BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Wilayah pesisir pada umumnya mempunyai kekayaan sumberdaya laut dan keanekaragaman hayati yang tercermin pada keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang dan berjenis-jenis ikan. Pada kondisi tersebut, ternyata masyarakat pesisir belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat disekitarnya yaitu masyarakat pesisir. Banyak konflik yang terjadi di tengahtengah masyarakat nelayan. Selama ini, perairan pulau‐pulau kecil yang memiliki potensi perikanan yang tinggi ini cenderung menjadi tempat praktek penangkapan yang tidak ramah lingkungan, seperti pengeboman, pembiusan dan penggunaan racun, baik oleh nelayan asing maupun oleh nelayan lokal. Akibatnya, pengelolaan pesisir pulau‐ pulau kecil cenderung eksploitatif, tidak efisien dan tidak‐sustainable. Banyak faktor‐faktor yang menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya pesisir pulau‐pulau kecil ini, antara lain ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan. Eksploitasi perikanan di perairan Kalsel dilakukan oleh nelayan dalam daerah maupun antar daerah (nelayan dari Sulsel, Sulbar, Jatim, Jateng, Kalteng dan Kaltim). Perikanan tangkap di Kalsel merupakan kegiatan usaha perikanan yang mempunyai nilai ekonomis penting. Eksploitasi sumber daya ikan oleh armada perikanan tangkap laut di Kalsel dilakukan di perairan Selat Makasar, Laut Jawa, Selat Laut dan Selat Sebuku, Teluk Pamanukan, Tanjung Tatan, Pulau Sambar Gelap, Sekapung, dan sekitar pesisir Pagatan. Wilayah tersebut merupakan basis migrasi musiman nelayan. Jika musim ikan tiba, penduduk pendatang yang melakukan migrasi musiman di Desa Kerayaan Kotabaru bahkan melebihi jumlah penduduk setempat, sedangkan di Desa Swarangan ditemukan lebih kurang 200 orang dan di Desa Muara Asam-asam mencapai 1000 orang yang tidak terdata sebagai penduduk setempat. Nelayan andon yang dominan berasal dari suku Bugis dan sebagian berasal dari Jawa, Bali dan Kaltim. Sesuatu hal yang pasti adalah adanya interaksi antar dua kelompok yang berbeda dalam kehidupan bersama. Imbas dari interaksi antar nelayan tersebut tidak sedikit mengakibatkan konflik di antara nelayan. Konflik sosial masyarakat pesisir di Kalsel merupakan suatu kenyataan yang sepertinya tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Cukup banyak fakta kekerasan fisik akibat dari konflik yang telah terjadi. Kejadian-kejadian dimasa lalu yang mempunyai kaitan atau berkontribusi terhadap terjadinya konflik nelayan. Konflik dapat terwujud dalam bentuk ketidaksukaan, ketidaksepakatan, ketidaksetujuan, perseteruan, persaingan, permusuhan, kontak fisik dan bahkan perang terbuka. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tipologi konflik yang terjadi 2. Apa teknik resolusi konflik yang digunakan 3. Bagaimana proses resolusi konflik dilakukan 4. Apakah kesepakatan yang dihasilkan sudah menyentuh akar masalah BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Konflik sosial dapat dipahami melalui teori konflik yang merupakan salah satu teori dalam paradigma fakta. Ritzer (1992) menjelaskan bahwa ide pokok dalam teori konflik pada intinya dapat terbagi menjadi tiga pikiran besar : Pertama, bahwa masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus menerus diantara unsur-unsurnya. Kedua, setiap elemen akan memberikan sumbangan pada disintegrasi sosial, Ketiga, keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Sedangkan teori struktural yang ditentang oleh teori konflik mengandung pula tiga pemikiran utama : Pertama, bahwa masyarakat berada pada kondisi statis, atau tepatnya berada pada kondisi keseimbangan. Kedua, setiap elemen atau institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas. Ketiga, anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum. Sumber daya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihakpihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam sering berbenturan sehingga menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumber daya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Sifat pemanfaatan sumber daya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumber daya, khususnya antar kelompok nelayan (Christy 1987). Nikijuluw (2002) menyebutkan dalam pemanfaatan sumber daya milik bersama dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya, yaitu: (1) Hak akses, adalah hak untuk masuk ke dalam sumber daya yang memiliki batas-batas fisik yang jelas; (2) Hak memanfaatkan, adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya dengan cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku; (3) Hak mengatur, adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumber daya serta meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan serta perbaikan lingkungan; (4) Hak ekslusif, adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain; dan (5) Hak mengalihkan, adalah hak untuk menjual dan menyewakan ke empat hak tadi kepada orang lain. Priscoli (2002) menyatakan bahwa konflik sumber daya alam dapat disebabkan oleh miskinnya komunikasi, adanya perbedaan persepsi, pertarungan ego, perbedaan personalitas, perbedaan pandangan tentang baik dan buruk (konflik nilai), perbedaan kepentingan dan faktor struktural. Konflik perikanan tangkap sangat bervariasi antar wilayah dan antar waktu. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik adalah aktor, ketersediaan sumber daya dan lingkungan. Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumber daya ikan yang sudah tergolong langka. Kelangkaan dimaksud terkait dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan (not enough fish). Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan sumber daya ikan. Potensi konflik perikanan tangkap dapat disebabkan oleh prinsip hunting di mana nelayan harus selalu memburu ikan berada, suatu persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada tempat dan waktu yang sama (Budiono 2005). DAFTAR PUSTAKA A.M. Sugeng Budiono. 2005. Pengenalan Potensi Bahaya Industrial dan Analisa Kecelakaan Kerja. (Dalam Artikel) Depnakertrans Bennet E, Neiland A. 2000. Review of Study Approach to Conflicts. Centre for Economics and Management of Aquatic Resources (CEMARE). 122 p Christy FT. 1987. Hak Penggunaan Wilayah pada Perikanan Laut: definisi dan kondisi (hlm 141-163). Dalam Ekonomi Perikanan dari Pengelolaan ke Permasalahan Praktis. Smith IR dan F Maharuddin (editor). Jilid 2. Penerbit Gramedia: Jakarta. 360 hlm. George Ritzer. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur: Alimandan. Rajawali Press: Jakarta Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT Pustaka Cidesindo. Jakarta Priscoli JD. 2002. Partisipation, Consensus Building and Conflict Management Training Course. UNESCO-IHP. P. 187