MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKALBEDAH “SLE (Systemic Lupus Erythematosus )” Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II Dosen Pengampu : Rahmawati Shoufiah, S.ST,. M.Pd Disusun oleh: NUR LAELLY AZIZAH P07220117065 NUR RACHMI SAUSAN P07220117066 RATU ALKHAR S.P P072201170 PRODI D-III KEPERAWATAN KELAS BALIKPAPAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR TAHUN AJARAN 2019 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan hidayah-Nya, makalah ini dapat di selesaikan. Makalah ini sendiri di buat guna memenuhi salah satu tugas kuliah dari dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II dengan judul “SLE”. Di dalam penulisan makalah ini, penyusun mendapat banyak bantuan dari pihak lain karena itu kritik serta saran dari para pembaca sangat di perlukan demi kemajuan pada pembuatan makalah berikutnya. Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan yang setimpal atas bimbingan dan bantuan yang telah di berikan kepada penulis. Akhirnya penyusun mengharapakan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Balikpapan, 11 Juli 2019 Kelompok 15 2 DAFTAR ISI BAB I .............................................................................................................................. 4 PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4 A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4 B. Tujuan ..................................................................................................................... 5 BAB II ............................................................................................................................ 6 PEMBAHASAN ............................................................................................................ 6 A. Konsep Dasar SLE (Systemisc Lupus erythematosus) ........................................... 7 1. Pengertian ............................................................................................................... 7 2. Etiologi.................................................................................................................... 7 3. Anatomi & Fisiologi Sistem Imunitas .................................................................. 10 4. Patofisiologi .......................................................................................................... 23 5. Manifestasi klinik.................................................................................................. 24 6. Pathway ................................................................................................................. 27 7. Pemeriksaan penunjang......................................................................................... 28 8. Penatalaksanaan .................................................................................................... 30 B. Konsep Asuhan Keperawatan ............................................................................... 33 1. Pengkajian ............................................................................................................. 33 2. Diagnosa Keperawatan ......................................................................................... 34 3. Perencanaan Keperawatan .................................................................................... 35 BAB III......................................................................................................................... 42 PENUTUP.................................................................................................................... 42 A. Kesimpulan ........................................................................................................... 42 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini adalah “Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit itu diberi nama “Lupus”. Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengidap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit lupus diduga berkaitan dengan system imunologi yang berlebih. Penyakit ini tergolong misterius, lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE ( Systemic Lupus Erythematosus ), yaitu penyakit auto imun kronis yang menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau system yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah. Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai 50,8 per 100.000. di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya. Sedangkan di RS ciptomangunkusumo Jakarta , dan 71 kasus yang ditangani sejak awal 1991 sampai akhir 1996, 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki. Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahunnya ditemukan lebih dari 100.000pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki da perempuan. 90% kasus SLE menyerang wanita muda dengan insiden 4 puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1. Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit lupus biasanya menyerang wanita produktif . Meski kulit wajah pnderita lupus dan sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh merasa kelelahan berkepanjangan, serta sensitive terhadap sinarmatahari. Semua itu merupakan sebagian dari gejala penyakit lupus. Factor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah factor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stress, beberapa jenis jenis obat dan virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. saat berpergian, penderita memakai sun block atau sun screen ( pelindung kulit dari sengatan sinar matahari ) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan. B. Tujuan 1. Tujuan umum Untuk mengetahui secara umum tentang lupus eritematosus. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui pengertian systemic lupus erythematosus b. Mengetahui etiologi systemic lupus erythematosus c. mengetahui tentang anfis system imunitas d. Mengetahui patofisiologi systemic lupus erythematosus e. Mengetahui manifestasi systemic lupus erythematosus f. Mengetahui pathway systemic lupus erythematosus g. Mengetahui pemeriksaan penunjang systemic lupus erythematosus h. Mengetahui penatalaksanaan systemic lupus erythematosus i. Mengetahui konsep asuhan erythematosus 5 keperawatan systemic lupus BAB II PEMBAHASAN 6 A. Konsep Dasar SLE (Systemisc Lupus erythematosus) 1. Pengertian Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan berbagai manifestasi klinis. (Krishnamurthy, 2011). Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). Systemic lupus erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa system imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada SLE ini, system imun terutama menyerang inti sel ( Matt,2003). 2. Etiologi Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa factor yang terlibat seperti factor genetic,obat- obatan,hormonal dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. System imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibody secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa factor : a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B b. Hiperaktivitas sel T helper c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor 7 Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE a. Factor genetic Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut interferon-alpha. b. Faktor Imunologi 1) Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. 8 Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T. 2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal. 3) Kelainan antibody Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan. c. Factor lingkungan Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari: 1) Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella. 2) Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada 9 kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. 3) Stres Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. d. Faktor Hormonal Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. e. Factor farmakologi Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid. Musai (2010) 3. Anatomi & Fisiologi Sistem Imunitas a. System pertahanan tubuh atau system kekebalan tubuh 10 Diartikan sebagai semua mekanisme yang digunakan oleh tubuh untuk menangkal pengaruh factor atau zat yang berasal dari lingkungan, yang asing bagi tubuh kita. b. Organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh Gambar 2.1 Organ imunitas Organ-organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh meliputi organ-organ penghasil sel-sel pertahanan tubuh. Organorgan tersebut adalah sumsum tulang, kelenjar timus, limpa, dan tonsil. 1) Sumsum tulang Sumsum tulang merupakan “pabrik” pembuatan sel-sel penting bagi tubuh. Di dalam sumsum tulang dihasilkan berbagai jenis sel yang berperan dalam pertahanan tubuh. Sejumlah sel yang 11 dihasilkan oleh sumsum tulang berperan dalam produksi sel-sel fagosit, sebagian berperan dalam penggumpalan darah, dan sebagian lagi berperan dalam penguraian senyawa. 2) Kelenjar timus Kelenjar timus terletak di atas thoraks, sebagian di atas jantung dan paru-paru. Dalam system limfatik, kelenjar timus merupakan organ yang penting, terutama pada bayi yang baru lahir karena organ tersebut mengatur perkembangan limpa dan nodus limpa. Setelah pubertas, kelenjar timus akan mengecil, tetapi tetap merupakan organ kekebalan yang penting. Menurut pengamatan biologis,kelenjar timus tampak seperti organ biasa tanpa suatu fungsi khusus. Meskipun demikian, kelenjar timus sebenarnya memiliki fungsi yang teramat penting. Di dalam kelenjar timus, limfosit T di bentuk dan mendapat semacam “pelatihan” yang berupa transfer informasi. Informasi ini berguna untuk mengenali karakteristik khusus sel-sel tubuh. Di dini, limfosit dilatih untuk mengenal identitas sel-sel dalam tubuh dan diprogram untuk membentuk antibody melawan mikroorganisme spesifik. Terakhir, limfosit yang bermuatan informasi itu meninggalkan kelenjar timus. Dengan demikian, ketika limfosit bekerja dalam tubuh, mereka tidak menyerang sel-sel yang identitasnya telah dikenali, tetapi hanya menyerang dan membinasakan sel-sel lain yang bersifat asing. 