Uploaded by User34213

Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia: Studi Terhadap Kebijakan Moratorium Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia

advertisement
POLITIK PERLINDUNGAN
BURUH MIGRAN INDONESIA:
Studi Terhadap Kebijakan Moratorium
Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
POLITIK PERLINDUNGAN
BURUH MIGRAN INDONESIA:
Studi Terhadap Kebijakan Moratorium
Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia
Penulis: Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Desain Kover: ____________
Tata Letak: Maryono Ahmad
Cetakan I, September 2013
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia:
Studi Terhadap Kebijakan Moratorium
Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia
Mochamad Alvin Dwiana Qabulsyah
ISBN: _____________________
Jakarta, Departemen Ilmu Politik
x + 224 hlm; 140 x 205 mm
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
~ ii ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ___ iii
KATA PENGANTAR ___ vi
DAFTAR SKEMA DAN TABEL ___ ix
BAB I PENDAHULUAN ___ 1
1. Latar Belakang: Dinamika Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
di Malaysia ___ 1
2. Rumusan Masalah Penelitian dan Pembatasan Objek Kajian ___ 9
3. Tujuan dan Manfaat Kajian ___ 11
4. Sistematika Penulisan ___ 13
BAB II KERANGKA ALUR BERPIKIR DAN METODE PENELITIAN
___ 17
1. Kerangka Alur Berpikir ___ 17
2. Pendekatan dan Tipe Penelitian ___ 18
3. Kerangka Hipotesa Kerja ___ 20
4. Teknik Pengumpulan Data dan Strategi Validasi Data Kualitatif
___ 22
BAB III KAJIAN LITERATUR DAN KERANGKA KONSEPTUAL
___ 25
1. Kajian Literatur terkait Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
___ 25
2. Konsep Migrasi Global dan Interdependensi Ketenaga-kerjaan
Antarnegara ___ 30
3. Teori Proses Pembuatan Kebijakan ___ 33
4. Konsep Politik Luar Negeri, Diplomasi dan Kapabilitas Negara
___36
BAB IV GAMBARAN ARUS MIGRASI PEKERJA MIGRAN INDONESIA KE MALAYSIA ___41
1. Kebijakan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri ___44
~ iii ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
2.
3.
4.
Malaysia sebagai Negara Tujuan Pekerja Migran Indonesia ___ 51
Pasang Surut Arus Migrasi Indonesia Malaysia ___ 55
Industrialisasi dan Kebutuhan Malaysia akan Pekerja Sektor
Domestik ___ 64
BAB V KONDISI UMUM PEKERJA MIGRAN INDONESIA
SEKTOR DOMESTIK ___ 67
1. Profil Pekerja Migran Indonesia di Sektor
Domestik ___ 67
2. Kerentanan Aspek Perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia
Sektor Domestik ___ 71
3. Kekosongan Perlindungan Hukum di Negara Tujuan Penempatan
bagi Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ___ 74
BAB
1.
2.
3.
4.
5.
6.
VI
KRONOLOGISASI PEMBERLAKUAN KEBIJAKAN
MORATORIUM PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN
INDONESIA SEKTOR DOMESTIK KE MALAYSIA
TAHUN 2009-2011 __ 77
Pemberlakuan Moratorium Penempatan Pekerja Migran Indonesia
Sektor Domestik ke Malaysia dan Respon Awal Pemerintah
Malaysia ___ 77
Pertemuan-Pertemuan Awal Indonesia dan Malaysia Terkait
Amandemen Memorandum of Understanding (MoU) Penempatan
dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di
Malaysia ___ 79
Dinamika Negosiasi Pemerintah Indonesia dan Malaysia:
Negosiasi Alot Seputar Standar Upah Minimum serta Penyesuaian
Biaya Rekrutmen dan Penempatan (Cost Structure) ___ 82
Perumusan Akhir Revisi MoU Penempatan dan Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia ___ 88
Penandatanganan Protokol Amandemen MoU Indonesia-Malaysia
tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Sektor Domestik ke Malaysia ___ 90
Pencabutan Moratorium dan Rencana Penempatan Kembali
Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia ___ 96
BAB VII POLITIK PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK DI MALAYSIA MELALUI
KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN ___ 103
1. Politik Migrasi Tenaga Kerja Indonesia: Tinjauan tentang Kebijakan
Moratorium Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia ___ 104
~ iv ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
2.
3.
4.
Migrasi Global: Interdependensi Ketenagakerjaan antara Indonesia
dan Malaysia ___ 107
Konteks Permasalahan yang Kerap Menimpa Pekerja Migran
Indonesia Sektor Domestik di Malaysia ___ 114
a. Permasalahan di Tahap Pra-Penempatan ___ 117
b. Permasalahan di Tahap Penempatan ___ 120
c. Permasalahan di Tahap Purna-Penempatan dan Upaya
Penyelesaian Permasalahan ___ 122
Formasi Kepentingan dalam Kebijakan Moratorium Penempatan
Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia ___ 126
BAB VIII PROPOSAL AMANDEMEN MOU PENEMPATAN DAN
PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA
SEKTOR DOMESTIK DI MALAYSIA ___ 137
1. Kewajiban Paspor Berada di Tangan Pekerja Migran Indonesia ___
140
2. Pekerja Migran Indonesia Berhak atas 1 (Satu) Hari Libur dalam
Seminggu ___ 143
3. Revisi Biaya Penempatan (Cost Structure) Pekerja Migran Indonesia
Sektor Domestik ke Malaysia ___ 148
4. Penetapan Standar Gaji dan Pembayaran Gaji Melalui Rekening
___ 152
5. Pembentukan Joint Task Force antara Indonesia dan Malaysia ___
158
BAB IX KESIMPULAN DAN REKOMENDASI: KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN SEBAGAI TITIK BARU
POLITIK PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA DI LUAR NEGERI? ___ 163
BIBLIOGRAFI ___ 173
LAMPIRAN-LAMPIRAN ___ 187
TENTANG PENULIS ___ 214
INDEKS ___ 221
~v~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
KATA PENGANTAR
Penelitian ini beranjak pada ketertarikan penulis terhadap
isu-isu terkait migrasi transnasional, termasuk didalamnya migrasi pekerja antar negara. Dalam beberapa literatur, tersebutkan Indonesia sebagai salah satu negara asal pekerja migran
yang utama di dunia, terutama di wilayah Asia Pasifik.
Pekerja migran Indonesia umumnya berkualifikasi kecakapan rendah, sehingga lebih banyak bekerja di sektor yang
tergolong 3D (dirty, dangerous, and demeaning), semisal sektor
konstruksi, manufaktur, perkebunan, hingga sektor domestik
sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT). Sektor yang disebut terakhir inilah yang paling rentan mengalami permasalahan di negara tujuan penempatan, karena umumnya terdapat
kekosongan kerangka perlindungan hukum bagi pekerja sektor
domestik di negara-negara tujuan penempatan dalam hukum
ketenagakerjaan nasionalnya, hingga akhirnya penulis merasakan signifikansi untuk mengkaji upaya-upaya perlindungan
ketenagakerjaan untuk pekerja migran pada sektor domestik.
Buku ini adalah karya akademik perdana penulis terkait isu
migrasi buruh transnasional yang diterbitkan dari skripsi penulis pada Program Sarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, dan tentu adalah sebuah kebahagiaan pada akhirnya karya
ini dapat dirampungkan. Politik perlindungan pekerja migran
Indonesia di luar negeri dapat diselenggarakan dalam berbagai daya upaya, dan kebijakan moratorium penempatan pekerja
migran yang menjadi unit analisa dalam buku ini adalah salah
satu instrumennya. Proses penyusunan dan penulisan skripsi
~ vi ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
ini berlangsung selama kurang lebih 18 bulan, dan dalam prosesnya penulis banyak memperoleh dukungan dan bantuan
dari banyak sekali pihak. Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
Orang tua terkasih, Wawan Gunawan dan Lina Herlina,
yang sedemikian sabar memberikan waktu bagi anak lelakinya untuk bertualang di dunia kemahasiswaan, serta membiarkannya teguh pada skripsi idealnya yang memerlukan tempo
waktu panjang. Penulis pun menghaturkan peluk hangat bagi
Kakak dan Adik tercinta, Oktiani Pratiwi, Handi Pranoto dan
Ghia Tri Jayanti yang maklum dengan saudara lelakinya yang
sedemikian lama berulang-alik dengan kampung halamannya.
Secara khusus, penulis sampaikan terima kasih tak terhingga
kepada Anggia Utami Dewi, yang atas kehadirannya, skripsi ini
dapat terus menjadi, terima kasih untuk kesabaran dan perhatiannya selama proses penulisan ini.
Saya sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr.
Valina Singka Subekti beserta seluruh jajaran Departemen Ilmu
Politik FISIP UI, secara khusus aya sampaikan terima kasih kepada Ketua Program Sarjana Reguler Ilmu Politik FISIP UI, Hurriyah, S.IP, IMAS, beserta Sekretaris Program Dirga Ardiansa,
S.Sos, M.Si., yang amat membantu proses pengajuan skripsi ini
hingga pada proses akhir direngkuhnya gelar Sarjana Ilmu Politik. Juga kepada Ikhsan Darmawan, S.Sos, M.Si. yang mendukung pengajuan skripsi penulis untuk diterbitkan menjadi buku.
Pembimbing skripsi Samuel Gultom, S.IP, MA, yang sedemikian intens dalam memberikan masukan, dan evaluasi dalam
menjaga koherensi dan komprehensi skripsi ini hingga akhir rampungnya. Penguji ahli Dr. Cosmas Batubara yang memberikan
banyak pandangannya tentang masa depan signifikansi perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri pada masa sidang
skripsi. Terima kasih juga saya sampaikan kepada para narasumber dari Kemenakertrans RI, BNP2TKI, Kemenlu RI, Apjati serta
~ vii ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Migrant Care yang telah bersedia meluangkan waktunya dan
berbagi informasi dalam proses penyusunan skripsi ini.
Seluruh Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI
atas segala wawasan, ilmu dan diskusinya dalam membangun
nalar intelektual. Secara khusus penulis sampaikan terima kasih
kepada Dra. Nuri Soeseno, MA dan Drs. Nur Iman Soebono, M.
Hum. yang atas kuliah dan diskusinya membangun cara pandang dan kedewasaan tersendiri bagi pembangunan karakter
penulis secara pribadi. Rekan-rekan seangkatan di Ilmu Politik
FISIP UI 2008, Irham Pradipta Fadli, Adithia Ramadhan, Beringin ASAK, Dicky Kurniady, Hanif Rizky, Dana Agriawan,
Diba Batari, dan rekan-rekan yang lain, terima kasih atas kebersamaannya selama masa perkuliahan, dan semoga kita diberikan jalan yang terbaik dalam mempertanggungjawabkan kesarjanaan yang telah kita raih. Rekan-rekan Alumni, Senior, dan
Junior di FISIP UI, terima kasih atas inspirasi, pertemanan, dan
gelak tawa selama berada di rumah besar bernama FISIP UI, semoga kelak dan lekas kita berjumpa lagi.
Sebuah harapan besar bahwa buku ini dapat membuka
sebuah kesadaran bahwa perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri akan segera menjadi isu yang semakin krusial
di masa depan, saat sekat-sekat negara bangsa semakin cair dan
mobilitas manusia akan semakin lesat dengan perkembangan
teknologi dan moda transportasi yang ada. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan dalam proses penulisan dan penulisan buku ini, atas berkat Rahmat Tuhan yang Maha Bijaksana,
penulis persembahkan buku ini bagi masyarakat Indonesia, almamater Universitas Indonesia, dan kemanusiaan.
Bandung, September 2013
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ viii ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
DAFTAR SKEMA DAN TABEL
Tabel I.1
Skema II.1
Tabel III.1
Tabel IV.1
Tabel IV.2
Tabel IV.3
Tabel IV.4
Tabel IV.5
Tabel V.1
Tabel V.2
Tabel VI.1
Tabel VII.1
Penempatan TKI di Asia Pasifik menurut Negara
Penempatan (2004-2009) ___ 2
Kerangka Alur Berpikir ___ 19
Proses Pembuatan Kebijakan menurut James
Anderson ___ 35
Jumlah Pekerja Migran Indonesia pada masa Repelita I - Repelita VI ___ 42
Kebijakan Pemerintah terkait Penempatan dan
Perlindungan Migrasi Tenaga Kerja (1966-2004)
___ 48
Kebijakan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terhadapPenempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia ___ 50
Perbandingan Kondisi Ekonomi Indonesia dan
Malaysia ___ 53
Sektor-sektor dimana Pekerja Migran Indonesia
Bekerja di Malaysia ___ 54
Jumlah Penempatan TKI di Luar Negeri Berdasarkan Gender (1969-2011) ___ 69
Lokasi-lokasi TKI Sektor Domestik mengalami
Kerentanan Perlindungan ___ 72
Tahapan Penempatan Kembali TKI Sektor Domestik ke Malaysia Pasca Moratorium ___ 101
Kerjasama Bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia terkait Ketenagakerjaan Lintas
Negara (1984-2006) ___ 106
~ ix ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Tabel VII.2
Kasus TKI yang Ditampung dan Ditangani oleh
Perwakilan RI di Malaysia ___ 117
Tabel VII.3 Rincian Kasus di Shelter KBRI Kuala Lumpur
pada Tahun 2010 ___ 121
Tabel VII.4 Persentase Penyelesaian Kasus Menyangkut TKI
Tahun 2010 ___ 125
Tabel VIII.1 Laju Standar Gaji TKI di Beberapa Sektor Pekerjaan di Malaysia ___ 156
Tabel VIII.2 Indeks Keperluan Hidup Minimum TKI di
Wilayah Kuala Lumpur dan Sekitarnya ___ 157
~x~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia
dan Malaysia dalam tiga dekade terakhir telah menjadi sebuah
isu penting dalam hubungan kedua negara tersebut. Ketergantungan Malaysia terhadap tenaga kerja asing dalam perekonomian dan pembangunan nasionalnya terutama dalam sektor
konstruksi dan jasa telah menjadi sebuah peluang tersendiri
bagi masyarakat Indonesia yang kerap kesulitan mendapatkan
lapangan pekerjaan di tanah airnya. Namun, hubungan ketenagakerjaan ini tidak berjalan lancar dalam perjalanannya.
Masalah-masalah menyangkut kondisi kerja yang tidak
layak dan perlakuan sewenang-wenang majikan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terus mengiringi perjalanan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia. Pemberitaan mengenai
berbagai perlakuan sewenang-wenang yang diterima TKI di
negara tujuan penempatan, terutama Malaysia dan Arab Saudi
tak henti mencuat di media massa. Kasus demi kasus penganiayaan terhadap pekerja migran Indonesia menjadikan fenomena ini mengemuka sebagai isu nasional selama satu dekade
terakhir. Pertanyaan yang muncul atas fenomena ini adalah sejauh apa peran Pemerintah Indonesia dalam usaha mereduksi
kasus-kasus permasalahan yang dihadapi oleh TKI.
~1~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
1.
Latar Belakang: Dinamika Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia di Malaysia
Relasi antara Indonesia dan Malaysia dalam pengiriman
tenaga kerja ini telah berlangsung sejak masa kolonial, dengan
dikirimnya buruh perkebunan dari Jawa untuk lahan-lahan
perkebunan kolonial Inggris di Malaysia. Malaysia adalah tujuan utama penempatan TKI di wilayah Asia Pasifik; Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tahun 2010 menunjukkan data penempatan
TKI di kawasan Asia Pasifik sebagai berikut:1
Tabel I.1
Penempatan TKI di Asia Pasifik
menurut Negara Penempatan (2004-2009)*
Negara
Malaysia
Singapura
Brunei D.
Hong Kong
Taiwan
Korea
Selatan
Jepang
2004
127.175
9.131
6.503
14.183
969
2.924
2005
201.887
25.087
4.978
12.143
48.576
4.506
2006
270.009
9.075
2.780
13.613
28.090
3.100
2007
222.198
37.496
5.852
29.973
50.810
3.830
2008
257.701
21.867
4.967
30.207
62.433
13.546
2009
123.886
33.077
4.785
32.417
59.335
1.890
Jumlah
1.202.955
135.733
29.865
132.536
250.213
29.796
85
102
21
96
333
362
999
Sumber: Pusat Penelitian Pengembangan dan Sistem Informasi
BNP2TKI,2010.
*Data tahun 2010 belum terangkum dalam buku yang ada
Alasan-alasan utama yang dapat menjelaskan posisi Malaysia sebagai salah satu tujuan utama TKI adalah kedekatan
geografis dan budayanya.2 Hal ini memungkinkan pula jumlah
1 Berdasarkan Data Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri Periode 2004-2009, Sekretariat
Utama Pusat Penelitian Pengembangan dan Sistem Informasi BNP2TKI, 2010, sebagaimana
dikutip oleh Ana Sabhana Azmy, Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan
Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2012), hlm. 4.
2 Dewi Anggraeni, Dreamseekers: Indonesian Women as Domestic Workers in
~2~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
TKI yang faktual berada di Malaysia melebihi jumlah yang tercatat di lembaga resmi Pemerintah, mengingat adanya peluang
bagi calon TKI untuk memasuki pasar kerja Malaysia melalui
jalur yang tidak resmi dikarenakan kedekatan geografis tersebut. Secara umum, alasan-alasan TKI untuk bermigrasi adalah
himpitan ekonomi di Indonesia dan peluang bekerja yang luas di
berbagai sektor perekonomian Malaysia termasuk di dalamnya
sektor konstruksi, perkebunan, pertanian, jasa, dan juga sektor
domestik sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT).3
TKI perempuan yang bekerja di sektor domestik Malaysia
adalah TKI yang kerap menjadi korban perlakuan sewenangwenang baik oleh majikan maupun oleh aparat Pemerintah
Malaysia. Perempuan buruh migran yang bekerja sebagai PLRT
di Malaysia tidak diakui sebagai pekerja, karena PLRT tidak
termasuk kategori buruh dalam hukum perburuhan di Malaysia.4 Situasi ini juga diperparah dengan maraknya kasus TKI tak
berdokumen di Malaysia. Hal ini membuat TKI memiliki posisi
tersudut dalam industri tenaga kerja di Malaysia. Migrant Care,
sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang
perlindungan buruh migran mencatat, bahwa pada tahun 2011
sebanyak 14.074 TKI tidak mendapatkan upah dari majikannya.5 Tercatat pula 3.070 TKI mendapatkan penganiayaan fisik,
dimana 1.234 mengalami pelecehan seksual dan sekitar 1.203
TKI meninggal di perantauan.6 Selain itu, sebanyak 417 TKI
menghadapi ancaman hukuman mati atas dakwaan pelanggaran hukum yang dilaporkan majikannya.
Kedatangan TKI ke Malaysia tidak dapat dilepaskan dari
diterapkannya “Kebijakan Ekonomi Baru” (New Economic Policy/NEP) oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 1971. Kebijakan
tersebut memacu ekspansi industri di Malaysia, terutama sektor
3
4
5
6
Asia, (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), hlm 127.
Komnas Perempuan, Op.cit., hlm.3.
Ibid., hlm.4.
The Jakarta Post, Selasa, 20 Desember 2011, hlm. 4.
Ibid.
~3~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
manufaktur yang kemudian diikuti oleh penambahan kesempatan kerja di sektor perdagangan, jasa dan birokrasi pemerintahan yang hampir seluruhnya terpusat di daerah perkotaan.7
Kesempatan bekerja di Malaysia ini menjadi sebuah jalan keluar
bagi sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia, akibatnya adalah semakin banyaknya jumlah TKI di Malaysia, temasuk juga
TKI yang tidak berdokumen.8
Jumlah TKI (termasuk TKI tidak berdokumen) yang meningkat secara drastis tersebut mulai menarik perhatian
masyarakat umum di Malaysia pada dekade 1980-an. Pada
dekade tersebut, Malaysia terkena dampak resesi ekonomi dunia
akibat krisis minyak dan melonjaknya harga kebutuhan barangbarang primer. Pertumbuhan manufaktur yang dijadikan andalan program NEP mulai mengalami penurunan keuntungan, sehingga banyak industri di Malaysia menghentikan produksinya
dan menyebabkan peningkatan angka pengangguran. Keadaan
ini menyebabkan penduduk Malaysia dan TKI (khususnya TKI
tidak berdokumen) mulai bersinggungan dan berkompetisi secara langsung dalam pasar tenaga kerja. Masalah TKI ini mulai
muncul ke permukaan dan menimbulkan dampak dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Malaysia.9
Masalah yang ditimbulkan oleh TKI, khususnya TKI yang
termasuk kategori tidak berdokumen membuat pemerintah
7 Simela Victor Muhamad dan Adirini Pujayanti (ed.), “Migrasi TKI ke Malaysia” dalam Poltak
Partogi Nainggolan, TKI dan Hubungan Indonesia-Malaysia, (Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005), hlm. 10.
8 Secara sederhana, buruh migran tak berdokumen dapat dipahami sebagai pekerja yang
melakukan migrasi dengan tidak dilengkapi dokumen-dokumen yang absah, sebagaimana
ketentuan yang berlaku baik dalam sistem hukum sebuah negara ataupun kesepakatan internasional. Buruh migran tak berdokumen ini seringkali diasosiasikan dengan clandestine
migration atau migran sebagai pendatang asing yang illegal. Sidang Umum PBB Resolusi
3449 tanggal 9 Desember 1975 merekomendasikan untuk tidak menyebutnya “ilegal”, namun
dengan sebutan “buruh migran tak berdokumen” (undocumented migrant) atau “migrasi
dalam situasi tak biasa” (irregular migration). Pengertian ini dimaksudkan untuk menghindari kriminilisasi terhadap buruh migran ketika menyebutnya “illegal”. (lihat Komnas Perempuan, Op.cit. hlm.5).
9 Ibid., hlm. 13.
~4~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Malaysia melakukan serangkaian langkah-langkah penanggulangan, baik yang bersifat kooperatif maupun koersif. Langkah
kooperatif dilakukan pada tahun 1984, dengan ditandatanganinya Medan Agreement antara Pemerintah Republik Indonesia,
yang diwakili oleh Menteri Tenaga Kerja Sudomo, dengan Wakil
Perdana Menteri/Menteri Dalam Negeri Malaysia, Datuk Musa
Hitam.10 Namun, klausa perekrutan tenaga kerja pada perjanjian ini dirasakan terlalu berbelit-belit dan mahal oleh kedua
belah pihak, sehingga dianggap tidak berhasil menjadi jalan
keluar pengentasan maraknya TKI tidak berdokumen. Setelah
kegagalan ini, diterapkanlah kebijakan amnesti oleh pemerintah Malaysia. Secara teknis, kebijakan ini memerintahkan para
pengusaha Malaysia yang mempekerjakan TKI tidak berdokumen untuk segera mendaftarkan para pekerjanya tersebut ke
Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Setelah masa amnesti berakhir, tindakan represif mulai
dilakukan, Polisi Malaysia bergerilya menangkapi para tenaga
kerja Indonesia yang tidak berdokumen. Pada waktu itu, tercatat
12.582 tenaga kerja Indonesia dideportasi dari Malaysia. Tahun
1992 kebijakan pengendalian pekerja migran kembali diketatkan oleh Pemerintah Malaysia dengan operasi militer yang disebut Ops Nyah I dan II. Pada waktu itu, sekitar 40.000 tenaga
kerja Indonesia dideportasi dan 1.000 lainnya dipenjara.11
Peristiwa deportasi selanjutnya yang luar biasa menyita perhatian adalah saat sekitar 550.00 TKI dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 2002 pasca pemberlakuan undang-undang imigrasi baru di Malaysia. Undang-undang yang bertajuk
Akta Imigresen Nomor A-1154 Tahun 2002 ini adalah pengganti Akta
Imigresen Nomor 63 Tahun 1959. 12 Dalam undang-undang baru ini,
tenaga kerja asing yang kedapatan tidak memiliki dokumen yang
10 Ibid., hlm. 14.
11 Komnas Perempuan, Op.cit., hlm. 52.
12 Achmad Sujudi et.al, Menyelamatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Nunukan.
(Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2004), hlm. 4.
~5~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
sah akan ditangkap dan dihukum. Banyaknya TKI yang kedapatan tidak berdokumen lengkap akhirnya menjadi korban dalam kasus ini dan kemudian menumpuk di penampungan sementara Nunukan, Kalimantan Timur. Kebijakan pemulangan
paksa atau deportasi oleh pemerintah Malaysia terhadap TKI
tidak berdokumen seakan-akan selalu menyertai perjanjian bilateral ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia.
Setelah peristiwa tersebut, elit-elit politik di kedua negara
saling melontarkan kecaman, yang kemudian memicu insiden
pembakaran bendera Malaysia di Jakarta. Malaysia membalas
secara reaktif dengan mengeluarkan travel warning bagi warga
negaranya yang akan bepergian ke Indonesia. Periode tersebut
dapat dikatakan sebagai salah satu titik terburuk dalam hubungan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia yang
telah terjalin berpuluh-puluh tahun lamanya. Sejak saat itu,
hubungan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia
mengalami pasang surut yang lebih besar.
Pada tahun 2002 pernah ada upaya dari kedua negara untuk memperbaiki hubungan ketenagakerjaan dengan ditandatanganinya MoU (Memorandum of Understanding/Nota Kesepahaman) mengenai penempatan TKI antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia. Di dalam MoU tersebut telah diatur sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan penempatan TKI
di Malaysia. Namun dalam prakteknya di lapangan kemudian,
ternyata masih banyak dijumpai pelanggaran atau pun penyimpangan prosedur, bahkan keberadaan TKI tidak berdokumen di
Malaysia cenderung meningkat.13
Selepas deportasi massal yang terjadi pada tahun 2002 dan
2004 di atas, kasus demi kasus penganiayaan terhadap TKI terus mencuat ke permukaan dan menjadi isu nasional dalam satu
dekade terakhir. Beberapa potret kasus kekerasan yang terjadi
pada buruh migran perempuan Indonesia sektor domestik yang
bekerja di Malaysia, dapat dilihat secara jelas mulai dari tahun
13 Simela Victor, Op.cit., hlm. 17.
~6~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
2004 bulan Mei, di mana media massa gencar memberitakan
tentang penganiayaan yang dialami Nirmala Bonat, seorang
penata laksana rumah tangga (PLRT) migran yang bekerja di
Malaysia. Ia mengalami penyiksaan dari majikannya berupa penyiraman air panas, bekas setrika pada badannya, pemukulan
kepala dengan gantungan baju oleh majikannya, dan pemukulan cawan pada kepala Nirmala Bonat.14
Selain Nirmala Bonat, tindak kekerasan juga dialami oleh
Ceriyati pada tahun 2007 dan Siti Hajar di tahun 2009. Keduanya
PLRT migran yang bekerja di Malaysia. Siti Hajar disiksa oleh
majikan dengan menggunakan air panas, martil, dan gunting.
Ceriyati mengalami pemukulan dan pelarangan ibadah oleh
majikannya. Selain itu, ia juga tidak mendapatkan gaji selama
bekerja empat setengah bulan di rumah majikannya. Meski demikian, bukan berarti bahwa kejadian penganiayaan terhadap
buruh migran perempuan Indonesia baru terjadi tahun 2004.
Tentu sudah banyak terjadi penganiayaan, namun tidak diketahui oleh masyarakat Indonesia.
Kasus tindak kekerasan terhadap buruh migran perempuan menjadi pembicaraan khalayak dan mulai terekspos secara ramai di media massa mulai tahun 2004, karena pada tahun
itulah Pemerintah yang terus mendapat tekanan dari Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perlindungan buruh migran akhirnya merespon dengan disahkannya
Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Adapun
Undang-undang tersebut masih menuai penolakan dari LSM
semisal Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Buruh
Migran (KOPBUMI).15
Beberapa poin penolakan beranjak dari penilaian bahwa
proses perundangan terasa terburu-buru serta bermasalahnya
beberapa substansi dalam UU ini, yang terdiri atas: (1) Tidak
14 Ana Sabhana, Op.cit., hlm. 7
15 Lembar Info Komnas Perempuan, Vol.I, April 2006.
~7~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
cukup melindungi hak buruh migran; (2) Mengabaikan persoalan khas TKI penata laksana rumah tangga (TKI-PLRT) dan
buruh migran tak berdokumen; (3) Mengandung sejumlah
inkonsistensi dalam pasal-pasalnya dan (4) Memberi ruang
bagi tumbuh suburnya praktek-praktek perdagangan manusia
dalam pengiriman buruh migran.16 Dengan masih adanya penolakan terhadap Undang-undang dan masih mencuatnya berbagai kasus maka diperlukan instrumen perlindungan lain bagi
TKI, khususnya yang bekerja di sektor domestik.
Dalam upaya meningkatkan perlindungan dan pelayanan
Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di masa Erman Suparno membentuk tim
negosiator yang membahas kembali MoU penempatan TKI
(Tenaga Kerja Luar Negeri) ke Malaysia. Pembahasan kembali
MoU ini kemudian berujung pada kebijakan moratorium atau
penghentian sementara penempatan TKI sektor penatalaksana
rumah tangga (domestic worker) ke Malaysia sejak 26 Juni 2009
yang dimaksudkan agar kedua negara melakukan pembenahan dalam mekanisme penempatan serta perlindungan buruh
migran. Pada dasarnya di balik penetapan kebijakan ini adalah
pada MoU tahun 2006 yang mengatur mengenai penempatan
dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia.
Moratorium yang kemudian dicabut pada awal Desember
2011, memberikan sebuah titik baru relasi ketenagakerjaan Indonesia dengan Malaysia, dengan masuknya beberapa klausa
yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia dalam perjanjian perlindungan TKI semisal paspor yang dipegang TKI, dari sebelumnya dipegang oleh majikan sebagaimana diatur dalam MoU
sebelumnya. Pembahasan MoU ini berlangsung alot mengingat
rencana awal pemberlakuan moratorium yang hanya satu setengah bulan kemudian terus berlanjut hingga hampir dua tahun
saat moratorium ini kemudian dicabut dan diadakan persiapan
penempatan kembali TKI sektor domestik ke Malaysia.
16 Ibid.
~8~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
2.
Rumusan Masalah Penelitian dan Pembatasan Objek
Kajian
Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium ini
dalam rangka memberikan respon terhadap maraknya kasuskasus pelanggaran hukum dan kontrak kerja yang menimpa
TKI sektor domestik di Malaysia. Diharapkan dengan adanya
moratorium ini, kedua negara akan membenahi sistem perekrutan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia, salah
satunya melalui pembaharuan perjanjian bilateral. Pemerintah
Indonesia yang memiliki keuntungan ekonomi dengan penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia yang telah berlangsung
selama puluhan tahun, tentu akan mengalami kemungkinan
konsekuensi ekonomi dengan dicanangkannya moratorium ini,
semisal kehilangan remitansi ataupun pemasukan negara dari
keseluruhan proses perekrutan hingga kepulangan para TKI
sektor domestik ke Malaysia.
Moratorium ini juga membawa Pemerintah Indonesia
menghadapi kemungkinan pemerintah Malaysia akan mencari
negara alternatif pengirim tenaga kerja sektor domestik yang
lain, sehingga dapat mengganggu hubungan ketenagakerjaan
yang selama ini telah terjalin. Moratorium ini juga membuka
kemungkinan meningkatkan jumlah TKI tidak berdokumen di
Malaysia, menyangkut banyaknya permintaan TKI sektor domestik dari publik Malaysia, dan banyaknya calon TKI sektor
domestik yang siap berangkat dari Indonesia, sehingga terbuka pula kemungkinan para calon TKI ini akan tetap berangkat
melalui jalur tak resmi, yang kemudian berujung pada status
TKI yang menjadi tidak berdokumen.
Moratorium ini tentu tidak hanya melibatkan Pemerintah
Indonesia dan Malaysia sebagai aktor-aktor utama dalam isu
ini, tapi juga membawa konsekuensi kepada pihak-pihak yang
turut serta dalam urusan ketenagakerjaan lintas negara ini,
semisal para pengusaha penyalur jasa tenaga kerja Indonesia,
~9~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
ataupun lembaga swadaya masyarakat yang selama ini memberikan perhatian terhadap kondisi tenaga kerja Indonesia di
luar negeri. Pihak-pihak non-negara ini tentu juga akan menerima dampak dari moratorium ini dan akhirnya memiliki pandangan mengenai moratorium sebagai salah satu instrumen
negara dalam membenahi perlindungan tenaga kerja Indonesia
di luar negeri.
Moratorium penempatan TKI sektor domestik ini tidak
hanya berlaku di Malaysia, melainkan juga ke beberapa negara
tujuan utama TKI yang lain, yaitu Kuwait, Arab Saudi, Yordania
dan Suriah. Kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini menjadi menarik, karena di wilayah Asia
Pasifik hanya Malaysia yang dikenakan kebijakan ini. Hal ini
juga berkaitan dengan posisi Malaysia sebagai negara dengan
angka penempatan TKI sektor domestik yang tertinggi, juga
dengan angka permasalahan terkait TKI sektor domestik yang
tertinggi di wilayah ini. Selain daripada itu, dibandingkan negara-negara tujuan lain yang dikenakan kebijakan moratorium
penempatan TKI sektor domestik, Malaysia adalah satu-satunya
negara yang telah memiliki kerjasama bilateral ketenagakerjaan
dengan Indonesia yang spesifik mengatur proses penempatan
dan perlindungan TKI sektor domestik.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah penelitian di atas, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi alasanalasan, dan kondisi-kondisi mengapa dan bagaimana upaya
Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium
ini dengan tujuan meningkatkan perlindungan terhadap tenaga
kerja Indonesia di luar negeri, dengan segala konsekuensi yang
dihadapi, dengan melibatkan pula pandangan dari aktor-aktor
non-pemerintah. Oleh karena itu peneliti mengangkat dua pertanyaan penelitian pada rumusan masalah ini, yaitu:
a. “Mengapa Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan
moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia
~ 10 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
tahun 2009-2011? Kondisi-kondisi bagaimanakah yang
mempengaruhi proses pemberlakuan kebijakan moratorium
tersebut?”
b. “Bagaimana upaya Pemerintah Indonesia meningkatkan
perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri melalui
kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke
Malaysia tahun 2009-2011?”
Batasan masalah yang akan dilihat adalah politik perlin0
dungan di negara tujuan penempatan, dalam hal ini politik perlindungan melalui mekanisme kerjasama ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia dan Malaysia yang memang lebih
mengatur proses perlindungan pekerja migran Indonesia saat
berada dalam fase penempatan di Malaysia. Selain daripada
itu, politik perlindungan yang akan diteliti dibatasi pada kebijakan Negara sebagai unit analisanya, dan bukan politik secara
umum, hal ini mengingat bahwa politik perlindungan juga dapat digerakkan oleh aktor-aktor non-Negara melalui ranah diluar kebijakan Negara. Adapun pemilihan masa pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kerangka periodisasi analisa, dilandaskan pada kondisi bahwa kebijakan moratorium ini
diberlakukan pada masa pemerintahan tersebut, selain juga beberapa kebijakan perlindungan terkait pekerja migran Indonesia banyak dikeluarkan pada masa pemerintahan tersebut.
3.
Tujuan dan Manfaat Kajian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan
menjelaskan proses moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011 sebagai upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, serta mengidentifikasi
dan menganalisa alasan, formasi kepentingan dan kondisi-kondisi yang mendorong Pemerintah Indonesia memberlakukan
kebijakan tersebut, dengan fokus mengkaji watak politik dari
kebijakan ini.
~ 11 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Tujuan umum tersebut teruraikan dalam tiga tujuan inti berikut, yaitu: Pertama, menggambarkan latar belakang bagaimana
hubungan ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia dan
Malaysia dapat terjalin, serta kerentanan TKI sektor domestik dalam hubungan ketenagakerjaan tersebut. Kedua, menggambarkan
proses moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia
mulai dari pemberlakuan hingga pencabutan kebijakan moratorium tersebut (tahun 2009-2011). Ketiga, mengidentifikasi alasan,
kepentingan dan kondisi-kondisi yang mendorong Pemerintah
Indonesia dalam menerapkan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tersebut. Selain daripada
itu penelitian ini bertujuan untuk memperbaharui kajian mengenai kebijakan perlindungan TKI terutama sekali yang berlangsung di era pasca Orde Baru serta berlandaskan pada sudut pandang negara pengirim pekerja migran.
Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran besar kebijakan moratorium dalam politik migrasi tenaga kerja Indonesia sebagai salah satu instrumen dalam
membenahi perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini
adalah moratorium yang mengawali moratorium lain yang diterapkan Pemerintah Indonesia kepada beberapa negara tujuan
penempatan TKI yang lain seperti Kuwait, Yordania dan Arab
Saudi. Sehingga, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
pintu awal untuk mengamati juga kebijakan moratorium yang
diterapkan di negara-negara yang lain. Penelitian ini juga ditujukan untuk menambah literatur mengenai perspektif negara
pengirim pekerja migran dalam hubungan ketenagakerjaan lintasnegara yang masih dirasakan amat kurang, apabila dibandingkan dengan perspektif negara tujuan penempatan/negara
penerima. Dan dalam tataran praxis, penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan referensi untuk meninjau kembali instrumen
moratorium pengiriman tenaga kerja migran sebagai upaya
~ 12 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
peningkatan perlindungan tenaaga kerja Indonesia di luar negeri, yang dirasakan memberi ruang baru bagi posisi tawar Indonesia dalam sebuah hubungan ketenagakerjaan dengan negara tujuan penempatan buruh migran.
4.
Sistematika Penulisan
Buku ini disusun daam sistematika sebagai berikut:
Di bawah judul Pendahuluan, Bab I menjabarkan latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian beserta kontekstualisasi kajian dan pembatasan waktu unit analisa yang diteliti.
Selain itu, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam kajian
buku ini terdapat pula pada bab ini.
Bab II dengan judul Kerangka Alur Berpikir dan Metode
Penelitian, menggambarkan model alur berpikir untuk memudahkan pembaca memahami alur penulis dalam menyusun
penelitian ini. Setelah menggambarkan alur berpikir, maka diuarikan metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
kajian buku ini, erasuk didalamnya pendekatan dan tipe penelitian, kerangka hipotesa kerja, hingga teknik pengumpulan data
dan strategi validasi data ualitatif yang digunakan.
Di bawah judul Kajian Literatur dan Kerangka Konseptual, Bab III mengulas kembali beberapa literatur yang digunakan penulis pada awal penelitian dalam menengarai penelitianpenelitian terkait perlindungan pekerja migran yang telah ada
sebelumnya. Setelah itu, kerangka konseptual yang digunakan
sebagai pisau analisis turut diterangkan secara ringkas pada
bagian ini.
Bab IV dengan judul Gambaran Arus Migrasi Indonesia ke
Malaysia berupaya memberikan ilustrasi arus migrasi ketenagakerjaan migran Indonesia ke Malaysia, melalui pertama-tama
membahas arus migrasi pekerja migran Indonesia ke luar negeri, pasang surut arus migrasi Indonesia-Malaysia, hingga
pada akhirnya mengulas kondisi umum pekerja migran Indonesia sektor domestik di Malaysia.
~ 13 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Di bawah judul Kondisi Umum Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik, Bab V memberikan gambaran bagaimana
kondisi pekerja migran sektor domestik dari Indonesia. Di dalamnya dibahas kaitan antara industrialisasi dengan kebuuhan
akan pekerja sektor domestik, lalu profil pekerja migran Indonesia sektor domestik, hingga kerentanan aspek perlindungan
bagi pekerja migran Indonesia di sektor domestik, yang salah
satunya disebabkan oleh kekosongan kerangka perlindungan
hukum di negara tujuan penempatan.
Di bawah judul Kronologisasi Pemberlakuan Kebijakan
Moratorium Penempatan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia Tahun 2009-2011, Bab VI berupaya
menguraikan secara kronologi pemberlakuan kebijakan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik
ke Malaysia pada rentang tahun 2009-2011. Mulai dari proses
pemberlakuan, dinamika negosiasi erkait pembenahan nota
kesepahaman terkait ketenagakerjaan sektor domestik di antara
kedua negara, hingga akhirnya kebijakan moratorium dicabut
dan persiapan penempatan kembali pekerja migran Indonesia
sektor domestik dimulai.
Bab VII dengan judul Politik Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik Melalui Kebijakan Moratorium Penempatan merupakan pemaparan analisa tentang bagaimana kebijakan moratorium penempatan ini diinisiasi dan
diberlakukan. Interdependensi Ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia, serta Konteks Permasalahan yang dialami
Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia dibahasa sebagai faktor pemicu kebijakan ini diinisiasi. Selain itu,
formasi kepentigan para aktor pembuat kebijakan turut pula
dibahas dalam Bab ini.
Bab VIII dengan judul Proposal Amandemen MoU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia memaparkan analisa khusus terkait
~ 14 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
hasil proposal amandemen MoU penempatan dan perlindungan
pekerja migran Indonesia sektor domestik yang dinilai sebagai
bentuk produk perlindungan dari kebijakan moratorium penempatan tenaga kerja ini. Buku ini kemudian ditutup dengan
Bab IX berisikan kesimpulan dan rekomendasi yang diajukan
dari penelitian ini dengan tajuk Kesimpulan dan Rekomendasi: Kebijakan Moratorium Penempatan Sebagai Titik Baru
Politik Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri? []
~ 15 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 16 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
BAB II
KERANGKA ALUR BERPIKIR
DAN METODE PENELITIAN
1.
Kerangka Alur Berpikir
Pada penelitian ini isu yang diangkat adalah politik migrasi
Indonesia dalam membenahi perlindungan pekerja migran Indonesia sektor domestik di Malaysia. Isu ini dinilai signifikan
untuk dikaji mengingat Indonesia memiliki kepentingan nasional terhadap isu ini dalam hal menunjukkan upaya perlindungan pekerja migran Indonesia dan juga keberlanjutan arus
migrasi pekerja migran Indonesia ke Malaysia yang telah berlangsung sekian lama dan membawa keuntungan secara ekonomis dalam bentuk remitansi dan devisa. Perlunya perhatian
Pemerintah Indonesia terhadap isu ini diihat dari banyaknya
permasalahan yang menimpa pekerja migran Indonesia di Malaysia, serta perlunya pembaharuan nota kesepahaman antara
kedua negara mengenai penempatan dan perlindungan pekerja
migran Indonesia sektor domestik di Malaysia.
Kebijakan Pemerintah Indonesia yang kemudian dikaji
adalah perihal kebijakan moratorium penempatan TKI sektor
domestik ke Malaysia pada tahun 2009 hingga 2011. Fenomena
migrasi global yang menyebabkan hubungan interdependensi
~ 17 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
ketenagakerjaan antara kedua negara diasumsikan menjadi faktor mengapa arus migrasi koridor Indonesia-Malaysia dipertahankan hingga kebijakan penghentian bersifat moratorium
dan bukan penghentian penuh. Untuk menganalisa bagaimana
pembuatan dan implementasi kebijakan moratorium ini digunakan kerangka konseptual proses pembuatan kebijakan (policy-making process) serta diplomasi dan kapabilitas negara.
Pada halaman berikut, digambarkan sebuah skema kerangka alur berpikir yang berisikan konsep-konsep dan rumusan
masalah yang dipaparkan pada penelitian ini. Melalui konsepkonsep yang digunakan diharapkan masalah yang diangkat
pada penelitian ini dapat dikaji dengan baik. Kerangka alur
berpikir tersebut digunakan untuk mempermudah pemaknaan
data yang didapatkan selama penelitian.
2.
Pendekatan dan Tipe Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif
yang didefinisikan oleh Creswell sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia,
berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang
dibangun dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan
secara terperinci, dan disusun dengan sebuah latar alamiah.1
Riset kualitatif cenderung fokus pada usaha mengeksplorasi
sedetail mungkin sejumlah contoh atau peristiwa yang dipandang menarik dan mencerahkan, dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang “mendalam” dan bukan “luas”.2
Penelitian kualitatif ini digunakan untuk dapat menangkap
dan mengungkapkan fakta dari penelitian yang dilakukan oleh
peneliti. Data yang didapati kemudian diproses melalui analisis tematis atau generalisasi dari bukti yang didapat, sehingga
menghasilkan suatu gambaran yang koheren dan konsisten
1 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (terjemahan), (Jakarta: KIK Press, 1996) hlm.169.
2 Lisa Harrison. Metodologi Penelitian Politik. (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 86.
~ 18 ~
Skema II.1
Kerangka Alur Berpikir
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 19 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
dapat disajikan.3 Penelitian kualitatif dapat melihat realitas sosial dari berbagai macam sisi. Hal ini karena realitas sosial adalah hasil dari konstruksi pemikiran dan bersifat holistik. Selain
itu, penelitian kualitatif juga tidak lepas dari nilai yang dianut
oleh penelitinya. Selanjutnya, pengumpulan data dalam penelitian kualitatif bersifat fleksibel karena selalu disesuaikan dengan keadaan di lapangan.4
Berdasarkan tujuannya, tipe penelitian ini termasuk
deskriptif-analitis karena ingin menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana”. Dalam menjawab pertanyaan penelitian
di atas, penulis menggunakan studi kasus. Hal ini karena studi
kasus adalah salah satu strategi untuk menjelaskan fenonemafenonema di dalam bidang psikologi, sosiologi, dan ilmu politik.5 Studi kasus sendiri memberikan manfaat dalam menginvestigasi fenonema yang bersifat kontemporer dalam kehidupan nyata, dan menjelaskan pertanyaan dalam bentuk kalimat
tanya “mengapa” dan “bagaimana”.6
3.
Kerangka Hipotesa Kerja
Kerangka hipotesa kerja untuk menjawab pertanyaan penelitian dibangun sebagai berikut, “Kebijakan moratorium
penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia oleh Pemerintah
Indonesia tahun 2009-2011 dilatarbelakangi oleh kondisi penempatan dan perlindungan arus migrasi koridor IndonesiaMalaysia yang ada pada masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, beserta berbagai kondisi-kondisi dan formasi kepentingan aktor-aktor yang menyertainya. Adapun upaya
yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan
3 W. Laurence Neuman. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approach. (Boston: Allyn and Bacon, 2006), hlm. 145.
4 Emy Susanti, “Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar”. Di dalam Bagong Suyanto danSutinah (ed), Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 168-169.
5 Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Methods: Applied Social Research and Methods Series Volume 5. (London: Sage Publication., 1989), hlm. 1.
6 Ibid., hlm. 9
~ 20 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia dapat dilihat
dari tuntutan Pemerintah Indonesia terhadap Pemerintah Malaysia dalam memperbaiki kerjasama ketenagakerjaan lintasnegara sektor domestik yang telah ada sebelumnya.”
Hipotesa kerja tersebut coba diuraikan dalam langkah-langkah sebagai berikut: pertama-tama penelitian ini akan menguraikan secara umum apa yang menjadikan Indonesia menjadi
negara pengirim pekerja migran, khususnya ke Malaysia, serta
mengapa Malaysia menjadi begitu menarik bagi tenaga kerja
Indonesia,. Setelah itu penelitian akan menggambarkan kondisi dan situasi yang dihadapi TKI sektor domestik di Malaysia,
serta instrumen hukum dan kebijakan apa saja yang relevan menyangkut keberadaan TKI sektor domestik di Malaysia ini ditinjau dari perspektif Indonesia dan Malaysia, hal ini ditujukan
untuk menunjukkan signifikansi koridor migrasi Indonesia-Malaysia dibandingkan koridor migrasi Indonesia dengan negara
lain, sehingga dapat dilihat mengapa kebijakan perlindungan di
Malaysia perlu diperhatikan dengan serius.
Untuk meneliti alasan-alasan diberlakukannya moratorium ini, maka akan dilakukan penguraian secara kronologis
bagaimana proses serta dinamika saat moratorium ini mulai
diberlakukan hingga kemudian moratorium ini dicabut. Hal-hal
yang menjadi alasan Pemerintah mencabut moratorium dapat
dianalisa sebagai kepentingan-kepentingan Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium ini. Dalam logika peneliti, saat
moratorium dicabut, berarti saat itu pula kepentingan Indonesia dalam isu moratorium ini terpenuhi.
Untuk menambah perspektif tentang alasan-alasan Pemerintah memberlakukan moratorium ini juga dapat dilihat dengan meninjau bagaimana dinamika relasi kepentingan pihakpihak yang terlibat di dalamnya termasuk Pemerintah Indonesia, Pemerintah Malaysia, PJTKI, dan LSM yang peduli pada
isu-isu buruh migran. Dari penelusuran ini diharapkan muncul
~ 21 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
argumen-argumen yang menjelaskan mengapa Pemerintah Indonesia tetap memberlakukan moratorium selama dua tahun,
apa yang melatarbelakangi kebijakan Pemerintah Indonesia
tersebut, sekaligus melihat formasi kepentingan dari pihakpihak yang terlibat.
