BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Abortus inkomplit adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu atau berat badan janin kurang dari 500 gram dan masih ada sisa yang tertinggal di dalam uterus (Cunningham, et al., 2014). Pada abortus inkomplit ini didapatkan kanalis servikalis yang membuka (Cunningham, et al., 2014). 2.2 Epidemiologi Kejadian Abortus berdasarkan data yang dikumpulkan di rumah sakit pada umumnya berkisar antara 15-20%. Namun angka kejadian abortus sebenarnya diperkirakan dapat lebih tinggi lagi di masyarakat. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kewajiban untuk melaporkan kejadian abortus pada pihak yang berwenang (Halim, et al., 2011). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004 diperkirakan 4,2 juta abortus terjadi setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura, antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia, antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina, antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand (Gaufber, 2015). Estimasi nasional menyatakan setiap tahun terjadi 2 juta kasus aborsi di Indonesia. Ini artinya terdapat 23 kasus aborsi per 100 kelahiran hidup (Adhi, 2014). Laporan epidemiologis menyatakan bahwa di Amerika Serikat angka kejadian abortus spontan berkisar antara 10-20% dari kehamilan (Cunningham, et al., 8 9 2014). Angka kejadian abortus inkomplit bervariasi antara 16-21% (Halim, et al., 2011). Laporan dari rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan kejadian abortus bervariasi antara 2,5-15% (Halim, et al., 2011). Data pada dinas kesehatan Sumatera Utara didapatkan angka kejadian abortus inkomplit pada tahun 2011 adalah 9,75% (Samjianto, 2012). Di RSUP Sanglah diperoleh data angka kejadian abortus inkomplit pada tahun 2015 adalah 8% (Anonim, 2015). 2.3 Etiologi Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya abortus inkomplit adalah sebagai berikut: 1. Faktor fetal Abortus pada usia kehamilan awal pada umumnya disebabkan oleh abnormalitas zigot, atau plasenta. Abnormalitas kromosom ditemukan sekitar 60-75% kasus abortus spontan. Dan angka abortus yang disebabkan kelainan kromosom akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Abnormalitas kromosom diturunkan dari gen kedua orang tuanya (Gaufber, 2015). Sekitar 95 % dari kelainan kromosom disebabkan oleh kegagalan gametogenesis. Autosomal trisomi adalah kelainan kromosom yang paling sering ditemukan pada abortus trimester awal. Adanya riwayat abortus sebelumnya akan meningkatkan risiko fetal aneuploidy dari 1 % menjadi 2 %. Monosomy X (45,X) adalah penyebab kelainan kromosom tunggal tersering. Kelainan ini akan menyebabkan sindrom Turner, dimana biasanya akan berakhir dengan abortus dan sangat jarang dapat bertahan 10 hingga trimester tiga. Triploid sering dihubungkan dengan hidropik plasental (degenerasi Mola) atau Mola Hidatidosa parsial. Janin dengan jumlah kromosom normal (Euploidy) (46 XY / XX) cenderung akan bertahan lebih lama daripada janin dengan Aneuploidy (Larsen, et al., 2013). 2. Faktor maternal Kelainan anatomi uterus Adanya kelainan anatomi uterus seperti Leiomyoma yang besar dan multipel atau adanya sinekia uterus (Ashermann Syndrome) dapat meningkatkan risiko abortus (Cunningham, et al., 2014). Malformasi kongenital yang disebabkan oleh abnormalitas fusi Ductus Müllerii dan lesi yang didapat memiliki pengaruh yang sifatnya masih kontroversial. Pembedahan pada beberapa kasus dapat menunjukkan hasil yang positif. Inkompetensia servik bertanggung jawab untuk abortus yang terjadi pada trimester II. Tindakan cervical cerclage pada beberapa kasus memperlihatkan hasil yang positif (Gaufber, 2015). Infeksi Beberapa jenis infeksi dan hubungannya dengan abortus telah diteliti secara