3) Limpa Limpa adalah organ terbesar dalam system limfatik dan terletak di sisi kiri bagian atas abdomen, di antara rusuk terbawah serta lambung. Di dalam limpa terdapat pembuluh limpa dan pembuluh darah. Fungsi utama limpa adalah menghancurkan sel-sel darah merah yang rusak, bakteri, dan benda-benda asing dalam darah, serta menghasilkan limfosit dan antibody. Limfosit yang telah dibuat limpa akan mengikuti aliran darah. 12 Limpa mengandung sejumlah besar sel makrofag ( sel pembersih ). Makrofag menelan dan mencerna sel-sel darah merah atau sel-sel darah lainnya yang rusak dan tua, serta bahanbahan lain, yang dibawa darah ke limpa. Di dalam limpa, makrofag mengubah protein hemoglobin dalm sel-sel darah merah yang ditelannya menjadi bilirubin ( pigmen empedu ) 4) Tonsil Gambar 2.2 Tonsil Tonsil merupakan bagian dari system limfatik dan berperan penting dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit. Tonsil ada yang terletak di dekat dasar lidah, di bagian kiri dan kanan pangkal tenggorok ( disebut amandel ) serta di rongga hidung ( disebut polip ). Tonsil berperan dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi ( sebagai penghasil limfosit ) yang dapat tersebar dari hidung, mulut dan tenggorok. Tonsil dapat meradang jika sedang “ bertempur “ melawan bibit penyakit. c. Mekanisme system pertahanan tubuh System pertahanan tubuh kita dibagi menjadi dua, yaitu system pertahanan tubuh nonspesifik dan system pertahanan tubuh spesifik 1) Pertahanan tubuh nonspesifik Pertahanan tubuh nonspesifik bertujuan untuk menangkal masuknya segala macam zat atau bahan asing ke dalam tubuh, yang dapat menimbulkan kerusakan tubuh ( penyakit ) tanpa membedakan jenis zat atau bahan asing tersebut. Contoh zat-zat asing itu, antara lain bakteri,virus, atau zat-zat yang berbahaya 13 bagi tubuh. Yang termasuk pertahanan tubuh nonspesifik antara lain pertahanan fisik ( kulit dan selaput lendir ), kimiawi ( enzim dan keasaman lambung ), mekanis ( gerakan usus dan rambut getar selaput lendir ), fagositosis ( penelanan kuman atau zat asing oleh sel darah putih ), serta zat komplemen yang berfungsi pada berbagai proses pemusnahan kuman atau zat asing. Pertahanan tubuh nonspesifik terdiri atas pertahanan eksternal dan pertahanan internal. Pertahanan eksternal merupakan pertahanan tubuh sebelum mikroorganisme atau zat asing memasuki jaringan tubuh. Pertahanan internal merupakan pertahanan tubuh yang terjadi di dalam jaringan tubuh setelah mikroorganisme atau zat asing masuk ke dalam tubuh. a) Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal meliputi kulit dan lapisan mukosa berbagai organ. (1) Kulit Gambar 2.3 Pertahanan tubuh terhadap infeksi ketika suatu bagian kulit terluka dan dua kapiler pecah Fungsi kulit bagi pertahanan tubuh adalah ibarat banteng pertahanan yang kuat dalam peperangan. Di samping berfungsi melindungi tubuh dari panas, dingin, dan sinar matahari, kulit juga memiliki kemampuan untuk melindungi tubuh dari mikroorganisme yang merugikan. Fungsi perlindungan utama kulit diwujudkan 14 lewat lapisan sel mati yang merupakan bagian terluar kulit. Setiap sel baru yang dihasilkan oleh pembelahan sel bergerak dari bagian dalam kulit menuju ke permukaan luar. Selain itu, sel-sel kulit juga mampu menghasilkan suatu protein kuat yang disebut keratin. Senyawa keratin mempunyai struktur yang sangat kuat dank eras sehingga kulit didekomposisi oleh berbagai mikroorganisme pathogen. Keratain tersebut terdapat pada sel-sel mati yang selalu lepas dari permukaan kulit dan digantikan oleh sel-sel berkeratin yang baru. Sel-sel baru yang berasal dari bawah menggantikan sel=sel yang sudah using sehingga membentuk penghalang yang tidak dapat tembus. Di samping memberikan perlindungan secara fisik, kulit juga member perlindungan secara kimia. Kulit menghasilkan keringat dan minyak yang memberikan suasana asam pada kulit. Hal itu dapat mencegah tumbuhnya mikroorganisme pathogen pada kulit. Keringat menyediakan zat makanan bagi bakteri dan jamur tertentu yang hidup sebagai mikroflora normal pada kulit dan menghasilkan bahan-bahan sisa bersifat asam, seperti asam laktat, yang membantu menurunkan tingkat pH ( keasaman ) kulit. Media bersifat asam di permukaan kulit ini menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat bagi mikroorganisme berbahaya. Bagaimana jika kulit terluka ? kulit yang terluka merupakan salah satu jalan masuknya mikroba asing ke dalam tubuh. Meskipun demikian, kulit juga memiliki respons untuk segera memperbaiki jaringan kulit yang terluka secara cepat. Ketika terjadi luka, sel-sel pertahanan tubuh akan segera bergerak ke daerah luka 15 untuk menerangi mikroba asing serta membuang sisasisa jaringan yang sudah rusak. Ke4mudian, sejumlah sel pertahanan lainnya akan memproduksi benang-benang fibrin, yaitu suatu protein yang berfungsi untuk menutup kembali luka. (2) Membran Mukosa Semua saluran tubuh yang memiliki kontak langsung dengan lingkungan luar, seperti saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran ekresi, ataupun