Uploaded by User12245

PRESKAS PERDARAHAN POST PARTUM LAMBAT POST SC HARI KE 10 ET CAUSA RETENSI SISA PLASENTA

advertisement
PRESENTASI KASUS
PERDARAHAN POST PARTUM LAMBAT POST SC HARI KE 10 ET
CAUSA RETENSI SISA PLASENTA PADA MULTIPARA + ANEMIA (7.9) +
HIPOKALEMIA (2.9)
Disusun oleh :
Kurnia Lintang Kharimah
G991902034
Nadira Rachmianti Hartanto
G99181046
Zarah Tin Cahyaningrum
G99181072
Pembimbing :
Glondong Suprapto, dr., Sp.OG (K)
KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500cc yang terjadi
setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 500-600 ml setelah persalinan
abdominal, jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal.
Akan tetapi kehilangan darah sekalipun dengan jumlah yang lebih kecil dapat
menimbulkan akibat yang berbahaya pada wanita yang anemis.
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500cc yang terjadi
setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 ml setelah persalinan abdominal.
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah
perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai
perdarahan yang lebih dari normal yang telah menyebabkan perubahan tanda vital,
antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil,
hiperapnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi >100/menit, kadar Hb <8
g /dL. Perdarahan postpartum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak.
Semua wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan postpartum
dan sekuelernya. Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastis di
negara-negara berkembang, perdarahan postpartum tetap merupakan penyebab
kematian maternal terbanyak dimana-mana. Pada kelahiran normal akan terjadi
kehilangan darah sebanyak kurang lebih 200ml. Episiotomi meningkatkan angka ini
sebesar 100 ml dan kadang-kadang lebih banyak lagi. Wanita hamil mengalami
peningkatan jumlah darah dan cairan sehingga kehilangan 500 ml darah pada wanita
sehat setelah melahirkan tidak mengakibatkan efek serius. Akan tetapi kehilangan
darah sekalipun dengan jumlah yang lebih kecil dapat menimbulkan akibat yang
berbahaya pada wanita yang anemis.
Anemia merupakan masalah medik yang sering dijumpai di kilinik seluruh
dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
2
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility)
yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta
kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama
anemia ringan sering kali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di
praktek klinik. Perdarahan post partum adalah penyebab paling umum kematian
maternal perinatal di negara maju dan merupakan penyebab utama morbiditas
maternal di seluruh dunia. Data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian
maternal disebabkan oleh perdarahan postpartum dan diperkirakan 100.000 kematian
maternal tiap tahunnya. Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh
kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang dari 1060 %. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan
pasca persalinan, namun selanjutnya akan mengalami kekurangan darah yang berat
(anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan (WHO).
Frekuensi perdarahan post partum berdasarkan laporan-laporan baik dinegara
maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%.
Dari angka tersebut yang diperoleh gambaran etiologi antara lain : atonia uteri(5060%) sisa plasenta (23-24%), retensio plasenta(16-17%), laselerasi jalan lahir (4-5%),
kelainan darah (0,5- 0,8%).
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi kesana, atonia uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan
kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah yang melebar tadi tidak menjadi
sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti
episiotomi yang lebar, laserasi perineum, dan ruptur uteri yang menyebabkan
perdarahan karena terbukanya pembuluh darah dan penyakit darah yang ada pada ibu,
misalnya afibrinogemia atau hipofibrogemimia karena tidak ada atau kurangnya
fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari
perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada
keadaan syok hemoragik.
3
BAB II
STATUS PASIEN
A. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 10 Maret 2019 pukul 23:10 WIB terhadap
pasien.
1. Identitas Pasien
Nama
: Ny. WSN
Umur
: 33 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: IRT
Agama
: Islam
Alamat
: Jatirejo RT 01 RW 01 Jumapolo, Karanganyar
Status Perkawinan
: Menikah 2 kali; I: 9 tahun, II: 2 tahun
Paritas
: P4A0
Tanggal Masuk
: 10 Maret 2019
No.RM
: 01452xxx
Berat badan
: 63 kg
Tinggi Badan
: 163 cm
2. Keluhan Utama
Pasien mengeluh perdarahan pada jalan lahir.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien P4A0, 33 tahun, datang rujukan dari RSIA Dian Pertiwi,dengan
status P3A1, post SCTP 10 hari SMRS dengan perdarahan per vaginam.
Riwayat pengobatan:

01/03/19: masuk RSIA Dian Pertiwi dengan diagnosis KPD+serotinus
dilakukan SC + insersi IUD. Setelah 3 hari dirawat, pasien pulang dan
kontrol ke poli dengan luka kering
4

10/03/19: datang ke IGD dengan keluhan perdarahan per vaginam mulai
jam 12.00 dan perdarahan 3 underpad (+ 1500 ml).
Hb: 8 gr/dL, mendapat terapi:

IVFD RL + drip metergin IA 30 tpm

Transfusi darah (PRC 2 kolf)  kolf I: 19.30, kolf II: 23.30

Inj. Cefotaxim (17.00)

Cyrotec 600 mcg/ rectal (17.00)
Saat ini pasien mengeluh pusing dan lemas
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a.
Riwayat hipertensi
: disangkal
b.
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
c.
Riwayat diabetes mellitus
: disangkal
d.
Riwayat asma
: disangkal
e.
Riwayat alergi obat/makanan
: disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a.
Riwayat hipertensi
: disangkal
b.
Riwayat penyakit Jantung
: disangkal
c.
Riwayat diabetes mellitus
: disangkal
d.
Riwayat asma
: disangkal
e.
Riwayat alergi obat/makanan
: disangkal
6. Riwayat Fertilitas
Baik
7. Riwayat Obstetri
P4A0
I: IUFD, UK 6 bulan  kuret
II: perempuan, 12 tahun, 3300 g, lahir spontan dengan bantuan bidan
III: perempuan, 3 tahun, 2900 g, lahir spontan dengan bantuan bidan
IV: laki-laki, 3200 gr, SC ai serotinus+KPD
5
8. Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Pasien rutin melakukan ANC sebanyak 4x, yaitu 1x di SpOG dan 3x di
bidan.
9. Riwayat Perkawinan
Menikah 2 kali; I: 9 tahun, II: 2 tahun
10. Riwayat Keluarga Berencana (KB)
IUD (terpasang saat SC)
11. Riwayat Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dirumah
12. Riwayat Kebiasaan
Pasien jarang olahraga
13. Riwayat Nutrisi
Pasien biasa makan 2-3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk, dan sayur
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a.
Keadaan Umum : compos mentis, tampak pucat
b. Tanda Vital
:
Tensi
: 112/84 mmHg
Nadi
: 109 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
: 36, 40 C
Suhu
c.
Kepala : Mesocephal
d. Mata
: Conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
e.
THT
: Discharge (-/-)
f.
Leher
: Kelenjar getah bening tidak membesar
g. Thorax :
6
1) Cor
Inspeksi
: ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi
: batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi
: pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi
: fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi
: sonor // sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan
(-/-), wheezing (-)
h. Abdomen
- Inspeksi
:
: Dinding perut sama tinggi dinding dada,
striae gravidarum (+)
-
Palpasi : supel, nyeri tekan (+), teraba TFU setinggi
pusat, kontraksi (+) hipotoni.
i.
- Perkusi
: redup
Genital
: v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal,
portio terbuka diameter 2 cm, tampak darah mengalir
dari OUE
C. Pemeriksaan Penunjang
1.
Laboratorium Darah tanggal 10 Maret pukul 23.58 WIB
Hematologi rutin
Hemoglobin
: 7,9 g /dL
Hematokrit
: 22 %
Eritrosit
: 2,57 x 106/μL
Leukosit
: 13,4 x 103/μL
7
Trombosit
: 168 x 103/μL
Golongan darah
:A
Hemostastis
a. PT
: 12,7 detik
b. APTT
: 25,2 detik
c. INR
: 0,970
Kimia Klinik
a.
Glukosa Darah Sewaktu: 82 mg/dL
b.
Creatinine
: 0,9 mg/dL
c.
Ureum
: 31 mg/dL
Elektrolit
a. Natrium darah : 136 mmol/L
b. Kalium darah
: 3,0 mmol/L
c. Chlorida darah : 103 mmol/L
Ultrasonografi (USG) tanggal 10 Maret 2019 (22.50)

Tampak VU terisi cukup

Tamapk uterus mebesar, tunika serosa tidak intak pada bagian anterior
uterus, kesan cairan bebas di antara myometrium dan tunika serosa, EL
(-) tampak IUD insitu, massa amorf (+), SBR (segmen bawah rahim)
intak

Pada pemeriksaan power doppler, tidak ditemukan hipervaskularisasi
daerah korpus anterior sampai dengan SBR.

