutarakan keinginan penuntasan pembentukan tim terpadu untuk evaluasi komprehensif sistem perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri yang terkait dua aspek. Pertama, menyangkut sistem perlindungan di dalam negeri, mulai dari rekrutmen, pelatihan administrasi hingga keberangkatan. Kedua, evaluasi dan audit terhadap negara penempatan dalam memberikan jaminan perlindungan TKI.33 Selain daripada itu, Muhaimin juga menerangkan bahwa Presiden juga mengharapkan tim terpadu dapat memberikan rekomendasi setiap tiga bulan kerja, apakah sebuah negara bisa dilanjutkan kerjasama penempatan atau tidak. Ada dua pola: Pertama, moratorium atau penghentian sementara; Kedua, penghentian total dan tidak boleh lagi ada penempatan ke negara tujuan terkait. Tim terpadu yang akan dibentuk ini akan dipimpin langsung oleh Muhaimin Iskandar selaku Kemenakertrans, dan melibatkan beberapa deputi menteri, mulai dari wakil menteri luar negeri, wakil menteri keuangan dan beberapa pejabat eselon I di lembaga-lembaga yang terkait pembenahan sistem perlindungan dan penempatan TKI ini.34 32 Ibid. 33 “Masalah TKI, Pemerintah Buat Moratorium dengan Tiga Negara”, Senin 25 April 2011, Pukul 15.01 WIB, http://www.tempo.co/read/news/2011/04/25/173329902/Masalah-TKI-Pemerintah-Buat--Moratorium-dengan-Tiga-Negara diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 17.32 WIB. 34 Ibid. ~ 91 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Pada bulan Mei 2011, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia akhirnya sepakat menandatangani protokol atau amandemen nota kesepahaman (Memorandum of Understanding [MoU]) tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik ke Malaysia. Penandatanganan ini dilakukan oleh Menakertrans RI Muhaimin Iskandar dan Menteri SDM Malaysia, Datuk Dr. S. Subramaniam di Gedung Sate Bandung, Jawa Barat Indonesia pada tanggal 30 Mei 2011. Acara penandatanganan MoU ini disaksikan oleh Deputi Kerjasama Luar Negeri dan Promosi BNP2TKI Dr. Endang Sulistyaningsih, Duta Besar RI untuk Malaysia, Da’I Bachtiar, Pejabat Eselon 1 dan 2 BNP2TKI, Kemenakertrans, Kemenlu, PPTKIS serta pihak terkait lainnya.35 Menakertrans Muhaimin Iskandar menegaskan, penandatanganan amandemen MoU TKI sektor domestik ini merupakan tahapan awal dari dicabutnya moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia yang telah dilakukan sejak Juni 2009 lalu. Muhaimin menjelaskan penandatanganan ini merupakan hasil perundingan yang telah berlangsung cukup panjang antara delegasi Indonesia dan delegasi Malaysia. Rangkaian pertemuan yang telah menghasilkan amandemen MoU adalah pertemuan Joint Working Group (JWG) yang telah dilaksanakan sebanayak 4 (empat) kali, technical meeting sebanyak 3 (tiga) kali dan pertemuan-pertemuan informal lainnya.36 Kepala Pusat Humas Kemenakertrans, Suhartono, mengatakan setelah penandatanganan amandemen ini, kedua delegasi kembali akan berunding untuk membahas persiapan implementasi amandemen melalui forum JWG ke 7 (tujuh) pada tanggal 31 Mei-1 Juni 2011.37 35 “Muhaimin: Penandatanganan MoU TKI Penting bagi Indonesia-Malaysia”, Selasa 31 Mei 2011, Pukul 09.26 WIB, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/4625-muhaiminpenandatanganan-mou-tki-penting-bagi-indonesia-malaysia.html diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 17.33 WIB. 36 Ibid. 37 “Malam ini, MoU TKI di Malaysia Diteken di Bandung”, Senin 30 Mei 2011, Pukul 14.51 WIB, ~ 92 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Setelah penandatanganan ini, Pemerintah Indonesia dan Malaysia akan membentuk Satuan Tugas Bersama (Joint Task Force [JTF]) untuk mengawasi dan memonitor implementasi amandemen nota kesepahaman (MoU) tentanag Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik di Malaysia. Keanggotaan Joint Task Force terdiri dari instansi terkait di Indonesia dan Malaysia, serta perwakilan negara masing-masing. Selain pembentukan JTF, Menakertrans Muhaimin Iskandar mengatakan, setelah MoU diteken, pihaknya akan segera melakukan konsolidasi untuk menentukan sistem rekrutmen dan standar penempatan TKI di Malaysia. Rekrutmen sendiri menurut Muhaimin akan dilakukan oleh pihak swasta, dalam hal ini agensiagensi di bawah PPTKIS. PPTKIS akan diminta komitmennya untuk bertanggung jawab dalam rekrutmen, penempatan dan perlindungan. Pemerintah menurut Muhaimin, hanya bagian dari fasilitator, tapi tetap melakukan pengawasan dan perlindungan.38 Pada kesempatan lain, Menteri SDM Malaysia Datuk S. Subramaniam berjanji akan menjamin perlindungan TKI di Malaysia dengan sistem perundangan yang ada di negeri itu. Para TKI di Malaysia, kata Subramaniam, mempunyai hak mendapatkan perlindungan di agensi-agensi kerajaan Malaysia. Subramaniam menegaskan, pemerintahnya tidak ingin pekerja dari negara-negara lain bekerja secara tidak resmi di Malaysia, karena hanya mereka yang bekerja di Malaysia dengan jalur resmi akan mendapatkan perlindungan.39 Selepas penandatanganan amandemen nota kesepahaman MoU Indonesia-Malaysia terkait penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik ini, Ketua Persatuan Agensi Pembantu http://m.pikiran-rakyat.com/node/146901 diunduh pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 16.32 WIB. 38 “RI-Malaysia Bentuk Satgas Awasei Perlindungan TKI”, Selasa 31 Mei 2011, Pukul 07.10 WIB, http://www.tempo.co/read/news/2011/05/31/173337792/RI-Malaysia-Bentuk-SatgasAwasi-Perlindungan-TKI diunduh pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 12.31 WIB. 39 Ibid. ~ 93 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Rumah Asing (PAPA) Jeffrey Foo sampai-sampai meminta Perdana Menteri Mhd. Najib Razak campur tangan dan mendesak Indonesia untuk segera mengirimkan TKI sektor domestik ke Malaysia. Jeffrey mengatakan sejak kesepakatan bersama (MoU) pencabutan moratorium itu ditandatangani pada Mei lalu, belum ada tenaga kerja pembantu rumah tangga yang baru dari Indonesia. Jeffrey menyarankan kedua negara menetapkan batas waktu untuk menyelesaikan masalah itu dan membatalkan kesepakatan bersama yang sudah ditandatangani. PAPA mendapati latar belakang masalahnya adalah ketidaksepakatan soal biaya pengiriman TKI sektor domestik ke Malaysia.40 Menanggapi pendapat Ketua PAPA diatas, Pejabat Fungsional Penerangan Sosial dan Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, Suryana Sastradiredja, menilai desakan itu berlebihan. Suryana mengatakan penandatanganan kesepatakatan bersama untuk mencabut moratorium pengiriman penata laksana rumah tangga ke Malaysia bukanlah perjanjian mengikat, di mana satu pihak tidak bisa menggugat jika salah satu pihak lain apabila tidak pengirim tenaga kerja. Selain itu Surayana juga menyayangkan sikap PAPA yang cenderung menyalahkan PJTKI dan Pemerintah Indonesia dalam hal ini, karena Pemerintah maupun PJTKI tidak ada yang bisa memaksa sesorang menjadi penata laksana rumah tangga di Malaysia.41 Lambatnya pengiriman penata laksana rumah tangga ke Malaysia ini bukanlah permasalahan, karena menurut Suryana Sastradiredja pihak Malaysia menyatakan akan mengambil pembantu asing selain dari Indonesia pada saat moratorium dahulu, yang berarti Malaysia mampu mencari penata laksana rumah tangga selain dari Indonesia. Sejak moratorium pada Juni 2009, Malaysia akhirnya mendatangkan tenaga penata laksana 40 “Malaysia Kekurangan Pembantu Rumah Tangga”, Kamis 8 September 2011 Pukul 18.18, http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=214899:malay sia-kekurangan-pembantu-rumah-tangga&catid=16:internasional&Itemid=29 diunduh pada tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.35 WIB. 41 Ibid. ~ 94 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia rumah tangga dari Vietnam, Kamboja, dan Filipina. PAPA pada bulan Juni tahun 2010 lalu sempat merilis tak kurang dari 3 ribu tenaga penata laksana rumah tangga didatangkan dari negaranegara itu tiap bulan. Tapi kenyataannya, realisasinya tidak sebanyak itu, pada awal tahun 2011, PAPA sempat menyatakan kepanikannya dengan menyatakan 35 ribu rumah tangga di Malaysia membutuhkan tenaga penata laksana rumah tangga asal Indonesia yang mereka akui pula lebih cekatan dari tenaga serupa dari negara lain.42 Situasi lain pun menunjukkan betapa publik Malaysia sedemikannya membutuhkan tenaga penata laksana rumah tangga asing, setelah Pemerintah Kamboja pada minggu kedua bulan Oktober 2011 menyatakan larangan pengiriman tenaga penata laksana rumah tangga ke Malaysia setelah muncul dugaan penyiksaan terhadap pekerja domestik asal Kamboja. Malaysia mulai merekrut pembantu asal Kamboja setelah Indonesia menghentikan penempatan tenaga PLRT ke Malaysia. Dengan larangan Indonesia dan Kamboja, puluhan ribu rumah tangga di Malaysia kesulitan mendapatkan penata laksana rumah tangga.43 Pada bulan November 2011, sekitar 50 tibu penata laksana rumah tangga Indonesia dijadwalkan tiba di Malaysia mulai pertengahan bulan Januari 2012 setelah pencabutan moratorium pada tanggal 1 Desember kelak, demikian klaim Dirjen Buruh pada Kementerian Tenaga Kerja Malaysia, Sheikh Yahya Sheikh Mohamed. Menurut Sheikh Mohamed, penundaan dan keterlambatan penempataan TKI PLRT itu disebabkan oleh pelatihan 200 jam yang wajib TKI PLRT jalani sebelum dapat bekerja di Malaysia.44 42 Ibid. 43 “SBY dan PM Malaysia Bahas TKI Indonesia”, Jumat 21 Oktober 2011 Pukul 02.44 WIB, http://pelanggan.if-kom.com/lira/kabinet-indonesia/berita-kabinet/presiden/3846-sby-danpm-malaysia-bahas-tki-indonesia.html diunduh pada tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.50 WIB. 44 “Malaysia Bersorak, 50 Ribu PRT Asal Indonesia Akan Datang Mulai Pertengahan Janu- ~ 95 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Warga Malaysia mulai mencemaskan suplai PLRT yang terhenti, menyusul langkah Kamboja dan Filipina yang menghentikan pengiriman PLRT-nya karena buruknya perlindungan atas PLRT mereka di Malaysia. Hal ini mengakibatkan berita mengenai akan datangnya PLRT asal Indonesia di situs-situs berita daring Malaysia dibanjiri pengunjung. Dirjen Buruh pada Kementerian Tenaga Kerja Malaysia, Sheikh Yahya Sheikh Mohamed mengatakan untuk melindungi kepentingan para PLRT dan majikan mereka, semua pihak yang terlibat dalam perekrutan harus mematuhi aturan. Hanya agen perekrutan swasta yang terdaftar pada Departemen Imigrasi dan Departemen Tenaga Kerja dan yang telah sepakat untuk mematuhi kondisi amandemen nota kesepahaman Indonesia-Malaysia terkait Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik yang diperbolehkan untuk merekrut PLRT dari Indonesia. Pada saat itu, Sheik Yahya mengatakan hanya 121 dari lebih dari 400 agen perekrutan yang terdaftar di Malaysia yang sepakat dengan aturan tersebut. Sheik Yahya mengatakan bahwa Pemerintah Malaysia akan bertindak tegas terhadap agen perekrutan atau majikan yang melanggar aturan.45 6. Pencabutan Moratorium dan Rencana Penempatan Kembali Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia Pada sub-bab sebelumnya, diterangkan bahwa Pemerintah Malaysia akan menindak tegas para pekerja migran yang memasuki dan bekerja di wilayahnya dengan prosedur tidak resmi. Penindakan tersebut diwujudkan oleh Pemerintah Malaysia dengan membekukan penempatan pekerja asing mulai 1 Juli 2011, tindakan ini merupakan konsekuensi dari penandatangan MoU Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik ke ari”, Jumat 25 November 201 Pukul 08.34, http://www.republika.co.id/berita/internasional/ global/11/11/25/lv70dv-malaysia-bersorak-50-ribu-prt-asal-indonesia-akan-datang-mulaipertengahan-januari diunduh pada tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.55WIB. 45 Ibid. ~ 96 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Malaysia, dimana Pemerintah Malaysia berjanji akan memperbaiki sistem perlindungan pekerja migrannya.46 Tujuan dari program ini adalah untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin jumlah imigran tidak berdokumen yang masuk. Peraturan baru itu dibuat karena perekrutan tenaga kerja asing dianggap justru melegalkan imigran tidak berdokumen di negara itu dalam program amnesti, di mana jika para pekerja migran tak berdokumen itu tertangkap, mereka bisa kembali ke negara asal mereka tanpa ada tindakan tegas dari Pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa mereka akan memantau lebih kurang dua juta imigran tidak berdokumen di negara tersebut. Deputi Menteri Dalam Negeri Malaysia, Lee Chee Leong menyampaikan pula bahwa Pemerintah Malaysia telah memilih 200 perusahaan swasta yang akan terlibat dalam menangani imigran tidak berdokumen.47 Peraturan penertiban dan pemulangan imigran tidak berdokumen ini akhirnya direalisasikan Pemerintah Malaysia pada tanggal 1 Agustus 2011. Program ini sempat tertunda hingga tiga kali, dan akhirnya dapat dilaksanakan oleh pihak imigrasi Malaysia dan dibantu ratusan agensi pendaftaran tenaga kerja asing di seluruh Malaysia. Pada program ini, ratusan pendatang atau pekerja migran mendatangi agen pendaftaran tenaga kerja asing yang telah ditunjuk Pemerintah Malaysia. Program ini meliputi 6-P, yakni: pendaftaran; pemutihan bagi yang masih bekerja; pengampunan bagi yang akan kembali ke negara asal; pemantauan program; penguatkuasaan atau razia besar-besaran, serta; pemulangan bagi yang terjaring operasi atau razia. Pemerintah Malaysia mengalokasikan waktu pendaftaran ulang dan pemutihan selama dua pekan. Sementara itu, untuk keseluruhan program akan berlangsung hingga enam bulan.48 46 “Malaysia Bekukan Tenaga Kerja Asing”, Jumat 10 Juni 2011, Pukul 01.23 WIB, http://www. migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=1262 diunduh pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 13.26 WIB. 47 Ibid. 48 “Malaysia Merealisasikan Program Pemulangan TKI Ilegal”, Selasa 2 Agustus 2011, Pukul ~ 97 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Program di atas menjadi salah satu bahan evaluasi yang dilakukan satuan tugas Indonesia-Malaysia (Joint Task Force) yang bertugas melakuan evaluasi terkait implementasi Amandemen MoU Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik ke Malaysia. Menakertrans Muhaimin Iskandar pada tanggal 21 Oktober 2011 menerangkan bahwa pada tanggal 19 November 2011 akan dilakukan evaluasi di Bali oleh Joint Task Force terkait MoU ini. Muhaimin menjelaskan bahwa dalam pertemuan tersebut akan diupayakan agar MoU bisa disepakati masing-masing pihak. Apabil Joint Task Force dapat meyakinkan Presiden, Menteri dan Raja, maka penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia akan dibuka kembali pada tanggal 1 Desember 2011.49 Menjelang momentum pencabutan moratorium ini, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah meragukan akan ada perbaikan dengan disepakatinya nota kesepahaman terkait TKI sektor domestik. Menurut Anis, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah perlindungan di segi hukum. Sebab baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama belum memiliki undangundang yang mengatur pekerja rumah tangga. Anis melihat poin-poin penting yang telah disepakati tidaklah cukup untuk memperbaiki kondisi TKI di Malaysia. Adapun poin yang disepakati antara lain: kontrak kerja wajib diketahui TKI; gaji sesuai dengan kondisi pasar50; metode pembayaran gaji melalui bank; hak libur satu hari dalam seminggu; juga penyimpanan paspor oleh TKI. Disepakati juga perbaikan terhadap perusahaan dan agen perekrutan di Indonesia dan Malaysia, biaya penempatan (cost structure), kompetensi pelatihan, penyelesai07.14 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&arti d=1421 diunduh pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 16.32 WIB. 49 “MoU TKI dengan Malaysia Ditentukan 19 November” Jumat 21 Oktober 2011, Pukul 15.47 WIB, http://www.tempo.co/read/news/2011/10/21/173362635/MoU-TKI-dengan-MalaysiaDitentukan-19-November diunduh pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 16.57 WIB. 50 Menakertrans Muhaimin Iskandar pada tanggal 21 Oktober menerangkan bahwa untuk pembayaran gaji, saat itu disetujui minimal upah sesuai dengan ketentuan pasar yang berlaku, yakni RM 700 per bulan. Potongan gaji untuk pembayaran biaya penempatan bagi penata laksana rumah tangga juga dipastikan hanya RM 1.800 selama bekerja di Malaysia. Lihat Ibid. ~ 98 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia an perselisihan, pengetatan pemberian visa, dan larangan perekrutan langsung.51 Meskipun dinamika pendapat terus berlanjut terkait implementasi amandemen nota kesepahaman ini, Pemerintah Indonesia akhirnya mencabut moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini pada tanggal 1 Desember 2011. Pencabutan ini dilandaskan pada hasil pembenahan nota kesepahaman bilateral dengan Malaysia seputar penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia. Surat Edaran resmi yang dilansir Kemenakertrans RI menyebutkan beberapa kesepakatan yang melandasi pencabutan moratorium ini sekaligus menandai proses penempatan kembali TKI sektor domestik ke Malaysia:52 a. Paspor wajib berada dalam penguasaan TKI; b. TKI berhak atas 1 (satu) hari libur dalam seminggu; c. Biaya Penempatan sesuai Cost Structure yang tertuang dalam revisi Annex MoU Tahun 2006; d. Gaji sesuai mekanisme pasar dan pembayaran gaji TKI melalui Rekening Perbankan; e. Standar Kontrak yang ditandatangani Pekerja dan Pengguna; f. Pemerintah Indonesia dan Malaysia hanya mengakui PPTKIS atau Agen Perekrutan yang telah memiliki agreement dengan pihak pemerintah masing-masing; g. TKI wajib mengikuti pelatihan kompetensi kerja, selama 200 jam pelajaran; 51 “MoU Indonesia-Malaysia Belum Cukup Lindungi TKI”, Jumat 18 November 2011, Pukul 00.00 WIB, http://www.tempo.co/read/news/2011/11/18/173367218/MoU-Indonesia-Malaysia-Belum-Cukup-Lindungi-TKI diunduh pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 16.57 WIB. 52 Surat Edaran Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, No.mor SE-05/PPTK-TKLN/XI/2011 tentang Penempatan TKI untuk Pekerja Sektor Domestik ke Malaysia, Tanggal 28 November 2011 ditandatangani oleh Dirjen Binapenta Dra. Reyna Usman, M.M. Keputusan pencabutan moratorium ini dilandaskan pada momentum telah ditandatanginya Protocol Amandement Memorandum of Understanding (MoU) 2006 antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Malaysia mengenai Perekrutan dan Penempatan Pekerja Domestik Indonesia pada 30 Mei 2011 serta pertemuan bilateral antara Presiden RI dengan Perdana Menteri Malaysia di Denpasar, Bali pada tanggal 16 November 2011. ~ 99 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah h. Pihak Malaysia akan menghentikan Journey Performance Visa (JP-Visa) i. Mekanisme penyelesaian perselisihan sepakat melalui komite yang dibentuk di Indonesia dan Malaysia (JTF Indonesia dan JTF Malaysia); j. Pelaksanaan perekrutan langsung akan tunduk/menurut hukum dan peraturan nasional Pemerintah Indonesia sebagaimana disepakati dalam Protokol Amandemen MoU 2006; k. Dalam pelaksanaan penempatan TKI untuk pekerja domestik perlu dilakukan review pada kurun/jangka waktu tertentu, guna memastikan implementasi Protokol Amandemen MoU 2006 telah berjalan optimal. Menakertrans Muhaimin Iskandar menerangkan, bahwa pada tanggal 1 Desember 2011 Pemerintah Indonesia mencabut secara resmi moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia, namun masih dibutuhkan waktu untuk menjalani proses penempatan TKI, sehingga baru pada awal Maret 2012 mulai akan ada lagi pemberangkatan TKI sektor domestik ke Malaysia.53 Penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini nantinya akan diserahkan sepenuhnya kepada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, Pemerintah Indonesia akan berada dalam posisi mengawasi, dan mendeteksi seluruh tahapan pemberangkatan. Jangka waktu tiga bulan ini dimaksudkan agar PPTKIS dapat mempersiapkan calon TKI mulai mendapatkan job order, rekrutmen hingga melakukan pelatihan 200 jam, mengurus dokumen resmi sesuai peraturan dan proses pemberangkatan ke Malaysia yang lebih baik dari sebelumnya.54 Pemerintah akan melakukan pengawasan ketat dan evaluasi rutin terhadap PPTKIS secara optimal dan apabila terjadi 53 “Moratorium dicabut, TKI ke Malaysia mulai Maret”, Kamis 1 Desember 2011, Pukul 17.48 WIB, http://www.antaranews.com/berita/1322736525/moratorium-dicabut-tki-ke-malaysiamulai-maret diunduh pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 17.31 WIB. 54 Ibid. ~ 100 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia pelanggaran maka akan dikenakan sanksi mulai peringatan, skorsing bahkan pencabutan izin operasional. Sedikitnya pada saat itu sebanyak 117 PPTKIS telah siap menempatkan kembali TKI sektor domestik untuk bekerja di Malaysia. Mereka telah menandatangani kontrak kinerja untuk menjalankan butir-butir kesepakatan yang termaktub dalam amandemen MoU Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik yang telah disepakati Indonesia dan Malaysia pada tanggal 17 Oktober 2011.55 Pada hari pencabutan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini, Menakertrans Muhaimin Iskandar juga menjelaskan ada 15 tahapan proses penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia yang wajib dilakukan oleh TKI dan PPTKIS: 56 Tabel VI.1 Tahapan Penempatan Kembali TKI Sektor Domestik ke Malaysia Pasca Moratorium Lama Proses 1. Penerimaan Job Order dari pihak Agensi di Malaysia yang Tidak dilegalisasi perwakilan RI di Malaysia. Ditentukan 2. PPTKIS mengurus perizinan Surat Izin Pengerahan (SIP) Tidak yang dikeluarkan Kemenakertrans. Ditentukan 3. Proses rekrutmen calon TKI. 3 Minggu 4. Persiapan dokumen calon TKI. 1 Minggu 5. Pemeriksaan fisik calon TKI 2 Hari 6. Pelatihan keterampilan calon TKI selama minimal 200 jam. 3-4 Minggu 7. Pengurusan paspor calon TKI. 1 Minggu 8. Pengiriman biodata calon TKI ke Agensi di Malaysia. 3 Hari 9. Pencarian majikan bagi calon TKI. 1 Bulan 10. Pengurusan imigrasi dan penerbitan Calling Visa bagi calon 1 Minggu TKI dari Pemerintah Malaysia. No. Tahapan 55 Ibid. 56 “Moratorium TKI ke Malaysia Resmi Dicabut”, Kamis 1 Desember 2011, Pukul 18.46 WIB, http://news.okezone.com/read/2011/12/01/337/536858/redirect diunduh pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 17.31 WIB. ~ 101 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah 11. Penerbitan perjanjian kerja yang disahkan KBRI. 12. Pelulusan visa oleh Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia. 13. Pembuatan PAP (Pembekalan Akhir Keberangkatan), Asuransi untuk masa dan purna penempatan, serta penerbitan KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri). 14. Keberangkatan ke Malaysia. 