4.
Teknik Pengumpulan Data dan Strategi Validasi Data
Kualitatif
Teknik pengumpulan data akan menggunakan kombinasi
antara data primer dan data sekunder. Berdasarkan perumusan
masalah dan atas dasar keterbatasan sumber daya yang dimiliki
peneliti dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data utama
adalah data sekunder. Teknik pengambilan data sekunder ini
akan dilakukan dengan studi pustaka literatur perjanjian hukum
mengenai perlindungan TKI di luar negeri serta penelusuran
pemberitaan mengenai dinamika hubungan ketenagakerjaan
lintas negara antara Indonesia dan Malaysia dalam moratorium
ini di literatur, media massa, dan jurnal-jurnal terkait perlindungan buruh migran. Kewajiban negara sebagai pemangku treaty obligations akan dilihat melalui bahan hukum yang
mengikat, sedangkan dinamika hubungan ketenagakerjaan
lintas negara antara Indonesia dan Malaysia akan coba ditelusuri dengan melakukan kajian pemberitaan di media massa dan
jurnal-jurnal terkait perlindungan buruh migran, termasuk di
dalamnya yang dilansir oleh lembaga swadaya masyarakat.
Teknik pengumpulan data primer dilaksanakan sebagai
upaya verifikasi dan pelengkapan dari data-data sekunder yang
dapat dikumpulkan. Teknik ini akan menggunakan wawancara
mendalam (in-depth interview) dalam proses penarikan data.
Proses pemilihan informan penelitian disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan oleh penulis sesuai dengan keahlian,
pengetahuan, otoritas, pengalaman, maupun informasi lainnya yang mereka miliki. Berikut daftar informan yang menjadi
~ 22 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
sumber data primer:
• Rendra Setiawan, Kepala Seksi Kerjasama Regional dan
Multilateral, Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, Kemenakertrans RI
• Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan
Advokasi, Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI
• Rafail Walangitan, Kasubdit I Perlindungan WNI di Wilayah
Malaysia, Benua Amerika, Suriah, Yordania dan Timur Tengah, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan
Badan Hukum Indonesia, Kemenlu RI
• Rusdi Basalamah, Ketua APJATI (Asosiasi Perusahaan Jasa
Tenaga Kerja Indonesia)
• Wahyu Susilo, Analis Kebijakan Migrant Care
Validitas merupakan derajat ketetapan antara data yang
terjadi pada objek penelitian dengan data yang dilaporkan oleh
peneliti. Untuk menguji validitas data, dapat dilakukan melalui proses triangulasi data. Terdapat tiga jenis triangulasi data,
yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data
dan triangulasi waktu.7 Adapun dalam penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi teknik pengumpulan
data, yaitu dengan memanfaatkan berbagai teknik data dimana
data dalam penelitian diperoleh melalui wawancara, dan analisis dokumen. Berikut adalah beberapa strategi validitas kualitatif yang digunakan oleh penulis:
1. Mentriangulasi sumber-sumber data yang berbeda dengan
memeriksa bukti-bukti dari sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara
koheren;
2. Membuat deskripsi yang kaya dan padat, dengan menyajikan
banyak perspektif mengenai perlindungan tenga kerja
7 Robert C. Bodgan and Biklen Kopp Sari, “Qualitative Research for Education: An Introduction
to Theory and Methods” (London: Allyn and Bacon Inc., 1982) sebagaimana dikutip dalam
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2009) hlm.88.
~ 23 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Indonesia di luar negeri agar hasilnya bisa lebih kaya dan
realistis;
3. Melakukan tanya jawab dengan pembimbing penelitian, dan
peneliti yang memiliki ketertarikan pada tema penelitian
serupa dengan penelitian ini untuk membantu koherensi
keseluruhan penelitian, serta peninjauan atas akurasi data
yang disajikan dalam penelitian ini. []
~ 24 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
BAB III
KAJIAN LITERATUR DAN
KERANGKA KONSEPTUAL
Kajian Literatur terkait Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia
Penelitian ini merupakan suatu kajian mengenai kebijakan
moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia pada
tahun 2009-2011. Penulisan buku ini menggunakan beberapa literatur sebagai tinjauan pustaka sebagai bahan pengantar mengenai penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai topik yang berkaitan dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka ini ditujukan untuk melihat penelitian-penelitian
lain yang turut mengidentifikasi permasalahan yang kerap menimpa tenaga kerja Indonesia di luar negeri, serta upaya-upaya
yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Hasil penelitian yang disajikan dalam tinjauan pustaka ini
meliputi masalah yang disoroti, fokus perhatian penelitian, serta
ringkasan hasil penelitian. Terdapat tiga hasil penelitian yang digunakan dalam tinjauan pustaka ini: Pertama, penelitian Gunanto
Surjono, dkk mengenai kebutuhan model pelayanan nasional sosial pekerja migran.1 Penelitian ini memusatkan perhatian pada
1.
1 Gunanto Surjono, dkk. Pengkajian Kebutuhan Model Pelayanan Sosial Pekerja
~ 25 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
pengkajian tentang kebutuhan model pelayanan sosial pekerja
migran ke luar negeri yang didorong oleh pemikiran bahwa jumlah warga negara Indonesia yang menjadi pekerja migran di luar
negeri di satu sisi cukup signifikan dalam mengurangi angka
pengangguran dalam negeri serta berkontribusi dalam pemasukan devisa negara dalam bentuk remiten (remittance), namun di
sisi lain mengalami kerentanan dalam hubungan kerja yang dijalaninya bersama majikan dan pihak-pihak yang terkait dalam
keseluruhan proses persiapan, pemberangkatan, penempatan
hingga kepulangan dari tempat bekerja di luar negeri.
Pada penelitian ini ditemukan tiga tahapan permasalahan
yang dihadapi pekerja migran Indonesia, yaitu: sejak di daerah
asal, tempat kerja dan ketika pulang ke daerah asal. Permasalahan sejak dari daerah asal berupa kemiskinan, pendidikan rendah, belum cukup umur, dan rendahnya pengetahuan pekerja migran akan bahasa dan budaya negara tujuan kerja, serta
keterampilan dalam melakukan pekerjaan yang diterimanya,
membawa konsekuensi pekerja migran Indonesia rentan dijadikan objek pemalsuan, penipuan, pemerasan ketika berangkat,
bekerja, dan pulang kembali ke Indonesia.
Pelayanan sosial perlindungan bagi eksistensi pekerja migran oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat juga
belum dilakukan secara koordinatif dan sinergis. Bertitik tolak
dari kondisi riil yang dihadapi pekerja migran tersebut, kemudian diajukan prospek alternatif model perlindungan secara
antisipatif (di daerah asal), protektif dalam bentuk pengawasan
di pintu keluar-masuk pekerja migran dan tempat kerja, dan
rehabilitatif bagi pekerja migran yang pulang menjadi korban
hubungan kerja, dengan usulan penanganan yang memposisikan Kementerian Sosial sebagai garda utama dalam penanganan korban, dengan pelibatan secara koordinatif dan bersinergi
berbagai lembaga pemerintah dan swadaya masyarakat menurut tugas dan fungsi masing-masing lembaga bersangkutan.
Migran. (Yogyakarta: Karya Penerbit B2P3KS Press, 2009).
~ 26 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Kedua, penelitian Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan Indonesia mengenai kondisi kesewenang-wenangan tersistematik bagi tenaga kerja Indonesia. Laporan ini merupakan
sebuah usaha penyajian data dan analisis atas situasi dan kondisi pekerja migran Indonesia di luar negeri.2 Termasuk dalam
laporan ini, informasi kasus-kasus yang menimpa pekerja migran
Indonesia. Laporan ini ditulis berlandaskan pada premis bahwa
orang miskin dan perempuan harus memiliki jaminan untuk
bekerja dan bermigrasi, termasuk bekerja di luar tanah kelahirannya. Pemenuhan jaminan ini bertopang pula pada pemenuhan
hak asasi manusia, semisal hak untuk bebas dari rasa takut, penyiksaan, penganiayaan dan tentu saja hak untuk hidup.
Beberapa konklusi yang termuat dalam laporan ini antara
lain bahwa kelompok pekerja migran Indonesia yang paling
rentan mengalami tindakan sewenang-wenang oleh majikan
adalah perempuan, berkaitan dengan proporsi pekerja migran
Indonesia yang didominasi oleh perempuan. Selanjutnya adalah
bahwa telah terjadi eksploitasi sistematis terhadap pekerja migran Indonesia, yang sebagiannya diakibatkan oleh lemahnya
kebijakan perlindungan pekerja migran oleh Pemerintah Indonesia. Impunitas yang seakan-akan dimiliki oleh agen penyalur
tenaga kerja Indonesia turut menyuburkan praktek eksploitasi
ini. Adapun telah tumbuh inisiatif untuk membuat mekanisme
perlindungan pekerja migran yang efektif oleh Pemerintah, namun inisiatif ini tidak komprehensif dalam mempromosikan
hak-hak pekerja migran.
Ketiga, laporan Komnas Perempuan tentang migrasi tanpa
dokumen, strategi perempuan mempertahankan kehidupan,
studi kasus lima tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia.3 Secara garis besar ada dua alasan mengapa perempuan
2 Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan/CARAM Indonesia, Indonesian Migrant
Workers: Systematic Abuse at Home Abroad, (Indonesia: Penerbit Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan/CARAM Indonesia, 2002).
3 Komnas Perempuan, Migrasi Tanpa Dokumen: Strategi Perempuan Mempertahankan Kehidupan, Studi Kasus Lima Buruh Migran Indonesia yang Bekerja
~ 27 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
buruh migran memilih jalan tak berdokumen, pertama secara
sadar perempuan mengambil status sebagai buruh migran tak
berdokumen. Mereka yang masuk kategori ini, biasanya berpijak pada informasi para mantan buruh migran tak berdokumen
yang beruntung. Artinya, jikapun terdapat resiko-resiko yang
menghadang semuanya dapat ditepis dengan segenap informasi yang menguntungkan dan diceritakan oleh orang yang
beruntung. Pilihan sadar tersebut juga seringkali didorong oleh
ketiadaan dana untuk pengurusan berbagai dokumen yang
dibutuhkan. Kedua, kemudahan dan kecepatan pengurusan
visa, juga menjadi alasan perempuan buruh migran menjadi
tidak berdokumen. Modus yang digunakan adalah dengan cara
membawa dokumen visa pelancong/turis.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebenarnya telah menjalin beberapa perjanjian bilateral sejak tahun 1984, namun
umumnya, daya tawar Malaysia jauh lebih kuat dari Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari fenomena deportasi massal di tiap-tiap
fase pasca kerjasama bilateral ini. Deportasi paling masif terjadi
di tahun 2002 dan 2004. Catatan berbagai lembaga pemerhati
buruh migran menunjukkan 700.000-900.000 buruh migran tak
berdokumen menghadapi deportasi dari Pemerintah Malaysia.
Mencermati respon dan kebijakan yang diambil saat deportasi berlangsung terutama di tahun 2004, pemerintah Indonesia sama sekali tidak berdaya menghadapi kebijakan sepihak
pemerintah Malaysia. Proses deportasi yang telah berlangsung
beberapa kali, pemerintah Indonesia hanya menunjukkan sikap
menerima tanpa protes atau mencoba membangun negosiasi
untuk mencari jalan yang lebih manusiawi. Tidak nampak sikap
dan tindakan kritis dari Pemerintah Indonesia dalam memandang kebijakan deportasi, alasan-alasan yang mendasari hingga
berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di lapangan. Tidak ada
inisiatif untuk membangun satu sistem dan rencana advokasi
yang tidak hanya memberikan pelayanan pemulangan deportan,
di Malaysia. (Jakarta: Komnas Perempuan, 2005).
~ 28 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
tetapi melindungi hak-hak buruh migran sebagai warga negara
dan sebagai manusia. Kebijakan penanganan buruh migran tak
berdokumen yang dideportasi masih bersifat karitatif (pengurusan sementara) saat para deportan tiba di tanah air. Tidak
ada penanganan holistik hingga pemulihan para deportan dan
pemenuhan hak-haknya.
Permasalahan sulitnya mengurai benang kusut buruh migran tak berdokumen ini kemudian coba diresolusikan dengan
memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia dan Malaysia, serta Komisi HAM PBB dan Pelapor Khusus PBB untuk
Hak Asasi Migran. Satu poin yang menarik adalah ditegaskan
perlunya inisiatif bilateral yang lebih bagi Pemerintah Indonesia
dan Malaysia dalam membangun sebuah perjanjian pengiriman
tenaga kerja, serta desakan untuk segera meratifikasi Konvensi
Internasional PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak
Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Rekomendasi ini ditujukan agar Indonesia dan Malaysia memiliki daya
tawar yang sama apabila terlibat polemik dalam hubungan
ketenagakerjaan bilateral, karena masalah-masalah ini dapat
kemudian diajukan lebih jauh ke forum internasional. Satu hal
yang kurang tereksplorasi adalah analisa mengenai bagaimana
daya tawar masing-masing negara dalam setiap perjanjian bilateral, dan mengapa Indonesia dapat dikatakan lebih lemah daya
tawarnya dalam perjanjian bilateral selama ini.
Kerangka Konseptual
Untuk menjawab rumusan permasalahan pada penelitian
ini, digunakan beberapa kerangka konsep untuk menjelaskan
perilaku Pemerintah Indonesia dalam perumusan dan implementasi kebijakan perlindungan buruh migran yang mempengaruhi dinamika posisi tawarnya dengan Malaysia dalam
hubungan ketenagakerjaan lintas negara. Kerangka konsep
yang digunakan adalah konsep mengenai Migrasi Global,
~ 29 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Proses Perumusan Kebijakan serta Politik Luar Negeri, Diplomasi dan Kapabilitas Negara.
Konsep Migrasi Global dan Interdependensi
Ketenagakerjaan Antarnegara
Kesenjangan antara populasi dan sumber daya ekonomi
acapkali mendorong perpindahan manusia atau migrasi. Secara
umum, migrasi adalah perpindahan populasi dari wilayah yang
belum mapan secara ekonomi seperti wilayah Amerika Tengah,
sebagian besar Asia, dan Eropa Timur menuju wilayah yang
jauh lebih stabil ekonominya semisal Amerika Utara atau Eropa
Barat. Namun, migrasi tidak hanya semata-mata didasarkan
pada fenomena ekonomi, melainkan dapat juga didorong oleh
kombinasi antara kelangkaan ekonomi, perang saudara, konflik
etnis, gesekan antar-agama dan represi politik. Diestimasikan
bahwa 70 juta orang kini bekerja di luar tanah kelahirannya baik
secara legal ataupun ilegal, dengan angka pertumbuhan 2 juta
orang per tahunnya.4
Terdapat berbagai bentuk imigran: individu bermigrasi sebagai seorang buruh individu, spesialis dalam bidang tertentu,
wirausaha, pengungsi ataupun kerabat dari imigran sebelumnya. Penggolongan individu berdasarkan kelas bermain dalam
hal ini: sebuah negara akan berusaha mengundang para spesialis ataupun profesional untuk bekerja di negaranya dengan
berbagai privilese yang ditawarkan sedangkan pengungsi atau
buruh biasa umumnya mengalami penolakan atau bahkan diskriminasi. Migrasi dapat merubah bentuk demografi dunia,
struktur sosial dan ekonomi dan membawa keragaman budaya,
di mana sering pula membawa masalah pada identitas nasional yang dibangun oleh suatu negara bangsa.5 Hal yang ingin
2.
4 Steven L. Spiegel, World Politics in a New Era, (Los Angeles, CA: Harcourt Brace &
Company, 1995), hlm.444-445.
5 Stephen Castles dan Mark J. Miller, The Age of Migration: International Population
Movements in the Modern World, (New York: The Guilford Press, 2009), hlm. 3-5.
~ 30 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
ditekankan pada konsep ini adalah migrasi populasi berdasarkan kebutuhan ekonomi, yang berkonsekuensi memunculkan
migrasi buruh sebagai istilah turunannya.
Seringkali disebutkan bahwa migrasi buruh dari negara
miskin ke negara kaya adalah simbiosis mutualisme. Negara
miskin yang memiliki terlampau banyak buruh muda untuk ekonominya yang masih lemah kemudian berpikiran untuk mengekspor surplus buruh ini. Di sisi lain, negara kaya
atau negara berkembang dengan populasi terbatas memiliki
kekurangan buruh muda untuk mengisi lapangan kerja sehingga membutuhkan buruhmigran.6 Namun perlu ditengarai pula
bahwa kebutuhan negara kaya dan negara berkembang dengan
populasi terbatas akan buruh muda dengan kecakapan terbatas
ini didasarkan pula atas kebutuhan mereka akan buruh yang
dapat bekerja dengan gaji rendah dan kondisi kerja tertentu dalam suatu sektor tertentu, R. Munz berpendapat sebagai berikut
tentang sektor-sektor tersebut:7
“[…] dirty, difficult and dangerous jobs, low-paid household
service jobs, low skilled jobs in informal sector of the economy,
jobs in sectors with strong seasonal fluctuation, e.g. farming,
road`repairs and construction, hotel, restaurant and other
tourism-related services.” (“[...] pekerjaan yang kotor, sulit dan
berbahaya, pekerjaan jasa rumah tangga berupah rendah di
sektor ekonomi informal, pekerjaan di sektor-sektor yang
mengalami fluktuasi secara musiman, semisal pertanian, perbaikan jalan dan konstruksi, hotel, restoran dan pekerjaanpekerjaan lain yang terkait turisme.”)
Pendapat di atas menyuratkan sebuah kebutuhan akan buruh migran dengan kualifikasi rendah, namun ada baiknya pula
untuk mengetahui apakah buruh migran benar-benar dibutuhkan oleh negara tujuan penempatan8 atau tidak, karena terdapat
6 Ibid. hlm. 222.
7 Ibid.
8 Pada skripsi ini, istilah negara tujuan penempatan akan digunakan untuk merujuk pada neg-
~ 31 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
logika lain selain logika kebutuhan (need) yaitu logika permintaan
(demand). Logika ini berkutat pada perspektif pemerintah, bahwa
perlu diadakan aturan yang lebih ketat tentang siapa yang berhak masuk dan hidup dalam wilayah teritorinya. Ketatnya peraturan imigrasi yang dilakukan pada dua dekade terakhir adalah
sebuah usaha negara penerima buruh migran dari ancaman terlalu banyaknya buruh migran yang masuk dan membentuk minoritas etnik baru. Alasan lainnya adalah adanya kepercayaan
bahwa di masa`depan yang lebih dibutuhkan adalah para spesialis dan profesional, sehingga buruh-buruh dengan kecakapan
rendah (low-skilled labour) tidak akan dibutuhkan lagi.
Di masa depan dipercaya pula bahwa, dunia akan kehilangan batas-batasnya sebagaimana tesis Kenichi Ohmae dalam
Dunia Tanpa Batas, yang mempercayai bahwa kini perusahaanperusahaan multinasional lah yang menguasai dunia, dan buruh migran-migran tidak dibutuhkan lagi karena para buruh
migran tersebut dapat bekerja di negaranya sendiri.9 Hal yang
menarik kini adalah bahwa kini yang bermigrasi adalah pabrik
serta manajemen industri itu sendiri, dan bukanlah tenaga kerja
atau buruh. Namun, asumsi di atas tidak mengubah kenyataan
bahwa buruh migran tetap eksis hingga saat ini, terutama di
negara-negara pengirim pekerja migran berkecakapan rendah
semisal Indonesia atau Filipina.
Dalam konteks koridor migrasi antara Indonesia dan Malaysia logika suplai dan permintaan tenaga kerja telah berlangsung
ara-negara dimana pekerja migran Indonesia ditempatkan. Hal ini mengacu pada Undangundang RI No. 39 Tahun 2004 pasal 1 poin ke 3 yang berbunyi: “Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan
pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan
sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.” Substansi pada pasal di atas
digunakan pada skripsi ini dalam menggunakan istilah “negara tujuan penempatan” untuk
menggantikan istilah negara pengirim (sending countries) dan negara penerima (receiving countries) yang lebih umum digunakan dalam koridor migrasi buruh antarnegara.
9 Kenichi Ohmae, Dunia dan Strategi di Dalam Ekonomi yang Saling Mengait,
(Jakarta: Binarupa Aksara, 1991), hlm.23-24.
~ 32 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
sejak Malaysia menerapkan industrialisasi dalam konsep pembangunan ekonominya. Pembangunan ekonomi Malaysia, telah
membuat pasar tenaga kerja lokal di negara tersebut mulai mengarah pada pemenuhan kebutuhan pekerjaan di perkotaan, sehingga terjadi kelangkaan tenaga kerja di pedesaan untuk sektor
ekonomi semisal pertanian dan perkebunan yang lebih membutuhkan tenaga kerja manual dengan upah yang lebih rendah
dibandingkan dengan upah pekerjaan di perkotaan. Selain itu,
di wilayah perkotaan juga terjadi fenomena perempuan yang
bekerja, sehingga dibutuhkan pekerja di sektor rumah tangga.
Sektor-sektor pekerjaan yang ditinggalkan pekerja lokal dan kebutuhan akan pekerja di sektor domestik inilah yang membuat
arus pekerja migran kemudian memenuhi kebutuhan tersebut.
Teori Proses Pembuatan Kebijakan
Analisa proses pembuatan kebijakan (policy-making process)
menjadi penting dalam penelitian ini, mengingat salah satu
unit analisa yang akan diteliti adalah pola perilaku negara dalam penyusunan serta implementasi kebijakan luar negeri dalam menghadapi negara lain. Diharapkan konsepsi mengenai
proses pembuatan kebijakan ini, dapat membantu mengurai
faktor-faktor yang determinan serta aktor-aktor yang berperan
dalam pembuatan kebijakan luar negeri yang kemudian mempengaruhi posisi tawarnya terhadap negara lain dalam sebuah
hubungan bilateral.
Kebijakan sendiri dapat didefinisikan sebagai “rangkaian
tindakan yang diadopsi dan diambil oleh pemerintah, partai
politik, penguasa, atau negarawan, dimana rangkaian keputusan (baik pilihan mengambil tindakan atau tidak mengambil
tindakan) dianggap dapat memberikan keuntungan dan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.”10 Sedangkan kebijakan luar negeri didefinisikan sebagai “strategi atau
3.
10 Michael Hill, The Policy Process in the Modern State 3rd Edition, (London: Prentice
Hall-Harvester Wheatsteaf , 1997), hlm. 6-7.
~ 33 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
pendekatan yang diambil oleh suatu negara untuk mencapai tujuan dalam hubungan dengan entitas eksternal. Ini juga
termasuk kebijakan untuk tidak melakukan sesuatu apapun
(inaction).”11 Pilihan untuk tidak melakukan sesuatu apapun
oleh suatu negara dalam suatu kebijakan perlu digarisbawahi,
karena tidak semua kebijakan bersifat menginginkan perubahan, namun juga dapat bersifat mempertahankan situasi sementara (status quo), terutama sekali dalam kebijakan luar negeri
yang diimplementasikan dalam lingkungan internasional.
Lingkungan internasional dalam konteks proses kebijakan
dibentuk oleh para aktor yang terdiri dari entitas negara maupun non-negara, yang masing-masingnya memiliki kepentingan, tujuan dan prioritas masing-masing dalam mempengaruhi
lingkungan internasional ini.12 Negara tidak dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri serta independen dalam proses pembuatan kebijakan luar negerinya, karena dalam proses pembuatan kebijakan tersebut terjadi proses bargaining (pertarungan kepentingan antar individu atau kelompok yang saling bertemu)
yang terus menerus sejak proses formulasi kebijakan dilakukan.
James Anderson menggambarkan proses pembuatan kebijakan
dalam tabel berikut:13
11 Valerie M. Hudson, The History and Evolution of Foreign Policy Analysis dalam
Steve Smith,dkk, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, (New York: Oxford University Press, 2008), hlm. 12.
12 Elisabeth Brighi and Christopher Hill: Implementation and Behavior dalam Steve
Smith,dkk, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, (New York: Oxford University
Press, 2008), hlm. 118.
13 James Anderson, Public Policy Making: an Introduction, 7th Edition (USA: Wadsworth, 2011), hlm.4, sebagaimana dikutip oleh Ana Sabhana Azmy dalam Negara dan
Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia,2012), hlm. 22.
~ 34 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Tabel III.1
Proses Pembuatan Kebijakan menurut James Anderson
Terminologi
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahap 5
Kebijakan
Agenda
Formulasi
Adopsi
Implementasi
Evaluasi
Kebijakan
Definisi
Kebijakan
Kebijakan
Di antara
Pengembangan
Pengembangan
Aplikasi
Kebijakan
Usaha
banyaknya
atas hal yang
dukungan untuk
kebijakan oleh
pemerintahn
permasalahan,
berhubungan
pengajuan yang
mesin adminitratif untuk
manakah yang
dengan
lebih spesifik,
pemerintahan.
mendapat
pengajuan
karenanya
apakah
perhatian
yang diterima
kebijakan dapat
kebijakan sudah
serius dari
atas aksi untuk
dilegitimasikan.
efektif dan
pemerintahan.
sepakat dengan
menetapkan
mengapa atau
masalah publik.
Konsep umum
Kebijakan
mengapa tidak.
Mendapat
Apa yang
Mendapatkan
Menerapkan
Apakah
perhatian
diajukan untuk
perhatian
kebijakan
kebijakan itu
pemerintah
dilakukan
pemerintah
pemerintah
berjalan efektif?
untuk
mengenai
untuk menerima kepada masalah.
menyiapkan
masalah.
solusi khusus
aksi atas
atas masalah.
masalah.
Sumber: Diadopsi dari James E. Anderson, David W. Brady and
Charles Bullock III, Public Policy and Politics in The United
States, 1984.
James menyebutkan bahwa dalam kebijakan publik, memang ada beberapa kelompok yang mempunyai akses lebih
daripada yang lain. Kebijakan publik dalam waktu kapan pun
akan merefleksikan kepentingan orang yang dominan. Dalam
pembuatan kebijakan, baik secara ekonomi atau politik, individu atau siapa pun akan didorong oleh pilihan-pilihan, dan
kemudian mencari untuk memaksimalkan keuntungan yang
mereka dapatkan.14
Penulis teori kebijakan publik lainnya, Thomas Birkland,
menjelaskan bahwa ada dua kategori partisipan dalam pembuatan kebijakan publik, yaitu:
14 Ibid, hlm. 25
~ 35 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
1. Official actors (aktor resmi), yaitu mereka yang terlibat dalam
kebijakan publik karena tanggung jawab mereka disetujui oleh hukum atau konstitusi, dan karena itulah mereka
mempunyai kekuasaan untuk membuat dan menegakkan
kebijakan-kebijakan. Pihak ini biasanya dikenal dengan badan legislatif, eksekutif, dan yudikiatif, yang disebut secara
eksplisit.
2. Unofficial actors (aktor tidak resmi), yaitu aktor yang terlibat
dan berperan dalam proses kebijakan tanpa otoritas legal secara langsung untuk berpartisipasi. Sebutan aktor tidak resmi
bukan berarti mereka kurang penting dari aktor resmi, atau
peran mereka harus dibatasi. Sesungguhnya, kelompok ini
dilibatkan karena mempunyai hak untuk terlibat, karena mereka mempunyai kepentingan yang penting untuk melindungi dan memajukan, karena dalam banyak hal sistem pemerintahan tidak akan berjalan baik tanpa mereka.15
Spesifik untuk kebijakan luar negeri, unit analisanya sendiri meliputi aktor-aktor internasional (organisasi internasional,
aktor-aktor luar negeri transnasional serta negara-negara), lingkungan internasional serta situasi tertentu termasuk di dalamnya faktor-faktor domestik.16
Konsep Politik Luar Negeri, Diplomasi dan Kapabilitas
Negara
Politik luar negeri dan diplomasi adalah dua buah istilah yang berkaitan dalam prakteknya, namun kerap tumpang
4.
15 Thomas Birkland, An Introduction to the Policy Process: Theories, Concepts
and Models of Public Policy Making, 3rd Edition, (New York: ME Sharpe 2011), hlm.
93 sebagaimana dikutip oleh Ana Sabhana Azmy dalam Negara dan Buruh Migran
Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono 2004-2010, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2012),
hlm. 23-24.
16 H. Lentner, “Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach”, (Ohio:
Merryl Pubishing Company, 1974), hlm. 3, sebagaimana dikutip oleh Aria Chandra Utama,
Kebijakan Pemerintah Malaysia terhadap Indonesia menganai TKI Ilegal di
Malaysia (1997-2002)¸Tesis – FISIP UI, 2003.
~ 36 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
tindih dalam pendefinisiannya. Praktik pengusahaan politik
luar negeri seperti yang dijalankan orang sebelum tahun 1914
tidak dipahami orang bahwa semuanya itu terdiri atas dua
bagian. Yaitu yang pertama: bagian menetapkan haluan selaras
dengan suasana internasional, dan yang kedua: bagian pelaksanaan mengikuti haluan yang telah ditetapkan tadi. Keduanya
dianggap adalah satu hal dalam pengertian yang dinamakan
“diplomasi”. Padahal yang sebenarnya yang bernama diplomasi hanyalah bagian yang nomor dua.17
Politik luar negeri atau kebijakan luar negeri suatu negara menunjukkan dasar-dasar umum yang dipakai pemerintah
untuk bereaksi terhadap lingkungan internasional.18 Adapun
lingkungan internasional ini dipengaruhi oleh dinamika yang
mengendalikan sistem negara telah lama dikenal sebagai politik
kekuatan (power politics) yang dilandasi oleh sekumpulan asumsi yang diterima dan dilaksanakan oleh setiap pemerintahan.
Asumsi-asumsi tadi ialah: (1) Tidak adanya hak mutlak dalam
hubungan antarnegara; (2) Satu-satunya nilai kolektif yang
dimiliki oleh negara peserta adalah dikehendakinya pelestarian
sistem; (3) Menolong diri (negara) sendiri merupakan aturan
setiap tindakan; (4) Setiap negara mempunyai kekuatan sesuai
dengan batas kemampuannya sendiri untuk dipergunakan bila
dikehendaki; (5) Hubungan antarnegara tidak ditentukan oleh
pemakaian prinsip-prinsip umum melainkan oleh kemampuan
atau kapabilitasnya sendiri; (6). Karena itu faktor kekuatan menentukan siapa yang benar.19
Menurut Hans J. Morgenthau, pemerintah yang baik harus memilih tujuan dan metode politik luar negerinya dengan
mengingat kekuatan yang tersedia untuk membantu mereka
dengan kemungkinan keberhasilan yang maksimum. Dengan
17 Soedjono. Ilmu Politik II: Diplomasi dan Politik Luar Negeri. (Jakarta: Djambatan,
1955.), hlm.17.
18 Dahlan Nasution..Politik Internasional: Konsep dan Teori. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991), hlm. 9.
19 Ibid., hlm.43.
~ 37 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
demikian, kekuatan nasional yang tersedia menetapkan batas
politik luar negeri. 20 Dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya melalui politik luar negeri, kapabilitas suatu negara
untuk mempengaruhi lingkungan internasionalnya menjadi
signifikan. Definisi luas dari kapabilitas adalah kemampuan
negara untuk mengadakan perubahan dalam lingkungan internasional bagi kepentingan dirinya. Perubahan dalam lingkungan merupakan inti dari penalaran konsep kapabilitas ini.
Negara melakukan usaha-usaha efektif dalam dunia nyata
dengan kapabilitasnya. Kapabilitas adalah segi “cara” dalam
kesinambungan antara tujuan – cara dalam politik luar negeri.
Dalam sistem politik internasional, suatu negara hanya dapat
mencapai maksud-maksudnya setelah lebih dahulu memperoleh persepakatan dari negara-negara sahabatnya.21
Dalam garis besarnya unsur-unsur kapabilitas dibagi dalam dua kategori. Unsur-unsur yang kelihatan ada lima, yaitu:
(1) Posisi geografik; (2) Kependudukan dan tenaga kerja; (3) Kekayaan sumber-sumber; (4) Kemampuan produksi industri dan
pertanian; (5) Kekuatan militer. Sedangkan unsur-unsur yang
tidak tampak ada empat, yaitu: (1) Struktur politik, ekonomi
dan sosial; (2) Tingkat pendidikan dan teknik; (3) Semangat kebangsaan; (4) Posisi strategis internasional.22
Setelah aspek kapabilitas diperhitungkan maka kemudian
diplomasi lah yang menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan
kebijakan-kebijakan luar negeri tersebut. Diplomasi meliputi
kegiatan: (1) Menentukan tujuan dengan mempergunakan semua daya dan tenaga untuk mencapai tujuan tersebut; (2) Menyesuaikan kepentingan dari bangsa lain dengan kepentingan
nasional sesuai dengan daya dan tenaga yang ada padanya;
(3) Menentukan apakah tujuan nasional sejalan atau berbeda
20 Hans J. Morgenthau. Politik Antarbangsa. .(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990.),
hlm.219.
21 Dahlan, Op.cit., hlm. 25.
22 Ibid.,hlm. 28.
~ 38 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
dengan kepentingan bangsa atau negara lain; (4) Mempergunakan sarana dan kesempatan yang ada sebaik-baiknya23.
Diplomasi modern berusaha untuk mencapai perdamaian
atau kerjasama antarnegara dengan mengadakan perjanjian
(treaty) atau persetujuan (agreement). Hal tersebut adalah salah
satu dari bentuk hukum internasional. Suatu perjanjian bilateral adalah suatu persetujuan sukarela di mana masing-masing negara setuju untuk menaatinya. Hanya dengan itikad baik
(goodwill) bersama atau dengan kekuatan dari salah satu peserta
yang lebih kuat maka perjanjian itu dapat dijamin akan dapat
ditaati.24
Dalam konteks kerjasama antarnegara (bilateral), secara
garis besar dapat dibedakan dua jenisnya:25
1. Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding [MoU]),
kerjasama ini bersifat lebih lunak dibandingkan perjanjian
bilateral, menyediakan kerangka kerja umum (broad framework) yang ditujukan untuk kepentingan bersama (common
concerns).
2. Perjanjian Bilateral (Bilateral Agreements), kerjasama ini bersifat formal dan mengikat, lebih spesifik dibandingkan MoU,
serta lebih berorientasi pada tindakan (action-oriented).
Adapun negara-negara Asia lebih memilih MoU dibandingkan Perjanjian Bilateral dalam membuat sebuah kerjasama
antarnegara di bidang ketenagakerjaan. Wickramasekara mengasumsikan hal ini disebabkan oleh beberapa alasan: 1) MoU lebih
mudah untuk dinegosiasikan dan diimplementasikan; 2) MoU
memiliki fleksibilitas lebih untuk dimodifikasi dengan perubahan kondisi ekonomi dan pasar tenaga kerja, dan; 3) MoU adalah pilihan untuk berhadapan dengan masuknya buruh migran
23 Sumarsono Mestoko. Indonesia dan Hubungan Antarbangsa..( Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1988), hlm. 25.
24 Ibid.,hlm. 27-28.
25 Piyasiri Wickramasekara, Labour Migration in Asia Role of Bilateral Agreements
and MoU, Presentasi ILO pada “JIPLT Workshop on International Migration and Labour
Market in Asia” yang diselenggarakan di Tokyo pada tanggal 17 Februari 2006.
~ 39 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
berkecakapan rendah (low-skilled workers). Hal ini juga berlaku
pada kondisi kerjasama ketenagakerjaan lintasnegara antara
Indonesia-Malaysia yang masih menggunakan instrumen MoU
dibandingkan perjanjian bilateral yang lebih mengikat. []
~ 40 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
BAB IV
GAMBARAN ARUS MIGRASI PEKERJA
MIGRAN INDONESIA KE MALAYSIA
Pemerintah Indonesia mulai menggalakkan program pengiriman pekerja migran pada dekade 1970-an setelah melihat penghasilan yang dibawa para pekerja migran di luar negeri turut
membantu neraca keuangan negara. Selain itu, keberangkatan
para pekerja migran ini juga amat membantu mengurangi angka
pengangguran di Indonesia. Pengiriman pekerja migran ke luar
negeri menjadi salah satu program pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintahan Orde Baru kala itu, dan termaktub dalam
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I-VI.
Pekerja migran Indonesa umumnya berkualifikasi untuk
mengerjakan pekerjaan dengan kebutuhan keterampilan rendah, semisal buruh manual di konstruksi atau manufaktur, dan
juga pekerjaan domestik seperti penatalaksana rumah tangga
(PLRT). Dilihat dari tingkat pendidikan, buruh migran Indonesia rata-rata maksimum hanya menempuh pendidikan formal
hingga tingkat sekolah menengah pertama, dimana ada juga
sebagian yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal
sama sekali. Buruh migran Indonesia yang berangkat umumnya juga berada pada tingkat usia produktif (usia 10-34 tahun),
~ 41 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
sehingga pada tataran makro hal ini dapat berimplikasi jangka
panjang pada pasar tenaga kerja di Indonesia itu sendiri.1
Apabila dibandingkan negara-negara Asia lain, semisal
Thailand, Filipina, Malaysia dan Korea Selatan; Indonesia dapat
dikatakan terlambat dalam membuat kebijakan terkait pekerja
migran. Hal ini kemudian berhubungan pada jumlah penempatan buruh migran Indonesia yang kecil dibandingkan dengan
negara pengirim pekerja migran yang lain, pada tahun 1975, Indonesia menempatkan pekerja migran sejumlah sepertiga dari
buruh migran yang dikirimkan oleh Thailand ke luar negeri.2
Tabel IV.1
Jumlah Pekerja Migran Indonesia pada masa
Repelita I - Repelita VI
Repelita
Repelita I
Repelita II
Repelita III
Repelita IV
Repelita V
Repelita VI
TOTAL
Periode
1969-1974
1974-1979
1979-1984
1984-1989
1989-1994
1994-1999
Jumlah
5.624
17.042
96.410
292.262
652.272
1.461.236
2.524.846
Sumber: Direktorat AKAN Depnaker RI, 1994, The Development of of
Export Labour Program in Repelita IV and V 3
Tingginya angka pengangguran pada tahun 1970-an yang
menjadi salah satu faktor pendorong fenomena pekerja migran Indonesia salah satunya disebabkan oleh berkurangnya
1 Sukamdi dan Abdul Haris, “A Brief Overview of International Migration”, dalam Sukamdi, et.al.
(Eds.), Labour Migration in Indonesia: Policies and Practice, (Yogyakarta: Population Studies Center Gadjah Mada University, 2000), hlm. 6
2 Prijono Tjiptoherijanto, “International Migration: Process, System and Policy Issues”, dalam,
Sukamdi, et.al, Op.cit., hlm.81
3 Sebagaimana dikutip oleh M. Arif Nasution, “International Migration in South East-Asia: A
Case Study of Indonesian Workers in the Malaysian Peninsula” dalam Sukamdi, et.al. (Eds.),
Op.cit., hlm. 195.
~ 42 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
lapangan pekerjaan di pertanian desa akibat adanya kebijakan
mekanisasi pertanian. Kebijakan ini dikenal sebagai Revolusi
Hijau yang berusaha melakukan modernisasi dan mekanisasi
di sektor pertanian semisal penggalakkan pemakaian traktor
dalam pengolahan tanah. Kebijakan-kebijakan ini menimbulkan berbagai akibat terhadap penyerapan tenaga kerja di desa,
terlebih kebijakan ini bersifat irreversible (setelah mekanisasi dijalankan, maka model pengolahan pertanian secara tradisional
akan sulit untuk dijalankan kembali).4
Mekanisasi sektor pertanian di pedesaan Jawa misalnya;
penggunaan metode penggilingan padi menggantikan metode
penumbukan padi dengan tangan, telah menghilangkan lapangan kerja bagi ratusan ribu petani wanita di desa-desa Jawa. Demikian juga halnya dengan penggunaan sistem tebasan yang
menggantikan cara-cara penuaian padi yang tradisional telah
menghilangkan lapangan kerja di pedesaan bagi kaum wanita.
Kebanyakan wanita yang kehilangan pekerjaan ini keluar dari
desa dan mencoba peruntungan di kota dan luar negeri.5 Ini
juga awal mula bagaimana kemudian terjadi feminisasi pekerja
migran Indonesia, dimana jumlah pekerja migran perempuan
mulai melebihi jumlah pekerja migran laki-laki, terlebih setelah
pekerjaan-pekerjaan di sektor domestik mulai terbuka.
Negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia secara historis dapat diperiodisasikan sebagai berikut: 6 Pertama, antara
tahun 1969-1979, hampir 50% dari keseluruhan pekerja migran
Indonesia pergi bekerja ke Eropa, terutama ke Belanda; Kedua,
antara tahun 19779-1989, negara-negara Timur Tengah menjadi
tujuan utama pekerja migran Indonesia, terutama bagi pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor domestik sebagai
PLRT, dan; Ketiga, mulai tahun 1989 hingga sekarang, negara4 Zainab Bakir dan Chris Manning (Eds.), Angkatan Kerja di Indonesia: Partisipasi,
Kesempatan dan Pengangguran, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hlm. 22.
5 Ibid., hlm. 50.
6 Prijono Tjiptoherijanto, “International Migration: Process, System and Policy Issues”, dalam
Sukamdi,et.al., Op.cit.,hlm. 69
~ 43 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
negara tetangga di Asia Tenggara yaitu Malaysia dan Singapura
menjadi tujuan penempatan yangutama, perubahan tren negara
tujuan penempatan disebabkan oleh kemajuan ekonomi dan luasnya sektor lapangan kerja yang dapat dimasuki oleh pekerja
migran Indonesia di negara tujuan tersebut.
1.
Kebijakan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia di Luar Negeri
Kebijakan perlindungan TKI di luar negeri, tidak dapat
dilepaskan dari kebijakan penempatan yang sedianya selalu
mendahului kebijakan perlindungan itu sendiri. Proses penempatan TKI mulai marak pada tahun 1970-an ditandai oleh kebijakan Pemerintah Indonesia yang secara khusus mengatur perihal penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
a. Era Orde Baru
Pada tahun 1970, Pemerintah Indonesia memberlakukan
pengerahan tenaga kerja melalui Antar Kerja Antar Daerah
(AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAN) yang kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun
1970. Peraturan ini memberikan wewenang kepada pemerintah
dan swasta untuk mengatur penempatan TKI ke luar negeri.
Setelah peraturan pemerintah ini keluar, maka pengurusan TKI
dapat dipegang oleh swasta selain oleh pemerintah.7 Pada saat
peraturan pemerintah ini diberlakukan, TKI yang berangkat ke
luar negeri umumnya berkecakapan rendah dan tidak terdidik.
Sehingga, Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) pada saat itu
memberikan kuota atas penempatan TKI tidak terdidik selama
Repelita VI, sebagai upaya mengurangi penempatan TKI tidak
terdidik sekalgus berusaha meningkatkan penempatan TKI
yang terdidik.8
7 Awani Irewati, “Kebijakan Indonesia terhadap Masalah TKI di Malaysia”, dalam Awani Irewati,
(Ed.), Kebijakan Luar Negeri Indonesiaterhadap Masalah TKI Ilegal di Negara
ASEAN, (Jakrta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2003), hlm. 34
8 Prijono Tjiptoheriyanto, “Migrasi Internasional: Proses, Sistem, dan Masalah Kebijakan”, dalam Arif Nasution (Ed.), Globalisasi dan Migrasi Antar Negara, (Bandung: Yayasan
~ 44 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Namun, angka pengangguran yang tinggi pada saat itu,
tetap menjadikan opsi menjadi TKI ke luar negeri sebagai jalan
keluar, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki bekal kecakapan dan pendidikan yang cukup untuk bersaing di pasar
kerja domestik. Pada akhirnya, angka penempatan TKI yang
tidak terdidik tetap berjalan, dan kemudian menimbulkan
banyak permasalahan, seperti tindak kekerasan seperti penganiayaan, pelecehan seksusal dan sebagainya, sebagai konsekuensi dari pendidikan dan pelatihan kerja yang kurang baik Kondisi ini juga diperparah dengan kondisi perlindungan Negara
terhadap TKI pada saat itu yang belum memadai, dilihat dari
kerangka kebijakan perlindungan yang hanya mencapai level
Peraturan Menteri (Permen), dan belum mencapai level Undang-undang. Untuk menyikapi kondisi ini, sekaligus melihat
volume migrasi yang terus meningkat, Pemerintahan Orde Baru
akhirnya mengeluarkan Permen No. 5 tahun 1988 yang mengatur tentang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang dibentuk pada masa kepemimpinan Menteri Tenaga Kerja Cosmas
Batubara (1988-1993).9
b. Era B.J. Habibie s/d Megawati Soekarnoputeri
Kebijakan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri
era pasca orde baru (reformasi) ini, diawali di masa kepemimpinan B. J. Habibie yang masih berada pada masa Repelita VI,
yaitu tahun 1994-1999. Situasi penempatan TKI ke luar negeri
pada masa ini sangat terpengaruhi dampak krisis moneter tahun
1997, dimana terjadi peningkatan drastis terhadap target penempatan TKI ke luar negeri dari 500.000 orang di Repelita V, menjadi
1.250.000 orang di Pelita VI. Pada masa ini pula, proporsi penempatan ke Malaysia dan Singapura cenderung meningkat, dikarenakan kedua negara tersebut adalah negara tujuan penempatan
Adikarya IKAPI, 1999), hlm. 129.
9 Riwanto Tirtosudarmo, “Dimensi Politik Migrasi Internasional: Indonesia dan Negara Tetangga”, Arif Nasution (Ed.), Globalisasi dan Migrasi Antar Negara, (Bandung: Yayasan
Adikarya IKAPI, 1999), hlm. 151.
~ 45 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
yang terdekat secara letak dengan Indonesia.10
Pemerintahan Habibie menginisiasi dua kebijakan terkait
penempatan dan perlindungan TKI: Pertama, Keputusan Menteri (Kepmen) Tenaga Kerja RI No. 204 Tahun 1999 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesa ke Luar Negeri; Kedua, Kepmen No. 92 Tahun 1998, yang mengatur tentang skema asuransi
sosial yang dibangun untuk buruh migran. Namun tidak banyak poin yang mengatur tentang perlindungan dalam kedua
kebijakan diatas, karena keduanya hanya terpusat pada isu-isu
yang berhubungan dengan aspek manajerial dan operasional
dengan hanya sedikit menyinggung tentang perlindungan.11
Pada masa kepemimpinan berikutnya, yaitu Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), situasi penempatan dan perlindungan TKI di
luar negeri diwarnai oleh fenomena meningkatnya jumlah tenaga
kerja perempuan ke luar negeri melebihi jumlah tenaga kerja lakilaki. Data dari Kemenakertrans menunjukkan peningkatan jumlah penempatan TKI perempua pada masa kepemimpinan Gus
Dur: 302.791 TKI perempuan, dan 124.828 TKI laki-laki (1999);
297.274 TKI perempuan, dan 137.949 TKI laki-laki (2000),dan;
239.942 TKI perempuan dan 55.206 TKI laki-laki (2001).12
Fenomena meningkatnya jumlah penempatan TKI perempuan ini, juga beriringan pada meningkatnya proporsi pekerjaan sektor domestik bagi TKI di luar negeri terhadap sektor
pekerjaan lain. Hal ini mengingat pada umumnya TKI perempuan bekerja di sektor domestik, terutama sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT). Pekerjaan sektor domestik memiliki
10 Aswatini Raharto, Migrasi Tenaga Kerja Internasional di Indonesia: Pengalaman Masa Lalu,
Tantangan Masa Depan, Kertas Kerja No. 31, (Jakarta: Pusat Penelitian KependudukanLIPI, 2001), hlm. 18.
11 Komnas Perempuan, et.al. Indonesian Migrant Workers: Systematic Abuse at
Home and Abroad. (Jakarta: Komnas Perempuan, 2002), hlm. 16
12 Indonesian OverseasWorkers Data Final, Kemenakertrans RI, dikutip dari Ana
Sabhana Azmy. Negara dan Buruh Migran Perempuan: Kebijakan Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010
(Studi Terhadap Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia di Malaysia), UI-Tesis,(
Jakarta:Universitas Indonesia, 2011), hlm. 44.
~ 46 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
ragam permasalahan tersendiri, mengingat tempat bekerjanya
yang berada di lingkungan tempat tinggal privat/perseorangan,
sehingga dibutuhkan pengawasan lebih untuk menjamin perlindungan TKI sektor domestik saat berada di negara penempatan.