luas, misal: Lysteria monocytogenes, Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, Toxoplasma gondii, dan Virus (Herpes simplex, Cytomegalovirus, Rubella) memiliki hubungan yang bervariasi dengan semua jenis abortus spontan (Smith, 2015). Data penelitian yang menghubungkan infeksi dengan abortus menunjukkan hasil yang beragam, 11 sehingga American College of Obstetricians and Gynecologyst menyatakan bahwa infeksi bukan penyebab utama abortus trimester awal (Cunningham, et al., 2014). Penyakit metabolik Abortus sering dihubungkan dengan adanya penyakit metabolik pada ibu seperti tuberkulosis, Diabetes Mellitus, Hipotiroidisme, dan anemia. Pada penelitian Craig tahun 2002 dilaporkan bahwa angka abortus meningkat secara signifikan pada Ibu hamil dengan Diabetes tidak terkontrol (Cunningham, et al., 2014). Pada penelitian Mills tahun 1998 melaporkan bahwa pengaturan kadar gula darah pada pasien DM dalam waktu 21 hari setelah konsepsi akan menurunkan angka kejadian abortus setara dengan wanita non DM (Tulandi & Al-Fozan, 2016). Sedangkan pada Ibu dengan Hipotiroidisme, defisiensi iodin dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya abortus (Cunningham, et al., 2014). Anemia dapat mengurangi suplai oksigen pada metabolisme ibu dan janin karena dengan kurangnya kadar hemoglobin maka berkurang pula kadar oksigen dalam darah. Hal ini dapat memberikan efek tidak langsung pada ibu dan janin antara lain kematian janin, meningkatnya kerentanan ibu pada infeksi dan meningkatkan risiko terjadinya prematuritas pada bayi (Cunningham, et al., 2014). Faktor Imunologi Sekitar 15 % Ibu dengan abortus disebabkan oleh faktor imunologi. Dua Teori utama gangguan imunologi adalah autoimunitas – kekebalan 12 yang melawan sel sendiri, dan alloimunitas – kekebalan melawan sel orang lain (Tulandi & Al-Fozan, 2016). Sindroma Antibodi Fosfolipid adalah gangguan imunologi autoimunitas yang ditandai dengan adanya antibodi dalam sirkulasi yang melawan fosfolipid membran dan setidaknya memperlihatkan satu sindroma klinik spesifik (abortus berulang, trombosis yang penyebabnya tak jelas dan kematian janin). Penegakkan diagnosa setidaknya memerlukan satu pemeriksaan serologis untuk konfirmasi diagnosis (antikoagulansia lupus, antibodi kardiolipin). Pengobatan pilihan adalah aspirin dan heparin (atau prednison dalam beberapa kasus tertentu) (Smith, 2015). Alloimunitas (perbedaan imunologi antara individu) telah diajukan sebagai faktor antara pasangan subur yang menyebabkan abortus yang tidak dapat dijelaskan dengan alasan lain. Selama kehamilan normal, sistem imunologi ibu dianggap dapat mengenali suatu antigen janin semialogenetik 50% bersifat “non-self” dan kemudian menghasilkan faktor “pemblokade” untuk melindungi janin. Kegagalan untuk memproduksi faktor “pemblokade” ini yang dipercaya berperan penting dalam proses terjadinya abortus (Tulandi & Al-Fozan, 2016). Trauma fisik Trauma yang tidak menyebabkan terhentinya kehamilan sering kali dilupakan. Yang diingat hanya kejadian tertentu yang dapat menyebabkan 13 abortus. Namun, sebagian besar abortus spontan terjadi beberapa waktu setelah kematian mudigah atau janin (Smith, 2015). 3. Faktor paternal Tidak banyak yang diketahui tentang faktor paternal (ayah) dalam terjadinya abortus spontan. yang jelas, translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus. Adenovirus atau virus herpes simpleks ditemukan pada hampir 40% sampel (Smith, 2015). 2.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Abortus inkomplit ditandai oleh perdarahan pervaginam dan nyeri perut atau kram. Pada abortus inkomplit, sebagian hasil konsepsi telah keluar dan sebagian masih tertinggal di dalam, sehingga menimbulkan perdarahan pervaginam, bahkan menyebabkan terjadinya syok pada ibu. Pada pemeriksaan fisik, jaringan dapat teraba pada vagina, serviks yang membuka, dan besar uterus yang mulai mengecil. Pada keadaan ini tes kehamilan masih positif, tetapi kehamilan tidak dapat dipertahankan (Puscheck, 2015). 