Morison pouch tampak free fluid

Kesan: sub involusi uterus, susp retensio sisa plasenta, IUD insitu,
ascites minimal
D. Diagnosis Awal
Perdarahan post pasrtus (SC) lambat ec retensio sisa plasenta pada multipara+
anemia (7,9)+ hipokalemia (2,9)
8
E. Prognosis
Dubia
F. Terapi dan Planning
1. Pro kuretase emergency
2. Perbaikan keadaan umu  tranfusi PRC 4 kolf
3. Konsul anestesi
4. Inform consent
5. KSR 3x1
G. FOLLOW UP
1.
Evaluasi tanggal 11 Maret 2019 pukul 06:00 WIB (DPH-1)
P4A0, 33 tahun
Keluhan
: lemas (+), nyeri (+)
Keadaan Umum
: sakit sedang, compos mentis
Tanda Vital
:
Tekanan darah: 108/77 mmHg
RR
Nadi
Suhu : 36,40C
: 74 x/menit
: 19 x/menit
Mata
: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Thorak
: Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen
: supel, nyeri tekan (-), kontraksi uterus (+), TFU setinggi
pusar.
Genital
: darah (+), terpasang DC cateter
Diagnosis
: Perdarahan post partus (SC) lambat hari ke-11 ec retensio sisa
plasenta pada multipara + anemia (7,9) + hipokalemia (2,9)
Plan
:
a. Perbaikan keadaan umum  transfuse PRC 4 kolf post IV PRC  ca
gluconas IA
b. KSR 3x1
c. Usul pemeriksaan staff jaga
9
Pemeriksaan Staff (USG staff) dr. Robert pada pukul 09.00 WIB
USG: tampak gambaran amorf di fundus uteri dengan sebagian cairan bebas
curiga darah/ stolcel. Kesan: sisa plasenta
Advis 
-
Perbaikan keadaan umum, diberikan uterotonika
-
Transfusi  setelah kolf ke IV cek DR3
-
Kuretase jika keadaan umum baik  kuretase elektif
Diagnosis: perdarahan post partus (SC) lambat hari ke-11 ec retensio sisa
plasenta pada multipara+ anemia (7,9)+ hipokalemia (2,9)
Pemeriksaan Staff Fetomaternal (dr. Wisnu, Sp.OG(K))
Pukul 11.00
USG:
-
Tampak VU terisi minimal dengan balon cateter (+)
-
Tampak massa hipoekoik di daerah SBR ukuran 0,88x0,68x0,5. CDFI
tidak meningkat.tamapk garis suspek SBR tidak intak 0,1 cm
-
Tampak uterus ukuran 15,21x 10,46x12, melebar dengan gambaran
miometrium tidak khas (hipoekoik densitas sedang dengan gambaran
hipoekoik), kesan stolsel
-
Tampak IUD posisi mendekati daerah SBR
-
Morison pouch normal, cairan bebas bekas retro ( )
TVS:
-
Balon cat (+)
-
Tampak uterus dengan gambaran hipoekoik dan fundus, kesan massa
amorf dd stolsel
-
Endometrial line kesan (+)
10
-
Kesan: menyokong gambaran sub involusi uterus dengan stolsel
(+++) dan IUD kesan translokasi
 Pro kuretase dengan guiding USG oleh R7  PA
 Evaluasi post kuretase perdarahannya
Pukul 11.35
Diagnosis: Perdarahan post partum (SC) lambat ec suspek perforasi SBR
dengan hematokel intrauterine pada multipara + anemia (7,9) + hypokalemia
(2,9)
Plan:
-
Tunda kuretase
-
Plan untuk histeroskopi
-
Perbaikan KU
Lapor dr. Laqif, Sp.OG(K) untuk rencana histereskopi pada pukul 12.15
WIB
Advis pasang balon kateter intracavum. Konsul staff FER lain untuk
tindakan histereskopi
Lapor dr. Eriana, Sp.OG(K) untuk rencana histereskopi pada pukul
12.20 WIB
Advis 
-
Siapkan OK lain karena OK 13 ada 2 rencana laparoskopi
-
Bila syok langsung histerektomi emergency, tidak perlu histereskopi
Lapor dr. Nutria, Sp.OG(K), M.Kes
Pukul 12.30 WIB
Pemeriksaan:
-
TD 110/70 mmHg, HR: 100x/menit, RR: 20x/menit, T: 36,70C
11
-
Perdarahan di underpad + 125 cc, masih mengalir dari vagina
Usul
-
Kuretase dengan guiding USG  bila perdarahan, pasang balon
kateter  histerektomi emergency
-
Persiapan 1 PRC 1 WB
Follow up pada pukul 13.00
Keluhan
: perdarahan mengalir (-)
Keadaan Umum
: baik, compos mentis
Tanda Vital
:
-
Tekanan darah: 115/70 mmHg
-
Nadi
: 72 x/menit
Mata
: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Thorak
: Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen
: supel, nyeri tekan (-), kontraksi uterus (+), TFU setinggi
pusar.
Genital
: darah (+), PPV tidak mengalir, underpad ¼
Diagnosis
: Perdarahan post partus (SC) lambat hari ke-11 ec retensio sisa
plasenta pada multipara + anemia (7,9) + hipokalemia (2,9)
Plan
:
-
Perbaikan keadaan umum
-
Transfuse s/d Hb > 10 gr/dL
-
Inf. RL + (oxytosin+metergin (1:1))
-
Inj. Asam tranexamat 500 mg/8 jam
-
Inj. Ampicillin 1 amp/ 8 jam
-
Evaluasi dan observasi bila sewaktu-waktu perdarahan bertambah;
KIE s/d histerektomi (bila perdarahan banyak, langsung histerektomi
12
emergency, bila perdarahan minimal, periksa untuk histerektomi
besok)
-
Histerektomi di OK IBS jam 08.00, operator dr. Eric, Sp.OG(K)
Lapor dr. Nutria, Sp.OG(K)
Advis 
-
Evaluasi di PONEK sampai besok (12/3/2019)
-
Awasi tanda-tanda perdarahan
-
Dievaluasi ulang besok oleh dr. Eric, Sp.OG(K)
-
Histerektomi hanya bila ada indikasi (perdarahan msasif)
Lapor dr. Eric, Sp.OG(K)
Advis 
-
Evaluasi ulang besok pagi (12/3/2019)
-
Histerektomi bila perdarahan massif
Laboratorium Darah tanggal 11 Maret pukul 20.39 WIB
Hematologi rutin
2.
Hemoglobin
: 8,4 g /dL
Hematokrit
: 25 %
Eritrosit
: 2,88 x 106/μL
Leukosit
: 9,9 x 103/μL
Trombosit
: 169 x 103/μL
Evaluasi tanggal 12 Maret 2019 pukul 06:00 WIB (DPH-2)
P4A0, 33 tahun
Keluhan
: lemas (-), perdarahan (-), flek-flek (+), pusing (-)
Keadaan Umum
: sakit sedang, compos mentis
13
Tanda Vital
:
Tekanan darah: 128/70 mmHg
RR
Nadi
Suhu : 36,90C
: 65 x/menit
: 22 x/menit
Mata
: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Thorak
: Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen
: supel, nyeri tekan (+), kontraksi uterus (+) baik, TFU setinggi
2 jari di atas pusat, LP: 89 cm
Genital
: darah mengalir (-), terpasang DC
Diagnosis
: Perdarahan post partus (SC) lambat ec suspek dehisensi SBR
dengan hematokel pada multipara + anemia (7,9) +
hipokalemia (2,9)
Plan
:
a.
Perbaikan keadaan umum  transfusi s/d Hb 10 gr/dL
b.
IVFD RL 30 tpm
c.
Inj. Asam tranexamat 500 mg/8 jam
d.
Inj. Ampicillin I amp/ 8 jam (III)
e.
KSR 3x1
f.
Evaluasi ulang hari ini (12/3/2019) oleh dr. Eric, Sp.OG(K)
g.
Cek ulang Lab: GDS, PT, APTT, elektrolit, Ur, Cr
h.
Balance cairan:
-
I: 1950 cc
-
O: 1200 cc
-
IWL: 630
-
BC: +120 cc
-
UO: 50 cc/ jam  0,79 cc/kgBB/jam
Pemeriksaan Staff Fetomaternal
Pukul 09.30 oleh dr. Nutria, Sp.OG(K), M.Kes
14
USG
-
Tampak VU terisi minimal dengan balon cateter (+)
-
Tampak uterus membesar ukuran 16x15x12 dengan tampak massa
hipoekoik sebagian hiperekoik intra uterin, kesan stolsel 11x8x6
-
Massa hipoekoik pada fundus kesan bertambah banyak, pada
pemeriksaan color doppler tidak meningkat
-
Pemeriksaan bagian SBR tampak bagian kesan space/celah  suspek
dehisensi SBR? Turbulensi (-)
-
Kesan:
menyokong
gambaran
uterus
sub
involusi
dengan
stolsel+retsiplas intra uterin dengan suspek dehisensi SBR
Plan:
-
Usul suction kuretase untuk keluarkan stolsel dengan guiding USG 
dilanjut kuret dengan sendok tumpul oleh R7 dengan guiding USG
-
Evaluasi perdarahan, post kuretase  bila perdarahan meningkat 
histerektomi
Pukul 11.00 oleh dr. Eric, Sp.OG(K)
USG
-
Tampak VU terisi minimal dengan balon cateter (+)
-
Tampak gambaran hematom di area fundus uteri ukuran 8,49x9,56 cm
-
EL (+)
-
Tidak tampak massa di cavum uteri
Diagnosis: persarahan post partum lambat post SC post XII ec sub involusi
hematom luas di uteri
Plan:
-
Laparotomy eksplorasi s/d histerektomi (Rabu, 13/3/2019) dengan
operator dr. Eric, Sp.OG(K), asisten (R7)
-
KIE
-
Inform consent
15
-
Konsul anestesi
-
Sediakan darah: 2 PRC, 2 FFP
Pukul 11.45 oleh dr. Nutria, Sp.OG(K), M.Kes
Pasien observasi di PONEK lantai 2, ACC dr. Nutria, Sp.OG(K), M.Kes
Follow up pada pukul 21.30
Keluhan: perdarahan (+) ½ underpad
Keadaan Umum
: baik, compos mentis
Tanda Vital
:
-
Tekanan darah: 130/70 mmHg
-
Nadi
: 88 x/menit
-
RR
: 20 x/menit
-
T
: 36,40 C
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorak
: Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen
: supel, nyeri tekan (-), kontraksi uterus (+), TFU setinggi 3 jari
di bawah pusat.
Genital
: darah (+), discharge (-)
Diagnosis
: Perdarahan post partus post SC XII ec sub involusi, hematom
luas di uterus
Plan
:
-
Drip oximethergin : RL  1:1
-
Terapi lain lanjut
Laboratorium Darah tanggal 12 Maret 2019 pukul 10.22 WIB
Hemostastis
a.
PT
: 12,7 detik
b.
APTT
: 25,2 detik
16
c.
INR
: 0,970
Kimia Klinik
a.
Glukosa Darah Sewaktu: 82 mg/dL
b.
Creatinine
: 0,9 mg/dL
c.
Ureum
: 31 mg/dL
Elektrolit
a.
Natrium darah
: 136 mmol/L
b.
Kalium darah
: 3,0 mmol/L
c.
Chlorida darah
: 103 mmol/L
Laboratorium Darah tanggal 12 Maret pukul 16.26 WIB
Hematologi rutin
a.
Hemoglobin
: 10,1 g /dL
b.
Hematokrit
: 30 %
c.
Eritrosit
: 3,41 x 106/μL
d.
Leukosit
: 9,9 x 103/μL
e.
Trombosit
: 169 x 103/μL
3. Evaluasi tanggal 13 Maret 2019 pukul 06:00 WIB (DPH-3)
P4A0, 33 tahun
Keluhan
: perdarahan (-), nyeri perut (+)
Keadaan Umum
: sakit sedang, compos mentis
Tanda Vital
:
-
Tekanan darah: 138/87 mmHg
-
Nadi
: 68 x/menit
-
RR
: 20 x/menit
-
T
: 36,80C
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorak
: Cor dan Pulmo dalam batas normal
17
Abdomen
: supel, nyeri tekan (+), kontraksi uterus (+) baik, TFU setinggi