15. Pertemuan dan pengenalan (Welcoming Program) dengan calon pengguna jasa TKI. 1 Hari 3 Hari 4 Hari 2 Hari 1 Hari Sumber: Diolah dari pemberitaan di media massa. Menyikapi pencabutan moratorium ini, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat menyampaikan bahwa Malaysia telah menjamin perlindungan TKI di Malaysia, dengan disepakatinya beberapa poin amandemen MoU Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik ke Malaysia antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia. Namun, terlepas dari janji Malaysia ini, Jumhur menyampaikan bahwa pencabutan moratorium ini juga didasari kekhawatiran Pemerintah Indonesia terhadap peningkatan jumlah TKI di luar negeri, khususnya Malaysia yang tidak berdokumen atau ilegal. Berdasarkan keterangan dari Jumhur Hidayat, setelah moratorium dicabut Pemerintah Indonesia berjanji akan melakukan tiga hal: 1) meningkatkan pengawasan PJTKI dan setiap PJTKI yang tidak legal akan ditindak tegas; 2) Pemda (Pemerintahan Daerah) melalui kelurahan, Kecamatan dan Disnaker (dinas Tenaga Kerja) harus bekerja keras untuk menjadi pelayan utama bagi calon TKI untuk menghindari calo, sehingga PJTKI nanti harus selalu melalui dinas tenaga kerja dan; 3) Pemerintah akan memberikan pengawasan bersama polisi.57 [] 57 “RI Cabut Moratorium TKI ke Malaysia”, Sabtu, 26 November 2011, Pukul 007.00 WIB, http:// nasional.news.viva.co.id/news/read/267443-ri-cabut-moratorium-tki-ke-malaysia diunduh pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 17.22 WIB. ~ 102 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia BAB VII POLITIK PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK DI MALAYSIA MELALUI KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN Kebijakan Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia adalah sebuah titik baru diplomasi kebijakan perlindungan TKI di luar negeri. Moratorium ke Malaysia ini mengawali rangkaian kebijakan serupa ke beberapa negara tujuan utama TKI, semisal Kuwait, Yordania, Suriah dan Arab Saudi. Kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia adalah kebijakan moratorium pertama yang dicabut oleh Pemerintah Indonesia. Penelitian ini berusaha mengidentifikasi alasan-alasan Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium ini, dengan segala konsekuensi yang dihadapi. Hal-hal yang menjadi alasan Pemerintah mencabut moratorium juga dapat dianalisa sebagai kepentingan-kepentingan Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium ini. Dalam asumsi penelitian ini, saat moratorium dicabut, berarti saat itu pula kepentingan Indonesia dalam isu moratorium ini terpenuhi. ~ 103 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Untuk menambah perspektif tentang alasan-alasan Pemerintah memberlakukan kebijakan moratorium ini dilihat pula bagaimana kepentingan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya termasuk Pemerintah Indonesia, PJTKI, dan LSM yang peduli pada isu-isu buruh migran. Dari penelusuran ini diharapkan muncul argumen-argumen yang menjelaskan mengapa Pemerintah Indonesia tetap memberlakukan moratorium selama dua tahun, apa yang melatarbelakangi sikap Pemerintah Indonesia tersebut. Pada Bab IV dan V telah digambarkan latar belakang arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke Malaysia yang telah berlangsung sejak lama, serta secara khusus digambarkan kondisi TKI sektor domestik di Malaysia. Selanjutnya pada Bab VI, telah digambarkan secara kronologis dinamika berlangsungnya kebijakan moratorium ini sejak mulai diberlakukannya hingga dicabutnya kebijakan moratorium ini. Bab ini akan menganalisa kondisi-kondisi yang dihadapi dan juga formasi kepentingan Pemerintah Indonesia hingga akhirnya diberlakukanlah kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini. Analisa ini didasarkan pada kajian literatur dan kertas kerja yang membahas hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia, juga berdasarkan wawancara kepada beberapa pihak yang berperan dalam pembuatan kebijakan ini dan merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. 1. Politik Migrasi Tenaga Kerja Indonesia: Tinjauan tentang Kebijakan Moratorium Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia Undang-undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sejauh ini merupakan satu-satunya produk kebijakan Pemerintah Indonesia yang secara khusus mengatur perihal penempatan dan ~ 104 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri setelah selama 16 tahun sebelumnya tidak ada kebijakan Pemerintah Indonesia setingkat Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang migrasi tenaga kerja. Undang-undang ini mensyaratkan penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara pengguna TKI atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan. 1 Dalam konteks politik perlindungan pekerja migran di negara penempatan, Pemerintah Indonesia harus menetapkan strategi atau pendekatan dengan entitas eksternal–dalam hal ini negara tujuan penempatan- dengan memperhatikan aspek kapabilitas yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia yang dapat diimplentasikan dalam lingkungan internasional. Lingkungan internasional dalam konteks proses kebijakan ini dibentuk oleh para aktor yang terdiri dari entitas negara maupun nonnegara, yang masing-masingnya memiliki kepentingan, tujuan dan prioritas masing-masing dalam mempengaruhi lingkungan internasional ini.2 Maka dari itu strategi atau pendekatan yang ditetapkan Indonesia perlu pula memperhatikan konteks dan kepentingan yang berbeda-beda dari masing-masing negara tujuan penempatan. Dalam studi kasus Malaysia sebagai negara tujuan penempatan TKI, Pemerintah Indonesia telah memiliki beberapa kerjasama bilateral terkait ketenagakerjaan lintasnegara dengan Malaysia. Tabel 4.1 berikut menampilkan kerjasama bilateral yang dimiliki Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia terkait ketenagakerjaan lintasnegara:3 1 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Pasal 11 ayat 1. 2 Elisabeth Brighi and Christopher Hill: Implementation and behavior dalam Steve Smith,dkk, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, (New York: Oxford University Press, 2008), hlm. 118. 3 http://www.deplu.go.id/Daftar%20Perjanjian%20Internasional/malaysia.htm diakses pada hari Sabtu, 11 Mei 2013, Pukul 21.30 WIB. ~ 105 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Tabel VII.1 Kerjasama Bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia terkait Ketenagakerjaan Lintas Negara (1984-2006) No. Bentuk dan Nama Kerjasama 1. Agreement Agreement on Supply of Workers between the Republic of Indonesia and Malaysia (Persetujuan Mengenai Penyediaan Tenaga Kerja Antara Republik Indonesia dan Malaysia) MoU Memorandum of Agreement on Recruitment of Indonesian Workers between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Kingdom of Malaysia. (Memorandum Persetujuan Mengenai Penyediaan Tenaga Kerja Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia) MoU Memorandum of Understanding on the Recruitment of Indonesian Workers between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia (Memorandum Saling Pengertian Mengenai Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia) – Sektor Formal Agreed Minutes Agreed Minutes of the Technical Committee Meeting on the Proposed Memorandum of Understanding Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia on the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers (Butir-butir Kesepakatan Pertemuan Komite Teknik atas Usulan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Pengerahan dan Penempatan Tenaga Kerja Sektor Domestik Indonesia). MoU Memorandum of Understanding Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia on the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers (Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Rekrutmen dan Penempatan Tenaga Kerja Sektor Domestik Indonesia) 2. 3. 4. 5. ~ 106 ~ Lokasi dan Tanggal Penandatanganan Medan, 12 Mei 1984 Jakarta, 15 Desember 1993 Jakarta, 10 Mei 2004 Yogyakarta, 4 Maret 2006 Bali, 13 Mei 2006 Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia 6. Agreed Minutes Agreed Minutes of the First Joint Working Group Meeting for the Implementation of the Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of the Indonesia and the Government Kinabalu, Malaysia of Malaysia on the Recruitment and Placement of Indonesian 20 Julai 2006 Domestic Workers. (Butir-butir Kesepakatan Pertemuan Pertama Kelompok Kerja Bersama untuk Pelaksanaan Memorandum KiSaling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Pengerahan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Indonesia). Sumber: Situs Kementerian Luar Negeri (http://www.deplu.go.id/) dengan penyesuaian Kerjasama bilateral ketenagakerjaan dengan Malaysia ini tidak berjalan lancar dalam implementasinya, sehingga pada akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia pada tanggal 26 Juni 2009. Dalam memberlakukan kebijakan ini Pemerintah Indonesia, dipengaruhi oleh kondisikondisi (konteks) serta formasi kepentingan yang berpengaruh dan berasal dari dalam negeri dan luar negeri. 2. Migrasi Global: Interdependensi Ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia Hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia telah berlangsung sejak era pra-kolonial hingga kini, dan pada derajat tertentu telah menciptakan hubungan saling ketergantungan antara Indonesia dan Malaysia dalam hal ketenagakerjaan pada saat ini. Dalam lingkungan internasional yang terbentuk antara Indonesia dan Malaysia telah terbentuk sebuah formasi kepentingan: Indonesia memiliki kepentingan untuk memastikan keberlanjutan arus migrasi tenaga kerja ke luar negeri untuk menyalurkan surplus tenaga kerja yang tidak terserap di pasar tenaga kerja dalam negeri, adapun Malaysia memiliki kepentingan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan ~ 107 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah pasar tenaga kerja di dalam negeri, terutama di sektor pekerjaan tertentu yang telah ditinggalkan oleh tenaga kerja lokalnya. Lingkungan internasional dalam konteks proses kebijakan dibentuk oleh para aktor yang terdiri dari entitas negara maupun non-negara, yang masing-masingnya memiliki kepentingan, tujuan dan prioritas masing-masing dalam mempengaruhi lingkungan internasional ini.4 Menurut Hans J. Morgenthau, pemerintah yang baik harus memilih tujuan dan metode politik luar negerinya dengan mengingat kekuatan yang tersedia untuk membantu mereka dengan kemungkinan keberhasilan yang maksimum. Dengan demikian, kekuatan nasional yang tersedia menetapkan batas politik luar negeri.5 Dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya melalui politik luar negeri, kapabilitas suatu negara untuk mempengaruhi lingkungan internasionalnya menjadi signifikan. Adapun lingkungan internasional ini dipengaruhi oleh dinamika yang mengendalikan sistem negara yang dikenal sebagai politik kekuatan (power politics) yang dilandasi oleh sekumpulan asumsi yang diterima dan dilaksanakan oleh setiap pemerintahan. 6 Beberapa asumsinya adalah: satu-satunya nilai kolektif yang dimiliki oleh negara peserta adalah dikehendakinya pelestarian sistem dan menolong diri (negara) sendiri merupakan aturan setiap tindakan. Dalam konteks koridor migrasi tenaga kerja antara Indonesia dan Malaysia, arus migrasi ini berusaha dipertahankan oleh kedua negara dengan berbagai cara, hal ini menunjukkan sebuah situasi: pelestarian sistem ketenagakerjaan oleh kedua negara yang didorong oleh kepentingan masing-masing negara. 4 Elisabeth Brighi and Christopher Hill: Implementation and behavior dalam Steve Smith,dkk, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, (New York: Oxford University Press, 2008), hlm. 118. 5 Hans J. Morgenthau. Politik Antarbangsa. .(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990.), hlm.219. 6 Dahlan Nasution..Politik Internasional: Konsep dan Teori. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991), hlm. 43 ~ 108 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Hal ini juga merujuk pada definisi kebijakan luar negeri yang digunakan: “strategi atau pendekatan yang diambil oleh suatu negara untuk mencapai tujuan dalam hubungan dengan entitas eksternal. Ini juga termasuk kebijakan untuk tidak melakukan sesuatu apapun (inaction)”.7 Pilihan untuk tidak melakukan sesuatu apapun oleh suatu negara dalam suatu kebijakan perlu digarisbawahi, karena tidak semua kebijakan bersifat menginginkan perubahan, namun juga dapat bersifat mempertahankan situasi sementara (status quo), terutama sekali dalam kebijakan luar negeri yang diimplementasikan dalam lingkungan internasional. Sebagai ilustrasi, Pemerintah Malaysia selama ini telah melakukan berbagai tindakan untuk mengatasi maraknya jumlah TKI tidak berdokumen (termasuk didalamnya TKI sektor domestik) yang berada di Malaysia. Namun, di sisi lain Pemerintah Malaysia juga menempuh jalan lain untuk memastikan arus migrasi pekerja migran tetap masuk ke Malaysia, salah satunya melalui Journey Performed Visa (JP Visa). JP Visa ini menjadi salah satu celah utama masuknya TKI tidak berdokumen ke Malaysia. Hal ini dimudahkan pula oleh kebijakan bebas visa di seluruh kawasan ASEAN, sehingga para TKI tidak berdokumen yang datang Malaysia pertama-tama menggunakan visa pelancong (Tourist Visa), dan kemudian dengan mekanisme tertentu memperoleh visa kerja dari Pemerintah Malaysia dalam bentuk JP Visa tersebut. Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan Advokasi, Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI menyampaikan argumen perihal masalah celah masuknya TKI tidak berdokumen ini:8 7 Valerie M. Hudson, The History and Evolution of Foreign Policy Analysis dalam Steve Smith,dkk, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, (New York: Oxford University Press, 2008), hlm. 12. 8 Wawancara dengan Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan Advokasi, Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI, Hari Selasa, 20 November 2012, Pukul 13.05 WIB, Kantor Direktorat Mediasi dan Advokasi Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI Jalan Letjen M.T. Haryono Kav.52, Jakarta Selatan. ~ 109 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah “Indonesia-Malaysia kan bebas visa. Dari Indonesia sendiri, imigrasi yang mengawal visa atau mengawal lalu lintas orang keluar masuk itu ya hanya melihat dia punya paspor, dia punya tiket, tidak ada kewajiban pencekalan, kenapa harus dipermasalahkan? Sementara ketika TKI itu sudah bisa masuk ke Malaysia, lalu tidak diterima oleh majikannya namun kemudian mengikuti saudaranya menempuh jalan tidak resmi dan sebagainya yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan kemudian mengajukan izin kerja (ke instansi setempat di Malaysia), dan akhirnya diberi tanda pengenal kerja oleh Pemerintah Malaysia. Kelemahan dari mekanisme itu, dari sisi Pemerintah Indonesia, pertama TKI tidak selektif (dipilih secara selektif), (karena) tidak semuanya memenuhi persyaratan keterampilan umpamanya, juga usia atau kesehatan. Yang kedua dari sisi syarat dan kondisi kerja juga tidak ada yang bisa menjamin bahwa TKI tersebut akan mendapat kondisi kerja yang layak umpamanya, bahwa dia harus menandatangani perjanjian kontrak kerja dengan nilai gaji yang layak juga tidak bisa dijaminkan apabila mereka tidak melalui prosedur yang seharusnya. Inilah bagi saya salah satu hal yang menjadi titik perhatian kita.” Penerapan JP Visa ini merupakan salah satu satu permasalahan utama dalam koridor penempatan TKI sektor domestik di Malaysia, hal ini disampaikan oleh Rendra Setiawan, Kepala Seksi Kerjasama Regional dan Multilateral, Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, Kemenakertrans RI: 9 “Jadi salah satu yang jadi masalahnya adalah Journey Performed (JP) Visa yang dikeluarkan Pemerintah Malaysia. Harusnya kan Malaysia kan menerapkan aturan yang ketat juga dia, nah 9 Wawancara dengan Rendra Setiawan, Kepala Seksi Kerjasama Regional dan Multilateral, Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, Kemenakertrans RI, Hari Selasa, 25 Maret 2013, Pukul 14.13 WIB, Ruang Direktorat PTKLN, Dirjen Binapenta, Kemenakertrans RI, Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 51 Jakarta 12950 ~ 110 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia visa ini harusnya gak sembarang orang bisa dapet juga kan, tapi kenyataannya dia mengeluarkan terus. Dan kemarin waktu ada Joint Working Group (JWG) dan juga via Joint Task Force (JTF), Pemerintah kita menyatakan keberatan dengan penerapan JP Visa itu. Kalau melalui jalur yang benar itu belum banyak TKI sektor domestik kita yang berangkat ke Malaysia (pasca moratorium), belum ada 100 orang. Tapi kenyataannya, udah ribuan orang juga yang masuk ke sana.” Di sisi lain, Pemerintah Indonesia dalam analisa ini dinilai berani memberlakukan kebijakan moratorium ini setelah melihat adanya ketergantungan publik Malaysia terhadap pekerja migran di sektor domestik, terutama terhadap pekerja sektor domestik migran asal Indonesia Ketergantungan publik Malaysia terhadap pekerja migran ini terlihat pada situasi Malaysia yang merupakan negara yang paling membutuhkan PLRT migran di antara negara-negara tujuan migrasi di Asia Pasifik. Pada tahun 2004, jumlah PLRT migran di Malaysia mencapai 250.000 orang, sementara jumlah PLRT migran di Hong Kong sebesar 217.000 orang, Taiwan 125.000 orang, dan Singapura 150.000 orang. Jumlah PLRT migran di Malaysia terus meningkat dari tahun ke tahun dan sampai awal tahun 2003 tercatat sejumlah 233.000 PLRT migran yang masuk ke Malaysia, 95% berasal dari Indonesia dan sisanya dari Filipina, Sri Lanka, Thailand dan Kamboja. Pada tahun 2005, jumlah PLRT Indonesia di Malaysia mencapai jumlah 294.000 orang. Pada awal moratorium Pemerintah Malaysia tidak memberikan respon bahwa publiknya akan kesulitan mendapatkan pekerja domestik pengganti selain dari Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan pekerja sektor domestik, Pemerintah Malaysia mencoba untuk meminta penempatan pekerja sektor domestik asal Kamboja dengan melansir 28.547 visa kerja bagi pekerja migran asal Kamboja, dimana 24.700 visa kerja diberikan untuk pekerja sektor domestik, yang merupakan peningkatan lima kali ~ 111 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah lipat dari jumlah visa kerja yang diberikan pada pekerja migran Kamboja dua tahun sebelumnya.10 Teguh Hendro Cahyono menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia akan kesulitan untuk menemukan pengganti pekerja domestik dari Indonesia: 11 “Tapi ya efek-efek samping lain semisal ancaman Malaysia semisal kalau (tenaga kerja) nggak masuk dari Indonesia, (maka Malaysia) akan mengambil dari negara lain. Itu di pikiran (Pemerintah) Indonesia tidak digubris sama sekali, karena ngerti dari awal bahwa tidak akan ada pasokan tenaga kerja lain ke Malaysia selain dari Indonesia yang signifikan. Masing-masing negera pengirim dan tujuan memiliki pasar sendiri-sendiri. Filipina juga banyak di Malaysia tapi jumlahnya tertentu, artinya tidak bakalan orang Malaysia akan mempekerjakan orang Filipina karena mungkin standar gajinya tinggi. Juga misalnya orang Malaysia tidak mau mempekerjakan orang Kamboja misalnya karena orang Kamboja tidak muslim, ya itu juga yang meyakinkan kita bahwa (moratorium) itu tak akan masalah.” Situasi lain pun menunjukkan betapa publik Malaysia sedemikiannya membutuhkan tenaga penata laksana rumah tangga asing, setelah Pemerintah Kamboja pada minggu kedua bulan Oktober 2011 menyatakan larangan pengiriman tenaga penata laksana rumah tangga ke Malaysia setelah muncul dugaan penyiksaan terhadap pekerja domestik asal Kamboja. Malaysia mulai merekrut pembantu asal Kamboja setelah Indonesia menghentikan penempatan tenaga PLRT ke Malaysia. Dengan larangan Indonesia dan Kamboja, puluhan ribu rumah tangga di Malaysia kesulitan mendapatkan penata laksana rumah tangga. Berdasarkan pembahasan yang ada pada Bab IV terkait arus migrasi tenaga kerja antara Indonesia dan Malaysia serta berdasarkan analisa yang coba dibangun pada bagian ini dapat 10 CARAM Asia (2011), Op.cit., hlm. 25. 11 Wawancara Teguh Hendro Cahyono, Op.cit. ~ 112 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia dijelaskan bahwa arus migrasi ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia yang telah berlangsung lama adalah sebuah fenomena migrasi global yang akhirnya membentuk hubungan interdependensi antara Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran, dan Malaysia, sebagai negara tujuan penempatan, khususnya dalam koridor penempatan TKI sektor domestik. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal: Pertama, angka pengangguran yang masih tinggi di Indonesia hingga saat ini, membuat opsi bekerja ke luar negeri masih menjadi pilihan untuk keluar dari desakan pemenuhan kebutuhan ekonomi, termasuk didalamnya akibat mekanisasi pertanian membuat perempuan yang hidup di pedesaan kehilangan lapangan kerja, hingga akhirnya memutuskan untuk bekerja ke luar negeri, khususnya ke Malaysia sebagai pekerja sektor domestik; Kedua, industrialisasi yang terjadi di Malaysia, membuat terbukanya peluang bekerja di beberapa sektor perekenomian Malaysia, terutama di sektor-sektor yang membutuhkan banyak tenaga kerja tidak terampil, semisal konstruksi, manufaktur, dan perkebunan, selain itu, industrialisasi meningkatkan kebutuhan publik Malaysia terhadap pekerja domestik migran akibat munculnya fenomena wanita bekerja pasca industrialisasi, yang kemudian sektor ini didominasi oleh pekerja sektor domestik asal Indonesia; Ketiga, angka penempatan TKI ke Malaysia yang terus meningkat setiap tahunnya, yang disebabkan oleh beberapa faktor: kedekatan geografis, budaya, serta migrasi berdasarkan informasi keluarga yang lebih dahulu bekerja di Malaysia; Keempat, tingginya kebutuhan akan pekerja migran di Malaysia, serta banyak tersedianya pekerja migran Indonesia, dan adanya peran calo membuat koridor arus migrasi Indonesia-Malaysia menjadi rentan untuk migrasi buruh yang tidak prosedural (ireguler), dan membuat status TKI yang melalui jalur tersebut menjadi tidak berdokumen. ~ 113 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Tingginya angka penempatan ireguler ini menunjukkan adanya interdependensi antara pekerja migran Indonesia sebagai penyedia jasa, dan publik Malaysia sebagai pengguna jasa, adapun Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebagai regulator tidak dapat menahan arus migrasi ireguler ini. Kondisi interdependensi ini menjadi latar belakang bagaimana Pemerintah Indonesia harus menyikapi permasalahan yang mungkin muncul dalam arus migrasi ini, juga dalam hal menyiapkan upayaupaya perlindungan terhadap TKI yang berada dalam koridor migrasi dengan angka penempatan yang tinggi. 