Sebagai upaya meningkatkan perlindungan TKI di luar
negeri, Pemerintahan Gus Dur mempertegas komitmen Departemen Luar Negeri (Deplu) kala itu untuk memberikan perlindungan yang optimal. Hal ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 109 Tahun 2001 yang
kemudian mendorong dikeluarkannya Kepmenlu (Keputusan
Menteri Luar Negeri) No. 53 Tahun 2001dan kemudian melahirkan Direktorat baru di Deplu RI yaitu Direktorat Perlindungan
Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia.13
Kepemimpinan selanjutnya di bawah Megawati Soekarnoputeri, ditandai oleh peristiwa deportasi massal yang dialami
TKI di Malaysia pada tahun 2002. Peristiwa ini menunjukkan
betapa banyak TKI tidak berdokumen yang berada di Malaysia,
yang menandakan pula ada manajemen pra-penempatan TKI
yang tidak optimal di dalam negeri. Peristiwa yang kemudian
terberitakan secara luas ini, membuat kebutuhan akan undangundang yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri tidak dapat ditawar-tawar lagi. Maka
pada masa pemerintahan inilah UU No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri (PPTKILN) disahkan.
Namun, Undang-undang ini sendiri dinilai belum cukup
melindungi karena: (1) Tidak cukup melindungi hak buruh migran; (2) Mengabaikan persoalan khas TKI penata laksana rumah tangga (TKI-PLRT) dan buruh migran tak berdokumen;
(3) Mengandung sejumlah inkonsistensi dalam pasal-pasalnya
dan (4) Memberi ruang bagi tumbuh suburnya praktek-praktek
13 Ibid., hlm. 45
~ 47 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
perdagangan manusia dalam pengiriman buruh migran.14 Dari
keseluruhan 109 pasal dalam UU No. 39 Tahun 2004 ini, sebanyak 67 pasal membahas mengenai penempatan, dan hanya 8
pasal yang membahas mengenai perlindungan.15
Perjalanan keberpihakan dan perhatian Pemerintah Indonesia terhadap proses penempatan dan perlindungan TKI di
luar negeri sejak era Orde Baru hingga Pemerintahan Megawati
Soekarnoputeri dapat dilihat sebagai berikut pada tabel 4:
Tabel IV.2
Kebijakan Pemerintah terkait Penempatan dan
Perlindungan Migrasi Tenaga Kerja (1966-2004)
No.
Era Pemerintahan dan Kebijakan yang Dihasilkan
1. Soeharto (Orde Baru, 1966-1998)
a. Peraturan Pemerintah (PP) No.4 Tahun 1970 tentang Pengerahan AKAD (Antar Kerja
Antar Daerah) dan AKAN (Antar Kerja Antar Negara.
b. Peraturan Menteri (Permen) No.5 Tahun 1988 tentang Pengiriman Tenaga Kerja ke
Luar Negeri
2. B.J. Habibie (Reformasi, 1998-1999)
a. Kepmenaker No.92 Tahun 1998 tentang Skema Asuransi Sosial bagi Buruh Migran
b. Kepmenaker No.209 Tahun 1999 tentang Penempatan TKI ke Luar Negeri
3. Abdurrahman Wahid (Reformasi, 1999-2001)
a. Permenaker No.150 Tahun 2000 tentang Pesangon untuk Antisipasi Dampak
Pemberhentian Kerja pada Buruh
b. Keppres No.109 Tahun 2001 yang mencetuskan pembentukan Direktorat Perlindungan
WNI dan BHI di Kemenlu RI
4. Megawati Soekarnoputeri (Reformasi, 2001-2004)
a. UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Luar Negeri. Pada masa inilah Indonesia memiki UU mengenai
migrasi tenaga kerja sejak era Orde Baru, dimana penempatan tenaga
kerja mulai menjadi kebijakan Pemerintah. UU ini juga mengamanatkan
pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
(BNP2TKI)
Sumber: Ana Sabhana Azmy (2011)
14 Lembar Info Komnas Perempuan, Vol.I, April 2006.
15 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kemenlu RI dan UKHP Universitas Airlangga, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI
di Luar Negeri, (Jakarta: BPPK Kemenlu RI, 2011), hlm. 6.
~ 48 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Pada tabel klasifikasi diatas, dapat terlihat bahwa dibutuhkan waktu sekitar 16 tahun hingga akhirnya melahirkan
undang-undang yang secara khusus mengatur migrasi tenaga
kerja. Undang-undang ini pun mendapat berbagai masalah dalam implementasinya, yang lebih jauh baru berjalan pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
c. Era Susilo Bambang Yudhoyono
Awal masa pemerintahan SBY diwarnai oleh maraknya
pemberitaan mengenai permasalahan-permasalahan yang menimpa TKI di Malaysia, termasuk di dalamnya tindak penganiayaan, dan proses penyelesaian permasalahan TKI di negara
penempatan yang sering terkatung-katung. Sekalipun telah
hadir UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, namun implementasi UU ini
di lapangan kerap menemui hambatan, hal ini juga berkaitan
dengan substansi UU yang lebih banyak mengatur mengenai
prosedur penempatan, dan masih sangat sedikit mengatur
mengenai penyiapan dan pendidikan calon TKI serta mekanisme perlindungan TKI di luar negeri.
Perhatian Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
terhadap proses penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dapat dilihat dari beberapa kebijakan terkait migrasi tenaga
kerja yang dihasilkan pada masa ini, kebijakan ini juga merupakan upaya implementasi dari UU No.39 Tahun 2004 yang
membutuhkan beberapa peraturan teknis dalam pengimplementasiannya. Ana Sabhana Azmy telah merangkum beberapa
kebijakan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terkait
proses penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia,
yang tertuang dalam tabel 5 berikut:
~ 49 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Tabel IV.3
Kebijakan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
terhadap Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia
No.
Kebijakan yang Dihasilkan
1. Perpres No.81 Tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), dimana struktur operasional
kerjanya melibatkan berbagai unsur instansi pemerintah pusat terkait
pelayanan buruh migran Indonesia, antara lain, Kemenlu, Kemenhub,
Kemenakertrans, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi (Kemenhukam), Setneg, dan lain-lain.
2. Inpres No.6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKILN. Inpres ini dibentuk atas instruksi Presiden
SBY pada jajaran kementerian sebagai output dari keluh kesah buruh migran Indonesia di Malaysia dan Qatar. Namun, pada tahap penyusunan
kebijakan ini, para organisasi buruh migran dan buruh migran itu sendiri tidak diundang. Poin penting dari proses penempatan buruh migran
melalui inpres ini adalah penyederhanaan dan desentralisasi pelayanan
dan penempatan TKI dan peningkatan kualitas dan kuantitas calon TKI.
Adapun terdapat pula penguatan fungsi perwakilan di negara tujuan penempatan dalam hal peningkatan perlindungan.
3. Inpres No.3 Tahun 2006 mengenai Paket Kebijakan Iklim Investasi. Pada
inpres ini terdapat suatu poin yang menyebutkan tentang penghilangan
kepemilikan Balai Latihan Kerja (BLK) dari syarat berdirinya PPTKIS
(Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta). Mekanisme
ini sudah baik mengingat banyak PPTKIS melakukan kebohongan bahwa
calon TKI telah dilatih di BLK-nya.
4. Keppres No.2 Tahun 2007 tentang Pembentukan BNP2TKI dengan
Jumhur Hidayat sebagai pimpinannya. Pada faktanya, pembentukan
BNP2TKI membuat calon TKI kebingungan mengingat ada dua pintu rekrutmen dan keberangkatan yaitu BNP2TKI dan Kemenekertrans.
5. Permenakertrans No.18 Tahun 2007, tentang Pelaksanaan dan Penempatan Perlindungan TKI
6. Permenakertrans No.14 Tahun 2010 yang membahas tentang pemisahan
tanggung jawab antara Kemenakertrans sebagai regulator dan BNP2TKI
sebagai penanggung jawab operasional
7. Permenakertrans No.7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI
~ 50 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Selain kebijakan-kebijakan yang tertulis di atas, terdapat
pula beberapa kebijakan lain yang utamanya mengatur mengenai peningkatan pelayanan dan penyiapan keberangkatan calon
TKI, diantaranya: 1) Kepmenaker No.14 Tahun 2005 tentang Tim
Pencegahan Pemberangkatan TKI Non-Prosedural dan Pelayanan Pemulangan TKI; 2) Permenakertrans No.5 tahun 2009 tentang Pelaksanaan Penyiapan Calon TKI untuk Bekerja di Luar
Negeri, dan; 3) Permenakertrans No.23 Tahun 2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan bagi Calon TKI di Luar Negeri.
2. Malaysia sebagai Negara Tujuan Pekerja Migran
Indonesia
Malaysia adalah tujuan utama penempatan Buruh Migran Indonesia (BMI) di wilayah Asia Pasifik. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) tahun 2010 menunjukkan bahwa 123.826 BMI telah
ditempatkan di Malaysia pada tahun 2009 dengan jumlah yang
meningkat dari tahun ke tahun.16 Keberadaan buruh migran
Indonesia di Malaysia tidak dapat dilepaskan dari persoalan
internal Indonesia. Persoalan internal yang dihadapi Indonesia
adalah kurangnya lapangan kerja yang yang berdampak pada
tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.
Pusat Data Informasi (Pusdatin) Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Kemenakertrans) RI mencatat ada 22.753.520
angka pengangguran terbuka17 di tahun 2005. Pada tahun 2006
menjadi 22.036.693 orang dan 20.559.059 orang di tahun 2007.
Tahun 2008 jumlah ini menjadi 18.822.105 orang dan 9.258.964
16 Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
diunduh dari http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/ diunduh pada tanggal 22 September 2012 Pukul 22.10.
17 Penganggur terbuka didefinisikan oleh Sakernas (Survei Tenaga Kerja Nasional) sebagai
orang yang sedang mencari pekerjaan atau yang sedang mempersiapkan usaha atau juga
yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin lagi mendapatkan pekerjaan,
termasuk juga mereka yang baru mendapat kerja tetapi bellum mulai bekerja. Pengangguran
terbuka tidak termasuk orang yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga, sehingga
hanya orang yang termasuk angkatan kerja saja yang merupakan pengangguran terbuka.
Disadur dari Ana Sabhana, Op.cit., hlm. 1.
~ 51 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
orang berstatus sebagai penganggur terbuka hingga bulan Februari 2009.18 Bagi sebagian besar buruh migran Indonesia, Malaysia merupakan negara tujuan utama sejak dua dekade lalu.
Faktor kedekatan jarak geografi, persamaan adat/budaya dan
bahasa serta terbukanya peluang pekerjaan di berbagai sektor
selama ini dinilai telah mendorong pekerja migran Indonesia
bermigrasi ke Malaysia.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi tingginya arus
migrasi dari para buruh migran Indonesia ke Malaysia:19 Pertama, terdapat masalah ketenagakerjaan internal baik di Malaysia
maupun di Indonesia. Malaysia mengalami kelangkaan tenaga
kerja setelah proses industrialisasi dimulai, sedangkan Indonesia
mengalami surplus tenaga kerja setelah mengalami ledakan angka kelahiran dan angkatan kerja pada masa-masa awal setelah
kemerdekaan. Kondisi ini membuat arus migrasi pekerja migran
Indonesia ke Malaysia terus meningkat seiring dengan sulitnya
mencari pekerjaan di Indonesia, serta terbukanya beberapa sektor pekerjaan di Malaysia bagi pekerja migran Indonesia.
Kedua, kondisi perekonomian Malaysia yang lebih baik dari
Indonesia dan jumlah ketersediaan tenaga kerja yang jauh lebih
rendah dari Indonesia, membuat upah buruh di Malaysia jauh
lebih tinggi daripada di Indonesia. Sebagai gambaran, seorang
buruh bangunan di Malaysia memperoleh penghasilan RM 728
per bulan (sekitar Rp 2,3 Juta) yang kurang lebih sama dengan
penghasilan pekerja yang tamat SMA atau Sarjana di Indonesia. Bahkan untuk buruh bangunan di Kuala Lumpur, seorang
buruh dapat memperoleh antara RM 832-RM 1842 per bulan
18 Berdasarkan Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja, Pusat Data dan informasi
Ketenagakerjaan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi, Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI, 2009, hlm. 42, sebagaimana diolah oleh Ana Sabhana, Op.cit.,
hlm.1.
19 Mei Lin, A Study on Indonesian Labour Migrants in Malaysia, ICS Working Paper
No.2006-11, (Kuala Lumpur: Institute of China Studies, University of Malaya: 2006), hlm. 13,
diunduh dari http://ics.um.edu.my/images/ics/workingpaper/2006-11.pdf pada hari Kamis, 18
Oktober 2012 pukul 20.39 WIB.
~ 52 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
(Rp 2,3 juta-. Rp 5,8 juta per bulan).20 Berikut adalah beberapa
perbandingan kondisi ekonomi antara Indonesia dan Malaysia
yang disusun oleh Asian Development Bank: 21
Tabel IV.4
Perbandingan Kondisi Ekonomi Indonesia dan Malaysia
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Indikator Kunci
Jumlah penduduk (juta ) (tahun 2004)
Jumlah penduduk usia kerja (juta) (tahun 1997)
Jumlah pengangguran (juta) (tahun 2003)
Tingkat pengangguran (%) (tahun 2003)
GDP per kapita (USD) (tahun 2000)
Indeks kemiskinan (1 USD/hari) (tahun 2003)
Indeks kemiskinan (2 USD/hari) (tahun 2003)
Indonesia
Malaysia
216,0
113,0
9,5
9,5%
728
6,5%
50,5%
25,6
13,0
0,3
3,6%
3881
0,2%
9,0%
Sumber: Key Indicators 2005 dilansir oleh Asian Development Bank
Ketiga, kedekatan geografis, sejarah dan budaya antara Indonesia dan Malaysia. Posisi Malaysia yang bertetangga dengan Indonesia, membuat buruh migran dapat dengan mudah masuk ke
wilayah Malaysia, ini pula salah satu maraknya buruh tak berdokumen yang masuk ke wilayah tanpa jalur yang resmi baik lewat
darat ataupun laut. Mobilitas buruh migran Indonesia ke Malaysia
juga sudah berlangsung sejak masa kolonial bahkan sebelumnya.
Tidak sedikit masyarakat Malaysia yang masih memiliki darah
Indonesia, yang merupakan keturunan para perantau Indonesia
di masa lalu. Dari sisi kebudayaan pun, Malaysia memiliki kesamaan agama dan etnis dengan Indonesia, yaitu agama Islam dan
etnik Melayu. Migrasi pekerja migran dari Indonesia ke Malaysia
pun didukung oleh kebijakan politik Pemerintah Malaysia untuk
mempertahankan keseimbangan komposisi antara etnis Melayu
dengan Cina dan India.
Keempat, peranan calo atau taekong yang memainkan peranan
20 Suhartono, “TKI dan Implikasinya terhadap Hubungan Indonesia-Malaysia Pasca Penerapan
UU Imigrasi Malaysia No.1154”, dalam Poltak Partogi, Op.cit., hlm.158.
21 Sebagaimana dikutip oleh Mei Lin, Op.cit., hlm.14.
~ 53 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
penting dalam menarik minat calon pekerja migran Indonesia untuk bermigrasi ke Malaysia. Mereka berperan sebagai perantara
dalam proses perekrutan atau bisa juga mengurus proses migrasi
dengan imbalan bayaran dua kali lipat dari jumlah biaya resmi.
Seringkali, mereka berperan juga sebagai sponsor yang membiayai keseluruhan proses migrasi. Jaringan antara calo dan agensi
perekrutan yang telah berlangsung bertahun-tahun tersebut telah
melembaga dan mendorong tumbuhnya industri pekerja migran
di Indonesia. Faktor-faktor di atas melatarbelakangi tingginya
proporsi buruh migran Indonesia di Malaysia dibandingkan dengan buruh migran dari negara lain-lain.
Menurut catatan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
di Kuala Lumpur, Malaysia, jumlah pekerja migran Indonesia
berdokumen yang bekerja di Malaysia pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 1,2 juta orang, yang terdiri dari 310 ribu orang
buruh di perkebunan, 294 ribu orang pekerja rumah tangga, 200
ribu orang buruh manufaktur, 100 ribu orang buruh di sektor
jasa, dan selebihnya sekitar 90 ribu orang bekerja di sektor pertanian. Sementara itu juga KBRI KBRI memperkirakan jumlah
buruh migran tak berdokumen mencapai 800 ribu orang.22
Tabel IV.5
Sektor-sektor dimana Pekerja Migran Indonesia Bekerja di
Malaysia (2005)
No.
Sektor Pekerjaan
1. Perkebunan
2. Domestik/PRT
3. Konstruksi
4. Manufaktur
5. Jasa
6. Pertanian
Jumlah
Jumlah dan Proporsi Buruh Migran
310.000 (25,5%)
294.000 (24,2%)
220.000 (18,1%)
200.000 (16,5%)
100.000 (8,2%)
90.000 (7,5%)
1.214.000 (11,0%)
Sumber: KBRI Kuala Lumpur, 2005.
22 The Institute for Ecosoc Rights, Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI: Antara
Indonesia-Singapura-Malaysia, (Jakarta: The Insitute for Ecosoc Rights, 2010), hlm.105.
~ 54 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
3.
Pasang Surut Arus Migrasi Indonesia Malaysia
Hubungan ketenagakerjaan Indonesia-Malaysia dapat
dikatakan merupakan bagian dari fenomena migrasi penduduk
yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Masyarakat Filipina, Indonesia dan Malaysia. Yang dikenal sebagai komunitas Melayu,
telah menjalin hubungan cukup luas sejak lama melalui kegiatan-kegiatan perdagangan dan berbagai interaksi lainnya.
Mobilitas penduduk yang terjadi secara spontan di Asia Tenggara ini sempat menglamai penurunan ketika negara-negara di
kawasan ini memasuki masa kolonialisme Eropa. Negara-negara kolonial, sepeerti Inggris dan Belanda, tidak saja membuat
kebijakan garis batas wilayah, tetapi juga membuat kebijakan
yang berkaitan dengan kependudukan di masing-masing koloninya.23 Jumlah struktur dan faktor penentu arus masuk pekerja
migran dari Indonesia ke Malaysia bervariasi dari waktu-waktu. Arus masuk ini dapat dibagi menjadi enam tahap.24 Siklus
arus migrasi buruh migran ke Malaysia ini terkait dengan siklus
bisnis dan perubahan stuktur ekonomi Malaysia.
a. Tahap I: Era Pra-Kolonial dan Semasa Kolonialisme (19001957)
Migrasi dari Indonesia dan wilayah Asia lain ke Malaysia
tidak dapat dilepaskan dari strategi pendiri Singapura, Thomas
Stamford Raffles (1781-1826) yang sedang mempromosikan
Singapura sebagai pusat perdagangan baru di Selat Malaka dan
Semenanjung Malaya. Setelah tahun 1870, Pemerintah Kolonial
Inggris melanjutkan strategi ini yang menegaskan tidak ada
larangan untuk bermigrasi ke wilayah Semenanjung Malaya.
Kebijakan imigrasi liberal (Liberal Immigration Policy) bertahan
hingga tahun 1930, di saat kuota migrasi mulai diberlakukan. 25
23 Graeme Hugo, ”International Migration in Southeast Asia since World War II”, dalam Aris
Ananta dan Evi Nurvidya Arifin, (Ed.), International Migration in Southeast Asia,
(Singapura: ISEAS, 2004), hlm.30-31.
24 The Instite of Ecosoc Rights, Op.cit., hlm. 25
25 Amarjit Kaur, Mobility, Labour Mobilisation and Border Controls: Indonesian
Labour Migration to Malaysia Since 1900, Papaer yang disajikan dalam 15th Bien-
~ 55 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Kehadiran dari para migran awal Indonesia dapat ditemukan jejaknya di hampir seluruh wilayah Semenanjung Malaysia, terutama di negara bagian Negeri Sembilan, Selangor, Johor
dan Perak.26 Para migran awal ini hadir saat pemerintah kolonial Inggris mulai membuka pintu masuk bagi para pekerja
migran dari Jawa dan wilayah lain Indonesia, guna memenuhi
kebutuhan tenaga kerja yang tidak dapat dipenuhi oleh buruh
migran dari Cina dan India Selatan. Pemerintah kolonial Inggris
memandang dan memperlakukan imigran dari Indonesia ini
berbeda dari imigran yang datang dari Cina atau India Selatan.
Imigran dari Indonesia ini dianggap berasal dari ras yang sama
dengan masyarakat Melayu di Semenanjung. Kebijakan diferensiasi pekerja migran berdasarkan ras ini kemudian berlanjut dan
memiiki dampak yang besar pada struktur pekerja migran yang
masuk ke Malaysia setalah kemerdekaannya tahun 1957.27
Banyak dari migran Indonesia ini kemudian menetap dan
memiliki keturunan, sehingga saat Malaysia memperoleh kemerdekaan, para keturunan ini diberikan pilihan untuk memiliki kewarganegaraan Malaysia. Para keturunan migran awal
Indonesia ini kemudian menjadi bagian dari etnik Bumiputera
di Malaysia. Keturunan Indonesia di Malaysia juga dibentuk
oleh migrasi spontan masa lalu, dimana calon jemaat haji Indonesia di masa lalu menjadikan Singapura dan Malaysia sebagai tempat transit untuk bekerja dan melengkapi perbekalan
sebelum melanjutkan perjalanan ke Mekah. Sepulangnya dari
ibadah haji, banyak dari jemaat haji Indonesia ini kembali ke
Singapura dan Malaysia untuk bekerja, menetap dan kemudian
berketurunan.28
nial Coference of The Asian Studies Association of Australia di Canberra, 29 Juni-2 Juli 2004,
hlm. 3, diunduh dari http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/ASAA/biennial-conference/2004/
Kaur-A-ASAA2004.pdf pada hari Jumat, 19 Oktober 2012 pukul 19.48 WIB.
26 Azizah Kassim, “The Unwelcome Guests: Indonesian Immigrants and Malaysian Public Responses”, dalam Southeast Asian Studies, Vol. 25 No.2, Sptember 1987, hlm. 267
27 Kaur, Op.cit., hlm.4.
28 Calon jemaat haji Indonesia ini umumnya berasal dari Pulau Bawean Jawa Timur. Lihat,
~ 56 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
b. Tahap II: 1957-1980
Migrasi pekerja migran Indonesia ke Malaysia menurun
saat berlangsungnya Perang Dunia II, dan kemudian sempat
merangkak naik, sebelum terjun drastis saat terjadi konfrontasi
antara Indonesia dan Malaysia di tahun 1963. Pada masa Sabah
dan Serawak belum masuk bergabung pada Federasi Malaysia,
banyak warga Indonesia yang tinggal di perbatasan Kalimantan Timur dan Sabah. Saat ditandatanganinya perjanjian lintas
batas antara pemerintah Indonesia dan Malaysia, warga yang
tinggal di perbatasan ini kemudian menyeberang ke Malaysia
dan berpindah kewarganegaraan. Sebagian dari warga ini bermigrasi karena desakan ekonomi, dan sisanya mencari perlindungan dari kerusuhan yang ditimbulkan gerakan separatis di
Kalimantan sejak tahun 1940-an. Mereka yang bermigrasi ini
kemudian bekerja sebagai serdadu tentara diraja Malaysia, pegawai di kesultanan, atau bekerja di sektor pertanian.29
Setelah konfrontasi berakhir pada tahun 1966, dengan
ditandatanganinya normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia,
berangsur-angsur arus pekerja migran Indonesia kembali normal dan cenderung meningkat. Hal ini tejadi terutama setelah
Malaysia menerapkan “Kebijakan Ekonomi Baru” di tahun
1971. Pada pertengahan tahun 1970-an, jumlah pekerja migran
Indonesia meningkat drastis, dan pekerja migran Indonesia
tidak hanya bekerja di sektor pertanian di pedesaan sebagaimana masa-masa sebelumnya, tetapi juga di sektor domestik dan
konstruksi yang kebanyakan berada di wilayah perkotaan.30
Kedatangan imigran dari Indonesia ke Malaysia di tahun
1970-an, antara lain disebabkan oleh adanya permintaan khusus
Jacob Vredenbergt, Bawean and Islam, terj. A,B. Lapian (Jakarta: INIS, 1990), sebagaimana dikutip oleh Ida Bagoes Mantra, “Indonesian Labour Mobility to Malaysia: A Case
study East Flores, West Lombok, and the Island of Bawean, dlm Suhamdi, et.al.,Op.cit.,
hlm. 145.
29 Suko Bandiyono dan Fadjri Alihar, “A Review of Research Work on International Migration in
Indonesia”, dalam Suhamdi, et.al., Op.cit., hlm. 120
30 Kassim, 1987, Op.cit., hlm. 268
~ 57 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
dari pemerintah Malaysia yang disampaikan oleh Perdana Menteri Tun Abdul Razak kepada Presiden Soeharto dalam sebuah
pertemuan informal tahun 1974. Saat itu, Malaysia yang bernama
Persekutuan Tanah Melayu tidak siap menghadapi persaingan
dengan etnik Cina. Dalam pertemuan tersebut, Pemerintah Malaysia meminta warga negara Indonesia, yang masih merupakan
saudara serumpun Melayu, untuk datang ke Malaysia demi meningkatkan komposisi penduduk Melayu untuk mengimbangi
jumlah penduduk etnik Cina dan India di Malaysia.31
Pada tahun 1976, jumlah pekerja migran dari Indonesia
sedemikian besar hingga akhirnya menarik perhatian dari publik Malaysia. Hal ini merupakan perkembangan terbaru atas
eksistensi pekerja migran Indonesia di Malaysia. Hal ini dikarenakan pekerja migran Indonesia yang kini telah merambah
sektor pekerjaan di perkotaan, dari sebelumnya bekerja di pertanian atau perkebunan kelapa sawit dan karet yang jauh dari
hingar bingar publik. Respon publik terhadap pekerja migran
Indonesia terjadi terutama di negara bagian Johor, yang merupakan pintu masuk utama pekerja migran tak berdokumen dari
Indonesia untuk wilayah Semenanjung Malaya.32
Hal ini kemudian direspon oleh Pemerintah Malaysia,
dengan mengadakan razia dan penggerebekan di wilayah kantung imigran tak berdokumen asal Indonesia bertempat tinggal,
dan juga di lokasi-lokasi perkebunan atau konstruksi dimana
banyak pekerja migran tak berdokumen asal Indonesia dipekerjakan. Dengan kedatangan pekerja migran asal Indonesia yang
terus membanjiri Malaysia, Pemerintah Malaysia kemudian
menghadapi sebuah dilema saat harus merespon publik Malaysia yang mulai resah atas banyaknya pekerja migran asal Indonesia. Di satu sisi, Malaysia tetap membutuhkan banyak pekerja migran untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di sektor
agrikultur dan konstruksi yang mulai ditinggalkan tenaga kerja
31 Simela Victor, Op.cit., hlm.11.
32 Kassim, Op.cit.
~ 58 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
lokal, namun di satu sisi lain, kehadiran pekerja migran Indonesia ini menimbulkan dampak perubahan struktur sosial ekonomi dan stabilitas politik di Malaysia.
c. Tahap III: 1981-1988
Pada tahap ini Pemerintah Malaysia berupaya melegalisasi
perekrutan tenaga kerja asing dengan membuat saluran resmi untuk perekrutan tenaga kerja asing dan menandatangani
perjanjian bilateral dengan beberapa negara pengirim pekerja
migran yang utama. Pada tahun 1982 didirikan Komite untuk
Perekrutan Tenaga Kerja Asing (Comittee for the Recruitment of
Foreign Worker) dan pada tahun 1984 Malaysia menandatangani
perjanjian bilateral Government to Government (G to G) dengan
Pemerintah Indonesia di Medan, Sumatera Utara guna mengatur penyediaan pekerja migran Indonesia untuk dipekerjakan
di sektor perkebunan dan domestik. 33
Pada tahun 1985, buruh migran tak berdokumen jumlahnya makin meningkat sehingga Pemerintah Malaysia mengambil langkah tegas untuk mengatasinya. Gugus tugas khusus
dibentuk oleh Pemerintah Malaysia dibentuk guna mengawasi
eksistensi buruh migran tak berdokumen asal Indonesia, gugus
tugas ini dikenal dengan sebutan Task Force VII. Gugus tugas
ini kemudian melakukan identifikasi dan patroli di titik-titik
wilayah dimana buruh migran masuk secara ilegal ke Malaysia.
Gugus tugas ini bekerjasama dengan kepolisian, angkatan laut,
angkatan udara serta pasukan sipil sukarela yang disebut dengan RELA.34 Tim gabungan ini kemudian mengadakan berbagai
pengintaian, penggerebekan, serta penangkapan terhadap buruh migran Indonesia untuk kemudian dimasukkan kedalam
rumah detensi dan dapat berujung pada deportasi.
Pada dekade ini juga Malaysia terkena dampak resesi
ekonomi dunia akibat krisis minyak dan melonjaknya harga kebutuhan barang-barang primer. Pertumbuhan manufaktur yang
33 Ibid.,
34 Ibid., hlm. 269.
~ 59 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
dijadikan andalan program NEP mulai mengalami penurunan
keuntungan, sehingga banyak industri di Malaysia menghentikan produksinya dan menyebabkan peningkatan angka pengangguran. Keadaan ini menyebabkan penduduk Malaysia
dan TKI (khususnya TKI tidak berdokumen) mulai bersinggungan dalam pasar kerja, dan kemudian saling berkompetisi secara langsung di pasar tenaga kerja Malaysia. Hal ini juga menjadi faktor utama mengapa usaha penangkapan dan penindakan terhadap pekerja migran tak berdokumen asal Indonesia
oleh publik Malaysia, dan berita-berita mengenai penangkapan
pekerja migran tak berdokumen ini senantiasa menghiasi halaman depan surat kabar Malaysia setiap minggunya.
d. Tahap IV: 1988-1996
Pemerintah Malaysia pada tahap ini mulai menerapkan kebijakan pengampunan (amnesti) yang ditujukan untuk pekerja domestik dan kemudian diperluas untuk pekerja di sektor
perkebunan dan konstruksi. Secara teknis, kebijakan ini memerintahkan para pengusaha Malaysia yang mempekerjakan
pekerja migran Indonesia yang tidak berdokumen untuk segera
mendaftarkan para pekerjanya tersebut ke Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Setelah masa amnesti berakhir, tindakan represif kembali
mulai dilakukan, Polisi Malaysia bergerilya menangkapi para
tenaga kerja Indonesia yang tidak berdokumen. Pada waktu itu,
tercatat 12.582 tenaga kerja Indonesia dideportasi dari Malaysia. Tahun 1992 kebijakan pengendalian pekerja migran kembali
diketatkan oleh Pemerintah Malaysia dengan operasi militer yang
disebut Ops Nyah I dan II. Pada waktu itu, sekitar 40.000 tenaga
kerja Indonesia dideportasi dan 1000 lainnya dipenjara.35 Pada era
ini polisi dikerahkan untuk menjaga daerah-daerah pantai untuk
mencegah masuknya pekerja migran tak berdokumen.
Era ini juga ditandai oleh implementasi sistem perekrutan
buruh migran secara resmi yang didasarkan semata-mata pada
35 Komnas Perempuan, Op.cit.,hlm. 52.
~ 60 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
perekrutan jarak jauh. Pada era ini, Pemerintaah Indonesia membentuk satu perusahaan tunggal (PT. Bijak) pada tahun 1992 untuk mengawasi bisnis perekrutan tenaga kerja dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dalam mengontrol perekrutan
tenaga kerja.36 Hal ini berkaitan dengan kesediaan buruh migran
tak berdokumen asal Indonesia yang bersedia menerima upah
lebih rendah dari standar gaji nasional di Malaysia, dan mengganggu posisi tawar pekerja lokal Malaysia. Beberapa serikat buruh lokal di Malaysia semisal National Union of Plantation Worker
(NUPW) dan Malaysia Trade Union Congress (MTUC) turut mendesak Pemerintah Malaysia agar membicarakan masalah disparitas upah ini dengan Pemerintah Indonesia.37
e. Tahap V: 1997-1998
Pada era ini sebagian besar negara-negara Asia, termasuk
Asia Tenggara diterpa krisis ekonomi yang membuat masingmasing negara perlu merestrukturisasi ekonominya, termasuk
dalam hal ketenagakerjaan, Malaysia dan Indonesia tidak luput
dari krisis ekonomi ini. Selama era ini pemerintah Malaysia memaksakan pelarangan total untuk memasukkan buruh migran
dan menerapkan kebijakan penghematan serta pemulangan
buruh migran. Secara umum, jumlah buruh migran berkurang
sebsar 38% dari 1,2 juta orang pada tahun 1997 menjadi 780 ribu
orang pada tahun 1998.38
Upaya untuk mengontrol buruh migran tak berdokumen
terus berlanjut, salah satunya dengan program amnesti. Dengan
program ini buruh migran tak berdokumen dapat kembali ke
negara asal tanpa dikenai hukuman. Pada era ini pula Malaysia
menjalankan sistem pemberian kerja berdasarkan perekrutan jarak
jauh (offshore). Selain itu, Pemerintah Malaysia juga berusaha mulai
melepaskan ketergantungan terhadap pekerja migran asal Indonesia, dengan melakukan diversifikasi negara pengirim pekerja
36 Kaur, Op.cit., hlm.20.
37 Simela Victor, Op.cit., hlm.13.
38 Data dari Bank Negara Malaysia tahun 2004 yang dikutip oleh The Institue of Ecosoc Rights,
Op.cit., hlm. 30
~ 61 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
migran. Pemerintah Malaysia juga melakukan pemeriksaan kesehatan yang lebih ketat dibanding masa-masa sebelumnya.
f. Tahap VI: 1999-2011
Tahap ini diawali oleh pemulihan ekonomi dari krisis
dan kebijakan yang memudahkan untuk mempekerjakan buruh migran. Arus masuk buruh migran Indonesia ke Malaysia
perlahan meningkat. Keberadaan buruh migran tak berdokumen menurun dengan adanya kebijakan amnesti yang diikuti
dengan hukuman, baik terhadap buruh yang tak berdokumen
maupun majikan yang mempekerjakannya, sehingga cukup
memberikan efek jera. Pemerintah Malaysia mulai menekankan
pula penggunaan buruh migran yang terampil dan terlatih. Jika
majikan dapat membuktikan bahwa buruh migran yang mereka
pekerjakan itu terampil, mereka dapat memperpanjang kontrak
buruh migran yang mereka pekerjakan.
Pulihnya ekonomi Malaysia dari krisis kembali meningkatkkan jumlah buruh migran, dari sekitar 847 ribu pada tahun
2002 menjadi 1,1 juta orang pada tahun 2003. Pada Desember
2005 jumlah buruh berdokumen mencapai 1,9 juta orang.39
Data tersebut menunjukkan jumlah buruh migran terkait dengan tingkat perkembangan ekonomi dan keberhasilan dalam
mencegah migrasi ilegal. Meningkatnya jumlah buruh migran
berdokumen sepanjang tahun 2002-2005 dilatarbelakangi oleh
adanya kebijakan dan tindakan Pemerintah Malaysia yang ditujukan untuk membendung migrasi ilegal.
Pada tahun 2002, terjadi peristiwa deportasi yang luar biasa
menyita perhatian adalah saat sekitar 550.00 BMI dipulangkan
oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 2002 pasca pemberlakuan
undang-undang imigrasi baru di Malaysia. Undang-undang
yang bertajuk Akta Imigresen Nomor A-1154 Tahun 2002 ini adalah
pengganti Akta Imigresen Nomor 63 Tahun 1959. 40 Dalam undang39 Ibid., hlm.31.
40 Achmad Sujudi et.al, Menyelamatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Nunukan.
(Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2004), hlm. 4.
~ 62 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
undang baru ini, tenaga kerja asing yang kedapatan tidak memiliki dokumen yang sah akan ditangkap dan dihukum. Banyaknya
pekerja migran Indonesia yang kedapatan tidak berdokumen
lengkap akhirnya menjadi korban dalam kasus ini dan kemudian
menumpuk di penampungan sementara Nunukan, Kalimantan
Timur. Kebijakan pemulangan paksa atau deportasi oleh pemerintah Malaysia terhadap pekerja migran Indonesia tidak berdokumen seakan-akan selalu menyertai perjanjian bilateral ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia.
Setelah peristiwa tersebut, elit-elit politik di kedua negara
saling melontarkan kecaman, yang kemudian memicu insiden
pembakaran bendera Malaysia di Jakarta. Malaysia membalas
secara reaktif dengan mengeluarkan travel warning bagi warga
negaranya yang akan bepergian ke Indonesia. Periode tersebut
dapat dikatakan sebagai salah satu titik terburuk dalam hubungan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia yang telah
terjalin berpuluh-puluh tahun lamanya. Sejak saat itu, hubungan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia mengalami
pasang surut yang lebih besar.
Pada tahun 2002 pernah ada upaya dari kedua negara untuk memperbaiki hubungan ketenagakerjaan dengan ditandatanganinya MoU (Memorandum of Understanding/Nota Kesepahaman) mengenai penempatan BMI antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia. Di dalam MoU tersebut telah
diatur sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan penempatan
BMI di Malaysia. Namun dalam prakteknya di lapangan kemudian, ternyata masih banyak dijumpai pelanggaran atau pun
penyimpangan prosedur, bahkan keberadaan BMI tidak berdokumen di Malaysia cenderung meningkat.41
Dalam upaya meningkatkan perlindungan dan pelayanan
buruh migran Indonesia di Malaysia, Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi di masa Erman Suparno membentuk tim negosiator yang membahas kembali MoU penempatan TKLN (Tenaga
41 Simela Victor, Op.cit.,hlm. 17.
~ 63 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Kerja Luar Negeri) ke Malaysia. Pembahasan kembali MoU ini kemudian berujung pada kebijakan moratorium atau penghentian
sementara penempatan TKI sektor penatalaksana rumah tangga
(domestic worker) ke Malaysia sejak 26 Juni 2009 yang dimaksudkan
agar kedua negara melakukan pembenahan dalam mekanisme penempatan serta perlindungan buruh migran. Pada dasarnya di
balik penetapan kebijakan ini adalah pada MoU tahun 2006 yang
mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia. Moratorium yang kemudian dicabut pada awal Desember
2011, memberikan sebuah titik baru relasi ketenagakerjaan Indonesia, dengan masuknya beberapa klausa yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia dalam perjanjian perlindungan TKI semisal
paspor yang dipegang TKI, dari sebelumnya dipegang oleh majikan sebagaimana diatur dalam MoU sebelumnya.
4.
Industrialisasi dan Kebutuhan Malaysia akan Pekerja
Sektor Domestik
Malaysia adalah salah satu negara yang menjalankan industrialisasi dalam salah satu rencana pembangunan ekonomi
nasionalnya. Kebijakan ini dikenal sebagai New Economic Policy
(NEP) yang mulai diterapkan pada tahun 1971. Kebijakan tersebut memacu ekspansi industri di Malaysia, terutama sektor manufaktur yang kemudian diikuti oleh penambahan kesempatan
kerja di sektor perdagangan, jasa dan birokrasi yang hampir
seluruhnya terpusat di daerah perkotaan.42 Jumlah kebutuhan
tenaga kerja terus meningkat dalam kurun waktu 1987 hingga
1997, dengan rata-rata kenaikan 3,7 % setiap tahun, sedangkan
pertumbuhan angka tenaga kerja lokal hanya mencapai rata-rata
3,1 % setiap tahunnya, ketidakseimbangan neraca tenaga kerja
iniliah yang kemudian dipenuhi oleh tenaga kerja migran.43
42 Simela Victor Muhammad dan Adirini Pujiyanti, “Migrasi TKI ke Malaysia”, dalam Poltak Partogi Nainggolan, TKI dan Hubungan Indonesia-Malaysia, (Jakarta: Pusat Pengkajian
Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005), hlm. 10
43 Mei Lin, A Study on Indonesian Labour Migrants in Malaysia, ICS Working Paper
No.2006-11, (Kuala Lumpur: Institute of China Studies, University of Malaya: 2006), hlm. 13,
~ 64 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Salah satu implikasi dari kebijakan ekonomi tersebut adalah
terbukanya peluang bagi perempuan Malaysia untuk bekerja di
luar rumah, khususnya di sektor industri dan jasa di luar urusan
rumah tangga dan merawat anak. Akibatnya, banyak perempuan
Malaysia harus pergi bekerja di luar rumah. Kekosongan tenaga
kerja di rumah tangga kemudian menciptakan kebutuhan akan
penatalaksana rumah tangga (PLRT) yang menggantikan tugas
perempuan kelas menengah Malaysia dalam menjaga anak dan
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Karena adanya ketidakmampuan publik Malaysia dalam mempekerjakan orang lokal di
sektor domestik dan juga semakin berkurangnyanya jumlah PLRT
lokal, publik Malaysia kemudian mulai mempekerjakan PLRT migran. Pada pertengahan 1980 sekitar 4.000 PLRT asal Filipina dan
Indonesia mulai masuk ke Malaysia. Pada tahun 1980-an hanya
PLRT asal Filipina dan Indonesia yang diizinkan masuk ke Malaysia, namun memasuki tahun 1990-an, PLRT asal Thailand, Kamboja dan Sri Lanka pun diizinkan bekerja di Malaysia.44
Malaysia bersama Singapura merupakan negara kantung
penerima migran utama di Asia Tenggara. Pada tahun 2010,
jumlah imigran di Malaysia menyentuh angka 2,4 juta orang
atau sekitar 8,4 % dari total populasi.45 Remiten yang keluar
(outflow remittance) dari Malaysia juga merupakan yang terbesar
di Asia Tenggara, dimana mencapai angka $ 6,4 Milyar.46 Hal
ini berkaitan dengan kebutuhan Malaysia akan buruh migran
guna memenuhi jumlah angkatan kerja di beberapa sektor yang
mulai ditinggalkan penduduk lokal, semisal perkebunan, konstruksi, dan sektor-sektor informal, semisal PLRT.47
44
45
46
47
diunduh dari http://ics.um.edu.my/images/ics/workingpaper/2006-11.pdf pada
hari Kamis, 18 Oktober 2012 pukul 20.39 WIB.
Institute of Ecosoc Rights, Op.cit., hlm. 107.
International Office of Migration (IOM), World Migration Report 2010, The Future of
Migration: Building Capacities for Change, (Jenewa: IOM, 2010), hlm. 171.
Ibid., hlm.172.
International Labour Organization (ILO), mendefinisikan pekerja sektor informal sebagai seseorang yang statusnya tidak diakui atau dilindungi sebuah kerangka peraturan hukum yang
ditegakkan institusi hukum berwenang. Adapun, di Malaysia dan Indonesia, istilah “pekerja
~ 65 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Malaysia juga merupakan negara yang paling membutuhkan PLRT migran di antara negara-negara tujuan migrasi TKI
di Asia Pasifik. Pada tahun 2004, misalnya jumlah PLRT migran
di Malaysia mencapai 250.000 orang, sementara jumlah PLRT
migran di Hong Kong sebesar 217.000 orang, Taiwan 125.000
orang, dan Singapura 150.000 orang.48 Jumlah PLRT migran di
Malaysia terus meningkat dari tahun ke tahun dan sampai awal
tahun 2003 tercatat sejumlah 233.000 PLRT migran yang masuk
ke Malaysia, 95 % berasal dari Indonesia dan sisanya dari Filipina, Sri Lanka, Thailand dan Kamboja. Pada tahun 2005, jumlah
PLRT Indonesia di Malaysia mencapai jumlah 294.000 orang.49
PLRT migran bukan merupakan subyek hukum dalam
Workmens’ Compensation Act di Malaysia dan kerap kali merupakan subyek obyek eksploitasi yang dilakukan oleh majikannya.
Hingga saat ini Malaysia telah mempekerjakan PLRT migran
sebanyak 240 ribu orang, dimana 90% diantaranya berasal dari
Indonesia.50 Sementara PLRT migran tidak berdokumen diperkirakan telah mencapai angka 2 juta orang. Pekerja asing tidak
berdokumen yang terbukti bersalah, kerap kali mengalami siksaan hukum cambuk dan ditahan pihak kepolisian untuk kemudian dideportasi ke negara asalnya. Pekerja migran ini juga
kerap menjadi korban pengejaran oleh ratusan relawan kepolisian (RELA).51 []
48
49
50
51
informal” merujuk pada status majikan. Apabila pekerja bekerja di rumah pribadi atau usaha
tidak berbadan hukum maka dia disebut pekerja informal, pada penelitian ini digunakan definsi tersebut.
Institute of Ecosoc Rights, Op.cit.
Ibid.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri,
(Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2011), hlm. 66
Ibid.
~ 66 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
BAB V
KONDISI UMUM PEKERJA MIGRAN
INDONESIA SEKTOR DOMESTIK
Pekerjaan sektor domestik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan bukan oleh anggota keluarga, melainkan oleh seseorang yang
memperoleh bayaran untuk mengerjakan pekerjaan rumah
tangga tersebut”. Pekerjaan domestik ini telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu, namun seiring dengan transformasi
sosial dan ekonomi masyarakat yang didorong oleh industrialisasi serta proses ekonomi kapitalistik, pekerjaan ini telah menemukan bentuknya yang baru.1 Di masa lalu hanya kelompok
masyarakat tertentu yang dapat mempekerjakan pekerja sektor
domestik semisal kaum aristokrat di Abad Pertengahan Eropa,
atau kaum borjuis pemilik modal era pasca revolusi industri.
Namun kini, setelah meningkatnya perdagangan lintas negara,
serta berjalannya industrialisasi di sebagian besar negara, terjadilah peningkatan jumlah kelas menengah di masyarakat yang
mampu mempekerjakan pekerja sektor domestik.
1 Jose Moja, “Domestic Service in Global Perspectives: Gender, Migration and Ethnic Niches”,
dalam Journal of Ethnic and Migration Studies, Vol. 33, April 2007, hlm. 559.
~ 67 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
1.
Profil Pekerja Migran Indonesia di Sektor Domestik
Merujuk pada studi yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan, profil TKI sektor domestik didominasi oleh perempuan
dari wilayah pedesaan, dengan rentang usia dari 18 tahun
hingga 45 tahun. Namun, selama tahun 1993-2000, Solidaritas
Perempuan juga menemukan TKI sektor domestik yang berusia 50 tahun-an yang bekerja di Arab Saudi dan Uni Emirat
Arab.2 Mereka yang berusia lebih dari ketentuan ini, umumnya
dikirim oleh agen penempatan dengan cara pemalsuan usia di
dokumen keberangkatan. Banyak dari TKI sektor domestik ini
miskin secara ekonomi dan tidak berpendidikan secara formal.
Mereka berangkat didorong oleh pengangguran di daerah asal
serta pengharapan akan upah yang lebih tinggi di luar negeri.
Hal ini mendorong jumlah TKI sektor domestik untuk terus
meningkat setiap tahunnya.3
Besarnya angka penempatan TKI sektor domestik ini juga
tidak dapat dilepaskan dari kenyataan profil sumber daya manusia Indonesia, dimana 51,94% dari total 113, 74 juta angkatan
kerja Indonesia tidak lulus Sekolah Dasar, dan berdampak langsung pada mutu dan kompetensi SDM yang dimiliki Indonesia.4 Akibatnya, sebagian besar TKI hanya dapat mengisi pangsa
pasar tenaga kerja pada sektor-sektor informal yang tersedia di
luar negeri. Selain itu, dengan dihapuskannya syarat minimum
pendidikan bagi calon TKI melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.019-0120/PUU-III/2005, maka tidak ada yang menghalangi calon TKI dengan pendidikan minim untuk berangkat ke luar negeri.5 Padahal kondisi pendidikan minim serta
2 Komnas Perempuan, Indonesian Migrant Domestic Workers: Their Vulnerabilities and New Initiatives fr the Protection of Their Rights, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2002), hlm. 10.
3 Ibid.
4 Paparan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Rapat Kerja Kepala Perwakilan RI Tahun
2010, sebagaimana dikutip dalam Teguh Wardoyo, “Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”, Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Maret Tahun 2010, hlm. 47.
5 Ibid.
~ 68 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
kompetensi yang rendah ini rentan menjadi pemicu timbulnya
masalah-masalah baru bagi TKI ketika berhadapan langsung
dengan pekerjaannya dan majikan.
