Uploaded by ratualkhair13

MAKALAH SLE REVISI FIX

advertisement
MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKALBEDAH
“SLE (Systemic Lupus Erythematosus )”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II
Dosen Pengampu : Rahmawati Shoufiah, S.ST,. M.Pd
Disusun oleh:
NUR LAELLY AZIZAH
P07220117065
NUR RACHMI SAUSAN P07220117066
RATU ALKHAR S.P
P072201170
PRODI D-III KEPERAWATAN KELAS BALIKPAPAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
KALIMANTAN TIMUR
TAHUN AJARAN
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan hidayah-Nya,
makalah ini dapat di selesaikan. Makalah ini sendiri di buat guna memenuhi salah
satu tugas kuliah dari dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II dengan
judul “SLE”. Di dalam penulisan makalah ini, penyusun mendapat banyak bantuan
dari pihak lain karena itu kritik serta saran dari para pembaca sangat di perlukan
demi kemajuan pada pembuatan makalah berikutnya. Semoga Allah SWT dapat
memberikan balasan yang setimpal atas bimbingan dan bantuan yang telah di
berikan kepada penulis. Akhirnya penyusun mengharapakan semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Balikpapan, 11 Juli 2019
Kelompok 15
2
DAFTAR ISI
BAB I .............................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
A.
Latar Belakang ........................................................................................................ 4
B.
Tujuan ..................................................................................................................... 5
BAB II ............................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................ 6
A.
Konsep Dasar SLE (Systemisc Lupus erythematosus) ........................................... 7
1.
Pengertian ............................................................................................................... 7
2.
Etiologi.................................................................................................................... 7
3.
Anatomi & Fisiologi Sistem Imunitas .................................................................. 10
4.
Patofisiologi .......................................................................................................... 23
5.
Manifestasi klinik.................................................................................................. 24
6.
Pathway ................................................................................................................. 27
7.
Pemeriksaan penunjang......................................................................................... 28
8.
Penatalaksanaan .................................................................................................... 30
B.
Konsep Asuhan Keperawatan ............................................................................... 33
1.
Pengkajian ............................................................................................................. 33
2.
Diagnosa Keperawatan ......................................................................................... 34
3.
Perencanaan Keperawatan .................................................................................... 35
BAB III......................................................................................................................... 42
PENUTUP.................................................................................................................... 42
A.
Kesimpulan ........................................................................................................... 42
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit
“Lupus” ini adalah “Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus
berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan
kata Erythematosus dalam bahasa yunani berarti kemerah-merahan. Pada
saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung
dan pipi itu disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit itu
diberi nama “Lupus”.
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan
kanker. Tidak sedikit pengidap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia
terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari
100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan
untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya
jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit
lupus diduga berkaitan dengan system imunologi yang berlebih. Penyakit
ini tergolong misterius, lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di
seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE ( Systemic
Lupus Erythematosus ), yaitu penyakit auto imun kronis yang menimbulkan
bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau system yang
terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai
50,8 per 100.000. di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya.
Sedangkan di RS ciptomangunkusumo Jakarta , dan 71 kasus yang ditangani
sejak awal 1991 sampai akhir 1996, 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki.
Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahunnya
ditemukan lebih dari 100.000pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki
da perempuan. 90% kasus SLE menyerang wanita muda dengan insiden
4
puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita
dan laki-laki 5:1.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit lupus
biasanya menyerang wanita produktif . Meski kulit wajah pnderita lupus
dan sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini
tidak menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian,
seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh
merasa kelelahan berkepanjangan, serta sensitive terhadap sinarmatahari.
Semua itu merupakan sebagian dari gejala penyakit lupus.
Factor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah
factor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stress, beberapa jenis
jenis obat dan virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan
keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. saat
berpergian, penderita memakai sun block atau sun screen ( pelindung kulit
dari sengatan sinar matahari ) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh
karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun sistemik dimana
pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui secara umum tentang lupus eritematosus.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengertian systemic lupus erythematosus
b. Mengetahui etiologi systemic lupus erythematosus
c. mengetahui tentang anfis system imunitas
d. Mengetahui patofisiologi systemic lupus erythematosus
e. Mengetahui manifestasi systemic lupus erythematosus
f. Mengetahui pathway systemic lupus erythematosus
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang systemic lupus erythematosus
h. Mengetahui penatalaksanaan systemic lupus erythematosus
i. Mengetahui
konsep
asuhan
erythematosus
5
keperawatan
systemic
lupus
BAB II
PEMBAHASAN
6
A. Konsep Dasar SLE (Systemisc Lupus erythematosus)
1. Pengertian
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan
multisistem autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa
kelainan imunologi dan berbagai manifestasi klinis. (Krishnamurthy,
2011).
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus
sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar,
2003).
Systemic lupus erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
pada jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa system imun menyerang
jaringan tubuh sendiri. Pada SLE ini, system imun terutama menyerang
inti sel ( Matt,2003).
2. Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada
beberapa
factor
yang
terlibat
seperti
factor
genetic,obat-
obatan,hormonal dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.
System imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi
imunologi ini dapat menghasilkan antibody secara terus menerus.
Antibody ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga
mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan
multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam
pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi
sekunder terhadap beberapa factor :
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
b. Hiperaktivitas sel T helper
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
7
Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE
a. Factor genetic
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan
genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang
dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot
berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu
yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih
tinggi
dibandingkan
pada
populasi
umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok
gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya
SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat
menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q
homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. Diketahui
peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab
genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan
melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi
penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti.
Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu
yang disebut interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T.
8
Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun
fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit
yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan
respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami
apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe
dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih
mudah mengendap di jaringan.
c. Factor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada
9
kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika
seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya
tidak ada gangguan sejak awal.
d. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko
lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan
bahwa
metabolisme
estrogen
yang
abnormal
dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
e. Factor farmakologi
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).
Jenis
obat
yang
dapat
menyebabkan
DILE
diantaranya
kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
Musai (2010)
3. Anatomi & Fisiologi Sistem Imunitas
a. System pertahanan tubuh atau system kekebalan tubuh
10
Diartikan sebagai semua mekanisme yang digunakan oleh tubuh
untuk menangkal pengaruh factor atau zat yang berasal dari
lingkungan, yang asing bagi tubuh kita.
b. Organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh
Gambar 2.1
Organ imunitas
Organ-organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh
meliputi organ-organ penghasil sel-sel pertahanan tubuh. Organorgan tersebut adalah sumsum tulang, kelenjar timus, limpa, dan
tonsil.
1) Sumsum tulang
Sumsum tulang merupakan “pabrik” pembuatan sel-sel penting
bagi tubuh. Di dalam sumsum tulang dihasilkan berbagai jenis
sel yang berperan dalam pertahanan tubuh. Sejumlah sel yang
11
dihasilkan oleh sumsum tulang berperan dalam produksi sel-sel
fagosit, sebagian berperan dalam penggumpalan darah, dan
sebagian lagi berperan dalam penguraian senyawa.
2) Kelenjar timus
Kelenjar timus terletak di atas thoraks, sebagian di atas jantung
dan paru-paru. Dalam system limfatik, kelenjar timus
merupakan organ yang penting, terutama pada bayi yang baru
lahir karena organ tersebut mengatur perkembangan limpa dan
nodus limpa. Setelah pubertas, kelenjar timus akan mengecil,
tetapi tetap merupakan organ kekebalan yang penting. Menurut
pengamatan biologis,kelenjar timus tampak seperti organ biasa
tanpa suatu fungsi khusus. Meskipun demikian, kelenjar timus
sebenarnya memiliki fungsi yang teramat penting. Di dalam
kelenjar timus, limfosit T di bentuk dan mendapat semacam
“pelatihan” yang berupa transfer informasi. Informasi ini
berguna untuk mengenali karakteristik khusus sel-sel tubuh. Di
dini, limfosit dilatih untuk mengenal identitas sel-sel dalam
tubuh dan diprogram untuk membentuk antibody melawan
mikroorganisme spesifik. Terakhir, limfosit yang bermuatan
informasi itu meninggalkan kelenjar timus. Dengan demikian,
ketika limfosit bekerja dalam tubuh, mereka tidak menyerang
sel-sel yang identitasnya telah dikenali, tetapi hanya menyerang
dan membinasakan sel-sel lain yang bersifat asing.
3) Limpa
Limpa adalah organ terbesar dalam system limfatik dan
terletak di sisi kiri bagian atas abdomen, di antara rusuk
terbawah serta lambung. Di dalam limpa terdapat pembuluh
limpa dan pembuluh darah. Fungsi utama limpa adalah
menghancurkan sel-sel darah merah yang rusak, bakteri, dan
benda-benda asing dalam darah, serta menghasilkan limfosit dan
antibody. Limfosit yang telah dibuat limpa akan mengikuti
aliran darah.
12
Limpa mengandung sejumlah besar sel makrofag ( sel
pembersih ). Makrofag menelan dan mencerna sel-sel darah
merah atau sel-sel darah lainnya yang rusak dan tua, serta bahanbahan lain, yang dibawa darah ke limpa. Di dalam limpa,
makrofag mengubah protein hemoglobin dalm sel-sel darah
merah yang ditelannya menjadi bilirubin ( pigmen empedu )
4) Tonsil
Gambar 2.2
Tonsil
Tonsil merupakan bagian dari system limfatik dan berperan
penting dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit. Tonsil ada
yang terletak di dekat dasar lidah, di bagian kiri dan kanan
pangkal tenggorok ( disebut amandel ) serta di rongga hidung (
disebut polip ). Tonsil berperan dalam pertahanan tubuh
terhadap infeksi ( sebagai penghasil limfosit ) yang dapat
tersebar dari hidung, mulut dan tenggorok. Tonsil dapat
meradang jika sedang “ bertempur “ melawan bibit penyakit.
c. Mekanisme system pertahanan tubuh
System pertahanan tubuh kita dibagi menjadi dua, yaitu system
pertahanan tubuh nonspesifik dan system pertahanan tubuh spesifik
1) Pertahanan tubuh nonspesifik
Pertahanan tubuh nonspesifik bertujuan untuk menangkal
masuknya segala macam zat atau bahan asing ke dalam tubuh,
yang dapat menimbulkan kerusakan tubuh ( penyakit ) tanpa
membedakan jenis zat atau bahan asing tersebut. Contoh zat-zat
asing itu, antara lain bakteri,virus, atau zat-zat yang berbahaya
13
bagi tubuh. Yang termasuk pertahanan tubuh nonspesifik antara
lain pertahanan fisik ( kulit dan selaput lendir ), kimiawi ( enzim
dan keasaman lambung ), mekanis ( gerakan usus dan rambut
getar selaput lendir ), fagositosis ( penelanan kuman atau zat
asing oleh sel darah putih ), serta zat komplemen yang berfungsi
pada berbagai proses pemusnahan kuman atau zat asing.