3. Konteks Permasalahan yang Kerap Menimpa Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia Meninjau analisa pada bagian sebelumnya yang berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia tetap berkepentingan mempertahankan arus migrasi tenaga kerja ke Malaysia, maka pada bagian ini akan dianalisa kondisi-kondisi yang mempengaruhi Pemerintah Indonesia hingga pada akhirnya memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia. Dari beberapa kajian literatur dan wawancara yang dilakukan, ditemukan bahwa maraknya permasalahan yang dialami oleh TKI sektor domestik di Malaysia adalah agenda utama yang menjadi pendorong diberlakukannya kebijakan moratorium ini. Dalam surat edaran penetapan kebijakan moratorium ini pun disebutkan bahwa pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia, khususnya sektor domestik seringkali menimbulkan banyak permasalahan.12 Kebijakan moratorium ini adalah adopsi kebijakan yang diambil Pemerintah RI berdasarkan momentum akumulasi kasus-kasus permasalahan yang menimpa TKI sektor domestik di Malaysia. Tentang hal ini, analis Migrant Care, Wahyu Susilo 12 Surat Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, Nomor B.677/PPTK-TKLN/VI/2009, Perihal Penghentian Sementara Penempatan TKI ke Malaysia tertanggal 26 Juni 2009, ditandatangani oleh Direktur PTKLN (Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri) Abdul Malik Harahap. ~ 114 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia menyampaikan:13 “Moratorium (Malaysia) itu (dilatarbelakangi oleh) kasus-kasus (yang dialami TKI), tahun 2009 itu kasus apa ya, aku lupa. Tapi sebenarnya akmumulasi dari kasus-kasus TKI, tapi momentumnya itu 2009, kasus Ceriyati kalau tidak salah.” Rusdi Basalamah, Ketua Umum APJATI (Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia), menambahkan bahwa kebijakan moratorium yang diadopsi berdasarkan maraknya permasalahan yang menimpa TKI ini juga didorong oleh tekanan publik, dalam wawancara Rusdi menyampaikan:14 “Bisa dibilang, ada tekanan publik di saat itu yang luas karena kasus Ceriyati waktu itu kalau saya tidak salah, pokoknya yang kasusnya itu disetrika atau apa saya lupa. Tapi esensinya di saat itu ada kasus, dan jadi bulan-bulanan di media massa. Mungkin juga karena tekanan dari publik saat itu, Pemerintah juga kemudian mengambil momen, karena harus ada pembaharuan MoU (dengan Malaysia), sehingga kemudian (penempatan TKI ke Malaysia) ditutup.” Pada literatur lain, Da’i Bachtiar, Duta Besar RI untuk Malaysia saat moratorium ini diberlakukan menyampaikan bahwa kebijakan Pemerintah Indonesia yang melakukan moratorium terhadap tenaga kerja sektor domestik ke Malaysia, adalah karena ada satu peristiwa berulangnya kembali satu perbuatan kekerasan atau penganiayaan terhadap penata laksana rumah tangga (PLRT) asal Indonesia oleh majikan di Malaysia, seperti pada kasus Siti Hajar, Nirmala Bonat dan Ceriyati.15 13 Wawancara dengan Wahyu Susilo, Analis Kebijakan Migrant Care, Hari Jumat, 30 November 2012, Pukul 11.12 WIB, Sekretariat Migrant Care, Jalan Pulo Asem Utara I No.16, Pulogadung, Jakarta Timur, 13220. 14 Wawancara dengan Rusdi Basalamah, Ketua APJATI (Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia), Hari Kamis, 1 November 2012, Pukul 14.32 WIB. Gedung APJATI, Jalan Warung Buncit Raya No.126 Pancoran, Jaksel, 12740 15 Kronologi kasus-kasus yang menimpa TKI sektor domestik serta tanggapan-tanggapannya dapat dilihat di Dewi Anggraeni, Dreamseekers: Indonesian Women as Domestic Workers in Asia, (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), dan Migrant Care, Sikap Migrant ~ 115 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Bachtiar menyampaikan analisa mengapa sering berulang kembali penganiayaan terhadap PLRT:16 Pertama, karena penerapan hukum di Malaysia yang tidak memberikan usaha pencegahan bagi PLRT yang dianiaya oleh majikan, proses hukum yang dapat membawa majikan ini ke pengadilan sangat lamban, bahkan hukumannya kadang-kadang ringan; Kedua, PLRT sama sekali tidak memperoleh kesempatan keluar rumah, sehingga tidak ada komunikasi dengan luar, buktinya penganiayaan yang dilakukan terhadap Siti Hajar berlangsung hampir tiga tahun. Mengapa berlangsung lama tanpa ada yang tahu, karena dia tidak pernah bisa keluar dari rumah; dan Ketiga, apabila PLRT merasa tidak betah, yang bersangkutan tidak bisa kemana-mana karena paspor dipegang oleh majikan. Faktor-faktor itulah yang menjadi komitmen (tuntutan) Pemerintah Indonesia untuk melakukan re-evaluasi terhadap penempatan TKI sektor domestik di Malaysia, antara lain tuntutannya adalah paspor tidak dipegang oleh majikan tetapi oleh TKI, juga mereka diberi kesempatan beristirahat sehari dalam seminggu, kemudian proses yang tegas terhadap mereka yang dianiaya, dan juga aturan mengenai standar gaji yang wajar (walaupun tidak digunakan istilah gaji minimum). Jenis-jenis permasalahan yang menimpa TKI ini begitu kompleks, dan sebenarnya tidak hanya terjadi saat TKI bekerja di Malaysia, namun juga terjadi saat tahap pra-penempatan, dan saat tahap purna-penempatan. Pada sub-bab berikut akan diilustrasikan permasalahan yang dihadapi TKI sejak masa prapenempatan hingga tahap purna-penempatan, sebagai gambaran kompleksitas permasalahan TKI di luar negeri, khususnya Malaysia. Care terhadap Problematika Buruh Migran Indonesia, (Jakarta: Migrant Care dan Cordaid, 2009) 16 Da’i Bachtiar, “Diplomasi Perlindungan” WNI/TKI, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Maret Tahun 2010, hlm. 16 ~ 116 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Tabel VII.2 Kasus TKI yang Ditampung dan Ditangani oleh Perwakilan RI di Malaysia17 No. Perwakilan RI 1. 2. 3. 4. 5. KBRI Kuala Lumpur KJRI Johor Bahru KJRI Kota Kinabalu KJRI Kuching KJRI Penang 2009 1.008 525 142 293 171 Jumlah WNI/TKI 2010 792 412 214 343 305 2011* 102 87 20 23 71 Sumber: Direktorat PWNI dan BHI Kemenlu RI, 2011; *data sampai pada bulan Maret 2011 a. Permasalahan di Tahap Pra-Penempatan Masalah yang dihadapi oleh TKI dalam tahap ini adalah pelatihan bagi calon TKI yang belum maksimal, rekrutmen yang tidak transparan, informasi yang tidak lengkap mengenai keadaan negara penempatan dan sosialiasi bagi calon TKI, pelaporan hasil seleksi calon TKI dari PPTKIS ke BP3TKI yang ternyata tidak berjalan seharusnya pemalsuan dokumen oleh pihak sponsor serta rentang waktu pelatihan yang tidak sesuai ketentuan.18 Permasalahan yang berasal dari dalam negeri tidak begitu kentara menurut Rendra Setiawan:19 “Sebenarnya tidak ada masalah, karena kejadian (kasus yang menimpa TKI-nya) ada di sana (Malaysia), bukan di sini. Jadi yang namanya gaji tidak dibayar, pelecehan seksual, kekerasan kebanyakan terjadinya di sana, kalau yang terjadi di dalam negeri 17 Data pada tabel ini dikutip dari presentasi Yuli Mumpuni Widarso, Staf Ahli Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Kemenlu RI berjudul Peran Negara dalam melindungi WNI di Luar Negeri: Permasalahan dan Langkah-langkah Strategis yang disampaikan pada Foruk Komunikasi Kehumasan BNP2TKI di Bogor pada tanggal 19 Juli 2011. 18 Ana Sabhana Azmy dalam Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2012), hlm. 154. 19 Wawancara dengan Rendra Setiawan, Op.cit. ~ 117 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah itu paling gagal keberangkatan, itu pun jarang.“ Namun, Rafail Walangitan, dari Direktorat PWNI dan BHI Kemenlu RI, menyatakan bahwa hampir 80% permasalahan TKI di luar negeri itu merupakan permasalahan bawaan dari dalam negeri:20 “Bahkan dapat juga kita sebutkan prinsip perlindungan itu harusnya dimulai dari dalam negeri kan, karena seluruh persoalan yang muncul hampir 80% sebenarnya permasalahan bawaan dari dalam negeri. Misalnya bahasa, kalau mau pergi bekerja ke Arab Saudi atau Malaysia tapi tidak tahu sepotong pun bahasa, atau paling tidak (yang berangkat ini) tidak mengetahui adat istiadat negara setempat, ini juga persoalan. Jadi kalau kita melihat, hampir 80% kasus (diawali) oleh tidak siapnya kita memberikan pelatihan ataupun kelengkapan yang harus dimiliki oleh TKI. Kemudian juga masalah-masalah mereka yang keluar negeri tanpa ada persiapan.” Kajian yang dilakukan BPKP (Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kemenlu RI dan UKHP Universitas Airlangga pada tahun 2011 pun meyakini bahwa 70%-80% permasalahan yang dialami oleh TKI berasal dari dalam negeri. Faktor-faktor penyebab utama timbulnya permasalahan TKI dimaksud, antara lain:21 1. Pada tahap rekruitmen, adanya dominasi peran calo/sponsor, dan diabaikannya peraturan perundang-undangan dalam proses rekruitmen TKI karena kebutuhan negara pengguna; 2. Pada tahap pelatihan, belum ditanganinya penyiapan te20 Wawancara dengan Rafail Walangitan, Kasubdit I Perlindungan WNI di Wilayah Malaysia, Benua Amerika, Suriah, Yordania dan Timur Tengah, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Kemenlu RI pada Hari Kamis, 14 Januari 2013, Pukul 16.13 WIB di Gedung Utama Lantai Dasar, Dir. PWNI dan BHI, Kemenlu RI Jalan Taman Pejambon No.6, Jakarta 10110 21 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kemenlu RI dan UKHP Universitas Airlangga, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri, (Jakarta: BPPK Kemenlu RI, 2011), hlm. 87. ~ 118 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia naga kerja migran secara profesional, bahkan masih ditemukan pelatihan oleh PPTKIS hanya sebagai formalitas untuk memenuhi persyaratan belaka. Sementara itu, sertifikasi hasil pelatihan belum memberikan jaminan kompetensi TKI; 3. Pada tahap pemberangkatan, lemahnya koordinasi antar-instansi terkait dalam pengurusan dokumen perjalanan, panjangnya prosedur dan persyaratan pengurusan dokumen, menjadi sumber dilakukannya praktek-praktek korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang merugikan TKI, lemahnya hukum dalam prosedur perjanjian kerja antara calon TKI dan pihak pengguna, lamanya tinggal di penampungan PPTKIS, dan kegiatan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) yang tidak efektif dan hanya untuk formalitas. Permasalahan bawaan dari dalam negeri ini membawa implikasi secara langsung pada permasalahan yang terjadi di masa penempatan dan kepulangan, misalnya kurangnya jam dan kualitas pelatihan menyebabkan TKI mengalami ketidaksiapan saat sesampainya di lingkungan kerja. Hal ini menyebabkan kualitas TKI yang bekerja di sana tidak optimal, dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketidakpuasan majikan, dan kadang berbuah perlakuan tidak menyenangkan terhadap TKI dalam hal ini termasuk penganiayaan. Permasalahan ketidaklengkapan dokumen, ataupun kurangnya sosialisasi tentang negara tujuan penempatan dan calon majikan kepada TKI juga menjadi salah satu faktor utama adanya kasus perdagangan manusia (human trafficking) dalam bentuk tempat bekerja yang tidak sesuai pada kontrak yang telah ditentukan. Selain itu, pemalsuan usia juga menjadi pendorong masalah lain di Malaysia, yaitu mengenai kebijakan ditahannya paspor oleh majikan. Usia TKI yang masih muda menjadi kekhawatiran tersendiri bagi majikan agar TKI yang bekerja padanya tidak melarikan diri, juga adanya kekhawatiran TKI akan memiliki anak di luar nikah karena pergaulannya di luar rumah. ~ 119 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah b. Permasalahan di Tahap Penempatan Masalah yang terjadi dalam tahap ini adalah, upah yang tidak dibayar oleh majikan, tidak adanya aturan cuti libur sehari dalam seminggu, perdagangan manusia (human trafficking), pelecehan seksual, pemerkosaan, pemegangan paspor oleh majikan, upah minim dari buruh migran negara lain, larangan berorganisasi, tidak diberi makan yang layak, jam kerja yang melampau batas, majikan memperpanjang kontrak tanpa izin, dilarang berkomunikasi dengan orang lain, diberhentikan kerja secara sepihak (PHK), dan lainnya.22 Permasalahan yang sering terjadi di wilayah ini adalah karena Pemerintah Malaysia tidak menempatkan sektor kerja domestik sebagai sektor informal yang dicakup dalam peraturan ketenagakerjaan di Malaysia. Menurut Employment Act 1955, PLRT adalah budak yang tidak memiliki hak. Dari aspek kebijakan publik pemerintah Malaysia sendiri secara eksplisit tidak berkeinginan untuk melindungi para PLRT migran. Dalam Employment Act 1955 Section 57, ditegaskan bahwa hak PLRT yang diakui hanyalah yang terkait dengan pemutusan hubungan kerja antara PLRT dengan majikan. Tidak ada pasalpasal lain dalam undang-undang tersebut yang terkait dengan PLRT.23 Kondisi ini membuat PLRT sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, karena memang hak-hak mereka sebetulnya tidak ada, dan kondisi ini berlainan dengan para pekerja migran di sektor lain. Untuk mengacu pada pekerja rumah tangga, Employment Act 1955 itu sendiri masih menggunakan kata dalam Bahasa Inggris, “servants” yang konotasinya kurang etis. Dalam prakteknya, konotasi ini tak berbeda dengan definisi “budak”, karena sekalipun dibatasi oleh kontrak waktu kerja dua tahun, 22 Wahyu Susilo, “Kekerasan terhadap Buruh Migran Perempuan Indonesia”, Jurnal Perempuan no.26, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta, 2002), hlm.61. 23 CARAM Asia, Reality Check! Rights and Legislation for Migrant Domestic Workers Across Asia, (Kuala Lumpur: CARAM Asia, 2011), hlm. 26. ~ 120 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia mereka pada dasarnya adalah properti dari dan tunduk pada majikan yang bersangkutan. Tabel VII.3 Rincian Kasus di Shelter KBRI Kuala Lumpur pada Tahun 201024 Jenis Kasus Gaji tidak dibayar Tidak betah kerja Kerja Berat Eksploitasi Non Labour Cases Kekerasan fisik Pelecehan seksual/ Pemerkosaan Trafficking Sakit/stress Terlantar/ilegal Lain-lain Total Kasus Labour Cases Jumlah Kasus 236 220 52 7 96 23 32 45 227 15 953 Sumber: Data KBRI Kuala Lumpur, Malaysia Dalam Immigration Act 1952/1956/2002, tidak banyak disinggung tentang perlindungan PLRT. Salah satu aturan yang dimuat dalam undang-undang tersebut adalah kebijakan single entry policy, yang menetapkan bahwa PLRT migran yang masuk ke Malaysia hanya boleh didaftarkan pada satu orang majikan saja.25 Ini berarti PLRT tidak dapat dan tidak memiliki hak untuk memilih majikan yang dikehendakinya. Hal sebaliknya terjadi pada majikan, mereka berhak mengganti pekerja yang tidak disukainya. Kekuasaan majikan terhadap PLRT adalah mutlak. Jika seorang TKI PLRT ingin pindah majikan, ia harus kembali ke Indonesia terlebih dahulu, setelah itu barulah ia diizinkan kembali ke Malaysia dengan izin kerja yang baru. 24 Berdasarkan data yang diberikan oleh pihak ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur, Malaysia, 20 Mei 2011, sebagaimana dalam Ana Sabhana Azmy, Op.cit., hlm. 136 25 Ibid., hlm. 27-28 ~ 121 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Kekuasaan mutlak yang diberikan undang-undang imigrasi membuat PLRT yang diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan tidak punya akses untuk mendapatkan keadilan. Hal ini terjadi karena visa dan izin kerja yang dimilikinya terkait dengan nama majikannya. Majikan yang tidak menyukai PLRT yang bekerja padanya bisa dengan mudah mengakhiri kontrak dengan melaporkannya pada pihak imigrasi untuk membatalkan visa dan izin kerja PLRT tersebut, karena hanya majikan yang memiliki kuasa untuk mengurus visa dan izin kerja. PLRT yang dibatalkan visa dan izin kerjanya oleh majikan kehilangan haknya untuk tinggal dan bekerja di Malaysia. Meskipun PLRT lari dari majikan karena mengalami tindak kekerasan misalnya, PLRT tersebut akan menjadi tidak berdokumen dan dapat dikenakan hukuman penjara, denda, dan akhirnya dideportasi karena seluruh dokumennya berada di tangan majikan. Pada saat yang sama, ketika PLRT mendapatkan jalan untuk membuat pengaduan tentang tindak kekerasan atau yang gajinya tidak dibayarkan oleh majikan, pengaduan itu akan diputuskan oleh majikannya, pengaduan itu akan diproses dan diputuskan pengadilan. Dalam hal ini, pengadilannya sendiri membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Pada kasus ini dalam Employment Act 1955 ditetapkan bahwa pekerja asing yang tengah menyelesaiakan kasusnya di pengadilan tidak diperbolehkan bekerja. Pekerja asing juga tetap harus membayar visa khusus dalam jumlah tertentu untk setiap bulan selama menunggu kasus tersebut. c. Permasalahan di Tahap Purna-Penempatan dan Upaya Penyelesaian Permasalahan Masalah yang terjadi pada tahap ini di antaranya, beberapa aparat yang meminta uang dengan paksa pada pekerja migran perempuan Indonesia, khususnya di terminal khusus kepulangan TKI, misalnya dengan mewajibkan memiliki kartu identitas ~ 122 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia khusus TKI yang telah disiapkan di terminal bandara, pelayanan bandara yang birokratis, kekerasan psikis (dibentak, diancam, dan sebagainya), juga pelatihan purna penempatan yang hanya fokus pada sisi ekonomi tanpa melihat sisi yang lain.26 Data yang dirilis oleh BNP2TKI pada tahun 2009-2010, beberapa permasalahan yang menyertai kepulangan TKI meliputi:27 (1) Pekerjaan Tidak Sesuai Perjanjian Kerja; (2) Tidak Mampu Bekerja; (3) Gaji Tidak Dibayar; (4) Dokumen Tidak Lengkap; (5) Penganiayaan; (6) Pelecehan Seksual; (7) Majikan Bermasalah; (8) Komunikasi Tidak Lancar; (9) Kecelakaan Kerja; (10) Sakit Akibat Kerja; (11) Sakit Bawaan; (12) Majikan Meninggal; (13) TKI Hamil; (14) Membawa Anak; (15) PHK Sepihak. Cakupan permasalahan yang tercatat saat sekembalinya TKI ke tanah air menunjukkan kompleksitas permasalahan yang dihadapi TKI di luar negeri khususnya TKI. Dalam sebuah lokakarya yang diselenggarakan oleh BPPK Kemenlu RI terungkap bahwa 80% permasalahan yang melibatkan TKI seperti trafficking, deportasi dan overstayer, berakar dari dalam negeri. Akar permasalahan terletak pada:28 • Faktor individu, seperti alasan sosial ekonomi, kemiskinan dan pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan serta kurangnya kesadaran masyarakat dan TKI sehingga dengan mudah menjadi korban eksploitasi; • Faktor perusahaan pengerah penempatan, seperti lebih 26 Ana Sabhana, Op.cit. hlm. 160-161. Penelitian yang spesifik menelisik tentang permasalahan yang dihadapi oleh TKI saat kepulangan, khususnya di terminal khusus kepulangan TKI dapat dilihat di Yayasan Jurnal Perempuan, Sambutlah Kepulangan Kami; Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan Terminal Khusus TKI, (Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, 2011) 27 Data BNP2TKI mengenai Permasalahan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 20092010. 28 “Laporan Lokakarya: Diskusi Penguatan Hasil Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan WNI/TKI di Luar Negeri”, dalam BPPK Kementerian Luar Negeri RI, Forum Komunikasi Kelitbangan: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta: BPPK Kemenlu RI, 2011), hlm. 118. ~ 123 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah mengutamakan kepentingan bisnis tanpa memperhatikan sistem perekrutan yang baik, sistem pelatihan yang benar serta sistem pemeriksaan dan administrasi yang benar; • Faktor pemerintah seperti regulasi yang tumpang tindih, kurangnya koordinasi antar instansi, rendahnya penegakan hukum, lemahnya kontrol pemerintah; • Faktor negara tujuan seperti tidak adanya atau tidak memadainya hukum ketenagakerjaan di negara penempatan, pendekatan yang berbeda dengan Indonesia, perbedaan cara pandang terhadap pekerja domestik dan tenaga kerja di bidang-bidang tertentu. Selain itu, yang juga menjadi kendala adalah ketidakakuratan data tentang TKI dimana masing-masing lembaga mempunyai angka yang berbeda-beda. Permasalahan di dalam negeri dalam beberapa pendapat di atas dinyatakan sebagai akar permasalahan dari masalah yang kemudian datang di masa penempatan. Menanggapi hal ini, Rendra Setiawan menyampaikan beberapa hal yang telah dilakukan oleh Pemerintah untuk membenahi proses persiapan calon TKI di dalam negeri, yaitu pembekalan keterampilan TKI melalui Balai Latihan Kerja (BLK) dan verifikasi PPTKIS bermasalah:29 “Kalau pembenahan dalam negeri kan Pak Menteri bilang “jangan berangkat, kalau belum siap”. Siap itu kan (artinya) macam-macam, kita kan sudah memberikan bantuan, pokoknya untuk Visa berangkat itu yang penting skill dari PLRT ini, kita tingkatkan baik keterampilannya, maupun persiapan untuk berangkat kerjanya. Saya rasa itu yang utama (pembenahan skill), selain itu juga kita lakukan (pembenahan) Balai Latihan Kerja (BLK), jadi dari mulai perlengkapannya, peralatannya juga instrukturnya kita tingkatkan semuanya. Bahkan tahun ini kita memiliki anggaran untuk bantuan ke daerah mengenai BLK. Kalau dari sisi dalam negeri, kita juga melakukan verifikasi 29 Wawancara dengan Rendra Setiawan, ibid., ~ 124 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia PPTKIS (Pengusaha Pengerahan Tenaga Kerja Indonesia Swasta). waktu itu survei-nya kita lakukan melalui pihak ketiga, PT Surveyor Indonesia. Waktu itu tujuannya kita coba menggrade mana PPTKIS yang berwarna “hijau”, “biru”, jadi bisa kita lihat yang nilainya kurang bisa kita lebih perhatikan dan bina, ada juga yang di merger.” Selain pembenahan di dalam negeri yang dilakukan di atas, moratorium ini bertujuan juga untuk menyelesaikan permasalahan kasus-kasus yang menimpa TKI sektor domestik yang sedang berada di Malaysia. Data yang dihimpun Direktorat PWNI dan BHI Kemenlu RI, menunjukkan angka persentase penyelesaian kasus yang dialami TKI di luar negeri:30 Tabel VII.4 Persentase Penyelesaian Kasus Menyangkut TKI Tahun 2010 Kawasan Asia Minus Malaysia Malaysia Timur Tengah minus Arab Saudi Arab Saudi Selesai Proses 160 287 657 Total Kasus 3.113 2.066 6.345 Penyelesaian Kasus (%) 94,86 86,11 89,65 2.953 1.779 5.688 3.948 294 4.242 93,07 Sumber: Direktorat PWNI dan BHI, 2010 Rafail Walangitan dari Direktorat PWNI dan BHI Kemenlu pun menyampaikan bahwa kasus yang ditangani dari tahun ke tahun terus menurun, dan beliau pun menambahkan bahwa sebenarnya yang menjadi atensi publik terhadap permasalahan kasus-kasus ini bukan hanya berdasarkan jumlahnya yang cukup tinggi:31 “Persoalannya bukan dari 800 ribu kemudian itu memiliki masalah semua. Catatan kita terakhir, mungkin kasus yang 30 Jurnal Diplomasi, No. 47 Tahun IV,Tanggal 15 September-14 Oktober 2011, hlm. 8. 