2.5 Imunologi dalam Kehamilan Fetus terdiri dari antigen asing bagi ibunya, wajar bila timbul reaksi penolakan terhadap antigen asing. Dari sudut imunologi, abortus adalah reaksi tubuh ibu menolak fetus sebagai antigen asing (Larsen, et al., 2013). Fertilisasi merupakan proses fusi membran spermatozoa dan oosit. Pada proses ini antigen membran spermatozoa masuk ke dalam oosit menyatu membentuk membran zygot, hasil pembuahan itu membawa dan mengekspresikan HLA (Human Leukocyte Antigen) suami di permukaan zygot dan bersifat sebagai 14 antigen asing bagi ibunya. Antigen permukaan sel fetus yang lainnya merupakan antigen organ spesifik dan antigen embrional (oncoferal). Sistem imun wanita hamil dapat berespon terhadap antigen-antigen tersebut, misalnya dapat berespon menolak hasil kehamilan. Penelitian membuktikan bahwa sel efektor kekebalan berperan menyebabkan abortus spontan. Misalnya sel sistem imun non spesifik ibu seperti sel natural killer (NK), sel lymphpkone avtivated killer (LAK), dan makrofag dapat mengenal jaringan emrbrio primitif dan sel tumor lainnya sebagai antigen asing (Alecsandru & Velasco, 2015). Sebagian serum wanita dengan riwayat abortus, tidak mengandung faktor serum pemblok reaksi limfosit istri terhadap plasenta dan terhadap antigen leukosit suami. Wanita tersebut bila diimunisasi dengan limfosit suaminya akan merangsang pembentukan blocking antibody yang berfungsi mencegah abortus. Hasil patologi anatomi jaringan abortus spontan kehamilan trimester pertama sering menunjukkan gambaran infiltrasi limfosit ke villi dan desidua, gambaran tersebut serupa dengan reaksi penolakan graft baik karena mekanisme sel efektor spesifik maupun non spesifik. Setiap tahap kelanjutan pertumbuhan dan perkembangan fetus tergantung pada daya reaksi sel efektor ibu menolak graft (fetus) yang dianggap asing oleh sistem imun ibu (Adhi, 2014). Kelangsungan kehamilan dapat berlangsung apabila sistem imun ibu tidak mengidentifikasi dan mendeteksi fetus sebagai benda asing, tidak terjadi akumulasi sel efektor di tempat implantasi, mekanisme sel efektor ibu gagal menghancurkan fetus, terciptanya suatu lingkungan yang melindungi dan aktif menekan sel efektor kekebalan spesifik maupun non-spesifik ibu oleh sel ibu 15 sendiri maupun oleh sel fetus atau akibat interaksi keduanya, atau terjadi peningkatan kadar estrogen dan progesteron pada kehamilan yang merupakan salah satu faktor penekan sel efektor ibu dalam sistem imun spesifik dan nonspesifik (Alecsandru & Velasco, 2015). Toleransi ibu terhadap janin dapat diterangkan dengan teori reaksi alogenik yang bersifat bipolar, yaitu merusak dan reaksi penguat. Efek merusak seperi reaksi penolakan ditemui misalnya pada transplantasi. Dihasilkan zat antibodi yang bersifat sitotoksik dan merusak target antigenik. Efek penguat (enhancing effect) bekerja dengan cara memberi respons humoral yang dapat mengimbangi reaksi penolakan dan menimbulkan efek positif pada target antigenik. Reaksi fasilitasi ini pada kehamilan lebih dominan daripada reaksi merusak. Terjadinya toleransi sistem imun maternal ini memunculkan beberapa hipotesis, antara lain hipotesis mengenai ekspresi HLA-G di sel–sel trofoblas.Sel–sel sinsitiotrofoblas tersebut mengekspresikan salah satu HLA nonklasik, yaitu HLA-G. HLA-G berinteraksi dengan Killing Inhibitory Receptor (KIR) dan akan menekan aktivitas sitotoksisitas dari sel NK, sehingga memicu toleransi sistem imun maternal ((Alecsandru & Velasco, 2015)). Sitokin berkaitan dalam regulasi dari fungsi endometrium, sebab sitokin di ekspresikan dalam endometrium