Pertahanan tubuh nonspesifik terdiri atas pertahanan
eksternal dan pertahanan internal. Pertahanan eksternal
merupakan pertahanan tubuh sebelum mikroorganisme atau zat
asing memasuki jaringan tubuh. Pertahanan internal merupakan
pertahanan tubuh yang terjadi di dalam jaringan tubuh setelah
mikroorganisme atau zat asing masuk ke dalam tubuh.
a) Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal
Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal meliputi kulit dan
lapisan mukosa berbagai organ.
(1) Kulit
Gambar 2.3
Pertahanan tubuh terhadap infeksi ketika suatu bagian
kulit terluka dan dua kapiler pecah
Fungsi kulit bagi pertahanan tubuh adalah ibarat
banteng pertahanan yang kuat dalam peperangan. Di
samping berfungsi melindungi tubuh dari panas, dingin,
dan sinar matahari, kulit juga memiliki kemampuan
untuk melindungi tubuh dari mikroorganisme yang
merugikan. Fungsi perlindungan utama kulit diwujudkan
14
lewat lapisan sel mati yang merupakan bagian terluar
kulit. Setiap sel baru yang dihasilkan oleh pembelahan sel
bergerak dari bagian dalam kulit menuju ke permukaan
luar.
Selain itu, sel-sel kulit juga mampu menghasilkan
suatu protein kuat yang disebut keratin. Senyawa keratin
mempunyai struktur yang sangat kuat dank eras sehingga
kulit didekomposisi oleh berbagai mikroorganisme
pathogen. Keratain tersebut terdapat pada sel-sel mati
yang selalu lepas dari permukaan kulit dan digantikan
oleh sel-sel berkeratin yang baru. Sel-sel baru yang
berasal dari bawah menggantikan sel=sel yang sudah
using sehingga membentuk penghalang yang tidak dapat
tembus.
Di samping memberikan perlindungan secara fisik,
kulit juga member perlindungan secara kimia. Kulit
menghasilkan keringat dan minyak yang memberikan
suasana asam pada kulit. Hal itu dapat mencegah
tumbuhnya
mikroorganisme
pathogen
pada
kulit.
Keringat menyediakan zat makanan bagi bakteri dan
jamur tertentu yang hidup sebagai mikroflora normal
pada kulit dan menghasilkan bahan-bahan sisa bersifat
asam, seperti asam laktat, yang membantu menurunkan
tingkat pH ( keasaman ) kulit. Media bersifat asam di
permukaan kulit ini menciptakan lingkungan yang tidak
bersahabat bagi mikroorganisme berbahaya.
Bagaimana jika kulit terluka ? kulit yang terluka
merupakan salah satu jalan masuknya mikroba asing ke
dalam tubuh. Meskipun demikian, kulit juga memiliki
respons untuk segera memperbaiki jaringan kulit yang
terluka secara cepat. Ketika terjadi luka, sel-sel
pertahanan tubuh akan segera bergerak ke daerah luka
15
untuk menerangi mikroba asing serta membuang sisasisa jaringan yang sudah rusak. Ke4mudian, sejumlah sel
pertahanan lainnya akan memproduksi benang-benang
fibrin, yaitu suatu protein yang berfungsi untuk menutup
kembali luka.
(2) Membran Mukosa
Semua saluran tubuh yang memiliki kontak langsung
dengan lingkungan luar, seperti saluran pernafasan,
saluran pencernaan, saluran ekresi, ataupun saluran
reproduksi selalu memiliki organ-organ yang dilapisi
oleh lapisan mukosa. Lapisan mukosa yang terdapat pada
berbagai saluran tadi memiliki fungsi penting dalam
mencegah masuknya berbagai mikroba asing yang
berbahaya.
Berikut
ini
adalah
beberapa
contoh
pertahanan yang dilakukan lapisan mukosa.
Saluran pencernaan merupakan salah satu pintu
gerbang masuknya berbagai mikroba asing ke dalam
tubuh. Mereka masuk ke dalam tubuh bersama dengan
makanan yang kita makan. Mikroba yang masuk bersama
makanan dan sampai di lambung akan mendapat
“kejutan” yang berupa asam klorida (HCI) atau asam
lambung yang di hasilkan oleh lapisan mukosa lambung.
Asam lambung menyebabkan sebagian besar mikroba
asing yang masuk ke lambung tidak dapat bertahan
hidup. Sebagian mikroba asing tersebut mungkin berhasil
selamat dari pengaruh asam lambung karena mereka
tidak terpapar langsung oleh asam lambung atau karena
mereka mempunyai daya tahan terhadap asam lambung.
Meskipun begitu, mikroba yang lolos itu akan segera
menghadapi berbagai enzim pencernaan di usus halus.
16
Lapisan mukosa yang terdapat pada saluran respirasi,
misalnya trakea, juga merupakan pertahanan tubuh yang
sangat
penting.
Lapisan
mukosa
pada
trakea
menghasilkan mucus yang berupa cairan kental yang
berguna untuk menjerat mikroba asing ataupun partikel
asing lainnya yang masuk bersama udara pernafasan. Di
samping itu, pada lapisan mukosa trakea terdapat sel-sel
epitel bersilia yang dapat bergerak untuk mengeluarkan
mukus yang sudah membawa mikroba agar tidak menuju
paru-paru.