saluran reproduksi selalu memiliki organ-organ yang dilapisi oleh lapisan mukosa. Lapisan mukosa yang terdapat pada berbagai saluran tadi memiliki fungsi penting dalam mencegah masuknya berbagai mikroba asing yang berbahaya. Berikut ini adalah beberapa contoh pertahanan yang dilakukan lapisan mukosa. Saluran pencernaan merupakan salah satu pintu gerbang masuknya berbagai mikroba asing ke dalam tubuh. Mereka masuk ke dalam tubuh bersama dengan makanan yang kita makan. Mikroba yang masuk bersama makanan dan sampai di lambung akan mendapat “kejutan” yang berupa asam klorida (HCI) atau asam lambung yang di hasilkan oleh lapisan mukosa lambung. Asam lambung menyebabkan sebagian besar mikroba asing yang masuk ke lambung tidak dapat bertahan hidup. Sebagian mikroba asing tersebut mungkin berhasil selamat dari pengaruh asam lambung karena mereka tidak terpapar langsung oleh asam lambung atau karena mereka mempunyai daya tahan terhadap asam lambung. Meskipun begitu, mikroba yang lolos itu akan segera menghadapi berbagai enzim pencernaan di usus halus. 16 Lapisan mukosa yang terdapat pada saluran respirasi, misalnya trakea, juga merupakan pertahanan tubuh yang sangat penting. Lapisan mukosa pada trakea menghasilkan mucus yang berupa cairan kental yang berguna untuk menjerat mikroba asing ataupun partikel asing lainnya yang masuk bersama udara pernafasan. Di samping itu, pada lapisan mukosa trakea terdapat sel-sel epitel bersilia yang dapat bergerak untuk mengeluarkan mukus yang sudah membawa mikroba agar tidak menuju paru-paru. Pada mata terdapat kelenjar penghasil air mata yang banyak mengandung enzim lisozim. Enzim ini dapat merusak dinding sel bakteri sehingga bakteri tidak dapat masuk menginfeksi mata. Di samping menyediakan pertahanan fisik dan kimiawi, pada kulit dan lapisan mukosa juga terdapat mikroorganisme yang secara alami menempati bagian tertentu tubuh kita. Mikroorganisme ini di kenal denganistilah mikroflora normal. Mereka tidak membahayakan tubuh kita, justru secara tidak langsung menguntungkan karena turut membantu system pertahanan tubuh kita. Banyak mikroorganisme lain yang tidak merugikan yang hidup dalam tubuh manusia. Mikroorganisme tersebut memberikan dukungan bagi system pertahanan tubuh dengan cara mencegah mikroba asing berdiam dan berkembang biak di dalam tubuh karena masuknya mikroba asing tersebut merupakan ancaman bagi mikroflora normal tubuh. b) Pertahanan Nonspesifik Internal 17 tidak semua mikroorganisme atau mikroba asing dapat di tahan oleh kulit ataupun lapisan mukosa sehingga mereka dapat lolos masuk ke dalam tubuh. Selanjutnya, mikroba asing tersebut akan bertemu dengan pertahanan tubuh nonspesifik internal yang terdiri dari atas aksi fagositosis, respon peradangan, sel natural killer (NK), dan senyawa anti mikroba. (1) Fagosistosis Fagosistosis merupakan mekanisme penelanan benda asing, terutama mikroba, oleh sel-sel tertentu. Khususnya sel-sel darah putih (Ingat lagi pelajaran tentang system sirkulasi). Berbagai sel yang dapat melakukan fagositosis, antara lain neotrofil,monosit, makrofag, dan eosinofil. (2) Respon Peradangan Pernahkah salah satu bagian tubuh anda terluka dan pada bagian yang terluka tersebut terjadi pembengkakan yang berwarna kemerahan? Itulah yang di sebut dengan peradangan (inflamasi). Peradangan adalah tanggapan atau respon cepat setempat terhadap krusakan jaringan yang di sebabkan oleh teriris, tergigih, tersengat, ataupun infeksi mikroorganisme. Tanda-tanda suatu bagian tubuh mengalami peradangan, antara lain berwarna kemerahan, terasa nyeri, panas, dan membengkak. Mengapa respons peradangan juga merupakan salah satu bentuk pertahanan tubuh dan bagaimanakah terjadinya peristiwa peradangan tersebut? Adanya daerah yang terluka dan terinfeksi mikroba akan menyebabkan pembuluh darah arteriola prakapiler mengalami dilatasi (pelebaran serta peningkatan permeabilitas)dan 18 pembuluh venula pascakapiler menyempit. Hal itu akan meningkatkan aliran darah pada pada daerah yanh terluka sehingga bagian tersebut meningkat suhunya dan berwarna kemerahan. Sementara itu, pembekakan (udema) pada bagian yang meradangdisebabkan oleh meningkatnya cairan yang keluar dari jaringan akibat peningkatan permeabilitas kapiler darah. Pelebaran dan peningkatan pemeabilitas pembuluh darah itu di picu oleh senyawa kimia histamin. Sember utama histamine adalah sel-sel mast(sel-sel besar pada jaringan ikat) dan basofil dalam darah. Keduanya bersama-sama dengan keeping-keping darah melekat pada pembuluh darah yang rusak. Pelebaran diameter dan pemeabilitas pembuluh darah akan meningkatkan laju aliran darah dan unsureunsur pembekuan darah ( keeping-keping darah) ke darah yang mengalami luka atau infeksi. Pembekuan darah tersebut berfungsi untuk melokalisir mikroba penginfeksi agar tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain. Kerusakan jaringan juga mengirimkan senyawa kimia kemokin yang berfungsi memanggil sel-sel fagosis untuk segera dating ke daerah yang terluka tersebut. Pada respons peradangan, fagosist yang pertama kali berperan adalah neutrofil dan diikuti monosit yang berubah menjadi makrofag. Neurofil akan memangsa mikroba pathogen. Neurofil dapat mendeteksi kehadiran mikroba itu telah diselubungi oleh opsonin. Opsosin adalah anti bodi lain yang di bentuk dalam aliran darah atau protein komplemen khusus yang di aktifkan oleh kehadiran mikroba. Begitu opsonin melekat pada mikroba, mikroba tersebut di telan dan di cerna oleh neurofil. 