3 jari di atas pusat, LP: 89 cm
Genital
: darah mengalir (-), discharge (-)
Diagnosis
: Perdarahan post partus lambat post SC hari ke-13 ec sub
involusi hematom luas di uterus
Plan
:
a. Pro laparotomy eksplorasi s/d histerektomi
b. IVFD RL 30 tpm
c. Inj. Asam tranexamat 500 mg/8 jam
d. Inj. Ampicillin I amp/ 8 jam (III)
e. KSR 3x1
f. Evaluasi KUVS, tanda-tanda perdarahan
g. Balance cairan:
-
I: 1700 cc
-
O: 980 cc
-
IWL: 630
-
BC: +90 cc
-
UO: 40,83 cc/ jam
Lapor dr. Eric, Sp.OG(K) pada pukul 09.40
ACC terapi tidak ACC diagnosis
Advis: perdarahan post partum lambat post SC hari ke-13 ec sub involusi ec
retensi sisa plasenta
Instruksi post kuretase pada pukul 09.00
1. Awasi KU/VS/tanda-tanda perdarahan sampai dengan 24 jam post
kuretase
2. Puasa sampai dengan BU (+) atau flatus (+)
18
3. Medikamentosa:
- Oksitosin : metergin  1:1
- Amoxicillin tab 500 mg/ 8jam
- Asam mefenamat 500 mg/8 jam
- Vit C 50 mg/ 12 jam
Intruksi 2 jam post kuretase pada pukul 11.00 oleh dr. Nutria, Sp.OG(K),
M.Kes
P4A0, 33 tahun
Keluhan
: mual (-), muntah (-), nyeri (+) minimal
Keadaan Umum
: baik, compos mentis
Tanda Vital
:
Tekanan darah: 122/78 mmHg
RR
Nadi
Suhu : 36,50C
: 90 x/menit
: 27 x/menit
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorak
: Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen
: supel, nyeri tekan (-), kontraksi uterus (+) baik, TFU setinggi
2 jari di bawah pusat, tampak luka bekas operasi (+)
Genital
: darah mengalir (-), discharge (-)
Diagnosis
: Post kuretase atas indikasi perdarahan post partum lambat
post SC hari ke-13 ec sub involusi ec retensi sisa plasenta
Plan
:
-
Oksitosin : metergin  1:1 dalam RL 500 cc = 20 tpm dalam 24 jam
-
Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam
-
Vit C 50 mg/ 12 jam
-
Amoxicillin 500 mg/ 8 jam
-
Cek DR 3 post kuretase  ACC dr. Eric, Sp.OG(K)
-
Transfuse 1 kolf PRC
19
Laboratorium Darah tanggal 13 Maret pukul 11.30 WIB
Hematologi rutin
a.
Hemoglobin
: 9,7 g /dL
b.
Hematokrit
: 30 %
c.
Eritrosit
: 3,43 x 106/μL
d.
Leukosit
: 11,8 x 103/μL
e.
Trombosit
: 188 x 103/μL
4. Evaluasi tanggal 14 Maret 2019 pukul 06:00 WIB (DPH-1)
P4A0, 33 tahun
Keluhan
: nyeri perut (+), mual (-), muntah (-),
Keadaan Umum
: baik, compos mentis
Tanda Vital
:
Tekanan darah: 130/80 mmHg
RR
Nadi
Suhu : 36,70C
: 80 x/menit
: 16 x/menit
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorak
: Cor dan Pulmo dalam batas normal
Ektremitas
: kedua tangan kaku (+), nyeri (+)
Abdomen
: supel, nyeri tekan (-), kontraksi uterus (+) baik, TFU setinggi
2 jari di bawah pusat, luka bekas operasi (+)
Genital
: darah (-), discharge (-)
Diagnosis
: post kuretase atas indikasi perdarahan post partum lambat
post SC hari ke-14 ec sub involusi ec retensi sisa plasenta
Plan
:
-
Oksitosin : metergin  1:1 dalam RL 500 cc = 20 tpm dalam 24 jam
-
Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam
-
Amoxicillin 500 mg/ 8 jam
20
-
Vit C 50 mg/ 12 jam
5. Evaluasi tanggal 15 Maret 2019 pukul 06:00 WIB (DPH-2)
P4A0, 33 tahun
Keluhan
: nyeri perut (+), mual (-), muntah (-), kedua tangan
kaku
Keadaan Umum
: baik, compos mentis
Tanda Vital
:
-
Tekanan darah: 130/90 mmHg
-
Nadi
: 80 x/menit
-
RR
: 16 x/menit
-
T
: 36,60C
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorak
: Cor dan Pulmo dalam batas normal
Ektremitas
: kedua tangan kaku (+), nyeri (+)
Abdomen
: supel, nyeri tekan (-), kontraksi uterus (+) baik, TFU setinggi
2 jari di bawah pusat, luka bekas operasi (+)
Genital
: darah (-), discharge (-)
Diagnosis
: post kuretase atas indikasi perdarahan post partum lambat
post SC hari ke-14 ec sub involusi ec retensi sisa plasenta
Plan
:
-
Amoxicillin 500 mg/ 8 jam
-
Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam
-
Vit C 50 mg/ 12 jam
21
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
a. Perdarahan Postpartum (PPH)
1. Definisi
Perdarahan pasca-salin yaitu kehilangan darah dari saluran genitalia >500
ml setelah melahirkan pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara
seksio sesarea. Perdarahan pasca-salin dapat bersifat minor (500-1000 ml)
atau pun mayor (>1000 ml). Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi sedang
(1000-2000 ml) atau berat (>2000 ml).
Perdarahan pasca-salin diklasifikasikan menjadi pendarahan pasca salin
primer/ dini (primary post partum haemorrhage) dan pendarahan pasca salin
sekunder/ lanjut (secondary post partum haemorrhage). Perdarahan pascasalin primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca-salin,
sedangkan perdarahan pasca-salin
sekunder merupakan perdarahan yang
terjadi setelah periode 24 jam tersebut. Pada umumnya, pendarahan pasca
salin primer/dini lebih berat dan lebih tinggi tingkat morbiditas dan
mortalitasnya dibandingkan pendarahan pasca salin sekunder/lanjut.
Perdarahan pasca-salin dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu kelemahan
tonus uterus untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta
(tone), robekan jalan lahir dari perineum, vagina, sampai uterus (trauma), sisa
plasenta atau bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat
(tissue), dan gangguan faktor pembekuan darah (thrombin). Perdarahan pascasalin merupakan penyebab kematian maternal yang penting meliputi hampir
1/4 dari seluruh kematian maternal di seluruh dunia. Bentuk perdarahan
obstetri yang paling sering dan sebagai penyebab utama morbiditas serta
mortalitas maternal adalah pendarahan pasca salin. Perdarahan obstetri
22
merupakan penyebab kematian utama maternal baik di negara berkembang
maupun negara maju.
2. Anatomi dan Fisiologi Uterus
Uterus (rahim) berbentuk seperti buah pear yang sedikit gepeng ke arah
depan belakang. Ukurannya sebesar telur ayam kampung dan mempunyai
rongga (Prawirohardjo, 2014). Besarnya rahim berbeda-beda, bergantung
pernah melahirkan anak atau belum.
Uterus terdiri dari tiga bagian besar, yaitu, fundus uteri yang berada di
bagian uterus proksimal, badan rahim (korpus uteri) yang berbentuk segitiga,
dan leher rahim (serviks uteri) yang berbentuk silinder (Prawirohardjo, 2014).
Korpus uteri adalah bagian terbesar uteri, merupakan 2/3 bagian dari rahim.
Pada kehamilan, bagian ini berfungsi sebagai tempat utama bagi janin untuk
berkembang dan hidup (Curren, 2002). Serviks uteri terbagi kepada dua
bagian, yaitu pars supra vaginal dan pars vaginal. Saluran yang
menghubungkan orifisium uteri internal (oui) dan orifisium uteri external
(oue) disebut kanalis servikalis, dilapisi kelenjar-kelenjar serviks. Bagian
rahim antara serviks dan korpus disebut isthmus atau segmen bawah rahim.
Bagian ini akan mengalami peregangan dalam proses kehamilan dan
persalinan (Prawirohardjo, 2014).
Dinding rahim secara secara histologiknya terdiri dari 3 lapisan, yaitu
lapisan mukosa (endometrium) di dalam, lapisan otot-otot polos (lapisan
miometrium) di tengah, dan lapisan serosa (lapisan peritoneum) di luar.
Lapisan otot-otot polos di sebelah dalam berbentuk sirkular dan di sebelah
luar berbentuk longitudinal. Di antara kedua lapisan itu terdapat lapisan otot
oblik yang berbentuk anyaman. Lapisan ini paling penting dalam persalinan
karena sesudah plasenta lahir, otot lapisan ini berkontraksi kuat dan menjepit
pembuluh-pembuluh darah yang terbuka sehingga perdarahan berhenti
(Prawirohardjo, 2014).
23
Gambar 1. Anatomi Uterus
3. Etiologi
Terdapat 4 faktor :
a. Tonus  Atonia Uteri (kelemahan tonus uterus untuk menghentikan
perdarahan dari bekas insersi plasenta)
b. Tissue  Retensio plasenta / retensio sisa plasenta (sisa plasenta atau
bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat)
c. Trauma  Robekan jalan lahir, Laserasi, Ruptur, Inversi
d. Thrombin  Koagulopati (gangguan faktor pembekuan darah)
24
Adanya banyak faktor yang dapat menyebabkan hemorrhage postpartum.
Antaranya kelainan kontraksi uterus (tone) 70 %, adanya sisa hasil konsepsi
(tissue) 10 %, trauma pada jalan lahir (trauma) 20 % dan kelainan koagulasi
(thrombin) < 1 %. Pada perdarahan postpartum yang disebabkan kelainan
kontraksi uterus atau kontraksi tonus uteri yang berkurang, hal ini sering
terjadi pada kasus atoni uteri. Uterus yang mengalami distensi mudah menjadi
hipotonik sesudah kelahiran. Dengan demikian wanita dengan janin yang
besar (berat janin antara 4500–5000 gram), kehamilan kembar ataupun
polihidramnion cenderung mengalami perdarahan (Cunningham, 2009).
Penyebab utama perdarahan postpartum disebabkan kelainan kontraksi
uteri adalah atonia uteri. Atoni uteri merupakan kegagalan miometrium untuk
berkontraksi dengan baik dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Pada
keadaaan
yang
normal,
miometrium
bisa
berkontraksi
sehingga
memampatkan pembuluh darah robek dan mengontrol kehilangan darah
sehingga mencegah perdarahan yang cepat dan berbahaya (Cunningham,
2009).
