LAPORAN KASUS DERMATITIS ATOPIK Pembimbing: dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid Disusun oleh: Esy Fatrisia Yonesi 030.13.069 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT RSK DR. SITANALA TANGERANG PERIODE 15 JULI – 16 AGUSTUS 2019 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING PERSETUJUAN LAPORAN KASUS Judul: “DERMATITIS ATOPIK” Disusun oleh: Esy Fatrisia Yonesi (030.13.069) Telah diterima dan disetujui oleh dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid untuk dipresentasikan Tangerang, Agustus 2019 Mengetahui, dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid i KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Dermatitis Atopik”. Penulisan laporan kasus ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit di RSK dr. Sitanala Tangerang periode 15 Juli – 16 Agustus 2019. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid sebagai dokter pembimbing, dokter dan staf-staf di poliklinik kulit RSK dr. Sitanala, rekan-rekan sesama koasisten ilmu penyakit kulit dan semua pihak yang turut serta berperan memberikan doa, semangat dan membantu kelancaran dalam proses penyusunan makalah kasus ini. Saya menyadari bahwa makalah kasus ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Pada kesempatan ini, saya memohon maaf kepada para pembaca. Masukan, kritik, dan saran akan saya jadikan bahan pertimbangan agar makalah kasus ini kedepannya menjadi lebih baik. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih. Tangerang, Agustus 2019 Esy Fatrisia Yonesi ii DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PERSETUJUAN ...............................................................................i KATA PENGANTAR ........................................................................................ii DAFTAR ISI .......................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1 BAB II LAPORAN KASUS ..............................................................................3 BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................7 BAB IV KESIMPULAN ....................................................................................17 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 18 iii BAB I PENDAHULUAN Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya.1 Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Pada 70 % kasus dermatitis atopik umumnya dimulai saat anak-anak dibawah 5 tahun dan 10% saat remaja atau dewasa.2 Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa. Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak < 5 tahun sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir.3 Pada penderita DA 30 % akan berkembang menjadi asma, dan 35% berkembang menjadi rhinitis alergi. Berdasarkan International Study of Ashma, and Alergies in Children prevalensi gejala dermatitis atopik pada anak usia enam atau tujuh tahun sejak periode tahun pertama bervariasi yakni kurang dari dua persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen di Australia, Inggris dan Skandinavia. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di Amerika. Di Inggris, pada survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita DA dari usia satu sampai lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang, 2 persen kasus berat.2 Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan pertama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak. Di klinik Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari 2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi.4 Sedangkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo 1 didapatkan jumlah pasien DA mengalami peningkatan sebesar 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien (11.05%) sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%).5 Prevalensi pada anak laki-laki sekitar 20 %, 12 persen pada tahun-tahun sebelum studi, dan 19% anak perempuan (11% pada tahun sebelum tahun 2000).6 2 BAB II LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : An. AG Tanggal lahir : 30 November 2017 Usia : 18 bulan Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat : Teluknaga, Tangerang II. ANAMNESIA Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di poli kusta RSK dr. Sitanala tanggal 17 Juli 2019 Keluhan Utama Pasien laki-laki berusia 18 bulan dibawa Ibu pasien datang ke poli klinik RSK dr. Sitanala dengan keluhan gatal pada kedua kaki sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan Tambahan Keluhan disertai bercak dan bentol kecil kemerahan di tempat yang gatal. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien laki-laki berusia 18 bulan dibawa Ibu pasien datang ke poli klinik RSK dr. Sitanala dengan keluhan gatal pada kedua kaki sejak 6 bulan yang lalu. Menurut inu pasien, pasien sering menggaruk-garuk kakinya pada malam hari. Keluhan disertai bercak dan bentol kecil kemerahan ditempat gatal, terlihat jelas pada kedua kaki. Pasien baru pertama kali berobat. Riwayat Penyakit Dahulu Menurut ibu pasien, keluhan yang sama sudah pernah dialami oleh pasien saat pasien berusia 10 bulan yaitu timbul bercak dan bentol kecil kemerahan dipipi dan dibawa ke puskesmas, namun ibu pasien lupa nama obat yang diberikan dipuskesmas. Keluhan berkurang dan smebuh. Kemudian 6 bulan yang lalu keluhan yang sama muncul lagi dan belum ada perubahan. 