31 Wawancara dengan Rafail Walangitan, Op.cit. ~ 125 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah benar-benar jadi kasus, tidak lebih sekitar hanya dua ribu kasus lebih, angka pastinya nanti kita lihat data statistiknya, itu mencerminkan hanya berapa persen dari jumlah keseluruhan. Nah mungkin masyarakat melihat bukan daripada jumlah kasus, karena persentase (kasusnya) sendiri terus menurun dari tahun ke tahun kasus yang kita tangani. Tetapi memang hubungan kedua negara diwarnai oleh banyak isu, tidak hanya isu budaya tetapi isu sosial. Dimana persoalan-persoalan penganiayaan yang dialami warga negara Indonesia yang bekerja sebagai PRT, juga mewarnai hubungan kedua negara tersebut.“ Permasalahan-permasalahan yang menimpa TKI, khususnya sektor domestik di Malaysia, memang sudah berlangsung sejak lama sebagaimana digambarkan pada ilustrasi di atas, dan telah coba digambarkan pula secara historis di Bab 2. Permasalahan-permasalahan yang mendorong diberlakukannya moratorium ini sebenarnya telah coba dientaskan melalui nota kesepahaman yang disetujui kedua belah pihak pada tahun 2006. Namun, pelaksanaan nota kesepahaman yang tidak mencapai hasil memuaskan dan sikap Malaysia yang tidak begitu mengindahkan hasil nota kesepahaman inilah yang membuat Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan kebijakan moratorium ini sekaligus mengajukan proposal amandemen terhadap nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia tentang rekrutmen dan penempatan TKI sektor domestik di Malaysia yang ditandatangani tahun 2006 tersebut. 4. Formasi Kepentingan dalam Kebijakan Moratorium Penempatan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia Pada penelitian ini, negara tidak dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri serta independen dalam proses pembuatan kebijakan luar negerinya, karena dalam proses pembuatan kebijakan tersebut terjadi proses bargaining (pertarungan ~ 126 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia kepentingan antar individu atau kelompok yang saling bertemu) yang terus menerus sejak proses formulasi kebijakan dilakukan. Kebijakan luar negeri tidaklah semata-mata dirumuskan oleh Negara an sich sebagai entitas utama dalam pergaulan internasional. Perumusan ini melibatkan aktor-aktor di level domestik dengan berbagai ide dan kepentingan dalam sebuah proses bargaining di institusi Negara yang memperoleh mandat pembuatan kebijakan publik (dalam hal ini kebijakan luar negeri). Intensitas bargaining yang tinggi ini kemudian membentuk sebuah pola kecenderungan pengambilan keputusan-keputusan oleh para pembuat kebijakan, yang kemudian turut menentukan seberapa kuat posisi tawar kebijakan luar negeri tersebut dalam menghadapi negara lain. James Anderson menuliskan di bukunya, Public Policy Making bahwa kebijakan publik diawali dengan proses kebijakan, yaitu: a. Agenda kebijakan: diantara banyaknya permasalahan, mana yang mendapat perhatian serius dari pemerintahan. b. Formulasi kebijakan: pengajuan yang diterima atas aksi untuk sepakat dengan masalah publik. c. Adopsi kebijakan: pengembangan dukungan untuk pengajuan yang lebih spesifik, karenanya kebijakan dapat dilegitimasikan. d. Implementasi kebijakan: aplikasi kebijakan oleh mesin administratif pemerintahan. e. Evaluasi kebijakan: usaha pemerintah untuk menetapkan apakah kebijakan sudah efektif dan mengapa atau mengapa tidak.32 Agenda kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini, dianalisa sebagai hasil pemilihan 32 James Anderson, Public Policy Making: an Introduction, 7th Edition (USA: Wadsworth, 2011), hlm.4 sebagaimana dikutip oleh Ana Sabhana Azmy dalam Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2012), hlm. 90-91. ~ 127 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah prioritas masalah yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia terkait perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Sebagaimana telah dijabarkan pada bagian sebelumnya mengenai konteks permasalahan yang kerap dialami TKI sektor domestik di Malaysia, pada masa pemerintahan SBY, pemberitaan mengenai kasus-kasus permasalahan yang dialami TKI sektor domestik di Malaysia terakumulasi sehingga Pemerintah harus segera melakukan rangkaian tindakan berupa kebijakan untuk mengatasinya, dalam hal ini melalui opsi melakukan kebijakan moratorium penempatan. Terkait motif Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan ini, Rusdi Basalamah berpendapat sebagai berikut:33 “Selain itu juga kepentingan Pemerintah (dalam moratorium ini) karena ada kepentingan politik, saya dulu pernah tanya ke anggota DPR, ini kan semua (karena) ga mau ambil resiko politik, semua mau aman, isu TKI itu isu yang sensitif, bisa ngebakar emosi publik, apalagi kalau media sudah ikutan, wah ciamik itu kan... Ini yang paling penting dari semuanya, political will dari Pemerintah. Kenapa Pemerintah adakan moratorium ini, kenapa moratorium ini gak dibuka. Semua juga tidak lepas dari persoalan politik, kenapa persoalan politik? Ini tekanan, SBY gak mau ambil resiko. Mungkin, saling terkait, kalau mereka bilang (moratorium ini ada) resiko politik, jadi dengan Pemerintah sudah melakukan sesuatu, mereka dipandang sudah memperhatikan persoalan. Moratorium ini menyangkut banyak orang.” Dalam hal proses formulasi kebijakan, Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan Advokasi, Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI memberikan keterangan kronologi pemberlakuan kebijakan moratorium ini:34 “Yang saya tahu, moratorium ke Malaysia itu dilakukan oleh 33 Wawancara Rusdi Basalamah, Op.cit. 34 Wawancara dengan Teguh Hendro Cahyono, Op.cit. ~ 128 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia pihak Indonesia; dipicu pada tahun 2009 (26 Juni 2009) oleh kasus yang sempat geger menimpa seorang TKI. Kemudian pada waktu itu dari pihak BNP2TKI datang ke Malaysia: Pak Jumhur (Hidayat) kala itu berbicara dengan Pak Dubes (RI di Malaysia) di depan media massa dan menyampaikan opsi moratorium untuk menekan kedua belah pihak guna memperbaiki langkahlangkah perlindungan pada TKI di Malaysia khususnya yang domestic worker. Kemudian, selang seminggu kemudian, pihak Kedubes (RI di Malaysia), Pak Dubes Da’i Bachtiar waktu itu datang ke Indonesia, bertemu dengan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Pak Erman Suparno) persis saat Pak Erman pulang dari luar negeri, karena saat kejadian kata “moratorium” disampaikan oleh Pak Jumhur, Pak Menakertrans sedang di luar negeri. Dua minggu kemudian, Pak Da’I Bachtiar bersama dengan Pak Wakil Menlu dari Kementerian Luar Negeri, akhirnya memutuskan dan menetapkan moratorium atau penghentian sementara TKI penatalaksana rumah tangga ke Malaysia.” Melihat keterangan di atas, proses formulasi kebijakan ini amat dominan diputuskan oleh institusi Negara, dalam hal ini Kemenakertrans, BNP2TKI serta perwakilan RI di Malaysia yang merupakan bagian dari Kementerian Luar Negeri RI. James Anderson menyebutkan bahwa dalam kebijakan publik, memang ada beberapa kelompok yang mempunyai akses lebih daripada yang lain. Kebijakan publik dalam waktu kapan pun akan merefleksikan kepentingan pihak yang dominan. Dalam pembuatan kebijakan, baik secara ekonomi atau politik, individu atau siapa pun akan didorong oleh pilihan-pilihan, dan kemudian mencari untuk memaksimalkan keuntungan yang mereka dapatkan.35 Dominannya peran institusi negara juga dapat dilihat dalam Inpres No.6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan, yang menunjukkan 35 Anderson, Op.cit.,hlm. 25 ~ 129 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah beberapa instansi pemerintahan yang terlibat langsung dalam mekanisme kepengurusan migrasi tenaga kerja, baik dari tahap pra-penempatan, penempatan dan purna penempatan. Instansi pemerintahan yang dalam hal ini diwakili oleh kepala instansi tersebut adalah: 1) Menteri Luar Negeri; 2) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 3) Menteri Dalam Negeri; 4) BNP2TKI; 5) Gubernur/Bupati/Walikota; 6) Menteri Hukum dan HAM; 7) Menteri Kesehatan; 8) PPTKIS; 9) Kepala Lembaga Uji Kompetensi; 10) Menteri Perhubungan; 11) Menteri Keuangan; 12) Kapolri.36 Menurut Thomas Birkland, terdapat dua jenis kategori partisipan dalam pembuatan kebijakan publik, yaitu: 1) Official actors (aktor resmi), yaitu mereka yang terlibat dalam kebijakan publik karena tanggung jawab mereka disetujui oleh hukum atau konstitusi, dan karena itulah mereka mempunyai kekuasaan untuk membuat dan menegakkan kebijakan-kebijakan; dan 2) Unofficial actors (aktor tidak resmi), yaitu aktor yang terlibat dan berperan dalam proses kebijakan tanpa otoritas legal secara langsung untuk berpartisipasi. kelompok ini dilibatkan karena mempunyai hak untuk terlibat, karena mereka mempunyai kepentingan yang penting untuk melindungi dan memajukan, karena dalam banyak hal sistem pemerintahan tidak akan berjalan baik tanpa mereka. Pada penelitian skripsi ini, dua aktor tidak resmi yang dipilih untuk menjadi informan dalam memberikan pendapatnya terkait pemberlakuan kebijakan moratorium ini adalah pihak pengusaha penempatan TKI swasta (PPTKIS) dalam hal ini diwakili APJATI (Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia), dan yang kedua dari pihak lembaga swadaya masyarakat (LSM/ Civil Society Organization [CSO]) yang bergerak dalam bidang perhatian migrasi tenaga kerja, yang diwakili oleh Migrant Care. Kedua aktor ini, dipilih berdasarkan asumsi bahwa kedua 36 Berdasarkan isi dari Inpres No.6 Tahun 2006 tentang Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKILN dalam Poin Penanggung Jawab dari tiap reformasi yang dijalankan, dikutip dari Ana Sabhana Azmy (2011),Op.cit. hlm 124 ~ 130 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia pihak ini mengalami dampak langsung dari pemberlakuan kebijakan moratorium penempatan TKI di Malaysia. Rusdi Basalamah dari APJATI menyampaikan relasi antara pengusaha dengan Pemerintah selama ini terkait kebijakan migrasi tenaga kerja sebagai berikut:37 “Ya, kita aktif diajak bicara itu oleh Kemenlu, oleh BNP2TKI, ya komunikasi ada dengan Depnaker tapi menurut saya ya tidak (cukup intens), kadang di tingkat Menteri bagus, di tingkat Dirjen lelet, jadi ga kena. Padahal kita itu yang di lapangan, cost structure (baru) itu tidak jalan, karena kita punya masukanmasukan itu ga diterima, ga jalan, karena dia itu tidak tahu bagaimana di lapangan, bagaimana dinamisnya persaingan.” Spesifik mengenai kebijakan moratorium penempatan TKI sektor ke Malaysia dan beberapa negara tujuan penempatan, Rusdi Basalamah menyampaikan bahwa pada dasarnya pengusaha tidak menolak kebijakan moratorium ini:38 “Tapi tentu pada prinsipnya, apapun regulasi Pemerintah itu harus kita dukung kan, apalagi Pemerintah juga selalu diserang (oleh publik) tentang konsep perlindungan (warganegara), yang kita hormati juga bahwa Pemerintah juga ingin melakukan perbaikan karena kita akui bahwa persoalan (TKI) ini juga berakar mayoritas dari dalam negeri. Mulai dari sistem rekrutmen, peran calo yang dominan, penempatan TKI ilegal yang tidak dapat dibendung oleh Pemerintah apalagi pintu-pintu masuk ke Malaysia itu luar biasa banyaknya, ada 31 titik yang menjadi pintu masuk TKI ilegal. Pengusaha itu tidak menolak moratorium, asal dalam konteks untuk memperbaiki kondisi. Kita ini sudah beberapa kali moratorium, tapi ya sudah hanya buka tutup begitu saja, tidak ada perubahan yang signifikan.39 Padahal moratorium itu berarti 37 Wawancara Rusdi Basalamah, Op.cit. 38 Ibid. 39 Moratorium terdahulu ke beberapa negara di wilayah Timur Tengah dan Asia Pasifik ini sempat coba diberlakukan pada masa kepemimpinan Jacob Nuwa Wea di era Pemerintahan Megawati Soekarnoputeri pada rentang tahun 2003-2004, dengan hasil yang tidak ~ 131 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah detak jantung pengusaha itu berhenti, tentu Pemerintah yang dapat memperbaiki kondisi ini, dengan regulasinya. Bukan kita memberlakukan moratorium untuk memuaskan publik, ‘Ooo Pemerintah sudah bertindak lalu kemudian penempatan segera dibuka lagi.” Kepentingan pihak pengusaha dalam kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini amat jelas, karena dengan dihentikannya proses penempatan maka, usaha penempatan yang dilakukan para pengusaha ini otomatis berhenti, Rusdi Basalamah menerangkannya sebagai berikut:40 “Yang berikutnya, kita merasa selama 2 tahun (moratorium) itu, perusahaan-perusahaan (penempatan TKI ke Malaysia) yang resmi itu mati suri, berhenti dengan sempurna, justru prosesproses penempatan melalui jalur ilegal itu semarak, sehingga pada proses moratorium, perusahaan yang melakukan penempatan TKI ke Malaysia itu tidak bekerja, karena kita sedang ditutup resmi, jalur-jalur ilegal tetap jalan. Karena proses penempatan (TKI) itu spesifik, kalau suatu perusahaan (penempatan) sudah biasa menempatkan TKI ke Asia Pasifik, dia akan sulit masuk ke (pasar) Timur Tengah. Asia Pasifik ini bagi lagi, ada Malaysia, Singapura, Hong Kong, Taiwan, jadi kalau sudah biasa ke negara Asia Pasifik dia tidak akan mudah masuk ke Timur Tengah, masing-masing negara itu punya karakternya masing-masing.” Teguh Hendro Cahyono mengamini kepentingan para pengusaha dalam kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini:41 “Sejauh yang saya tangkap, dari sisi politis moratorium ini akan menggembirakan,hal ini dikarenakan inkonsistensi Pemerintah Indonesia dalam memberalkukan kebijakan moratorium ini. Untuk tinjauan yang cukup dalam mengenai kebijakan moratorium terdahulu ini, lihat Komnas Perempuan, 2002. Indonesian Migrant Domestic Workers: Their Vulnerabilities and New Initiatives from the Protection of Their Rights. Jakarta: Komnas Perempuan. 40 Ibid. 41 Wawancara Teguh Hendro Cahyono, Op.cit. ~ 132 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia menjadi sarana untuk menekan pihak Malaysia supaya mau mengikuti tuntutan Indonesia, dan tuntutan Indonesia adalah peningkatan perlindungan melalui antara 4 item (amandemen MoU) yang tadi telah disebutkan. Pembebanan pada TKI berkurang, ada hari libur, paspor (dipegang TKI) dan satu lagi gaji. Itu kan upaya kita untuk menekan pihak Malaysia. Sementara efek samping yang mungkin muncul yang pertama tentu saja adalah bahwa kita mengantisipasi orang-orang (calon TKI) yang masuk ke Malaysia secara ilegal atau non-prosedural karena begitu mudahnya. Yang kedua, kita juga ngerti kalau PPTKIS yang menempatkan TKI ke Malaysia misalkan, di stop kayak gitu kan, ya ada kepentingan anu (bisnis) kan bagi PPTKIS itu, semisal “kok aku kok tidak dibolehkan usaha (menempatkan TKI)?” Sedangkan (moratorium ini) gak selesai-selesai kerjaannya.” Pada sudut pandang yang lain, Wahyu Susilo menerangkan posisi CSO (Civil Society Organization) dalam pemberlakuan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini:42 “Moratorium itu apa sih harusnya? Kalau bagi aku kan moratorium itu “bargain politic”, tidak sekedar kita menghentikan (penempatan TKI), itu kan argumennya (Pemerintah) moralis ya. Tapi konsekuensinya apa? Kalau terobosan moratorium (ke) Malaysia itu adalah salah satu bargain kita agar Malayia mau teken MoU dengan perbaikan. Nah, memang salah satu kekuatannya MoU (dari Pemerintah) ya itu, tapi juga dorongan dari non-state actor, di Internasional, di kita NGO juga jelas (berperan), karena sebenarnya yang dorong Indonesia moratorium, yang dorong Indonesia (diskusikan MoU) itu tidak datang dari Pemerintah, tapi dari CSO (Civil Society Organization). Tapi, kemudian ini punya efek kuat ketika ada non-state actor atau International Community semisal Human Rights Watch, nanti kalo kamu searching situsnya Human Rights Watch itu banyak tuntutan 42 Wawancara Wahyu Susilo, Op.cit. ~ 133 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah mereka (HRW) tentang Malaysia. Kemudian yang signifikan itu adalah rekomendasi dari Special Rapporteur PBB untuk Buruh Migran tentang MoU Indonesia dan Malaysia yang punya potensi pelanggaran HAM.” Wahyu Susilo berpendapat bahwa kebijakan moratorium penempatan ini tidak hanya menjadi instrumen penunda masalah, tapi juga dapat menjadi alat bargain terhadap negara tujuan penempatan, adapun posisi ini hanya dapat dicapai dengan adanya dorongan dari CSO:43 “[...] bahwa sebenarnya moratorium itu tidak hanya menunda masalah, yang terjadi sekarang kan kita menunda masalah, tapi bisa jadi alat bargain. Sebenarnya di akhirnya nanti kan kamu akan bilang, model seperti ini (moratorium) sebagai salah satu instrument untuk memberikan tekanan politik tapi tidak per se moratorium saja, tapi juga dengan dukungan lain. Itu misalnya dengan moratorium Saudi, Kuwait macam-macam. Kalau selemah-lemahnya moratorium ke Malaysia itu kan ga idle, gak status quo, tapi kan kita dengan Saudi, dengan Jordania, dengan Kuwait kan status quo tapi gak ada desakan dari (kelompok penekan)..Jadi moratorium itu gini, moratorium itu alatnya state actor, tapi moratorium ini tidak akan efektif sebagai bargain kalau gak ada non-state actornya,” Terkait kepentingan CSO dalam kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini, Wahyu Susilo menyebutkan bahwa CSO dan institusi-institusi non-negara harusnya dapat menjalankan peran pengawas dalam implementasi kebijakan ini:44 “Itu kan skemanya gini, kalo tuntutan dari kita ya, MoU ini kan harus ada pengawasan, tuntutan maksimal kita Joint Task Force atau komite untuk mengawasi implementasi ini kan bukan saja bilateral Indonesia-Malaysia tapi juga dari non-state actor 43 Ibid. 44 Ibid. ~ 134 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia di Indonesia dan Malaysia. Setidaknya Komnas HAM masingmasing, Parlemen, idealnya juga ASEAN tapi Committee of Migrant Worker nya juga belum ada, dulu juga bahkan kita minta UN (ikut serta). Tapi ya joint comitte ini hanya (berisikan) mereka-mereka (institusi pemerintahan) saja, parlemen pun nggak.” Melihat formasi kepentingan yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa pada proses agenda dan formulasi kebijakan, aktor-aktor yang berperan lebih dominan adalah aktoraktor resmi, dalam hal ini instansi pemerintahan terutama sekali birokrasi eksekutif dalam hal ini Kemenakertrans, BNP2TKI serta Kementerian Luar Negeri. Aktor-aktor resmi ini memiliki kepentingan dalam hal melakukan tindakan yang bersifat politis untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialami oleh TKI sektor domestik yang berada di Malaysia dan telah diberitakan secara luas ke publik. Dalam hal adopsi kebijakan, aktor-aktor tidak resmi dalam hal ini pengusaha dan CSO memberikan kontribusi dalam hal memberikan dukungan dan dorongan atas pemberlakuan kebijakan moratorium penempatan ini. Pengusaha yang merasakan dampak langsung akibat berhentinya proses usaha penempatan, ini menyatakan dukungannya sehubungan memang perlunya pembenahan penampatan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, Pada sisi lain, CSO menurut Wahyu Susilo telah berperan dalam mendorong implementasi kebijakan moratorium penempatan ini, dan sebenarnya dapat memberikan kontribusi lebih banyak dalam proses pengawasan implementasi kebijakan ini, mengingat bahwa CSO tidak dilibatkan dalam proses penetapan agenda dan formulasi kebijakan penempatan ini. Melanjutkan konsep proses kebijakan yang dikemukakan oleh James Anderson, proses implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan moratorium penempatan akan dianalisa pada bagian berikut yang membahas tentang upaya Pemerintah ~ 135 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Indonesia meningkatkan perlindungan TKI di Malaysia melalui pembaharuan kerjasama bilateral penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia selama masa moratorium penempatan ini berlaku. [] ~ 136 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia BAB VIII PROPOSAL AMANDEMEN MOU PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK DI MALAYSIA Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya, moratorium ini dilatarbelakangi oleh maraknya permasalahan yang menimpa TKI sektor domestik di Malaysia. Namun, yang akhirnya membuat Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium adalah ketimpangan dari Malaysia dalam menerapkan MoU 2006 yang telah disepakati sebelumnya, Rafail Walangitan menyampaikan sebagai berikut: 1 “Kita ambil umumnya dulu ya, kita belum melihat kepada moratorium itu dulu sendiri. Malaysia itu hanya salah satu negara dimana kita memiliki MoU kerjasama pengiriman tenaga kerja. Khususnya tentang sektor domestik kita memiliki MoU dengan lima negara tujuan penempatan. Nah ini akhirnya yang kita lihat ada ketimpangan dari negara tujuan penempatan dalam menerapkan MoU yang dimaksud. Akhirnya pada tahun 2009 kita melakukan amandemen MoU itu untuk meluruskan posisi hak dan 1 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit. ~ 137 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah kewajiban pekerja, juga akomodasi yang layak (bagi mereka). Nah itu beberapa hal yang kita tuntut untuk dilaksanakan. Tapi itu kan butuh proses, sementara kita melakukan itu ternyata (MoU yang ada) juga tidak dijalankan oleh Malaysia, maka akhirnya kita keputusan yang kita ambil adalah lakukan moratorium. Tujuan moratorium itu kan; moratorium itu kan begini, kita menghentikan nih, kita punya MoU antara Indonesia-Malaysia, kita stop pengiriman, kita tidak akan kirim lagi ke Malaysia. Kalau kita lihat dari sisi hukum, kebijakan ini adalah kebijakan yang kita ambil berdasarkan penilaian kita bahwa negara tujuan penempatan tidak menjalankan apa yang sudah kita sepakati bersama, sehingga banyak yang melihat (kebijakan) ini sepihak (dari Indonesia saja). Tapi demi memberikan perlindungan (bagi WNI), maka kita mulai dari itu, kita terapkan moratorium. Saat ini juga kita terapkan pada Arab Saudi, yang sama kasusnya. Harapan kita kan Malaysia kembali mematuhi MoU tersebut.” Kesepakatan atau perjanjian internasional adalah tujuan dari politik luar negeri dan diplomasi modern. Suatu perjajian bilateral adalah adalah suatu persetujuan sukarela di mana masingmasing negara setuju untuk menaatinya. Hanya dengan goodwill bersama atau dengan kekuatan dari salah satu peserta yang lebih kuat maka perjanjian itu dapat dijamin akan dapat ditaati.2 Malaysia dalam hal ini belum menunjukkan itikadnya dalam menaati kesepakatan yang telah disetujui bersama, maka dari itu Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk mengajukan amandemen terhadap nota kesepahaman yang telah disepakati tersebut. Adapun mengapa kesepakatan bilateral Malaysia-Indonesia hanya berbentuk nota kesepahaman dan bukan perjanjian bilateral yang sifatnya jauh lebih mengikat, baik disimak pendapat Wicramasekara tentang mengapa negara-negara Asia lebih memilih MoU dibandingkan Perjanjian Bilateral dalam membuat sebuah kerjasama antarnegara di bidang ketenagakerjaan. 2 Sumarsono Mestoko. Indonesia dan Hubungan Antarbangsa..( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 25. ~ 138 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Wickramasekara mengasumsikan hal ini disebabkan oleh beberapa alasan:3 1) MoU lebih mudah untuk dinegosiasikan dan diimplementasikan; 2) MoU memiliki fleksibilitas lebih untuk dimodifikasi dengan perubahan kondisi ekonomi dan pasar tenaga kerja, dan; 3) MoU adalah pilihan untuk berhadapan dengan masuknya buruh migran berkecakapan rendah (lowskilled workers). Hal ini juga berlaku pada kondisi kerjasama ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia-Malaysia yang masih menggunakan instrumen MoU dibandingkan perjanjian bilateral yang lebih mengikat. Wickramasekara mengemukakan tujuan diselenggarakannya kerjasama antarnegara bidang ketenagakerjaan di Asia dalam bentuk perjanjian bilateral ataupun nota kesepahaman adalah sebagai berikut:4 1. Bagi negara tujuan penempatan: 1) mengatur migrasi ireguler dan mempromosikan mobilitas buruh migran yang lebih teratur; 2) menunjukkan kebutuhan pasar tenaga kerja dari sudut pandang pengguna jasa dan sektor industri negara tujuan penempatan; 3) patronase politik, dalam bentuk memastikan akses istimewa bagi pasar tenaga kerja untuk mendapatkan pekerja migran dari negara tertentu, dan; 4) mempromosikan pertukaran ataupun ikatan kultural atau politik dengan negara pengirim pekerja migran. 2. Bagi negara pengirim pekerja migran: 1) untuk memastikan akses yang berkelanjutan pada pasar tenaga kerja bagi tenaga kerja migrannya; 2) mengurangi tekanan angka pengangguran di dalam negeri; 3) memastikan proteksi dan perlindungan atas hak-hak dan kesejahteraan pekerja migrannya, dan; 4) mendapatkan devisa dalam bentuk remiten dari pekerja migrannya. 3 Piyasiri Wickramasekara, Labour Migration in Asia Role of Bilateral Agreements and MoU, Presentasi ILO pada “JIPLT Workshop on International Migration and Labour Market in Asia” yang diselenggarakan di Tokyo pada tanggal 17 Februari 2006. 4 Ibid., ~ 139 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran memiliki beberapa kepentingan dalam amandemen nota kesepahaman tentang penempatan dan perlindungan TKI sektor di Malaysia ini, dan merupakan buah dari upaya Pemerintah Indonesia meningkatkan perlindungan TKI di luat negeri. Masing-masing poin yang disetujui dalam amandemen nota kesepahaman, dan beberapa hal yang mendasari pencabutan moratorium ini akan menjadi dasar analisa apa sajakah kepentingan Indonesia dalam amandemen nota kesepahaman melalui moratorium ini yang menunjukkan. 1. Kewajiban Paspor Berada di Tangan Pekerja Migran Indonesia Salah satu protokol amandemen nota kesepahaman yang paling menjadi perhatian Pemerintah Indonesia adalah seputar aturan tentang siapakah yang seharusnya memegang paspor TKI. Pada MoU 2006, disebutkan bahwa: “The Employer shall be responsible for the safe keeping of the Domestic Worker’s passport and to surrender such passport to the Indonesian Mission in the event of abscondment or death of the Domestic Worker”5 Pada pasal ini tampak, bahwa pengguna jasa sepenuhnya diberikan hak untuk menyimpan paspor TKI yang bekerja padanya. Ini bisa diartikan Pemerintah Indonesia merestui kebijakan diskriminatif yang mungkin diberlakukan Pemerintah Malaysia bagi TKI sektor domestik asal Indonesia, karena dalam MoU antara Malaysia dengan Filipina disebutkan bahwa paspor berikut izin kerja pekerja sektor domestik Filipina harus berada di tangan pekerja tersebut dan bukan di tangan pengguna jasa.6 Sebenarnya Malaysia memiliki aturan nasional mengenai kepemilikan paspor dalam The Malaysian Passport Act 1966 yang 5 Sebagaimana disebutkan dalam “Memorandum of Understanding between The Government of the Republic of Indonesia and The Government of Malaysia on the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers” Appendix A, Point xii. 6 CARAM Asia, Op.cit. hlm. 32 ~ 140 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia menegaskan bahwa seseorang tidak diperkenankan menahan paspor milik orang lain. Namun, dalam prakteknya, adalah keumuman seorang pengguna jasa menahan paspor pekerja domestik migrannya, yang sebenarnya pelanggaran atas The Malaysian Passport Act 1966. Agen perekrutan di Malaysia mendorong para pengguna jasa untuk menahan paspor pekerja domestik migrannya atas kekhawatiran akan kemungkinan kabur seorang pekerja migran dari tempatnya bekerja. Situasi ini membuat seorang pekerja domestik migran berada dalam kondisi keterbatasan bergerak dan menghadapi resiko penahanan apabila keluar rumah karena seluruh dokumennya berada di tangan pengguna jasa.7 Alasan Pemerintah Indonesia yang ingin melindungi TKI PLRT karena khawatir TKI tersebut awam mengenai paspor, rawan kehilangan, mengurangi kemungkinan TKI tersebut menjadi tidak berdokumen, dan beberapa pertimbangan praktis lainnya menjadi tidak relevan saat seharusnya Pemerintah sadar bahwa selama ini TKI PLRT mengalami keterbatasan gerak dan sulit berkomunikasi dengan pihak luar karena ditahannya dokumennya tersebut. Padahal keterbatasan gerak dan akses dengan dunia luar itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa penganiayaan terhadap TKI sektor domestik bisa terjadi. Lingkungan kerja sektor domestik yang berada di kediaman pribadi yang sifatnya privat membuat sektor domestik ini memiliki kerawanan lebih dibanding sektor lain, karena wilayahnya yang cenderung tersembunyi dari perhatian publik. Pemerintah Malaysia melalui mekanisme izin kerja (work permit) yang dilansir oleh Departemen Imigrasi pun tidak mengizinkan pekerja domestik migran untuk mengganti tempat bekerja atau pengguna jasa (majikan).8 Hal ini berkaitan dengan biaya rekrutmen yang telah dibayar pengguna jasa untuk dalam 7 CARAM Asia, Malaysia vs Hong Kong: Employers’ Perception and Attitudes Towards Foreign Domestic Workers, (Kuala Lumpur: CARAM Asia: 2010), hlm. 13 8 Ibid., ~ 141 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah mendatangkan pekerja domestik migran tersebutcukup tinggi. Apabila pekerja domestik migran tersebut melarikan diri, maka pengguna jasa yang bersangkutan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendatangkan pekerja domestik migran yang lain. Hal inilah yang mendorong para pengguna jasa menahan paspor pekerja domestik migrannya, dan menempatkan pekerja domestik migran dalam situasi bersedia diperlakukan seperti apapun agar tidak kehilangan pekerjaan, karena ketidakmungkinannya berganti tempat kerja atau majikan. Rafail Walangitan dari Direktorat PWNI dan BHI Kemenlu RI, menyatakan tentang urgensi paspor dipegang oleh TKI, dan bagaimana kebijakan ini sebenarnya dapat dinegosiasikan: 9 “Masalah paspor juga, karena paspor itu kan adalah dokumen pribadi, itu hanyalah dokumen perjalanan, bukan dokumen untuk bekerja, jadi itu tidak bisa dijadikan untuk menyandera (TKI). (Penahanan paspor oleh majikan) ini dulu banyak dilakukan karena PRT nya melarikan diri dari majikan, dan satu-satunya dokumen yang bisa dipegang oleh majikan itu paspor. Tapi ya kalau orang sudah lari ya tidak berpikir, dia gak ada persoalan untuk meninggalkan paspornya. Artinya begitu dia melarikan dari majikan, maka otomatis menjadi ilegal. Tapi dengan dia (majikan) memberikan paspor kepada si pekerja, artinya dia kan memberikan kepercayaan kepada yang bersangkutan, tidak ada lagi istilah menyandera dokumen, karena dokumen itu harus melekat kepada yang bersangkutan. Nah ini pun dalam amandemen MoU juga diberikan keleluasaan, kalau misalnya pekerja tersebut memberikan izin kepada majikan untuk menyimpan paspor juga dibolehkan, jadi ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Selama ini kan yang terjadi, pokoknya setiap ada yang bekarja maka majikan tahan paspor, itu juga yang tidak kita inginkan, karena katakanlah kalau dia sedang jalan dengan majikan misalnya ke pasar, lalu tersesat dan tidak tahu jalan, mereka bisa 9 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit. ~ 142 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia saja tertangkap di jalan tanpa dokumen identitas.” Pada awal negosiasi Pemerintah Malaysia tidak memasukkan proposal amandemen tentang poin ini pada agenda pembahasan dengan Pemerintah Indonesia. Namun, setelah ada poin, bahwa TKI PLRT diperkenankan menitipkan paspornya dengan ketentuan tertentu, Pemerintah Malaysia akhirnya menerima amandemen tentang poin ini. Dalam protokol amandemen terlihat posisi tawar TKI PLRT lebih baik dibandingkan sebelumnya, sebagaimana termaktub sebagai berikut:10 “(a) The Passport shall remain in the possession of the Domestic Worker; and (b) The Passport may be allowed to be kept by the Employer, with prior consent of the Domestic Worker for safekeeping purposes. The passport shall be returned at any time requested.” Terlihat bahwa meskipun pengguna jasa tetap memiliki hak untuk menyimpan paspor TKI, namun dalam protokol amandemen ini siapa yang memegang paspor tergantung pada kebijakan TKI yang bersangkutan, berbeda jauh dengan nota kesepahaman sebelum amandemen dimana paspor harus dipegang oleh pengguna jasa tanpa kejelasan kapan paspor tersebut harus dikembalikan kepada TKI bersangkutan, kecuali keterangan bahwa paspor tersebut dapat diserahkan kepada perwakilan Republik Indonesia apabila terjadi sesuatu pada TKI sehingga tidak dapat melakukan kewajiban kerjanya, termasuk di dalamnya kematian. 2. Pekerja Migran Indonesia Berhak atas 1 (Satu) Hari Libur dalam Seminggu Proposal amandemen ini merujuk pada situasi TKI PLRT yang tidak memiliki kejelasan berapa jam kerja dalam sehari, dan juga berapa hari kerja dalam seminggu, sehingga tidak jelas hak-hak TKI untuk beristirahat. Dalam nota kesepahaman 10 Sebagaimana disebutkan dalam “Protocol Amending The Memorandum of Understanding between The Government of the Republic of Indonesia and The Government of Malaysia on the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers” Article 5, Point 5.6. ~ 143 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah tahun 2006, hanya dijelaskan sebagai berikut:11 “The Employer shall provide the Domestic Worker with adequate rest.” Pada nota kesepahaman ini tidak dijelaskan berapa jam kerja dalam sehari dan hari kerja dalam seminggu, dan hanya menentukan bahwa pengguna jasa harus menyediakan waktu istirahat yang cukup bagi TKI PLRT. Apabila dibandingkan dengan kerjasama bilateral antara Malaysia dengan negara lain semisal India ataupun Filipina, nota kesepahaman Malaysia dengan Indonesia dapat dikatakan lebih lemah hal dalam konteks menjamin hak beristirahat pekerja migrannya. Dalam kerjasama antarnegara ataupun kontrak kerja perihal pekerja migran dari Filipina, Sri Lanka, atau India, Malaysia menyetujui klausa bahwa akan ada kompensasi bagi pekerja migran yang mau bekerja di jatah hari liburnya. Pada klausa lain, pekerja migran India memiliki kejelasan kontrak bahwa gaji bulanannya dihitung pada basis kerja 8 jam sehari, sedangkan pekerja migran Filipina walaupun tidak memiliki kontrak berapa basis jam kerjanya dalam sehari, namun pekerja migran Filipina harus dijamin oleh pengguna jasa di Malaysia harus memiliki waktu istirahat minimal 8 jam sehari.12 Studi yang dilakukan ILO (International Labour Organization) menemukan bahwa pekerja domestik di seluruh dunia memiliki kecenderungan untuk dipekerjakan lebih dari 15 jam sehari, dan keluarga atau pengguna jasa yang mempekerjakannya memiliki pemahaman bahwa pekerja sektor domestik tersebut harus siap dipanggil (“on call”) kapan saja, tidak peduli siang ataupun malam.13 Pekerja sektor domestik ini biasanya dipekerjakan setiap hari dalam seminggu. Beberapa warga Malaysia yang mempertahankan situasi ini menyatakan bahwa tidak adanya hari libur untuk pekerja sektor domestik adalah 11 “Memorandum of Understanding between…”, Op.cit. Appendix A, Point xvii. 12 CARAM Asia, 2011, Op.cit. hlm.32 13 Alice Hulling, “Domestic Workers in Malaysia: Hidden Victims of Abuse and Forced Labour”, dalam International Law and Politics, Vol.44, hlm. 644 ~ 144 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia untuk melindungi pekerja sektor domestik tersebut, misalnya mendapatkan kehamilan di luar nikah akibat pergaulannya di luar rumah tempatnya bekerja.14 Negosiasi yang berjalan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia terkait poin ini akhirnya merujuk pada titik tengah bahwa TKI sektor domestik berhak atas satu hari libur dalam seminggu, namun apabila atas dasar keinginan pengguna jasa atau TKI sektor domestik itu pada hari liburnya akan tetap bekerja, maka TKI sektor domestik tersebut berhak memperoleh upah yang proporsional dengan upah bulanannya. Hal ini tercantum dalam protokol amandemen nota kesepahaman tahun 2006:15 “(a) The Domestic Worker shall be entitled to 1 (one) rest day in a week; (b) The Domestic Worker may agree to work on his/her rest day; and (c) In the event the Domestic Worker agrees to work on any of his/her rest day, the Domestic Worker shall be paid a certain amount of money to be calculated on pro-rate basis in lieu of the rest day agreed upon by the Employer and The Domestic Worker in the Contract of the Employment.” Kebijakan ini pun menurut Rafail Walangitan dari Direktorat PWNI dan BHI Kemenlu RI merupakan kebijakan yang menguntungkan kedua pihak, dan telah ditemukan jalan tengahnya: 16 “Ya saya kira, saat kita ambil kebijakan untuk terapkan moratorium, kita sangat yakin dan harus yakin bahwa Pemerintah Malaysia harus mengikuti keinginan kita. Karena bagaimanapun, apa yang kita tuntut juga demi kepentingan mereka, dan kebaikan mereka. Misalnya sebagai contoh, kita menginginkan kepada pihak Malaysia untuk memberikan satu hari libur (bagi TKI). Nah itu kan berarti kita tidak mewajibkan pihak Malaysia untuk 14 Ibid. 15 “Protocol Amending The Memorandum…” Op.cit. Article 5, Point 5.7. 16 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit. ~ 145 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah memenuhi keinginan demikian. Kita memberikan ruang bagi mereka, oke, Anda bisa berikan satu hari libur, tapi Anda juga bisa bernegosiasi dengan pekerja, apakah pekerja itu mau mengambil hari libur atau mau menggantinya dengan uang. Jadi sebenarnya tidak kaku-kaku sekali apa yang kita minta (ke pihak Malaysia). Kalau pekerja memilih oke dia tidak akan ambil hari libur dan memilih uang, tidak masalah silakan jalan terus.” Kebutuhan untuk beristirahat ini diperkuat dengan ketidakjelasan beban pekerjaan yang harus dikerjakan oleh pekerja sektor domestik, dalam nota kesepahaman hanya dijelaskan bahwa: “The Employer shall undertake that the Domestic Worker shall be employed for the purposeof household duties”. 17 Selain itu di dalam pasal kewajiban pengguna jasa dalam Appendix B disebutkan bahwa: “The employer shall not require the Domestic Worker to work or to be engaged in any activities other than that related to household duties.”18 Tidak dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan household duties, padahal jenis pekerjaan yang termasuk kategori domestik/rumah tangga ini banyak jenisnya. Pemerintah Indonesia sendiri dalam implementasi protokol amandemen ini berusaha menerapkan penempatan selanjutnya harus berdasarkan spesialisasi jenis pekerjaan. Rendra Setiawan dari Kemenakertrans menerangkan hal ini:19 “Dengan adanya moratorium, amandemen (MoU) ini bisa jalan. Soalnya (Malaysia) juga kebingungan, mereka sudah coba cari migrant worker dari mana-mana tapi gak cocok, paling cocok itu ya dari Indonesia. Tapi, akhirnya juga penempatan itu akhirnya (dan harusnya) berdasarkan kluster, per jabatan. Jadi kalau dulu itu kan dikenal jabatan PLRT (penata laksana rumah tangga, yang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga seorang diri), kalau sekarang coba kita bagi: ada baby sitter, care giver, cooker, ada driver juga. Jadi satu orang TKI tidak mengerjakan semua 17 “Memorandum of Understanding between…”, Op.cit. Appendix A, Point xviii. 18 Ibid., Appendix B, Point 4 Part (d) 19 Wawancara Rendra Setiawan, Op.cit. ~ 146 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia jenis pekerjaan rumah tangga.” Namun dalam prakteknya Pemerintah Malaysia, masih enggan menerapkan kebijakan ini, karena publik Malaysia sendiri masih terbiasa dengan pekerja sektor domestik yang dapat dan mau melaksanakan segala jenis pekerjaan rumah tangga. Rafail Walangitan pun berpendapat bahwa spesialisasi jenis pekerjaan ini dapat mengurangi beban pekerja sektor domestik dan memberikan jam kerja yang lebih layak: 20 “Kasus-kasus seperti penganiayaan, kasus tidak dibayar gaji, kasus pemaksaan hubungan kerja, kemudian kasus banyaknya WNI yang dipaksa bekerja sebagai PSK karena penipuan, juga lingkungan pekerjaan yang harusunya kondusif bagi mereka (WNI kita), semisal makan tiga kali sehari. Dan seharusnya beban pekerjaan yang diberikan betul-betul sebagai pembantu rumah tangga, memasak, mencucui pakaian. Tetapi dalam perkembangannya, ternyata menjadi PRT tidak hanya sekedar mengerjakan itu. Kadang-kadang misalnya kalau rumah (majikan) itu memiliki tiga mobil, dia harus cuci mobil, kemudian satu rumah punya empat anak, punya orang tua/lansia dia juga harus ngurusin itu, padahal bukan tugas dia.“ Kesepakatan mengenai hak libur sehari dalam seminggu bagi TKI sektor domestik ini mendukung pekerja sektor domestik untuk memperoleh hak yang sama dengan pekerja sektor domestik dari negara-negara lain. Selain daripada itu amandemen ini juga membuat situasi TKI sektor domestik yang sulit berkomunikasi dengan dunia luar memiliki harapan untuk berubah, karena dengan adanya hari libur maka TKI memiliki akses untuk berkomunikasi dengan lingkungan di luar rumah tenpatnya bekerja. Hal ini juga dimungkinkan dengan adanya tambahan poin secara eksplisit pada protokol amandemen bahwa majikan harus memperkenankan TKI sektor domestik berkomunikasi dengan 20 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit. ~ 147 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah keluarganya dimana sebelumnya tidak tertulis secara eksplisit di MoU 2006. Pada Article 6, Point 6.3 protokol amandemen disebutkan: “(g) the employer shall allow the Domestic Worker to communicate with his/her family.” Penambahan pasal ini membawa pembaharuan, dengan demikian hal-hal terkait situasi bekerja dapat dibagi dan dikomunikasikan baik dengan keluarganya yang ada di tanah air, TKI lain, WNI yang lain ataupun Perwakilan RI yang ada di Malaysia. 3. Revisi Biaya Penempatan (Cost Structure) Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia Struktur biaya penempatan atau cost structure yang harus dipenuhi baik oleh pengguna jasa, agen penempatan dan TKI sektor domestik adalah salah satu pokok pangkal permasalahan yang lain. Alasan mengapa paspor TKI sektor domestik ditahan oleh pengguna jasa, adalah akibat kekhawatiran pengguna jasa dan agen penempatan akan kemungkinan melarikan dirinya TKI, terutama karena pengguna jasa telah mengeluarkan banyak biaya untuk mendatangkan TKI tersebut. Masing-masing Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia memiliki kepentingan tentang struktur biaya ini. Teguh Hendro Cahyono dari BNP2TKI menerangkan alotnya negosiasi mengenai klausa struktur biaya penempatan ini: 21 “Kalau tentang cost structure itu inti persoalannya adalah Malaysia menganggap Indonesia kok terlalu tinggi biaya yang dikeluarkan di pihak Malaysia nya, sementara pihak Indonesia mengatakan bahwa biaya itu tidak tinggi karena biaya pelatihan, dan lain-lain. Yang jadi masalah adalah, jangan biaya-biaya tersebut dibebankan pada TKI saja, atau at least jangan TKI diberi porsi pembebanan biaya yang lebih besar dari majikan. Maka 21 Wawancara dengan Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan Advokasi, Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI, Hari Selasa, 20 November 2012, Pukul 13.05 WIB. Kantor Direktorat Mediasi dan Advokasi Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI, Jalan Letjen M.T. Haryono Kav.52, Jakarta Selatan ~ 148 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Indonesia mematok TKI hanya boleh menanggung biaya sebesar RM 1800, sementara kemudian dari pihak Malaysia juga berusaha agar biaya total (yang ditanggung pengguna di Malaysia) lebih minimal. Itulah yang membuat perundingannya alot. Indonesia tidak mau biaya yang ditanggung TKI dibesarkan.” Dalam Nota Kesepahaman Tahun 2006, disampaikan bahwa kewajiban yang harus dipenuhi pengguna jasa meliputi pembiayaan untuk: (a) Transportation cost from original exit point in Indonesia to the place of employment in Malaysia; (b) Security Deposits as required by the Immigration Department of ; (c) Processing Fees; (d) Work pass; (e) Medical examination for the purpose of renewal of the Work Pass; dan (f) Annual Levy.22 Adapun biaya yang harus ditanggung TKI meliputi: (a) Visa; (b) Travelling document and other related documentation imposed by the relevant authority in Indonesia; (c) Medical examination prior to the employment of the Domestic Worker’s Work Pass; (d) Accommodation and incidental expenses charged by IRA in Indonesia before departure; (e) Transportation cost from the place of residence of the Domestic Workers to the original exit point in Indonesia; dan (f) Other expenses incurred in Indonesia.23 Dalam MoU 2006 tidak disebutkan secara jelas rincian biaya yang harus ditanggung baik oleh pengguna jasa maupun oleh TKI. Penentuan rincian biaya ini sepenuhnya diatur oleh agen penempatan TKI di Malaysia dan Indonesia, sebagaimana tertulis sebagai berikut di MoU 2006: 24 “(B. xiii). MRA (Malaysian Recruitment Agency) shall comply with the fees for the recruitment and placement of Domestic 22 “Memorandum of Understanding between…”, Op.cit. Appendix A, Paragraph A, Point v. Levy adalah sistem pajak yang mulai masuk dalam anggaran nasional Malaysia Tahun 1991/1992 guna menutupi biaya sosial yang muncul dari masuknya buruh migran ke Malaysia dan mengurangi ketergantungan Malaysia terhadap buruh migran. Levy tahunan ini dapat dibayar oleh majikan, pekerjaan, atau majikan dan pekerja dengan jumlah beragam sesuai sektor dan keterampilan. Lihat The Institute for Ecosoc Rights, Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI: Antara Indonesia-Singapura-Malaysia, (Jakarta: The Institute for Ecosoc Rights, 2010), hlm.52. 