Sejak tahun 1970-an, jumlah perempuan Indonesia yang
bekerja di luar negeri melonjak tajam, mengimbangi bahkan
melampau jumlah pekerja laki-laki yang berangkat ke luar negeri. Jumlah ini pun belum termasuk TKI yang bekerja di luar
negeri yang melalui jalur tidak resmi, sehingga kemungkinan
jumlah TKI yang bekerja di luar negeri jauh lebih besar lagi. Tabel 8 di bawah mengilustrasikan komposisi penempatan TKI di
luar negeri pada rentang tahun 1969-2011: 6
Tabel V.1
Jumlah Penempatan TKI di Luar Negeri
Berdasarkan Gender (1969-2011)
Tahun
1969-1974
1974-1979
1979-1984
1984-1989
1989-1994
1994-1999
1999-2002
2002-2007
2007-2011
Perempuan
*
3.817
55.000
198.735
442.310
503.980
972.198
1.519.542
2.582.429
Laki-laki
*
12.235
41.410
93.527
208.962
310.372
383.496
577.737
941.833
TOTAL
5.624
16.042
96.410
292.262
651.272
814.352
1.355.694
2.097.279
3.524.262
Keterangan: * data tidak tersedia
Sumber : Migrant Care (2007), Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI, (2012)
6 Data pada tabel ini disarikan dari Komnas Perempuan, Op.cit., hlm.9 (tahun 1969-2002), Migrant Care (2003-2007), serta data penempatan TKI ke luar negeri terbaru (tahun 2007-2011)
dikutip dari data Depnakertrans RI dapat diunduh dari laman http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/katalog/download.php?g=2&c=17, data Migrant Care dikutip dari Gunanto
Surjono, Pengkajian Kebutuhan Model Pelayanan Sosial Pekerja Migran, (Jakarta: B2P3KS Press, 2009), hlm.1.
~ 69 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Peningkatan tajam jumlah TKI perempuan didorong oleh
beberapa faktor, diantaranya: meningkatnya permintaan dari
negara tujuan penempatan karena secara relatif upah TKI secara umum lebih murah dibanding pekerja migran dari negara
lain; merebaknya jumlah agen penempatan TKI swasta yang
gencar mempromosikan peluang bekerja di luar negeri dengan
iming-iming upah yang besar; dan kebijakan pemerintah yang
mengindahkan bisnis pengiriman dan penempatan tenaga kerja
Indonesia ke luar negeri.7
Proses meningkatnya jumlah TKI perempuan ini juga bisa
dilacak pada pendekatan pembangunan yang berjalan sejak tahun 1970, di mana industrialisasi mulai berlangsung. Banyak
pengamat/ahli menilai bahwa industrialisasi di pedesaan yang
lebih dikenal dengan revolusi hijau mengakibatkan banyaknya
perubahan mendasar pada bidang ekonomi, sosial dan kultural
di pedesaan. Salah satu faktor yang dibawa revolusi hijau ini
adalah penyingkiran dan pembatasan ruang gerak usaha bagi
kaum perempuan di sektor pertanian.
Proses meledaknya pengangguran perempuan di pedesaan tersebut mulai tidak tertampung lagi melalui mekanisme
kultural.8 Pertanian di pedesaan pun lambat laun mengalami
kebangkrutan, muncul anggapan bahwa menjadi petani tidak
menjanjikan dalam kehidupan. Sehingga implikasi dari revolusi
hijau ini, memberikan kontribusi dorongan untuk menjadi TKI
(dalam hal ini menjadi TKI sektor domestik bagi perempuan di
pedesaan). Fenomena tersebut semakin memperoleh penjelasan
saat biaya yang digunakan untuk berangkat ke luar negeri bagi
TKI perempuan ini adalah dana pinjaman dan penjualan alat
produksi pertanian.9
Latar belakang TKI sektor domestik yang umumnya tidak
cukup berpendidikan dan kekurangan informasi karena berasal
7 Komnas Perempuan, Op.cit. hlm. 9.
8 Rusdi Tagaroa dan Encop Sofia, Buruh Migran Indonesia Mencari Keadilan, (Jakarta: Solidaritas Perempuan, 2001), hlm. 75.
9 Ibid.,
~ 70 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
dari pedesaan membawa implikasi TKI sektor domestik inilah
yang paling rentan mengalami perlakuan sewenang-wenang
dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses pengiriman hingga kepulangan dirinya bekerja di luar negeri. Perlakuan
sewenang-wenang ini mencakup pelanggaran dalam hal ketenagakerjaan hingga pelanggaran hukum yang bersifat pidana,
mulai dari penganiayaan, perkosaan hingga praktik perdagangan manusia.
2.
Kerentanan Aspek Perlindungan bagi Pekerja Migran
Indonesia Sektor Domestik
Kerentanan TKI sektor domestik dapat dilihat dari berbagai aspek, semisal posisi tawar TKI di lingkungan masyarakat
tempatnya bekerja, tingkat pendidikan TKI tersebut, dan akses
TKI terhadap perlindungan hukum yang seharusnya ia terima.
Budaya patron-klien, feodalisme dan patriarkhi di negara tujuan penempatan, termasuk Malaysia juga turut menegaskan
lemahnya posisi tawar TKI di masyarakat. Tingkat pendidikan
TKI sektor domestik tercatat: sebanyak 81% hanya mengenyam
pendidikan hingga tingkat SD, 6% hingga tingkat SMP, dan 9%
nya hingga SMA.10 Umumnya TKI sektor domestik ini hidup
dalam situasi teropresi, diskriminatf, eksploitatif, dan di saat
bersamaan TKI sektor domestik ini juga tidak memiliki kelancaran berbahasa asing yang cukup.11
Lokasi kerentanan TKI ini terjadi pada tiga fase: pra-keberangkatan (pre-departure), saat bekerja (employment), dan saat
kembali ke tanah air (return). Solidaritas Perempuan menyusun
sebuah matriks lokasi-lokasi dimana TKI sektor domestik mengalami kerentanan perlindungan: 12
10 Komnas Perempuan, Op.cit., hlm. 17.
11 Ibid.,
12 Sebagaimana dikutip oleh Komnas Perempuan, Op.cit., hlm. 22.
~ 71 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Tabel V.2
Lokasi-lokasi TKI Sektor Domestik
mengalami Kerentanan Perlindungan
LOKASI
Daerah Asal
Tempat
Penampungan
Tempat Bekerja
BENTUK KERENTANAN
-
Kepulangan
-
Kurangnya informasi mengenai standar biaya perekrutan.
Pemerasan biaya perekrutan oleh calo
Pelecehan seksual
Pemalsuan identitas TKI
Pengisolasian TKI dari dunia luar
Lamanya waktu penampungan tanpa kejelasan waktu pemberangkatan
Kurang layaknya makanan dan minuman selama di penampungan
Terbatasnya fasilitas sanitasi
Pelecehan seksual
Terserang penyakit
Kematian
Pelanggaran kontrak kerja: bekerja untuk lebih dari satu majikan,
penahanan gaji, gaji tidak dibayar, menanggung sendiri biaya makan dan
minum oleh TKI
Pelecehan seksual
Tidak ada jaminan kesehatan
Kematian
Pemecatan tidak beralasan oleh majikan, pengusiran paksa, deportasi
Penuduhan atas pencurian
Pembatasan akses untuk menghubungi dunia luar
Pemaksaan perpanjangan kontrak
Penolakan pengembalian aset milik TKI oleh majikan; misal, dokumen
atau harta benda
TKI pulang dengan biaya sendiri
Pemerasan saat tiba di bandara
Pemaksaan penukaran valas dengan kurs rendah
Gaji tidak ditransfer oleh majikan
Kematian akibat kecelakaan saat kepulangan
Pembiaran anak yang lahir akibat perkosaan di tempat kerja
Sumber: YPK, Kopbumi, LBH Apik Pontianak, Solidaritas Perempuan
Kerentanan ini kemudian terbukti pada angka permasalahan
yang secara nyata dialami oleh TKI sektor domestik bekerja di Malaysia. Data yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Perlindungan
~ 72 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia Kementrian Luar Negeri RI menggambarkan jenis-jenis permasalahan yang dialami TKI sektor domestik. Jenis permasalahan yang
paling banyak dialami adalah kasus gaji tidak dibayar (45,50%),
disusul oleh majikan tidak sesuai (16,26%), sakit (11,42), beban
kerja tidak sesuai (10,01%), penyiksaan/kekerasan fisik (9,93%),
pelecehan seksual (3,99%), tidak betah (2,35%), berselisih paham
(0,39%), dan jam kerja tidak sesuai (0,16%).13
Secara umum, TKI sektor domestik ini mengalami eksploitasi pada tempatnya bekerja, terlebih apabila TKI sektor domestik
tersebut bekerja pada lingkungan rumah yang mengisolasi dirinya dari dunia luar. Dalam kondisi demikian sering ditemui
kondisi dimana TKI sektor domestik bekerja dalam jam kerja
yang tidak terbatas, dan bahkan tidak memiliki jeda libur ataupun waktu senggang. Studi yang dilakukan International Labour
Organization (ILO) menemukan fenomena bahwa pekerja domestik di dunia bekerja lebih dari 15 jam sehari, dan majikannya
memiliki kewenangan dan ekspektasi bahwa pekerja domestik
ini harus siap dipanggil kapan saja.14 Kondisi ini juga berlaku di
Malaysia, di mana majikan yang memberlakukan kebiasaan ini
berargumen bahwa dilarangnya TKI sektor domestik keluar rumah adalah untuk kebaikan perlindungannya sendiri, dengan
kekhawatiran TKI sektor domestik tersebut hamil di luar nikah
akibat pergaulannya di luar rumah tempatnya bekerja.15
Rendahnya upah, serta mekanisme pembayaran upah yang
bergantung pada majikan juga menjadi salah satu masalah yang
dialami TKI sektor domestik. Majikan cenderung lebih memilih membayarkan upah secara tunai dibandingkan transfer perbankan, dan kemudian kadang menunda pembayaran upah
tersebut dengan alasan akan dibayar pada akhir kontrak TKI
13 “Dilema Perlindungan TKI”, Tabloid Diplomasi, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, No.47 Tahun IV, 15 September-14 Oktober 2012, hlm. 8.
14 Alice Hulling, “Domestic Workers in Malaysia: Hidden Victims of Abuse and Forced Labour”,
dalam International Law and Politics, Vol.44, hlm. 644
15 Ibid.
~ 73 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
tersebut.16 Ancaman akan penganiayaan serta pelecehan seksual
juga menjadi kerentanan dan masalah utama yang dialami TKI
sektor domestik. Migrant Care melaporkan hingga tahun 2009
telah terjadi 1.018 kasus kematian TKI, dan umumnya terjadi di
Malaysia dan Arab Saudi.17
3.
Kekosongan Perlindungan Hukum di Negara Tujuan
Penempatan bagi Pekerja Migran Indonesia Sektor
Domestik
Salah satu hal yang menyulitkan dalam penyelesaian kasus
ketenagakerjaan antara TKI dan majikan adalah: pekerjaan sektor informal, khususnya Penata Laksana Rumah Tangga, tidak
diatur dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan nasional di
sebagian besar negara tujuan penempatan karena sifatnya yang
dipandang informal. Hal ini menjadi penting, karena aspek perlindungan yang sifatnya interventif dan melalui jalur diplomatik hanya bisa dilakukan bila dua hal telah terpenuhi: (1) mekanisme nasional di negara tujuan penempatan telah ditempuh
total (exhaustion of local remedies) dan (2) perlindungan diberikan
terkait dengan individu yang memiliki kewarganegaraan negara pemberi perlindungan sejak tanggal terjadinya permasalahan
hingga tanggal selesainya permasalahan tersebut.18
Kondisi ini juga terjadi di Malaysia, sebagai salah satu
negara tujuan utama TKI sektor domestik. Akta Ketenagakerjaan Malaysia Tahun 1955 (The Malaysian Employment Act 1955)
adalah hukum ketenagakerjaan yang menjadi pegangan bagi
hukum-hukum ketenagakerjaan lain yang ada di Malaysia. Namun, pekerja sektor domestik (domestic workers) direferensikan
sebagai pembantu sektor domestik (domestic servant) dalam akta
ini, sehingga menyingkirkan pekerja sektor domestik untuk
mendapatkan hak-hak yang dijamin bagi pekerja-pekerja di
16 Ibid., hlm. 646.
17 Ibid., hlm. 648.
18 Wardoyo, loc.cit, hlm. 57
~ 74 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
sektor lain. Termasuk dalam hak-hak yang diekslusikan bagi
pekerja sektor domestik adalah hak adanya hari libur dalam
seminggu, hak berlibur, hak upah lembur, dan pesangon atas
pemutusan kontrak.19
Selain Akta Ketenagakerjaan tahun 1956, aturan ketenagakerjaan lain di Malaysia juga turut menyingkirkan pekerja
sektor domestik untuk memperoleh hak-hak seperti pekerja
di sektor lain. Akta Kompensasi bagi Pekerja di Malaysia Tahun 1952 (1952 Workmen’s Compensation Act of Malaysia) turut
mengekslusikan pekerja domestik migran dalam hal memperoleh kompensasi apabila terjadi kecelakaan kerja atau sakit akibat kondisi kerja.20 Aturan imigrasi yang berlaku bagi pekerja
migran di Malaysia.
Adanya kekosongan kerangka perlindungan hukum bagi
pekerja sektor domestik di Malaysia dan beberapa negara tujuan penempatan lain, dan dalam rangka memenuhi mandat
pasal 11 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 yang mensyaratkan penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah Negara pengguna TKI atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan,21 maka Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Luar Negeri
RI harus mendorong terbentuknya perjanjian bilateral di bidang
penempatan dan perlindungan TKI antara Indonesia dengan
negara-negara tujuan, misalnya dengan menyepakati sebuah
Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU).
Hingga bulan Desember 2009, Pemerintah Indonesia
baru memiliki kerjasama bilateral dengan sembilan negara,
yaitu: Malaysia; Korea Selatan; Yordania; Kuwait; Taiwan; Uni
Emirat Arab; Australia; Qatar; dan Jepang, padahal BNP2TKI
19 CARAM Asia, Reality Check! Rights and Legislation for Migration Domestic
Workers Across Asia, (Kuala Lumpur: CARAM Asia, 2011), hlm. 26.
20 Ibid., hlm. 27
21 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri Pasal 11 ayat 1.
~ 75 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
menyatakan TKI tersebar di 32 negara di seluruh dunia.22 Singapura dan Hongkong meski tidak memiliki perjanjian dengan
Indonesia dapat dikecualikan karena sistem ketenagakerjaannya telah mengatur masalah pekerja migran/tenaga kerja asing
termasuk diantaranya pekerja migran pada sektor informal.23 []
22 Wardoyo, loc.cit.
23 Ibid.
~ 76 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
BAB VI
KRONOLOGISASI PEMBERLAKUAN
KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN
PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR
DOMESTIK KE MALAYSIA TAHUN 2009-2011
Bab ini akan menguraikan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia sejak mulai kebijakan
ini dicanangkan pada pertengahan tahun 2009, hingga pencabutannya di penghujung tahun 2011. Latar belakang serta
dinamika isu dalam negosiasi selama periode moratorium ini
akan menjadi bahan analisa kepentingan Pemerintah Indonesia
dalam kebijakan moratorium ini yang akan disampaikan pada
bab berikutnya.
1.
Pemberlakuan Moratorium Penempatan Pekerja Migran
Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia dan Respon Awal
Pemerintah Malaysia
Tanggal 26 Juni 2009 menjadi titik awal babak baru hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia, terutama dalam koridor penempatan TKI sektor domestik
yang telah berlangsung sekian lama. Pemerintah Indonesia
melalui Dirjen Binapenta, Kemenakertrans (Direktorat Jenderal
~ 77 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi) melansir surat yang menyatakan penghentian sementara (moratorium) penempatan TKI sektor penata
laksana rumah tangga (PLRT/domestik) ke Malaysia.1
Pemerintah Indonesia dalam surat tersebut menyampaikan bahwa pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di
Malaysia, khususnya sektor domestik seringkali menimbulkan
banyak permasalahan. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk melakukan evaluasi terhadap penempatan
dan perlindungan sektor domestik ke Malaysia. Selain daripada
itu, penghentian sementara pelayanan penempatan TKI sektor
domestik ke Malaysia ini juga untuk menunggu penyelesaian
permasalahan TKI yang ada dan juga perbaikan/revisi Memorandum of Understanding (MoU/Nota Kesepahaman) antara Indonesia dan Malaysia mengenai penempatan dan perlindungan
TKI sektor domestik di Malaysia.2
Malaysia yang merasa terganggu dengan keputusan Pemerintah Indonesia yang menghentikan pengiriman tenaga penata
laksana rumah tangga ke Malaysia secara sepihak, kemudian
meminta Indonesia untuk berunding terlebih dahulu dengan Malaysia. Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia, Datuk
S. Subramaniam, mengatakan bahwa ada baiknya Indonesia
melihat semua kemungkinan jalan keluar sebelum mengambil
keputusan. Subramaniam menambahkan, apabila Indonesia
menganggap keputusan moratorium itu final, maka Malaysia
akan mengambil pilihan lain yang tersedia, misalnya mengambil tenaga kerja dari negara ASEAN lain.3 Pada kesempatan
lain, Subramaniam pun menilai keputusan boikot dalam bentuk
1 Surat Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, Nomor B.677/PPTK-TKLN/VI/2009, Perihal
Penghentian Sementara Penempatan TKI ke Malaysia tertanggal 26 Juni 2009, ditandatangani oleh Direktur PTKLN (Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri) Abdul Malik Harahap.
2 Ibid.
3 “Malaysia Janji Hukum Penyiksa TKI, SBY Didesak Kirim Nota Protes”, Senin 29 Juni 2009,
Pukul 08.41 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=
8&artid=598 diunduh pada tanggal 4 Mei 2012, Pukul 12.31 WIB.
~ 78 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
moratorium ini merupakan keputusan yang emosional serta
hanya akan menjadi isu sementara saja, dan sesudah Pemilu
Presiden Indonesia tahun 2009, semua akan kembali normal.4
Menyikapi kebijakan moratorium ini, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak merespon dengan berjanji akan mengambil
tindakan keras terhadap para majikan yang bertindak kejam
terhadap penata laksana rumah tangga asal Indonesia. Ia juga
mendesak para majikan lebih memperhatikan kesejahteraan
para PLRT itu. Menteri SDM Malaysia, S. Subramaniam mengatakan setiap tahun rata-rata muncul 50 kasus penganiayaan
penatalaksana rumah tangga asal Indonesia di Malaysia yang
jumlahnya mencapai 300 ribu orang. Malaysia tidak memiliki
undang-undang yang mengatur pekerja rumah tangga, namun
Malaysia berjanji akan merancang undang-undang untuk melindungi pekerja domestik migran dari pelecehan seksual, gaji
tidak dibayar dan kondisi kerja yang menyedihkan.5
2.
Pertemuan-Pertemuan Awal Indonesia dan Malaysia
Terkait Amandemen Memorandum of Understanding
(MoU) Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia
Pembicaraan bilateral pertama antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia terkait penempatan dan perlindungan TKI dijadwalkan akan dilangsungkan pada 6 Juli 2009 di Puterajaya,
Selangor, Malaysia. Menakertrans Erman Suparno dijadwalkan
bertemu dengan Menteri Hal Ehwal Dalam Negeri, serta Kepala
Kepolisian Malaysia. Erman menyatakan bahwa pertemuan
ini akan membahas soal revisi MoU terkait solusi bagaimana
agar Pemerintah Malaysia benar-benar dapat menyeleksi calon
majikan TKI dan menghukum tegas oknum majikan yang
4 “Menyikapi Kepongahan Negeri Tetangga”, Rabu, 1 Juli 2009 Pukul 00.00 WIB, http://www.
migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=599 diunduh pada
tanggal 4 Mei 2012, Pukul 12.44 WIB.
5 “Malaysia Janji Hukum…”, loc.cit.
~ 79 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
melanggar hukum atas TKI. Pembicaraan ini sebenarnya telah
dimulai sebelumnya antara Menakertrans RI dan Menteri SDM
Malaysia S.Subramaniam di sela-sela sidang Organisasi Buruh
Internasional (International Labour Organization, [ILO]) di Jenewa, Swiss sebulan sebelumnya.6
Pertemuan pertama tersebut kemudian akan dilanjutkan
pada pertemuan kedua pada tanggal 15 Juli 2009, namun akhirnya mundur hingga akhir bulan, karena beberapa isu dan tuntutan Indonesia terkait revisi MoU harus Malaysia bawa terlebih
dahulu pada pembahasan di tingkat parlemen. Adapun proposal revisi MoU yang Indonesia usulkan antara lain: 1) paspor di
tangan TKI; 2) libur sehari dalam seminggu; 3) kenaikan gaji;
4) kontrak kerja yang transparan dengan deskripsi kerja yang
jelas; 5) akses pemantauan oleh perwakilan tetap RI dan agen;
6) penghapusan penempatan TKI secara individual, dan; 7) penegakan hukum terhadap pengguna jasa TKI tidak berdokumen. Namun, Malaysia pada pertemuan bilateral ini hanya
bersedia membahas empat isu yaitu hari libur sehari dalam seminggu, perlindungan asuransi dan gaji minimal. Adapun Malaysia tidak akan menyinggung izin bagi TKI untuk memegang
paspor yang selama ini ada di majikan.7
Menjelang pertemuan pertama tersebut dilangsungkan,
Pemerintah Malaysia juga sempat meminta Pemerintah Indonesia segera menyampaikan usulan mengenai struktur biaya (cost
structure) yang lebih realistis dalam perekrutan dan penempatan TKI sektor domestik untuk Malaysia. Sampai dengan bulan Juli 2009, pihak pengguna jasa atau majikan TKI di Malaysia
harus membayar RM 6.000 hingga RM 8.000 untuk mendapatkan TKI di sektor informal atau yang bekerja sebagai penata
6 “RI-Malaysia Bertemu”, Senin 6 Juli 2009 Pukul 04.10 WIB, http://lipsus.kompas.com/dulmatin/read/2009/07/06/09300760/Bahas.TKI..RI.Malaysia.Bertemu diunduh pada tanggal 5 Mei
2012, Pukul 10.12 WIB.
7 “Malaysia Siap Bahas Empat Isu”, Rabu 15 Juli 2009, Pukul 02.21 WIB, http://www.republika.
co.id/berita/breaking-news/ekonomi/09/07/15/62198-malaysia-siap-bahas-empat-isu-soal-prt
diunduh pada tanggal 13 Mei 2012, Pukul 15.14 WIB.
~ 80 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
laksana rumah tangga. Dana yang dikeluarkan tersebut setara
dengan Rp 18 juta hingga Rp 24 juta. 8
Adapun Konsuler Penerangan, Sosial dan Budaya Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, Widyarka Ryananta, menerangkan berdasarkan sejumlah poin dalam rencana
revisi MoU kedua negara, tertera biaya yang ditanggung oleh
majikan atau pengguna jasa sebesar RM 2.415 atau sekitar Rp
7,25 juta dan yang ditanggung setiap penata laksana rumah
tangga sebesar RM 1000 atau sekitar Rp 3,07 juta.9 Biaya yang
harus ditanggung TKI itu akan dibayarkan dengan cara pemotongan gaji mereka setiap bulan dalam jangka waktu tertentu.
Selepas kedua pertemuan tersebut, Pemerintah Indonesia
pada akhirnya melanjutkan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia hingga selesainya pembahasan Joint
Working Group (JWG) antar kedua negara. Keputusan untuk
melanjutkan moratorium ini diambil mengingat berakhirnya
batas waktu pembahasan pada 1 Agustus 2009 yang sebelumnya
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Menakertrans Erman
Suparno menyatakan ia telah menerima informasi bahwa pembahasan Pemerintah Malaysia dengan parlemen telah selesai
dilaksanakan dan usulan dari Indonesia pada prinsipnya tidak
ada masalah, tapi tidak semua usulan dapat direalisasikan. Dari
hasil pembahasan tersebut, dari tujuh usulan Indonesia hanya
ada empat usulan yang disetujui, yakni hak libur TKI sehari dalam seminggu, perlindungan asuransi, perbaikan kontrak kerja
dan pemberian gaji minimal.10
Pemerintah Indonesia awalnya yakin moratorium akan dicabut pada 1 Agustus 2009 sesuai tenggat waktu yang disepakati
8 “Struktur Biaya TKI dinilai Tak Realistis”, Selasa, 28 Juli 2009, Pukul 00.00 WIB http://www.
migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=612 diunduh pada
tanggal 13 Mei 2012, Pukul 15.16 WIB.
9 Ibid.,
10 “Moratorium TKI Informal Berlanjut”, Senin 3 Agustus 2009, Pukul 00.00 WIB, http://www.
migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=618 diunduh pada
tanggal 15 Mei 2012, Pukul 12.18 WIB.
~ 81 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
kedua belah pihak, namun ternyata perundingan lebih alot dari
yang dibayangkan. Pembahasan MoU diakui Menakertrans Erman Suparno berjalan lambat, karena pasal-pasal dalam draft
MoU harus mendapat persetujuan dari Parlemen Malaysia.
Karena itu, tim negosiator Malaysia sering meminta penundaan
sidang untuk konsultasi dengan parlemen. Klausul yang paling
alot dibahas terkait dengan paspor yang dipegang oleh TKI. Pemerintah Indonesia meminta paspor tetap dipegang TKI, sesuai
ketentuan perburuhan internasional.11
Terkait klausul paspor yang dipegang TKI, masalah struktur biaya penempatan TKI yang dinilai tidak rasional juga turut mempersulit upaya Pemerintah Indonesia untuk mendesak
Malaysia menyetujui usulan agar paspor TKI tidak lagi dipegang oleh majikan mereka, tetapi diserahkan kepada pekerja.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah mengatakan
para majikan TKI di Malaysia akan enggan membiarkan paspor
dipegang sendiri oleh TKI, karena majikan tersebut telah mengeluarkan uang yang cukup besar untuk bisa mempekerjakan
mereka.12 Alotnya pembahasan poin-poin revisi MoU ini pada
akhirnya membawa konsekuensi masa moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia menjadi lebih panjang.
3.
Dinamika Negosiasi Pemerintah Indonesia dan Malaysia:
Negosiasi Alot Seputar Standar Upah Minimum serta
Penyesuaian Biaya Rekrutmen dan Penempatan (Cost
Structure)
Setelah batas tenggat waktu pembahasan revisi MoU terlampaui, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia
segera merumuskan detail kesepakatan nota kesepahaman
11 “RI Tolak Cabut Moratorium TKI Malaysia”, Kamis 6 Agustus 2009, Pukul 07.15 WIB, http://
www.equator-news.com/utama/ri-tolak-cabut-moratorium-tki diunduh pada tanggal 2 Juni
2012, Pukul 15.32 WIB.
12 “Biaya Penempatan TKI akan Persulit Negosiasi”, Rabu, 12 Agustus 2009, Pukul 00.00 WIB,
http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=633 diunduh pada tanggal 13 Juni 2012, Pukul 02.16 WIB.
~ 82 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
pada tanggal 5 September 2009. Negosiator dari kedua negara
sebelumnya telah membahas usulan perubahan terbaru MoU di
Kuala Lumpur yang diadakan padad 20 Agustus 2009. Direktur
Perlindungan Warga Negara dan Bantuan Hukum Indonesia
Kemenlu RI, Teguh Wardoyo menyampaikan bahwa pertemuan
kedua negara ini dilakukan setelah Indonesia mengajukan usulan peninjuan kembali nota kesepahaman tentang tenaga kerja
Indonesia. Usulan yang disampaikan antara lain masalah kenaikan gaji, paspor harus dipegang oleh pekerja, serta hak cuti
dan libur satu hari dalam seminggu.13
Pada tahap ini, Kepala Pusat Humas Kemenakertrans RI,
Sumardoko, menyatakan bahwa semua usulan sudah disetujui
pihak Malaysia, tapi masih perlu dirumuskan secara detail, karena hanya usulan paspor yang dipegang TKI dan upah terendah
yang telah dibahas lebih rinci. Pemerintah Malaysia menyetujui
usulan upah minimum sebesar RM 600 atau setara dengan Rp
1,8 juta. Upah minimum sebesar RM 600 ini diberlakukan untk
seluruh pekerja informal. Namun, Sumardoko melanjutkan,
masalah asuransi dan sanksi bagi majikan yang menggunakan
pekerja tidak berdokumen tidak masuk bahasan negosiasi.14
Terkait masalah upah minimum dan paspor ini, Wahyu
Susilo, analis kebijakan Migrant Care ini menyatakan kekhawatiran bahwa hasil rumusan nota kesepahaman ini berdasarkan jual beli kepentingan. Indonesia menginginkan paspor
dipegang pekerja dan Malaysia menginginkan upah rendah.
Upah minimum yang diajukan Pemerintah Indonesia menurut
Wahyu Susilo terlampau kecil, karena kesepakatan soal jumlah
tersebut akan menurunkan upah sejumlah pekerja yang selama
ini lebih tinggi, sekitar RM 1000-1.200, menurutnya upah yang
13 “Soal TKI di Malaysia, Kesepakatan Dirumuskan September”, Rabu, 26 Agustus 2009, Pukul
00.00 WIB, diunduh dari http://koran.tempo.co/konten/2009/08/27/174929/SOAL-TKI-DIMALAYSIA-Kesepakatan-Dirumuskan-September diunduh pada tanggal 11 Mei 2012, Pukul
12.42 WIB.
14 Ibid.
~ 83 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
layak seharusnya RM 900-1000.15
Setelah pertemuan dan negosiasi yang berlangsung alot
tersebut, Malaysia akhirnya menerima beberapa proposal yang
diajukan Indonesia terkait pelayanan dan perlindungan tenaga
kerja Indonesia di Malaysia, khususnya untuk penata laksana
rumah tangga, antara lain diizinkannya TKI memegang sendiri
paspornya. Dengan demikian, kartu pengenal TKI yang dikeluarkan Pemerintah Malaysia, yang selama ini dianggap pengganti paspor, tidak diberlakukan lagi. Seiring dengan kebijakan
itu, Pemerintah Malaysia menegaskan akan memberlakukan
sanksi yang tegas kepada pelanggar hukum, baik TKI maupun
majikan yang mempekerjakan TKI tidak berdokumen.16
Selain tentang paspor, Pemerintah Malaysia juga menyetujui TKI di sektor rumah tangga menerima hak libur dalam
seminggu dan ketentuan tentang upah minimum. Namun, dua
hal itu masih harus dibahas dengan parlemen Malaysia karena
menyangkut kebijakan publik. Adapun tentang struktur biaya
penempatan TKI, pelaksana penempatan TKI swasta Indonesia
dan agen penempatan di Malaysia akan bertemu di Jakarta pada
tanggal 5 September 2009. Dalam pertemuan itu, RI dan Malaysia sepakat membentuk satuan tugas pengawasan pelayanan
dan perlindungan TKI di Malaysia.17
Namun selepas pertemuan pada tanggal 5 September 2009,
Pemerintah Malaysia masih tidak menyetujui usulan upah minimum RM 800 bagi TKI yang bekerja di sana. Angka tersebut
dinilai terlalu tinggi dan akan sulit terjangkau bagi banyak majikan. Menteri Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat
Malaysia, Datuk Seri Shahrizat Abdul Jalil mengatakan juga
bahwa Undang-undang Tenaga Kerja Malaysia Tahun 1955
tidak mengatur tentang upah minimum untuk setiap sektor
15 Ibid.
16 “Malaysia Terima Usul Indonesia, Hak Libur Sehari Menunggu Putusan Parlemen”, Senin 24
Agustus 2009, Pukul 03.12 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=v
iewarticle&cid=8&artid=641 diunduh pada tanggal 11 Juli 2012, Pukul 12.11WIB.
17 Ibid.,
~ 84 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
pekerjaan. Sehingga usulan kebijakan upah minimum untuk
pekerja asing di Malaysia yang diusulkan negara asal pekerja,
harus dipelajari dengan teliti terlebih dahulu sebelum disetujui. Shahrizat menerangkan bahwa Malaysia adalah negara
yang menerapkan ekonomi terbuka, sehingga upah bagi setiap
pekerja di semua sektor harus ditentukan oleh pasar.18
Menanggapi pendapat demikian, Menakertrans Erman
Suparno menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia masih
harus menunggu kesepakatan Parlemen Malaysia terhadap
perubahan nota kesepahaman pekerja sektor domestik antara
pihak Indonesia dan Malaysia hingga bulan Oktober 2009.
Sidang Parlemen Malaysia masih akan membahas standar minimum gaji yang baru akan dibahas bulan Oktober. Prinsipnya,
standar upah minimum sudah disepakati, namun besarannnya
masih dinegosiasikan.19
Media-media Malaysia melaporkan, pihak Indonesia terlalu menuntut gaji tinggi dengan standar RM 800, atau sekitar
Rp 2 juta/bulan, dari rata-rata gaji selama ini yang sekitar RM
400-450. Menakertrans Erman Suparno menyatakan bahwa
komite bersama Indonesia-Malaysia memang sedang membahas standar upah baru, yang diharapkan akan menjadi standar
kenaikan gaji secara regular setiap tahun. Namun masalahnya
adalah Malaysia selama ini tidak mempunyai ketentuan upah
bagi para pekerjanya, seperti Upah Minimum Regional (UMR)
di Indonesia, sehingga mereka kesulitan menghitung dan memastikan besaran upah buruh. Untuk itu mereka menunggu
rekomendasi dari parlemen.20
Sampai dengan tahap ini, dari berbagai masalah yang
18 “Malaysia tidak Setuju Upah Minimum TKI 800 Ringgit”, Senin 7 September 2009, Pukul
04.25 WIB, diunduh dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=235117 diunduh
pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.16 WIB.
19 “Standar Upah Minimum TKI Disepakati”, Senin 7 September 2009, Pukul 16.28 WIB, http://
www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher$op=viewarticle&cid=8&artid=674 diunduh
pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.23 WIB.
20 Ibid.
~ 85 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
dibahas komite ketenagakerjaan Indonesia-Malaysia, ada dua
poin penting yang telah disepakati, diantaranya kesepakatan
kebijakan pemberian satu hari libur per minggu bagi TKI sektor
domestik asal Indonesia di Malaysia, dan kebijakan paspor boleh
disimpan dan dipegang sendiri oleh pembantu rumah tangga.
Menakertrans Erman Suparno juga mengatakan, ada satu poin
lagi yang kini masih menjadi bahan perundingan, yaitu soal
asuransi tenaga kerja. Ada substansi yang paling mendasar yakni pengguna (majikan) harus menanggung masalah asuransi.21
Memasuki bulan Oktober 2009, wacana babak akhir negosiasi terkait pembaharuan MoU Penempatan dan Perlindungan
TKI Sektor Domestik ke Malaysia antara Pemerintah Indonesia
dan Pemerintah Malaysia mulai bergulir. Hasil perundingan
antar kedua negara selama ini menyetujui tiga usulan dari enam
usulan yang disampaikan Pemerintah Indonesia, yakni mengenai paspor yang diserahkan kepada TKI, libur satu hari dalam
seminggu, dan adanya kenaikan gaji. Plt. Dirjen Binapenta Kemenakertrans, I Gusti Made Arka menerangkan bahwa yang
masih dalam tahap pembicaraan secara intensif adalah mengenai struktur pembiayaan (cost structure) perekrutan dan penempatan TKI ke Malaysia.22
I Gusti Made Arka pun menjelaskan ketiga usulan Pemerintah Indonesia yang disepakati oleh kedua negara itu sudah
dibicarakan secara spesifik dan mendapat persetujuan dari Pemerintah dan Parlemen Malaysia. Mengenai usulan lain Pemerintah Indonesia: transparansi kontrak kerja dan deskripsi yang
kerja yang jelas; penghapusan penempatan TKI secara individual, dan; penegakan hukum bagi pengguna jasa atau majikan
yang menggunakan TKI ilegal masih belum ada persetujuan
antarkedua negara. Soal skala upah TKI yang sudah disepakati
21 Ibid.
22 “Revisi MoU TKI Segera Diteken, Moratorium ke Malaysia Masih Berlaku”, Senin 5 Oktober
2009, Pukul 00.49 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticl
e&cid=8&artid=685 diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.43 WIB.
~ 86 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
pada tahap awal bekerja sebagai TKI sebesar RM 600 dan akan
mengalami kenaikan sesuai dengan masa kerja, serta keterampilan dari setiap TKI.23
Sementara itu, mengenai struktur pembiayaan rekrutmen
dan penempatan TKI ke Malaysia yang tengah dalam pembahasan, Made Arka menyatakan ketentuan lama sebesar RM 3.450
per TKI yang bekerja di sektor informal. Perinciannya sebesar
RM 1.035 dibayar oleh pihak Indonesai dalam hal ini oleh pelaksana penempatan tenaga kerja swasta (PPTKIS) dan sekitar RM
2.415 dibayar oleh pengguna jasa (majikan) di Malaysia. Yang
kini dibahas adalah pembagian struktur biaya rekrutmen dan
penempatan agar bisa mencapai sebesar 30% dari biaya yang
ditanggung PPTKIS atau TKI dan 70% oleh majikan atau pengguna jasa. Namun, angka struktur biaya tersebut masih belum
ideal, karena yang diinginkan Pemerintah Indonesia adalah 25%
dari total biaya sekitar RM 3.450 ditanggung PPTKIS atau TKI
dan selebihnya 75% dibebankan kepada majikan atau pengguna
jasa di Malaysia.24
Pertemuan terakhir di tahun 2009 dilangsungkan pada tanggal 19 November 2009, beriringan dengan kunjungan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono ke Malaysia pada tanggal 19-21
November 2009. Menakertrans Muhaimin Iskandar yang turut
mengawal kunjungan Presiden tersebut akan bertemu dengan
Menteri dalam Negeri Malaysia, Datuk Sri Hishammuddin Tun
Hussein, dan Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia, Datuk
S. Subramaniam. Terdapat lima poin yang akan dirundingkan
Pemerintah RI dan Malaysia antara lain revisi aturan majikan
memegang paspor TKI, pemberian cuti sehari dalam seminggu,
peningkatan gaji dan kondisi kerja, perlunya lembaga pengawasan (monitoring) terhadap kondisi kerja TKI, serta pengurangan biaya penempatan TKI.25
23 Ibid.
24 Ibid.
25 “Larangan Pengiriman TKI ke Malaysia akan Dicabut”, Kamis 12 November 2009, Pukul
~ 87 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
4.
Perumusan Akhir Revisi MoU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia
Memasuki tahun 2010, Menakertrans Muhaimin Iskandar
menyatakan substansi revisi MoU tentang Rekrutmen Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia telah selesai dibahas
pada tanggal 10 Maret 2010. Malaysia akhirnya menyepakati empat poin yang diajukan. Keempatnya adalah, dicabutnya aturan
majikan yang memegang paspor tenaga kerja, adanya cuti satu
hari bagi pekerja dalam seminggu, perlunya lembaga pengawasan (Joint Task Force), serta penyesuaian biaya penempatan
tenaga kerja (cost structure). Direktur PPTKLN Dirjen Binapenta
Kemenakertrans RI, Abdul Malik Harahap, menyatakan bahwa
perumusan redaksional nota kesepahaman akan dilakukan kemudian di Jakarta pada tanggal 25-26 Maret 2010.26
Dalam perundingan yang dilaksanakan pada tanggal 10
Maret 2010, Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, I Gusti Made
Arka mengatakan pembahasan kerap menemui jalan buntu ketika membahas tentang struktur biaya penempatan (cost structure). Ada tiga pendapat dari parlemen Malaysia, yaitu biaya
rekrutmen TKI ke Malaysia ditanggung 75% oleh pihak Malaysia, sisanya dari Indonesia. Kedua, berdasarkan ketentuan yang
lama, 60% ditanggung oleh Malaysia dan 40% Indonesia. Pandangan terakhir adalah, Malaysia harus menanggung seluruh
biaya pengiriman TKI. Adapun pemerintah Indonesia mengacu
pada cost structure yang disesuaikan dengan kebutuhan. Biaya
setiap tenaga kerja berbeda-beda tergantung asal daerahnya. Itu
sebabnya, pembahasan soal biaya penempatan sulit mencapai
titik temu.27
00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&art
id=740 diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.48 WIB.
26 “MoU Tenaga Kerja Akhirnya Tuntas: Baru Sebatas Kebutuhan Minimal Perlindungan TKI”,
Jumat, 12 Maret 2010, Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publi
sher&op=viewarticle&cid=8&artid=848 diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.53
WIB.
27 Ibid.
~ 88 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Pada tahun 2010 ini pula sempat dijalankan pertemuan bilateral keenam antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Malaysia dalam Joint working Group pada tanggal 23 Agustus
2010 di Jakarta. Pertemuan ini membahas lebih dalam Letter of
Intent Amandemen MoU Rekrutmen dan Penempatan TKI Sektor Domestik ke Malaysia yang telah dirumuskan sebelumnya
di Putrajaya, Malaysia pada tanggal 18 Mei 2010. Adapun poinpoin yang disepakati pada Letter of Intent tersebut antara lain28:
a. TKI berhak atas one day-off atau satu hari libur setiap pekannya;
b. Paspor dipegang TKI dan bukan majikan;
c. Pembayaran gaji tidak lagi dilakukan secara tunai, namun
dikirim ke rekening TKI yang bersangkutan. hal ini untuk
memudahkan kontrol apakah gaji dibayar sesuai kesepakatan;
d. Pembentukan Joint Task Force yang beranggotakan perwakilan Indonesia di Malaysia dan petugas Depnaker Malaysia. Satgas ini bertugas melakukan pengawasan dan perlindungan pada TKI yang telah berada di Malaysia;
e. Gaji TKI disesuaikan dengan harga pasar.
Terkait gaji yang disesuaikan harga pasar, Pemerintah Indonesia tidak membuat standar gaji minimum lantaran jenis
pekerjaan yang tidak sama. Pekerjaan di sektor informal begitu
beragam dan kualitas TKI juga bermacam-macam. Harga pasar
adalah harga umum di satu negara bagian tertentu terkait dengan jenis pekerjaannya.29
Selain daripada itu, pada tahun 2010 ini juga Kemenakertrans melakukan verifikasi data PPTKIS bermasalah. Dari verifikasi itu, 165 PPTKIS sudah dibekukan izinnya karena melakukan kesalahan administrasi maupun kinerja. PPTKIS bermasalah
28 “Gaji TKI di Malaysia Tak Lagi dalam Uang Cash”, Rabu 23 Maret 2010, Pukul 03.10 WIB,
http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=1030 diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 16.14 WIB.
29 Ibid.
~ 89 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
ini kemudian diberi waktu untuk memperbaikinya. Beberapa
PPTKIS yang dianggap masih bisa dibina didorong untuk
melakukan merger, dengan asumsi perusahaan yang berjalan
sendiri-sendiri dengan modal terbatas, akan lebih kuat pendanaan perusahaan jika dilakukan merger. Di Indonesia pada saat
itu ada sekitar 550 PPTKIS. Dari angka itu, sepertiganya dalam
status pembekuan izin oleh Kemenakertrans.30
5.
Penandatanganan Protokol Amandemen MoU IndonesiaMalaysia tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja
Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia
Pada tahun 2011, Pemerintah Malaysia akhirnya menyetujui persyaratan perlindungan TKI sektor domestik yang
diajukan Pemerintah Indonesia. Demikian kesepakatan yang
diperoleh dari pertemuan bilateral antara Menakertrans RI Muhaimin Iskandar dan Menteri SDM Malaysia S. Subramaniam
di Hotel Legend, Kuala Lumpur, Malaysia pada hari Senin, 21
Maret 2011. Muhaimin menyatakan, bahwa dua tahun terakhir
kedua negara telah menghadapi isu moratorium ini, hingga
akhirnya pada pertemuan tersebut telah disepakati bersama
terkait beberapa masalah menyangkut keberadaan TKI di Malaysia, khususnya yang bekerja sebagai penata laksana rumah
tangga. Adapu hal-hal teknis menyangkut naskah revisi MoU
ini akan dibicarakan lebih detail dalam Joint Working Group.
Kesepakatan dan detail teknis secara resmi akan disahkan dalam penandatanganan pembaruan MoU antara kedua menteri
paling lambat bulan Mei di Indonesia.31
Muhaimin menegaskan beberapa hal yang telah disepakati menyangkut pelayanan penempatan dan perlindungan TKI
sektor domestik, yaitu paspor akan dipegang oleh TKI bersangkutan, bukan lagi di tangan majikan, serta setiap tenaga kerja
30 Ibid.
31 “Malaysia Setujui Persyaratan Perlindungan”, Selasa 22 Maret 2011, Pukul 03.51 WIB,
http://internasional.kompas.com/read/2011/03/22/03512475/Malaysia.Setujui.Persyaratan.
Perlindungan diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 16.47 WIB.
~ 90 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
akan mendapatkan libur satu hari setiap minggunya. Adapun
biaya pengiriman tenaga kerja akan diatur kemudian, tetapi
akan ada standar operasional. Besar kecil biaya bergantung
daerah asal TKI atau titik pemberangkatan awal. Upah atau gaji
tenaga kerja juga akan diatur kemudian, yang terpenting adalah
upah harus layak dan pemerintah kedua negara dapat mengawasi. Malaysia juga akan memperbaharui sistem pengupahan
melalui perbankan, sehingga transaksi dapat jelas tercatat.32
Pada kesempatan lain, Muhaimin mengatakan bahwa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah rapat terbatas kabinet pernah mengutarakan keinginan penuntasan
pembentukan tim terpadu untuk evaluasi komprehensif sistem
perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri yang terkait
dua aspek. Pertama, menyangkut sistem perlindungan di dalam
negeri, mulai dari rekrutmen, pelatihan administrasi hingga keberangkatan. Kedua, evaluasi dan audit terhadap negara penempatan dalam memberikan jaminan perlindungan TKI.33
Selain daripada itu, Muhaimin juga menerangkan bahwa
Presiden juga mengharapkan tim terpadu dapat memberikan
rekomendasi setiap tiga bulan kerja, apakah sebuah negara
bisa dilanjutkan kerjasama penempatan atau tidak. Ada dua
pola: Pertama, moratorium atau penghentian sementara; Kedua, penghentian total dan tidak boleh lagi ada penempatan
ke negara tujuan terkait. Tim terpadu yang akan dibentuk ini
akan dipimpin langsung oleh Muhaimin Iskandar selaku Kemenakertrans, dan melibatkan beberapa deputi menteri, mulai
dari wakil menteri luar negeri, wakil menteri keuangan dan beberapa pejabat eselon I di lembaga-lembaga yang terkait pembenahan sistem perlindungan dan penempatan TKI ini.34
32 Ibid.
33 “Masalah TKI, Pemerintah Buat Moratorium dengan Tiga Negara”, Senin 25 April 2011, Pukul 15.01 WIB, http://www.tempo.co/read/news/2011/04/25/173329902/Masalah-TKI-Pemerintah-Buat--Moratorium-dengan-Tiga-Negara diunduh pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul
17.32 WIB.
34 Ibid.
~ 91 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Pada bulan Mei 2011, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia akhirnya sepakat menandatangani protokol atau
amandemen nota kesepahaman (Memorandum of Understanding
[MoU]) tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik ke Malaysia. Penandatanganan ini dilakukan oleh Menakertrans RI Muhaimin Iskandar dan Menteri SDM Malaysia,
Datuk Dr. S. Subramaniam di Gedung Sate Bandung, Jawa Barat
Indonesia pada tanggal 30 Mei 2011. Acara penandatanganan
MoU ini disaksikan oleh Deputi Kerjasama Luar Negeri dan
Promosi BNP2TKI Dr. Endang Sulistyaningsih, Duta Besar RI
untuk Malaysia, Da’I Bachtiar, Pejabat Eselon 1 dan 2 BNP2TKI,
Kemenakertrans, Kemenlu, PPTKIS serta pihak terkait lainnya.35
Menakertrans Muhaimin Iskandar menegaskan, penandatanganan amandemen MoU TKI sektor domestik ini merupakan tahapan awal dari dicabutnya moratorium penempatan
TKI sektor domestik ke Malaysia yang telah dilakukan sejak
Juni 2009 lalu. Muhaimin menjelaskan penandatanganan ini
merupakan hasil perundingan yang telah berlangsung cukup
panjang antara delegasi Indonesia dan delegasi Malaysia. Rangkaian pertemuan yang telah menghasilkan amandemen MoU
adalah pertemuan Joint Working Group (JWG) yang telah dilaksanakan sebanayak 4 (empat) kali, technical meeting sebanyak 3 (tiga) kali dan pertemuan-pertemuan informal lainnya.36
Kepala Pusat Humas Kemenakertrans, Suhartono, mengatakan
setelah penandatanganan amandemen ini, kedua delegasi kembali akan berunding untuk membahas persiapan implementasi
amandemen melalui forum JWG ke 7 (tujuh) pada tanggal 31
Mei-1 Juni 2011.37
35 “Muhaimin: Penandatanganan MoU TKI Penting bagi Indonesia-Malaysia”, Selasa 31 Mei
2011, Pukul 09.26 WIB, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/4625-muhaiminpenandatanganan-mou-tki-penting-bagi-indonesia-malaysia.html diunduh pada tanggal 2
Agustus 2012, Pukul 17.33 WIB.