manusia. Sepanjang siklus menstruasi, sel endometrium dan implantasi embrio merupakan suatu proses yang komplek. Dari apa yang diketahui tentang sel T Helper dimana pada penelitian dengan model tikus didapatkan penolakan kehamilan yang dipengaruhi oleh sitokin Th1, dan sebaliknya Th2 mempertahankan kehamilan. Dimana Th2 lebih dominan dalam 16 preimplantasi endometrium dari wanita multipara dan dalam desidua awal kehamilan. Namun dalam keadaan abortus berulang atau kehamilan anembrionik terjadi peningkatan ratio Th1/Th2 dalam darah tepi (Agius, et al., 2012). Gambar 2.1 Sistem Imun dalam Kehamilan (Adhi, 2014) Sel T helper (CD4+) naïve (Th0) saat mengenali antigen yang dipresentasikan oleh APC dapat berdiferensiasi menjadi Th1 apabila mendapat sinyal berupa IL12 dan IFN-γ, sementara Th2 akan menghasilkan IL-4,IL-5,IL-6,IL-9,IL-10, dan IL-13. Meski demikian , Th1 dan Th2 juga sama-sama menghasilkan IL-3, TNF dan GM-CSF. Pada penelitian-penelitian sebelumnya ditunjukkan bahwa dominasi sitokin-sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh Th1 akan berkorelasi dengan peningkatan kejadian keguguran. Oleh karena itu, yang dianggap sebagai sitokin yang akan mempertahankan kehamilan adalah sitokin-sitokin yang 17 dihasilkan oleh Th2. Meski demikian, ternyata sitokin-sitokin tersebut tidak hanya dihasilkan oleh sel-sel imun saja, tetapi juga oleh sel-sel trofoblas (Hyde, et al., 2014). Gambar 2.2 Keseimbangan Th-1 dan Th-2 (Widiyanti, 2014) Limfosit T dalam desidua dapat memproduksi sitokin tipe 1 dan tipe 2. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sitokin tipe 1 memiliki pengaruh buruk bagi kehamilan, di dalam desidua mereka memicu keguguran dengan menghambat invasi trofoblas, TNF-α menstimulasi apoptosis dari sel trofoblas dan IFN-γ (Interferon γ) semakin meningkatkan fungsi mediasi TNF-α dalam membunuh sel trofoblas. IFN-γ di sekresi oleh sel-sel uNK yang menyebabkan sel-sel trophoblas manusia menjadi lisis akibat pengeluaran IL-2 yang merangsang sel NK di desidua. Sitokin ini juga mencegah terjadinya perkembangan berlebih dari sel-sel trofoblas in vitro dan stimulasi makrofag di desidua. Lebih jauh lagi TNF-α dan IFN-γ juga dapat mempengaruhi perkembangan janin dengan cara 18 mengaktivasi protrombinase yang akhirnya mendegenerasi trombin. Aktivasi trombin memicu pembekuan dan produksi IL-8 yang menstimulasi granulosit dan sel endotelial untuk menghentikan aliran darah plasenta. Bersama dengan sitokin atau kemokin, sel uNK juga mengeluarkan gelatin-1 dan gelatin A. gelatin-1 menghambat proliferasi dan kelangsungan hidup serta mempengaruhi lingkungan dengan penurunan TNF-α, IL-2, dan IFN-γ yang diproduksi oleh sel T yang teraktivasi (Morelli, et al., 2012). Sitokin tipe 2 secara umum menstimulasi perkembangan berlebih dan invasi trofoblas. Gambaran yang paling dapat diterima saat ini adalah baik di dalam desidua ataupun aliran darah perifer, selama kehamilan menjadi lebih predominan. Pentingnya dominasi relative sitokin tipe 2 jika dibandingkan dengan tipe 1 dapat ditekan dengan adanya kehamilan yang mengalami abortus (Raghupathy, 2013). Beberapa jenis sitokin dan hormon telah terbukti dapat dihasilkan oleh plasenta. Hormon yang cukup penting yang dihasilkan oleh plasenta adalah progesteron, dimana pada beberapa penelitian menunjukkan progesteron terbukti akan memicu produksi LIF (Leukemia Inbibitory Factor) pada endometrium, dan juga akan memodulasi sistem imun maternal sehingga keseimbangan Th1 dan Th2 akan bergerak ke arah dominasi Th2. Selain progesteron tampaknya hormon pertumbuhan juga akan memegang peranan dalam memodulasi sistem imun, meski saat ini baru terbukti pada spesies Roden. Dalam masa kehamilan plasenta akan menghasilkan placental Growth Hormone (pGH) yang memiiiki perbedaan 13 asam amino dibandingkan dengan Growth Hormone (GH) yang dihasilkan oleh hipofisis. pGH akan menggantikan GH dalam sirkulasi maternal pada 19 trimester kedua dan diperkirakan dapat pula memodulasi sistem imun maternal (Widiyanti, 2014) . 