23 Ibid., Appendix A, Paragraph D, Point ii. 24 Ibid., Appendix A, Paragraph B, Point xiii, dan Appendix A, Paragraph C, Point x.. ~ 149 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Workers as agreed upon by the relevant Malaysian and Indonesian authorithies; (C. x) IRA (Indonesian Recruitment Agency) shall comply with the fees for the recruitment and placement of Domestic Workers as agreed upon by the relevant Malaysian and Indonesian authorithies.” Kedua pasal di atas yang kemudian diamandemen dengan pembuatan acuan rincian jumlah biaya yang harus dibayarkan oleh pengguna jasa dan TKI pada protokol amandemen. Salah satu poin yang berubah adalah biaya pelatihan yang ditanggung secara bersama-sama oleh pengguna jasa dan TKI. Secara garis besar, jumlah yang harus ditanggung oleh masing-masing pengguna jasa dan TKI mengalami peningkatan. Pengguna jasa menanggung total biaya RM 2.711, dari sebelumnya RM 2.415, adapun TKI menanggung biaya RM 1.800 dari sebelumnya RM 950.25 Biaya ini memang terlihat mengalami peningkatan secara signifikan bagi TKI, namun kejelasan struktur biaya ini lebih baik, sehingga ada rambu untuk menindak tegas PPTKIS yang mungkin meminta biaya tertentu yang tidak teratur dan memberatkan TKI. Dalam protokol amandemen pun disebutkan bahwa proses pembayaran biaya yang ditanggung oleh TKI dapat dibayar terlebih dahulu oleh pengguna jasa dan kemudian melalui sistem cicilan via pemotongan gaji, dana talangan tersebut akan dikembalikan oleh TKI yang bersangkutan kepada pengguna jasa. Adapun proses pemotongan gaji ini, tidak boleh melebihi dari 50% total keseluruhan gaji. Disebutkan bahwa: 26 “(6.6) The Employer may pay for the recruitment and placement fee of the Domestic Worker concerned in advance, provided that 25 Sebagaimana dirangkum oleh Dita Indah Sari dalam keterangan terkait poin-poin perubahan protokol amandemen MoU 2006, diakses dari http://www.ditaindahsari.com/MoU2011TKIMalaysia.pdf pada hari Selasa, 9 April 2013, Pukul 20.10 WIB. Rincian keseluruhan cost structure dapat dilihat di pada lampiran skripsi ini bagian “Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Keputusan 152/Men/VI/2011 tentang Biaya Penempatan dan Perlindungan Calon Tenaga Kerja Indonesia Negara Tujuan Malaysia”. 26 “Protocol Amending The Memorandum…” Op.cit. Article 6, Point 6.6. ~ 150 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia the Employer shall be entitled to deduct the monthly wage of the Domestic Worker not exceeding the amount of 50% (fifty percent) of the Domestic Worker’s basic wage per month until such advance payment is fully settled by the Domestic Worker.” Mengenai penetapan cost structure yang baru ini, Rusdi Basalamah, Ketua APJATI berpendapat struktur biaya penempatan ini terlalu rendah dan memberatkan PPTKIS untuk merekrut dan ini menyebabkan masih sedikitnya TKI sektor domestik yang berangkat ke Malaysia dalam tempo 6 bulan setelah moratorium dicabut, berikut penuturannya: 27 “Depnaker mengeluarkan regulasi sendiri tentang cost structure, jadi tidak ada yang sinkron (antar lembaga). Anda bisa bayangkan moratorium ke Malaysia itu sudah dicabut sejak bulan Desember 2011, hingga bulan ini (November 2012) yang berangkat ke Malaysia baru 64 orang, kenapa 64 orang? Karena cost structure, tidak bisa kita mengimbangi. Jadi gini, cost structure itu dihitung sekian yang jadi hak nya TKI, implementatif tidaknya cost structure ini di lapangan, kalau tidak implementatif tidak mungkin bisa kita rekrut orang. Akhirnya jalur-jalur TKI ilegal ini yang jalan, ribuan orang. Jadi TKI yang tercatat resmi sudah berjalan itu 64 orang, tapi yang ilegal itu tetap jalan. Makanya saya bilang, setelah moratorium ini dicabut, sudah tidak menarik lagi Malaysia ini. Pertama, Pemerintah dalam hal ini Kemenaker(trans) tidak memikirkan proteksi bagi pengusaha, semisal bagaimana proses rekrutmen itu bisa stabil, sehingga ada orang bisa direkrut. Tidak logis, 8 bulan setelah moratorium hanya 64 orang yang berangkat, pasti ada sesuatu yang salah.” Rusdi Basalamah melanjutkan bahwa hal ini dikarenakan banyak PPTKIS yang tidak sanggup melakukan rekrutmen dan penempatan karena pembatasan struktur biaya yang terlalu rendah: 28 27 Wawancara Rusdi, Op.cit. 28 Ibid. ~ 151 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah “Satu tahun itu, Indonesia 750 ribu TKI (yang berangkat), Malaysia itu kurang lebih 18 ribu TKI yang berangkat per bulan, PLRT nya kurang lebih 50%. Sekarang ini baru 64 orang, ada apa? Tapi jalur ilegal nya jalan. Kenapa ada kasus “TKI onsale”? Itu kan luar biasa cerobohnya, itu pasar ilegal, kalau PT resmi tidak mungkin bekerja dengan cost segitu, tidak mungkin, apanya yang mau di on-sale, apanya yang mau diturunin lagi (biayanya). Kita tidak bisa lebih dari cost structure yang diatur pemerintah, bisa kena sanksi kita. Jadi, daripada kita berbenturan dengan regulasi, lebih baik kita tidak kirim TKI ke Malaysia, sehingga orang ambil jalur pintas.“ Protokol amandemen ini didasarkan pada kepentingan dan harapan bahwa TKI tidak akan dibebankan biaya penempatan yang terlalu tinggi, namun di sisi lain struktur biaya penempatan ini dinilai memberatkan para pengusaha penempatan TKI. Hal ini juga menyiratkan bahwa pembahasan mengenai proposal amandemen ini tidak melibatkan semua pihak, sebagaimana disampaikan oleh Rusdi Basalamah di atas. 4. Penetapan Standar Gaji dan Pembayaran Gaji Melalui Rekening Penetapan standar gaji TKI sektor domestik di Malaysia, juga merupakan isu penting yang coba Pemerintah Indonesia ajukan dalam proposal amandemen nota kesepahaman tahun 2006. Hal ini didasarkan pada standar upah Indonesia yang berada di bawah pekerja migran dari negara lain. Teguh Hendro Cahyono dari BNP2TKI menyampaikan logika umum Pemerintah dalam mengajukan proposal standar gaji ini: 29 “Begini, kalau standar gaji itu kan tentu saja persoalan logikanya Malaysia ingin gaji TKI semurah mungkin, Indonesia ingin gaji TKI setinggi mungkin, jadi ya itu saja yang jadi persoalan dengan berbagai alasan. Katakanlah, Malaysia mengatakan 29 Wawancara Teguh Hendro Cahyono, Op.cit. ~ 152 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia mereka tidak mengatur upah minimum sektoral atau regional atau apapun, sedangkan dari pihak Indonesia mengatakan bahwa ngga fair dong kalau ngga ditetapkan minimal gaji karena nanti majikan akan sesukanya, TKI akan berada dalam posisi yang lemah katakanlah demikian, dari sisi pendidikan, sisi kekayaan atau apapun juga, apa kata majikan akan diikuti oleh TKI. Nah, jadi kalau jangan-jangan majikan hanya gaji RM 250 atau apa kan itu kan di luar kewajaran, dan kewajiban Pemerintah Indonesia untk menetapkan standar minimal, itu yang kemudian diutarakan (dalam JWG).” Standar upah ini juga dapat menunjukkan tingkat pendapatan sekaligus status sosial ekonomi pengguna jasa yang menggunakan TKI sektor domestik di Malaysia. Studi yang dilakukan oleh CARAM Asia menunjukkan bahwa kebijakan imigrasi Malaysia memberikan kualifikasi pendapatan pengguna jasa TKI sektor domestik lebih rendah dibandingkan pekerja sektor domestik asal Filipina. Syarat pendapatan tahunan minimal calon pengguna jasa TKI sektor domestik berada di angkaRM 36.000, atau sekitar USD 11, 250. Sedangkan syarat pendapatan tahunan minimal calon pengguna jasa pekerja sektor domestik asal Filipina berada di angka RM 120.000, atau sekitar USD 37.500.30 Perbandingan ini menunjukkan bahwa syarat pendapatan tahunan minimal pengguna jasa TKI sektor domestik hanya sepertiga dari syarat pendapatan minimal tahunan calon pengguna jasa pekerja sektor domestik asal Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa TKI sektor domestik dapat dipekerjakan oleh calon pengguna jasa dari kelompok berpendapatan rendah, yang perlu dipertanyakan latar belakang pendidikan dan sosial, yang juga dapat menentukan sikap dan perilakunya terhadap pekerja migran. Menurut Rusdi Basalamah, latar belakang sosial dan ekonomi pengguna jasa akan menentukan sikapnya terhadap 30 CARAM Asia (2010), Op.cit. hlm. 15. ~ 153 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah pekerja domestik migran, karena para pengguna jasa dengan latar belakang ekonomi kuat memiliki pemahaman bahwa mempekerjakan pekerja domestik domestik migran adalah investasi sehingga harus dijaga baik-baik: 31 “Kalau memang pekerja kita dibayar dengan harga tinggi, itu berarti pekerja kita dibayar oleh orang berduit, kemudian orang berduit itu berpikir sudah bayar mahal maka dia akan jaga pekerja itu, yang akan terjadi adalah penurunan 50% angka penempatan, itu asumsi saya, kenapa? Kalau turun angka penempatan hingga 50 % kepada orang yang (majikan) yang benar-benar mampu, angka kasus kekerasan (terhadap TKI) juga turun, itu korelasinya.” Negosiasi seputar standar gaji minimal ini berlangsung alot, karena Pemerintah Malaysia tidak memiliki aturan seputar gaji minimal, sehingga apabila proposal Indonesia diterima, maka perlu ada penyesuaian dengan undang-undang ketenagakerjaan Malaysia secara keseluruhan. Rafail Walangitan menyampaikan kesulitan mengenai penerapan standar gaji minimal ini: 32 “Satu hal tentang penetapan standar gaji, untuk menggolkan itu kita kan sudah mendesak, tapi bagi mereka jika mereka menerima, berarti mereka harus melakukan amandemen daripada UU mereka. Nah proses amandemen UU mereka itu tidak mudah, itu harus dibawa ke tingkat parlemen, dan apabila mereka sudah menetapkan itu (standar gaji) berarti mereka harus mengganti secara mendasar upah minimum regional, seperti kita kan. Jalan keluar yang mereka tawarkan adalah, oke karena ini bertentangan dengan UU kami, maka persoalan upah minimum tersebut kita serahlan pada harga pasar yang berlaku. Bagi kita kalau mengikuti harga pasar, kita kan tidak ada pegangan, karena harga pasar itu sangat fluktuatif, dari tadinya RM800 bisa tiba-tiba ke 31 Wawancara dengan Rusdi Basalamah, Op.cit. 32 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit. ~ 154 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia RM 600 misalnya. Nah ini melemahkan posisi kita, namun saya kira Indonesia cukup fleksibel dalam konteks itu, karena kita juga memahami kesulitan yang mereka hadapi.” Pada nota kesepahaman 2006, klausa mengenai gaji ini hanya tergantung pada kontrak kerja yang telah disepakati tanpa ada ketentuan berapa standar gajinya, sebagaimana diterangkan sebagai berikut: “(iii) The Employer shall pay the Domestic Workers monthly wages in the amount as agreed in the terms and conditions of the Contract of Employment”33 Hal inilah yang kemudian diubah pada protokol amandemen hingga akhirnya disetujui bahwa standar gaji akan disesuaikan pada standar upah pasar ketenagakerjaan yang ada. Hal ini termaktub dalam protokol amandemen sebagai berikut: “The Employer shall pay the Domestic Worker a monthly wage as agreed in the term and conditions of the Contract of Employment at a rate determined by the market forces taking into account the indicative range of wages to be agreed upon by the Parties.”34 Laporan Tahunan Fungsi Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur Tahun 2011 menyampaikan beberapa kriteria dan standar yang berkaitan dengan sistem penggajian untuk kemudian sebagai landasan penyusunan standar remunerasi (remuneration rate) bagi TKI adalah sebagai berikut: (1) Standar biaya hidup (living cost); (2) Laju inflasi nasional dan inflasi per sektor; (3) Daya beli (purchasing power); dan (4) Harga produk rata-rata dunia (produk perkebunan, pertanian, elektronik, dan lainlain).35Fungsi Ketenagakerjaan ini pun menyampaikan laju standar gaji TKI yang bekerja di beberapa sektor di Malaysia:36 33 “Memorandum of Understanding between…”, Op.cit. Appendix A, Paragraph A, Point iii. 34 “Protocol Amending The Memorandum…” Op.cit. Article 5, Point 5.3. 35 Laporan Tahunan Fungsi Ketenagakerjaan Tahun 2011, Kedutaan Besar Republik Indoneisa Kuala Lumpur, hlm 20. 36 Ibid. hlm. 22. ~ 155 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Tabel VIII.1 Laju Standar Gaji TKI di Beberapa Sektor Pekerjaan di Malaysia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sektor Pekerjaan Pekerja Domestik Pertanian/ Agrikultur Perkebunan Konstruksi Manufaktur Jasa Sebelum Tahun 2010 Gaji Pokok Levy RM 500/Bulan RM 410/Thn Tahun 2010-2011 Gaji Pokok Levy RM 600/Bulan RM 490/Thn RM 18,5/Hari RM 540/Thn RM 18,5/Hari RM 590/ Thn RM 18,5/Hari RM 25-40/Hari RM 460/Bulan RM 500/Bulan RM 540/Thn RM 540/Thn RM 1.200/Thn RM 1.800/Thn RM 21/Hari RM 35-50/Hari RM 481/Bulan RM 550/Bulan RM 590/ Thn RM 590/ Thn RM 1.250/ Thn RM 1.850/ Thn Sumber: Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur, 2012 Dari data di atas dapat dilihat terdapat peningkatan standar gaji pokok bagi TKI, adapun Levy mutlak harus dibayar pengguna jasa sesuai peraturan Pemerintah Malaysia. Namun menurut Atase Ketenagakerjaan (Atnaker) KBRI Kuala Lumpur, seharusnya pendapatan minimal bagi pekerja di lima sektor selain sektor domestik tidak boleh kurang dari RM 900 per bulan, adapun pekerja sektor domestik tidak boleh kurang dari RM 700, hal ini karena beberapa komponen pekerja sektor domestik telah ditanggung secara langsung oleh pengguna jasa, sehingga tidak dibayarkan secara tunai.37 Tabel 4.6 berikut mengilustrasikan indeks keperluan hidup minimum TKI di wilayah Kuala Lumpur dan sekitarnya: 38 37 Komponen-komponen gaji menurut Atnaker KBRI Kuala Lumpur terdiri atas: (a) Gaji Pokok (Basic Salary); (b) Lembur pada hari kerja; (c) Lembur pada hari minggu; (d) Lembur pada hari besar atau hari libur resmi; (e) Tunjangan kehadiran; (f) Tunjangan makan; (g) Tunjangan shift; (h) Tunjangan transportasi; (i) Tunjangan asrama; (j) Insentif; (k) Bonus; dan (l) Levy. 38 Laporan Tahunan Fungsi Ketenagakerjaan Tahun 2011, Kedutaan Besar Republik Indoneisa Kuala Lumpur, hlm. 24. ~ 156 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Tabel VIII.2 Indeks Keperluan Hidup Minimum TKI di Wilayah Kuala Lumpur dan Sekitarnya No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Keperluan Volume Harga Satuan RM 4.00 RM 30.00 RM 40.00 RM 50.00 RM 50.00 Frekuensi Jumlah Makan 3 30 hari RM 360.00 Keperluan Kamar Mandi 1 1 kali/bulan RM 30.00 Keperluan Harian Lainnya 1 1 kali/bulan RM 40.00 Pulsa Handphone (Top-up) 1 1 kali/bulan RM 50.00 Liburan/Hospitality/ 1 2 kali/bulan RM 100.00 Pengembangan Diri Transportasi Disediakan atau Reimbursement RM 4.00/hari Akomodasi (Listrik/Air/Gas) 1 RM 20.00 1 kali/bulan RM 20.00 Remiten/Tabungan 1 RM 300.00 1 kali/bulan RM 300 JUMLAH RM 900.00 Sumber: Atnaker KBRI Kuala Lumpur, 2010 Selain penetapan standar gaji yang akan mengikuti ketentuan pasar, Pemerintah Indonesia juga mengajukan proposal bahwa pembayaran gaji harus melalui transaksi perbankan, agar setiap transaksi tercatat dan dapat mejadi klaim apabila terdapat permasalahan terkait proses pembayaran gaji. Rafail Walangitan menyampaikan keterangan sebagai berikut: “Kemudian juga saat kita meminta mereka membayar gaji melalui rekening bank. Ini juga kan sebenarnya untuk memberikan kejelasan. Ini kan hubungan industrial antara pekerja dan majikan, pekerja sudah memberikan kewajibannya, maka kewajiban dari majikan untuk membayar.“ 39 Instrumen transaksi gaji melalui perbankan ini ditegaskan dalam protokol amandemen Article 6 Point 6.4 yang menyebutkan: “… The Payment of the monthly wages shall be made through a Bank account”.40 Apabila TKI kesulitan dalam membuka rekening di bank, maka adalah kewajiban pengguna jasa untuk membantunya. Hal ini telah diterangkan dalam nota kesepahaman ta39 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit. 40 Lihat “Protocol Amending The Memorandum…” Op.cit. Article 6, Point 6.4. ~ 157 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah hun 2006 yang menyebutkan: “ The Employer shall, as reasonably practicable, and if requested by the Domestic Worker, assist the Domestic Worker to open an account at any Malaysian Financial Institution.41 Keinginan untuk meningkatkan standar gaji ini sebenarnya tetap memiliki konsekuensi bahwa selama ini posisi tawar TKI sektor domestik lebih kuat dibanding pekerja domestik negara lain adalah upahnya yang lebih rendah, yang apabila standar upahnya dinaikkan maka bukan tidak mungkin pengguna jasa pekerja sektor domestik Malaysia akan beralih ke pekerja migran dari negara lain. Pada sisi lain, moratorium dan amandemen nota kesepahaman ini adalah jalan Indonesia untuk tetap melanjutkan arus penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia. Namun, posisi tawar TKI sektor domestik tetap lebih tinggi dibandingkan pekerja domestik negara lain, melihat angka penempatan ireguler yang tinggi dalam koridor penempatan TKI sektor domestik Indonesia-Malaysia. 5. Pembentukan Joint Task Force antara Indonesia dan Malaysia Salah satu hal yang harus dibenahi dalam implementasi nota kesepahaman 2006 adalah lemahnya pengawasan baik dari Malaysia dan Indonesia, karena selama nota kesepahaman 2006 dijalankan pengawasan hanya berbentuk dialog via Joint Working Group, yang hanya mengadakan forum apabila salah satu pihak mengajukan agenda pembahasan. Pada protokol amandemen nota kesepahaman 2006 ini kemudian dibentuk Joint Task Force yang bertugas untuk melakukan implementasi teknis nota kesepahaman 2006 yang telah mengalami amandemen. 42 JTF. Rafail Walangitan menyampaikan bahwa pembentukan Joint Task Force ini adalah untuk menilai implementasi nota kesepahaman 2006 pasca moratorium:43 41 “Memorandum of Understanding between…”, Op.cit. Appendix A, Paragraph A, Point xxii. 42 Lihat “Protocol Amending The Memorandum…” Op.cit. Article 4. 43 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit., ~ 158 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia “Untuk mengawasi poin-poin amandemen itu, dari kedua belah pihak dibentuklah Joint Task Force, jadi masing-masing misalnya di Malaysia ada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Imigrasi kemudian Duta Besar kita juga ikut serta, Kementerian Perburuhan. Dan di sini juga dibentuk Joint Task Force Indonesia, dimana anggotanya di situ adalah Kemenakertrans, BNP2TKI, kemudian Kedutaan Besar Malaysia, bahkan Kemlu pun ikut serta. Joint Task Force ini tugasnya adalah melakukan control, kemudian menilai sejauh mana implementasi amandemen MoU itu tersebut dari segala aspek yang telah disepakati.“ Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar pada Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI tanggal 25 Januari 2012, menyampaikan tugas-tugas JTF adalah sebagai berikut: a. Memverifikasi dokumen calon TKI dalam proses pemberangkatan (paspor, perjanjian kerja, sertifikat kesehatan dan psikologi, sertifikat uji kompetensi, izin/visa kerja, biaya penempatan); b. Memantau proses pemberangkatan dan pemulangan TKI, meliputi proses rekrutmen, pelatihan, uji kompetensi, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pemberangkatan dan pemulangan; c. Memantau, membina dan mengawasi kinerja lembaga penempatan TKI; d. Memberikan fasilitasi/bantuan penyelesaian kasus kepada TKI; e. Memfasilitasi penyelesaian perselisihan kerja; f. Memastikan kurikulum pelatihan dilaksanakan sesuai ketentuan, seperti keterampilan teknis, kemampuan bahasa, pemahaman tentang adat istiadat, serta peraturan dan perundangan di Malaysia. Pada proses pencabutan moratorium yang dilakukan pada bulan Desember, pengawasan dan pemantauan yang dilakukan JTF ini adalah salah satu indikator utama penilaian, dimana ~ 159 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Pemerintah Indonesia menilai ada usaha Pemerintah Malaysia untuk menjalankan dengan sungguh-sungguh. Rendra Setiawan menyampaikan hubungan antara penandatanganan protokol amandemen nota kesepahaman dengan pencabutan moratorium: 44 “Dan jangan menghubungkan penandatangan protokol revisi MoU dengan pembukaan moratorium,ada kaitannya namun jangan dihubungkan. Dengan adanya penandatangan MoU, maka otomatis moratorium dibuka, nggak seperti itu. Jadi kita lihat dulu, keseriusan Malaysia ada sampai dimana, kayak TKI yang sudah ada di sana, perlakuannya gimana tuh, jangan kita kirim baru dulu, yang disana dulu bagaimana. Kalau yang disana masih bermasalah juga kan berarti keseriusannya gak ada, kan masih ribuan tuh yang berada di sana. Buktinya kan sekarang masih ada kasus di Malaysia dan Arab Saudi setelah ada moratorium. Misalnya ada TKI kita bermasalah kita disana, kita berikan akses kekonsuleran, akses hukumnya. Dulu kan kadang nggak, sudah lama penanganan hukumnya baru ada laporan ke KBRI. Jadi alasan pencabutannya itu ada penandatangan moratorium, lalu ada keseriusan pihak Malaysia untuk membenahi perlindungan TKI kita disana. Ukurannya itu ya, dalam pelanggaran kasus ya usaha mereka untk mengatasinya sudah makin baik, mereka membuka kerja sama juga, kita juga kan menerima laporan dari KBRI untuk hal-hal demikian.” Pembentukan JTF ini diharapkan memberikan pengawasan yang lebih rutin untuk implementasi amandemen nota kesepahaman ini. Salah satu yang telah menjadi hasil pengawasan ini adalah komitmen Malaysia untuk menghentikan Journey Performed Visa (JP Visa), sebagaimana disampaikan dalam surat pencabutan moratorium yang dilansir oleh Kemenakertrans RI. JP Visa ini menjadi salah satu celah utama masuknya TKI tidak berdokumen ke Malaysia. Hal ini dimudahkan pula oleh 44 Wawancara Rendra Setiawan, Op.cit. ~ 160 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia kebijakan bebas visa di seluruh kawasan ASEAN, sehingga para TKI tidak berdokumen yang datang Malaysia pertama-tama menggunakan visa pelancong, dan kemudian dengan mekanisme tertentu memperoleh visa kerja dari Pemerintah Malaysia dalam bentuk JP Visa tersebut. [] ~ 161 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 162 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia BAB IX KESIMPULAN DAN REKOMENDASI: KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN SEBAGAI TITIK BARU POLITIK PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA DI LUAR NEGERI? Penelitian ini berusaha menjawab dua pertanyaan penelitian pada rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bagian awal buku ini, yaitu: (1) “Mengapa Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011? Kondisi-kondisi bagaimanakah yang mempengaruhi proses pemberlakuan kebijakan moratorium tersebut?”; dan (2) “Bagaimana upaya Pemerintah Indonesia meningkatkan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri melalui kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011?” Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan kerangka konsep migrasi global, proses pembuatan kebijakan (policy-making processes) serta politik luar negeri, diplomasi dan kapabilitas negara. ~ 163 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Berdasarkan pembahasan yang ada pada Bab IV dan V terkait arus migrasi tenaga kerja antara Indonesia dan Malaysia serta berdasarkan analisa yang coba dibangun pada Bab IV tentang aspek migrasi global dalam hubungan ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia dan Malaysia dapat dijelaskan bahwa arus migrasi ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia dan Malaysia yang telah berlangsung lama, adalah sebuah fenomena yang membentuk hubungan interdependensi antara Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran, dan Malaysia, sebagai negara tujuan penempatan, khususnya dalam koridor penempatan TKI sektor domestik. Tingginya angka penempatan ireguler pada koridor migrasi tenaga kerja Indonesia dan Malaysia menunjukkan adanya interdependensi antara pekerja migran Indonesia sebagai penyedia jasa, dan publik Malaysia sebagai pengguna jasa, adapun Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebagai regulator tidak dapat menahan arus migrasi ireguler ini. Kondisi interdependensi ini menjadi latar belakang kondisi bagaimana Pemerintah Indonesia harus menyikapi permasalahan yang mungkin muncul dalam arus migrasi ini, juga dalam hal menyiapkan upaya-upaya perlindungan terhadap TKI sektor domestik yang berada dalam koridor migrasi dengan angka penempatan yang tinggi, terlebih saat ditemukan bahwa terdapat kondisi kekosongan perlindungan hukum bagi pekerja sektor domestik dalam kerangka hukum ketenagakerjaan nasional yang ada di Malaysia. Untuk mengisi kekosongan kerangka perlindungan hukum bagi pekerja sektor domestik di Malaysia ini, Pemerintah Indonesia kemudian mengembangkan kerjasama bilateral dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU) terkait penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik ke Malaysia pada tahun 2006. Namun, MoU ini belum berhasil membenahi perlindungan TKI sektor domestik ke Malaysia, hal ini disebabkan oleh beberapa hal: (1) belum adanya keseriusan Pemerintah Malaysia dalam membenahi sistem perlindungan bagi tenaga kerja sektor domestik di ~ 164 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Malaysia, hal ini dilihat dengan masih banyaknya permasalahan setelah tiga tahun diterapkannya MoU; (2) beberapa pasal dalam MoU yang masih belum cukup melindungi TKI sektor domestik di Malaysia. Kedua hal diatas akhirnya mendorong Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia pada tahun 2009. Untuk menjawab pertanyaan pertama terkait mengapa Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium ini: penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini diterapkan Pemerintah Indonesia -dalam hal ini oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, BNP2TKI, serta Perwakilan Indonesia di Malaysia- adalah karena maraknya permasalahan yang dihadapi TKI sektor domestik di Malaysia, ditunjang dengan konteks tekanan publik pada saat itu akibat maraknya pemberitaan mengenai penganiayaan yang terjadi terhadap TKI sektor domestik di Malaysia. Hal ini kemudian memunculkan ide bahwa perlu diberlakukan penghentian sementara penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia. Hal ini ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, yang dalam penelitian ini ditemukan bahwa permasalahan tidak hanya terjadi di fase penempatan, melainkan juga di fase pra-penempatan, dan purna penempatan, hal ini berkaitan dengan kerentanan akan jaminan perlindungan yang dialami TKI sektor domestik sejak proses persiapan keberangkatan hingga kepulangannya ke tanah air. Selain itu, moratorium ini ditujukan membenahi instrumen perlindungan terhadap TKI sektor domestik di Malaysia, yang dalam hal ini diusahakan melalui revisi amandemen pasal-pasal yang ada di MoU di 2006, sekali lagi mengingat kerentanan perlindungan TKI sektor domestik apabila hanya bergantung pada hukum ketenagakerjaan yang ada di Malaysia. Melihat formasi kepentingan yang telah diuraikan pada Bab IV, dapat dilihat bahwa pada proses agenda dan formulasi kebijakan, aktor-aktor yang berperan lebih dominan adalah ~ 165 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah aktor-aktor resmi, dalam hal ini instansi pemerintahan terutama sekali birokrasi eksekutif dalam hal ini Kemenakertrans, BNP2TKI serta Kementerian Luar Negeri. Aktor-aktor resmi ini memiliki kepentingan dalam hal melakukan tindakan yang bersifat politis untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialami oleh TKI sektor domestik yang berada di Malaysia dan telah diberitakan secara luas ke publik. Dalam hal adopsi kebijakan, aktor-aktor tidak resmi dalam hal ini pengusaha dan CSO (civil society organization) memberikan kontribusi dalam hal memberikan dukungan dan dorongan atas pemberlakuan kebijakan moratorium penempatan ini. Pengusaha yang merasakan dampak langsung akibat berhentinya proses usaha penempatan, ini menyatakan dukungannya sehubungan memang perlunya pembenahan penampatan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, Pada sisi lain, CSO menurut Wahyu Susilo telah berperan dalam mendorong implementasi kebijakan moratorium penempatan ini, dan sebenarnya dapat memberikan kontribusi lebih banyak dalam proses pengawasan implementasi kebijakan ini, mengingat bahwa CSO tidak dilibatkan dalam proses penetapan agenda dan formulasi kebijakan penempatan ini. Adapun untuk menjawab pertanyaan kedua terkait bagaimana upaya Pemerintah Indonesia dalam membenahi perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia melalui kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia: penelitian ini melihat melihat upaya pembenahan perlindungan ini dimanifestasikan dan diimplementasikan dalam proposal amandemen MoU antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia tentang penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia. Pemerintah Indonesia dalam proposal amandemen ini mengajukan perubahan pada beberapa pasal yang dianggap krusial untuk melindungi TKI sektor domestik di Malaysia. Pasal-pasal yang kemudian disetujui itu antara lain: Pertama, hak pekerja untuk menyimpan sendiri paspornya, hal ini ~ 166 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia merupakan perbaikan dari yang sebelumnya paspor dipegang oleh pengguna jasa, yang membuat posisi TKI sektor domestik dalam posisi tertawan akibat tertahannya dokumen; Kedua, hak mendapatkan hari libur dalam seminggu bagi TKI, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi praktek eksploitasi pada pekerja sektor domestik yang kerap terjadi, dimana pekerja sektor domestik bekerja setiap hari, tanpa ada kepastian jam kerja, waktu beristirahat. Ketiga, penyesuaian struktur biaya penempatan (cost-structure) TKI sektor domestik ke Malaysia, hal ini ditujukan untuk memperjelas skema pembagian tanggungan biaya baik oleh pengguna jasa, agen penempatan, maupun TKI sektor domestik, hal ini disebabkan banyaknya kasus TKI yang membayar bagian terlalu besar dengan skema pembayaran melalui potongan gaji bulanan sesampainya tempat kerja, sehingga TKI sektor domestik kerap mengalami kesulitan klain untuk pembayaran gaji; Keempat, penetapan standar gaji melalui mekanisme pasar, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan standar gaji TKI sektor domestik apabila dibandingkan dengan standar gaji pekerja domestik di negara lain, selain itu, hal ini ditujukan untuk mengurangi kemungkinan TKI yang dibayar dibawah standar pasar tenaga kerja yang ada (underpaid). Kelima, pembentukan Joint Task Force (JTF) sebagai Satuan Tugas Bersama untuk mengawasi implementasi MoU hasil revisi ini yang memiliki mekanisme pelaporan hasil pengawasan secara periodik, dimana pengawasan pada MoU sebelum amandemen dirasakan amat kurang, karena fungsi pengawasan hanya dilaksanakan dalam Joint Working Group (JWG) yang menyelenggarakan forum secara insidental. Melihat disetujuinya beberapa pasal dalam proposal amandemen MoU ini, dan alotnya negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia dalam pembahasan revisi MoU ini sebagaimana digambarkan pada Bab III, peneliti melihat bahwa Pemerintah Indonesia memiliki kapabilitas untuk menekan ~ 167 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Pemerintah Malaysia untuk membenahi skema perlindungan melalui kebijakan moratorium dan revisi amandemen MoU ini. Hal ini tidak dapat dilepaskan pada interdependensi Malaysia dan Indonesia dalam hal ketenagakerjaan lintas negara. Kebijakan moratorium ini menunjukkan fenomena publik Malaysia kesulitan menggantikan pekerja sektor domestik asal Indonesia dengan pekerja sektor domestik dari negara lain, karena pekerja sektor domestik asal Indoneisa telah sekian lama memenuhi pasar tenaga kerja sektor domestik di Malaysia, hal ini dapat dilihat sebagai kapabilitas Indonesia memiliki kekuatan dalam hal ketenagakerjaan terhadap Malaysia. Namun, pada penelitian ini ditemukan bahwa akar dari permasalahan yang kerap dialami oleh TKI sektor domestik di negara tujuan penempatan -termasuk Malaysia- sebenarnya berada di dalam negeri, sehingga diperlukan pembenahan secara khusus proses persiapan calon TKI pada tahap pra-penempatan. Adapun pada penelitian ini tidak ditemukan upaya-upaya signifikan yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun aktor-aktor lainnya dalam membenahi persiapan pra-penempatan selama masa moratorium penempatan diberlakukan. Sehingga, untuk sementara penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke negara tujuan penempatan –merujuk pada studi kasus Malaysia- belum mampu mendorong pembenahan perlindungan TKI sektor domestik di dalam negeri, dan baru berlaku efektif pada upaya pembenahan perlindungan TKI sektor domestik di negara tujuan penempatan melalui kerjasama bilateral. Kebijakan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri untuk membenahi kerjasama bilateral adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk membenahi perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Adapun perlindungan dalam kebijakan moratorium ini dimaknai sebagai upaya Pemerintah Indonesia dalam mendesak negara tujuan penempatan untuk membenahi perlindungan ~ 168 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ketenagakerjaan bagi pekerja migran Indonesia yang bekerja di negara tersebut, khususnya pekerja migran yang bekerja di sektor domestik. Kebijakan moratorium ini dirasakan amat penting untuk menunjukkan kapabilitas dan keberanian negara untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri. Adalah sebuah kewajiban negara untuk melindungi seluruh warga negaranya baik yang berada di luar negeri, untuk memastikan kedaulatan dan harga diri warga negaranya selalu terjaga dimanapun warga negara tersebut berada. MoU dapat menjadi perangkat hukum yang membantu Pemerintah Indonesia dalam mendapatkan jaminan perlindungan bagi TKI di negara tujuan penempatan. Namun demikian, keberadaan MoU tidak berarti banyak apabila isi dari MoU tersebut tidak secara komprehensif menjamin perlindungan TKI dan terdapat kelemahan dari sisi implementasi. Keberadaan MoU diharapkan menjadi jembatan bagi perbedaan antara ketentuan nasional ketenagakerjaan di negara tujuan penempatan, ketentuan hukum internasional mengenai pekerja migran, dan ketentuan nasional ketenagakerjaan di Indonesia Rekomendasi Berdasarkan pengalaman kebijakan moratorium Pemerintah Indonesia terhadap penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia, penelitian ini merekomendasikan beberapa variabel (kondisi-kondisi yang mempengaruhi) yang disusun dalam skala prioritas dan dapat digunakan untuk mengukur signifikansi perlu tidaknya kebijakan moratorium penempatan pekerja migran diberlakukan untuk mengupayakan pembenahan perlindungan pekerja migran di negara tujuan penempatan melalui pembenahan kerjasama bilateral ketenagakerjaan: (1) besar arus migrasi yang terjadi antara negara asal pekerja migran dengan negara tujuan penempatan, variabel ini digunakan untuk mengukur seberapa besar volume hubungan ketenagakerjaan antara negara asal pekerja migran ~ 169 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah dengan negara tujuan penempatan, sehingga dapat dilihat derajat pentingnya negara tujuan penempatan tersebut bagi negara asal pekerja migran, semakin besar arus migrasi, maka jumlah pekerja migran yang berada di negara tujuan penempatan tersebut akan semakin besar sehingga kemungkinan permasalahan yang mucul semakin besar, sehingga dibutuhkan kerjasama bilateral yang mengatur perihal penempatan dan perlindungan di negara tersebut, dan apabila belum ada kerjasama bilateral terkait ketenagakerjaan antara negara asal pekerja migran dengan negara tujuan penempatan tersebut, maka kebijakan moratorium penempatan dapat dan perlu diberlakukan hingga terbentuk kerjasama bilateral ketenagakerjaan terbangun di antara kedua negara; (2) jumlah kasus permasalahan terkait dan penanganannya di negara tujuan penempatan, variabel ini dapat digunakan untuk melihat seberapa rentan kondisi perlindungan pekerja migran di negara tujuan penempatan, dan seberapa tanggap negara tujuan penempatan dalam menyelesaikan permasalahan, apabila angka kasus permasalahan tinggi dan angka penyelesaian permasalahan rendah, maka perlu dilihat ada atau tidaknya peraturan/kebijakan perlindungan ketenagakerjaan di negara tujuan penempatan terhadap pekerja migran, apabila ternyata tidak ada, maka kerjasama bilateral ketenagakerjaan perlu dibangun oleh kedua negara, apabila kerjasama tersebut tidak juga terbangun, maka kebijakan moratorium penempatan dapat dan perlu diberlakukan hingga terbentuk kerjasama bilateral ketenagakerjaan di antara kedua negara; (3) peraturan/kebijakan perlindungan ketenagakerjaan di negara tujuan penempatan terhadap pekerja migran, variabel ini dapat digunakan untuk melihat sejauh mana pekerja migran memiliki jaminan perlindungan ketenagakerjaan di negara tujuan penempatan, ternasuk juga dalam hal ini pekerja migran yang bekerja di sektor informal, apabila terdapat kekosong- ~ 170 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia an peraturan/kebijakan perlindungan ketenagakerjaan bagi pekerja migran maka kerjasama bilateral ketenagakerjaan perlu dibangun oleh kedua negara, apabila kerjasama tersebut tidak juga terbangun, maka kebijakan moratorium penempatan dapat dan perlu diberlakukan hingga terbentuk kerjasama bilateral ketenagakerjaan di antara kedua negara; (4) keberadaan kerjasama bilateral antara asal pekerja migran dengan negara tujuan penempatan, variabel ini dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh hubungan kerjasama ketenagakerjaan antara negara asal pekerja migran dengan negara tujuan penempatan telah terbangun, apabila kerjasama bilateral ini ternyata belum terbangun, maka kebijakan moratorium penempatan dapat dan perlu diberlakukan hingga terbentuk kerjasama bilateral ketenagakerjaan di antara kedua negara, dengan sebelumnya melihat pada variabel-variabel yang telah disebutkan sebelumnya. [] ~ 171 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 172 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia BIBLIOGRAFI 1. Sumber Buku Anderson, James. (2011). Public Policy Making: An Introduction. (7th Ed.). USA: Wadsworth. Anggraeni, Dewi. (2006). Dreamseekers: Indonesian Women as Domestic Workers in Asia. Jakarta: Equinox Publishing. Azmy, Ana Sabhana. (2012). Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri. (2011). Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri. Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Birkland, Thomas. (2011). An Introduction to the Policy Process: Theories, Concepts and Models of Public Policy Making. (3rd Ed.). New York: ME Sharpe. CARAM Asia. (2010). Malaysia vs Hong Kong: Employers’ Perception and Attitudes Towards Foreign Domestic Workers. Kuala Lumpur: CARAM Asia. -----------------. (2011). Reality Check! Rights and Legislation for Migrant Domestic Workers Across Asia. Kuala Lumpur: CARAM Asia. ~ 173 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Castles, Stephen., dan Mark J. Miller. (2009). The Age of Migration: International Population Movements in the Modern World. New York: The Guilford Press. Creswell, John W. (1996). Research Design: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Terj.). Jakarta: KIK Press. Harrison, Lisa. (2007). Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana. Hill, Michael. (1997). The Policy Process in the Modern State. (3rd Ed.). London: Prentice Hall-Harvester Wheatsteaf. International Office of Migration (IOM). (2010). World Migration Report 2010, The Future of Migration: Building Capacities for Change. Jenewa: IOM. ----------------------------------------------------. (2010). Labour Migration from Indonesia: An Overview of Indonesian Migration to Selected Destinations in Asia and the Middle East. Jakarta: IOM. Irewati, Awani. (ed.). (2003). Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Masalah TKI Ilegal di Negara ASEAN. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI. Komnas Perempuan. (et.al). (2002). Indonesian Migrant Workers: Systematic Abuse at Home and Abroad. Jakarta: Komnas Perempuan. -------------------------------------. (2002). Indonesian Migrant Domestic Workers: Their Vulnerabilities and New Initiatives from the Protection of Their Rights. Jakarta: Komnas Perempuan. -------------------------------------. (2005). Migrasi Tanpa Dokumen: Strategi Perempuan Mempertahankan Kehidupan. Jakarta: Komnas Perempuan. Maimbo, Samuel M., dan Dilip Ratha. (eds.). (2005). Remmitan ces: Development Impact and Future Prospects. Washington DC: The World Bank Manning, Chris, dan Zainab Bakir. (eds.). (1984). Angkatan Kerja di Indonesia: Partisipasi, Kesempatan dan Pengangguran. Jakarta: CV Rajawali. ~ 174 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia -------------------------------------------, dan Sudarno Sumarto. (eds). (2011). Employment, Living Standards and Poverty in Contemporary Indonesia. Singapura: ISEAS Publishing. Mestoko, Sumarsono. (1988). Indonesia dan Hubungan Antarbangsa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Migrant Care, (2009). Sikap Migrant Care terhadap Problematika Buruh Migran Indonesia. Jakarta: Migrant Care. Morgenthau, Hans J. (1990). Politik Antarbangsa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nainggolan, Poltak P. (ed.). (2005). TKI dan Hubungan IndonesiaMalaysia. Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Nasution, Dahlan. (1991). Politik Internasional: Konsep dan Teori. Jakarta: Penerbit Erlangga. Neuman, W. Laurence. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. Boston: Allyn and Bacon. Ohmae, Kenichi. (1991). Dunia dan Strategi di Dalam Ekonomi yang Saling Mengait, Jakarta: Binarupa Aksara. Raharto, Aswatini. (2001). Migrasi Tenaga Kerja Internasional di Indonesia: Pengalaman Masa Lalu, Tantangan Masa Depan. (Kertas Kerja No. 31). Jakarta: Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI. Rahman, Fathor. (2011). Menghakimi TKI: Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI. Jakarta: Penerbit Pensil-234. Smith, Steve. (et.al.). (2008). Foreign Policy: Theories, Actors, Cases. New York: Oxford University Press. Soedjono. (1955). Ilmu Politik II: Diplomasi dan Politik Luar Negeri. Jakarta: Djambatan. Spiegel Steven L. (1995). World Politics in a New Era. Los Angeles: Harcourt Brace & Company. Sugiyono. (2009). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sujudi, Achmad. (ed.). (2004). Menyelamatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Nunukan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. ~ 175 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Sukamdi. (et.al.). (eds.). (2000). Labour Migration in Indonesia: Policies and Practice. Yogyakarta: Population Studies Center Gadjah Mada University. Surjono, Gunanto. (et.al.) (2009). Pengkajian Kebutuhan Model Pelayanan Sosial Pekerja Migran. Yogyakarta: Penerbit B2P3KS Press. Suyanto, Bagong, dan Sutinah. (eds.). (2005). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana. Tagaroa, Rusdi, dan Encop Sofia. (2001). Buruh Migran Indonesia Mencari Keadilan. Jakarta: Solidaritas Perempuan. The Institute for Ecosoc Rights. (2010). Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI: Antara Indonesia-Singapura-Malaysia. Jakarta: The Insitute for Ecosoc Rights. Yayasan Jurnal Perempuan. (2011). Sambutlah Kepulangan Kami; Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan Terminal Khusus TKI. Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan. Yin, Robert K. (1989). Case Study Research: Design and Methods: Applied Social Research and Methods Series Volume 5. London: Sage Publication. 2. Sumber Jurnal, Makalah, Laporan “Dilema Perlindungan TKI”. Jurnal Diplomasi, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, No.47 Tahun IV, Tanggal 15 September-14 Oktober 2011. “Pentingnya Meratifikasi Konvensi Migran 1990”. Lembar Info Komnas Perempuan, Vol.I, April 2006. “Upaya Perlindungan WNI Mengalami Banyak Tantangan”. Jurnal Diplomasi, No. 47 Tahun IV, Tanggal 15 September14 Oktober 2011. Bachtiar, Da’i. “Diplomasi Perlindungan WNI/TKI”. Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Bulan Maret 2010. BPPK Kementerian Luar Negeri RI. (2011). “Laporan Lokakarya: Diskusi Penguatan Hasil Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan WNI/TKI di ~ 176 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Luar Negeri”. Forum Komunikasi Kelitbangan: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: BPPK Kemenlu RI. Ducanes, Geoffrey, dan Manolo Abella. (2009). “Prospects for Future Outward Migration Flows: China and Southeast Asia”. ILO Asian Regional Programme on Governance of Labour Migration Working Paper No. 24. Bangkok: ILO. Dwianto, Raphaella D. (2012). “Rain of Gold Overseas, Rain of Stone at Home?: The Unchanging Fortune fo Indonesian Migrant Domestic Workers”. Stratification and Inequality Series Vol.14: Global Migration and Ethnic Communities. Japan: Tohoku Universities. Hugo, Graeme. (2004). ”International Migration in Southeast Asia since World War II”, dalam Aris Ananta dan Evi Nurvidya Arifin. (Eds.). International Migration in Southeast Asia. Singapura: ISEAS. -------------------. (2009). “Labour Migration for Development: Best Practices in Asia and the Pacific”. ILO Asian Regional Programme on Governance of Labour Migration Working Paper No. 17. Bangkok: ILO. Hernandez-Coss,. (et.al.). (2008). “The Malaysia-Indonesia Remittance Corridor: Making Formal Transfers the Best Option for Women and Undocumented Migrants”. The World Bank Working Paper No. 149. Washington DC: The World Bank. Hulling, Alice. (2012). “Domestic Workers in Malaysia: Hidden Victims of Abuse and Forced Labour”. International Law and Politics, Vol.44. Kanapathy, Vijayakumari. (2008). “Controlling Irregular Migration: The Malaysian Experience”. ILO Asian Regional Programme on Governance of Labour Migration Working Paper No.14. Bangkok: ILO. ---------------------------------. (2008). “Managing Cross-Border Labour Mobility in Malaysia: Two Decades of Policy Experi~ 177 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ments”, Paper Revisi setelah PECC-ABAC Conference on “Demographic Change and International Labour Mobility in the Asia Pacific Region: Implications for Business and Cooperation, yang diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan pada tanggal 25-26 Maret 2008 Kassim, Azizah. (1987). “The Unwelcome Guests: Indonesian Immigrants and Malaysian Public Responses”. Southeast Asian Studies, Vol. 25 No.2, September 1987. Kaur, Amarjit. (2004). “Mobility, Labour Mobilisation and Border Controls: Indonesian Labour Migration to Malaysia Since 1900”, Paper yang disajikan dalam 15th Biennial Conference of The Asian Studies Association of Australia di Canberra, 29 Juni-2 Juli 2004. Lin, Mei. (2006). “A Study on Indonesian Labour Migrants in Malaysia”. ICS Working PaperNo.2006-11. Kuala Lumpur: Institute of China Studies, University of Malaya. Manning, Chris, dan Haryo Aswicahyono.