36 Ibid.
37 “Malam ini, MoU TKI di Malaysia Diteken di Bandung”, Senin 30 Mei 2011, Pukul 14.51 WIB,
~ 92 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Setelah penandatanganan ini, Pemerintah Indonesia dan
Malaysia akan membentuk Satuan Tugas Bersama (Joint Task
Force [JTF]) untuk mengawasi dan memonitor implementasi
amandemen nota kesepahaman (MoU) tentanag Penempatan
dan Perlindungan TKI Sektor Domestik di Malaysia. Keanggotaan Joint Task Force terdiri dari instansi terkait di Indonesia
dan Malaysia, serta perwakilan negara masing-masing. Selain
pembentukan JTF, Menakertrans Muhaimin Iskandar mengatakan, setelah MoU diteken, pihaknya akan segera melakukan
konsolidasi untuk menentukan sistem rekrutmen dan standar
penempatan TKI di Malaysia. Rekrutmen sendiri menurut Muhaimin akan dilakukan oleh pihak swasta, dalam hal ini agensiagensi di bawah PPTKIS. PPTKIS akan diminta komitmennya
untuk bertanggung jawab dalam rekrutmen, penempatan dan
perlindungan. Pemerintah menurut Muhaimin, hanya bagian
dari fasilitator, tapi tetap melakukan pengawasan dan perlindungan.38
Pada kesempatan lain, Menteri SDM Malaysia Datuk S.
Subramaniam berjanji akan menjamin perlindungan TKI di Malaysia dengan sistem perundangan yang ada di negeri itu. Para
TKI di Malaysia, kata Subramaniam, mempunyai hak mendapatkan perlindungan di agensi-agensi kerajaan Malaysia. Subramaniam menegaskan, pemerintahnya tidak ingin pekerja dari
negara-negara lain bekerja secara tidak resmi di Malaysia, karena hanya mereka yang bekerja di Malaysia dengan jalur resmi
akan mendapatkan perlindungan.39
Selepas penandatanganan amandemen nota kesepahaman
MoU Indonesia-Malaysia terkait penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik ini, Ketua Persatuan Agensi Pembantu
http://m.pikiran-rakyat.com/node/146901 diunduh pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 16.32
WIB.
38 “RI-Malaysia Bentuk Satgas Awasei Perlindungan TKI”, Selasa 31 Mei 2011, Pukul 07.10
WIB, http://www.tempo.co/read/news/2011/05/31/173337792/RI-Malaysia-Bentuk-SatgasAwasi-Perlindungan-TKI diunduh pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 12.31 WIB.
39 Ibid.
~ 93 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Rumah Asing (PAPA) Jeffrey Foo sampai-sampai meminta Perdana Menteri Mhd. Najib Razak campur tangan dan mendesak
Indonesia untuk segera mengirimkan TKI sektor domestik
ke Malaysia. Jeffrey mengatakan sejak kesepakatan bersama
(MoU) pencabutan moratorium itu ditandatangani pada Mei
lalu, belum ada tenaga kerja pembantu rumah tangga yang baru
dari Indonesia. Jeffrey menyarankan kedua negara menetapkan
batas waktu untuk menyelesaikan masalah itu dan membatalkan kesepakatan bersama yang sudah ditandatangani. PAPA
mendapati latar belakang masalahnya adalah ketidaksepakatan
soal biaya pengiriman TKI sektor domestik ke Malaysia.40
Menanggapi pendapat Ketua PAPA diatas, Pejabat Fungsional Penerangan Sosial dan Budaya Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI) di Malaysia, Suryana Sastradiredja, menilai
desakan itu berlebihan. Suryana mengatakan penandatanganan
kesepatakatan bersama untuk mencabut moratorium pengiriman penata laksana rumah tangga ke Malaysia bukanlah perjanjian mengikat, di mana satu pihak tidak bisa menggugat jika
salah satu pihak lain apabila tidak pengirim tenaga kerja. Selain
itu Surayana juga menyayangkan sikap PAPA yang cenderung
menyalahkan PJTKI dan Pemerintah Indonesia dalam hal ini,
karena Pemerintah maupun PJTKI tidak ada yang bisa memaksa
sesorang menjadi penata laksana rumah tangga di Malaysia.41
Lambatnya pengiriman penata laksana rumah tangga ke
Malaysia ini bukanlah permasalahan, karena menurut Suryana Sastradiredja pihak Malaysia menyatakan akan mengambil
pembantu asing selain dari Indonesia pada saat moratorium dahulu, yang berarti Malaysia mampu mencari penata laksana rumah tangga selain dari Indonesia. Sejak moratorium pada Juni
2009, Malaysia akhirnya mendatangkan tenaga penata laksana
40 “Malaysia Kekurangan Pembantu Rumah Tangga”, Kamis 8 September 2011 Pukul 18.18,
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=214899:malay
sia-kekurangan-pembantu-rumah-tangga&catid=16:internasional&Itemid=29 diunduh pada
tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.35 WIB.
41 Ibid.
~ 94 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
rumah tangga dari Vietnam, Kamboja, dan Filipina. PAPA pada
bulan Juni tahun 2010 lalu sempat merilis tak kurang dari 3 ribu
tenaga penata laksana rumah tangga didatangkan dari negaranegara itu tiap bulan. Tapi kenyataannya, realisasinya tidak sebanyak itu, pada awal tahun 2011, PAPA sempat menyatakan
kepanikannya dengan menyatakan 35 ribu rumah tangga di
Malaysia membutuhkan tenaga penata laksana rumah tangga
asal Indonesia yang mereka akui pula lebih cekatan dari tenaga
serupa dari negara lain.42
Situasi lain pun menunjukkan betapa publik Malaysia sedemikannya membutuhkan tenaga penata laksana rumah tangga
asing, setelah Pemerintah Kamboja pada minggu kedua bulan
Oktober 2011 menyatakan larangan pengiriman tenaga penata laksana rumah tangga ke Malaysia setelah muncul dugaan
penyiksaan terhadap pekerja domestik asal Kamboja. Malaysia mulai merekrut pembantu asal Kamboja setelah Indonesia
menghentikan penempatan tenaga PLRT ke Malaysia. Dengan
larangan Indonesia dan Kamboja, puluhan ribu rumah tangga
di Malaysia kesulitan mendapatkan penata laksana rumah
tangga.43
Pada bulan November 2011, sekitar 50 tibu penata laksana
rumah tangga Indonesia dijadwalkan tiba di Malaysia mulai
pertengahan bulan Januari 2012 setelah pencabutan moratorium
pada tanggal 1 Desember kelak, demikian klaim Dirjen Buruh
pada Kementerian Tenaga Kerja Malaysia, Sheikh Yahya Sheikh
Mohamed. Menurut Sheikh Mohamed, penundaan dan keterlambatan penempataan TKI PLRT itu disebabkan oleh pelatihan
200 jam yang wajib TKI PLRT jalani sebelum dapat bekerja di
Malaysia.44
42 Ibid.
43 “SBY dan PM Malaysia Bahas TKI Indonesia”, Jumat 21 Oktober 2011 Pukul 02.44 WIB,
http://pelanggan.if-kom.com/lira/kabinet-indonesia/berita-kabinet/presiden/3846-sby-danpm-malaysia-bahas-tki-indonesia.html diunduh pada tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.50
WIB.
44 “Malaysia Bersorak, 50 Ribu PRT Asal Indonesia Akan Datang Mulai Pertengahan Janu-
~ 95 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Warga Malaysia mulai mencemaskan suplai PLRT yang
terhenti, menyusul langkah Kamboja dan Filipina yang menghentikan pengiriman PLRT-nya karena buruknya perlindungan
atas PLRT mereka di Malaysia. Hal ini mengakibatkan berita
mengenai akan datangnya PLRT asal Indonesia di situs-situs
berita daring Malaysia dibanjiri pengunjung. Dirjen Buruh pada
Kementerian Tenaga Kerja Malaysia, Sheikh Yahya Sheikh Mohamed mengatakan untuk melindungi kepentingan para PLRT
dan majikan mereka, semua pihak yang terlibat dalam perekrutan harus mematuhi aturan. Hanya agen perekrutan swasta
yang terdaftar pada Departemen Imigrasi dan Departemen
Tenaga Kerja dan yang telah sepakat untuk mematuhi kondisi
amandemen nota kesepahaman Indonesia-Malaysia terkait Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik yang diperbolehkan untuk merekrut PLRT dari Indonesia. Pada saat itu,
Sheik Yahya mengatakan hanya 121 dari lebih dari 400 agen perekrutan yang terdaftar di Malaysia yang sepakat dengan aturan
tersebut. Sheik Yahya mengatakan bahwa Pemerintah Malaysia
akan bertindak tegas terhadap agen perekrutan atau majikan
yang melanggar aturan.45
6.
Pencabutan Moratorium dan Rencana Penempatan Kembali Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia
Pada sub-bab sebelumnya, diterangkan bahwa Pemerintah
Malaysia akan menindak tegas para pekerja migran yang memasuki dan bekerja di wilayahnya dengan prosedur tidak resmi. Penindakan tersebut diwujudkan oleh Pemerintah Malaysia
dengan membekukan penempatan pekerja asing mulai 1 Juli
2011, tindakan ini merupakan konsekuensi dari penandatangan
MoU Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik ke
ari”, Jumat 25 November 201 Pukul 08.34, http://www.republika.co.id/berita/internasional/
global/11/11/25/lv70dv-malaysia-bersorak-50-ribu-prt-asal-indonesia-akan-datang-mulaipertengahan-januari diunduh pada tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.55WIB.
45 Ibid.
~ 96 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Malaysia, dimana Pemerintah Malaysia berjanji akan memperbaiki sistem perlindungan pekerja migrannya.46
Tujuan dari program ini adalah untuk mengumpulkan data
sebanyak mungkin jumlah imigran tidak berdokumen yang
masuk. Peraturan baru itu dibuat karena perekrutan tenaga
kerja asing dianggap justru melegalkan imigran tidak berdokumen di negara itu dalam program amnesti, di mana jika para
pekerja migran tak berdokumen itu tertangkap, mereka bisa
kembali ke negara asal mereka tanpa ada tindakan tegas dari
Pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa
mereka akan memantau lebih kurang dua juta imigran tidak
berdokumen di negara tersebut. Deputi Menteri Dalam Negeri
Malaysia, Lee Chee Leong menyampaikan pula bahwa Pemerintah Malaysia telah memilih 200 perusahaan swasta yang akan
terlibat dalam menangani imigran tidak berdokumen.47
Peraturan penertiban dan pemulangan imigran tidak berdokumen ini akhirnya direalisasikan Pemerintah Malaysia pada
tanggal 1 Agustus 2011. Program ini sempat tertunda hingga
tiga kali, dan akhirnya dapat dilaksanakan oleh pihak imigrasi
Malaysia dan dibantu ratusan agensi pendaftaran tenaga kerja
asing di seluruh Malaysia. Pada program ini, ratusan pendatang
atau pekerja migran mendatangi agen pendaftaran tenaga kerja
asing yang telah ditunjuk Pemerintah Malaysia. Program ini
meliputi 6-P, yakni: pendaftaran; pemutihan bagi yang masih
bekerja; pengampunan bagi yang akan kembali ke negara asal;
pemantauan program; penguatkuasaan atau razia besar-besaran, serta; pemulangan bagi yang terjaring operasi atau razia. Pemerintah Malaysia mengalokasikan waktu pendaftaran ulang
dan pemutihan selama dua pekan. Sementara itu, untuk keseluruhan program akan berlangsung hingga enam bulan.48
46 “Malaysia Bekukan Tenaga Kerja Asing”, Jumat 10 Juni 2011, Pukul 01.23 WIB, http://www.
migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=1262 diunduh pada
tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 13.26 WIB.
47 Ibid.
48 “Malaysia Merealisasikan Program Pemulangan TKI Ilegal”, Selasa 2 Agustus 2011, Pukul
~ 97 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Program di atas menjadi salah satu bahan evaluasi yang dilakukan satuan tugas Indonesia-Malaysia (Joint Task Force) yang
bertugas melakuan evaluasi terkait implementasi Amandemen
MoU Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik ke
Malaysia. Menakertrans Muhaimin Iskandar pada tanggal 21
Oktober 2011 menerangkan bahwa pada tanggal 19 November
2011 akan dilakukan evaluasi di Bali oleh Joint Task Force terkait
MoU ini. Muhaimin menjelaskan bahwa dalam pertemuan tersebut akan diupayakan agar MoU bisa disepakati masing-masing
pihak. Apabil Joint Task Force dapat meyakinkan Presiden, Menteri dan Raja, maka penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia akan dibuka kembali pada tanggal 1 Desember 2011.49
Menjelang momentum pencabutan moratorium ini, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah meragukan akan ada
perbaikan dengan disepakatinya nota kesepahaman terkait TKI
sektor domestik. Menurut Anis, yang harus dilakukan terlebih
dahulu adalah perlindungan di segi hukum. Sebab baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama belum memiliki undangundang yang mengatur pekerja rumah tangga. Anis melihat
poin-poin penting yang telah disepakati tidaklah cukup untuk
memperbaiki kondisi TKI di Malaysia. Adapun poin yang disepakati antara lain: kontrak kerja wajib diketahui TKI; gaji sesuai dengan kondisi pasar50; metode pembayaran gaji melalui
bank; hak libur satu hari dalam seminggu; juga penyimpanan
paspor oleh TKI. Disepakati juga perbaikan terhadap perusahaan dan agen perekrutan di Indonesia dan Malaysia, biaya
penempatan (cost structure), kompetensi pelatihan, penyelesai07.14 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&arti
d=1421 diunduh pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 16.32 WIB.
49 “MoU TKI dengan Malaysia Ditentukan 19 November” Jumat 21 Oktober 2011, Pukul 15.47
WIB, http://www.tempo.co/read/news/2011/10/21/173362635/MoU-TKI-dengan-MalaysiaDitentukan-19-November diunduh pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 16.57 WIB.
50 Menakertrans Muhaimin Iskandar pada tanggal 21 Oktober menerangkan bahwa untuk pembayaran gaji, saat itu disetujui minimal upah sesuai dengan ketentuan pasar yang berlaku, yakni
RM 700 per bulan. Potongan gaji untuk pembayaran biaya penempatan bagi penata laksana
rumah tangga juga dipastikan hanya RM 1.800 selama bekerja di Malaysia. Lihat Ibid.
~ 98 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
an perselisihan, pengetatan pemberian visa, dan larangan perekrutan langsung.51
Meskipun dinamika pendapat terus berlanjut terkait implementasi amandemen nota kesepahaman ini, Pemerintah Indonesia akhirnya mencabut moratorium penempatan TKI sektor
domestik ke Malaysia ini pada tanggal 1 Desember 2011. Pencabutan ini dilandaskan pada hasil pembenahan nota kesepahaman bilateral dengan Malaysia seputar penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia. Surat Edaran resmi
yang dilansir Kemenakertrans RI menyebutkan beberapa kesepakatan yang melandasi pencabutan moratorium ini sekaligus menandai proses penempatan kembali TKI sektor domestik
ke Malaysia:52
a. Paspor wajib berada dalam penguasaan TKI;
b. TKI berhak atas 1 (satu) hari libur dalam seminggu;
c. Biaya Penempatan sesuai Cost Structure yang tertuang dalam
revisi Annex MoU Tahun 2006;
d. Gaji sesuai mekanisme pasar dan pembayaran gaji TKI melalui Rekening Perbankan;
e. Standar Kontrak yang ditandatangani Pekerja dan Pengguna;
f. Pemerintah Indonesia dan Malaysia hanya mengakui PPTKIS atau Agen Perekrutan yang telah memiliki agreement
dengan pihak pemerintah masing-masing;
g. TKI wajib mengikuti pelatihan kompetensi kerja, selama 200
jam pelajaran;
51 “MoU Indonesia-Malaysia Belum Cukup Lindungi TKI”, Jumat 18 November 2011, Pukul
00.00 WIB, http://www.tempo.co/read/news/2011/11/18/173367218/MoU-Indonesia-Malaysia-Belum-Cukup-Lindungi-TKI diunduh pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 16.57 WIB.
52 Surat Edaran Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, No.mor SE-05/PPTK-TKLN/XI/2011 tentang Penempatan TKI untuk Pekerja Sektor Domestik ke Malaysia, Tanggal 28 November
2011 ditandatangani oleh Dirjen Binapenta Dra. Reyna Usman, M.M. Keputusan pencabutan
moratorium ini dilandaskan pada momentum telah ditandatanginya Protocol Amandement Memorandum of Understanding (MoU) 2006 antara Pemerintah Indonesia
dengan Pemerintah Kerajaan Malaysia mengenai Perekrutan dan Penempatan Pekerja
Domestik Indonesia pada 30 Mei 2011 serta pertemuan bilateral antara Presiden RI dengan
Perdana Menteri Malaysia di Denpasar, Bali pada tanggal 16 November 2011.
~ 99 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
h. Pihak Malaysia akan menghentikan Journey Performance Visa
(JP-Visa)
i. Mekanisme penyelesaian perselisihan sepakat melalui
komite yang dibentuk di Indonesia dan Malaysia (JTF Indonesia dan JTF Malaysia);
j. Pelaksanaan perekrutan langsung akan tunduk/menurut
hukum dan peraturan nasional Pemerintah Indonesia sebagaimana disepakati dalam Protokol Amandemen MoU 2006;
k. Dalam pelaksanaan penempatan TKI untuk pekerja domestik perlu dilakukan review pada kurun/jangka waktu tertentu, guna memastikan implementasi Protokol Amandemen
MoU 2006 telah berjalan optimal.
Menakertrans Muhaimin Iskandar menerangkan, bahwa
pada tanggal 1 Desember 2011 Pemerintah Indonesia mencabut
secara resmi moratorium penempatan TKI sektor domestik ke
Malaysia, namun masih dibutuhkan waktu untuk menjalani
proses penempatan TKI, sehingga baru pada awal Maret 2012
mulai akan ada lagi pemberangkatan TKI sektor domestik ke
Malaysia.53 Penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini
nantinya akan diserahkan sepenuhnya kepada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Menurut Menakertrans
Muhaimin Iskandar, Pemerintah Indonesia akan berada dalam
posisi mengawasi, dan mendeteksi seluruh tahapan pemberangkatan. Jangka waktu tiga bulan ini dimaksudkan agar PPTKIS
dapat mempersiapkan calon TKI mulai mendapatkan job order,
rekrutmen hingga melakukan pelatihan 200 jam, mengurus dokumen resmi sesuai peraturan dan proses pemberangkatan ke
Malaysia yang lebih baik dari sebelumnya.54
Pemerintah akan melakukan pengawasan ketat dan evaluasi rutin terhadap PPTKIS secara optimal dan apabila terjadi
53 “Moratorium dicabut, TKI ke Malaysia mulai Maret”, Kamis 1 Desember 2011, Pukul 17.48
WIB, http://www.antaranews.com/berita/1322736525/moratorium-dicabut-tki-ke-malaysiamulai-maret diunduh pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 17.31 WIB.
54 Ibid.
~ 100 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
pelanggaran maka akan dikenakan sanksi mulai peringatan, skorsing bahkan pencabutan izin operasional. Sedikitnya pada saat itu
sebanyak 117 PPTKIS telah siap menempatkan kembali TKI sektor domestik untuk bekerja di Malaysia. Mereka telah menandatangani kontrak kinerja untuk menjalankan butir-butir kesepakatan yang termaktub dalam amandemen MoU Penempatan dan
Perlindungan TKI Sektor Domestik yang telah disepakati Indonesia dan Malaysia pada tanggal 17 Oktober 2011.55
Pada hari pencabutan moratorium penempatan TKI sektor
domestik ke Malaysia ini, Menakertrans Muhaimin Iskandar
juga menjelaskan ada 15 tahapan proses penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia yang wajib dilakukan oleh TKI dan
PPTKIS: 56
Tabel VI.1
Tahapan Penempatan Kembali TKI Sektor Domestik
ke Malaysia Pasca Moratorium
Lama
Proses
1. Penerimaan Job Order dari pihak Agensi di Malaysia yang
Tidak
dilegalisasi perwakilan RI di Malaysia.
Ditentukan
2. PPTKIS mengurus perizinan Surat Izin Pengerahan (SIP)
Tidak
yang dikeluarkan Kemenakertrans.
Ditentukan
3. Proses rekrutmen calon TKI.
3 Minggu
4. Persiapan dokumen calon TKI.
1 Minggu
5. Pemeriksaan fisik calon TKI
2 Hari
6. Pelatihan keterampilan calon TKI selama minimal 200 jam. 3-4 Minggu
7. Pengurusan paspor calon TKI.
1 Minggu
8. Pengiriman biodata calon TKI ke Agensi di Malaysia.
3 Hari
9. Pencarian majikan bagi calon TKI.
1 Bulan
10. Pengurusan imigrasi dan penerbitan Calling Visa bagi calon 1 Minggu
TKI dari Pemerintah Malaysia.
No.
Tahapan
55 Ibid.
56 “Moratorium TKI ke Malaysia Resmi Dicabut”, Kamis 1 Desember 2011, Pukul 18.46 WIB,
http://news.okezone.com/read/2011/12/01/337/536858/redirect diunduh pada tanggal 9
Agustus 2012, Pukul 17.31 WIB.
~ 101 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
11. Penerbitan perjanjian kerja yang disahkan KBRI.
12. Pelulusan visa oleh Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia.
13. Pembuatan PAP (Pembekalan Akhir Keberangkatan), Asuransi untuk masa dan purna penempatan, serta penerbitan
KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri).
14. Keberangkatan ke Malaysia.
15. Pertemuan dan pengenalan (Welcoming Program) dengan
calon pengguna jasa TKI.
1 Hari
3 Hari
4 Hari
2 Hari
1 Hari
Sumber: Diolah dari pemberitaan di media massa.
Menyikapi pencabutan moratorium ini, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) Jumhur Hidayat menyampaikan bahwa Malaysia
telah menjamin perlindungan TKI di Malaysia, dengan disepakatinya beberapa poin amandemen MoU Penempatan dan
Perlindungan TKI Sektor Domestik ke Malaysia antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia. Namun, terlepas
dari janji Malaysia ini, Jumhur menyampaikan bahwa pencabutan moratorium ini juga didasari kekhawatiran Pemerintah Indonesia terhadap peningkatan jumlah TKI di luar negeri,
khususnya Malaysia yang tidak berdokumen atau ilegal.
Berdasarkan keterangan dari Jumhur Hidayat, setelah moratorium dicabut Pemerintah Indonesia berjanji akan melakukan tiga hal: 1) meningkatkan pengawasan PJTKI dan setiap
PJTKI yang tidak legal akan ditindak tegas; 2) Pemda (Pemerintahan Daerah) melalui kelurahan, Kecamatan dan Disnaker
(dinas Tenaga Kerja) harus bekerja keras untuk menjadi pelayan
utama bagi calon TKI untuk menghindari calo, sehingga PJTKI
nanti harus selalu melalui dinas tenaga kerja dan; 3) Pemerintah
akan memberikan pengawasan bersama polisi.57 []
57 “RI Cabut Moratorium TKI ke Malaysia”, Sabtu, 26 November 2011, Pukul 007.00 WIB, http://
nasional.news.viva.co.id/news/read/267443-ri-cabut-moratorium-tki-ke-malaysia diunduh
pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 17.22 WIB.
~ 102 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
BAB VII
POLITIK PERLINDUNGAN PEKERJA
MIGRAN INDONESIA SEKTOR DOMESTIK
DI MALAYSIA MELALUI KEBIJAKAN
MORATORIUM PENEMPATAN
Kebijakan Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia adalah
sebuah titik baru diplomasi kebijakan perlindungan TKI di luar
negeri. Moratorium ke Malaysia ini mengawali rangkaian kebijakan serupa ke beberapa negara tujuan utama TKI, semisal Kuwait, Yordania, Suriah dan Arab Saudi. Kebijakan moratorium
penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia adalah kebijakan
moratorium pertama yang dicabut oleh Pemerintah Indonesia.
Penelitian ini berusaha mengidentifikasi alasan-alasan Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium ini, dengan
segala konsekuensi yang dihadapi. Hal-hal yang menjadi alasan
Pemerintah mencabut moratorium juga dapat dianalisa sebagai
kepentingan-kepentingan Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium ini. Dalam asumsi penelitian ini, saat moratorium dicabut, berarti saat itu pula kepentingan Indonesia dalam
isu moratorium ini terpenuhi.
~ 103 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Untuk menambah perspektif tentang alasan-alasan Pemerintah memberlakukan kebijakan moratorium ini dilihat pula
bagaimana kepentingan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya
termasuk Pemerintah Indonesia, PJTKI, dan LSM yang peduli
pada isu-isu buruh migran. Dari penelusuran ini diharapkan
muncul argumen-argumen yang menjelaskan mengapa Pemerintah Indonesia tetap memberlakukan moratorium selama dua
tahun, apa yang melatarbelakangi sikap Pemerintah Indonesia
tersebut.
Pada Bab IV dan V telah digambarkan latar belakang arus
migrasi tenaga kerja Indonesia ke Malaysia yang telah berlangsung sejak lama, serta secara khusus digambarkan kondisi TKI
sektor domestik di Malaysia. Selanjutnya pada Bab VI, telah
digambarkan secara kronologis dinamika berlangsungnya kebijakan moratorium ini sejak mulai diberlakukannya hingga dicabutnya kebijakan moratorium ini.
Bab ini akan menganalisa kondisi-kondisi yang dihadapi
dan juga formasi kepentingan Pemerintah Indonesia hingga
akhirnya diberlakukanlah kebijakan moratorium penempatan
TKI sektor domestik ke Malaysia ini. Analisa ini didasarkan
pada kajian literatur dan kertas kerja yang membahas hubungan
ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia,
juga berdasarkan wawancara kepada beberapa pihak yang berperan dalam pembuatan kebijakan ini dan merasakan dampak
langsung dari kebijakan ini.
1.
Politik Migrasi Tenaga Kerja Indonesia: Tinjauan tentang
Kebijakan Moratorium Penempatan TKI Sektor Domestik
ke Malaysia
Undang-undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sejauh
ini merupakan satu-satunya produk kebijakan Pemerintah Indonesia yang secara khusus mengatur perihal penempatan dan
~ 104 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri setelah selama 16 tahun sebelumnya tidak ada kebijakan Pemerintah Indonesia setingkat Undang-undang yang secara khusus mengatur
tentang migrasi tenaga kerja. Undang-undang ini mensyaratkan
penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah hanya dapat
dilakukan atas dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara pengguna TKI atau pengguna
berbadan hukum di negara tujuan penempatan. 1
Dalam konteks politik perlindungan pekerja migran di
negara penempatan, Pemerintah Indonesia harus menetapkan
strategi atau pendekatan dengan entitas eksternal–dalam hal ini
negara tujuan penempatan- dengan memperhatikan aspek kapabilitas yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia yang dapat
diimplentasikan dalam lingkungan internasional. Lingkungan internasional dalam konteks proses kebijakan ini dibentuk
oleh para aktor yang terdiri dari entitas negara maupun nonnegara, yang masing-masingnya memiliki kepentingan, tujuan
dan prioritas masing-masing dalam mempengaruhi lingkungan
internasional ini.2 Maka dari itu strategi atau pendekatan yang
ditetapkan Indonesia perlu pula memperhatikan konteks dan
kepentingan yang berbeda-beda dari masing-masing negara tujuan penempatan.
Dalam studi kasus Malaysia sebagai negara tujuan penempatan TKI, Pemerintah Indonesia telah memiliki beberapa kerjasama bilateral terkait ketenagakerjaan lintasnegara dengan
Malaysia. Tabel 4.1 berikut menampilkan kerjasama bilateral
yang dimiliki Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia
terkait ketenagakerjaan lintasnegara:3
1 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri Pasal 11 ayat 1.
2 Elisabeth Brighi and Christopher Hill: Implementation and behavior dalam Steve
Smith,dkk, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, (New York: Oxford University
Press, 2008), hlm. 118.
3 http://www.deplu.go.id/Daftar%20Perjanjian%20Internasional/malaysia.htm diakses pada hari
Sabtu, 11 Mei 2013, Pukul 21.30 WIB.
~ 105 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Tabel VII.1
Kerjasama Bilateral antara Pemerintah Indonesia dan
Malaysia terkait Ketenagakerjaan Lintas Negara (1984-2006)
No.
Bentuk dan Nama Kerjasama
1.
Agreement
Agreement on Supply of Workers between the Republic of Indonesia
and Malaysia (Persetujuan Mengenai Penyediaan Tenaga Kerja
Antara Republik Indonesia dan Malaysia)
MoU
Memorandum of Agreement on Recruitment of Indonesian Workers
between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of the Kingdom of Malaysia. (Memorandum Persetujuan
Mengenai Penyediaan Tenaga Kerja Antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia)
MoU
Memorandum of Understanding on the Recruitment of Indonesian
Workers between the Government of the Republic of Indonesia
and the Government of Malaysia (Memorandum Saling Pengertian
Mengenai Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia) – Sektor Formal
Agreed Minutes
Agreed Minutes of the Technical Committee Meeting on the
Proposed Memorandum of Understanding Between the Government
of the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia on
the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers
(Butir-butir Kesepakatan Pertemuan Komite Teknik atas Usulan
Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Pengerahan dan
Penempatan Tenaga Kerja Sektor Domestik Indonesia).
MoU
Memorandum of Understanding Between the Government of the
Republic of Indonesia and the Government of Malaysia on the
Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers
(Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Rekrutmen dan
Penempatan Tenaga Kerja Sektor Domestik Indonesia)
2.
3.
4.
5.
~ 106 ~
Lokasi dan Tanggal
Penandatanganan
Medan, 12 Mei
1984
Jakarta, 15
Desember 1993
Jakarta, 10 Mei
2004
Yogyakarta, 4
Maret 2006
Bali, 13 Mei 2006
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
6.
Agreed Minutes
Agreed Minutes of the First Joint Working Group Meeting for the
Implementation of the Memorandum of Understanding between the
Government of the Republic of the Indonesia and the Government Kinabalu, Malaysia
of Malaysia on the Recruitment and Placement of Indonesian
20 Julai 2006
Domestic Workers. (Butir-butir Kesepakatan Pertemuan Pertama
Kelompok Kerja Bersama untuk Pelaksanaan Memorandum
KiSaling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Malaysia mengenai Pengerahan dan Penempatan
Tenaga Kerja Dalam Negeri Indonesia).
Sumber: Situs Kementerian Luar Negeri (http://www.deplu.go.id/)
dengan penyesuaian
Kerjasama bilateral ketenagakerjaan dengan Malaysia ini
tidak berjalan lancar dalam implementasinya, sehingga pada
akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan memberlakukan
kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke
Malaysia pada tanggal 26 Juni 2009. Dalam memberlakukan
kebijakan ini Pemerintah Indonesia, dipengaruhi oleh kondisikondisi (konteks) serta formasi kepentingan yang berpengaruh
dan berasal dari dalam negeri dan luar negeri.
2.
Migrasi Global: Interdependensi Ketenagakerjaan antara
Indonesia dan Malaysia
Hubungan ketenagakerjaan lintas negara antara Indonesia
dan Malaysia telah berlangsung sejak era pra-kolonial hingga
kini, dan pada derajat tertentu telah menciptakan hubungan saling ketergantungan antara Indonesia dan Malaysia dalam hal
ketenagakerjaan pada saat ini. Dalam lingkungan internasional
yang terbentuk antara Indonesia dan Malaysia telah terbentuk
sebuah formasi kepentingan: Indonesia memiliki kepentingan untuk memastikan keberlanjutan arus migrasi tenaga kerja ke luar
negeri untuk menyalurkan surplus tenaga kerja yang tidak terserap di pasar tenaga kerja dalam negeri, adapun Malaysia memiliki kepentingan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan
~ 107 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
pasar tenaga kerja di dalam negeri, terutama di sektor pekerjaan
tertentu yang telah ditinggalkan oleh tenaga kerja lokalnya.
Lingkungan internasional dalam konteks proses kebijakan
dibentuk oleh para aktor yang terdiri dari entitas negara maupun non-negara, yang masing-masingnya memiliki kepentingan, tujuan dan prioritas masing-masing dalam mempengaruhi
lingkungan internasional ini.4 Menurut Hans J. Morgenthau,
pemerintah yang baik harus memilih tujuan dan metode politik
luar negerinya dengan mengingat kekuatan yang tersedia untuk membantu mereka dengan kemungkinan keberhasilan yang
maksimum. Dengan demikian, kekuatan nasional yang tersedia
menetapkan batas politik luar negeri.5 Dalam rangka mencapai
kepentingan nasionalnya melalui politik luar negeri, kapabilitas
suatu negara untuk mempengaruhi lingkungan internasionalnya menjadi signifikan.
Adapun lingkungan internasional ini dipengaruhi oleh
dinamika yang mengendalikan sistem negara yang dikenal sebagai politik kekuatan (power politics) yang dilandasi oleh sekumpulan asumsi yang diterima dan dilaksanakan oleh setiap
pemerintahan. 6 Beberapa asumsinya adalah: satu-satunya nilai
kolektif yang dimiliki oleh negara peserta adalah dikehendakinya pelestarian sistem dan menolong diri (negara) sendiri merupakan aturan setiap tindakan. Dalam konteks koridor migrasi tenaga kerja antara Indonesia dan Malaysia, arus migrasi
ini berusaha dipertahankan oleh kedua negara dengan berbagai cara, hal ini menunjukkan sebuah situasi: pelestarian sistem
ketenagakerjaan oleh kedua negara yang didorong oleh kepentingan masing-masing negara.
4 Elisabeth Brighi and Christopher Hill: Implementation and behavior dalam Steve
Smith,dkk, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, (New York: Oxford University
Press, 2008), hlm. 118.
5 Hans J. Morgenthau. Politik Antarbangsa. .(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990.),
hlm.219.
6 Dahlan Nasution..Politik Internasional: Konsep dan Teori. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991), hlm. 43
~ 108 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Hal ini juga merujuk pada definisi kebijakan luar negeri
yang digunakan: “strategi atau pendekatan yang diambil oleh
suatu negara untuk mencapai tujuan dalam hubungan dengan entitas eksternal. Ini juga termasuk kebijakan untuk tidak
melakukan sesuatu apapun (inaction)”.7 Pilihan untuk tidak
melakukan sesuatu apapun oleh suatu negara dalam suatu
kebijakan perlu digarisbawahi, karena tidak semua kebijakan
bersifat menginginkan perubahan, namun juga dapat bersifat
mempertahankan situasi sementara (status quo), terutama sekali dalam kebijakan luar negeri yang diimplementasikan dalam
lingkungan internasional.
Sebagai ilustrasi, Pemerintah Malaysia selama ini telah
melakukan berbagai tindakan untuk mengatasi maraknya jumlah
TKI tidak berdokumen (termasuk didalamnya TKI sektor domestik) yang berada di Malaysia. Namun, di sisi lain Pemerintah Malaysia juga menempuh jalan lain untuk memastikan arus migrasi
pekerja migran tetap masuk ke Malaysia, salah satunya melalui
Journey Performed Visa (JP Visa). JP Visa ini menjadi salah satu celah utama masuknya TKI tidak berdokumen ke Malaysia. Hal ini
dimudahkan pula oleh kebijakan bebas visa di seluruh kawasan
ASEAN, sehingga para TKI tidak berdokumen yang datang Malaysia pertama-tama menggunakan visa pelancong (Tourist Visa),
dan kemudian dengan mekanisme tertentu memperoleh visa
kerja dari Pemerintah Malaysia dalam bentuk JP Visa tersebut.
Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan
Advokasi, Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI menyampaikan argumen perihal masalah celah masuknya TKI tidak berdokumen ini:8
7 Valerie M. Hudson, The History and Evolution of Foreign Policy Analysis dalam
Steve Smith,dkk, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, (New York: Oxford University Press, 2008), hlm. 12.
8 Wawancara dengan Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan Advokasi, Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI, Hari Selasa, 20 November 2012, Pukul 13.05 WIB, Kantor
Direktorat Mediasi dan Advokasi Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI Jalan Letjen M.T.
Haryono Kav.52, Jakarta Selatan.
~ 109 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
“Indonesia-Malaysia kan bebas visa. Dari Indonesia sendiri,
imigrasi yang mengawal visa atau mengawal lalu lintas orang
keluar masuk itu ya hanya melihat dia punya paspor, dia punya tiket,
tidak ada kewajiban pencekalan, kenapa harus dipermasalahkan?
Sementara ketika TKI itu sudah bisa masuk ke Malaysia, lalu tidak
diterima oleh majikannya namun kemudian mengikuti saudaranya
menempuh jalan tidak resmi dan sebagainya yang tidak memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan kemudian mengajukan izin kerja (ke instansi setempat di Malaysia), dan
akhirnya diberi tanda pengenal kerja oleh Pemerintah Malaysia.
Kelemahan dari mekanisme itu, dari sisi Pemerintah Indonesia,
pertama TKI tidak selektif (dipilih secara selektif), (karena) tidak
semuanya memenuhi persyaratan keterampilan umpamanya,
juga usia atau kesehatan. Yang kedua dari sisi syarat dan kondisi
kerja juga tidak ada yang bisa menjamin bahwa TKI tersebut akan
mendapat kondisi kerja yang layak umpamanya, bahwa dia harus
menandatangani perjanjian kontrak kerja dengan nilai gaji yang
layak juga tidak bisa dijaminkan apabila mereka tidak melalui
prosedur yang seharusnya. Inilah bagi saya salah satu hal yang
menjadi titik perhatian kita.”
Penerapan JP Visa ini merupakan salah satu satu permasalahan utama dalam koridor penempatan TKI sektor domestik
di Malaysia, hal ini disampaikan oleh Rendra Setiawan, Kepala
Seksi Kerjasama Regional dan Multilateral, Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan
dan Penempatan Tenaga Kerja, Kemenakertrans RI: 9
“Jadi salah satu yang jadi masalahnya adalah Journey Performed
(JP) Visa yang dikeluarkan Pemerintah Malaysia. Harusnya
kan Malaysia kan menerapkan aturan yang ketat juga dia, nah
9 Wawancara dengan Rendra Setiawan, Kepala Seksi Kerjasama Regional dan Multilateral,
Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, Kemenakertrans RI, Hari Selasa, 25 Maret 2013, Pukul 14.13 WIB,
Ruang Direktorat PTKLN, Dirjen Binapenta, Kemenakertrans RI, Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 51 Jakarta 12950
~ 110 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
visa ini harusnya gak sembarang orang bisa dapet juga kan, tapi
kenyataannya dia mengeluarkan terus. Dan kemarin waktu ada
Joint Working Group (JWG) dan juga via Joint Task Force (JTF),
Pemerintah kita menyatakan keberatan dengan penerapan JP Visa
itu. Kalau melalui jalur yang benar itu belum banyak TKI sektor
domestik kita yang berangkat ke Malaysia (pasca moratorium),
belum ada 100 orang. Tapi kenyataannya, udah ribuan orang
juga yang masuk ke sana.”
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia dalam analisa ini dinilai
berani memberlakukan kebijakan moratorium ini setelah melihat adanya ketergantungan publik Malaysia terhadap pekerja
migran di sektor domestik, terutama terhadap pekerja sektor
domestik migran asal Indonesia Ketergantungan publik Malaysia terhadap pekerja migran ini terlihat pada situasi Malaysia yang merupakan negara yang paling membutuhkan PLRT
migran di antara negara-negara tujuan migrasi di Asia Pasifik.
Pada tahun 2004, jumlah PLRT migran di Malaysia mencapai
250.000 orang, sementara jumlah PLRT migran di Hong Kong
sebesar 217.000 orang, Taiwan 125.000 orang, dan Singapura
150.000 orang. Jumlah PLRT migran di Malaysia terus meningkat dari tahun ke tahun dan sampai awal tahun 2003 tercatat
sejumlah 233.000 PLRT migran yang masuk ke Malaysia, 95%
berasal dari Indonesia dan sisanya dari Filipina, Sri Lanka, Thailand dan Kamboja. Pada tahun 2005, jumlah PLRT Indonesia di
Malaysia mencapai jumlah 294.000 orang.
Pada awal moratorium Pemerintah Malaysia tidak memberikan respon bahwa publiknya akan kesulitan mendapatkan
pekerja domestik pengganti selain dari Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan pekerja sektor domestik, Pemerintah Malaysia mencoba untuk meminta penempatan pekerja sektor domestik asal Kamboja dengan melansir 28.547 visa kerja bagi pekerja
migran asal Kamboja, dimana 24.700 visa kerja diberikan untuk
pekerja sektor domestik, yang merupakan peningkatan lima kali
~ 111 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
lipat dari jumlah visa kerja yang diberikan pada pekerja migran
Kamboja dua tahun sebelumnya.10
Teguh Hendro Cahyono menyatakan bahwa Pemerintah
Malaysia akan kesulitan untuk menemukan pengganti pekerja
domestik dari Indonesia: 11
“Tapi ya efek-efek samping lain semisal ancaman Malaysia semisal
kalau (tenaga kerja) nggak masuk dari Indonesia, (maka Malaysia)
akan mengambil dari negara lain. Itu di pikiran (Pemerintah)
Indonesia tidak digubris sama sekali, karena ngerti dari awal
bahwa tidak akan ada pasokan tenaga kerja lain ke Malaysia selain
dari Indonesia yang signifikan. Masing-masing negera pengirim
dan tujuan memiliki pasar sendiri-sendiri. Filipina juga banyak
di Malaysia tapi jumlahnya tertentu, artinya tidak bakalan orang
Malaysia akan mempekerjakan orang Filipina karena mungkin
standar gajinya tinggi. Juga misalnya orang Malaysia tidak
mau mempekerjakan orang Kamboja misalnya karena orang
Kamboja tidak muslim, ya itu juga yang meyakinkan kita bahwa
(moratorium) itu tak akan masalah.”
Situasi lain pun menunjukkan betapa publik Malaysia sedemikiannya membutuhkan tenaga penata laksana rumah tangga
asing, setelah Pemerintah Kamboja pada minggu kedua bulan
Oktober 2011 menyatakan larangan pengiriman tenaga penata
laksana rumah tangga ke Malaysia setelah muncul dugaan penyiksaan terhadap pekerja domestik asal Kamboja. Malaysia
mulai merekrut pembantu asal Kamboja setelah Indonesia menghentikan penempatan tenaga PLRT ke Malaysia. Dengan larangan Indonesia dan Kamboja, puluhan ribu rumah tangga di Malaysia kesulitan mendapatkan penata laksana rumah tangga.
Berdasarkan pembahasan yang ada pada Bab IV terkait
arus migrasi tenaga kerja antara Indonesia dan Malaysia serta
berdasarkan analisa yang coba dibangun pada bagian ini dapat
10 CARAM Asia (2011), Op.cit., hlm. 25.
11 Wawancara Teguh Hendro Cahyono, Op.cit.
~ 112 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
dijelaskan bahwa arus migrasi ketenagakerjaan lintas negara
antara Indonesia dan Malaysia yang telah berlangsung lama
adalah sebuah fenomena migrasi global yang akhirnya membentuk hubungan interdependensi antara Indonesia sebagai
negara pengirim pekerja migran, dan Malaysia, sebagai negara
tujuan penempatan, khususnya dalam koridor penempatan TKI
sektor domestik. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal: Pertama,
angka pengangguran yang masih tinggi di Indonesia hingga saat
ini, membuat opsi bekerja ke luar negeri masih menjadi pilihan
untuk keluar dari desakan pemenuhan kebutuhan ekonomi,
termasuk didalamnya akibat mekanisasi pertanian membuat
perempuan yang hidup di pedesaan kehilangan lapangan kerja, hingga akhirnya memutuskan untuk bekerja ke luar negeri,
khususnya ke Malaysia sebagai pekerja sektor domestik;
Kedua, industrialisasi yang terjadi di Malaysia, membuat
terbukanya peluang bekerja di beberapa sektor perekenomian
Malaysia, terutama di sektor-sektor yang membutuhkan banyak tenaga kerja tidak terampil, semisal konstruksi, manufaktur, dan perkebunan, selain itu, industrialisasi meningkatkan
kebutuhan publik Malaysia terhadap pekerja domestik migran
akibat munculnya fenomena wanita bekerja pasca industrialisasi, yang kemudian sektor ini didominasi oleh pekerja sektor
domestik asal Indonesia;
Ketiga, angka penempatan TKI ke Malaysia yang terus
meningkat setiap tahunnya, yang disebabkan oleh beberapa
faktor: kedekatan geografis, budaya, serta migrasi berdasarkan
informasi keluarga yang lebih dahulu bekerja di Malaysia; Keempat, tingginya kebutuhan akan pekerja migran di Malaysia,
serta banyak tersedianya pekerja migran Indonesia, dan adanya
peran calo membuat koridor arus migrasi Indonesia-Malaysia
menjadi rentan untuk migrasi buruh yang tidak prosedural
(ireguler), dan membuat status TKI yang melalui jalur tersebut
menjadi tidak berdokumen.
~ 113 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Tingginya angka penempatan ireguler ini menunjukkan
adanya interdependensi antara pekerja migran Indonesia sebagai penyedia jasa, dan publik Malaysia sebagai pengguna jasa,
adapun Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebagai regulator
tidak dapat menahan arus migrasi ireguler ini. Kondisi interdependensi ini menjadi latar belakang bagaimana Pemerintah
Indonesia harus menyikapi permasalahan yang mungkin muncul dalam arus migrasi ini, juga dalam hal menyiapkan upayaupaya perlindungan terhadap TKI yang berada dalam koridor
migrasi dengan angka penempatan yang tinggi.
3.
Konteks Permasalahan yang Kerap Menimpa Pekerja
Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia
Meninjau analisa pada bagian sebelumnya yang berpendapat
bahwa Pemerintah Indonesia tetap berkepentingan mempertahankan arus migrasi tenaga kerja ke Malaysia, maka pada bagian
ini akan dianalisa kondisi-kondisi yang mempengaruhi Pemerintah Indonesia hingga pada akhirnya memberlakukan kebijakan
moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia.
Dari beberapa kajian literatur dan wawancara yang dilakukan, ditemukan bahwa maraknya permasalahan yang dialami
oleh TKI sektor domestik di Malaysia adalah agenda utama yang
menjadi pendorong diberlakukannya kebijakan moratorium ini.
Dalam surat edaran penetapan kebijakan moratorium ini pun
disebutkan bahwa pelaksanaan penempatan dan perlindungan
TKI di Malaysia, khususnya sektor domestik seringkali menimbulkan banyak permasalahan.12
Kebijakan moratorium ini adalah adopsi kebijakan yang
diambil Pemerintah RI berdasarkan momentum akumulasi kasus-kasus permasalahan yang menimpa TKI sektor domestik di
Malaysia. Tentang hal ini, analis Migrant Care, Wahyu Susilo
12 Surat Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, Nomor B.677/PPTK-TKLN/VI/2009, Perihal
Penghentian Sementara Penempatan TKI ke Malaysia tertanggal 26 Juni 2009, ditandatangani oleh Direktur PTKLN (Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri) Abdul Malik Harahap.
~ 114 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
menyampaikan:13
“Moratorium (Malaysia) itu (dilatarbelakangi oleh) kasus-kasus
(yang dialami TKI), tahun 2009 itu kasus apa ya, aku lupa. Tapi
sebenarnya akmumulasi dari kasus-kasus TKI, tapi momentumnya
itu 2009, kasus Ceriyati kalau tidak salah.”
Rusdi Basalamah, Ketua Umum APJATI (Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia), menambahkan bahwa kebijakan moratorium yang diadopsi berdasarkan maraknya permasalahan yang menimpa TKI ini juga didorong oleh tekanan
publik, dalam wawancara Rusdi menyampaikan:14
“Bisa dibilang, ada tekanan publik di saat itu yang luas karena
kasus Ceriyati waktu itu kalau saya tidak salah, pokoknya yang
kasusnya itu disetrika atau apa saya lupa. Tapi esensinya di saat
itu ada kasus, dan jadi bulan-bulanan di media massa. Mungkin
juga karena tekanan dari publik saat itu, Pemerintah juga
kemudian mengambil momen, karena harus ada pembaharuan
MoU (dengan Malaysia), sehingga kemudian (penempatan TKI
ke Malaysia) ditutup.”