19 Sementara itu, disamping memangsa mikroba pathogen, makrofag juga berfungsi membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak dan sisasisa neurofil yang mati. (3) Sel Neurofil kaller (sel pembunuh alami) Sel natural killer(Sel NK) adalah suatu limfosit granular yang berespons terhadap mikroba intra seluler dengan dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk memgaktivasi makrofag. Sel NK menyerang sel-sel parasit dengan cara mengeluarka senyawa penghancur yang disebut profin. Sel NK dapat melisiskan dan membunuh sel-sel kanker serta virus sebelum kekebalan adaptis diaktivkan. (4) Senyawa Antimikroba Sel-sel tertentu pada tubuh memiliki kemampuan menghasilkan senyawa, khususnya protein yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh nonspesifik. Cara kerja protein antimikroba ini terutama adalah untuk menghancurkan sel-sel mikroba yang masuk atau atau untuk menghambat agar mikroba asing tersebut tidak dapat berproduksi. Protein antimikroba yang berperan dalam pertahanan non spesifik ini adalah protein komplemen dan interferon. (5) Protein Komplemen Protein komplemen merupakan agen antimikroba yang terdiri atas sekitar 20 protein serum. Peotein komplemen dihasilkan oleh hati dan beredar di dalam pembuluh darah dalam keadaan tidak aktif. Adanya infeksi mikroba akan mengaktifkan protein pertama dan selanjutnya akan mengaktifkan protein kedua, demikian seterusnya, melalui serangkaian reaksi yang berurutan. Protein komplemen yang telah aktif akan bekerja secara 20 sistematis untuk melisiskan berbagai mikroba penginfeksi. (6) Interferon Interferon merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh makrofag sebagai respon adanya erangan virus yang masuk ke dalam tubuh. Interferon merupakan senyawa antivirus yang bekerja menghancurkan virus dengan cara menghambat perbanyakan virus dalam selsel tubuh. Gambar 2.4 Mekanisme interferon melawan virus 2) Pertahanan tubuh spesifik Mikroorganisme asing yang berhasil melewati pertahanan tubuh nonspesifik akan berhadapan dengan pertahanan tubuh yang lebih canggih, yaitu pertahanan tubuh spesifik. Pada pertahanan tubuh spesifik, sel-sel pertahanan dapat merespon keberadaan sel-sel asing, molekul asing, ataupun sel yang abnormal dengan cara yang spesifik. Pertahanan tubuh spesifik dikenal juga dengan nama system kekebalan. Respons kekebalan ini meliputi produksi protein pertahanan tubuh spesifik, disebut antibody, yang dilakukan oleh limfosit. Limfosit merupakan sel utama dalam system kekebalan. Limfosit dapat ditemukan di dalam sumsum tulang., pusat limfatik, kelenjar ludah, limpa, tonsil, dan persendian. Limfosit memiliki peran sangat penting untuk melawan penyakit-penyakit 21 menular yang utama, seperti aids, kanke, rabies, dan TBC. Bahkan, pilek tidak lain adalah perang yang dikobarkan limfosit untuk mengusir virus flu dari tubuh. Kebanyakan mikroba asing dapat dikalahkan dengan antibody yang dihasilkan oleh limfosit. Ada dua macam limfosit, yaitu limfosit B dan limfosit T, keduanya mengalami pembelahan sel yang cepat dalam menanggapi kehadiran antigen spesifik, tetapi fungsi keduanya berbeda ( walaupun saling bergantung ) Limfosit B dihasilkan oleh sel-sel punca ( stem cells )di dalam sumsum tulang. Limfosit B dinamakan juga sel-sel B ( berasak dari kata Bone Marrow / sumsum tulang ) . jika diibaratkan Negara, sel-sel B ini identik dengan “ pabrik senjata “ di dalam tubuh. Pabrik ini memproduksi antibody yang nantinya akan digunakan untuk menyerang musuh. Jumlah limfosit B atau sel B adalah 25% dari jumlah total limfosit tubuh. Setelah diproduksi di sumsum tulang, sebagian limfosit bermigrasi ke kelenjar timus. Di dalam kelenjar timus, limfosit tersebut akan membelah diri dan mengalami pematangan. Karena berasal dari kelenjar timus, limfosit ini dinamakan limfosit T ( dari timus ). Limfosit T disebut juga sel T. jumlahnya mencapai 70% dari seluruh jumlah limfosit tubuh. Sel T berfungsi sebagai bagian dari system pengawasan kekebalan. Ada tiga macam sel T, bergantung pada peran mereka setelah diaktifkan oleh antigen. Berdasarkan perannya setelah diaktifkan oleh antigen, sel T dibedakan menjadi 3 macam, yaitu a) Sel T sitotoksik ( cytotoxic T cell ) sel T pembunuh yang menghancurkan sel yang memiliki antigen asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel cangkokan. b) Sel T penolong ( helper T cell ) 22 sel T yang membantu sel B mengenali dan menghasilkan antibody untuk melawan antigen, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan yang sesuai, serta mengaktifkan makrofag. c) Sel T penekan ( suppressor T cell ) sel T yang menekan produksi antibody sel B dan aktivitas sel T sitotoksik serta sel T penolong untuk mengakhiri reaksi kekebalan. ( Pujiyanto, 2014 ) 4. Patofisiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, stress, infeksi ). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu : a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif b. Pembentukan sitokin yang berlebihan c. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu : 1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun maupun sitokin dalam tubuh 2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis 23 3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya antibody-antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan. 5. Manifestasi klinik Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya system imun. Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsunhg=langsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh factor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil. a. Gejala Muskuloskeletal Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal berupa arthritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal metakarpofalangeal, siku proksimal, dan peradangan pergelangan kaki, tangan, selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Arthritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, konfraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul rheumatoid. Nekrosis vaskuler dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris. 24 b. Gejala integument Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, discoid dan livido retikulkaris. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit berbentuk kupu-kupu ( butterfly rash ) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas . lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular . Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hyperkeratosis, dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk sikatriks. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis, suatu bentuk vaskutitis ringan , sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla ( dapat menjadi mehoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda. c. Kardiovaskuler 25 Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat ( efusi kerikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa ( libman sacks) d. Paru Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan pleura ) biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan. e. Sistem vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis. f. Darah Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun. 26 6. Pathway Genetic Lingkungan ( cahaya matahari,infeksi stress) Hormonal Obat-obatan System regulasi kekebalan terganggu Mengaktivasi sel T dan B Fungsi sel T supresor abnormal Peningkatan produksi auto antibodi Penumpukan kompleks imun Muskuloskeletal Pembengkakan sendi Kerusakan jaringan Integumen Kardiovaskuler Respirasi Vaskuler Darah Lesi akut pd kulit Perikarditis Penumpukan cairan pd pleura Inflamasi pd arterior terminalis Pembekuan darah dalam vena 27 Nyeri tekan, rasa nyeri ketika bergerak Resiko infeksi Pasien merasa malu dg kondisinyaa Penumpukan cairan efusi pada perikardium Gangguan citra tubuh Penebalan perikardium Efusi pleura Lesi popular diujung kaki,tumit Stroke dan emboli paru Ekspansi dada tidak adekuat dan siku Jumlah trombosit berkurang Nyeri akut Kontraksi jantung Pola nafas tidak efektif Gangguan integritas kulit Perdarahan Penurunan curah jantung Anemia Perfusi perifer tidak efektif 7. Pemeriksaan penunjang Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostic a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada 28 penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin b. Anti ds DNA Batas normal : 70 – 200 iu/mL Negatif : < 70 iu/mL Positif : > 200 iu/mL Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang. Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang menyerang double stranded DNA ( anti ds-DNA ) dan yang menyerang single stranded DNA ( anti ss-DNA ). Anti ss-DNA kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi system komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik local maupun sistemik ( Pagana and Pagana,2002 ) c. Antinuklear antibodies ( ANA ) Harga normal : nol ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi 29 adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test positif maka sebaiknya dilakukan test serologi yang lain untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), antiRNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti –SSA (Ro) atau anti-SSB (La) ( Pagana and Pagana,2002 ) 8. Penatalaksanaan Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011 : 10-11) : a. Edukasi dan Konseling Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis. b. Program Rehabilitasi Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011 : 10-11) 30 c. Terapi Medikasi Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi gen adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan imunomodulator dan mediator anti-inflamasi, yang meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi (anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh karena itu adanya kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak perawatan effective, jika memungkinkan dengan efek samping yang rendah. Dengan perkembangan yang sedang berlangsung, berikut adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan pada penyakit lupus erythematosus : 1) NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs) NSAIDs (obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin. (Syamsi dhuha, 2012 : 5-6) 2) Kortikosteroid Syamsi dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi penatalaksanaan pada Odapus. osteoprotektif Sehingga seperti dibutuhkan pemeriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk 31 pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan setelah penghentian bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik. 3) Antimalaria Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan. 32 B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian b. Riwayat Kesehatan 1) Keluhan utama a) Nyeri b) Gatal-gatal 2) Riwayat kesehatan dahulu a) Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah b) Riwayat pemakaian obat-obatan hidralazin, prokainamid,isoniazid, kontrasepsi oral dll c) Riwayat terinfeksi virus d) Terekspos bahan kimia 3) Riwayat kesehatan keluarga a) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun b) Riwayat keluarga dengan infeksi berulang 4) Riwayat kesehatan sekarang Pasien mengatakan: a) nyeri sendi karena gerakan b) kekakuan pada sendi c) kesemutan pada tangan dan kaki d) sakit kepala e) Demam f) merasa letih, lemah g) limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang,pekerjaan h) keputusasaan dan ketidakberdayaan i) kesulitan untuk makan j) nausea, vomitus k) sesak nafas l) nyeri dada m) ancaman pada konsep diri, citra diri 33 c. Pemeriksaan Fisik 1) Aktivitas dan latihan a) Keterbatasan rentang gerak b) Deformitas c) Kontraktur 2) Nyeri dan kenyamanan a) Pembengkakan sendi b) Nyeri tekan c) Perubahan gaya berjalan/pincang d) Gerak otot melindungi yang sakit 3) Kardiovaskuler a) Fenomena raynoud b) Hipertensi c) Edeme d) Pericardial friction rub e) Aritmia f) Murmur g) Nutrisi dan metabolic h) Lesi pada mulut i) Penurunan berat badan 4) Pola eliminasi a) Peningkatan pengeluaran urin b) Konstipasi /diare 2. Diagnosa Keperawatan a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas (kelemahan otot pernapasan) b. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri atau vena c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas jantung d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi) . 34 e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan factor mekanis (gesekan) f. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur tubuh g. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahan tubuh sekunder (imunosupresi) 3. Perencanaan Keperawatan a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas (kelemahan otot pernapasan) 1) Tujuan : pola nafas kembali efektif 2) KH batas : Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam normal, Tidak menggunakan otot-otot bantu pernapasan, Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) (TD 120-90/90-60 mmHg, nadi 80-100 x/menit, RR : 18-24 x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C) 3) Intervensi Intervensi rasional Monitor kecepatan, ritme, Untuk kedalaman,dan mengetahui usaha keadekuatan pernapasan pasien saat bernafas Monitor suara nafas klien Mengetahui adanya sumbatan pada jalan nafas Posisikan pasien fowler semi Untuk memaksimalkan potensial ventilasi Beritahu pasien tentang Informasi ini dapat pengobatan : indikasi , membantu pasien dalam dosis, frekuensi , dan mengonsumsi obat dengan kemungkinan efek aman dan benar samping. 35 Berikan pemberian Meningkatkan oksigen bila perlu ventilasi dan asupan oksigen b. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri atau vena 1) Tujuan : perfusi jaringan perifer efektif 2) KH : Waktu pengisian kapiler < 3 detik, Tekanan sistol dan diastol dalam rentang yang diharapkan, Tingkat kesadaran membaik 3) Intervensi Intervensi rasional Periksa sirkulasi perifer (mis. Sirkulasi perifer dapat Nadi perifer,edema,pengisian menunjukkan kapiler,warna,suhu) tingkat keparahan penyakit Monitor laboratorium ( Hb, Milai laboratorium hmt ) menunjukkan dapat komposisi darah Hindari penekanan dan Dapat memperparah pemasangan tourniquet pada kondisi tubuh klien daerah yang cedera Monitor panas,nyeri,atau Mengetahui kondisi bengkak pada ekstremitas terkini klien Monitor perubahan kulit Untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit Kolaborasi pemberian anti Meminimalkan adanya platelet atau anti perdarahan bekuan dalam darah c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas jantung 1) Tujuan : curah jantung mengalami peningkatan 36 2) KH : Menunjukkan curah jantung yang memuaskan dibuktikan oleh efektifitas pompa jantung, status sirkulasi, perfusi jaringan, dan status TTV, Tidak ada edema paru, perifer, dan asites. 