Pada mata terdapat kelenjar penghasil air mata yang
banyak mengandung enzim lisozim. Enzim ini dapat
merusak dinding sel bakteri sehingga bakteri tidak dapat
masuk menginfeksi mata.
Di samping menyediakan pertahanan fisik dan
kimiawi, pada kulit dan lapisan mukosa juga terdapat
mikroorganisme yang secara alami menempati bagian
tertentu tubuh kita. Mikroorganisme ini di kenal
denganistilah
mikroflora
normal.
Mereka
tidak
membahayakan tubuh kita, justru secara tidak langsung
menguntungkan
karena
turut
membantu
system
pertahanan tubuh kita. Banyak mikroorganisme lain yang
tidak merugikan yang hidup dalam tubuh manusia.
Mikroorganisme tersebut memberikan dukungan
bagi system pertahanan tubuh dengan cara mencegah
mikroba asing berdiam dan berkembang biak di dalam
tubuh
karena
masuknya
mikroba
asing
tersebut
merupakan ancaman bagi mikroflora normal tubuh.
b) Pertahanan Nonspesifik Internal
17
tidak semua mikroorganisme atau mikroba asing
dapat di tahan oleh kulit ataupun lapisan mukosa sehingga
mereka dapat lolos masuk ke dalam tubuh. Selanjutnya,
mikroba asing tersebut akan bertemu dengan pertahanan
tubuh nonspesifik internal yang terdiri dari atas aksi
fagositosis, respon peradangan, sel natural killer (NK), dan
senyawa anti mikroba.
(1) Fagosistosis
Fagosistosis merupakan mekanisme penelanan benda
asing, terutama mikroba, oleh sel-sel tertentu. Khususnya
sel-sel darah putih (Ingat lagi pelajaran tentang system
sirkulasi).
Berbagai
sel
yang
dapat
melakukan
fagositosis, antara lain neotrofil,monosit, makrofag, dan
eosinofil.
(2) Respon Peradangan
Pernahkah salah satu bagian tubuh anda terluka dan
pada
bagian
yang
terluka
tersebut
terjadi
pembengkakan yang berwarna kemerahan? Itulah yang
di sebut dengan peradangan (inflamasi). Peradangan
adalah tanggapan atau respon cepat setempat terhadap
krusakan jaringan yang di sebabkan oleh teriris,
tergigih, tersengat, ataupun infeksi mikroorganisme.
Tanda-tanda
suatu
bagian
tubuh
mengalami
peradangan, antara lain berwarna kemerahan, terasa
nyeri, panas, dan membengkak. Mengapa respons
peradangan juga merupakan salah satu bentuk
pertahanan
tubuh
dan
bagaimanakah
terjadinya
peristiwa peradangan tersebut?
Adanya daerah yang terluka dan terinfeksi mikroba
akan menyebabkan pembuluh darah arteriola prakapiler
mengalami dilatasi (pelebaran serta peningkatan
permeabilitas)dan
18
pembuluh
venula
pascakapiler
menyempit. Hal itu akan meningkatkan aliran darah
pada pada daerah yanh terluka sehingga bagian tersebut
meningkat
suhunya
dan
berwarna
kemerahan.
Sementara itu, pembekakan (udema) pada bagian yang
meradangdisebabkan oleh meningkatnya cairan yang
keluar dari jaringan akibat peningkatan permeabilitas
kapiler darah. Pelebaran dan peningkatan pemeabilitas
pembuluh darah itu di picu oleh senyawa kimia
histamin. Sember utama histamine adalah sel-sel
mast(sel-sel besar pada jaringan ikat) dan basofil dalam
darah. Keduanya bersama-sama dengan keeping-keping
darah melekat pada pembuluh darah yang rusak.
Pelebaran diameter dan pemeabilitas pembuluh
darah akan meningkatkan laju aliran darah dan unsureunsur pembekuan darah ( keeping-keping darah) ke
darah yang mengalami luka atau infeksi. Pembekuan
darah tersebut berfungsi untuk melokalisir mikroba
penginfeksi agar tidak menyebar ke bagian tubuh yang
lain. Kerusakan jaringan juga mengirimkan senyawa
kimia kemokin yang berfungsi memanggil sel-sel
fagosis untuk segera dating ke daerah yang terluka
tersebut.
Pada respons peradangan, fagosist yang pertama
kali berperan adalah neutrofil dan diikuti monosit yang
berubah menjadi makrofag. Neurofil akan memangsa
mikroba
pathogen.
Neurofil
dapat
mendeteksi
kehadiran mikroba itu telah diselubungi oleh opsonin.
Opsosin adalah anti bodi lain yang di bentuk dalam
aliran darah atau protein komplemen khusus yang di
aktifkan oleh kehadiran mikroba. Begitu opsonin
melekat pada mikroba, mikroba tersebut di telan dan di
cerna
oleh
neurofil.
19
Sementara
itu,
disamping
memangsa mikroba pathogen, makrofag juga berfungsi
membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak dan sisasisa neurofil yang mati.
(3) Sel Neurofil kaller (sel pembunuh alami)
Sel natural killer(Sel NK) adalah suatu limfosit
granular yang berespons terhadap mikroba intra seluler
dengan dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan
memproduksi sitokin untuk memgaktivasi makrofag.