Pada literatur lain, Da’i Bachtiar, Duta Besar RI untuk Malaysia saat moratorium ini diberlakukan menyampaikan bahwa
kebijakan Pemerintah Indonesia yang melakukan moratorium
terhadap tenaga kerja sektor domestik ke Malaysia, adalah karena ada satu peristiwa berulangnya kembali satu perbuatan
kekerasan atau penganiayaan terhadap penata laksana rumah
tangga (PLRT) asal Indonesia oleh majikan di Malaysia, seperti
pada kasus Siti Hajar, Nirmala Bonat dan Ceriyati.15
13 Wawancara dengan Wahyu Susilo, Analis Kebijakan Migrant Care, Hari Jumat, 30 November
2012, Pukul 11.12 WIB, Sekretariat Migrant Care, Jalan Pulo Asem Utara I No.16, Pulogadung, Jakarta Timur, 13220.
14 Wawancara dengan Rusdi Basalamah, Ketua APJATI (Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga
Kerja Indonesia), Hari Kamis, 1 November 2012, Pukul 14.32 WIB. Gedung APJATI, Jalan
Warung Buncit Raya No.126 Pancoran, Jaksel, 12740
15 Kronologi kasus-kasus yang menimpa TKI sektor domestik serta tanggapan-tanggapannya
dapat dilihat di Dewi Anggraeni, Dreamseekers: Indonesian Women as Domestic
Workers in Asia, (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), dan Migrant Care, Sikap Migrant
~ 115 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Bachtiar menyampaikan analisa mengapa sering berulang kembali penganiayaan terhadap PLRT:16 Pertama, karena
penerapan hukum di Malaysia yang tidak memberikan usaha
pencegahan bagi PLRT yang dianiaya oleh majikan, proses hukum yang dapat membawa majikan ini ke pengadilan sangat
lamban, bahkan hukumannya kadang-kadang ringan; Kedua,
PLRT sama sekali tidak memperoleh kesempatan keluar rumah, sehingga tidak ada komunikasi dengan luar, buktinya
penganiayaan yang dilakukan terhadap Siti Hajar berlangsung
hampir tiga tahun. Mengapa berlangsung lama tanpa ada yang
tahu, karena dia tidak pernah bisa keluar dari rumah; dan Ketiga, apabila PLRT merasa tidak betah, yang bersangkutan tidak
bisa kemana-mana karena paspor dipegang oleh majikan.
Faktor-faktor itulah yang menjadi komitmen (tuntutan)
Pemerintah Indonesia untuk melakukan re-evaluasi terhadap
penempatan TKI sektor domestik di Malaysia, antara lain tuntutannya adalah paspor tidak dipegang oleh majikan tetapi oleh
TKI, juga mereka diberi kesempatan beristirahat sehari dalam
seminggu, kemudian proses yang tegas terhadap mereka yang
dianiaya, dan juga aturan mengenai standar gaji yang wajar
(walaupun tidak digunakan istilah gaji minimum).
Jenis-jenis permasalahan yang menimpa TKI ini begitu
kompleks, dan sebenarnya tidak hanya terjadi saat TKI bekerja
di Malaysia, namun juga terjadi saat tahap pra-penempatan,
dan saat tahap purna-penempatan. Pada sub-bab berikut akan
diilustrasikan permasalahan yang dihadapi TKI sejak masa prapenempatan hingga tahap purna-penempatan, sebagai gambaran kompleksitas permasalahan TKI di luar negeri, khususnya
Malaysia.
Care terhadap Problematika Buruh Migran Indonesia, (Jakarta: Migrant Care dan
Cordaid, 2009)
16 Da’i Bachtiar, “Diplomasi Perlindungan” WNI/TKI, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1,
Maret Tahun 2010, hlm. 16
~ 116 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Tabel VII.2
Kasus TKI yang Ditampung dan Ditangani
oleh Perwakilan RI di Malaysia17
No. Perwakilan RI
1.
2.
3.
4.
5.
KBRI Kuala Lumpur
KJRI Johor Bahru
KJRI Kota Kinabalu
KJRI Kuching
KJRI Penang
2009
1.008
525
142
293
171
Jumlah WNI/TKI
2010
792
412
214
343
305
2011*
102
87
20
23
71
Sumber: Direktorat PWNI dan BHI Kemenlu RI, 2011; *data sampai
pada bulan Maret 2011
a. Permasalahan di Tahap Pra-Penempatan
Masalah yang dihadapi oleh TKI dalam tahap ini adalah
pelatihan bagi calon TKI yang belum maksimal, rekrutmen
yang tidak transparan, informasi yang tidak lengkap mengenai keadaan negara penempatan dan sosialiasi bagi calon TKI,
pelaporan hasil seleksi calon TKI dari PPTKIS ke BP3TKI yang
ternyata tidak berjalan seharusnya pemalsuan dokumen oleh
pihak sponsor serta rentang waktu pelatihan yang tidak sesuai
ketentuan.18
Permasalahan yang berasal dari dalam negeri tidak begitu
kentara menurut Rendra Setiawan:19
“Sebenarnya tidak ada masalah, karena kejadian (kasus yang
menimpa TKI-nya) ada di sana (Malaysia), bukan di sini. Jadi
yang namanya gaji tidak dibayar, pelecehan seksual, kekerasan
kebanyakan terjadinya di sana, kalau yang terjadi di dalam negeri
17 Data pada tabel ini dikutip dari presentasi Yuli Mumpuni Widarso, Staf Ahli Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Kemenlu RI berjudul Peran Negara dalam melindungi WNI di
Luar Negeri: Permasalahan dan Langkah-langkah Strategis yang disampaikan
pada Foruk Komunikasi Kehumasan BNP2TKI di Bogor pada tanggal 19 Juli 2011.
18 Ana Sabhana Azmy dalam Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah
Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
2004-2010, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2012), hlm. 154.
19 Wawancara dengan Rendra Setiawan, Op.cit.
~ 117 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
itu paling gagal keberangkatan, itu pun jarang.“
Namun, Rafail Walangitan, dari Direktorat PWNI dan BHI
Kemenlu RI, menyatakan bahwa hampir 80% permasalahan
TKI di luar negeri itu merupakan permasalahan bawaan dari
dalam negeri:20
“Bahkan dapat juga kita sebutkan prinsip perlindungan itu
harusnya dimulai dari dalam negeri kan, karena seluruh persoalan
yang muncul hampir 80% sebenarnya permasalahan bawaan dari
dalam negeri. Misalnya bahasa, kalau mau pergi bekerja ke Arab
Saudi atau Malaysia tapi tidak tahu sepotong pun bahasa, atau
paling tidak (yang berangkat ini) tidak mengetahui adat istiadat
negara setempat, ini juga persoalan. Jadi kalau kita melihat,
hampir 80% kasus (diawali) oleh tidak siapnya kita memberikan
pelatihan ataupun kelengkapan yang harus dimiliki oleh TKI.
Kemudian juga masalah-masalah mereka yang keluar negeri
tanpa ada persiapan.”
Kajian yang dilakukan BPKP (Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kemenlu RI dan UKHP Universitas
Airlangga pada tahun 2011 pun meyakini bahwa 70%-80% permasalahan yang dialami oleh TKI berasal dari dalam negeri.
Faktor-faktor penyebab utama timbulnya permasalahan TKI
dimaksud, antara lain:21
1. Pada tahap rekruitmen, adanya dominasi peran calo/sponsor, dan diabaikannya peraturan perundang-undangan dalam proses rekruitmen TKI karena kebutuhan negara pengguna;
2. Pada tahap pelatihan, belum ditanganinya penyiapan te20 Wawancara dengan Rafail Walangitan, Kasubdit I Perlindungan WNI di Wilayah Malaysia,
Benua Amerika, Suriah, Yordania dan Timur Tengah, Direktorat Perlindungan Warga Negara
Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Kemenlu RI pada Hari Kamis, 14 Januari 2013, Pukul 16.13 WIB di Gedung Utama Lantai Dasar, Dir. PWNI dan BHI, Kemenlu RI Jalan Taman
Pejambon No.6, Jakarta 10110
21 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kemenlu RI dan UKHP Universitas Airlangga, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI
di Luar Negeri, (Jakarta: BPPK Kemenlu RI, 2011), hlm. 87.
~ 118 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
naga kerja migran secara profesional, bahkan masih ditemukan pelatihan oleh PPTKIS hanya sebagai formalitas untuk
memenuhi persyaratan belaka. Sementara itu, sertifikasi hasil pelatihan belum memberikan jaminan kompetensi TKI;
3. Pada tahap pemberangkatan, lemahnya koordinasi antar-instansi terkait dalam pengurusan dokumen perjalanan, panjangnya prosedur dan persyaratan pengurusan dokumen,
menjadi sumber dilakukannya praktek-praktek korupsi,
kolusi, nepotisme (KKN) yang merugikan TKI, lemahnya
hukum dalam prosedur perjanjian kerja antara calon TKI
dan pihak pengguna, lamanya tinggal di penampungan
PPTKIS, dan kegiatan Pembekalan Akhir Pemberangkatan
(PAP) yang tidak efektif dan hanya untuk formalitas.
Permasalahan bawaan dari dalam negeri ini membawa implikasi secara langsung pada permasalahan yang terjadi di masa
penempatan dan kepulangan, misalnya kurangnya jam dan
kualitas pelatihan menyebabkan TKI mengalami ketidaksiapan
saat sesampainya di lingkungan kerja. Hal ini menyebabkan
kualitas TKI yang bekerja di sana tidak optimal, dan menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan ketidakpuasan majikan,
dan kadang berbuah perlakuan tidak menyenangkan terhadap
TKI dalam hal ini termasuk penganiayaan.
Permasalahan ketidaklengkapan dokumen, ataupun kurangnya sosialisasi tentang negara tujuan penempatan dan
calon majikan kepada TKI juga menjadi salah satu faktor utama
adanya kasus perdagangan manusia (human trafficking) dalam
bentuk tempat bekerja yang tidak sesuai pada kontrak yang telah ditentukan. Selain itu, pemalsuan usia juga menjadi pendorong masalah lain di Malaysia, yaitu mengenai kebijakan ditahannya paspor oleh majikan. Usia TKI yang masih muda menjadi kekhawatiran tersendiri bagi majikan agar TKI yang bekerja
padanya tidak melarikan diri, juga adanya kekhawatiran TKI
akan memiliki anak di luar nikah karena pergaulannya di luar
rumah.
~ 119 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
b. Permasalahan di Tahap Penempatan
Masalah yang terjadi dalam tahap ini adalah, upah yang
tidak dibayar oleh majikan, tidak adanya aturan cuti libur sehari dalam seminggu, perdagangan manusia (human trafficking), pelecehan seksual, pemerkosaan, pemegangan paspor oleh
majikan, upah minim dari buruh migran negara lain, larangan
berorganisasi, tidak diberi makan yang layak, jam kerja yang
melampau batas, majikan memperpanjang kontrak tanpa izin,
dilarang berkomunikasi dengan orang lain, diberhentikan kerja
secara sepihak (PHK), dan lainnya.22
Permasalahan yang sering terjadi di wilayah ini adalah
karena Pemerintah Malaysia tidak menempatkan sektor kerja
domestik sebagai sektor informal yang dicakup dalam peraturan ketenagakerjaan di Malaysia. Menurut Employment Act
1955, PLRT adalah budak yang tidak memiliki hak. Dari aspek
kebijakan publik pemerintah Malaysia sendiri secara eksplisit
tidak berkeinginan untuk melindungi para PLRT migran. Dalam Employment Act 1955 Section 57, ditegaskan bahwa hak
PLRT yang diakui hanyalah yang terkait dengan pemutusan
hubungan kerja antara PLRT dengan majikan. Tidak ada pasalpasal lain dalam undang-undang tersebut yang terkait dengan
PLRT.23 Kondisi ini membuat PLRT sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, karena memang hak-hak mereka sebetulnya tidak ada, dan kondisi ini berlainan dengan para pekerja
migran di sektor lain.
Untuk mengacu pada pekerja rumah tangga, Employment
Act 1955 itu sendiri masih menggunakan kata dalam Bahasa
Inggris, “servants” yang konotasinya kurang etis. Dalam prakteknya, konotasi ini tak berbeda dengan definisi “budak”, karena sekalipun dibatasi oleh kontrak waktu kerja dua tahun,
22 Wahyu Susilo, “Kekerasan terhadap Buruh Migran Perempuan Indonesia”, Jurnal Perempuan no.26, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta, 2002), hlm.61.
23 CARAM Asia, Reality Check! Rights and Legislation for Migrant Domestic
Workers Across Asia, (Kuala Lumpur: CARAM Asia, 2011), hlm. 26.
~ 120 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
mereka pada dasarnya adalah properti dari dan tunduk pada
majikan yang bersangkutan.
Tabel VII.3
Rincian Kasus di Shelter KBRI Kuala Lumpur
pada Tahun 201024
Jenis Kasus
Gaji tidak dibayar
Tidak betah kerja
Kerja Berat
Eksploitasi
Non Labour Cases Kekerasan fisik
Pelecehan seksual/ Pemerkosaan
Trafficking
Sakit/stress
Terlantar/ilegal
Lain-lain
Total Kasus
Labour Cases
Jumlah Kasus
236
220
52
7
96
23
32
45
227
15
953
Sumber: Data KBRI Kuala Lumpur, Malaysia
Dalam Immigration Act 1952/1956/2002, tidak banyak disinggung tentang perlindungan PLRT. Salah satu aturan yang
dimuat dalam undang-undang tersebut adalah kebijakan single
entry policy, yang menetapkan bahwa PLRT migran yang masuk
ke Malaysia hanya boleh didaftarkan pada satu orang majikan
saja.25 Ini berarti PLRT tidak dapat dan tidak memiliki hak untuk memilih majikan yang dikehendakinya. Hal sebaliknya terjadi pada majikan, mereka berhak mengganti pekerja yang tidak
disukainya. Kekuasaan majikan terhadap PLRT adalah mutlak.
Jika seorang TKI PLRT ingin pindah majikan, ia harus kembali
ke Indonesia terlebih dahulu, setelah itu barulah ia diizinkan
kembali ke Malaysia dengan izin kerja yang baru.
24 Berdasarkan data yang diberikan oleh pihak ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur, Malaysia,
20 Mei 2011, sebagaimana dalam Ana Sabhana Azmy, Op.cit., hlm. 136
25 Ibid., hlm. 27-28
~ 121 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Kekuasaan mutlak yang diberikan undang-undang imigrasi membuat PLRT yang diperlakukan sewenang-wenang oleh
majikan tidak punya akses untuk mendapatkan keadilan. Hal
ini terjadi karena visa dan izin kerja yang dimilikinya terkait
dengan nama majikannya. Majikan yang tidak menyukai PLRT
yang bekerja padanya bisa dengan mudah mengakhiri kontrak
dengan melaporkannya pada pihak imigrasi untuk membatalkan visa dan izin kerja PLRT tersebut, karena hanya majikan
yang memiliki kuasa untuk mengurus visa dan izin kerja. PLRT
yang dibatalkan visa dan izin kerjanya oleh majikan kehilangan
haknya untuk tinggal dan bekerja di Malaysia. Meskipun PLRT
lari dari majikan karena mengalami tindak kekerasan misalnya,
PLRT tersebut akan menjadi tidak berdokumen dan dapat dikenakan hukuman penjara, denda, dan akhirnya dideportasi karena seluruh dokumennya berada di tangan majikan.
Pada saat yang sama, ketika PLRT mendapatkan jalan untuk membuat pengaduan tentang tindak kekerasan atau yang
gajinya tidak dibayarkan oleh majikan, pengaduan itu akan
diputuskan oleh majikannya, pengaduan itu akan diproses dan
diputuskan pengadilan. Dalam hal ini, pengadilannya sendiri
membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Pada kasus
ini dalam Employment Act 1955 ditetapkan bahwa pekerja
asing yang tengah menyelesaiakan kasusnya di pengadilan
tidak diperbolehkan bekerja. Pekerja asing juga tetap harus
membayar visa khusus dalam jumlah tertentu untk setiap bulan
selama menunggu kasus tersebut.
c.
Permasalahan di Tahap Purna-Penempatan dan Upaya
Penyelesaian Permasalahan
Masalah yang terjadi pada tahap ini di antaranya, beberapa
aparat yang meminta uang dengan paksa pada pekerja migran
perempuan Indonesia, khususnya di terminal khusus kepulangan TKI, misalnya dengan mewajibkan memiliki kartu identitas
~ 122 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
khusus TKI yang telah disiapkan di terminal bandara, pelayanan bandara yang birokratis, kekerasan psikis (dibentak, diancam, dan sebagainya), juga pelatihan purna penempatan yang
hanya fokus pada sisi ekonomi tanpa melihat sisi yang lain.26
Data yang dirilis oleh BNP2TKI pada tahun 2009-2010,
beberapa permasalahan yang menyertai kepulangan TKI
meliputi:27 (1) Pekerjaan Tidak Sesuai Perjanjian Kerja; (2) Tidak
Mampu Bekerja; (3) Gaji Tidak Dibayar; (4) Dokumen Tidak
Lengkap; (5) Penganiayaan; (6) Pelecehan Seksual; (7) Majikan
Bermasalah; (8) Komunikasi Tidak Lancar; (9) Kecelakaan Kerja;
(10) Sakit Akibat Kerja; (11) Sakit Bawaan; (12) Majikan Meninggal; (13) TKI Hamil; (14) Membawa Anak; (15) PHK Sepihak.
Cakupan permasalahan yang tercatat saat sekembalinya TKI ke
tanah air menunjukkan kompleksitas permasalahan yang dihadapi TKI di luar negeri khususnya TKI.
Dalam sebuah lokakarya yang diselenggarakan oleh BPPK
Kemenlu RI terungkap bahwa 80% permasalahan yang melibatkan TKI seperti trafficking, deportasi dan overstayer, berakar dari
dalam negeri. Akar permasalahan terletak pada:28
• Faktor individu, seperti alasan sosial ekonomi, kemiskinan
dan pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan serta kurangnya kesadaran masyarakat dan TKI
sehingga dengan mudah menjadi korban eksploitasi;
• Faktor perusahaan pengerah penempatan, seperti lebih
26
Ana Sabhana, Op.cit. hlm. 160-161. Penelitian yang spesifik menelisik tentang permasalahan yang dihadapi oleh TKI saat kepulangan, khususnya di terminal khusus kepulangan
TKI dapat dilihat di Yayasan Jurnal Perempuan, Sambutlah Kepulangan Kami; Studi
Efektivitas dan Dampak Perlindungan Terminal Khusus TKI, (Jakarta: Penerbit
Yayasan Jurnal Perempuan, 2011)
27 Data BNP2TKI mengenai Permasalahan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 20092010.
28 “Laporan Lokakarya: Diskusi Penguatan Hasil Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan WNI/TKI di Luar Negeri”, dalam BPPK Kementerian Luar Negeri RI,
Forum Komunikasi Kelitbangan: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta: BPPK Kemenlu RI, 2011), hlm. 118.
~ 123 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
mengutamakan kepentingan bisnis tanpa memperhatikan
sistem perekrutan yang baik, sistem pelatihan yang benar
serta sistem pemeriksaan dan administrasi yang benar;
• Faktor pemerintah seperti regulasi yang tumpang tindih,
kurangnya koordinasi antar instansi, rendahnya penegakan
hukum, lemahnya kontrol pemerintah;
• Faktor negara tujuan seperti tidak adanya atau tidak memadainya hukum ketenagakerjaan di negara penempatan,
pendekatan yang berbeda dengan Indonesia, perbedaan
cara pandang terhadap pekerja domestik dan tenaga kerja
di bidang-bidang tertentu.
Selain itu, yang juga menjadi kendala adalah ketidakakuratan data tentang TKI dimana masing-masing lembaga mempunyai angka yang berbeda-beda. Permasalahan di dalam negeri dalam beberapa pendapat di atas dinyatakan sebagai akar
permasalahan dari masalah yang kemudian datang di masa
penempatan. Menanggapi hal ini, Rendra Setiawan menyampaikan beberapa hal yang telah dilakukan oleh Pemerintah untuk membenahi proses persiapan calon TKI di dalam negeri,
yaitu pembekalan keterampilan TKI melalui Balai Latihan Kerja
(BLK) dan verifikasi PPTKIS bermasalah:29
“Kalau pembenahan dalam negeri kan Pak Menteri bilang
“jangan berangkat, kalau belum siap”. Siap itu kan (artinya)
macam-macam, kita kan sudah memberikan bantuan, pokoknya
untuk Visa berangkat itu yang penting skill dari PLRT ini, kita
tingkatkan baik keterampilannya, maupun persiapan untuk
berangkat kerjanya. Saya rasa itu yang utama (pembenahan
skill), selain itu juga kita lakukan (pembenahan) Balai Latihan
Kerja (BLK), jadi dari mulai perlengkapannya, peralatannya
juga instrukturnya kita tingkatkan semuanya. Bahkan tahun
ini kita memiliki anggaran untuk bantuan ke daerah mengenai
BLK. Kalau dari sisi dalam negeri, kita juga melakukan verifikasi
29 Wawancara dengan Rendra Setiawan, ibid.,
~ 124 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
PPTKIS (Pengusaha Pengerahan Tenaga Kerja Indonesia
Swasta). waktu itu survei-nya kita lakukan melalui pihak ketiga,
PT Surveyor Indonesia. Waktu itu tujuannya kita coba menggrade mana PPTKIS yang berwarna “hijau”, “biru”, jadi bisa
kita lihat yang nilainya kurang bisa kita lebih perhatikan dan
bina, ada juga yang di merger.”
Selain pembenahan di dalam negeri yang dilakukan di atas,
moratorium ini bertujuan juga untuk menyelesaikan permasalahan kasus-kasus yang menimpa TKI sektor domestik yang sedang berada di Malaysia. Data yang dihimpun Direktorat PWNI
dan BHI Kemenlu RI, menunjukkan angka persentase penyelesaian kasus yang dialami TKI di luar negeri:30
Tabel VII.4
Persentase Penyelesaian Kasus Menyangkut TKI Tahun 2010
Kawasan
Asia Minus Malaysia
Malaysia
Timur Tengah minus Arab
Saudi
Arab Saudi
Selesai
Proses
160
287
657
Total
Kasus
3.113
2.066
6.345
Penyelesaian
Kasus (%)
94,86
86,11
89,65
2.953
1.779
5.688
3.948
294
4.242
93,07
Sumber: Direktorat PWNI dan BHI, 2010
Rafail Walangitan dari Direktorat PWNI dan BHI Kemenlu
pun menyampaikan bahwa kasus yang ditangani dari tahun ke
tahun terus menurun, dan beliau pun menambahkan bahwa
sebenarnya yang menjadi atensi publik terhadap permasalahan
kasus-kasus ini bukan hanya berdasarkan jumlahnya yang cukup tinggi:31
“Persoalannya bukan dari 800 ribu kemudian itu memiliki
masalah semua. Catatan kita terakhir, mungkin kasus yang
30 Jurnal Diplomasi, No. 47 Tahun IV,Tanggal 15 September-14 Oktober 2011, hlm. 8.
31 Wawancara dengan Rafail Walangitan, Op.cit.
~ 125 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
benar-benar jadi kasus, tidak lebih sekitar hanya dua ribu kasus
lebih, angka pastinya nanti kita lihat data statistiknya, itu
mencerminkan hanya berapa persen dari jumlah keseluruhan.
Nah mungkin masyarakat melihat bukan daripada jumlah kasus,
karena persentase (kasusnya) sendiri terus menurun dari tahun
ke tahun kasus yang kita tangani. Tetapi memang hubungan
kedua negara diwarnai oleh banyak isu, tidak hanya isu budaya
tetapi isu sosial. Dimana persoalan-persoalan penganiayaan yang
dialami warga negara Indonesia yang bekerja sebagai PRT, juga
mewarnai hubungan kedua negara tersebut.“
Permasalahan-permasalahan yang menimpa TKI, khususnya sektor domestik di Malaysia, memang sudah berlangsung
sejak lama sebagaimana digambarkan pada ilustrasi di atas,
dan telah coba digambarkan pula secara historis di Bab 2. Permasalahan-permasalahan yang mendorong diberlakukannya
moratorium ini sebenarnya telah coba dientaskan melalui nota
kesepahaman yang disetujui kedua belah pihak pada tahun
2006. Namun, pelaksanaan nota kesepahaman yang tidak mencapai hasil memuaskan dan sikap Malaysia yang tidak begitu
mengindahkan hasil nota kesepahaman inilah yang membuat
Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan kebijakan moratorium ini sekaligus mengajukan proposal amandemen terhadap nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia tentang rekrutmen dan penempatan TKI sektor domestik di Malaysia yang ditandatangani tahun 2006 tersebut.
4.
Formasi Kepentingan dalam Kebijakan Moratorium
Penempatan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik
ke Malaysia
Pada penelitian ini, negara tidak dilihat sebagai entitas
yang berdiri sendiri serta independen dalam proses pembuatan kebijakan luar negerinya, karena dalam proses pembuatan kebijakan tersebut terjadi proses bargaining (pertarungan
~ 126 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
kepentingan antar individu atau kelompok yang saling bertemu)
yang terus menerus sejak proses formulasi kebijakan dilakukan.
Kebijakan luar negeri tidaklah semata-mata dirumuskan oleh
Negara an sich sebagai entitas utama dalam pergaulan internasional. Perumusan ini melibatkan aktor-aktor di level domestik
dengan berbagai ide dan kepentingan dalam sebuah proses bargaining di institusi Negara yang memperoleh mandat pembuatan kebijakan publik (dalam hal ini kebijakan luar negeri). Intensitas bargaining yang tinggi ini kemudian membentuk sebuah
pola kecenderungan pengambilan keputusan-keputusan oleh
para pembuat kebijakan, yang kemudian turut menentukan
seberapa kuat posisi tawar kebijakan luar negeri tersebut dalam
menghadapi negara lain.
James Anderson menuliskan di bukunya, Public Policy Making bahwa kebijakan publik diawali dengan proses kebijakan,
yaitu:
a. Agenda kebijakan: diantara banyaknya permasalahan,
mana yang mendapat perhatian serius dari pemerintahan.
b. Formulasi kebijakan: pengajuan yang diterima atas aksi
untuk sepakat dengan masalah publik.
c. Adopsi kebijakan: pengembangan dukungan untuk pengajuan yang lebih spesifik, karenanya kebijakan dapat
dilegitimasikan.
d. Implementasi kebijakan: aplikasi kebijakan oleh mesin
administratif pemerintahan.
e. Evaluasi kebijakan: usaha pemerintah untuk menetapkan
apakah kebijakan sudah efektif dan mengapa atau mengapa
tidak.32
Agenda kebijakan moratorium penempatan TKI sektor
domestik ke Malaysia ini, dianalisa sebagai hasil pemilihan
32 James Anderson, Public Policy Making: an Introduction, 7th Edition (USA: Wadsworth, 2011), hlm.4 sebagaimana dikutip oleh Ana Sabhana Azmy dalam Negara dan
Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia,2012), hlm. 90-91.
~ 127 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
prioritas masalah yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia terkait perlindungan tenaga kerja Indonesia di
luar negeri. Sebagaimana telah dijabarkan pada bagian sebelumnya mengenai konteks permasalahan yang kerap dialami
TKI sektor domestik di Malaysia, pada masa pemerintahan SBY,
pemberitaan mengenai kasus-kasus permasalahan yang dialami
TKI sektor domestik di Malaysia terakumulasi sehingga Pemerintah harus segera melakukan rangkaian tindakan berupa kebijakan untuk mengatasinya, dalam hal ini melalui opsi melakukan kebijakan moratorium penempatan.
Terkait motif Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan ini, Rusdi Basalamah berpendapat sebagai berikut:33
“Selain itu juga kepentingan Pemerintah (dalam moratorium ini)
karena ada kepentingan politik, saya dulu pernah tanya ke anggota
DPR, ini kan semua (karena) ga mau ambil resiko politik, semua
mau aman, isu TKI itu isu yang sensitif, bisa ngebakar emosi
publik, apalagi kalau media sudah ikutan, wah ciamik itu kan... Ini
yang paling penting dari semuanya, political will dari Pemerintah.
Kenapa Pemerintah adakan moratorium ini, kenapa moratorium
ini gak dibuka. Semua juga tidak lepas dari persoalan politik,
kenapa persoalan politik? Ini tekanan, SBY gak mau ambil resiko.
Mungkin, saling terkait, kalau mereka bilang (moratorium ini ada)
resiko politik, jadi dengan Pemerintah sudah melakukan sesuatu,
mereka dipandang sudah memperhatikan persoalan. Moratorium
ini menyangkut banyak orang.”
Dalam hal proses formulasi kebijakan, Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan Advokasi, Deputi Bidang
Perlindungan, BNP2TKI memberikan keterangan kronologi
pemberlakuan kebijakan moratorium ini:34
“Yang saya tahu, moratorium ke Malaysia itu dilakukan oleh
33 Wawancara Rusdi Basalamah, Op.cit.
34 Wawancara dengan Teguh Hendro Cahyono, Op.cit.
~ 128 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
pihak Indonesia; dipicu pada tahun 2009 (26 Juni 2009) oleh
kasus yang sempat geger menimpa seorang TKI. Kemudian pada
waktu itu dari pihak BNP2TKI datang ke Malaysia: Pak Jumhur
(Hidayat) kala itu berbicara dengan Pak Dubes (RI di Malaysia)
di depan media massa dan menyampaikan opsi moratorium
untuk menekan kedua belah pihak guna memperbaiki langkahlangkah perlindungan pada TKI di Malaysia khususnya yang
domestic worker. Kemudian, selang seminggu kemudian, pihak
Kedubes (RI di Malaysia), Pak Dubes Da’i Bachtiar waktu itu
datang ke Indonesia, bertemu dengan Kementerian Luar Negeri
dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Pak Erman
Suparno) persis saat Pak Erman pulang dari luar negeri, karena
saat kejadian kata “moratorium” disampaikan oleh Pak Jumhur,
Pak Menakertrans sedang di luar negeri. Dua minggu kemudian,
Pak Da’I Bachtiar bersama dengan Pak Wakil Menlu dari
Kementerian Luar Negeri, akhirnya memutuskan dan menetapkan
moratorium atau penghentian sementara TKI penatalaksana
rumah tangga ke Malaysia.”
Melihat keterangan di atas, proses formulasi kebijakan ini
amat dominan diputuskan oleh institusi Negara, dalam hal ini
Kemenakertrans, BNP2TKI serta perwakilan RI di Malaysia yang
merupakan bagian dari Kementerian Luar Negeri RI. James Anderson menyebutkan bahwa dalam kebijakan publik, memang
ada beberapa kelompok yang mempunyai akses lebih daripada
yang lain. Kebijakan publik dalam waktu kapan pun akan merefleksikan kepentingan pihak yang dominan. Dalam pembuatan
kebijakan, baik secara ekonomi atau politik, individu atau siapa
pun akan didorong oleh pilihan-pilihan, dan kemudian mencari
untuk memaksimalkan keuntungan yang mereka dapatkan.35
Dominannya peran institusi negara juga dapat dilihat
dalam Inpres No.6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi
Sistem Penempatan dan Perlindungan, yang menunjukkan
35 Anderson, Op.cit.,hlm. 25
~ 129 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
beberapa instansi pemerintahan yang terlibat langsung dalam
mekanisme kepengurusan migrasi tenaga kerja, baik dari tahap
pra-penempatan, penempatan dan purna penempatan. Instansi
pemerintahan yang dalam hal ini diwakili oleh kepala instansi
tersebut adalah: 1) Menteri Luar Negeri; 2) Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi; 3) Menteri Dalam Negeri; 4) BNP2TKI; 5) Gubernur/Bupati/Walikota; 6) Menteri Hukum dan HAM; 7) Menteri Kesehatan; 8) PPTKIS; 9) Kepala Lembaga Uji Kompetensi;
10) Menteri Perhubungan; 11) Menteri Keuangan; 12) Kapolri.36
Menurut Thomas Birkland, terdapat dua jenis kategori partisipan dalam pembuatan kebijakan publik, yaitu: 1) Official actors (aktor resmi), yaitu mereka yang terlibat dalam kebijakan
publik karena tanggung jawab mereka disetujui oleh hukum
atau konstitusi, dan karena itulah mereka mempunyai kekuasaan untuk membuat dan menegakkan kebijakan-kebijakan;
dan 2) Unofficial actors (aktor tidak resmi), yaitu aktor yang terlibat dan berperan dalam proses kebijakan tanpa otoritas legal
secara langsung untuk berpartisipasi. kelompok ini dilibatkan
karena mempunyai hak untuk terlibat, karena mereka mempunyai kepentingan yang penting untuk melindungi dan memajukan, karena dalam banyak hal sistem pemerintahan tidak akan
berjalan baik tanpa mereka.
Pada penelitian skripsi ini, dua aktor tidak resmi yang dipilih untuk menjadi informan dalam memberikan pendapatnya
terkait pemberlakuan kebijakan moratorium ini adalah pihak
pengusaha penempatan TKI swasta (PPTKIS) dalam hal ini diwakili APJATI (Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia), dan yang kedua dari pihak lembaga swadaya masyarakat
(LSM/ Civil Society Organization [CSO]) yang bergerak dalam bidang perhatian migrasi tenaga kerja, yang diwakili oleh Migrant
Care. Kedua aktor ini, dipilih berdasarkan asumsi bahwa kedua
36 Berdasarkan isi dari Inpres No.6 Tahun 2006 tentang Reformasi Sistem Penempatan dan
Perlindungan TKILN dalam Poin Penanggung Jawab dari tiap reformasi yang dijalankan,
dikutip dari Ana Sabhana Azmy (2011),Op.cit. hlm 124
~ 130 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
pihak ini mengalami dampak langsung dari pemberlakuan kebijakan moratorium penempatan TKI di Malaysia.
Rusdi Basalamah dari APJATI menyampaikan relasi antara
pengusaha dengan Pemerintah selama ini terkait kebijakan migrasi tenaga kerja sebagai berikut:37
“Ya, kita aktif diajak bicara itu oleh Kemenlu, oleh BNP2TKI,
ya komunikasi ada dengan Depnaker tapi menurut saya ya tidak
(cukup intens), kadang di tingkat Menteri bagus, di tingkat
Dirjen lelet, jadi ga kena. Padahal kita itu yang di lapangan, cost
structure (baru) itu tidak jalan, karena kita punya masukanmasukan itu ga diterima, ga jalan, karena dia itu tidak tahu
bagaimana di lapangan, bagaimana dinamisnya persaingan.”
Spesifik mengenai kebijakan moratorium penempatan TKI
sektor ke Malaysia dan beberapa negara tujuan penempatan,
Rusdi Basalamah menyampaikan bahwa pada dasarnya pengusaha tidak menolak kebijakan moratorium ini:38
“Tapi tentu pada prinsipnya, apapun regulasi Pemerintah itu harus
kita dukung kan, apalagi Pemerintah juga selalu diserang (oleh
publik) tentang konsep perlindungan (warganegara), yang kita
hormati juga bahwa Pemerintah juga ingin melakukan perbaikan
karena kita akui bahwa persoalan (TKI) ini juga berakar mayoritas
dari dalam negeri. Mulai dari sistem rekrutmen, peran calo yang
dominan, penempatan TKI ilegal yang tidak dapat dibendung
oleh Pemerintah apalagi pintu-pintu masuk ke Malaysia itu luar
biasa banyaknya, ada 31 titik yang menjadi pintu masuk TKI
ilegal. Pengusaha itu tidak menolak moratorium, asal dalam
konteks untuk memperbaiki kondisi. Kita ini sudah beberapa kali
moratorium, tapi ya sudah hanya buka tutup begitu saja, tidak
ada perubahan yang signifikan.39 Padahal moratorium itu berarti
37 Wawancara Rusdi Basalamah, Op.cit.
38 Ibid.
39 Moratorium terdahulu ke beberapa negara di wilayah Timur Tengah dan Asia Pasifik ini
sempat coba diberlakukan pada masa kepemimpinan Jacob Nuwa Wea di era Pemerintahan Megawati Soekarnoputeri pada rentang tahun 2003-2004, dengan hasil yang tidak
~ 131 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
detak jantung pengusaha itu berhenti, tentu Pemerintah yang
dapat memperbaiki kondisi ini, dengan regulasinya. Bukan kita
memberlakukan moratorium untuk memuaskan publik, ‘Ooo
Pemerintah sudah bertindak lalu kemudian penempatan segera
dibuka lagi.”
Kepentingan pihak pengusaha dalam kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini amat jelas,
karena dengan dihentikannya proses penempatan maka, usaha
penempatan yang dilakukan para pengusaha ini otomatis berhenti, Rusdi Basalamah menerangkannya sebagai berikut:40
“Yang berikutnya, kita merasa selama 2 tahun (moratorium) itu,
perusahaan-perusahaan (penempatan TKI ke Malaysia) yang
resmi itu mati suri, berhenti dengan sempurna, justru prosesproses penempatan melalui jalur ilegal itu semarak, sehingga pada
proses moratorium, perusahaan yang melakukan penempatan
TKI ke Malaysia itu tidak bekerja, karena kita sedang ditutup
resmi, jalur-jalur ilegal tetap jalan. Karena proses penempatan
(TKI) itu spesifik, kalau suatu perusahaan (penempatan) sudah
biasa menempatkan TKI ke Asia Pasifik, dia akan sulit masuk ke
(pasar) Timur Tengah. Asia Pasifik ini bagi lagi, ada Malaysia,
Singapura, Hong Kong, Taiwan, jadi kalau sudah biasa ke negara
Asia Pasifik dia tidak akan mudah masuk ke Timur Tengah,
masing-masing negara itu punya karakternya masing-masing.”
Teguh Hendro Cahyono mengamini kepentingan para pengusaha dalam kebijakan moratorium penempatan TKI sektor
domestik ke Malaysia ini:41
“Sejauh yang saya tangkap, dari sisi politis moratorium ini akan
menggembirakan,hal ini dikarenakan inkonsistensi Pemerintah Indonesia dalam memberalkukan kebijakan moratorium ini. Untuk tinjauan yang cukup dalam mengenai kebijakan
moratorium terdahulu ini, lihat Komnas Perempuan, 2002. Indonesian Migrant Domestic
Workers: Their Vulnerabilities and New Initiatives from the Protection of Their Rights. Jakarta:
Komnas Perempuan.
40 Ibid.
41 Wawancara Teguh Hendro Cahyono, Op.cit.
~ 132 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
menjadi sarana untuk menekan pihak Malaysia supaya mau
mengikuti tuntutan Indonesia, dan tuntutan Indonesia adalah
peningkatan perlindungan melalui antara 4 item (amandemen
MoU) yang tadi telah disebutkan. Pembebanan pada TKI
berkurang, ada hari libur, paspor (dipegang TKI) dan satu lagi
gaji. Itu kan upaya kita untuk menekan pihak Malaysia. Sementara
efek samping yang mungkin muncul yang pertama tentu saja
adalah bahwa kita mengantisipasi orang-orang (calon TKI) yang
masuk ke Malaysia secara ilegal atau non-prosedural karena
begitu mudahnya. Yang kedua, kita juga ngerti kalau PPTKIS
yang menempatkan TKI ke Malaysia misalkan, di stop kayak gitu
kan, ya ada kepentingan anu (bisnis) kan bagi PPTKIS itu, semisal
“kok aku kok tidak dibolehkan usaha (menempatkan TKI)?”
Sedangkan (moratorium ini) gak selesai-selesai kerjaannya.”
Pada sudut pandang yang lain, Wahyu Susilo menerangkan posisi CSO (Civil Society Organization) dalam pemberlakuan
kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini:42
“Moratorium itu apa sih harusnya? Kalau bagi aku kan
moratorium itu “bargain politic”, tidak sekedar kita menghentikan
(penempatan TKI), itu kan argumennya (Pemerintah) moralis
ya. Tapi konsekuensinya apa? Kalau terobosan moratorium (ke)
Malaysia itu adalah salah satu bargain kita agar Malayia mau teken
MoU dengan perbaikan. Nah, memang salah satu kekuatannya
MoU (dari Pemerintah) ya itu, tapi juga dorongan dari non-state
actor, di Internasional, di kita NGO juga jelas (berperan), karena
sebenarnya yang dorong Indonesia moratorium, yang dorong
Indonesia (diskusikan MoU) itu tidak datang dari Pemerintah,
tapi dari CSO (Civil Society Organization). Tapi, kemudian ini
punya efek kuat ketika ada non-state actor atau International
Community semisal Human Rights Watch, nanti kalo kamu
searching situsnya Human Rights Watch itu banyak tuntutan
42 Wawancara Wahyu Susilo, Op.cit.
~ 133 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
mereka (HRW) tentang Malaysia. Kemudian yang signifikan itu
adalah rekomendasi dari Special Rapporteur PBB untuk Buruh
Migran tentang MoU Indonesia dan Malaysia yang punya
potensi pelanggaran HAM.”
Wahyu Susilo berpendapat bahwa kebijakan moratorium penempatan ini tidak hanya menjadi instrumen penunda
masalah, tapi juga dapat menjadi alat bargain terhadap negara tujuan penempatan, adapun posisi ini hanya dapat dicapai dengan adanya dorongan dari CSO:43
“[...] bahwa sebenarnya moratorium itu tidak hanya menunda
masalah, yang terjadi sekarang kan kita menunda masalah, tapi
bisa jadi alat bargain. Sebenarnya di akhirnya nanti kan kamu
akan bilang, model seperti ini (moratorium) sebagai salah satu
instrument untuk memberikan tekanan politik tapi tidak per se
moratorium saja, tapi juga dengan dukungan lain. Itu misalnya
dengan moratorium Saudi, Kuwait macam-macam. Kalau
selemah-lemahnya moratorium ke Malaysia itu kan ga idle, gak
status quo, tapi kan kita dengan Saudi, dengan Jordania, dengan
Kuwait kan status quo tapi gak ada desakan dari (kelompok
penekan)..Jadi moratorium itu gini, moratorium itu alatnya state
actor, tapi moratorium ini tidak akan efektif sebagai bargain kalau
gak ada non-state actornya,”
Terkait kepentingan CSO dalam kebijakan moratorium
penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini, Wahyu Susilo
menyebutkan bahwa CSO dan institusi-institusi non-negara
harusnya dapat menjalankan peran pengawas dalam implementasi kebijakan ini:44
“Itu kan skemanya gini, kalo tuntutan dari kita ya, MoU ini
kan harus ada pengawasan, tuntutan maksimal kita Joint Task
Force atau komite untuk mengawasi implementasi ini kan bukan
saja bilateral Indonesia-Malaysia tapi juga dari non-state actor
43 Ibid.
44 Ibid.
~ 134 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
di Indonesia dan Malaysia. Setidaknya Komnas HAM masingmasing, Parlemen, idealnya juga ASEAN tapi Committee of
Migrant Worker nya juga belum ada, dulu juga bahkan kita
minta UN (ikut serta). Tapi ya joint comitte ini hanya (berisikan)
mereka-mereka (institusi pemerintahan) saja, parlemen pun
nggak.”
Melihat formasi kepentingan yang telah diuraikan di atas,
dapat dilihat bahwa pada proses agenda dan formulasi kebijakan, aktor-aktor yang berperan lebih dominan adalah aktoraktor resmi, dalam hal ini instansi pemerintahan terutama sekali birokrasi eksekutif dalam hal ini Kemenakertrans, BNP2TKI
serta Kementerian Luar Negeri. Aktor-aktor resmi ini memiliki
kepentingan dalam hal melakukan tindakan yang bersifat politis untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialami
oleh TKI sektor domestik yang berada di Malaysia dan telah
diberitakan secara luas ke publik.
Dalam hal adopsi kebijakan, aktor-aktor tidak resmi dalam
hal ini pengusaha dan CSO memberikan kontribusi dalam hal
memberikan dukungan dan dorongan atas pemberlakuan kebijakan moratorium penempatan ini. Pengusaha yang merasakan
dampak langsung akibat berhentinya proses usaha penempatan, ini menyatakan dukungannya sehubungan memang perlunya pembenahan penampatan yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia, Pada sisi lain, CSO menurut Wahyu Susilo telah berperan dalam mendorong implementasi kebijakan moratorium
penempatan ini, dan sebenarnya dapat memberikan kontribusi
lebih banyak dalam proses pengawasan implementasi kebijakan
ini, mengingat bahwa CSO tidak dilibatkan dalam proses penetapan agenda dan formulasi kebijakan penempatan ini.
Melanjutkan konsep proses kebijakan yang dikemukakan oleh James Anderson, proses implementasi kebijakan dan
evaluasi kebijakan moratorium penempatan akan dianalisa
pada bagian berikut yang membahas tentang upaya Pemerintah
~ 135 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Indonesia meningkatkan perlindungan TKI di Malaysia melalui
pembaharuan kerjasama bilateral penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia selama masa moratorium
penempatan ini berlaku. []
~ 136 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
BAB VIII
PROPOSAL AMANDEMEN MOU
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN
PEKERJA MIGRAN INDONESIA SEKTOR
DOMESTIK DI MALAYSIA
Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya, moratorium ini dilatarbelakangi oleh maraknya permasalahan yang
menimpa TKI sektor domestik di Malaysia. Namun, yang akhirnya membuat Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium adalah ketimpangan dari Malaysia dalam menerapkan
MoU 2006 yang telah disepakati sebelumnya, Rafail Walangitan
menyampaikan sebagai berikut: 1
“Kita ambil umumnya dulu ya, kita belum melihat kepada
moratorium itu dulu sendiri. Malaysia itu hanya salah satu
negara dimana kita memiliki MoU kerjasama pengiriman tenaga
kerja. Khususnya tentang sektor domestik kita memiliki MoU
dengan lima negara tujuan penempatan. Nah ini akhirnya yang
kita lihat ada ketimpangan dari negara tujuan penempatan dalam
menerapkan MoU yang dimaksud. Akhirnya pada tahun 2009 kita
melakukan amandemen MoU itu untuk meluruskan posisi hak dan
1 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit.
~ 137 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
kewajiban pekerja, juga akomodasi yang layak (bagi mereka). Nah
itu beberapa hal yang kita tuntut untuk dilaksanakan. Tapi itu
kan butuh proses, sementara kita melakukan itu ternyata (MoU
yang ada) juga tidak dijalankan oleh Malaysia, maka akhirnya
kita keputusan yang kita ambil adalah lakukan moratorium.
Tujuan moratorium itu kan; moratorium itu kan begini, kita
menghentikan nih, kita punya MoU antara Indonesia-Malaysia,
kita stop pengiriman, kita tidak akan kirim lagi ke Malaysia.
Kalau kita lihat dari sisi hukum, kebijakan ini adalah kebijakan
yang kita ambil berdasarkan penilaian kita bahwa negara tujuan
penempatan tidak menjalankan apa yang sudah kita sepakati
bersama, sehingga banyak yang melihat (kebijakan) ini sepihak
(dari Indonesia saja). Tapi demi memberikan perlindungan (bagi
WNI), maka kita mulai dari itu, kita terapkan moratorium. Saat
ini juga kita terapkan pada Arab Saudi, yang sama kasusnya.
Harapan kita kan Malaysia kembali mematuhi MoU tersebut.”
Kesepakatan atau perjanjian internasional adalah tujuan dari
politik luar negeri dan diplomasi modern. Suatu perjajian bilateral adalah adalah suatu persetujuan sukarela di mana masingmasing negara setuju untuk menaatinya. Hanya dengan goodwill
bersama atau dengan kekuatan dari salah satu peserta yang lebih
kuat maka perjanjian itu dapat dijamin akan dapat ditaati.2 Malaysia dalam hal ini belum menunjukkan itikadnya dalam menaati kesepakatan yang telah disetujui bersama, maka dari itu
Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk mengajukan amandemen terhadap nota kesepahaman yang telah disepakati tersebut.
Adapun mengapa kesepakatan bilateral Malaysia-Indonesia hanya berbentuk nota kesepahaman dan bukan perjanjian
bilateral yang sifatnya jauh lebih mengikat, baik disimak pendapat Wicramasekara tentang mengapa negara-negara Asia lebih
memilih MoU dibandingkan Perjanjian Bilateral dalam membuat sebuah kerjasama antarnegara di bidang ketenagakerjaan.