2.6 Peranan TNF-α dan IL-10 dalam Abortus Inkomplit Imunitas memainkan peran penting pada saat implantasi. Banyak penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa beberapa tingkat inflamasi sistemik dan uterus diperlukan baik untuk implantasi normal dan kehamilan. Namun, jika tingkat inflamasi menjadi terlalu berlebihan mungkin dapat menyebabkan komplikasi kehamilan seperti resorpsi janin/abortus. Regulator utama dari tingkat inflamasi yang normal pada sistem fetomaternal terlihat sebagai uterine CD16 and CD56 bright natural killer cells. Debris trofoblas, sel apoptosis dan progesteron mungkin mengatur produksi sitokin inflamasi dari sel-sel ini. Abortus embrio yang normal secara karyotipikal dapat terjadi ketika tingkat inflamasi berada di luar kisaran optimal, ini mungkin berhubungan dengan produksi yang tinggi Tumor Necrosis Factor (TNF)–α (All-Hilli, 2009). TNF-α adalah sebuah polipeptida 17 kDa dikenal juga dengan berbagai nama, yaitu cachetin, necrosin, sitotoksin makrofag atau faktor sitotoksik, diproduksi terutama oleh makrofag, Limfosit T dan Limfosit B (Hua, 2013). Fungsi utamanya ialah sebagai molekul proinflamasi, yang menyebabkan demam, anoreksia, syok, kemotaksis, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, mediator aktivitas IL-2, meningkatkan fungsi NK sel, dan aktivasi sitotoksik pada sel. Bersama-sama dengan interferron (IFN) gama, TNF-α bersifat sitotoksin bagi banyak jenis sel tumor. TNF-α terbukti juga merupakan modulator respon imun kuat yang memperantarai induksi molekul adhesi, sitokin lain dan aktivasi 20 netrofil. Disamping berfungsi meningkatkan ekspresi molekul adhesi yang memudahkan leukosit melekat pada permukaan endotel, dan merangsang sel fagosit mononuclear untuk mensekresi chemokine, serta mengaktivasi leukosit. TNF yang diproduksi dalam jangka panjang dengan konsentrasi rendah dapat mengakibatkan tissue remodeling. TNF dapat berfungsi sebagai faktor angiogenesis dan membentuk pembuluh darah baru, dan dapat berfungsi sebagai faktor pertumbuhan fibroblas yang mengakibatkan pembentukan jaringan ikat. Bila produksi TNF tetap berlanjut, jaringan-jaringan tersebut dapat merupakan jaringan limfoid baru dimana berkumpul limfosit B dan limfosit T (Kristiyan, et al., 2011). TNF-α pertama kali diidentifikasi sebagai sitokin yang disekresi oleh makrofag endotoksin teraktivasi yang menginduksi nekrosis tumor. TNF- α sekarang dikenal sebagai mediator sel pluripotent dan sitokin angiogenik yang mempromosikan produksi sitokin lainnya di berbagai sel. Endometrium manusia ditandai oleh berbagai jenis sel, termasuk fibroblas, sel-sel imunitas, sel-sel pembuluh darah dan sel-sel epitel, yang semuanya mengekpresikan TNF- α. Studi menunjukkan peran lokal TNF α dalam berbagai fungsi endometrium normal. Peningkatan ekspresi sitokin ini terbukti menyebabkan efek patofisiologi tercermin keterlibatannya dalam kegagalan implantasi, abortus dan endometriosis (All-Hilli, 2009). Pada manusia, TNF-α diketahui menghambat proliferasi trofoblas, yang dipercaya secara klinis cukup penting dalam proses implantasi. 