Sel NK menyerang sel-sel parasit dengan cara
mengeluarka senyawa penghancur yang disebut profin.
Sel NK dapat melisiskan dan membunuh sel-sel kanker
serta virus sebelum kekebalan adaptis diaktivkan.
(4) Senyawa Antimikroba
Sel-sel tertentu pada tubuh memiliki kemampuan
menghasilkan senyawa, khususnya protein yang
berfungsi sebagai pertahanan tubuh nonspesifik. Cara
kerja protein antimikroba ini terutama adalah untuk
menghancurkan sel-sel mikroba yang masuk atau atau
untuk menghambat agar mikroba asing tersebut tidak
dapat berproduksi. Protein antimikroba yang berperan
dalam pertahanan non spesifik ini adalah protein
komplemen dan interferon.
(5) Protein Komplemen
Protein komplemen merupakan agen antimikroba yang
terdiri atas sekitar 20 protein serum. Peotein
komplemen dihasilkan oleh hati dan beredar di dalam
pembuluh darah dalam keadaan tidak aktif. Adanya
infeksi mikroba akan mengaktifkan protein pertama dan
selanjutnya akan mengaktifkan protein kedua, demikian
seterusnya, melalui serangkaian reaksi yang berurutan.
Protein komplemen yang telah aktif akan bekerja secara
20
sistematis
untuk
melisiskan
berbagai
mikroba
penginfeksi.
(6) Interferon
Interferon merupakan senyawa kimia yang dihasilkan
oleh makrofag sebagai respon adanya erangan virus
yang masuk ke dalam tubuh. Interferon merupakan
senyawa antivirus yang bekerja menghancurkan virus
dengan cara menghambat perbanyakan virus dalam selsel tubuh.
Gambar 2.4
Mekanisme interferon melawan virus
2) Pertahanan tubuh spesifik
Mikroorganisme asing yang berhasil melewati pertahanan
tubuh nonspesifik akan berhadapan dengan pertahanan tubuh
yang lebih canggih, yaitu pertahanan tubuh spesifik. Pada
pertahanan tubuh spesifik, sel-sel pertahanan dapat merespon
keberadaan sel-sel asing, molekul asing, ataupun sel yang
abnormal dengan cara yang spesifik. Pertahanan tubuh spesifik
dikenal juga dengan nama system kekebalan.
Respons kekebalan ini meliputi produksi protein pertahanan
tubuh spesifik, disebut antibody, yang dilakukan oleh limfosit.
Limfosit merupakan sel utama dalam system kekebalan.
Limfosit dapat ditemukan di dalam sumsum tulang., pusat
limfatik, kelenjar ludah, limpa, tonsil, dan persendian. Limfosit
memiliki peran sangat penting untuk melawan penyakit-penyakit
21
menular yang utama, seperti aids, kanke, rabies, dan TBC.
Bahkan, pilek tidak lain adalah perang yang dikobarkan limfosit
untuk mengusir virus flu dari tubuh.
Kebanyakan mikroba asing dapat dikalahkan dengan
antibody yang dihasilkan oleh limfosit. Ada dua macam limfosit,
yaitu limfosit B dan limfosit T, keduanya mengalami
pembelahan sel yang cepat dalam menanggapi kehadiran antigen
spesifik, tetapi fungsi keduanya berbeda ( walaupun saling
bergantung )
Limfosit B dihasilkan oleh sel-sel punca ( stem cells )di
dalam sumsum tulang. Limfosit B dinamakan juga sel-sel B (
berasak dari kata Bone Marrow / sumsum tulang ) . jika
diibaratkan Negara, sel-sel B ini identik dengan “ pabrik senjata
“ di dalam tubuh. Pabrik ini memproduksi antibody yang
nantinya akan digunakan untuk menyerang musuh. Jumlah
limfosit B atau sel B adalah 25% dari jumlah total limfosit tubuh.
Setelah diproduksi di sumsum tulang, sebagian limfosit
bermigrasi ke kelenjar timus. Di dalam kelenjar timus, limfosit
tersebut akan membelah diri dan mengalami pematangan.
Karena berasal dari kelenjar timus, limfosit ini dinamakan
limfosit T ( dari timus ). Limfosit T disebut juga sel T. jumlahnya
mencapai 70% dari seluruh jumlah limfosit tubuh. Sel T
berfungsi sebagai bagian dari system pengawasan kekebalan.
Ada tiga macam sel T, bergantung pada peran mereka setelah
diaktifkan oleh antigen. Berdasarkan perannya setelah diaktifkan
oleh antigen, sel T dibedakan menjadi 3 macam, yaitu
a) Sel T sitotoksik ( cytotoxic T cell )
sel T pembunuh yang menghancurkan sel yang memiliki
antigen asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus,
sel kanker, dan sel cangkokan.
b) Sel T penolong ( helper T cell )
22
sel T yang membantu sel B mengenali dan menghasilkan
antibody untuk melawan antigen, memperkuat aktivitas sel
T sitotoksik dan sel T penekan yang sesuai, serta
mengaktifkan makrofag.
c) Sel T penekan ( suppressor T cell )
sel T yang menekan produksi antibody sel B dan aktivitas sel
T sitotoksik serta sel T penolong untuk mengakhiri reaksi
kekebalan.
( Pujiyanto, 2014 )
4. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, stress, infeksi ). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid,
isoniazid,
klorpromazin
dan
beberapa
preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangan antibodi tambahan dan
siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi
ini menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu :
a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks
imun maupun sitokin dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
23
3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di
dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya
antibody-antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun.
Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan atau organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
5. Manifestasi klinik
Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai
system tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system
yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya system imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin
berlangsunhg=langsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan
atau didahului oleh factor presipitasi seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana biasanya
disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang,
kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling
menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala
musculoskeletal berupa arthritis (93%). Yang paling sering terkena
ialah
sendi
interfalangeal
metakarpofalangeal,
siku
proksimal,
dan
peradangan
pergelangan
kaki,
tangan,
selain
pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.
Arthritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas,
konfraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul rheumatoid.
Nekrosis vaskuler dapat terjadi pada berbagai tempat, dan
ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan
steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput
femoris.
24
b. Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada
85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE
ialah lesi kulit akut, subakut, discoid dan livido retikulkaris. Ruam
kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan
diagnosis SLE ilah ruam kulit berbentuk kupu-kupu ( butterfly rash
) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi.
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar matahari dapat timbul
ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas . lesi ini termasuk
lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular .
Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,
hyperkeratosis, dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak
eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk
sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang
berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan
dan eritema periungual. Livido retikularis, suatu bentuk vaskutitis
ringan , sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang
ditemukan ialah bulla ( dapat menjadi mehoragik), ekimosis, petekie
dan purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan
terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang
perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis
dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit
mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada
palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan
kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen raynaud pada sebagian
pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit,
sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.
c. Kardiovaskuler
25
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (
efusi kerikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa ( libman
sacks)
d. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada
yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan
pleura ) biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang
adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat
ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur,
tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.
e. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku
serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa
terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa
menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang
dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan
darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali
terjadi anemia akibat penyakit menahun.
26
6. Pathway
Genetic
Lingkungan ( cahaya matahari,infeksi stress)
Hormonal
Obat-obatan
System regulasi kekebalan terganggu
Mengaktivasi sel T dan B
Fungsi sel T supresor abnormal
Peningkatan produksi auto antibodi
Penumpukan kompleks imun
Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi
Kerusakan jaringan
Integumen
Kardiovaskuler
Respirasi
Vaskuler
Darah
Lesi akut pd
kulit
Perikarditis
Penumpukan
cairan pd
pleura
Inflamasi
pd arterior
terminalis
Pembekuan
darah dalam
vena
27
Nyeri tekan, rasa
nyeri ketika bergerak
Resiko
infeksi
Pasien merasa
malu dg
kondisinyaa
Penumpukan
cairan efusi
pada
perikardium
Gangguan
citra tubuh
Penebalan
perikardium
Efusi
pleura
Lesi
popular
diujung
kaki,tumit
Stroke dan
emboli paru
Ekspansi
dada tidak
adekuat
dan siku
Jumlah
trombosit
berkurang
Nyeri akut
Kontraksi
jantung
Pola
nafas
tidak
efektif
Gangguan
integritas
kulit
Perdarahan
Penurunan
curah
jantung
Anemia
Perfusi perifer
tidak efektif
7. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan
hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam,
keletihan secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis,
pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan
anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostic
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan
adanya
anemia
hemolitik,
trombositopenia,
limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif,
level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan
serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada
28
penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria,
peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau
sel darah merah pada urin
b. Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif
: < 70 iu/mL
Positif
: > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE
aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang
tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah
sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan
yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada
penyakit SLE yang tenang.
Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody
antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang
menyerang double stranded DNA ( anti ds-DNA ) dan yang
menyerang single stranded DNA ( anti ss-DNA ). Anti ss-DNA
kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit
autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada penyakit
autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut.
Kompleks tersebut akan menginduksi system komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik local maupun sistemik
( Pagana and Pagana,2002 )
c. Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang
lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi
menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi
29
adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE
tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit
tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif
sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil test
negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena
harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang
lain, jika hasil test positif maka sebaiknya dilakukan test serologi
yang lain untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), antiRNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti –SSA (Ro) atau anti-SSB
(La) ( Pagana and Pagana,2002 )
8. Penatalaksanaan
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan
Reumatologi Indonesia (2011 : 10-11) :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat
dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat
hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara
lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari
paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi
infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat
badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan
oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan
terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan
ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011 :
10-11)
30
c. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini.
Terapi gen adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan
memberikan imunomodulator dan mediator anti-inflamasi, yang
meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi
(anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh
karena itu adanya kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak
perawatan effective, jika memungkinkan dengan efek samping yang
rendah. Dengan perkembangan yang sedang berlangsung, berikut
adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan pada penyakit
lupus erythematosus :
1) NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs (obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada
tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena
sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan
merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat
meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut
dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam
kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal
janin. (Syamsi dhuha, 2012 : 5-6)
2)
Kortikosteroid
Syamsi dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis
steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian
lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama.
Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang
umumnya
terjadi
penatalaksanaan
pada
Odapus.
osteoprotektif
Sehingga
seperti
dibutuhkan
pemeriksaan
serial
kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti
kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk
31
pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena meningkatkan
risiko kanker payudara dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik
digunakan selama kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan
harus ditunda selama enam bulan setelah penghentian bifosfonat.
Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama
dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga
mengkonsumsi
obat
imunosupresan.