2 Sumarsono Mestoko. Indonesia dan Hubungan Antarbangsa..( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 25.
~ 138 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Wickramasekara mengasumsikan hal ini disebabkan oleh beberapa alasan:3 1) MoU lebih mudah untuk dinegosiasikan dan
diimplementasikan; 2) MoU memiliki fleksibilitas lebih untuk
dimodifikasi dengan perubahan kondisi ekonomi dan pasar
tenaga kerja, dan; 3) MoU adalah pilihan untuk berhadapan
dengan masuknya buruh migran berkecakapan rendah (lowskilled workers). Hal ini juga berlaku pada kondisi kerjasama
ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia-Malaysia yang
masih menggunakan instrumen MoU dibandingkan perjanjian
bilateral yang lebih mengikat.
Wickramasekara mengemukakan tujuan diselenggarakannya kerjasama antarnegara bidang ketenagakerjaan di Asia
dalam bentuk perjanjian bilateral ataupun nota kesepahaman
adalah sebagai berikut:4
1. Bagi negara tujuan penempatan: 1) mengatur migrasi ireguler dan mempromosikan mobilitas buruh migran yang
lebih teratur; 2) menunjukkan kebutuhan pasar tenaga kerja
dari sudut pandang pengguna jasa dan sektor industri negara tujuan penempatan; 3) patronase politik, dalam bentuk
memastikan akses istimewa bagi pasar tenaga kerja untuk
mendapatkan pekerja migran dari negara tertentu, dan; 4)
mempromosikan pertukaran ataupun ikatan kultural atau
politik dengan negara pengirim pekerja migran.
2. Bagi negara pengirim pekerja migran: 1) untuk memastikan akses yang berkelanjutan pada pasar tenaga kerja bagi
tenaga kerja migrannya; 2) mengurangi tekanan angka
pengangguran di dalam negeri; 3) memastikan proteksi
dan perlindungan atas hak-hak dan kesejahteraan pekerja
migrannya, dan; 4) mendapatkan devisa dalam bentuk remiten dari pekerja migrannya.
3 Piyasiri Wickramasekara, Labour Migration in Asia Role of Bilateral Agreements
and MoU, Presentasi ILO pada “JIPLT Workshop on International Migration and Labour
Market in Asia” yang diselenggarakan di Tokyo pada tanggal 17 Februari 2006.
4 Ibid.,
~ 139 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran memiliki beberapa kepentingan dalam amandemen nota kesepahaman
tentang penempatan dan perlindungan TKI sektor di Malaysia
ini, dan merupakan buah dari upaya Pemerintah Indonesia
meningkatkan perlindungan TKI di luat negeri. Masing-masing
poin yang disetujui dalam amandemen nota kesepahaman, dan
beberapa hal yang mendasari pencabutan moratorium ini akan
menjadi dasar analisa apa sajakah kepentingan Indonesia dalam amandemen nota kesepahaman melalui moratorium ini
yang menunjukkan.
1.
Kewajiban Paspor Berada di Tangan Pekerja Migran
Indonesia
Salah satu protokol amandemen nota kesepahaman yang
paling menjadi perhatian Pemerintah Indonesia adalah seputar
aturan tentang siapakah yang seharusnya memegang paspor
TKI. Pada MoU 2006, disebutkan bahwa: “The Employer shall
be responsible for the safe keeping of the Domestic Worker’s passport
and to surrender such passport to the Indonesian Mission in the event
of abscondment or death of the Domestic Worker”5 Pada pasal ini
tampak, bahwa pengguna jasa sepenuhnya diberikan hak untuk menyimpan paspor TKI yang bekerja padanya. Ini bisa diartikan Pemerintah Indonesia merestui kebijakan diskriminatif
yang mungkin diberlakukan Pemerintah Malaysia bagi TKI sektor domestik asal Indonesia, karena dalam MoU antara Malaysia dengan Filipina disebutkan bahwa paspor berikut izin kerja
pekerja sektor domestik Filipina harus berada di tangan pekerja
tersebut dan bukan di tangan pengguna jasa.6
Sebenarnya Malaysia memiliki aturan nasional mengenai
kepemilikan paspor dalam The Malaysian Passport Act 1966 yang
5 Sebagaimana disebutkan dalam “Memorandum of Understanding between The Government
of the Republic of Indonesia and The Government of Malaysia on the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers” Appendix A, Point xii.
6 CARAM Asia, Op.cit. hlm. 32
~ 140 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
menegaskan bahwa seseorang tidak diperkenankan menahan
paspor milik orang lain. Namun, dalam prakteknya, adalah
keumuman seorang pengguna jasa menahan paspor pekerja
domestik migrannya, yang sebenarnya pelanggaran atas The
Malaysian Passport Act 1966. Agen perekrutan di Malaysia mendorong para pengguna jasa untuk menahan paspor pekerja
domestik migrannya atas kekhawatiran akan kemungkinan kabur seorang pekerja migran dari tempatnya bekerja. Situasi ini
membuat seorang pekerja domestik migran berada dalam kondisi keterbatasan bergerak dan menghadapi resiko penahanan
apabila keluar rumah karena seluruh dokumennya berada di
tangan pengguna jasa.7
Alasan Pemerintah Indonesia yang ingin melindungi TKI
PLRT karena khawatir TKI tersebut awam mengenai paspor,
rawan kehilangan, mengurangi kemungkinan TKI tersebut
menjadi tidak berdokumen, dan beberapa pertimbangan praktis
lainnya menjadi tidak relevan saat seharusnya Pemerintah sadar
bahwa selama ini TKI PLRT mengalami keterbatasan gerak dan
sulit berkomunikasi dengan pihak luar karena ditahannya dokumennya tersebut. Padahal keterbatasan gerak dan akses dengan dunia luar itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa
penganiayaan terhadap TKI sektor domestik bisa terjadi. Lingkungan kerja sektor domestik yang berada di kediaman pribadi
yang sifatnya privat membuat sektor domestik ini memiliki kerawanan lebih dibanding sektor lain, karena wilayahnya yang
cenderung tersembunyi dari perhatian publik.
Pemerintah Malaysia melalui mekanisme izin kerja (work
permit) yang dilansir oleh Departemen Imigrasi pun tidak mengizinkan pekerja domestik migran untuk mengganti tempat bekerja atau pengguna jasa (majikan).8 Hal ini berkaitan dengan
biaya rekrutmen yang telah dibayar pengguna jasa untuk dalam
7 CARAM Asia, Malaysia vs Hong Kong: Employers’ Perception and Attitudes
Towards Foreign Domestic Workers, (Kuala Lumpur: CARAM Asia: 2010), hlm. 13
8 Ibid.,
~ 141 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
mendatangkan pekerja domestik migran tersebutcukup tinggi.
Apabila pekerja domestik migran tersebut melarikan diri, maka
pengguna jasa yang bersangkutan harus mengeluarkan biaya
tambahan untuk mendatangkan pekerja domestik migran yang
lain. Hal inilah yang mendorong para pengguna jasa menahan
paspor pekerja domestik migrannya, dan menempatkan pekerja domestik migran dalam situasi bersedia diperlakukan seperti
apapun agar tidak kehilangan pekerjaan, karena ketidakmungkinannya berganti tempat kerja atau majikan.
Rafail Walangitan dari Direktorat PWNI dan BHI Kemenlu
RI, menyatakan tentang urgensi paspor dipegang oleh TKI, dan
bagaimana kebijakan ini sebenarnya dapat dinegosiasikan: 9
“Masalah paspor juga, karena paspor itu kan adalah dokumen
pribadi, itu hanyalah dokumen perjalanan, bukan dokumen untuk
bekerja, jadi itu tidak bisa dijadikan untuk menyandera (TKI).
(Penahanan paspor oleh majikan) ini dulu banyak dilakukan
karena PRT nya melarikan diri dari majikan, dan satu-satunya
dokumen yang bisa dipegang oleh majikan itu paspor. Tapi ya
kalau orang sudah lari ya tidak berpikir, dia gak ada persoalan
untuk meninggalkan paspornya. Artinya begitu dia melarikan
dari majikan, maka otomatis menjadi ilegal. Tapi dengan dia
(majikan) memberikan paspor kepada si pekerja, artinya dia kan
memberikan kepercayaan kepada yang bersangkutan, tidak ada lagi
istilah menyandera dokumen, karena dokumen itu harus melekat
kepada yang bersangkutan. Nah ini pun dalam amandemen
MoU juga diberikan keleluasaan, kalau misalnya pekerja tersebut
memberikan izin kepada majikan untuk menyimpan paspor
juga dibolehkan, jadi ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
Selama ini kan yang terjadi, pokoknya setiap ada yang bekarja
maka majikan tahan paspor, itu juga yang tidak kita inginkan,
karena katakanlah kalau dia sedang jalan dengan majikan
misalnya ke pasar, lalu tersesat dan tidak tahu jalan, mereka bisa
9 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit.
~ 142 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
saja tertangkap di jalan tanpa dokumen identitas.”
Pada awal negosiasi Pemerintah Malaysia tidak memasukkan proposal amandemen tentang poin ini pada agenda pembahasan dengan Pemerintah Indonesia. Namun, setelah ada
poin, bahwa TKI PLRT diperkenankan menitipkan paspornya
dengan ketentuan tertentu, Pemerintah Malaysia akhirnya menerima amandemen tentang poin ini. Dalam protokol amandemen terlihat posisi tawar TKI PLRT lebih baik dibandingkan
sebelumnya, sebagaimana termaktub sebagai berikut:10 “(a) The
Passport shall remain in the possession of the Domestic Worker; and
(b) The Passport may be allowed to be kept by the Employer, with prior
consent of the Domestic Worker for safekeeping purposes. The passport
shall be returned at any time requested.”
Terlihat bahwa meskipun pengguna jasa tetap memiliki hak
untuk menyimpan paspor TKI, namun dalam protokol amandemen ini siapa yang memegang paspor tergantung pada kebijakan TKI yang bersangkutan, berbeda jauh dengan nota kesepahaman sebelum amandemen dimana paspor harus dipegang
oleh pengguna jasa tanpa kejelasan kapan paspor tersebut harus dikembalikan kepada TKI bersangkutan, kecuali keterangan bahwa paspor tersebut dapat diserahkan kepada perwakilan
Republik Indonesia apabila terjadi sesuatu pada TKI sehingga
tidak dapat melakukan kewajiban kerjanya, termasuk di dalamnya kematian.
2.
Pekerja Migran Indonesia Berhak atas 1 (Satu) Hari Libur
dalam Seminggu
Proposal amandemen ini merujuk pada situasi TKI PLRT
yang tidak memiliki kejelasan berapa jam kerja dalam sehari,
dan juga berapa hari kerja dalam seminggu, sehingga tidak
jelas hak-hak TKI untuk beristirahat. Dalam nota kesepahaman
10 Sebagaimana disebutkan dalam “Protocol Amending The Memorandum of Understanding
between The Government of the Republic of Indonesia and The Government of Malaysia on
the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers” Article 5, Point 5.6.
~ 143 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
tahun 2006, hanya dijelaskan sebagai berikut:11 “The Employer
shall provide the Domestic Worker with adequate rest.” Pada nota
kesepahaman ini tidak dijelaskan berapa jam kerja dalam sehari
dan hari kerja dalam seminggu, dan hanya menentukan bahwa
pengguna jasa harus menyediakan waktu istirahat yang cukup
bagi TKI PLRT.
Apabila dibandingkan dengan kerjasama bilateral antara
Malaysia dengan negara lain semisal India ataupun Filipina,
nota kesepahaman Malaysia dengan Indonesia dapat dikatakan
lebih lemah hal dalam konteks menjamin hak beristirahat pekerja migrannya. Dalam kerjasama antarnegara ataupun kontrak
kerja perihal pekerja migran dari Filipina, Sri Lanka, atau India,
Malaysia menyetujui klausa bahwa akan ada kompensasi bagi
pekerja migran yang mau bekerja di jatah hari liburnya. Pada
klausa lain, pekerja migran India memiliki kejelasan kontrak
bahwa gaji bulanannya dihitung pada basis kerja 8 jam sehari,
sedangkan pekerja migran Filipina walaupun tidak memiliki
kontrak berapa basis jam kerjanya dalam sehari, namun pekerja
migran Filipina harus dijamin oleh pengguna jasa di Malaysia
harus memiliki waktu istirahat minimal 8 jam sehari.12
Studi yang dilakukan ILO (International Labour Organization) menemukan bahwa pekerja domestik di seluruh dunia
memiliki kecenderungan untuk dipekerjakan lebih dari 15 jam
sehari, dan keluarga atau pengguna jasa yang mempekerjakannya memiliki pemahaman bahwa pekerja sektor domestik
tersebut harus siap dipanggil (“on call”) kapan saja, tidak peduli
siang ataupun malam.13 Pekerja sektor domestik ini biasanya
dipekerjakan setiap hari dalam seminggu. Beberapa warga Malaysia yang mempertahankan situasi ini menyatakan bahwa
tidak adanya hari libur untuk pekerja sektor domestik adalah
11 “Memorandum of Understanding between…”, Op.cit. Appendix A, Point xvii.
12 CARAM Asia, 2011, Op.cit. hlm.32
13 Alice Hulling, “Domestic Workers in Malaysia: Hidden Victims of Abuse and Forced Labour”,
dalam International Law and Politics, Vol.44, hlm. 644
~ 144 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
untuk melindungi pekerja sektor domestik tersebut, misalnya
mendapatkan kehamilan di luar nikah akibat pergaulannya di
luar rumah tempatnya bekerja.14
Negosiasi yang berjalan antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Malaysia terkait poin ini akhirnya merujuk pada
titik tengah bahwa TKI sektor domestik berhak atas satu hari
libur dalam seminggu, namun apabila atas dasar keinginan
pengguna jasa atau TKI sektor domestik itu pada hari liburnya
akan tetap bekerja, maka TKI sektor domestik tersebut berhak
memperoleh upah yang proporsional dengan upah bulanannya.
Hal ini tercantum dalam protokol amandemen nota kesepahaman tahun 2006:15
“(a) The Domestic Worker shall be entitled to 1 (one) rest day in
a week; (b) The Domestic Worker may agree to work on his/her
rest day; and (c) In the event the Domestic Worker agrees to work
on any of his/her rest day, the Domestic Worker shall be paid a
certain amount of money to be calculated on pro-rate basis in lieu
of the rest day agreed upon by the Employer and The Domestic
Worker in the Contract of the Employment.”
Kebijakan ini pun menurut Rafail Walangitan dari Direktorat PWNI dan BHI Kemenlu RI merupakan kebijakan yang
menguntungkan kedua pihak, dan telah ditemukan jalan tengahnya: 16
“Ya saya kira, saat kita ambil kebijakan untuk terapkan moratorium, kita sangat yakin dan harus yakin bahwa Pemerintah
Malaysia harus mengikuti keinginan kita. Karena bagaimanapun,
apa yang kita tuntut juga demi kepentingan mereka, dan kebaikan
mereka. Misalnya sebagai contoh, kita menginginkan kepada
pihak Malaysia untuk memberikan satu hari libur (bagi TKI).
Nah itu kan berarti kita tidak mewajibkan pihak Malaysia untuk
14 Ibid.
15 “Protocol Amending The Memorandum…” Op.cit. Article 5, Point 5.7.
16 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit.
~ 145 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
memenuhi keinginan demikian. Kita memberikan ruang bagi
mereka, oke, Anda bisa berikan satu hari libur, tapi Anda juga bisa
bernegosiasi dengan pekerja, apakah pekerja itu mau mengambil
hari libur atau mau menggantinya dengan uang. Jadi sebenarnya
tidak kaku-kaku sekali apa yang kita minta (ke pihak Malaysia).
Kalau pekerja memilih oke dia tidak akan ambil hari libur dan
memilih uang, tidak masalah silakan jalan terus.”
Kebutuhan untuk beristirahat ini diperkuat dengan ketidakjelasan beban pekerjaan yang harus dikerjakan oleh pekerja sektor domestik, dalam nota kesepahaman hanya dijelaskan bahwa:
“The Employer shall undertake that the Domestic Worker shall be employed for the purposeof household duties”. 17 Selain itu di dalam pasal
kewajiban pengguna jasa dalam Appendix B disebutkan bahwa:
“The employer shall not require the Domestic Worker to work or to be
engaged in any activities other than that related to household duties.”18
Tidak dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan household duties, padahal jenis pekerjaan yang termasuk kategori domestik/rumah tangga ini banyak jenisnya.
Pemerintah Indonesia sendiri dalam implementasi protokol
amandemen ini berusaha menerapkan penempatan selanjutnya
harus berdasarkan spesialisasi jenis pekerjaan. Rendra Setiawan
dari Kemenakertrans menerangkan hal ini:19
“Dengan adanya moratorium, amandemen (MoU) ini bisa jalan.
Soalnya (Malaysia) juga kebingungan, mereka sudah coba cari
migrant worker dari mana-mana tapi gak cocok, paling cocok itu
ya dari Indonesia. Tapi, akhirnya juga penempatan itu akhirnya
(dan harusnya) berdasarkan kluster, per jabatan. Jadi kalau dulu
itu kan dikenal jabatan PLRT (penata laksana rumah tangga,
yang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga seorang diri),
kalau sekarang coba kita bagi: ada baby sitter, care giver, cooker,
ada driver juga. Jadi satu orang TKI tidak mengerjakan semua
17 “Memorandum of Understanding between…”, Op.cit. Appendix A, Point xviii.
18 Ibid., Appendix B, Point 4 Part (d)
19 Wawancara Rendra Setiawan, Op.cit.
~ 146 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
jenis pekerjaan rumah tangga.”
Namun dalam prakteknya Pemerintah Malaysia, masih enggan menerapkan kebijakan ini, karena publik Malaysia sendiri
masih terbiasa dengan pekerja sektor domestik yang dapat dan
mau melaksanakan segala jenis pekerjaan rumah tangga. Rafail
Walangitan pun berpendapat bahwa spesialisasi jenis pekerjaan
ini dapat mengurangi beban pekerja sektor domestik dan memberikan jam kerja yang lebih layak: 20
“Kasus-kasus seperti penganiayaan, kasus tidak dibayar gaji,
kasus pemaksaan hubungan kerja, kemudian kasus banyaknya
WNI yang dipaksa bekerja sebagai PSK karena penipuan, juga
lingkungan pekerjaan yang harusunya kondusif bagi mereka
(WNI kita), semisal makan tiga kali sehari. Dan seharusnya
beban pekerjaan yang diberikan betul-betul sebagai pembantu
rumah tangga, memasak, mencucui pakaian. Tetapi dalam
perkembangannya, ternyata menjadi PRT tidak hanya sekedar
mengerjakan itu. Kadang-kadang misalnya kalau rumah
(majikan) itu memiliki tiga mobil, dia harus cuci mobil, kemudian
satu rumah punya empat anak, punya orang tua/lansia dia juga
harus ngurusin itu, padahal bukan tugas dia.“
Kesepakatan mengenai hak libur sehari dalam seminggu
bagi TKI sektor domestik ini mendukung pekerja sektor domestik untuk memperoleh hak yang sama dengan pekerja sektor
domestik dari negara-negara lain. Selain daripada itu amandemen ini juga membuat situasi TKI sektor domestik yang sulit
berkomunikasi dengan dunia luar memiliki harapan untuk
berubah, karena dengan adanya hari libur maka TKI memiliki
akses untuk berkomunikasi dengan lingkungan di luar rumah
tenpatnya bekerja.
Hal ini juga dimungkinkan dengan adanya tambahan poin
secara eksplisit pada protokol amandemen bahwa majikan harus
memperkenankan TKI sektor domestik berkomunikasi dengan
20 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit.
~ 147 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
keluarganya dimana sebelumnya tidak tertulis secara eksplisit
di MoU 2006. Pada Article 6, Point 6.3 protokol amandemen disebutkan: “(g) the employer shall allow the Domestic Worker to communicate with his/her family.” Penambahan pasal ini membawa
pembaharuan, dengan demikian hal-hal terkait situasi bekerja
dapat dibagi dan dikomunikasikan baik dengan keluarganya
yang ada di tanah air, TKI lain, WNI yang lain ataupun Perwakilan RI yang ada di Malaysia.
3.
Revisi Biaya Penempatan (Cost Structure) Pekerja Migran
Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia
Struktur biaya penempatan atau cost structure yang harus
dipenuhi baik oleh pengguna jasa, agen penempatan dan TKI
sektor domestik adalah salah satu pokok pangkal permasalahan
yang lain. Alasan mengapa paspor TKI sektor domestik ditahan
oleh pengguna jasa, adalah akibat kekhawatiran pengguna jasa
dan agen penempatan akan kemungkinan melarikan dirinya
TKI, terutama karena pengguna jasa telah mengeluarkan banyak biaya untuk mendatangkan TKI tersebut.
Masing-masing Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia memiliki kepentingan tentang struktur biaya ini. Teguh
Hendro Cahyono dari BNP2TKI menerangkan alotnya negosiasi mengenai klausa struktur biaya penempatan ini: 21
“Kalau tentang cost structure itu inti persoalannya adalah
Malaysia menganggap Indonesia kok terlalu tinggi biaya yang
dikeluarkan di pihak Malaysia nya, sementara pihak Indonesia
mengatakan bahwa biaya itu tidak tinggi karena biaya pelatihan,
dan lain-lain. Yang jadi masalah adalah, jangan biaya-biaya
tersebut dibebankan pada TKI saja, atau at least jangan TKI diberi
porsi pembebanan biaya yang lebih besar dari majikan. Maka
21 Wawancara dengan Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan Advokasi,
Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI, Hari Selasa, 20 November 2012, Pukul 13.05 WIB.
Kantor Direktorat Mediasi dan Advokasi Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI, Jalan Letjen
M.T. Haryono Kav.52, Jakarta Selatan
~ 148 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Indonesia mematok TKI hanya boleh menanggung biaya sebesar
RM 1800, sementara kemudian dari pihak Malaysia juga berusaha
agar biaya total (yang ditanggung pengguna di Malaysia) lebih
minimal. Itulah yang membuat perundingannya alot. Indonesia
tidak mau biaya yang ditanggung TKI dibesarkan.”
Dalam Nota Kesepahaman Tahun 2006, disampaikan bahwa
kewajiban yang harus dipenuhi pengguna jasa meliputi pembiayaan untuk: (a) Transportation cost from original exit point in Indonesia to the place of employment in Malaysia; (b) Security Deposits
as required by the Immigration Department of ; (c) Processing Fees; (d)
Work pass; (e) Medical examination for the purpose of renewal of the
Work Pass; dan (f) Annual Levy.22 Adapun biaya yang harus ditanggung TKI meliputi: (a) Visa; (b) Travelling document and other
related documentation imposed by the relevant authority in Indonesia; (c) Medical examination prior to the employment of the Domestic Worker’s Work Pass; (d) Accommodation and incidental expenses
charged by IRA in Indonesia before departure; (e) Transportation cost
from the place of residence of the Domestic Workers to the original exit
point in Indonesia; dan (f) Other expenses incurred in Indonesia.23
Dalam MoU 2006 tidak disebutkan secara jelas rincian biaya yang harus ditanggung baik oleh pengguna jasa maupun
oleh TKI. Penentuan rincian biaya ini sepenuhnya diatur oleh
agen penempatan TKI di Malaysia dan Indonesia, sebagaimana
tertulis sebagai berikut di MoU 2006: 24
“(B. xiii). MRA (Malaysian Recruitment Agency) shall comply
with the fees for the recruitment and placement of Domestic
22 “Memorandum of Understanding between…”, Op.cit. Appendix A, Paragraph A, Point v.
Levy adalah sistem pajak yang mulai masuk dalam anggaran nasional Malaysia Tahun
1991/1992 guna menutupi biaya sosial yang muncul dari masuknya buruh migran ke Malaysia dan mengurangi ketergantungan Malaysia terhadap buruh migran. Levy tahunan ini
dapat dibayar oleh majikan, pekerjaan, atau majikan dan pekerja dengan jumlah beragam
sesuai sektor dan keterampilan. Lihat The Institute for Ecosoc Rights, Atase Tenaga
Kerja dan Perlindungan TKI: Antara Indonesia-Singapura-Malaysia, (Jakarta:
The Institute for Ecosoc Rights, 2010), hlm.52.
23 Ibid., Appendix A, Paragraph D, Point ii.
24 Ibid., Appendix A, Paragraph B, Point xiii, dan Appendix A, Paragraph C, Point x..
~ 149 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Workers as agreed upon by the relevant Malaysian and Indonesian
authorithies; (C. x) IRA (Indonesian Recruitment Agency)
shall comply with the fees for the recruitment and placement of
Domestic Workers as agreed upon by the relevant Malaysian and
Indonesian authorithies.”
Kedua pasal di atas yang kemudian diamandemen dengan
pembuatan acuan rincian jumlah biaya yang harus dibayarkan
oleh pengguna jasa dan TKI pada protokol amandemen. Salah
satu poin yang berubah adalah biaya pelatihan yang ditanggung secara bersama-sama oleh pengguna jasa dan TKI. Secara
garis besar, jumlah yang harus ditanggung oleh masing-masing
pengguna jasa dan TKI mengalami peningkatan. Pengguna jasa
menanggung total biaya RM 2.711, dari sebelumnya RM 2.415,
adapun TKI menanggung biaya RM 1.800 dari sebelumnya RM
950.25 Biaya ini memang terlihat mengalami peningkatan secara
signifikan bagi TKI, namun kejelasan struktur biaya ini lebih
baik, sehingga ada rambu untuk menindak tegas PPTKIS yang
mungkin meminta biaya tertentu yang tidak teratur dan memberatkan TKI.
Dalam protokol amandemen pun disebutkan bahwa proses
pembayaran biaya yang ditanggung oleh TKI dapat dibayar
terlebih dahulu oleh pengguna jasa dan kemudian melalui
sistem cicilan via pemotongan gaji, dana talangan tersebut akan
dikembalikan oleh TKI yang bersangkutan kepada pengguna
jasa. Adapun proses pemotongan gaji ini, tidak boleh melebihi
dari 50% total keseluruhan gaji. Disebutkan bahwa: 26
“(6.6) The Employer may pay for the recruitment and placement
fee of the Domestic Worker concerned in advance, provided that
25 Sebagaimana dirangkum oleh Dita Indah Sari dalam keterangan terkait poin-poin perubahan protokol amandemen MoU 2006, diakses dari http://www.ditaindahsari.com/MoU2011TKIMalaysia.pdf pada hari Selasa, 9 April 2013, Pukul 20.10 WIB. Rincian keseluruhan cost
structure dapat dilihat di pada lampiran skripsi ini bagian “Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Keputusan 152/Men/VI/2011 tentang Biaya
Penempatan dan Perlindungan Calon Tenaga Kerja Indonesia Negara Tujuan Malaysia”.
26 “Protocol Amending The Memorandum…” Op.cit. Article 6, Point 6.6.
~ 150 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
the Employer shall be entitled to deduct the monthly wage of
the Domestic Worker not exceeding the amount of 50% (fifty
percent) of the Domestic Worker’s basic wage per month until
such advance payment is fully settled by the Domestic Worker.”
Mengenai penetapan cost structure yang baru ini, Rusdi
Basalamah, Ketua APJATI berpendapat struktur biaya penempatan ini terlalu rendah dan memberatkan PPTKIS untuk merekrut dan ini menyebabkan masih sedikitnya TKI sektor domestik yang berangkat ke Malaysia dalam tempo 6 bulan setelah moratorium dicabut, berikut penuturannya: 27
“Depnaker mengeluarkan regulasi sendiri tentang cost structure,
jadi tidak ada yang sinkron (antar lembaga). Anda bisa bayangkan
moratorium ke Malaysia itu sudah dicabut sejak bulan Desember
2011, hingga bulan ini (November 2012) yang berangkat ke
Malaysia baru 64 orang, kenapa 64 orang? Karena cost structure,
tidak bisa kita mengimbangi. Jadi gini, cost structure itu dihitung
sekian yang jadi hak nya TKI, implementatif tidaknya cost structure
ini di lapangan, kalau tidak implementatif tidak mungkin bisa
kita rekrut orang. Akhirnya jalur-jalur TKI ilegal ini yang jalan,
ribuan orang. Jadi TKI yang tercatat resmi sudah berjalan itu
64 orang, tapi yang ilegal itu tetap jalan. Makanya saya bilang,
setelah moratorium ini dicabut, sudah tidak menarik lagi Malaysia
ini. Pertama, Pemerintah dalam hal ini Kemenaker(trans) tidak
memikirkan proteksi bagi pengusaha, semisal bagaimana proses
rekrutmen itu bisa stabil, sehingga ada orang bisa direkrut. Tidak
logis, 8 bulan setelah moratorium hanya 64 orang yang berangkat,
pasti ada sesuatu yang salah.”
Rusdi Basalamah melanjutkan bahwa hal ini dikarenakan
banyak PPTKIS yang tidak sanggup melakukan rekrutmen dan
penempatan karena pembatasan struktur biaya yang terlalu
rendah: 28
27 Wawancara Rusdi, Op.cit.
28 Ibid.
~ 151 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
“Satu tahun itu, Indonesia 750 ribu TKI (yang berangkat),
Malaysia itu kurang lebih 18 ribu TKI yang berangkat per bulan,
PLRT nya kurang lebih 50%. Sekarang ini baru 64 orang, ada
apa? Tapi jalur ilegal nya jalan. Kenapa ada kasus “TKI onsale”? Itu kan luar biasa cerobohnya, itu pasar ilegal, kalau PT
resmi tidak mungkin bekerja dengan cost segitu, tidak mungkin,
apanya yang mau di on-sale, apanya yang mau diturunin lagi
(biayanya). Kita tidak bisa lebih dari cost structure yang diatur
pemerintah, bisa kena sanksi kita. Jadi, daripada kita berbenturan
dengan regulasi, lebih baik kita tidak kirim TKI ke Malaysia,
sehingga orang ambil jalur pintas.“
Protokol amandemen ini didasarkan pada kepentingan dan
harapan bahwa TKI tidak akan dibebankan biaya penempatan
yang terlalu tinggi, namun di sisi lain struktur biaya penempatan
ini dinilai memberatkan para pengusaha penempatan TKI. Hal
ini juga menyiratkan bahwa pembahasan mengenai proposal
amandemen ini tidak melibatkan semua pihak, sebagaimana
disampaikan oleh Rusdi Basalamah di atas.
4.
Penetapan Standar Gaji dan Pembayaran Gaji Melalui
Rekening
Penetapan standar gaji TKI sektor domestik di Malaysia,
juga merupakan isu penting yang coba Pemerintah Indonesia
ajukan dalam proposal amandemen nota kesepahaman tahun
2006. Hal ini didasarkan pada standar upah Indonesia yang berada di bawah pekerja migran dari negara lain. Teguh Hendro
Cahyono dari BNP2TKI menyampaikan logika umum Pemerintah dalam mengajukan proposal standar gaji ini: 29
“Begini, kalau standar gaji itu kan tentu saja persoalan logikanya
Malaysia ingin gaji TKI semurah mungkin, Indonesia ingin
gaji TKI setinggi mungkin, jadi ya itu saja yang jadi persoalan
dengan berbagai alasan. Katakanlah, Malaysia mengatakan
29 Wawancara Teguh Hendro Cahyono, Op.cit.
~ 152 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
mereka tidak mengatur upah minimum sektoral atau regional
atau apapun, sedangkan dari pihak Indonesia mengatakan bahwa
ngga fair dong kalau ngga ditetapkan minimal gaji karena nanti
majikan akan sesukanya, TKI akan berada dalam posisi yang
lemah katakanlah demikian, dari sisi pendidikan, sisi kekayaan
atau apapun juga, apa kata majikan akan diikuti oleh TKI. Nah,
jadi kalau jangan-jangan majikan hanya gaji RM 250 atau
apa kan itu kan di luar kewajaran, dan kewajiban Pemerintah
Indonesia untk menetapkan standar minimal, itu yang kemudian
diutarakan (dalam JWG).”
Standar upah ini juga dapat menunjukkan tingkat pendapatan sekaligus status sosial ekonomi pengguna jasa yang menggunakan TKI sektor domestik di Malaysia. Studi yang dilakukan
oleh CARAM Asia menunjukkan bahwa kebijakan imigrasi Malaysia memberikan kualifikasi pendapatan pengguna jasa TKI
sektor domestik lebih rendah dibandingkan pekerja sektor domestik asal Filipina. Syarat pendapatan tahunan minimal calon
pengguna jasa TKI sektor domestik berada di angkaRM 36.000,
atau sekitar USD 11, 250. Sedangkan syarat pendapatan tahunan minimal calon pengguna jasa pekerja sektor domestik asal
Filipina berada di angka RM 120.000, atau sekitar USD 37.500.30
Perbandingan ini menunjukkan bahwa syarat pendapatan
tahunan minimal pengguna jasa TKI sektor domestik hanya
sepertiga dari syarat pendapatan minimal tahunan calon pengguna jasa pekerja sektor domestik asal Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa TKI sektor domestik dapat dipekerjakan oleh
calon pengguna jasa dari kelompok berpendapatan rendah,
yang perlu dipertanyakan latar belakang pendidikan dan sosial,
yang juga dapat menentukan sikap dan perilakunya terhadap
pekerja migran.
Menurut Rusdi Basalamah, latar belakang sosial dan
ekonomi pengguna jasa akan menentukan sikapnya terhadap
30 CARAM Asia (2010), Op.cit. hlm. 15.
~ 153 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
pekerja domestik migran, karena para pengguna jasa dengan latar belakang ekonomi kuat memiliki pemahaman bahwa mempekerjakan pekerja domestik domestik migran adalah investasi
sehingga harus dijaga baik-baik: 31
“Kalau memang pekerja kita dibayar dengan harga tinggi, itu
berarti pekerja kita dibayar oleh orang berduit, kemudian orang
berduit itu berpikir sudah bayar mahal maka dia akan jaga pekerja
itu, yang akan terjadi adalah penurunan 50% angka penempatan,
itu asumsi saya, kenapa? Kalau turun angka penempatan
hingga 50 % kepada orang yang (majikan) yang benar-benar
mampu, angka kasus kekerasan (terhadap TKI) juga turun, itu
korelasinya.”
Negosiasi seputar standar gaji minimal ini berlangsung
alot, karena Pemerintah Malaysia tidak memiliki aturan seputar gaji minimal, sehingga apabila proposal Indonesia diterima,
maka perlu ada penyesuaian dengan undang-undang ketenagakerjaan Malaysia secara keseluruhan. Rafail Walangitan menyampaikan kesulitan mengenai penerapan standar gaji minimal ini: 32
“Satu hal tentang penetapan standar gaji, untuk menggolkan itu
kita kan sudah mendesak, tapi bagi mereka jika mereka menerima,
berarti mereka harus melakukan amandemen daripada UU
mereka. Nah proses amandemen UU mereka itu tidak mudah,
itu harus dibawa ke tingkat parlemen, dan apabila mereka sudah
menetapkan itu (standar gaji) berarti mereka harus mengganti
secara mendasar upah minimum regional, seperti kita kan. Jalan
keluar yang mereka tawarkan adalah, oke karena ini bertentangan
dengan UU kami, maka persoalan upah minimum tersebut
kita serahlan pada harga pasar yang berlaku. Bagi kita kalau
mengikuti harga pasar, kita kan tidak ada pegangan, karena harga
pasar itu sangat fluktuatif, dari tadinya RM800 bisa tiba-tiba ke
31 Wawancara dengan Rusdi Basalamah, Op.cit.
32 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit.
~ 154 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
RM 600 misalnya. Nah ini melemahkan posisi kita, namun saya
kira Indonesia cukup fleksibel dalam konteks itu, karena kita juga
memahami kesulitan yang mereka hadapi.”
Pada nota kesepahaman 2006, klausa mengenai gaji ini hanya tergantung pada kontrak kerja yang telah disepakati tanpa
ada ketentuan berapa standar gajinya, sebagaimana diterangkan sebagai berikut: “(iii) The Employer shall pay the Domestic
Workers monthly wages in the amount as agreed in the terms and conditions of the Contract of Employment”33 Hal inilah yang kemudian
diubah pada protokol amandemen hingga akhirnya disetujui
bahwa standar gaji akan disesuaikan pada standar upah pasar
ketenagakerjaan yang ada. Hal ini termaktub dalam protokol
amandemen sebagai berikut: “The Employer shall pay the Domestic Worker a monthly wage as agreed in the term and conditions of
the Contract of Employment at a rate determined by the market forces
taking into account the indicative range of wages to be agreed upon by
the Parties.”34
Laporan Tahunan Fungsi Ketenagakerjaan KBRI Kuala
Lumpur Tahun 2011 menyampaikan beberapa kriteria dan standar yang berkaitan dengan sistem penggajian untuk kemudian
sebagai landasan penyusunan standar remunerasi (remuneration
rate) bagi TKI adalah sebagai berikut: (1) Standar biaya hidup
(living cost); (2) Laju inflasi nasional dan inflasi per sektor; (3)
Daya beli (purchasing power); dan (4) Harga produk rata-rata
dunia (produk perkebunan, pertanian, elektronik, dan lainlain).35Fungsi Ketenagakerjaan ini pun menyampaikan laju standar gaji TKI yang bekerja di beberapa sektor di Malaysia:36
33 “Memorandum of Understanding between…”, Op.cit. Appendix A, Paragraph A, Point iii.
34 “Protocol Amending The Memorandum…” Op.cit. Article 5, Point 5.3.
35 Laporan Tahunan Fungsi Ketenagakerjaan Tahun 2011, Kedutaan Besar Republik Indoneisa
Kuala Lumpur, hlm 20.
36 Ibid. hlm. 22.
~ 155 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Tabel VIII.1
Laju Standar Gaji TKI di Beberapa
Sektor Pekerjaan di Malaysia
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sektor
Pekerjaan
Pekerja
Domestik
Pertanian/
Agrikultur
Perkebunan
Konstruksi
Manufaktur
Jasa
Sebelum Tahun 2010
Gaji Pokok
Levy
RM 500/Bulan RM 410/Thn
Tahun 2010-2011
Gaji Pokok
Levy
RM 600/Bulan RM 490/Thn
RM 18,5/Hari
RM 540/Thn
RM 18,5/Hari
RM 590/ Thn
RM 18,5/Hari
RM 25-40/Hari
RM 460/Bulan
RM 500/Bulan
RM 540/Thn
RM 540/Thn
RM 1.200/Thn
RM 1.800/Thn
RM 21/Hari
RM 35-50/Hari
RM 481/Bulan
RM 550/Bulan
RM 590/ Thn
RM 590/ Thn
RM 1.250/ Thn
RM 1.850/ Thn
Sumber: Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur, 2012
Dari data di atas dapat dilihat terdapat peningkatan standar gaji pokok bagi TKI, adapun Levy mutlak harus dibayar
pengguna jasa sesuai peraturan Pemerintah Malaysia. Namun
menurut Atase Ketenagakerjaan (Atnaker) KBRI Kuala Lumpur,
seharusnya pendapatan minimal bagi pekerja di lima sektor selain sektor domestik tidak boleh kurang dari RM 900 per bulan,
adapun pekerja sektor domestik tidak boleh kurang dari RM
700, hal ini karena beberapa komponen pekerja sektor domestik
telah ditanggung secara langsung oleh pengguna jasa, sehingga
tidak dibayarkan secara tunai.37 Tabel 4.6 berikut mengilustrasikan indeks keperluan hidup minimum TKI di wilayah Kuala
Lumpur dan sekitarnya: 38
37 Komponen-komponen gaji menurut Atnaker KBRI Kuala Lumpur terdiri atas: (a) Gaji Pokok
(Basic Salary); (b) Lembur pada hari kerja; (c) Lembur pada hari minggu; (d) Lembur pada
hari besar atau hari libur resmi; (e) Tunjangan kehadiran; (f) Tunjangan makan; (g) Tunjangan shift; (h) Tunjangan transportasi; (i) Tunjangan asrama; (j) Insentif; (k) Bonus; dan (l)
Levy.
38 Laporan Tahunan Fungsi Ketenagakerjaan Tahun 2011, Kedutaan Besar Republik Indoneisa
Kuala Lumpur, hlm. 24.
~ 156 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Tabel VIII.2
Indeks Keperluan Hidup Minimum TKI di Wilayah Kuala
Lumpur dan Sekitarnya
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Keperluan
Volume
Harga
Satuan
RM 4.00
RM 30.00
RM 40.00
RM 50.00
RM 50.00
Frekuensi
Jumlah
Makan
3
30 hari
RM 360.00
Keperluan Kamar Mandi
1
1 kali/bulan
RM 30.00
Keperluan Harian Lainnya
1
1 kali/bulan
RM 40.00
Pulsa Handphone (Top-up)
1
1 kali/bulan
RM 50.00
Liburan/Hospitality/
1
2 kali/bulan
RM 100.00
Pengembangan Diri
Transportasi
Disediakan atau Reimbursement RM 4.00/hari
Akomodasi (Listrik/Air/Gas)
1
RM 20.00
1 kali/bulan
RM 20.00
Remiten/Tabungan
1
RM 300.00
1 kali/bulan
RM 300
JUMLAH RM 900.00
Sumber: Atnaker KBRI Kuala Lumpur, 2010
Selain penetapan standar gaji yang akan mengikuti ketentuan pasar, Pemerintah Indonesia juga mengajukan proposal
bahwa pembayaran gaji harus melalui transaksi perbankan, agar
setiap transaksi tercatat dan dapat mejadi klaim apabila terdapat permasalahan terkait proses pembayaran gaji. Rafail Walangitan menyampaikan keterangan sebagai berikut: “Kemudian
juga saat kita meminta mereka membayar gaji melalui rekening bank.
Ini juga kan sebenarnya untuk memberikan kejelasan. Ini kan hubungan industrial antara pekerja dan majikan, pekerja sudah memberikan
kewajibannya, maka kewajiban dari majikan untuk membayar.“ 39
Instrumen transaksi gaji melalui perbankan ini ditegaskan
dalam protokol amandemen Article 6 Point 6.4 yang menyebutkan: “… The Payment of the monthly wages shall be made through a
Bank account”.40 Apabila TKI kesulitan dalam membuka rekening
di bank, maka adalah kewajiban pengguna jasa untuk membantunya. Hal ini telah diterangkan dalam nota kesepahaman ta39 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit.
40 Lihat “Protocol Amending The Memorandum…” Op.cit. Article 6, Point 6.4.
~ 157 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
hun 2006 yang menyebutkan: “ The Employer shall, as reasonably
practicable, and if requested by the Domestic Worker, assist the Domestic
Worker to open an account at any Malaysian Financial Institution.41
Keinginan untuk meningkatkan standar gaji ini sebenarnya
tetap memiliki konsekuensi bahwa selama ini posisi tawar TKI
sektor domestik lebih kuat dibanding pekerja domestik negara
lain adalah upahnya yang lebih rendah, yang apabila standar
upahnya dinaikkan maka bukan tidak mungkin pengguna jasa
pekerja sektor domestik Malaysia akan beralih ke pekerja migran dari negara lain. Pada sisi lain, moratorium dan amandemen nota kesepahaman ini adalah jalan Indonesia untuk tetap
melanjutkan arus penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia. Namun, posisi tawar TKI sektor domestik tetap lebih tinggi
dibandingkan pekerja domestik negara lain, melihat angka penempatan ireguler yang tinggi dalam koridor penempatan TKI
sektor domestik Indonesia-Malaysia.
5.
Pembentukan Joint Task Force antara Indonesia dan
Malaysia
Salah satu hal yang harus dibenahi dalam implementasi
nota kesepahaman 2006 adalah lemahnya pengawasan baik dari
Malaysia dan Indonesia, karena selama nota kesepahaman 2006
dijalankan pengawasan hanya berbentuk dialog via Joint Working Group, yang hanya mengadakan forum apabila salah satu
pihak mengajukan agenda pembahasan. Pada protokol amandemen nota kesepahaman 2006 ini kemudian dibentuk Joint Task
Force yang bertugas untuk melakukan implementasi teknis nota
kesepahaman 2006 yang telah mengalami amandemen. 42 JTF.
Rafail Walangitan menyampaikan bahwa pembentukan Joint
Task Force ini adalah untuk menilai implementasi nota kesepahaman 2006 pasca moratorium:43
41 “Memorandum of Understanding between…”, Op.cit. Appendix A, Paragraph A, Point xxii.
42 Lihat “Protocol Amending The Memorandum…” Op.cit. Article 4.
43 Wawancara Rafail Walangitan, Op.cit.,
~ 158 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
“Untuk mengawasi poin-poin amandemen itu, dari kedua belah
pihak dibentuklah Joint Task Force, jadi masing-masing misalnya
di Malaysia ada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Imigrasi kemudian Duta Besar kita juga ikut serta, Kementerian
Perburuhan. Dan di sini juga dibentuk Joint Task Force Indonesia,
dimana anggotanya di situ adalah Kemenakertrans, BNP2TKI,
kemudian Kedutaan Besar Malaysia, bahkan Kemlu pun ikut
serta. Joint Task Force ini tugasnya adalah melakukan control,
kemudian menilai sejauh mana implementasi amandemen MoU
itu tersebut dari segala aspek yang telah disepakati.“
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar
pada Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI tanggal 25 Januari
2012, menyampaikan tugas-tugas JTF adalah sebagai berikut:
a. Memverifikasi dokumen calon TKI dalam proses pemberangkatan (paspor, perjanjian kerja, sertifikat kesehatan
dan psikologi, sertifikat uji kompetensi, izin/visa kerja,
biaya penempatan);
b. Memantau proses pemberangkatan dan pemulangan TKI,
meliputi proses rekrutmen, pelatihan, uji kompetensi,
pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pemberangkatan
dan pemulangan;
c. Memantau, membina dan mengawasi kinerja lembaga
penempatan TKI;
d. Memberikan fasilitasi/bantuan penyelesaian kasus kepada
TKI;
e. Memfasilitasi penyelesaian perselisihan kerja;
f. Memastikan kurikulum pelatihan dilaksanakan sesuai
ketentuan, seperti keterampilan teknis, kemampuan bahasa, pemahaman tentang adat istiadat, serta peraturan dan
perundangan di Malaysia.
Pada proses pencabutan moratorium yang dilakukan pada
bulan Desember, pengawasan dan pemantauan yang dilakukan
JTF ini adalah salah satu indikator utama penilaian, dimana
~ 159 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Pemerintah Indonesia menilai ada usaha Pemerintah Malaysia untuk menjalankan dengan sungguh-sungguh. Rendra Setiawan menyampaikan hubungan antara penandatanganan
protokol amandemen nota kesepahaman dengan pencabutan
moratorium: 44
“Dan jangan menghubungkan penandatangan protokol revisi
MoU dengan pembukaan moratorium,ada kaitannya namun
jangan dihubungkan. Dengan adanya penandatangan MoU, maka
otomatis moratorium dibuka, nggak seperti itu. Jadi kita lihat
dulu, keseriusan Malaysia ada sampai dimana, kayak TKI yang
sudah ada di sana, perlakuannya gimana tuh, jangan kita kirim
baru dulu, yang disana dulu bagaimana. Kalau yang disana masih
bermasalah juga kan berarti keseriusannya gak ada, kan masih
ribuan tuh yang berada di sana. Buktinya kan sekarang masih
ada kasus di Malaysia dan Arab Saudi setelah ada moratorium.
Misalnya ada TKI kita bermasalah kita disana, kita berikan akses
kekonsuleran, akses hukumnya. Dulu kan kadang nggak, sudah
lama penanganan hukumnya baru ada laporan ke KBRI. Jadi
alasan pencabutannya itu ada penandatangan moratorium, lalu
ada keseriusan pihak Malaysia untuk membenahi perlindungan
TKI kita disana. Ukurannya itu ya, dalam pelanggaran kasus
ya usaha mereka untk mengatasinya sudah makin baik, mereka
membuka kerja sama juga, kita juga kan menerima laporan dari
KBRI untuk hal-hal demikian.”
Pembentukan JTF ini diharapkan memberikan pengawasan
yang lebih rutin untuk implementasi amandemen nota kesepahaman ini. Salah satu yang telah menjadi hasil pengawasan ini
adalah komitmen Malaysia untuk menghentikan Journey Performed Visa (JP Visa), sebagaimana disampaikan dalam surat
pencabutan moratorium yang dilansir oleh Kemenakertrans
RI. JP Visa ini menjadi salah satu celah utama masuknya TKI
tidak berdokumen ke Malaysia. Hal ini dimudahkan pula oleh
44 Wawancara Rendra Setiawan, Op.cit.
~ 160 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
kebijakan bebas visa di seluruh kawasan ASEAN, sehingga para
TKI tidak berdokumen yang datang Malaysia pertama-tama
menggunakan visa pelancong, dan kemudian dengan mekanisme tertentu memperoleh visa kerja dari Pemerintah Malaysia
dalam bentuk JP Visa tersebut. []
~ 161 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 162 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
BAB IX
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI:
KEBIJAKAN MORATORIUM PENEMPATAN
SEBAGAI TITIK BARU POLITIK
PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN
INDONESIA DI LUAR NEGERI?