Beberapa faktor predisposisi yang dapat mencetuskan terjadinya hipotoni
dan atoni uteri meliputi umur yang terlalu muda atau tua, jumlah paritas yang
sering terutama pada multipara dan grande mutipara, uterus yang teregang
berlebihan, miometrium yang keletihan seperti pada partus lama dan
persalinan yang terlalu giat, pada persalinan dengan operasi, persalinan akibat
induksi
oksitosin,
akibat
anastesi
umum,
infeksi
uterus
misalnya
chorioamnionitis dan endomyometritis, kelainan pada plasenta seperti pada
kasus plasenta previa dan solutio plasenta, riwayat atoni uteri, dan faktor
sosial ekonomi yaitu malnutrisi (Prawirohardjo, 2014). Atoni uteri juga dapat
timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus
dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, tapi dengan
teknik yang salah (Gynecologists, 2011)
25
Apabila adanya sisa hasil konsepsi seperti yang terjadi pada kasus
retensio plasenta, plasenta acreta dan variasinya, perdarahan postpartum bisa
terjadi. Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu
dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena plasenta belum
lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan.
Pada penemuan ultrasonografi adanya massa uterus yang echogenik
mendukung diagnosa retensio sisa plasenta dan perdarahan ini selalu berlaku
beberapa jam setelah persalinan ataupun pada perdarahan postpartum
sekunder. Plasenta yang belum lepas dari dinding uterus disebabkan kontraksi
uterus yang kurang kuat untuk melepaskan plasenta dikenali sebagai plasenta
adhesiva sedangkan plasenta yang melekat erat pada dinding uterus oleh
sebab vilis komalis menembus desidua sampai miometrium sampai dibawah
peritoneum diketahui sebagai plasenta akreta–perkreta. Bila plasenta sudah
lepas dari dinding uterus tetapi belum keluar disebabkan oleh tidak adanya
usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III yang
menganggu kontraksi uterus sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta dikenali sebagai
inkarserasio plasenta (Cunningham, 2009).
Jika pendarahan terjadi meskipun rahim baik kontrak dan kurangnya
jaringan ditahan, maka trauma pada jalan lahir atau trauma genital dicurigai
(Stanford, 2009). Pada trauma atau laserasi jalan lahir bisa terjadi robekan
perineum, vagina serviks, forniks dan rahim. Keadaan ini dapat menimbulkan
perdarahan yang banyak apabila tidak segera diatasi. Laserasi jalan lahir
biasanya terjadi karena persalinan secara operasi termasuk seksio sesaria,
episiotomi, pimpinan persalinan yang salah, persalinan pervaginam dengan
bayi besar, dan terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep dengan cara
yang tidak benar. Keadaan ini juga bisa terjadi secara spontan akibat ruptur
uterus, inversi uterus, perlukaan jalan lahir, dan vaginal hematom. Laserasi
26
pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan
hematom. Perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena
tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya
syok. Hematoma biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami
laserasi atau pada daerah jahitan perineum. Episiotomi dapat menyebabkan
perdarahan yang berlebihan jika mengenai arteri atau vena yang besar,
episitomi luas, ada penundaan antara episitomi dan persalinan, atau ada
penundaan antara persalinan dan perbaikan episitomi (Cunningham, 2009).
Manakala pada perdarahan postpartum yang disebabkan kelainan
pembekuan darah, gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa
penyakit keturunan ataupun didapat. Kelainan pembekuan darah bisa berupa
hipofibrinogenemia, trombocitopenia, thrombocytopenic purpura idiopatik,
sindroma HELLP yang adanya hemolisis, enzim hati yang meningkat serta
kadar trombosit yang rendah, disseminated intravaskuler coagulation (DIC),
dan dilutional coagulopathy yang bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8
unit karena darah donor biasanya tidak segar sehingga komponen fibrin dan
trombosit sudah rusak. Perdarahan postpartum juga bisa sebagai akibat
kegagalan koagulasi seperti eklampsia berat, perdarahan antepartum, cairan
ketuban embolus, kematian janin intrauterine atau sepsis (Prawirohardjo,
2014)
4. Klasifikasi
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang
terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang
terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.
Perdarahan postpartum primer bisa terjadi karena atoni uteri, robekan
jalan lahir, retensio plasenta, inversi uteri, ruptura uteri, dan gangguan
27
koagulasi, manakala perdarahan postpartum sekunder biasanya terjadi akibat
sisa plasenta dalam uteri (Prawirohardjo, 2014)
5. Patofisiologi
Selama kehamilan, volume darah ibu meningkat sekitar 50% (dari 4 L ke
6 L). Volume plasma meningkat agak lebih dari total volume sel darah merah,
yang menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit.
Peningkatan volume darah berfungsi untuk memenuhi tuntutan perfusi dari unit
uteroplasenta yang resistansi rendah dan untuk menyediakan cadangan untuk
kehilangan darah yang terjadi saat persalinan (Smith, 2018).
Pada saat aterm, perkiraan aliran darah ke rahim adalah 500-800 mL /
menit, yang merupakan 10-15% dari curah jantung. Sebagian besar aliran ini
melintasi plasenta yang resistannya rendah. Pembuluh darah uterus yang
memasok situs plasenta melintasi jalinan serat miometrium. Ketika serat-serat
ini berkontraksi setelah persalinan, terjadi retraksi miometrium. Retraksi adalah
karakteristik unik dari otot uterus untuk mempertahankan panjangnya yang
pendek setelah setiap kontraksi berturut-turut. Pembuluh darah dikompresi dan,
biasanya, aliran darah cepat tersumbat. Susunan ikatan otot ini telah disebut
sebagai "ikatan hidup" atau "jahitan fisiologis" rahim (Smith, 2018).
Atonia uteri adalah kegagalan serabut miometrium uterus untuk
berkontraksi dan menarik. Ini adalah penyebab paling penting dari PPH dan
biasanya terjadi segera setelah kelahiran bayi, hingga 4 jam setelah melahirkan.
Trauma ke saluran genital (yaitu, rahim, serviks uterus, vagina, labia, klitoris)
pada kehamilan menghasilkan perdarahan yang secara signifikan lebih banyak
daripada yang akan terjadi pada keadaan tidak hamil karena meningkatnya
pasokan darah ke jaringan-jaringan ini. Trauma yang secara khusus terkait
dengan persalinan bayi, baik secara spontan atau dengan bantuan atau melalui
persalinan sesar, juga dapat menjadi substansial dan dapat menyebabkan
28
gangguan signifikan pada jaringan lunak dan robeknya pembuluh darah (Smith,
2018).
6. Faktor Risiko
Faktor Risiko pada ibu yang dapat meningkatkan kejadian perdarahan post
partum antara lain (Megasari, 2013):
a. Usia
Ibu yang hamil berumur < 20 tahun dan > 35 tahun lebih beresiko
mengalami perdarahan pasca persalinan.
b. Paritas
Ibu yang paritas >3 beresiko mengalami perdarahan pasca persalinan
dibandingkan ibu yang paritasnya 2-3.
c. Kunjungan Antenatal
Ibu hamil yang tidak melakukan kunjungan antenatal
mengalami
perdarahan
pasca persalinan
dari
pada
beresiko
ibu
yang
melakukan kunjungan antenatal.
d. Kadar Hb
Ibu
yang
memiliki
perdarahan pasca
kadar
persalinan
Hb
<11
gr%
beresiko
mengalami
daripada ibu yang memiliki kadar Hb
>11gr%.
e. Pekerjaan
Ibu yang bekerja beresiko mengalami perdarahan pasca persalinan
dibandingkan ibu yang tidak bekerja.
f. Pendidikan
Ibu yang pendidikannya rendah beresiko mengalami perdarahan pasca
persalinan 2 kali dibandingkan ibu yang pendidikan tinggi.
7. Diagnosis
Umumnya pendarahan post-partum didiagnosa apabila jumlah
pendarahan dianggap melebihi batas normal. Tanda dan gejala klinis dari
29
kehilangan darah meliputi kelemahan, berkeringat, dan takikardi yang
biasanya timbul setelah kehilangan 15-25% kehilangan darah dari volume
total. Penurunan hemodinamik hanya terjadi pada kehilangan darah.
Diagnosis pada perdarahan pascasalin harus dicari penyebab utamanya. Dapat
dibuat diagnosis :12
1. Berdasar gejala klinis
a. Perdarahan setelah anak lahir, tetapi plasenta belum lahir, darah yang
keluar biasanya berwarna merah segar. Hal ini biasa disebabkan oleh
robekan jalan lahir.
b. Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh atonia
uteri.
2. Inspekulo: robekan pada vagina, serviks atau varises yang pecah.
3. Palpasi uterus: uterus lembek, masih diatas pusat, kontraksi yang kurang
baik, biasa merupakan tanda atonia uteri
4. Memeriksa plasenta, apakah lengkap atau tidak kotiledonnya dan selaput
ketubannya.
5. Eksplorasi cavum uteri, untuk mencari bekuan darah atau sisa plasenta
dan selaput ketuban, robekan rahim.
6. Pemeriksaan lab:
a. Tes darah lengkap : Hb, Ht, Tc
b. Protrombin Time (PT) dan activated partial tromboplastin time
(aPTT): untuk melihat kelainan koagulasi
c. Fibrinogen: koagulopati (N= 300-600)
7. Pemeriksaan lain:
a. USG
b. Angiografi
c. D-dimer
30
