21 Gambar 2.3 Peran TNF-α dalam Proses Imflantasi (Adhi, 2014) Pada gambar diatas digambarkan bahwa TNF-α dihasilkan oleh sel endometrium, dan tingginya kadar TNF-α akan menyebabkan terganggunya proses implantasi trofoblas ke endometrium. Dan kenaikan ekspresi TNF-α disebabkan oleh rendahnya kadar HLA-G sebagai blocking factor yang melindungi fetus dari sistem imun maternal (Adhi, 2014). Kadar TNF-α pada wanita yang mengalami abortus tidak meningkat pada wanita dengan kelainan bentuk uterus dan fetus dengan kariotip normal. Hal ini menunjukkan peningkatan konsentrasi dari sitokin ini terjadi pada abortus yang berhubungan dengan abnormalitas kariotip. Fetus dengan kelainan kariotip mempunyai kecenderungan untuk memacu sekresi TNF-α yang lebih banyak daripada kehamilan normal. TNF-α memiliki sifat “sitotoksik” terhadap sel 22 trofoblas sehingga akan berakibat kematian sel trofoblas. Selain itu TNF-α juga akan menekan produksi HLA-G oleh trofoblas sehingga toleransi maternal-fetal akan terganggu dan mengakibatkan NK sel dapat membunuh sel trofoblas (Vitoratos et al., 2011). Gambar 2.4 Respon Imun Maternal pada Abortus (Adhi, 2014) Pada gambar 2.4 dapat digambarkan bahwa Antigen dari trofoblas akan dikenali oleh Antigen Precenting Cell (APC), dan aktivasi APC akan menginduksi deferensiasi Sel T menjadi TH1 dan TH2. Tingginya kadar TNF-α (Th1) akan menstimulasi respon sitotoksik terhadap trofoblas, sehingga akan menyerang sel trofoblas, dan berakibat ke penolakan sel trofoblas dan abortus akan terjadi. (Adhi, 2014). Mekanisme lain TNF-α dapat berpartisipasi dalam proses abortus adalah bersama-sama dengan sitokin lain seperti interferon gamma (INF-γ). Mereka 23 memulai apoptosis dari korpus luteum yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan kehamilan melalui produksi progesteron yang diperlukan untuk pembentukan lingkungan rahim yang cocok selama awal kehamilan. Penurunan fungsi luteal (insufisiensi luteal) dapat menyebabkan tingginya insiden abortus spontan (All-Hilli, 2009). Menjadi sitokin Th1 tipe proinflamasi, TNF-α dapat mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2, sehingga berimplikasi dalam pembentukan kehamilan yang sukses. TNF-α, tipe sitokin Th1 terutama dihasilkan oleh mononuklear fagosit, sel natural killer (NK), dan antigen yang merangsang T-sel. TNF-α mempromosikan kematian sel apoptosis di jaringan membran janin dan mengaktifkan koagulasi dengan meningkatkan regulasi protrombin baru. TNF-α adalah dikenal sebagai sitokin abortif, menyebabkan cedera sel membran pada lapisan endometrium dan perubahan aliran darah arteri spiral desidua sehingga menyebabkan abortus spontan (Kristyan, et al., 2011). Wanita dengan riwayat abortus memiliki tingkat yang lebih tinggi sitokin tipe Th1 seperti IL-2, TNF-α, dan IFN γ dibandingkan dengan wanita dengan kehamilan normal. yang normal. Kondisi sitokin ini di sirkulasi perifer mencerminkan serum sitokin di dalam rahim (Kristyan, et al., 2011). Clark melaporkan bahwa TNF-α bersama-sama dengan interferon γ menyebabkan proses trombotik dan inflamasi pada pembuluh darah uteroplasenta ibu mengakibatkan abortus pada tikus. TNF-α yang menyebabkan abortus dapat dicegah dengan pemberian injeksi antikuagulan antagonis spesifik TNF-α. TNF-α pada tikus hamil menyebabkan plasenta nekrosis dan resorpsi janin dan 24 meningkatkan apoptosis pada sitotrofoblas sehingga menyebabkan kematian sel (Kristyan, et al., 2011). Interleukin 10 (IL-10) disebut juga human cytokine synthesis inhibitory factor (CSIF) adalah tipe khusus dari sitokin pada manusia yang memainkan peran imunologi ganda, baik stimulasi dan counterregulatory atau imunosupresif. Peran ini tidak termasuk dari kelas Th1 dan Th2. Namun, IL-10 pada awalnya digambarkan sebagai sitokin Th2 karena tindakan anti-inflamasi pada hewan pengerat (Moreli, et al., 2012). Sitokin, hormon dan molekul lainnya mungkin memainkan peran penting dalam mengarahkan reaktivitas imun terhadap imunitas tipe 2 (Th2) dan kemudian mempertahankan kehamilan. IL-10 merupakan salah satu sitokin penting yang bertanggung jawab dalam peran imunitas tipe 2, Ketika IL 10 diproduksi, IL-10 dapat mengganggu presentasi antigen, menurunkan produksi sitokin yang diproduksi oleh sel Th1, dan