3 Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada yang mengalami keluhan serupa pada keluarga pasien. Riwayat Rhinitis alergi, konjungtivitis alergi, Dermatitis atopi disangkal. Riwayat Alergi Riwayat Rhinitis alergi, konjungtivitis alergi, Dermatitis atopi disangkal Ibu pasien. III. PEMERIKSAAN FISIK a. Status Generalis Keadaan Umum : Sakit ringan Kesadaran : Compos mentis Tanda Vital - Tekanan Darah :- - Nadi : 110x/menit - Suhu : 36,5 C - Pernafasan : 24x/menit - Berat Badan : 10 kg Kepala : Rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, skuama (-), krusta (-) Leher : Tidak didapati pembesaran KGB Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan b. Status Dermatologikus Regio : Cruris dextra dan sinistra Efloresensi primer : Plak eritema , papul Efloresensi sekunder : Krusta dan Skuama Distribusi : Diskret Bentuk : Tidak teratur Batas : Sirkumskrip - difus 4 Ukuran : Numular - plakat Efloresensi : Regio cruris dextra dan sinistra terdapat plak eritema-papul, multiple, berukuran nummular-plakat, diskret, disertai krusta berwarna kehitaman dan skuama. IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG - Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. - Pemeriksaan Usulan : Uji kulit alergen atau uji IgE spesifik untuk mencari faktor atopi. V. RESUME Pasien laki-laki berusia 18 bulan dibawa Ibu pasien datang ke poli klinik RSK dr. Sitanala dengan keluhan gatal pada kedua kaki sejak 6 bulan yang lalu. Menurut inu pasien, pasien sering menggaruk-garuk kakinya pada malam hari. Keluhan disertai bercak dan bentol kecil kemerahan ditempat gatal, terlihat jelas pada kedua kaki. Pasien baru pertama kali berobat. Pada pemeriksaan fisik didapati keadaan umum pasien tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis. Pada status dermatologi Regio cruris dextra dan sinistra terdapat plak eritema-papul, multiple, berukuran nummularplakat, diskret, disertai krusta berwarna kehitaman dan skuama. VI. DIAGNOSIS BANDING - Dermatitis kontak alergi - Dermatitis numularis - Tinea korporis VII. DIAGNOSIS KERJA Dermatitis Atopik VIII. PENATALAKSANAAN 5 a. Non-medika mentosa - Edukasi tentang penyakit pasien ke orangtua pasien - Menghindari alergen pemicu dan faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi klinis - Mencegah bertambah hebatnya gatal yang ditimbulkan, dengan menggunakan pakaian yang mudah menyerap keringat. b. Medikamentosa - Cetirizine 1x 2,5 mg 1 kali sehari selama 10 hari (puyer) - Methylprednisolone 2mg 1 kali sehari selama 2 minggu (puyer) - Salep hydrocortisone 1% dioleskan 2kali sehari sehabis mandi selama 2 minggu (observasi) IX. PROGNOSIS Ad vitam : ad bonam Ad fungsionam : ad bonam Ad sanationam : ad bonam 6 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit kronis residif disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada penderita atau keluarganya. Sinonim: Istilah lain adalah ekzema atopik, ekzema konstitusional, ekzema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier.7 3.2 Etiopatogenesis Penyakit ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik yang diperantarai oleh selsel yang berasal dari sumsum tulang. Kadar IgE serum serta eosinofil pada darah perifer penderita umunya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan antara DA dengan alergi saluran napas yaitu 80% pasien dengan DA mengalami asma atau rinitis alergi.7 1. Respons imun pada kulit Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah faktor imunologik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal dapat berlangsung respon imun yang melibatkan sel Langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mas. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada permukaan sel mas atau IgE yang ada di membran SL epidermis. Bila antigen ditangkap IgE sel mas (melalui reseptor FcεRI), IgE akan mengadakan cross linking dengan FcεRI, menyebabkan degranulasi sel mas dan akan keluar histamin dan faktor 7 kemotaktik lainnya. Reaksi ini disebut reaksi hipersensitif tipe cepat (immediate type hypersensitivity). Pada pemeriksaan histopatologi akan nampak sebukan sel eosinofil. Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel Langerhans (melalui reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein), kemudian diproses untuk selanjutnya dengan bekerjasama dengan MHC II akan dipresentasikan ke nodus limfa perifer (sel Tnaive) yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit, akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan sitokin IFN-γ, TNF, IL-2 dan IL-17, sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13. Meskipun infiltrasi fase akut DA didominasi oleh sel TH2 namun kemudian sel TH1 ikut berpartisipasi. Jejas yang terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgE sehingga respons ini disebut IgE mediateddelayed type hypersensitivity. Pada pemeriksaan histopatologi nampak sebukan sel netrofil. Selain dengan SL dan sel mas, IgE juga berafinitas tinggi dengan F cεRI yang terdapat pada sel basofil dan terjadi pengeluaran histamin secara spontan oleh sel basofil. Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF α dan sitokin pro inflamasi epidermis lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan kulit DA. Kadang-kadang terjadi aktivasi penyakit tanpa rangsangan dari luar sehingga timbul dugaan adanya autoimunitas pada DA. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. IFN-γ yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis. Perkembangan sel T menjadi sel TH2 dipacu oleh IL-10 dan prostaglandin (P6) E2. IL-4 dan IL-13 akan menginduksi peningkatan kadar IgE yang diproduksi oleh sel B.7 8 2. Faktor Genetik DA adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh maternal sangat besar. Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan penyakit alergi, tetapi yang paling menarik adalah peran Kromosom 5 q31 – 33 karena mengandung gen penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM – CSF (granulocyte macrophage colony stimulating factor) yang diproduksi oleh sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi gen IL-4 juga memainkan peranan penting. Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik aktifitas transkripsi gen IL-4. Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan DA tetapi tidak dengan asma bronchial ataupun rinitif alergik. Serine protease yang diproduksi sel mas kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik dan berkontribusi pada resiko genetik DA.7 3. Respon sistemik Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut : - Sintesis IgE meningkat. - IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat. - Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat. - Respons hipersensitivitas lambat terganggu - Eosinofilia - Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat - Sekresi IFN-γ oleh sel TH1 menurun - Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat. - Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan IL-13 dan PGE2.7 4. Sawar kulit Umumnya penderita DA mengalami kekeringan kulit. Hal ini diduga terjadi akibat kadar lipid epidermis yang menurun, trans epidermal water loss meningkat, skin capacitance (kemampuan stratum korneum meningkat air) menurun. Kekeringan kulit ini mengakibatkan ambang rangsang gatal menjadi relatif rendah dan menimbulkan sensasi untuk 9 menggaruk. Garukan ini menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga memudahkan mikroorganisme dan bahan iritan/alergen lain untuk melalui kulit dengan segala akibat-akibatnya.7 5. Faktor lingkungan Peran lingkungan terhadap tercetusnya DA tidak dapat dianggap remeh. Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak usia <5 tahun. Jenis makanan yang menyebabkan alergi pada bayi dan anak kecil umumnya susu dan telur, sedangkan pada dewasa sea food dan kacang-kacangan. Tungau debu rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan alergen hirup yang berkaitan erat dengan asma bronkiale pada atopi dapat menjadi faktor pencetus DA. 95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan tingkat keparahan DA. Suhu dan kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus DA, suhu udara yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara tiba-tiba dapat menjadi masalah bagi penderita DA. Hubungan psikis dan penyakit DA dapat timbal balik. Penyakit yang kronik residif dapat mengakibatkan gangguan emosi. Sebaliknya stres akan merangsang pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang menimbulkan rasa gatal. Kerusakan sawar kulit akan mengakibatkan lebih mudahnya mikroorganisme dan bahan iritan (seperti sabun, detergen, antiseptik, pemutih, pengawet) memasuki kulit.7 3.3 Gambaran Klinis Gejala utama DA ialah gatal, dapat hilang timbul sepanjang hari dan biasanya lebih hebat pada malam hari. Penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krusta. Ada 3 fase klinis DA yaitu: 1. DA infantil (2 bulan – 2 tahun) DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu pada bulan kedua. Lesi mula-mula tampak didaerah muka (dahi-pipi) berupa eritema, papul-vesikel pecah karena garukan sehingga lesi menjadi 10 eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi bisa meluas ke kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi bisa ditemukan didaerah ekstensor ekstremitas. Sebagian besar penderita sembuh setelah 2 tahun dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak. 2. DA anak (2 – 10 tahun) Dapat merupakan lanjutan bentuk DA infantil ataupun timbul sendiri (de novo). Lokasi lesi di lipatan siku/lutut, bagian fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher. Ruam berupa papul likenifikasi, sedikit skuama, erosi, hiperkeratosis dan mungkin infeksi sekunder. DA berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat mengganggu pertumbuhan. 3. DA pada remaja dan dewasa Lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku/lutut, samping leher, dahi, sekitar mata. Pada dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula berlokasi setempat misalnya pada bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu atau skalp. Kadang-kadang lesi meluas dan paling parah di daerah lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar cenderung berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit skuama. Bisa didapati ekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan akhirnya menjadi hiperpigmentasi. Pruritus adalah gejala subjektif yang paling dominan dan terutama dirasakan pada malam hari. Bagaimana mekanisme timbulnya pruritus masih belum jelas. Histamin yang keluar akibat degranulasi sel mas bukanlah satu-satunya penyebab pruritus. Disangkakan sel peradangan, ambang rasa gatal yang rendah akibat kekeringan kulit, perubahan kelembaban udara, keringat berlebihan, bahan iritan konsentrasi rendah serta stres juga terkait dengan timbulnya pruritus. Umumnya DA remaja dan dewasa berlangsung lama kemudian cenderung membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan dan sebagian kecil sampai tua. 11 Berbagai kelainan kulit dapat menyertai DA (termasuk dalam kriteria minor).7,8 3.4 Penegakan Diagnosis Berbagai kriteria diagnosis DA disusun oleh berbagai ahli ; Hanifin dan Rajka telah menyusun kriteria dan kemudian diperbaharui oleh kelompok kerja Inggris di koordinasi oleh William (1994). Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Kriteria Mayor - Pruritus - Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak - Dermatitis di fleksura pada dewasa - Dermatitis kronis atau residif - Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya Kriteria Minor - Xerosis - Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks) - Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki - Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris - Pitiriasis alba - Dermatitis di papila mame - White dermatografism dan delayed blanched response - Keilitis - Lipatan infra orbital Dennie – Morgan - Konjungtivitis berulang - Keratokonus - Katarak subkapsular anterior - Orbita menjadi gelap - Muka pucat dan eritema - Gatal bila berkeringat 12 - Intolerans perifolikular - Hipersensitif terhadap makanan - Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi - Tes alergi kulit tipe dadakan positif - Kadar IgE dalam serum meningkat - Awitan pada usia dini.7,8,9 3.5 Diagnosis Banding DA didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik, dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis dematitis herpetiformis, sindrom Sezary dan penyakit Letterer-Siwe. Pada bayi, DA dapat pula didiagnosis banding dengan sindrom Wiskott-Aldrich dan sindrom hiper IgE.7,8,9 3.6 Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan Umum Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut. - Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, - pemutih, dll) - Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi. - Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat. - Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan DA. - Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti - menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu. - Menghindarkan stres emosi. 13 - Mengobati rasa gatal. 2. Pengobatan topikal - Hidrasi kulit Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel terhadap mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah mandi. - Kortikosteroid topical Walau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi harus berhati-hati karena efek sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol. Kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu. - Imunomodulator topikal a. Takrolimus Bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2 – 15 tahun dan dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek samping kecuali rasa terbakar setempat. b. Pimekrolimus Yaitu suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari. 3. Pengobatan sistemik - Kortikosteroid Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis 14 diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen. - Antihistamin Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik, aktifitas penderita dll. Anti histamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan aktifitas disiang hari (seperti supir) . Pada kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 1075 mg/oral/2 x sehari yang mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor histamine H1 dan H2. - Anti infeksi Pemberian anti biotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni S. aureus pada kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin, asitromisin atau kaltromisin jika telah resisten dapat diberi dikloksasilin, oksasilin, atau ggenerasi pertama sefalosporin. Bila ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 10 hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari. - Kompres Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid, misalnya dengan larutan burowi atau dengan larutan permanganas kalikus 1:5000.8,9,10 3.7 Prognosis Sulit meramalkannya karena adanya peran multifaktorial. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah : - DA yang luas pada anak. - Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale. - Riwayat DA pada orang tua atau saudaranya. - Awitan (onset) DA pada usia muda. - Anak tunggal. 15 - Kadar IgE serum sangat tinggi. Diperkirakan 30 – 35% penderita DA infantil akan berkembang menjadi asma bronkiale atau hay fever. Penderita DA mempunyai resiko tinggi untuk mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan.8 3.8 Komplikasi 1. Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes). 2. Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal. 3. Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloniStaphylococcus aureus.8,9 16 BAB IV KESIMPULAN Perkembangan dermatitis atopik merupakan hasil perpaduan antara faktor genetik, lingkungan, imunologis, dan farmakologis. Karena semakin hari angka kejadian dermatitis atopik ini semakin berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi, dan industri yang menghasilkan banyak polutan dan iritan, maka langkah untuk mencegah dermatitis atopik ini sangat bermanfaat untuk mencegah kenaikan prevalensi dan diharapkan dengan mengenali lebih dalam tentang penyakit dermatitis atopik ini diharapkan pula dapat mengurangi angka kesakitan yang terjadi baik pada masa infantil, anak-anak maupun dewasa. 17 DAFTAR PUSTAKA 1. Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni Staphylococcus Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik. Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya. 2. William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24. 3. Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information; www.Childrenallergicclinic.wordpress.com. 4. Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk of atopic dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran, Volume 39, No. 4, Hal. 192-198. 5. Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51 6. Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No. 11. 460-65. 7. Sularsito, Sri Adi, dan Djuanda, Suria: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Kelima.FKUI. Jakarta, 2007 8. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi kedua. Jakarta: EGC, 2005 9. Chairiyah Tanjung: Dermatitis Atopik, di unduh dari ocw.usu.ac.id/course/...system/dms146_slide_dermatitis_atopik.pdf. pada 18-9-2012. 10. Mansjoer, Arif, dan Suprohaita: Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga.FKUI. Jakarta, 2000. 18