Steroid
juga
dapat
memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki
efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada
meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis
tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi
pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID.
Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus
dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral
dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki
banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat
yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit.
Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan
dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik.
3)
Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih
rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis
harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut
sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual
setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama
pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine
diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka
panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar
kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi
risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada
kehamilan.
32
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
a) Nyeri
b) Gatal-gatal
2) Riwayat kesehatan dahulu
a) Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah
b) Riwayat
pemakaian
obat-obatan
hidralazin,
prokainamid,isoniazid, kontrasepsi oral dll
c) Riwayat terinfeksi virus
d) Terekspos bahan kimia
3) Riwayat kesehatan keluarga
a) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
b) Riwayat keluarga dengan infeksi berulang
4) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan:
a) nyeri sendi karena gerakan
b) kekakuan pada sendi
c) kesemutan pada tangan dan kaki
d) sakit kepala
e) Demam
f) merasa letih, lemah
g) limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup,
waktu senggang,pekerjaan
h) keputusasaan dan ketidakberdayaan
i) kesulitan untuk makan
j) nausea, vomitus
k) sesak nafas
l) nyeri dada
m) ancaman pada konsep diri, citra diri
33
c. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas dan latihan
a) Keterbatasan rentang gerak
b) Deformitas
c) Kontraktur
2) Nyeri dan kenyamanan
a) Pembengkakan sendi
b) Nyeri tekan
c) Perubahan gaya berjalan/pincang
d) Gerak otot melindungi yang sakit
3) Kardiovaskuler
a) Fenomena raynoud
b) Hipertensi
c) Edeme
d) Pericardial friction rub
e) Aritmia
f) Murmur
g) Nutrisi dan metabolic
h) Lesi pada mulut
i) Penurunan berat badan
4) Pola eliminasi
a) Peningkatan pengeluaran urin
b) Konstipasi /diare
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya
napas (kelemahan otot pernapasan)
b. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
aliran arteri atau vena
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas jantung
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(inflamasi) .
34
e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan factor mekanis
(gesekan)
f. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur
tubuh
g. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan
pertahan tubuh sekunder (imunosupresi)
3. Perencanaan Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya
napas (kelemahan otot pernapasan)
1) Tujuan : pola nafas kembali efektif
2) KH
batas
: Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam
normal,
Tidak
menggunakan
otot-otot
bantu
pernapasan, Tanda Tanda vital dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi, pernafasan) (TD 120-90/90-60 mmHg,
nadi 80-100 x/menit, RR : 18-24 x/menit, suhu 36,5 – 37,5
C)
3) Intervensi
Intervensi
rasional
Monitor kecepatan, ritme, Untuk
kedalaman,dan
mengetahui
usaha keadekuatan pernapasan
pasien saat bernafas
Monitor suara nafas klien
Mengetahui
adanya
sumbatan pada jalan nafas
Posisikan
pasien
fowler
semi Untuk
memaksimalkan
potensial ventilasi
Beritahu pasien tentang Informasi
ini
dapat
pengobatan : indikasi , membantu pasien dalam
dosis, frekuensi , dan mengonsumsi obat dengan
kemungkinan
efek aman dan benar
samping.
35
Berikan
pemberian Meningkatkan
oksigen bila perlu
ventilasi
dan asupan oksigen
b. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
aliran arteri atau vena
1) Tujuan : perfusi jaringan perifer efektif
2) KH
: Waktu pengisian kapiler < 3 detik, Tekanan sistol
dan diastol dalam rentang yang diharapkan, Tingkat
kesadaran membaik
3) Intervensi
Intervensi
rasional
Periksa sirkulasi perifer (mis. Sirkulasi perifer dapat
Nadi perifer,edema,pengisian menunjukkan
kapiler,warna,suhu)
tingkat
keparahan penyakit
Monitor laboratorium ( Hb, Milai
laboratorium
hmt )
menunjukkan
dapat
komposisi darah
Hindari
penekanan
dan Dapat
memperparah
pemasangan tourniquet pada kondisi tubuh klien
daerah yang cedera
Monitor
panas,nyeri,atau Mengetahui
kondisi
bengkak pada ekstremitas
terkini klien
Monitor perubahan kulit
Untuk
mengetahui
tingkat
keparahan
penyakit
Kolaborasi pemberian anti Meminimalkan adanya
platelet atau anti perdarahan
bekuan dalam darah
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas jantung
1) Tujuan
: curah jantung mengalami peningkatan
36
2) KH
:
Menunjukkan
curah
jantung
yang
memuaskan dibuktikan oleh efektifitas pompa jantung,
status sirkulasi, perfusi jaringan, dan status TTV, Tidak ada
edema paru, perifer, dan asites.
3) Intervensi
intervensi
Rasional
Monitor adanya dyspnea Data
,takipneu dan ortpneu
dasar
dalam
menentukan
intervensi
lebih lanjut
Monitor
tekanan Mengetahui kondisi umum
darah,nadi, dan repirasi klien
klien
Monitor bunyi jantung
Mengetahui bunyi jantung
klien
Monitor
fruekensi
dan Mengetahui
irama pernapasan
fruekensi
manifestasi
dan
irama
pernapsan
Kolaborasi
pemberian Mengejan
laksatif
memperparah
dapat
penurunan
curah jantung
Monitor adanya sianosi Untuk mengetehui tingkat
pada klien
keparahan penyakit
Monitor jumlah dan irama Untuk mengetahui apabila
jantung
ada perubahan pada irama
jantung
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(inflamasi).