menghambat respon NK. Yang cukup menarik, sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas telah terbukti secara istimewa menghasilkan IL-10. IL-10 yang diproduksi di plasenta mungkin memainkan peran penting dalam menghambat sitokin inflamasi yang merugikan. Hormon yang terkait dengan kehamilan juga mungkin memainkan peran, seperti progesteron telah terbukti mendukung perkembangan sel-sel T manusia yang memproduksi sitokin tipe 2. Piccinini dan rekan-rekan mengatakan progesteron mungkin bertanggung jawab dalam membalikkan keadaan imunitas Th1 menjadi Th2 pada sistem fetomaternal (Raghupathy, 2013). 25 Keseimbangan respon imun maternal mengendalikan mekanisme inflamasi tergantung pada IL-10. Peran peraturan IL-10 (sitokin pleomorfik) pada aktivitas imunostimulan dan aktivitas imunosupresif mungkin terkait dengan regulasi dari aktivitas Th1-Th2 dan dapat mengurangi Th1 (IL-2 dan IFN-γ). Dalam kehamilan normal, sekresi IL-10 memberikan lingkungan pemeliharaan yang minimal proinflamasi, mendukung lingkungan mikro dengan imunitas yang lebih terregulasi. dimana berlawanan dengan kehadiran janin. IL-10 mempengaruhi aktivitas trofoblas plasenta, memiliki efek penekanan pada sel KC, pada produksi autokrin TNF-α dan regulasi pelindungan imunitas janin (Feliciano, et al., 2014). IL-10 adalah sitokin kunci pada awal kehamilan karena terlibat dalam berbagai peristiwa penting, yang meliputi pembentukan plasenta. IL-10 memiliki efek perlindungan pada unit janin-plasenta karena menghambat sekresi sitokin inflamasi, seperti IL-6, TNF-α, dan IFN-γ; bersama-sama dengan IL-4 dan IL-13, IL-10 tampaknya memodulasi invasi trofoblas. Menurut Thaxton dan Sharma, IL10 menginduksi sel trofoblas untuk menghasilkan vascular endothelial growth factor C (VEGF C) dan sistem aquaporin (AQP1), yang merangsang angiogenesis plasenta (Moreli, et al.,, 2012). IL10 dilaporkan memberikan efek anti-inflamasi terutama oleh menghambat sinyal sintesis makrofag berupa TNFa, IL1, IL6, dan oksida nitrat dengan menggunakan mekanisme transkripsi dan posttranscriptional melibatkan induksi suppressor of cytokine signaling 3 sekunder dari aktivasi STAT3. Efek penghambatan langsung dari IL10 pada sintesis IFN-γ sel NK akan ditambah secara tidak langsung melalui supresi makrofag yang menghasilkan IL12 dan 26 TNFa. Dengan demikian, tampak jelas bahwa efek perlindungan dari IL10 pada tempat implantasi akan diberikan melalui efek penghambatan pada kedua makrofag dan sel NK (Robertson, et al., 2011). 2.7 Pencegahan Abortus Pencegahan pada kasus abortus sesuai dengan penyebab atau faktor risiko pada ibu hamil tersebut. Penyebab dari abortus dapat diidentifikasi sebesar 5060% (Jeve dan Davies, 2014). Pada kasus abnormalitas kromosom atau defek pada uterus, dapat dilakukan prenatal genetic testing. Jika penyebabnya adalah infeksi, maka terapi sesuai dengan penyebab infeksi dapat diberikan, seperti antibiotik. Untuk masalah endokrin, diperlukan terapi untuk menyeimbangkan status hormal dengan terapi hormonal (Gaufberg, 2015). Dukungan psikologis sangat berperan untuk kesuksesan dari wanita hamil. Stres psikologis menyebabkan peningkatan hormon calcitonin dalam otak yang akan merangsang peningkatan reaksi inflamasi dan prostaglandin pada uterus. Hal ini berimplikasi pada meningkatnya kejadian abortus.. Obesitas, merokok, penggunaan alkohol, dan penggunaan kafein mungkin terkait dengan abortus. Merokok memiliki efek buruk pada fungsi trofoblas dan terkait dengan peningkatan risiko abortus. Modifikasi gaya hidup dan pengurangan stres harus diterapkan dengan gaya hidup yang lebih sehat, bebas dari rokok, alkohol, obatobatan terlarang, dan stres. Hal ini dapat secara signifikan meningkatkan peluang kesuksesan kehamilan (Jeve dan Davies, 2014). Progesteron bertindak sebagai