( 2012). “Trade and Employment in Services: The Case of Indonesia”. ILO Employment Sector, Employment Working Paper No. 132. Jenewa: ILO. Moja, Jose. (2007). “Domestic Service in Global Perspectives: Gender, Migration and EthnicNiches”. Journal of Ethnic and Migration Studies, Vol. 33, April 2007. Susilo, Wahyu. (2002) “Kekerasan terhadap Buruh Migran Perempuan Indonesia”. Jurnal Perempuan No.26. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Wardoyo, Teguh. (2010). “Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”. Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Maret Tahun 2010. Wickramasekara, Piyasiri. (2006)“Labor Migration in Asia Role of Bilateral Agreements and MoU”. Presentasi ILO pada JIPLT Workshop on International Migration and Labor Market in Asia yang diselenggarakan di Tokyo pada tanggal 17 Februari 2006. ~ 178 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Widarso, Yuli Mumpuni. (2011). “Peran Negara dalam Melindungi WNI di Luar Negeri: Permasalahan dan Langkahlangkah Strategis”. Presentasi yang disampaikan pada Forum Komunikasi Kehumasan BNP2TKI di Bogor pada tanggal 19 Juli 2011. 3. Sumber Tesis Azmy, Ana Sabhana. (2011). Negara dan Buruh Migran Perempuan: Kebijakan Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010 (Studi Terhadap Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia di Malaysia). UI-Tesis, Jakarta:Universitas Indonesia. Sitorus, Junita. (2007). Kewajiban Negara dalam Menghormati, Melindungi, dan Memenuhi Hak Asasi Manusia Tenaga Kerja Indonesia. UI-Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia. Utama, Aria Chandra. (2003). Kebijakan Pemerintah Malaysia terhadap Indonesia mengenai TKI Ilegal di Malaysia (1997-2002., UI-Tesis. Jakarta:Universitas Indonesia. 4. Artikel Lepas Devadason, Evelyn S., Chan Wai Meng, “A Critical Appraisal of Policies and Laws Regulating Migrant Workers in Malaysia” diakses dari http://www.wbiconpro.com/210DEVADASON.pdf pada tanggal 21 Oktober 2012, Pukul 11.23 WIB. Piper, Nicola. “Migrant Labor in South East Asia, Country Study: Malaysia”, diakses dari http://www.fes.de/aktuell/focus_interkulturelles/focus_1/documents/6_000.pdf pada tanggal 9 Oktober 2012, Pukul 21.16 WIB. 4. Sumber Dokumen Hukum dan Dokumen Pemerintah Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) diakses dari http://pusdati- ~ 179 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah naker.balitfo.depnakertrans.go.id/ diakses pada tanggal 22 September 2012 Pukul 22.10. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Keputusan 152/Men/VI/2011 tentang Biaya Penempatan dan Perlindungan Calon Tenaga Kerja Indonesia Negara Tujuan Malaysia. Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur, Malaysia. (2012). Laporan Tahunan Fungsi Ketenagakerjaan Tahun 2011. 2012. Kuala Lumpur: Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur. Memorandum of Understanding between The Government of the Republic of Indonesia and The Government of Malaysia on the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers, ditandatangani di Bali, 13 Mei 2006. Peraturan Menakertrans RI No.18/MEN/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Peraturan Menakertrans RI No.07/MEN/IV/2008 tentang Penempatan Tenaga Kerja. Peraturan Menakertrans RI No.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.. Peraturan Presiden RI No. 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Protocol Amending The Memorandum of Understanding between The Government of the Republic of Indonesia and The Government of Malaysia on the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers, ditandatangani di Bandung, 30 Mei 2011. Surat Edaran Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, Nomor B.677/PPTK-TKLN/VI/2009, Perihal Penghentian Sementara Penempatan TKI ke Malaysia tertanggal 26 Juni 2009, ditandatangani oleh Direktur PTKLN (Penempatan Tena~ 180 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ga Kerja Luar Negeri), Dirjen Binapenta, Kemenakertrans RI, Abdul Malik Harahap. Surat Edaran Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, Nomor SE05/PPTK-TKLN/XI/2011 tentang Penempatan TKI untuk Pekerja Sektor Domestik ke Malaysia, Tanggal 28 November 2011 ditandatangani oleh Dirjen Binapenta, Kemenakertrans RI, Dra. Reyna Usman, M.M. Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-undang No. 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya). 5. Sumber Pemberitaan Internet “Malaysia Janji Hukum Penyiksa TKI, SBY Didesak Kirim Nota Protes”, Senin 29 Juni 2009, Pukul 08.41 WIB, http://www. migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewart icle&cid=8&artid=598 diakses pada tanggal 4 Mei 2012, Pukul 12.31 WIB. “Menyikapi Kepongahan Negeri Tetangga”, Rabu, 1 Juli 2009 Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.ph p?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=599 diakses pada tanggal 4 Mei 2012, Pukul 12.44 WIB. “RI-Malaysia Bertemu”, Senin 6 Juli 2009 Pukul 04.10 WIB, http:// lipsus.kompas.com/dulmatin/read/2009/07/06/09300760/ Bahas.TKI..RI.Malaysia.Bertemu diakses pada tanggal 5 Mei 2012, Pukul 10.12 WIB. “Malaysia Siap Bahas Empat Isu”, Rabu 15 Juli 2009, Pukul 02.21 WIB, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ ekonomi/09/07/15/62198-malaysia-siap-bahas-empat-isusoal-prt diakses pada tanggal 13 Mei 2012, Pukul 15.14 WIB. ~ 181 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah “Struktur Biaya TKI dinilai Tak Realistis”, Selasa, 28 Juli 2009, Pukul 00.00 WIB http://www.migrantcare.net/mod.php ?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=612 diakses pada tanggal 13 Mei 2012, Pukul 15.16 WIB. “Moratorium TKI Informal Berlanjut”, Senin 3 Agustus 2009, Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.ph p?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=618 diakses pada tanggal 15 Mei 2012, Pukul 12.18 WIB. “RI Tolak Cabut Moratorium TKI Malaysia”, Kamis 6 Agustus 2009, Pukul 07.15 WIB, http://www.equator-news.com/ utama/ri-tolak-cabut-moratorium-tki diakses pada tanggal 2 Juni 2012, Pukul 15.32 WIB. “Biaya Penempatan TKI akan Persulit Negosiasi”, Rabu, 12 Agustus 2009, Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare. net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&a rtid=633 diakses pada tanggal 13 Juni 2012, Pukul 02.16 WIB. “Soal TKI di Malaysia, Kesepakatan Dirumuskan September”, Rabu, 26 Agustus 2009, Pukul 00.00 WIB, diakses dari http://koran.tempo.co/konten/2009/08/27/174929/SOALTKI-DI-MALAYSIA-Kesepakatan-Dirumuskan-September diakses pada tanggal 11 Mei 2012, Pukul 12.42 WIB. “Malaysia Terima Usul Indonesia, Hak Libur Sehari Menunggu Putusan Parlemen”, Senin 24 Agustus 2009, Pukul 03.12 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publis her&op=viewarticle&cid=8&artid=641 diakses pada tanggal 11 Juli 2012, Pukul 12.11WIB. “Malaysia tidak Setuju Upah Minimum TKI 800 Ringgit”, Senin 7 September 2009, Pukul 04.25 WIB, diakses dari http:// www.suarakarya-online.com/news.html?id=235117 diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.16 WIB. “Standar Upah Minimum TKI Disepakati”, Senin 7 September 2009, Pukul 16.28 WIB, http://www.migrantcare.net/mod. php?mod=publisher$op=viewarticle&cid=8&artid=674 ~ 182 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.23 WIB. “Revisi MoU TKI Segera Diteken, Moratorium ke Malaysia Masih Berlaku”, Senin 5 Oktober 2009, Pukul 00.49 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher& op=viewarticle&cid=8&artid=685 diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.43 WIB. “Larangan Pengiriman TKI ke Malaysia akan Dicabut”, Kamis 12 November 2009, Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle &cid=8&artid=740 diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.48 WIB. “MoU Tenaga Kerja Akhirnya Tuntas: Baru Sebatas Kebutuhan Minimal Perlindungan TKI”, Jumat, 12 Maret 2010, Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?m od=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=848 diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.53 WIB. “Gaji TKI di Malaysia Tak Lagi dalam Uang Cash”, Rabu 23 Maret 2010, Pukul 03.10 WIB, http://www.migrantcare. net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8& artid=1030 diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 16.14 WIB. “Malaysia Setujui Persyaratan Perlindungan”, Selasa 22 Maret 2011, Pukul 03.51 WIB, http://internasional.kompas.com/ read/2011/03/22/03512475/Malaysia.Setujui.Persyaratan. Perlindungan diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 16.47 WIB. “Masalah TKI, Pemerintah Buat Moratorium dengan Tiga Negara”, Senin 25 April 2011, Pukul 15.01 WIB, http://www. tempo.co/read/news/2011/04/25/173329902/Masalah-TKIPemerintah-Buat--Moratorium-dengan-Tiga-Negara diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 17.32 WIB. “Muhaimin: Penandatanganan MoU TKI Penting bagi Indonesia-Malaysia”, Selasa 31 Mei 2011, Pukul 09.26 WIB, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/4625~ 183 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah muhaimin-penandatanganan-mou-tki-penting-bagi-indonesia-malaysia.html diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 17.33 WIB. “Malam ini, MoU TKI di Malaysia Diteken di Bandung”, Senin 30 Mei 2011, Pukul 14.51 WIB, http://m.pikiran-rakyat. com/node/146901 diakses pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 16.32 WIB. “RI-Malaysia Bentuk Satgas Awasei Perlindungan TKI”, Selasa 31 Mei 2011, Pukul 07.10 WIB, http://www.tempo.co/read/ news/2011/05/31/173337792/RI-Malaysia-Bentuk-SatgasAwasi-Perlindungan-TKI diakses pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 12.31 WIB. “Malaysia Kekurangan Pembantu Rumah Tangga”, Kamis 8 September 2011 Pukul 18.18, http://www.waspada.co.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=2148 99:malaysia-kekurangan-pembantu-rumah-tangga&cat id=16:internasional&Itemid=29 diakses pada tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.35 WIB. “SBY dan PM Malaysia Bahas TKI Indonesia”, Jumat 21 Oktober 2011 Pukul 02.44 WIB, http://pelanggan.if-kom.com/ lira/kabinet-indonesia/berita-kabinet/presiden/3846-sbydan-pm-malaysia-bahas-tki-indonesia.html diakses pada tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.50 WIB. “Malaysia Bersorak, 50 Ribu PRT Asal Indonesia Akan Datang Mulai Pertengahan Januari”, Jumat 25 November 201 Pukul 08.34, http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/11/25/lv70dv-malaysia-bersorak-50-ribu-prtasal-indonesia-akan-datang-mulai-pertengahan-januari diakses pada tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.55WIB. “Malaysia Bekukan Tenaga Kerja Asing”, Jumat 10 Juni 2011, Pukul 01.23 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php ?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=126 diakses pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 13.26 WIB. “Malaysia Merealisasikan Program Pemulangan TKI Ilegal”, ~ 184 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia Selasa 2 Agustus 2011, Pukul 07.14 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle &cid=8&artid=1421 diakses pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 16.32 WIB. “MoU TKI dengan Malaysia Ditentukan 19 November” Jumat 21 Oktober 2011, Pukul 15.47 WIB, http://www.tempo. co/read/news/2011/10/21/173362635/MoU-TKI-denganMalaysia-Ditentukan-19-November diakses pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 16.57 WIB. “MoU Indonesia-Malaysia Belum Cukup Lindungi TKI”, Jumat 18 November 2011, Pukul 00.00 WIB, http://www.tempo. co/read/news/2011/11/18/173367218/MoU-Indonesia-Malaysia-Belum-Cukup-Lindungi-TKI diakses pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 16.57 WIB. “Moratorium dicabut, TKI ke Malaysia mulai Maret”, Kamis 1 Desember 2011, Pukul 17.48 WIB, http://www.antaranews. com/berita/1322736525/moratorium-dicabut-tki-ke-malaysia-mulai-maret diakses pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 17.31 WIB. “Moratorium TKI ke Malaysia Resmi Dicabut”, Kamis 1 Desember 2011, Pukul 18.46 WIB, http://news.okezone.com/ read/2011/12/01/337/536858/redirect diakses pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 17.31 WIB. “RI Cabut Moratorium TKI ke Malaysia”, Sabtu, 26 November 2011, Pukul 007.00 WIB, http://nasional.news.viva.co.id/ news/read/267443-ri-cabut-moratorium-tki-ke-malaysia diakses pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 17.22 WIB. 6. Sumber Wawancara Wawancara dengan Rusdi Basalamah, Ketua APJATI (Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia), Hari Kamis, 1 November 2012, Pukul 14.32 WIB. Gedung APJATI, Jalan Warung Buncit Raya No.126 Pancoran, Jaksel, 12740 ~ 185 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Wawancara dengan Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan Advokasi, Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI, Hari Selasa, 20 November 2012, Pukul 13.05 WIB, Kantor Direktorat Mediasi dan Advokasi Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI Jalan Letjen M.T. Haryono Kav.52, Jakarta Selatan. Wawancara dengan Wahyu Susilo, Analis Kebijakan Migrant Care, Hari Jumat, 30 November 2012, Pukul 11.12 WIB, Sekretariat Migrant Care, Jalan Pulo Asem Utara I No.16, Pulogadung, Jakarta Timur, 13220. Wawancara dengan Rafail Walangitan, Kasubdit I Perlindungan WNI di Wilayah Malaysia, Benua Amerika, Suriah, Yordania dan Timur Tengah, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Kemenlu RI pada Hari Kamis, 14 Januari 2013, Pukul 16.13 WIB di Gedung Utama Lantai Dasar, Dir. PWNI dan BHI, Kemenlu RI Jalan Taman Pejambon No.6, Jakarta 10110. Wawancara dengan Rendra Setiawan, Kepala Seksi Kerjasama Regional dan Multilateral, Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, Kemenakertrans RI, Hari Selasa, 25 Maret 2013, Pukul 14.13 WIB, Ruang Direktorat PTKLN, Dirjen Binapenta, Kemenakertrans RI, Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 51 Jakarta 12950. ~ 186 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia LAMPIRAN-LAMPIRAN DOKUMEN PEMERINTAH TERKAIT PEMBERLAKUAN DAN PENCABUTAN KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN SEKTOR DOMESTIK KE MALAYSIA & NASKAH NOTA KESEPAHAMAN ANTARA PEMERINTAH INDONESIA DAN PEMERINTAH MALAYSIA TERKAIT REKRUTMEN, PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK DI MALAYSIA BESERTA PROTOKOL AMANDEMENNYA ~ 187 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 188 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 189 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 190 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 191 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 192 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 193 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 194 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 195 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 196 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 197 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 198 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 199 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 200 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 201 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 202 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 203 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 204 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 205 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 206 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 207 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 208 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 209 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 210 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 211 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 212 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 213 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 214 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 215 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 216 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia ~ 217 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah ~ 218 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia TENTANG PENULIS Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, lahir di Bandung pada 24 Desember 1989. Menempuh pendidikan di SMAN 3 Bandung, kemudian melanjutkan pendidikan tinggi jenjang Sarjana pada Departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas Indonesia dengan konsentrasi pada Politik Perbandingan dan Studi Politik Indonesia. Buku ini merupakan karya publikasi perdananya yang diangkat dari skripsi sarjana berjudul: “Politik Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono: Studi Kasus Kebijakan Moratorium Penempatan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia Tahun 2009-2011.”. Selama masa kuliah aktif menjadi moderator, fasilitator dan pembawa acara di pelbagai seminar, lokakarya ataupun orientasi mahasiswa baru di tingkat departemen, fakultas dan universitas. Sempat menjadi delegasi Indonesia pada festival folklor dan musik klasik di Slovenia, Austria dan Spanyol, dan menjadi delegasi Universitas Indonesia pada festival pemuda di Norwegia dan India. Saat ini sedang menyiapkan paper berjudul “Foreign Language Proficiency as an Intercultural Competences Enhancer for Migrant Workers: The Study from Indonesia and the Philippines” untuk dipresentasikan pada “3rd Annual Conference of Intercultural Competence: Key to the ~ 219 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah New Multicultural Societies of the Globalized World” di Siena, Italia pada Oktober 2013 bersama peneliti dari Universitas Padjadjaran. Tertarik pada kajian migrasi transnasional, politik identitas, politik perburuhan, teori negara pasca-kolonial, dan pemikiran politik kontemporer. Penulis dapat dihubungi pada alamat surat elektronik [email protected] ataupun akun twitter @Qobulsyah. ~ 220 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia INDEKS A Abdurrahman Wahid: Gus Dur Akta Imigresen Nomor 63 Tahun 1959 Akta Imigresen Nomor A-1154 Tahun 2002 aktor non-pemerintah amnesti amnesti berakhir Anis Hidayah Antar Kerja Antar Daerah: AKAD Antar Kerja Antar Negara: AKAN APJATI Arab Saudi Arus Migrasi ASEAN Asia Pasifik Asia Tenggara Asian Development Bank asumsi penelitian asuransi Australia B B.J. Habibie Belanda birokrasi pemerintahan BNP2TKI buruh migran perempuan C CARAM Asia calo: taekong Ceriyati Cina Cosmas Batubara cost structure D Da’i Bachtiar Datuk Musa Hitam Datuk S. Subramaniam deportasi devisa diplomasi E ekspansi industri eksploitasi Employment Act 1955 Erman Suparno Eropa F fase penempatan fase pra-penempatan fase purna penempatan Filipina formasi kepentingan ~ 221 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah G Gunanto Surjono H Hans J. Morgenthau hari libur Hongkong hukum perburuhan hukuman mati I ILO Impunitas industri industri di Malaysia industrialisasi Inggris interdependensi ketenagakerjaan J James Anderson jaminan perlindungan Jepang Joint Task Force Joint Working Group Journey Performed Visa Jumhur Hidayat K Kamboja kapabilitas negara kategori buruh kebijakan amnesti Kebijakan Ekonomi Baru kebijakan luar negeri kebijakan moratoriumkecakapan kedekatan geografis kelangkaan ekonomi Kemenakertrans RI Kemenlu RI Kementerian Sosial kenaikan gaji Kenichi Ohmae kepentingan nasional kerentanan kerjasama bilateral ketenagakerjaan keuntungan ekonomi Komisi HAM PBB Komnas Perempuan kontrak kerja Konvensi Internasional PBB tahun 1990 KOPBUMI Korea Selatan Kuwait, L lembaga swadaya masyarakat lembur libur sehari lingkungan internasional living cost M majikan Malaysia Medan Agreement Megawati Soekarnoputeri mekanisasi pertanian mekanisme penempatan Melayu Memorandum of Understanding Migrant Care migrasi global migrasi model pelayanan sosial MoU Muhaimin Iskandar N Najib Razak ~ 222 ~ Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia negara kaya negara miskin negara pengirim pekerja migran negara tujuan penempatan Nirmala Bonat Nota Kesepahaman Nunukan O Official actors: aktor resmi; aktor pemerintah. Ops Nyah Orde Baru organisasi internasional P PAPA pasar kerja Malaysia paspor pelanggaran hukum pelatihan kerja pelecehan seksual pemalsuan usia pembahasan Joint Working Group Pemerintah Indonesia Pemerintah Malaysia pemerkosaan pemutusan kontrak penata laksana rumah tangga pendekatan kualitatif pendidikan pengangguran penganiayaan perdagangan manusia: human traficking perkebunan permasalahan pertanian pesangon PJTKI politik luar negeri politik migrasi PPTKIS proses pembuatan kebijakan proses perlindungan pekerja migran Indonesia protokol amandemen PT. Bijak Q Qatar R R. Munz Rafail Walangitan razia RELA relasi ketenagakerjaan remitansi Rendra Setiawan Repelita revolusi hijau Rusdi Basalamah S sektor domestik sektor jasa. lihat jasa sektor konstruksi sektor manufaktur Singapura Siti Hajar Soeharto Solidaritas Perempuan Sri Lanka struktur biaya penempatan Sudomo Suriah Susilo Bambang Yudhoyono T Taiwan ~ 223 ~ Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah Teguh Hendro Cahyono Teguh Wardoyo Tenaga Kerja Indonesia: TKI Thailand The Malaysian Employment Act 1955 Thomas Birkland tindak kekerasan TKI laki-laki TKI perempuan TKI sektor domestik TKI tidak berdokumen TKI-PLRT transfer perbankan transformasi sosial travel warning Tun Abdul Razak U Undang-Undang No.39 Tahun 2004 Uni Emirat Arab Unofficial actors: aktor tidak resmi; aktor non-pemerintah upah upah minimum W Wahyu Susilo Widyarka Ryananta Y Yordania ~ 224 ~