1) Tujuan : Nyeri dapat berkurang
2) KH
:
Ekspresi
wajah
klien
tidak
menunjukkan
ketegangan, klien tidak gelisah,klien dapat beristirahat, klien
tidak mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi.
37
3) Intervensi
Intervensi
Lakukan
Rasional
pengkajian
komprehensif
yang
lokasi,karakteristik,onset
nyeri Untuk mengetahui
meliputi tingkat
nyeri
atau pasien
durasi,frekuensi,kualitas,intensitas
atau beratnya nyeri dan factor
pencetus.
Observasi reaksi ketidaknyamanan Untuk mengetahui
secara nonverbal
tingkat
ketidak
nyamanan
yang
diirasakan
oleh
pasien
Ajarkan cara penggunaan terapi Agar klien mampu
non
farmakologi
(
distraksi, menggunakan
relaksasi)
teknik
nonfarmakologi
dalam
memanajemen
nyeri
yang
dirasakan
Berikan informasi tentang nyeri Pemberian
HE
termasuk penyebab nyeri,berapa dapat mengurangi
lama nyeri akan hilang, antisipasi tingkat kecemasan
terhadap ketidaknyamanan dari dan
prosedur
membantu
klien
dalam
membentuk
mekanisme
koping
terhadap
rasa nyeri
Kolaborasi pemberian analgetik
Pemberian
analgetik
38
dapat
mengurangi
rasa
nyeri pasien
e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan factor mekanis
(gesekan)
1) Tujuan : Mencegah terjadinya kerusakan pada kulit dan
jaringan didalamnya
2) KH
: Tidak terdapat tekanan, tidak menunjukkan adanya
kelainan pada persendian
3) Intervensi
Intervensi
rasional
Monitor kulit akan adanya Dengan
kemerahan
memonitoring
area kulit yang merah dan
memonitor
terjadinya
kerusakan pada kulit
Monitor tanda dan gejala Dapat
infeksi pada area insisi
menentukan
intervensi
selanjutnya
sebelum terjadinya infeksi
Lakukan perawatan kulit Untuk
secara aseptic 2 kali sehari
meningkatkan
proses penyembuhan lesi
kulit
serta
mencegah
terjadinys infeksi sekunder
Berikan
pendidikan Meningkatkan
kesehatan kepada klien pengetahuan pasien dan
dan keluarganya tentang keluarganya
pentingnya
mengenai
menjaga pentingnya
kebersihan kulit sekitar kebersihan
luka guna mempercepat supaya
penyembuhan dan ajarkan kooperatif
teknik perawatannya
39
menjaga
kulit
pasien
serta
lebih
Kolaborasi
pemberian Mempercepat
NSAID dan kortikosteroid. penyembuhan
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur
tubuh
1) Tujuan
: gangguan citra tubuh klien teratasi
2) KH
: Citra tubuh positif, Mendeskripisikan secara
faktual
perubahan
fungsi
tubuh.
Mempertahankan
interaksi sosial
3) Intervensi
Intervensi
Rasional
Monitor frekuensi kalimat Untuk
yang
mengkritik
diri seberapa
sendiri
mengetahui
besar
mampu
klien
menerima
keadaan dirinya
Bantu
klien
untuk Untuk
meningkatkan
mengenali tindakan yang percaya diri klien
akan
meningkatkan
penampilannya
Anjurkan
kontak
mata Agar klien lebih percaya
dalam
berkomunikasi diri
dengan orang lain
Gunakan
gambaran Mekanisme evaluasi dari
mengenai gambaran diri
persepsi citra diri
h. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahan
tubuh sekunder (imunosupresi)
1) Tujuan
: pasien dapat terhindar dari resiko infeksi
2) KH
: integritas kulit klien normal, temperature
kulit klien normal, tidak ada lesi pada kulit
40
3) Intervensi
Intervensi
Rasional
Monitor tanda dan gejala Untuk mengetahui apabila
infeksi local dan sistemik
terjadi infeksi dan untuk
menentukan
intervensi
selanjutnya
Anjurkan
meningkatkan Membantu
asupan nutrisi
proses
penyemuhan luka/lesi pada
klien
Jelaskan tanda dan gejala Agar
infeksi
klien
mengetahui
tanda gejala infeksi
Berikan perawatan kulit Agar tidak memperparah
pada area yang terjadi lesi
Berikan
lesi
penjelasan Agar
keluarga
kepada klien dan keluarga mengetahui
tanda
pasien
dan
mengenai tanda dan gejala gejala dari infeksi
dari infeksi
Kolaborasi
pemberian Pemberian antibiotic untuk
antibiotic
mencegah
infeksi
41
timbulnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) dapat disimpulkan bahwa (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE)
merupakan penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa
kelainan imunologi dengan ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap
autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun,
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh yang belum jelas
penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan
perjalanan penyakit yang beragam. Faktor predisposisi yang berperan dalam
timbulnya penyakit SLE adalah faktor genetik, imunologi, hormonal dan
lingkungan. Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain
42
dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit
ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita.
Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan untuk memilih obat lebih
baik yang ditujukan pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan
memperbaiki hasil induksi remisi.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/37685491/LP_Systemik_Lupus_Erythematosus_SLE_
BUKU SDKI 2018
BUKU SIKI 2019
NANDA NIC NOC 2015
43
Download
Study collections