Gejala dan Tanda
Perdarahan segera
setelah anak lahir
Uterus lembek dan tak
berkontraksi
Perdarahan segera
setelah anak lahir
Uterus berkontraksi
keras
Plasenta lengkap

Komplikasi
Syok
Diagnosis
Atonia uteri



Pucat
Lemah
Menggigil
Robekan jalan
lahir
Plasenta belum lahir
setelah 30 menit bayi
lahir
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi dan
keras
Plasenta atau selaput
tidak lengkap
Perdarahan segera
Uterus tak teraba
Lumen vagina terisi
massa
Perdarahan segera
(vagina/intra abdomen)
Nyeri perut hebat

Tali pusat putus akibat
traksi
Inversio uteri
Perdarahan lanjut
Retensio
plasenta
Sisa plasenta
tertinggal


Uterus berkontraksi
tetapi TFU tidak
berkurang
Neurogenik syok
Pucat



Syok
Perut tegang
Nadi cepat
Ruptur uteri
Perdarahan > 24 jam
setelah anak lahir
Uterus lunak dan lebih
besar

Perdarahan yang
bervariasi dan bau
Anemia
Perdarahan
pascasalin
lambat




Tabel 1. Penilaian Klinik
31
Inversio uteri
Kehilangan
darah
Tekanan
darah
(sistole)
Gejala
Derajat
syok
Normal
Palpitasi,
takikardi, sakit
kepala
Kompensasi
80-10mmHg
lemah,
takikardi,
berkeringat
Ringan
70-80mmHg
Gelisah, oliguri
Sedang
50-70mmHg
kolaps, sesak
nafas, anuria
Berat
500-1000
(10-15%)
1000-1500
(15-25%)
mL
1500-2000
(25-35%)
2000-3000
(35-50%)
mL
Tabel 2. Gejala pada perdarahan obstetri
8. Pencegahan PPH
a. Perawatan masa kehamilan
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus
yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan
pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai
sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik. Menangani
anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang mempunyai
predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk
bersalin di rumah sakit.
b. Persiapan persalinan
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,
golongan darah, dan bila memungkinkan sediakan donor darah dan
32
dititipkan di bank darah. Pemasangan cateter intravena dengan lobang
yang besar untuk persiapan apabila diperlukan transfusi. Untuk pasien
dengan anemia berat sebaiknya langsung dilakukan transfusi. Sangat
dianjurkan pada pasien dengan resiko perdarahan postpartum untuk
menabung darahnya sendiri dan digunakan saat persalinan.
c. Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular
atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan
baik. Massae yang berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum,
selama ataupun sesudah lahirnya plasenta bisa mengganggu kontraksi
normal
myometrium
dan
bahkan
mempercepat
kontraksi
akan
menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan memicu terjadinya
perdarahan postpartum.
d. Kala tiga dan Kala empat
 Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan.
Study memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada
pasien yang mendapat oxytocin setelah bahu depan dilahirkan, tidak
didapatkan peningkatan insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya
saja lebih baik berhati-hati pada pasien dengan kecurigaan hamil
kembar apabila tidak ada USG untuk memastikan. Pemberian oxytocin
selama kala tiga terbukti mengurangi volume darah yang hilang dan
kejadian perdarahan postpartum sebesar 40%.
 Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit
setelah bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada
untungnya justru dapat menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta
akan terjadi ketika uterus mulai mengecil dan mengeras, tampak aliran
darah yang keluar mendadak dari vagina, uterus terlihat menonjol ke
abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak keluar dari vagina.
33
Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan cara menarik tali pusat
secra hati-hati. Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap
atau tidak. Untuk “ manual plasenta “ ada perbedaan pendapat waktu
dilakukannya
manual
plasenta.
Apabila
sekarang
didapatkan
perdarahan adalah tidak ada alas an untuk menunggu pelepasan
plasenta secara spontan dan manual plasenta harus dilakukan tanpa
ditunda lagi. Jika tidak didapatkan perdarahan, banyak yang
menganjurkan dilakukan manual plasenta 30 menit setelah bayi lahir.
Apabila dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap, uterus terus
di eksplorasi untuk mencari bagian-bagian kecil dari sisa plasenta.
 Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan
jalan lahir yang dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan
yang cukup. Luka trauma ataupun episiotomi segera dijahit sesudah
didapatkan uterus yang mengeras dan berkontraksi dengan baik.
9. Penatalaksanaan
Tujuan utama pertolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum adalah
menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat mungkin.(11)
Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2 bagian
pokok : (9)
a. Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan
Pasien dengan hemorrage postpartum memerlukan penggantian cairan
dan pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ–organ penting. Pantau
terus perdarahan, kesadaran dan tanda-tanda vital pasien.
Pastikan dua kateter intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan
pemberian cairan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan
resusitasi cairan cepat.

Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate

Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell
34

Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine
(dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1
jam 30 cc atau lebih)
b. Manajemen penyebab hemorraghe postpartum
Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :

Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu
tangan di fundus uteri dan lakukan massase untuk mengeluarkan
bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila terus teraba lembek dan
tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan massase yang lebih
keras dan pemberian oxytocin.
Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi
uterus dan memudahkan tindakan selanjutnya.
Lakukan
kompres
bimanual
apabila
perdarahan
masih
berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan tangan
yang satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan ditekankan pada
fornix anterior.
Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah
pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan
perdarahan, pilihan berikutnya adalah ergotamine.

Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah
kompresi
pemberian
bimanual
ataupun
uterotonica
massase
lakukan
dihentikan,
eksplorasi.
bersamaan
Beberapa
ahli
menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit
dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam syok.
Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan eksplorasi.
35
Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang
tanpa menghentikan pemberian uterotonica.
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi
dan manual removal.
Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak
baik bisa dipertimbangkan untuk dilakukan laparatomi.
Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna
untuk menghentikan perdarahan selama persiapan operasi

Trauma jalan lahir
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila
uterus sudah berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus
berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari perlukaan
jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi
penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan
dimulai diatas puncak luka dan berakhir dibawah dasar luka.
Lakukan evaluasi perdarahan setelah penjahitan selesai.
Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila
terjadi
laserasi
pembuluh
darah
dibawah
mukosa,
penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase. Apabila
hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya
arteri, cari dan lakukan ligasi untuk menghentikan perdarahan.

Gangguan pembekuan darah
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture
uteri, sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus
yang baik mak kecurigaan penyebab perdarahan adalah gangguan
pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian product darah
pengganti ( trombosit,fibrinogen).

Terapi pembedahan
36
o Laparatomi
Pemilihan
jenis
irisan
vertical
ataupun
horizontal
(Pfannenstiel) adalah tergantung operator. Begitu masuk
bersihkan darah bebas untuk memudahkan mengeksplorasiuterus
dan jaringan sekitarnya untuk mencari tempat rupture uteri
ataupun hematom. Reparasi tergantung tebal tipisnya rupture.
Pastikan reparasi benar- benar menghentikan perdarahan dan
tidak ada perdarahan dalam karena hanya akan menyebabkan
perdarahan keluar lewat vagina. Pemasangan drainase apabila
perlu. Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intact dan
tidak ada perlukaan ataupun rupture lakukan kompresi bimanual
disertai pemberian uterotonica.
o Ligasi arteri

Ligasi uteri uterine
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan
yang berasal dari uterus karena uteri ini mensuplai 90%
darah yang mengalir ke uterus. Tidak ada gangguan aliran
menstruasi dan kesuburan.

Ligasi arteri ovarii
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang
diberikan

Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yany bersumber dari semua
traktus genetalia dengan mengurangi tekanan darah dan
circulasi darah sekitar pelvis. Apabila tidak berhasil
menghentikan
perdarahan,
histerektomi.
o Histerektomi
37
pilihan
berikutnya
adalah
Merupakan
tindakan
curative
dalam
menghentikan
perdarahan yang berasal dari uterus. Total histerektomi dianggap
lebih baik dalam kasus ini walaupun subtotal histerektomi lebih
mudah dilakukan, hal ini disebabkan subtotal histerektomi tidak
begitu efektif menghentikan perdarahan apabila berasal dari
segmen bawah rahim, servix, fornix vagina.
Referensi pemberian uterotonica : (8)
1. Pitocin
a. Onset dalam 3 sampai 5 menit
b. Intramuskular : 10-20 unit
c. Intravena : 40 unit/liter dalam 250 ml/jam
2. Ergotamine (Methergine)
a. Dosis : 0.2-0.4 mg IM atau O setiap 6-8 jam
b. Onset dalam 2 sampai 5 menit
c. Kontraindikasi