Penelitian ini berusaha menjawab dua pertanyaan penelitian pada rumusan masalah yang telah dikemukakan pada
bagian awal buku ini, yaitu: (1) “Mengapa Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI
sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011? Kondisi-kondisi
bagaimanakah yang mempengaruhi proses pemberlakuan kebijakan moratorium tersebut?”; dan (2) “Bagaimana upaya Pemerintah Indonesia meningkatkan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri melalui kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011?” Untuk
menjawab kedua pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan
kerangka konsep migrasi global, proses pembuatan kebijakan
(policy-making processes) serta politik luar negeri, diplomasi dan
kapabilitas negara.
~ 163 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Berdasarkan pembahasan yang ada pada Bab IV dan V
terkait arus migrasi tenaga kerja antara Indonesia dan Malaysia serta berdasarkan analisa yang coba dibangun pada Bab IV
tentang aspek migrasi global dalam hubungan ketenagakerjaan
lintasnegara antara Indonesia dan Malaysia dapat dijelaskan
bahwa arus migrasi ketenagakerjaan lintasnegara antara Indonesia dan Malaysia yang telah berlangsung lama, adalah sebuah
fenomena yang membentuk hubungan interdependensi antara
Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran, dan Malaysia, sebagai negara tujuan penempatan, khususnya dalam koridor penempatan TKI sektor domestik.
Tingginya angka penempatan ireguler pada koridor migrasi tenaga kerja Indonesia dan Malaysia menunjukkan adanya interdependensi antara pekerja migran Indonesia sebagai penyedia jasa, dan publik Malaysia sebagai pengguna jasa, adapun Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebagai regulator tidak dapat
menahan arus migrasi ireguler ini. Kondisi interdependensi ini
menjadi latar belakang kondisi bagaimana Pemerintah Indonesia harus menyikapi permasalahan yang mungkin muncul dalam arus migrasi ini, juga dalam hal menyiapkan upaya-upaya
perlindungan terhadap TKI sektor domestik yang berada dalam
koridor migrasi dengan angka penempatan yang tinggi, terlebih
saat ditemukan bahwa terdapat kondisi kekosongan perlindungan hukum bagi pekerja sektor domestik dalam kerangka hukum
ketenagakerjaan nasional yang ada di Malaysia.
Untuk mengisi kekosongan kerangka perlindungan hukum
bagi pekerja sektor domestik di Malaysia ini, Pemerintah Indonesia kemudian mengembangkan kerjasama bilateral dalam bentuk
Nota Kesepahaman (MoU) terkait penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik ke Malaysia pada tahun 2006. Namun,
MoU ini belum berhasil membenahi perlindungan TKI sektor
domestik ke Malaysia, hal ini disebabkan oleh beberapa hal: (1)
belum adanya keseriusan Pemerintah Malaysia dalam membenahi sistem perlindungan bagi tenaga kerja sektor domestik di
~ 164 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Malaysia, hal ini dilihat dengan masih banyaknya permasalahan
setelah tiga tahun diterapkannya MoU; (2) beberapa pasal dalam
MoU yang masih belum cukup melindungi TKI sektor domestik
di Malaysia. Kedua hal diatas akhirnya mendorong Pemerintah
Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan
TKI sektor domestik ke Malaysia pada tahun 2009.
Untuk menjawab pertanyaan pertama terkait mengapa
Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium
ini: penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan moratorium
penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia ini diterapkan
Pemerintah Indonesia -dalam hal ini oleh Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI, BNP2TKI, serta Perwakilan Indonesia di Malaysia- adalah karena maraknya permasalahan yang
dihadapi TKI sektor domestik di Malaysia, ditunjang dengan
konteks tekanan publik pada saat itu akibat maraknya pemberitaan mengenai penganiayaan yang terjadi terhadap TKI sektor domestik di Malaysia. Hal ini kemudian memunculkan ide
bahwa perlu diberlakukan penghentian sementara penempatan
TKI sektor domestik ke Malaysia. Hal ini ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, yang dalam penelitian ini
ditemukan bahwa permasalahan tidak hanya terjadi di fase penempatan, melainkan juga di fase pra-penempatan, dan purna
penempatan, hal ini berkaitan dengan kerentanan akan jaminan
perlindungan yang dialami TKI sektor domestik sejak proses
persiapan keberangkatan hingga kepulangannya ke tanah air.
Selain itu, moratorium ini ditujukan membenahi instrumen perlindungan terhadap TKI sektor domestik di Malaysia, yang dalam hal ini diusahakan melalui revisi amandemen pasal-pasal
yang ada di MoU di 2006, sekali lagi mengingat kerentanan perlindungan TKI sektor domestik apabila hanya bergantung pada
hukum ketenagakerjaan yang ada di Malaysia.
Melihat formasi kepentingan yang telah diuraikan pada
Bab IV, dapat dilihat bahwa pada proses agenda dan formulasi kebijakan, aktor-aktor yang berperan lebih dominan adalah
~ 165 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
aktor-aktor resmi, dalam hal ini instansi pemerintahan terutama sekali birokrasi eksekutif dalam hal ini Kemenakertrans,
BNP2TKI serta Kementerian Luar Negeri. Aktor-aktor resmi ini
memiliki kepentingan dalam hal melakukan tindakan yang bersifat politis untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang
dialami oleh TKI sektor domestik yang berada di Malaysia dan
telah diberitakan secara luas ke publik.
Dalam hal adopsi kebijakan, aktor-aktor tidak resmi dalam
hal ini pengusaha dan CSO (civil society organization) memberikan kontribusi dalam hal memberikan dukungan dan dorongan atas pemberlakuan kebijakan moratorium penempatan
ini. Pengusaha yang merasakan dampak langsung akibat berhentinya proses usaha penempatan, ini menyatakan dukungannya sehubungan memang perlunya pembenahan penampatan
yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, Pada sisi lain, CSO
menurut Wahyu Susilo telah berperan dalam mendorong implementasi kebijakan moratorium penempatan ini, dan sebenarnya
dapat memberikan kontribusi lebih banyak dalam proses pengawasan implementasi kebijakan ini, mengingat bahwa CSO tidak
dilibatkan dalam proses penetapan agenda dan formulasi kebijakan penempatan ini.
Adapun untuk menjawab pertanyaan kedua terkait bagaimana upaya Pemerintah Indonesia dalam membenahi perlindungan TKI sektor domestik di Malaysia melalui kebijakan
moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia: penelitian ini melihat melihat upaya pembenahan perlindungan
ini dimanifestasikan dan diimplementasikan dalam proposal
amandemen MoU antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia
tentang penempatan dan perlindungan TKI sektor domestik di
Malaysia. Pemerintah Indonesia dalam proposal amandemen
ini mengajukan perubahan pada beberapa pasal yang dianggap krusial untuk melindungi TKI sektor domestik di Malaysia. Pasal-pasal yang kemudian disetujui itu antara lain: Pertama, hak pekerja untuk menyimpan sendiri paspornya, hal ini
~ 166 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
merupakan perbaikan dari yang sebelumnya paspor dipegang
oleh pengguna jasa, yang membuat posisi TKI sektor domestik dalam posisi tertawan akibat tertahannya dokumen; Kedua,
hak mendapatkan hari libur dalam seminggu bagi TKI, hal
ini dimaksudkan untuk mengurangi praktek eksploitasi pada
pekerja sektor domestik yang kerap terjadi, dimana pekerja sektor domestik bekerja setiap hari, tanpa ada kepastian jam kerja,
waktu beristirahat.
Ketiga, penyesuaian struktur biaya penempatan (cost-structure) TKI sektor domestik ke Malaysia, hal ini ditujukan untuk
memperjelas skema pembagian tanggungan biaya baik oleh
pengguna jasa, agen penempatan, maupun TKI sektor domestik, hal ini disebabkan banyaknya kasus TKI yang membayar
bagian terlalu besar dengan skema pembayaran melalui potongan gaji bulanan sesampainya tempat kerja, sehingga TKI sektor
domestik kerap mengalami kesulitan klain untuk pembayaran
gaji; Keempat, penetapan standar gaji melalui mekanisme pasar,
hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan standar gaji TKI sektor domestik apabila dibandingkan dengan standar gaji pekerja domestik di negara lain, selain itu, hal ini ditujukan untuk
mengurangi kemungkinan TKI yang dibayar dibawah standar
pasar tenaga kerja yang ada (underpaid). Kelima, pembentukan
Joint Task Force (JTF) sebagai Satuan Tugas Bersama untuk mengawasi implementasi MoU hasil revisi ini yang memiliki mekanisme pelaporan hasil pengawasan secara periodik, dimana
pengawasan pada MoU sebelum amandemen dirasakan amat
kurang, karena fungsi pengawasan hanya dilaksanakan dalam
Joint Working Group (JWG) yang menyelenggarakan forum secara insidental.
Melihat disetujuinya beberapa pasal dalam proposal amandemen MoU ini, dan alotnya negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia dalam pembahasan revisi MoU
ini sebagaimana digambarkan pada Bab III, peneliti melihat bahwa Pemerintah Indonesia memiliki kapabilitas untuk menekan
~ 167 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Pemerintah Malaysia untuk membenahi skema perlindungan
melalui kebijakan moratorium dan revisi amandemen MoU ini.
Hal ini tidak dapat dilepaskan pada interdependensi Malaysia
dan Indonesia dalam hal ketenagakerjaan lintas negara. Kebijakan moratorium ini menunjukkan fenomena publik Malaysia
kesulitan menggantikan pekerja sektor domestik asal Indonesia
dengan pekerja sektor domestik dari negara lain, karena pekerja
sektor domestik asal Indoneisa telah sekian lama memenuhi
pasar tenaga kerja sektor domestik di Malaysia, hal ini dapat
dilihat sebagai kapabilitas Indonesia memiliki kekuatan dalam
hal ketenagakerjaan terhadap Malaysia.
Namun, pada penelitian ini ditemukan bahwa akar dari
permasalahan yang kerap dialami oleh TKI sektor domestik
di negara tujuan penempatan -termasuk Malaysia- sebenarnya
berada di dalam negeri, sehingga diperlukan pembenahan secara khusus proses persiapan calon TKI pada tahap pra-penempatan. Adapun pada penelitian ini tidak ditemukan upaya-upaya signifikan yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun aktor-aktor lainnya dalam membenahi persiapan pra-penempatan
selama masa moratorium penempatan diberlakukan. Sehingga,
untuk sementara penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan
moratorium penempatan TKI sektor domestik ke negara tujuan
penempatan –merujuk pada studi kasus Malaysia- belum mampu mendorong pembenahan perlindungan TKI sektor domestik
di dalam negeri, dan baru berlaku efektif pada upaya pembenahan perlindungan TKI sektor domestik di negara tujuan penempatan melalui kerjasama bilateral.
Kebijakan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri untuk membenahi kerjasama bilateral adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk membenahi perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Adapun perlindungan dalam kebijakan moratorium ini dimaknai sebagai upaya Pemerintah Indonesia dalam mendesak
negara tujuan penempatan untuk membenahi perlindungan
~ 168 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
ketenagakerjaan bagi pekerja migran Indonesia yang bekerja di
negara tersebut, khususnya pekerja migran yang bekerja di sektor domestik. Kebijakan moratorium ini dirasakan amat penting
untuk menunjukkan kapabilitas dan keberanian negara untuk
melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri. Adalah sebuah kewajiban negara untuk melindungi seluruh warga
negaranya baik yang berada di luar negeri, untuk memastikan
kedaulatan dan harga diri warga negaranya selalu terjaga dimanapun warga negara tersebut berada.
MoU dapat menjadi perangkat hukum yang membantu Pemerintah Indonesia dalam mendapatkan jaminan perlindungan
bagi TKI di negara tujuan penempatan. Namun demikian, keberadaan MoU tidak berarti banyak apabila isi dari MoU tersebut tidak secara komprehensif menjamin perlindungan TKI dan
terdapat kelemahan dari sisi implementasi. Keberadaan MoU
diharapkan menjadi jembatan bagi perbedaan antara ketentuan
nasional ketenagakerjaan di negara tujuan penempatan, ketentuan hukum internasional mengenai pekerja migran, dan ketentuan nasional ketenagakerjaan di Indonesia
Rekomendasi
Berdasarkan pengalaman kebijakan moratorium Pemerintah Indonesia terhadap penempatan TKI sektor domestik ke
Malaysia, penelitian ini merekomendasikan beberapa variabel
(kondisi-kondisi yang mempengaruhi) yang disusun dalam skala prioritas dan dapat digunakan untuk mengukur signifikansi
perlu tidaknya kebijakan moratorium penempatan pekerja migran diberlakukan untuk mengupayakan pembenahan perlindungan pekerja migran di negara tujuan penempatan melalui
pembenahan kerjasama bilateral ketenagakerjaan:
(1) besar arus migrasi yang terjadi antara negara asal
pekerja migran dengan negara tujuan penempatan, variabel ini digunakan untuk mengukur seberapa besar volume
hubungan ketenagakerjaan antara negara asal pekerja migran
~ 169 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
dengan negara tujuan penempatan, sehingga dapat dilihat derajat pentingnya negara tujuan penempatan tersebut bagi negara
asal pekerja migran, semakin besar arus migrasi, maka jumlah
pekerja migran yang berada di negara tujuan penempatan tersebut akan semakin besar sehingga kemungkinan permasalahan
yang mucul semakin besar, sehingga dibutuhkan kerjasama bilateral yang mengatur perihal penempatan dan perlindungan
di negara tersebut, dan apabila belum ada kerjasama bilateral
terkait ketenagakerjaan antara negara asal pekerja migran dengan negara tujuan penempatan tersebut, maka kebijakan moratorium penempatan dapat dan perlu diberlakukan hingga terbentuk kerjasama bilateral ketenagakerjaan terbangun di antara
kedua negara;
(2) jumlah kasus permasalahan terkait dan penanganannya di negara tujuan penempatan, variabel ini dapat digunakan
untuk melihat seberapa rentan kondisi perlindungan pekerja
migran di negara tujuan penempatan, dan seberapa tanggap
negara tujuan penempatan dalam menyelesaikan permasalahan, apabila angka kasus permasalahan tinggi dan angka penyelesaian permasalahan rendah, maka perlu dilihat ada atau
tidaknya peraturan/kebijakan perlindungan ketenagakerjaan
di negara tujuan penempatan terhadap pekerja migran, apabila
ternyata tidak ada, maka kerjasama bilateral ketenagakerjaan
perlu dibangun oleh kedua negara, apabila kerjasama tersebut
tidak juga terbangun, maka kebijakan moratorium penempatan
dapat dan perlu diberlakukan hingga terbentuk kerjasama bilateral ketenagakerjaan di antara kedua negara;
(3) peraturan/kebijakan perlindungan ketenagakerjaan di
negara tujuan penempatan terhadap pekerja migran, variabel
ini dapat digunakan untuk melihat sejauh mana pekerja migran
memiliki jaminan perlindungan ketenagakerjaan di negara tujuan penempatan, ternasuk juga dalam hal ini pekerja migran
yang bekerja di sektor informal, apabila terdapat kekosong-
~ 170 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
an peraturan/kebijakan perlindungan ketenagakerjaan bagi
pekerja migran maka kerjasama bilateral ketenagakerjaan perlu
dibangun oleh kedua negara, apabila kerjasama tersebut tidak
juga terbangun, maka kebijakan moratorium penempatan dapat
dan perlu diberlakukan hingga terbentuk kerjasama bilateral
ketenagakerjaan di antara kedua negara;
(4) keberadaan kerjasama bilateral antara asal pekerja
migran dengan negara tujuan penempatan, variabel ini dapat
digunakan untuk melihat seberapa jauh hubungan kerjasama
ketenagakerjaan antara negara asal pekerja migran dengan
negara tujuan penempatan telah terbangun, apabila kerjasama
bilateral ini ternyata belum terbangun, maka kebijakan moratorium penempatan dapat dan perlu diberlakukan hingga terbentuk kerjasama bilateral ketenagakerjaan di antara kedua negara,
dengan sebelumnya melihat pada variabel-variabel yang telah
disebutkan sebelumnya. []
~ 171 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 172 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
BIBLIOGRAFI
1. Sumber Buku
Anderson, James. (2011). Public Policy Making: An Introduction.
(7th Ed.). USA: Wadsworth.
Anggraeni, Dewi. (2006). Dreamseekers: Indonesian Women as Domestic Workers in Asia. Jakarta: Equinox Publishing.
Azmy, Ana Sabhana. (2012). Negara dan Buruh Migran Perempuan:
Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono 2004-2010.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian
Luar Negeri. (2011). Kajian Upaya Peningkatan Kualitas
Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri. Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Birkland, Thomas. (2011). An Introduction to the Policy Process:
Theories, Concepts and Models of Public Policy Making. (3rd
Ed.). New York: ME Sharpe.
CARAM Asia. (2010). Malaysia vs Hong Kong: Employers’ Perception and Attitudes Towards Foreign Domestic Workers. Kuala Lumpur: CARAM Asia.
-----------------. (2011). Reality Check! Rights and Legislation for Migrant Domestic Workers Across Asia. Kuala Lumpur: CARAM Asia.
~ 173 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Castles, Stephen., dan Mark J. Miller. (2009). The Age of Migration: International Population Movements in the Modern
World. New York: The Guilford Press.
Creswell, John W. (1996). Research Design: Pendekatan Kualitatif
dan Kuantitatif (Terj.). Jakarta: KIK Press.
Harrison, Lisa. (2007). Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana.
Hill, Michael. (1997). The Policy Process in the Modern State. (3rd
Ed.). London: Prentice Hall-Harvester Wheatsteaf.
International Office of Migration (IOM). (2010). World Migration
Report 2010, The Future of Migration: Building Capacities for
Change. Jenewa: IOM.
----------------------------------------------------. (2010). Labour Migration from Indonesia: An Overview of Indonesian Migration to
Selected Destinations in Asia and the Middle East. Jakarta:
IOM.
Irewati, Awani. (ed.). (2003). Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Masalah TKI Ilegal di Negara ASEAN. Jakarta: Pusat
Penelitian Politik LIPI.
Komnas Perempuan. (et.al). (2002). Indonesian Migrant Workers: Systematic Abuse at Home and Abroad. Jakarta: Komnas
Perempuan.
-------------------------------------. (2002). Indonesian Migrant Domestic Workers: Their Vulnerabilities and New Initiatives from the
Protection of Their Rights. Jakarta: Komnas Perempuan.
-------------------------------------. (2005). Migrasi Tanpa Dokumen:
Strategi Perempuan Mempertahankan Kehidupan. Jakarta:
Komnas Perempuan.
Maimbo, Samuel M., dan Dilip Ratha. (eds.). (2005). Remmitan
ces: Development Impact and Future Prospects. Washington
DC: The World Bank
Manning, Chris, dan Zainab Bakir. (eds.). (1984). Angkatan Kerja
di Indonesia: Partisipasi, Kesempatan dan Pengangguran. Jakarta: CV Rajawali.
~ 174 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
-------------------------------------------, dan Sudarno Sumarto. (eds).
(2011). Employment, Living Standards and Poverty in Contemporary Indonesia. Singapura: ISEAS Publishing.
Mestoko, Sumarsono. (1988). Indonesia dan Hubungan Antarbangsa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Migrant Care, (2009). Sikap Migrant Care terhadap Problematika
Buruh Migran Indonesia. Jakarta: Migrant Care.
Morgenthau, Hans J. (1990). Politik Antarbangsa. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Nainggolan, Poltak P. (ed.). (2005). TKI dan Hubungan IndonesiaMalaysia. Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan
Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.
Nasution, Dahlan. (1991). Politik Internasional: Konsep dan Teori.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Neuman, W. Laurence. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. Boston: Allyn and Bacon.
Ohmae, Kenichi. (1991). Dunia dan Strategi di Dalam Ekonomi
yang Saling Mengait, Jakarta: Binarupa Aksara.
Raharto, Aswatini. (2001). Migrasi Tenaga Kerja Internasional di
Indonesia: Pengalaman Masa Lalu, Tantangan Masa Depan. (Kertas Kerja No. 31). Jakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan-LIPI.
Rahman, Fathor. (2011). Menghakimi TKI: Mengurai Benang Kusut
Perlindungan TKI. Jakarta: Penerbit Pensil-234.
Smith, Steve. (et.al.). (2008). Foreign Policy: Theories, Actors, Cases.
New York: Oxford University Press.
Soedjono. (1955). Ilmu Politik II: Diplomasi dan Politik Luar Negeri.
Jakarta: Djambatan.
Spiegel Steven L. (1995). World Politics in a New Era. Los Angeles:
Harcourt Brace & Company.
Sugiyono. (2009). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sujudi, Achmad. (ed.). (2004). Menyelamatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Nunukan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
~ 175 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Sukamdi. (et.al.). (eds.). (2000). Labour Migration in Indonesia:
Policies and Practice. Yogyakarta: Population Studies Center Gadjah Mada University.
Surjono, Gunanto. (et.al.) (2009). Pengkajian Kebutuhan Model
Pelayanan Sosial Pekerja Migran. Yogyakarta: Penerbit
B2P3KS Press.
Suyanto, Bagong, dan Sutinah. (eds.). (2005). Metode Penelitian
Sosial. Jakarta: Kencana.
Tagaroa, Rusdi, dan Encop Sofia. (2001). Buruh Migran Indonesia
Mencari Keadilan. Jakarta: Solidaritas Perempuan.
The Institute for Ecosoc Rights. (2010). Atase Tenaga Kerja dan
Perlindungan TKI: Antara Indonesia-Singapura-Malaysia. Jakarta: The Insitute for Ecosoc Rights.
Yayasan Jurnal Perempuan. (2011). Sambutlah Kepulangan Kami;
Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan Terminal Khusus
TKI. Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan.
Yin, Robert K. (1989). Case Study Research: Design and Methods:
Applied Social Research and Methods Series Volume 5. London: Sage Publication.
2. Sumber Jurnal, Makalah, Laporan
“Dilema Perlindungan TKI”. Jurnal Diplomasi, Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia, No.47 Tahun
IV,
Tanggal 15 September-14 Oktober 2011.
“Pentingnya Meratifikasi Konvensi Migran 1990”. Lembar Info
Komnas Perempuan, Vol.I, April 2006.
“Upaya Perlindungan WNI Mengalami Banyak Tantangan”.
Jurnal Diplomasi, No. 47 Tahun IV, Tanggal 15 September14 Oktober 2011.
Bachtiar, Da’i. “Diplomasi Perlindungan WNI/TKI”. Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Bulan Maret 2010.
BPPK Kementerian Luar Negeri RI. (2011). “Laporan Lokakarya: Diskusi Penguatan Hasil Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan WNI/TKI di
~ 176 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Luar Negeri”. Forum Komunikasi Kelitbangan: Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: BPPK Kemenlu RI.
Ducanes, Geoffrey, dan Manolo Abella. (2009). “Prospects for
Future Outward Migration Flows: China and Southeast
Asia”. ILO Asian Regional Programme on Governance of Labour Migration Working Paper No. 24. Bangkok: ILO.
Dwianto, Raphaella D. (2012). “Rain of Gold Overseas, Rain of
Stone at Home?: The Unchanging Fortune fo Indonesian
Migrant Domestic Workers”. Stratification and Inequality
Series Vol.14: Global Migration and Ethnic Communities. Japan: Tohoku Universities.
Hugo, Graeme. (2004). ”International Migration in Southeast
Asia since World War II”, dalam Aris Ananta dan Evi
Nurvidya Arifin. (Eds.). International Migration in Southeast Asia. Singapura: ISEAS.
-------------------. (2009). “Labour Migration for Development:
Best Practices in Asia and the Pacific”. ILO Asian Regional
Programme on Governance of Labour Migration Working Paper No. 17. Bangkok: ILO.
Hernandez-Coss,. (et.al.). (2008). “The Malaysia-Indonesia Remittance Corridor: Making Formal Transfers the Best
Option for Women and Undocumented Migrants”. The
World Bank Working Paper No. 149. Washington DC: The
World Bank.
Hulling, Alice. (2012). “Domestic Workers in Malaysia: Hidden
Victims of Abuse and Forced Labour”. International Law
and Politics, Vol.44.
Kanapathy, Vijayakumari. (2008). “Controlling Irregular Migration: The Malaysian Experience”. ILO Asian Regional Programme on Governance of Labour Migration Working Paper
No.14. Bangkok: ILO.
---------------------------------. (2008). “Managing Cross-Border Labour Mobility in Malaysia: Two Decades of Policy Experi~ 177 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
ments”, Paper Revisi setelah PECC-ABAC Conference on
“Demographic Change and International Labour Mobility in
the Asia Pacific Region: Implications for Business and Cooperation, yang diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan pada
tanggal 25-26 Maret 2008
Kassim, Azizah. (1987). “The Unwelcome Guests: Indonesian
Immigrants and Malaysian Public Responses”. Southeast
Asian Studies, Vol. 25 No.2, September 1987.
Kaur, Amarjit. (2004). “Mobility, Labour Mobilisation and Border Controls: Indonesian Labour Migration to Malaysia
Since 1900”, Paper yang disajikan dalam 15th Biennial
Conference of The Asian Studies Association of Australia di
Canberra, 29 Juni-2 Juli 2004.
Lin, Mei. (2006). “A Study on Indonesian Labour Migrants in
Malaysia”. ICS Working PaperNo.2006-11. Kuala Lumpur:
Institute of China Studies, University of Malaya.
Manning, Chris, dan Haryo Aswicahyono.( 2012). “Trade and
Employment in Services: The Case of Indonesia”. ILO
Employment Sector, Employment Working Paper No. 132. Jenewa: ILO.
Moja, Jose. (2007). “Domestic Service in Global Perspectives:
Gender, Migration and EthnicNiches”. Journal of Ethnic
and Migration Studies, Vol. 33, April 2007.
Susilo, Wahyu. (2002) “Kekerasan terhadap Buruh Migran
Perempuan Indonesia”. Jurnal Perempuan No.26. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.
Wardoyo, Teguh. (2010). “Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri”. Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1,
Maret Tahun 2010.
Wickramasekara, Piyasiri. (2006)“Labor Migration in Asia Role
of Bilateral Agreements and MoU”. Presentasi ILO pada
JIPLT Workshop on International Migration and Labor Market
in Asia yang diselenggarakan di Tokyo pada tanggal 17
Februari 2006.
~ 178 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Widarso, Yuli Mumpuni. (2011). “Peran Negara dalam Melindungi WNI di Luar Negeri: Permasalahan dan Langkahlangkah Strategis”. Presentasi yang disampaikan pada
Forum Komunikasi Kehumasan BNP2TKI di Bogor pada
tanggal 19 Juli 2011.
3. Sumber Tesis
Azmy, Ana Sabhana. (2011). Negara dan Buruh Migran Perempuan:
Kebijakan Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia
Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010
(Studi Terhadap Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia di Malaysia). UI-Tesis, Jakarta:Universitas Indonesia.
Sitorus, Junita. (2007). Kewajiban Negara dalam Menghormati, Melindungi, dan Memenuhi Hak Asasi Manusia Tenaga Kerja Indonesia. UI-Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia.
Utama, Aria Chandra. (2003). Kebijakan Pemerintah Malaysia terhadap Indonesia mengenai TKI Ilegal di Malaysia (1997-2002.,
UI-Tesis. Jakarta:Universitas Indonesia.
4. Artikel Lepas
Devadason, Evelyn S., Chan Wai Meng, “A Critical Appraisal
of Policies and Laws Regulating Migrant Workers in
Malaysia” diakses dari http://www.wbiconpro.com/210DEVADASON.pdf pada tanggal 21 Oktober 2012, Pukul
11.23 WIB.
Piper, Nicola. “Migrant Labor in South East Asia, Country
Study: Malaysia”, diakses dari http://www.fes.de/aktuell/focus_interkulturelles/focus_1/documents/6_000.pdf
pada tanggal 9 Oktober 2012, Pukul 21.16 WIB.
4. Sumber Dokumen Hukum dan Dokumen Pemerintah
Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI) diakses dari http://pusdati-
~ 179 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
naker.balitfo.depnakertrans.go.id/ diakses pada tanggal
22 September 2012 Pukul 22.10.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor Keputusan 152/Men/VI/2011 tentang
Biaya Penempatan dan Perlindungan Calon Tenaga Kerja
Indonesia Negara Tujuan Malaysia.
Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur, Malaysia.
(2012). Laporan Tahunan Fungsi Ketenagakerjaan Tahun
2011. 2012. Kuala Lumpur: Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur.
Memorandum of Understanding between The Government of
the Republic of Indonesia and The Government of Malaysia on the Recruitment and Placement of Indonesian
Domestic Workers, ditandatangani di Bali, 13 Mei 2006.
Peraturan Menakertrans RI No.18/MEN/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Peraturan Menakertrans RI No.07/MEN/IV/2008 tentang Penempatan Tenaga Kerja.
Peraturan Menakertrans RI No.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri..
Peraturan Presiden RI No. 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Protocol Amending The Memorandum of Understanding between The Government of the Republic of Indonesia and
The Government of Malaysia on the Recruitment and
Placement of Indonesian Domestic Workers, ditandatangani di Bandung, 30 Mei 2011.
Surat Edaran Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, Nomor
B.677/PPTK-TKLN/VI/2009, Perihal Penghentian Sementara Penempatan TKI ke Malaysia tertanggal 26 Juni 2009,
ditandatangani oleh Direktur PTKLN (Penempatan Tena~ 180 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
ga Kerja Luar Negeri), Dirjen Binapenta, Kemenakertrans
RI, Abdul Malik Harahap.
Surat Edaran Dirjen Binapenta Kemenakertrans RI, Nomor SE05/PPTK-TKLN/XI/2011 tentang Penempatan TKI untuk
Pekerja Sektor Domestik ke Malaysia, Tanggal 28 November 2011 ditandatangani oleh Dirjen Binapenta, Kemenakertrans RI, Dra. Reyna Usman, M.M.
Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Undang-undang No. 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of All
Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi
Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya).
5. Sumber Pemberitaan Internet
“Malaysia Janji Hukum Penyiksa TKI, SBY Didesak Kirim Nota
Protes”, Senin 29 Juni 2009, Pukul 08.41 WIB, http://www.
migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewart
icle&cid=8&artid=598 diakses pada tanggal 4 Mei 2012,
Pukul 12.31 WIB.
“Menyikapi Kepongahan Negeri Tetangga”, Rabu, 1 Juli 2009
Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.ph
p?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=599 diakses pada tanggal 4 Mei 2012, Pukul 12.44 WIB.
“RI-Malaysia Bertemu”, Senin 6 Juli 2009 Pukul 04.10 WIB, http://
lipsus.kompas.com/dulmatin/read/2009/07/06/09300760/
Bahas.TKI..RI.Malaysia.Bertemu diakses pada tanggal 5
Mei 2012, Pukul 10.12 WIB.
“Malaysia Siap Bahas Empat Isu”, Rabu 15 Juli 2009, Pukul 02.21
WIB, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/
ekonomi/09/07/15/62198-malaysia-siap-bahas-empat-isusoal-prt diakses pada tanggal 13 Mei 2012, Pukul 15.14
WIB.
~ 181 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
“Struktur Biaya TKI dinilai Tak Realistis”, Selasa, 28 Juli 2009,
Pukul 00.00 WIB http://www.migrantcare.net/mod.php
?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=612 diakses pada tanggal 13 Mei 2012, Pukul 15.16 WIB.
“Moratorium TKI Informal Berlanjut”, Senin 3 Agustus 2009,
Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.ph
p?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=618 diakses pada tanggal 15 Mei 2012, Pukul 12.18 WIB.
“RI Tolak Cabut Moratorium TKI Malaysia”, Kamis 6 Agustus
2009, Pukul 07.15 WIB, http://www.equator-news.com/
utama/ri-tolak-cabut-moratorium-tki diakses pada tanggal 2 Juni 2012, Pukul 15.32 WIB.
“Biaya Penempatan TKI akan Persulit Negosiasi”, Rabu, 12
Agustus 2009, Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.
net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&a
rtid=633 diakses pada tanggal 13 Juni 2012, Pukul 02.16
WIB.
“Soal TKI di Malaysia, Kesepakatan Dirumuskan September”,
Rabu, 26 Agustus 2009, Pukul 00.00 WIB, diakses dari
http://koran.tempo.co/konten/2009/08/27/174929/SOALTKI-DI-MALAYSIA-Kesepakatan-Dirumuskan-September diakses pada tanggal 11 Mei 2012, Pukul 12.42 WIB.
“Malaysia Terima Usul Indonesia, Hak Libur Sehari Menunggu
Putusan Parlemen”, Senin 24 Agustus 2009, Pukul 03.12
WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publis
her&op=viewarticle&cid=8&artid=641 diakses pada tanggal 11 Juli 2012, Pukul 12.11WIB.
“Malaysia tidak Setuju Upah Minimum TKI 800 Ringgit”, Senin
7 September 2009, Pukul 04.25 WIB, diakses dari http://
www.suarakarya-online.com/news.html?id=235117 diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.16 WIB.
“Standar Upah Minimum TKI Disepakati”, Senin 7 September
2009, Pukul 16.28 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.
php?mod=publisher$op=viewarticle&cid=8&artid=674
~ 182 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.23 WIB.
“Revisi MoU TKI Segera Diteken, Moratorium ke Malaysia
Masih Berlaku”, Senin 5 Oktober 2009, Pukul 00.49 WIB,
http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&
op=viewarticle&cid=8&artid=685 diakses pada tanggal 2
Agustus 2012, Pukul 15.43 WIB.
“Larangan Pengiriman TKI ke Malaysia akan Dicabut”, Kamis
12 November 2009, Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle
&cid=8&artid=740 diakses pada tanggal 2 Agustus 2012,
Pukul 15.48 WIB.
“MoU Tenaga Kerja Akhirnya Tuntas: Baru Sebatas Kebutuhan
Minimal Perlindungan TKI”, Jumat, 12 Maret 2010, Pukul 00.00 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?m
od=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=848 diakses
pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 15.53 WIB.
“Gaji TKI di Malaysia Tak Lagi dalam Uang Cash”, Rabu 23
Maret 2010, Pukul 03.10 WIB, http://www.migrantcare.
net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&
artid=1030 diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul
16.14 WIB.
“Malaysia Setujui Persyaratan Perlindungan”, Selasa 22 Maret
2011, Pukul 03.51 WIB, http://internasional.kompas.com/
read/2011/03/22/03512475/Malaysia.Setujui.Persyaratan.
Perlindungan diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 16.47 WIB.
“Masalah TKI, Pemerintah Buat Moratorium dengan Tiga Negara”, Senin 25 April 2011, Pukul 15.01 WIB, http://www.
tempo.co/read/news/2011/04/25/173329902/Masalah-TKIPemerintah-Buat--Moratorium-dengan-Tiga-Negara diakses pada tanggal 2 Agustus 2012, Pukul 17.32 WIB.
“Muhaimin: Penandatanganan MoU TKI Penting bagi Indonesia-Malaysia”, Selasa 31 Mei 2011, Pukul 09.26 WIB,
http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/4625~ 183 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
muhaimin-penandatanganan-mou-tki-penting-bagi-indonesia-malaysia.html diakses pada tanggal 2 Agustus
2012, Pukul 17.33 WIB.
“Malam ini, MoU TKI di Malaysia Diteken di Bandung”, Senin
30 Mei 2011, Pukul 14.51 WIB, http://m.pikiran-rakyat.
com/node/146901 diakses pada tanggal 7 Agustus 2012,
Pukul 16.32 WIB.
“RI-Malaysia Bentuk Satgas Awasei Perlindungan TKI”, Selasa
31 Mei 2011, Pukul 07.10 WIB, http://www.tempo.co/read/
news/2011/05/31/173337792/RI-Malaysia-Bentuk-SatgasAwasi-Perlindungan-TKI diakses pada tanggal 7 Agustus
2012, Pukul 12.31 WIB.
“Malaysia Kekurangan Pembantu Rumah Tangga”, Kamis 8
September 2011 Pukul 18.18, http://www.waspada.co.id/
index.php?option=com_content&view=article&id=2148
99:malaysia-kekurangan-pembantu-rumah-tangga&cat
id=16:internasional&Itemid=29 diakses pada tanggal 15
Maret 2013 Pukul 18.35 WIB.
“SBY dan PM Malaysia Bahas TKI Indonesia”, Jumat 21 Oktober 2011 Pukul 02.44 WIB, http://pelanggan.if-kom.com/
lira/kabinet-indonesia/berita-kabinet/presiden/3846-sbydan-pm-malaysia-bahas-tki-indonesia.html diakses pada
tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.50 WIB.
“Malaysia Bersorak, 50 Ribu PRT Asal Indonesia Akan Datang
Mulai Pertengahan Januari”, Jumat 25 November 201 Pukul 08.34, http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/11/25/lv70dv-malaysia-bersorak-50-ribu-prtasal-indonesia-akan-datang-mulai-pertengahan-januari
diakses pada tanggal 15 Maret 2013 Pukul 18.55WIB.
“Malaysia Bekukan Tenaga Kerja Asing”, Jumat 10 Juni 2011,
Pukul 01.23 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php
?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=126
diakses pada tanggal 7 Agustus 2012, Pukul 13.26 WIB.
“Malaysia Merealisasikan Program Pemulangan TKI Ilegal”,
~ 184 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Selasa 2 Agustus 2011, Pukul 07.14 WIB, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle
&cid=8&artid=1421 diakses pada tanggal 7 Agustus 2012,
Pukul 16.32 WIB.
“MoU TKI dengan Malaysia Ditentukan 19 November” Jumat
21 Oktober 2011, Pukul 15.47 WIB, http://www.tempo.
co/read/news/2011/10/21/173362635/MoU-TKI-denganMalaysia-Ditentukan-19-November diakses pada tanggal
7 Agustus 2012, Pukul 16.57 WIB.
“MoU Indonesia-Malaysia Belum Cukup Lindungi TKI”, Jumat
18 November 2011, Pukul 00.00 WIB, http://www.tempo.
co/read/news/2011/11/18/173367218/MoU-Indonesia-Malaysia-Belum-Cukup-Lindungi-TKI diakses pada tanggal
9 Agustus 2012, Pukul 16.57 WIB.
“Moratorium dicabut, TKI ke Malaysia mulai Maret”, Kamis 1
Desember 2011, Pukul 17.48 WIB, http://www.antaranews.
com/berita/1322736525/moratorium-dicabut-tki-ke-malaysia-mulai-maret diakses pada tanggal 9 Agustus 2012,
Pukul 17.31 WIB.
“Moratorium TKI ke Malaysia Resmi Dicabut”, Kamis 1 Desember 2011, Pukul 18.46 WIB, http://news.okezone.com/
read/2011/12/01/337/536858/redirect diakses pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 17.31 WIB.
“RI Cabut Moratorium TKI ke Malaysia”, Sabtu, 26 November
2011, Pukul 007.00 WIB, http://nasional.news.viva.co.id/
news/read/267443-ri-cabut-moratorium-tki-ke-malaysia
diakses pada tanggal 9 Agustus 2012, Pukul 17.22 WIB.
6. Sumber Wawancara
Wawancara dengan Rusdi Basalamah, Ketua APJATI (Asosiasi
Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia), Hari Kamis, 1
November 2012, Pukul 14.32 WIB. Gedung APJATI, Jalan
Warung Buncit Raya No.126 Pancoran, Jaksel, 12740
~ 185 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Wawancara dengan Teguh Hendro Cahyono, Direktur Direktorat Mediasi dan Advokasi, Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI, Hari Selasa, 20 November 2012, Pukul
13.05 WIB, Kantor Direktorat Mediasi dan Advokasi
Deputi Bidang Perlindungan, BNP2TKI Jalan Letjen M.T.
Haryono Kav.52, Jakarta Selatan.
Wawancara dengan Wahyu Susilo, Analis Kebijakan Migrant
Care, Hari Jumat, 30 November 2012, Pukul 11.12 WIB,
Sekretariat Migrant Care, Jalan Pulo Asem Utara I No.16,
Pulogadung, Jakarta Timur, 13220.
Wawancara dengan Rafail Walangitan, Kasubdit I Perlindungan
WNI di Wilayah Malaysia, Benua Amerika, Suriah, Yordania dan Timur Tengah, Direktorat Perlindungan Warga
Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Kemenlu RI pada Hari Kamis, 14 Januari 2013, Pukul 16.13
WIB di Gedung Utama Lantai Dasar, Dir. PWNI dan BHI,
Kemenlu RI Jalan Taman Pejambon No.6, Jakarta 10110.
Wawancara dengan Rendra Setiawan, Kepala Seksi Kerjasama
Regional dan Multilateral, Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja, Kemenakertrans RI, Hari Selasa, 25 Maret 2013, Pukul 14.13 WIB, Ruang Direktorat
PTKLN, Dirjen Binapenta, Kemenakertrans RI, Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 51 Jakarta 12950.
~ 186 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DOKUMEN PEMERINTAH TERKAIT PEMBERLAKUAN
DAN PENCABUTAN KEBIJAKAN MORATORIUM
PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN SEKTOR
DOMESTIK KE MALAYSIA
&
NASKAH NOTA KESEPAHAMAN ANTARA
PEMERINTAH INDONESIA DAN PEMERINTAH
MALAYSIA TERKAIT REKRUTMEN, PENEMPATAN
DAN PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN
INDONESIA SEKTOR DOMESTIK DI MALAYSIA
BESERTA PROTOKOL AMANDEMENNYA
~ 187 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 188 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 189 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 190 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 191 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 192 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 193 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 194 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 195 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 196 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 197 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 198 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 199 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 200 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 201 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 202 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 203 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 204 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 205 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 206 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 207 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 208 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 209 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 210 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 211 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 212 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 213 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 214 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 215 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 216 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
~ 217 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
~ 218 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
TENTANG PENULIS
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah, lahir di Bandung
pada 24 Desember 1989. Menempuh pendidikan di SMAN 3
Bandung, kemudian melanjutkan pendidikan tinggi jenjang
Sarjana pada Departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas Indonesia dengan konsentrasi pada Politik Perbandingan dan
Studi Politik Indonesia.
Buku ini merupakan karya publikasi perdananya yang
diangkat dari skripsi sarjana berjudul: “Politik Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono: Studi Kasus Kebijakan Moratorium Penempatan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Malaysia Tahun 2009-2011.”.
Selama masa kuliah aktif menjadi moderator, fasilitator
dan pembawa acara di pelbagai seminar, lokakarya ataupun
orientasi mahasiswa baru di tingkat departemen, fakultas dan
universitas. Sempat menjadi delegasi Indonesia pada festival
folklor dan musik klasik di Slovenia, Austria dan Spanyol,
dan menjadi delegasi Universitas Indonesia pada festival pemuda di Norwegia dan India. Saat ini sedang menyiapkan
paper berjudul “Foreign Language Proficiency as an Intercultural
Competences Enhancer for Migrant Workers: The Study from Indonesia and the Philippines” untuk dipresentasikan pada “3rd
Annual Conference of Intercultural Competence: Key to the
~ 219 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
New Multicultural Societies of the Globalized World” di Siena, Italia pada Oktober 2013 bersama peneliti dari Universitas Padjadjaran.
Tertarik pada kajian migrasi transnasional, politik identitas, politik perburuhan, teori negara pasca-kolonial, dan
pemikiran politik kontemporer. Penulis dapat dihubungi
pada alamat surat elektronik [email protected] ataupun akun twitter @Qobulsyah.
~ 220 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
INDEKS
A
Abdurrahman Wahid: Gus Dur
Akta Imigresen Nomor 63 Tahun
1959
Akta Imigresen Nomor A-1154
Tahun 2002
aktor non-pemerintah
amnesti
amnesti berakhir
Anis Hidayah
Antar Kerja Antar Daerah: AKAD
Antar Kerja Antar Negara:
AKAN
APJATI
Arab Saudi
Arus Migrasi
ASEAN
Asia Pasifik
Asia Tenggara
Asian Development Bank
asumsi penelitian
asuransi
Australia
B
B.J. Habibie
Belanda
birokrasi pemerintahan
BNP2TKI
buruh migran perempuan
C
CARAM Asia
calo: taekong
Ceriyati
Cina
Cosmas Batubara
cost structure
D
Da’i Bachtiar
Datuk Musa Hitam
Datuk S. Subramaniam
deportasi
devisa
diplomasi
E
ekspansi industri
eksploitasi
Employment Act 1955
Erman Suparno
Eropa
F
fase penempatan
fase pra-penempatan
fase purna penempatan
Filipina
formasi kepentingan
~ 221 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
G
Gunanto Surjono
H
Hans J. Morgenthau
hari libur
Hongkong
hukum perburuhan
hukuman mati
I
ILO
Impunitas
industri
industri di Malaysia
industrialisasi
Inggris
interdependensi ketenagakerjaan
J
James Anderson
jaminan perlindungan
Jepang
Joint Task Force
Joint Working Group
Journey Performed Visa
Jumhur Hidayat
K
Kamboja
kapabilitas negara
kategori buruh
kebijakan amnesti
Kebijakan Ekonomi Baru
kebijakan luar negeri
kebijakan moratoriumkecakapan
kedekatan geografis
kelangkaan ekonomi
Kemenakertrans RI
Kemenlu RI
Kementerian Sosial
kenaikan gaji
Kenichi Ohmae
kepentingan nasional
kerentanan
kerjasama bilateral
ketenagakerjaan
keuntungan ekonomi
Komisi HAM PBB
Komnas Perempuan
kontrak kerja
Konvensi Internasional PBB tahun 1990
KOPBUMI
Korea Selatan
Kuwait,
L
lembaga swadaya masyarakat
lembur
libur sehari
lingkungan internasional
living cost
M
majikan
Malaysia
Medan Agreement
Megawati Soekarnoputeri
mekanisasi pertanian
mekanisme penempatan
Melayu
Memorandum of Understanding
Migrant Care
migrasi global
migrasi
model pelayanan sosial
MoU
Muhaimin Iskandar
N
Najib Razak
~ 222 ~
Politik Perlindungan Buruh Migran Indonesia
negara kaya
negara miskin
negara pengirim pekerja migran
negara tujuan penempatan
Nirmala Bonat
Nota Kesepahaman
Nunukan
O
Official actors: aktor resmi; aktor
pemerintah.
Ops Nyah
Orde Baru
organisasi internasional
P
PAPA
pasar kerja Malaysia
paspor
pelanggaran hukum
pelatihan kerja
pelecehan seksual
pemalsuan usia
pembahasan Joint Working
Group
Pemerintah Indonesia
Pemerintah Malaysia
pemerkosaan
pemutusan kontrak
penata laksana rumah tangga
pendekatan kualitatif
pendidikan
pengangguran
penganiayaan
perdagangan manusia: human
traficking
perkebunan
permasalahan
pertanian
pesangon
PJTKI
politik luar negeri
politik migrasi
PPTKIS
proses pembuatan kebijakan
proses perlindungan pekerja migran Indonesia
protokol amandemen
PT. Bijak
Q
Qatar
R
R. Munz
Rafail Walangitan
razia
RELA
relasi ketenagakerjaan
remitansi
Rendra Setiawan
Repelita
revolusi hijau
Rusdi Basalamah
S
sektor domestik
sektor jasa. lihat jasa
sektor konstruksi
sektor manufaktur
Singapura
Siti Hajar
Soeharto
Solidaritas Perempuan
Sri Lanka
struktur biaya penempatan
Sudomo
Suriah
Susilo Bambang Yudhoyono
T
Taiwan
~ 223 ~
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
Teguh Hendro Cahyono
Teguh Wardoyo
Tenaga Kerja Indonesia: TKI
Thailand
The Malaysian Employment Act
1955
Thomas Birkland
tindak kekerasan
TKI laki-laki
TKI perempuan
TKI sektor domestik
TKI tidak berdokumen
TKI-PLRT
transfer perbankan
transformasi sosial
travel warning
Tun Abdul Razak
U
Undang-Undang No.39 Tahun
2004
Uni Emirat Arab
Unofficial actors: aktor tidak resmi;
aktor non-pemerintah
upah
upah minimum
W
Wahyu Susilo
Widyarka Ryananta
Y
Yordania
~ 224 ~
Download