3) Intervensi intervensi Rasional Monitor adanya dyspnea Data ,takipneu dan ortpneu dasar dalam menentukan intervensi lebih lanjut Monitor tekanan Mengetahui kondisi umum darah,nadi, dan repirasi klien klien Monitor bunyi jantung Mengetahui bunyi jantung klien Monitor fruekensi dan Mengetahui irama pernapasan fruekensi manifestasi dan irama pernapsan Kolaborasi pemberian Mengejan laksatif memperparah dapat penurunan curah jantung Monitor adanya sianosi Untuk mengetehui tingkat pada klien keparahan penyakit Monitor jumlah dan irama Untuk mengetahui apabila jantung ada perubahan pada irama jantung d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi). 1) Tujuan : Nyeri dapat berkurang 2) KH : Ekspresi wajah klien tidak menunjukkan ketegangan, klien tidak gelisah,klien dapat beristirahat, klien tidak mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi. 37 3) Intervensi Intervensi Lakukan Rasional pengkajian komprehensif yang lokasi,karakteristik,onset nyeri Untuk mengetahui meliputi tingkat nyeri atau pasien durasi,frekuensi,kualitas,intensitas atau beratnya nyeri dan factor pencetus. Observasi reaksi ketidaknyamanan Untuk mengetahui secara nonverbal tingkat ketidak nyamanan yang diirasakan oleh pasien Ajarkan cara penggunaan terapi Agar klien mampu non farmakologi ( distraksi, menggunakan relaksasi) teknik nonfarmakologi dalam memanajemen nyeri yang dirasakan Berikan informasi tentang nyeri Pemberian HE termasuk penyebab nyeri,berapa dapat mengurangi lama nyeri akan hilang, antisipasi tingkat kecemasan terhadap ketidaknyamanan dari dan prosedur membantu klien dalam membentuk mekanisme koping terhadap rasa nyeri Kolaborasi pemberian analgetik Pemberian analgetik 38 dapat mengurangi rasa nyeri pasien e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan factor mekanis (gesekan) 1) Tujuan : Mencegah terjadinya kerusakan pada kulit dan jaringan didalamnya 2) KH : Tidak terdapat tekanan, tidak menunjukkan adanya kelainan pada persendian 3) Intervensi Intervensi rasional Monitor kulit akan adanya Dengan kemerahan memonitoring area kulit yang merah dan memonitor terjadinya kerusakan pada kulit Monitor tanda dan gejala Dapat infeksi pada area insisi menentukan intervensi selanjutnya sebelum terjadinya infeksi Lakukan perawatan kulit Untuk secara aseptic 2 kali sehari meningkatkan proses penyembuhan lesi kulit serta mencegah terjadinys infeksi sekunder Berikan pendidikan Meningkatkan kesehatan kepada klien pengetahuan pasien dan dan keluarganya tentang keluarganya pentingnya mengenai menjaga pentingnya kebersihan kulit sekitar kebersihan luka guna mempercepat supaya penyembuhan dan ajarkan kooperatif teknik perawatannya 39 menjaga kulit pasien serta lebih Kolaborasi pemberian Mempercepat NSAID dan kortikosteroid. penyembuhan g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur tubuh 1) Tujuan : gangguan citra tubuh klien teratasi 2) KH : Citra tubuh positif, Mendeskripisikan secara faktual perubahan fungsi tubuh. Mempertahankan interaksi sosial 3) Intervensi Intervensi Rasional Monitor frekuensi kalimat Untuk yang mengkritik diri seberapa sendiri mengetahui besar mampu klien menerima keadaan dirinya Bantu klien untuk Untuk meningkatkan mengenali tindakan yang percaya diri klien akan meningkatkan penampilannya Anjurkan kontak mata Agar klien lebih percaya dalam berkomunikasi diri dengan orang lain Gunakan gambaran Mekanisme evaluasi dari mengenai gambaran diri persepsi citra diri h. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahan tubuh sekunder (imunosupresi) 1) Tujuan : pasien dapat terhindar dari resiko infeksi 2) KH : integritas kulit klien normal, temperature kulit klien normal, tidak ada lesi pada kulit 40 3) Intervensi Intervensi Rasional Monitor tanda dan gejala Untuk mengetahui apabila infeksi local dan sistemik terjadi infeksi dan untuk menentukan intervensi selanjutnya Anjurkan meningkatkan Membantu asupan nutrisi proses penyemuhan luka/lesi pada klien Jelaskan tanda dan gejala Agar infeksi klien mengetahui tanda gejala infeksi Berikan perawatan kulit Agar tidak memperparah pada area yang terjadi lesi Berikan lesi penjelasan Agar keluarga kepada klien dan keluarga mengetahui tanda pasien dan mengenai tanda dan gejala gejala dari infeksi dari infeksi Kolaborasi pemberian Pemberian antibiotic untuk antibiotic mencegah infeksi 41 timbulnya BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan mengenai Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat disimpulkan bahwa (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dengan ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE adalah faktor genetik, imunologi, hormonal dan lingkungan. Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain 42 dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan untuk memilih obat lebih baik yang ditujukan pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan memperbaiki hasil induksi remisi. DAFTAR PUSTAKA https://www.academia.edu/37685491/LP_Systemik_Lupus_Erythematosus_SLE_ BUKU SDKI 2018 BUKU SIKI 2019 NANDA NIC NOC 2015 43