Hipertensi

Hipersensitivitas
3. Prostaglandin (Hemabate)
a. Dosis : 0.25 mg Intra muskular or intra myometrium
b. Onset < 5 menit
c. Diberikan setiap 15 menit maksimal 1 mg total
4. Misoprostol 600 mcg PO atau PR
38
Gambar 2. Skema penatalaksanaan perdarahan post partum
39
10. Komplikasi
Perdarahan post partum yang tidak ditangani dapat menyebabkan beberapa
komplikasi maternal, di antaranya :
1. Syok
Syok adalah suatu sindroma akut yang timbul karena disfungsi
kardiovaskular dan ketidakmampuan sistem sirkulasi memberi oksigen
dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan metabolisme organ vital. Syok
menyebabkan
perfusi
jaringan
tidak
adekuat/hipoksia
selular,
metabolisme selular abnormal, dan kerusakan homeostatis mikrosirkulasi.
Syok hipovolemik disebut juga dengan syok preload yang ditandai
dengan menurunnya volume intravaskular oleh karena perdarahan. Syok
hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain.
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika
miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat
berkurang. Syok hemoragik secara khusus merupakan hilangnya darah
secara akut dalam jumlah yang signifikan sehingga volume sirkulasi
menjadi tidak adekuat. Kondisi hipoperfusi pada syok hemoragik akan
menginduksi
ketidakseimbangan
antara
jumlah
pengiriman
dan
kebutuhan oksigen atau substrat yang dibutuhkan sehingga memicu
terjadinya disfungsi selular (Vincent et al, 2013).
2. Sheehan Syndrome
Sindrom Sheehan, atau yang dikenal dengan Sindroma Simmond,
adalah keadaan penurunan fungsi dari kelenjar hipofisis akibat dari
nekrosis iskemik setelah perdarahan selama dan setelah proses
melahirkan. Gejala paling umum dari sindrom Sheehan's adalah
agalaktore (ketiadaan laktasi) dan/atau kesulitan pada saat laktasi. Banyak
perempuan juga melaporkan adanya amenore atau oligomenore setelah
melahirkan. Pada beberapa kasus, wanita dengan sindrom Sheehan
40
mungkin saja tak bergejala, dan diagnosis tidak ditetapkan hingga
beberapa
tahun,
dengan
adanya
defisiensi
hipofisis.
Defisiensi
gonadotropin akan sering menyebabkan amenore, oligomenore, hot
flushes, atau penurunan libido (Shivaprasad, 2011).
3. Sepsis puerpualis
Setelah persalinan, sepsis puerpuralis akan lebih terlokalisasi di
perinium, vagina, serviks, dan uterus. Infeksi pada uterus dapat menyebar
dengan cepat sehingga menyebabkan infeksi pada tuba fallopi atau
ovarium, parametritis, peritonitis, dan menyebar ke pembuluh limfe, yang
kemudian akan menyebabkan septikemia jika masuk ke aliran darah. Ini
kemudian semakin diperumit dengan adanya syok septik dan koagulasi
intravaskuler diseminata yang dapat menimbulkan masalah pendarahan.
Sepsis puerpuralis dengan cepat akan berakibat fatal.
4. Kematian maternal
Penyebab langsung kematian ibu terkait kehamilan dan persalinan
terutama adalah perdarahan (30.3%). Penyebab lain yaitu hipertensi pada
kehamilan (27.1%), infeksi (7.3%), partus lama (1.8%) dan abortus
(1.6%) (Pusdatin Kemenkes RI, 2014). Perdarahan banyak atau
berlebihan terjadi sekitar 5-15% pada wanita postpartum. Sebuah buletin
di American College of Obstetricians and Gynecologist mengestimasikan
bahwa ada 140.000 kematian maternal tiap tahun atau 1 wanita tiap 4
menit. WHO (2012) melaporkan 25% kematian maternal diakibatkan oleh
perdarahan postpartum dan diperhitungkan ada 100.000 kematian
maternal setiap tahunnya.
11. Prognosis
Umumnya, prognosis pada PPH yaitu dubia ad bonam, tergantung dari
jumlah perdarahan dan ketepatan dalam penatalaksanaannya. Penanganan
PPH yang terpenting adalah menghentikan perdarahan sesuai dengan
41
etiologinya dan mengganti jumlah darah yang hilang. Jika terlambat
ditangani, prognosis akan buruk dan dapat menyebabkan kematian maternal.
b. Retensio Plasenta
1. Definisi
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang
belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta
(rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim
yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early postpartum
hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (late postpartum
hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan.
Menurut Sarwono Prawirohardjo, retensio plasenta adalah tertahannya atau
belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi
lahir (Martohusodo, 2005).
2. Epidemiologi
Di
Inggris,
disebabkan
separuh kematian
ibu
hamil
akibat
perdarahan
oleh proses pasca persalinan. Frekuensi perdarahan pasca
persalinan 4/5-15% dari seluruh persalinan. Berdasarkan penyebabnya,
perdarahan pasca persalinan berturut-turut dari yang paling banyak
disebabkan oleh atonia uteri (50-60%), sisa plasenta (23-24%), retensio
plasenta (16-17%), laserasi jalan lahir (4-5%) dan kelainan darah (0,30,8%). Di Indonesia perdarahan merupakan penyebab pertama kematian ibu
melahirkan (40-60%). Insiden perdarahan pasca persalinan akibat retensio
plasenta dilaporkan berkisar 16-17% (Cunningham, 2009).
3. Jenis-jenis Retensi Plasenta
a. Plasenta Adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta
sehingga
menyebabkan
fisiologis.
42
kegagalan
mekanisme
separasi
b. Plasenta Akreta adalah implantasi jonjot korion plasetita hingga
memasuki sebagian lapisan miornetrium.
c. Plasenta Inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai / memasuki miornetrium.
d. Plasenta Perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e. Plasenta Inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri
disebabkan oleh kontriksi osteuni uteri.
4. Etiologi
a. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
Apabila plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan.
Jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus dapat karena:
1) Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesive)
2) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis
menembus
desidua
sampai
miometrium
–
sampai
dibawah
peritoneum (plasenta akreta – perkreta).
b. Plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian
bawah uterus yang mengahalangi keluarnya plasenta (inkarserasio
plasenta) (Cunningham, 2009).
5. Diagnosis
Diagnosis retensi plasenta dibuat apabila plasenta yang tidak lepas
secara spontan setelah setengah jam bayi lahir atau timbul perdarahan
aktif setelah bayi dilahirkan. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak
43
ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap
menempel di dalam uterus (Saifuddin, 2009).
6. Diagnosis Banding
Plasenta akreta, yaitu suatu plasenta abnormal dimana vili khorialis tumbuh
menembus miometrium sampai ke serosa (Cunningham, 2009).
7. Terapi
Retensio plasenta tanpa perdarahan masih dapat menunggu. Sementara
itu kandung kemih dikosongkan, masase uterus dan suntikan oksitosin (i.v.
atau i.m. atau melalui infus). Apabila plasenta belum lahir setengah jam
setelah anak lahir, harus diusahakan untuk mengeluarkannya. Dapat dicoba
dulu perasat menurut Crede. Tetapi tindakan ini tidak dianjurkan karena
menyebabkan terjadinya inversio uteri. Tekanan yang keras pada uterus dapat
pula menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri yang hebat dan
kemungkinan dapat terjadi syok. Akan tetapi dengan tekhnik yang
sempurna hal-hal itu dapat dihindarkan. Cara yang lain adalah cara Brandt
(Martohusodo, 2005).
Gambar 1. Brandt-AndrewsManeuver
44
Dengan salah satu tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva.
Tangan yang lain diletakkan di atas simfisis sehingga permukaan
palmar
jari-jari
tangan terletak di permukaan depan rahim, kira-kira
perbatasan segmen bawah dan badan rahim. Denagan melakukan tekanan ke
arah atas belakang, maka badan rahim akan terangkat. Apabila plasenta
telah terlepas maka tali pusat tidak tertarik kearah atas. Kemudian tekanan
di atas simfisis diarahkan ke bawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini
dilakukan tarikan ringan untuk membantu mengeluarkan plasenta.
Yang selalu tidak dapat dicegah ialah bahwa plasenta tidak dapat
dilahirkan seluruhnya, ada bagian yang masih tertinggal
yang harus
dikeluarkan dengan cara plasenta manual. Cara ini dianggap paling baik
(Martohusodo, 2005).
Penatalaksanaan manual plasenta:
a. Kaji ulang indikasi, prinsip dasar perawatan dan pasang infus.
b. Kosongkan kandung kemih atau lakukan kateterisasi
c. Berikan sedatif dan analgetika atau ketamin
d. Beri
antibiotik
dosis
tunggal
(profilaksis):
ampisilin
2
g
IV
ditambah metronidazol 500 mg IV
e. Pasang sarung tangan DTT
f. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian menegangkan sejajar lantai.
g. Secara obstetrik memasukkan tangan dengan menelusuri bagian
bawah tali pusat.
h. Setelah tangan mencapai serviks minta asisten untuk memegang
kocher kemudian tangan yang lainnya menahan fundus uteri, sekaligus
mencegah inversio uteri.
i. Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam ke kavum uteri
hingga mencapai tempat implantasi plasenta.
j. Buka tangan obstetrik menjadi seperti memberi salam, jari-jari dirapatkan.
45
k. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah.
l. Gerakkan tangan ke kiri dan ke kanan sambil menggeser ke kranial
sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.
m. Sementara satu tangan masih didalam kavum uteri, lakukan eksplorasi
ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat
pada dinding uterus.
n. Pindahkan tangan luar ke supra simpisis untuk menahan uterus pada
saat plasenta dikeluarkan.
o. Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat
sambil tangan dalam menarik plasenta keluar.
p. Lakukan sedikit dorongan ke arah dorsocranial setelah plasenta lahir.
q. Beri oksitosin 10 IU dalam 500 cc cairan IV 60 tetes/menit dan masase
uterus untuk merangsang kontraksi.
r. Periksa apakah plasenta lengkap atau tidak. Jika tidak lengkap,
lakukan eksplorasi ke dalam kavum uteri.
s. Periksa dan perbaiki robekan serviks, vagina atau episiotomi.
Plasenta manual harus segera dilakukan jika:

Perdarahan kala-III lebih dari 200 ml

Penderita dalam narkosa

Riwayat PPH habitualis

Plasenta akreta, inkreta dan perkreta ditolong dengan histerektomi.

Sisa plasenta dikeluarkan dengan kerokan.