immmunomodulator dan mengalihkan respon sitokin proinflamasi Th-1 ke respon sitokin anti-inflamasi Th-2 yang lebih 27 menguntungkan dan melindungi kehamilan. Dihidrogesteron adalah imunomodulator potensial, dimana menghasilkan Progesterone-Induced Blocking Factors (PIBF) yang merupakan protein yang dihasilkan oleh limfosit setelah terpapar progesteron. PIBF menghambat sitotoksisitas yang dimediasi sel dan aktivitas sel NK. Dengan demikian, progesteron adalah imunoprotektif untuk kehamilan. Pada pasien dengan tiga atau lebih keguguran berturut-turut, administrasi progestogen empiris mungkin memiliki beberapa manfaat potensial. Regimen yang paling sering digunakan adalah tablet micronized progesterone 400 mg setiap hari. Rute pemberian dapat berupa vagina atau oral. Argumen untuk penggunaan progesteron adalah bahwa tidak ada bukti bahaya dan terdapat beberapa bukti manfaat, meskipun tidak berasal dari uji multisentrik besar. Keputusan harus didasarkan pada kebijaksanaan dokter sampai bukti kuat tersedia untuk merekomendasikan penggunaan rutin (Saccone, et al., 2017). Bukti Aspirin 75 mg masih bisa diperdebatkan. Ada kekurangan bukti untuk membuat rekomendasi tentang aspirin dalam mengobati keguguran berulang pada wanita tanpa sindrom antiphospholipid. Beberapa RCT menyatakan manfaat yang jelas dari menggunakan aspirin untuk wanita seperti itu. Percobaan terbaru gagal mendukung peran Aspirin dalam keguguran berulang yang tidak dapat dijelaskan. Peran Aspirin adalah membantu dalam meningkatkan perfusi uterus. Aspirin berguna pada pasien yang mengalami kegagalan implantasi yang tidak terdiagnosis. Namun, dengan tidak adanya bukti kuat, penggunaan Aspirin secara rutin tidak dianjurkan (Jeve dan Davies, 2014). 28 Karena semakin banyak bukti yang menunjukkan ketidakseimbangan sel Thelper dalam hubungan dengan abortus, sejumlah penelitian telah dicoba menggunakan pendekatan imunologi untuk mencegah abortus pada awal kehamilan. Sebuah ulasan Cochrane mengenai 20 uji coba terkontrol secara acak dari immunotherapies (transfusi leukosit paternal dan imunoglobulin intravena) untuk pencegahan abortus menyimpulkan bahwa tidak ada manfaat dalam meningkatkan kelahiran hidup atau pengurangan dalam risiko abortus dibandingkan plasebo. Kortikosteroid juga digunakan sebagai pengobatan untuk RM, dan diketahui dapat menggunakan efek imunosupresif Sel T dan sel NK. Namun, ada kekurangan data dari RCT untuk membantu dalam penentuan keamanan dan keefektifan terapi. Dan banyak penggunaan kortikosteroid pada kehamilan, tetapi tidak ada data dosis dan respons untuk menginformasikan pilihan optimal agen, lama pengobatan, atau dosis (Kemp, et al., 2016) Tempfer, et al. melakukan penelitian case control pada tahun 2006 untuk membandingkan luaran kehamilan antara wanita dengan abortus berulang idiopatik menerima atau tidak terapi kombinasi prednisone (20 mg/hari) dan progesteron (20 mg/hari) untuk 12 minggu awal kehamilan, diikuti dengan aspirin (100 mg/hari) dan asam folat (5 mg setiap 2 hari). Peneliti melaporkan peningkatan yang signifikan dalam tingkat kelahiran hidup pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kontrol tanpa perawatan (77% berbanding 35%; P: 0,04) (Kemp, et al., 2016). Penelitian terbaru, Gomaa dan rekannya melaporkan temuan studi terhadap 160 wanita dengan abortus berulang idiopatik dengan menggunakan heparin dosis rendah (subkutan, 10 000 IU/hari) dan aspirin (81 29 mg/hari), dengan atau tanpa prednisolon 5 mg/hari (Gomaa, et al., 2014). Kombinasi terapi dengan prednisolon secara signifikan meningkatkan kesuksesan kehamilan (70,3% berbanding 9,2%; RR 7,63, 95% CI (3,71–15,7)), didefinisikan sebagai kehamilan yang berlangsung sampai diatas usia kehamilan 20 minggu, walaupun mereka tidak mengikutinya sampai aterm.