Penderita diberikan uterotonika, analgetika, roboransia dan antibiotika
Pada pelepasan plasenta akreta, pelepasan plasenta lebih banyak
mengalami kesulitan. Pada plasenta akreta, plasenta hanya dapat
dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perforasi dan perdarahan
mengancam. Apabila ditemui kesulitan- kesulitan seperti diatas, plasenta
46
inkreta dapat dibuat dan plasenta manual dihentikan, lalu dilakukan
histerektomi (Martohusodo, 2005).
Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk
dilahirkan karena lingkaran kontriksi (inkarserasio plasenta) tangan kiri
penolong dimasukkan ke dalam vagina dan ke bagian bawah uterus dengan
dibantu oleh anastesia umum untuk melonggarkan kontriksi. Dengan tangan
tersebut sebagai petunjuk dimasukkan cunam ovum melalui lingkaran
kontriksi untuk memegang plasenta dan perlahan–lahan plasenta sedikit
demi sedikit ditarik kebawah melalui tempat sempit tersebut (Martohusodo,
2005).
8. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan menajemen aktif kala III, yaitu:
a. Memberikan oksitosin
b. Klem dan potong tali pusat
c. Traksi terkendali tali pusat
c. Anemia
1. Definisi
Anemia adalah keadaan yang ditandai dengan berkurangnya
hemoglobin dalam tubuh. Hemoglobin adalah suatu metaloprotein yaitu
protein yang mengandung zat besi di dalam sel darah merah yang berfungsi
sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh (Fitriany dan
Saputri, 2018).
Anemia defisiensi besi terjadi ketika defisiensi besi yang terjadi cukup
berat sehingga menyebabkan eritropoesis terganggu dan menyebabkan
terbentuknya anemia. Keadaan ini akan menyebabkan kelemahan sehingga
menjadi halangan untuk beraktivitas. Kehilangan darah akibat perdarahan
merupakan penyebab penting terjadinya ADB. Kehilangan darah akan
47
mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan
mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2
mg) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi (Fitriany dan Saputri,
2018).
2. Penegakan diagnosis
Untuk mendiagnosis anemia, perlu ditanyakan tentang riwayat medis
dan keluarga, melakukan pemeriksaan fisik, dan menjalankan tes berikut:
-
Hitung darah lengkap (CBC). CBC digunakan untuk menghitung
jumlah sel darah dalam sampel darah Anda. Untuk anemia, perlu
diketahui kadar sel darah merah yang terkandung dalam darah
(hematokrit) dan hemoglobin dalam darah Anda.
Nilai tujuk Hb:
-
Normal
:
11 gr%
Anemia ringan
:
9-10 gr%
Anemia sedang
:
7-8 gr%
Anemia berat
:
<7 gr%.
Nilai hematokrit dewasa normal bervariasi dari satu praktik medis ke
praktik medis lainnya, tetapi umumnya antara 40 dan 52 persen untuk
pria dan 35 dan 47 persen untuk wanita. Nilai hemoglobin dewasa
normal umumnya 14 hingga 18 gram per desiliter untuk pria dan 12
hingga 16 gram per desiliter untuk wanita.
-
Tes untuk menentukan ukuran dan bentuk sel darah merah Anda.
Beberapa sel darah merah Anda mungkin juga diperiksa ukuran,
bentuk, dan warnanya.
48
3. Tatalaksana
Anemia postpartum paling baik ditangani dengan suplemen zat besi.
Audit menunjukkan bahwa zat besi kurang dimanfaatkan dan transfusi darah
diberikan secara tidak tepat pada periode postpartum. Transfusi darah harus
disediakan bagi mereka yang berisiko perdarahan lebih lanjut, gangguan
jantung yang akan segera terjadi, atau gejala yang memerlukan perhatian
segera. Kami memberikan 100 mg zat besi selama 3 bulan untuk wanita
dengan Hb 10 mg / dL pada periode postpartum. Jika lebih koreksi yang
cepat dari Hb diperlukan, IV besi carboxymaltose atau besi isomaltoside
dapat digunakan. Kebutuhan tromboprofilaksis juga harus dipertimbangkan,
setelah perdarahan terkontrol dan hemostasis aman. Setelah PPH, wanita
berisiko
trombosis
vena,
akibat
pembedahan,
trauma,
pemulihan
berkepanjangan, imobilitas dan rawat inap, produk hemostatik (terutama
rFVIIa dan konsentrat fibrinogen), dan DIC yang mendasarinya (Pavord dan
Maybury, 2015).
Transfusi packed red blood cells (PRCs) harus disediakan untuk
pasien yang mengalami perdarahan aktif dan untuk pasien dengan anemia
berat dan simptomatik. Transfusi bersifat paliatif dan tidak boleh digunakan
sebagai pengganti terapi spesifik. Pada penyakit kronis yang berhubungan
dengan anemia kelainan kronis, erythropoietin dapat membantu dalam
mencegah atau mengurangi transfusi sel darah merah yang dikemas
(Maakaron, Taher, dan Conrad, 2018).
d. Hipokalemia
1. Definisi
Hipokalemia merupakan suatu keadaan dimana kadar kalium dalam darah
dibawah dibawah 3.5 mEq/L yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah
kalium total di tubuh atau adanya gangguan perpindahan ion kalium ke sel49
sel. Penyebab yang umum adalah karena kehilangan kalium yang berlebihan
dari ginjal atau jalur gastrointestinal.
2. Etiologi
Penyebab Hipokalemia diantaranya ialah:
1. Deplesi kalium
Hipokalemia juga bisa merupakan manifestasi dari deplesi cadangan
kalium tubuh. Dalam keadaan normal, kalium total tubuh diperkirakan 50
mEq/kgBB dan kalium plasma 3,5--5 mEq/L. Asupan K+ yang sangat
kurang dalam diet menghasilkan deplesi cadangan kalium tubuh.
Walaupun ginjal memberi tanggapan yang sesuai dengan mengurangi
ekskresi K+ , melalui mekanisme regulasi ini hanya cukup untuk
mencegah terjadinya deplesi kalium berat. Pada umumnya, jika asupan
kalium yang berkurang, derajat deplesi kalium bersifat moderat.
Berkurangnya asupan sampai <10 mEq/hari menghasilkan defisit
kumulatif sebesar 250 s.d. 300 mEq (kira-kira 7-8% kalium total tubuh)
dalam 7 —10 hari4 . Setelah periode tersebut, kehilangan lebih lanjut dari
ginjal minimal. Orang dewasa muda bisa mengkonsumsi sampai 85 mmol
kalium per hari, sedangkan lansia yang tinggal sendirian atau lemah
mungkin tidak mendapat cukup kalium dalam diet mereka.
2. Disfungsi Ginjal
Ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena suatu kondisi yang disebut
Asidosis Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akan mengeluarkan terlalu banyak
kalium. Obat yang menyebabkan RTA termasuk Cisplatin dan
Amfoterisin B.
3. Kehilangan K+ Melalui Jalur Ekstra-renal
Kehilangan melalui feses (diare) dan keringat bisa terjadi bermakna.
Pencahar dapat menyebabkan kehilangan kalium berlebihan dari tinja. Ini
50
perlu dicurigai pada pasien-pasien yang ingin menurunkan berat badan.
Beberapa keadaan lain yang bisa mengakibatkan deplesi kalium adalah
drainase lambung (suction), muntah-muntah, fistula, dan transfusi
eritrosit.
4. Kehilangan K+ Melalui Ginjal
Diuretik boros kalium dan aldosteron merupakan dua faktor yang bisa
menguras cadangan kalium tubuh. Tiazid dan furosemid adalah dua
diuretik yang terbanyak dilaporkan menyebabkan hipokalemia.
5. Endokrin atau Hormonal
Aldosteron adalah hormon yang mengatur kadar potasium. Penyakit
tertentu dari sistem endokrin, seperti aldosteronisme, atau sindrom
Cushing, dapat menyebabkan kehilangan kalium.
3. Patofisiologi Keseimbangan Elektrolit
Perpindahan Trans Selular Hipokalemia bisa terjadi tanpa perubahan
cadangan kalium sel. Ini disebabkan faktor-faktor yang merangsang
berpindahnya kalium dari intravaskular ke intraseluler, antara lain beban
glukosa, insulin, obat adrenergik, bikarbonat, dsb. Insulin dan obat
katekolamin simpatomimetik diketahui merangsang influks kalium ke dalam
sel otot. Sedangkan aldosteron merangsang pompa Na+ /K+ ATP ase yang
berfungsi sebagai antiport di tubulus ginjal. Efek perangsangan ini adalah
retensi natrium dan sekresi kalium.
Pasien asma yang dinebulisasi dengan albuterol akan mengalami
penurunan kadar K serum sebesar 0,2—0,4 mmol/L2,3, sedangkan dosis
kedua yang diberikan dalam waktu satu jam akan mengurangi sampai 1
mmol/L3 . Ritodrin dan terbutalin, yakni obat penghambat kontraksi uterus
bisa menurunkan kalium serum sampai serendah 2,5 mmol per liter setelah
pemberian intravena selama 6 jam.
51
Teofilin dan kafein bukan merupakan obat simpatomimetik, tetapi bisa
merangsang pelepasan amina simpatomimetik serta meningkatkan aktivitas
Na+ /K+ ATP ase. Hipokalemia berat hampir selalu merupakan gambaran
khas dari keracunan akut teofilin. Kafein dalam beberapa cangkir kopi bisa
menurunkan kalium serum sebesar 0,4 mmol/L. Karena insulin mendorong
kalium ke dalam sel, pemberian hormon ini selalu menyebabkan penurunan
sementara dari kalium serum. Namun, ini jarang merupakan masalah klinik,
kecuali pada kasus overdosis insulin atau selama penatalaksanaan ketoasidosis
diabetes.
4. Derajat Hipokalemia
Hipokalemia moderat didefinisikan sebagai kadar serum antara 2,5--3
mEq/L, sedangkan hipokalemia berat didefinisikan sebagai kadar serum < 2,5
mEq/L. Hipokalemia yang < 2 mEq/L biasanya sudah disertai kelainan
jantung dan mengancam jiwa.
5. Gejala Klinis Hipokalemia
a. CNS dan neuromuskular
Lelah, tidak enak badan, reflek tendon dalam menghilang.
b. Pernapasan
Otot-otot pernapasan lemah, napas dangkal
c. Saluran cerna
Menurunnya motilitas usus besar, anoreksia, mual muntah.
d. Kardiovaskuler
Hipotensi postural, disritmia, perubahan pada EKG.
e. Ginjal
Poliuria,nokturia.
52
6. Penatalaksanaan
Untuk bisa memperkirakan jumlah kalium pengganti yang bisa diberikan,
perlu disingkirkan dulu faktor-faktor selain deplesi kalium yang bisa
menyebabkan hipokalemia, misalnya insulin dan obat-obatan. Status
asam-basa mempengaruhi kadar kalium serum.
a. Jumlah Kalium
Walaupun perhitungan jumlah kalium yang dibutuhkan untuk
mengganti kehilangan tidak rumit, tidak ada rumus baku untuk
menghitung jumlah kalium yang dibutuhkan pasien. Namun, 40—100
mmol K+ suplemen biasa diberikan pada hipokalemia moderat dan
berat.
Pada hipokalemia ringan (kalium 3—3,5 mEq/L) diberikan KCl oral
20 mmol per hari dan pasien dianjurkan banyak makan makanan yang
mengandung kalium. KCL oral kurang ditoleransi pasien karena iritasi
lambung. Makanan yang mengandung kalium cukup banyak dan
menyediakan 60 mmol kalium.
b. Kecepatan Pemberian Kalium
Intravena Kecepatan pemberian tidak boleh dikacaukan dengan dosis.
Jika kadar serum > 2 mEq/L, maka kecepatan lazim pemberian kalium
adalah 10 mEq/jam dan maksimal 20 mEq/jam untuk mencegah
terjadinya hiperkalemia. Pada anak, 0,5— 1 mEq/kg/dosis dalam 1
jam. Dosis tidak boleh melebihi dosis maksimum dewasa.
Pada kadar < 2 mEq/L, bisa diberikan kecepatan 40 mEq/jam melalui
vena sentral dan monitoring ketat di ICU. Untuk koreksi cepat ini, KCl
tidak boleh dilarutkan dalam larutan dekstrosa karena justru
mencetuskan hipokalemia lebih berat.
c. Koreksi Hipokalemia Perioperatif
53
 KCL biasa digunakan untuk menggantikan defisiensi K+ , karena
juga biasa disertai defisiensi Cl-.
 Jika penyebabnya diare kronik, KHCO3 atau kalium sitrat mungkin
lebih sesuai.
 Terapi oral dengan garam kalium sesuai jika ada waktu untuk
koreksi dan tidak ada gejala klinik.
 Penggantian 40—60 mmol K+ menghasilkan kenaikan 1—1,5
mmol/L dalam K + serum, tetapi ini sifatnya sementara karena K+
akan berpindah kembali ke dalam sel. Pemantauan teratur dari K+
serum diperlukan untuk memastikan bahwa defisit terkoreksi.
d. Kalium iv
 KCl sebaiknya diberikan iv jika pasien tidak bisa makan dan
mengalami hipokalemia berat.
 Secara umum, jangan tambahkan KCl ke dalam botol infus. Gunakan
sediaan siap-pakai dari pabrik. Pada koreksi hipokalemia berat (< 2
mmol/L), sebaiknya gunakan NaCl, bukan dekstrosa. Pemberian
dekstrosa bisa menyebabkan penurunan sementara K+ serum sebesar
0,2—1,4 mmol/L karena stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa.
 Infus yang mengandung KCl 0,3% dan NaCl 0,9% menyediakan 40
mmol K + /L. Ini harus menjadi standar dalam cairan pengganti K+ .
 Volume besar dari normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban
cairan. Jika ada aritmia jantung, dibutuhkan larutan K+ yang lebih
pekat diberikan melalui vena sentral dengan pemantauan EKG.
Pemantauan teratur sangat penting. Pikirkan masak-masak sebelum
memberikan > 20 mmol K+ /jam.
 Konsentrasi K+ > 60 mmol/L sebaiknya dihindari melalui vena
perifer, karena cenderung menyebabkan nyeri dan sklerosis vena.
54
e. Diet Kalium
Diet yang mengandung cukup kalium pada orang dewasa rata-rata 50100 mEq/hari (contoh makanan yang tinggi kalium termasuk kismis,
pisang, aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, dan kentang).
55
BAB IV
ANALISIS KASUS
A. Analisis Diagnosis
Seorang P4A0, 33 tahun, datang rujukan dari RSIA Dian Pertiwi,
dengan status P3A1, post SCTP 10 hari SMRS dengan perdarahan per
vaginam. Pasien memiliki riwayat pengobatan pada 01 Maret 2019 di RSIA
Dian Pertiwi dengan diagnosis KPD+serotinus dilakukan SC + insersi IUD.
Setelah 3 hari dirawat, pasien pulang dan kontrol ke poli dengan luka kering.
Selanjutnnya pada 10 Maret 2019, pasien datang ke IGD dengan keluhan
perdarahan per vaginam mulai jam 12.00 dan perdarahan 3 underpad (+1500
ml). Dari pemeriksaan lab darah ditemukan Hb 8 gr/dL, dan kemudian
diberikan terapi IVFD RL + drip metergin IA 30 tpm, transfusi PRC 2 kolf
(kolf I: 19.30, kolf II: 23.30), Inj. Cefotaxim (17.00), dan Cyrotec 600 mcg/
rectal (17.00). Saat datang ke RS Dr. Moewardi, pasien mengeluh pusing dan
lemas. Riwayat penyakit seperti darah tinggi, diabetes melitus, penyakit
jantung asma dan alergi disangkal oleh pasien.
Perdarahan Postpartum (PPH)
atau perdarahan pasca-salin yaitu
kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan
pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea.
Perdarahan pasca-salin dapat bersifat minor (500-1000 ml) atau pun mayor
(>1000 ml). Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi sedang (1000-2000 ml)
atau berat (>2000 ml). Pada kasus di atas pasien mengalami perdarahan +
1500 ml, dapat digolongkan dalam perdarahan mayor sedang.
Data pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien didapatkan pasien
tampak pucat, kedua konjungtiva anemis, nyeri tekan abdomen, TFU setinggi
pusat, kontraksi uterus (+) hipotoni, dan keluar darah dari jalan lahir. Pada
pemeriksaan laboratorium darah dengan Hb 7,9 g/dl sehingga pasien bisa
56
dipastikan mengalami anemia, dan kadar kalium darah pasien 2,9 mEq /L.
Anemia adalah keadaan yang ditandai dengan berkurangnya
hemoglobin dalam tubuh. Hemoglobin adalah suatu metaloprotein yaitu
protein yang mengandung zat besi di dalam sel darah merah yang berfungsi
sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh (Fitriany dan
Saputri, 2018). Nilai rujukan hemoglobin normal, yaitu >11 gr%. Pada pasien
didapatkan Hb 7,9 g/dL sehingga dapat dimasukkan dalam anemia.
Hipokalemia merupakan suatu keadaan dimana kadar kalium dalam
darah dibawah dibawah 3.5 mEq/L yang disebabkan oleh berkurangnya
jumlah kalium total di tubuh atau adanya gangguan perpindahan ion kalium
ke sel-sel. Penyebab yang umum adalah karena kehilangan kalium yang
berlebihan dari ginjal atau jalur gastrointestinal. Hipokalemia moderat
didefinisikan sebagai kadar serum antara 2,5-3 mEq/L. Pada pasien
didapatkan kalium darah 2,9 mEq /L sehingga dapat dimasukkan dalam
hipokalemia moderat.
B. Analisis Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk kasus ini yaitu pasien dengan diagnosis
perdarahan post pasrtus (SC) lambat ec retensio sisa plasenta pada multipara+
anemia (7,9)+ hipokalemia (2,9), yaitu sebelum dirujuk RSUD Dr. Moewardi
pasien telah diberikan IVFD RL + drip metergin IA 30 tpm, transfusi darah
(PRC 2 kolf), Inj. Cefotaxim, Cyrotec 600 mcg/ rectal. Setelah dilakukan
penegakan diagnosis di RSUD Dr. Moewardi pasien ditatalaksana dengan pro
kuretase emergency, perbaikan keadaan umum dengan tranfusi PRC 4 kolf,
KSR 3x1.
Pasien dengan hemorrage postpartum memerlukan penggantian cairan
dan pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ–organ penting. Pantau
terus perdarahan, kesadaran dan tanda-tanda vital pasien.
57
Pastikan dua kateter intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan
pemberian cairan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan
resusitasi cairan cepat.

Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate

Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell

Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine
(dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1
jam 30 cc atau lebih)
Penatalaksanaan sisa plasenta dilakukan apabila kontraksi
uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual ataupun
massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica lakukan eksplorasi.
Beberapa ahli menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini
sulit dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam syok.
Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan eksplorasi.
Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa
menghentikan pemberian uterotonica. Pemberian antibiotic spectrum luas
setelah tindakan ekslorasi dan manual removal.
Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak
baik bisa dipertimbangkan untuk dilakukan kuretase dan laparatomi.
Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna untuk
menghentikan perdarahan selama persiapan operasi.
Pada pasien di atas telah dilakukan resusitasi cairan berupa kristaloid dan
transfuse darah. Untuk penanganan dari sisa plasenta yang tertinggal
sudah direncanakan kuretase emergency setelah menstabilkan keadaan
umum pasien.
Walaupun perhitungan jumlah kalium yang dibutuhkan untuk
mengganti kehilangan tidak rumit, tidak ada rumus baku untuk
menghitung jumlah kalium yang dibutuhkan pasien. Namun, 40—100
58
mmol K+ suplemen biasa diberikan pada hipokalemia moderat dan berat.
Pada hypokalemia yang dialami pasien telah diberikan KSR 3x1 yang
berisi Kalium Klorida untuk menangani hipokalemia moderat.
59
BAB V
KESIMPULAN
Perdarahan pascasalin merupakan salah satu penyebab penting tingginya
angka morbiditas dan mortalitas ibu. Hemoragic postpartum adalah perdarahan
lebih dari 500cc yang terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1000
ml setelah persalinan abdominal. Adapun
penyebab
terjadinya
perdarahan
postpartum antara lain adalah atonia uteri, luka jalan lahir, retensio plasenta, dan
gangguan pembekuan darah.
Perdarahan postpartum ini dapat diklasifikasikan secara klinis yaitu
perdarahan post partum primer dan perdarahan post partum sekunder. Untuk
tindakan pencegahannya tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah
dimulai sejak wanita hamil dengan antenatal care yang baik. Pengawasan
antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya berbagai kelainan secara
dini, sehingga dapat diperhitungkan dan dipersiapkan langkah-langkah dalam
pertolongan persalinannya.
Perdarahan dapat terjadi secara massif dan cepat, atau secara perlahan –
lahan tapi secara terus menerus. Perdarahan hanyalah gejala sehingga harus
dicari tahu penyebabnya untuk memberikan pertolongan sesuai dengan
penyebabnya.
Oleh karena itu para tenaga kesehatan diharapkan dapat mengetahui hal-hal
apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan serta cara-cara
penanganannya. Diharapkan dengan adanya deteksi dini, ketepatan diagnosis
serta kecepatan dalam penanganan perdarahan pascasalin, angka kematian ibu
akibat perdarahan dapat diturunkan.
60
DAFTAR PUSTAKA
Anjali R. Kadasne, Hisham M Mirghani. 2011. The role of ultrasound in lifethreatening situations in pregnancy. Journal of Emergencies, Trauma, and
Shock.
Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional,
Kementerian Kesehatan, MEASURE DHS ICF International. Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012.
Chandraharan E, Arulkumaran S. Management Algorith for Atonic Postpartum
Haemmorrhage. JPOG May/Jun 2005; 31(3): 106-12
Cohn JN, Kowey PR, Whelton PK, Prisant LM. New Guidelines for potassium
Replacement in Clinical Practice. Arch Intern Med 2000;160:2429-2436.
Cunningham, Gary, Norman F.Grant MD, Kenneth J,., Md Leveno, Larry C.,Iii, Md
Gilstrap, John C., et al. 2009. Williams Obstretics 21 st Ed. by McGraw-Hill
Profesional
Curren Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment, Ninth edition : Alan Gabbe
: Obstretics – Normal and Problem Pregnancies,4th ed.,Copyright © 2002
Churchil Livingstone, Inc
Daryadi.
Hiperkalemia
dan
Hipokalemia.
Available
at:
http://nsyadi.blogspot.com/2011/12/hiperkalemia-dan-hipokalemia.html
Gynecologists RCoOa. RCOG Green-top Guideline. Prevention and Management of
Postpartum Haemorrhage; 2011.
Halperin ML, Goldstein MB. Fluid Electrolyte and Acid-Base Physiology. A
problem-based approach. WB Saunders Co. 2nd ed., p 358
61
Ilmu Kebidanan, editor Prof.dr. Hanifa Wiknjosastro, SpOg, edisi Ketiga cetakan
Kelima, Yayaan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1999
Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke tiga Jilid Pertama , Editor Arif Mansjoer ,
Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri , Wahyu Ika Wardani , Wiwiek Setiowulan.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pusat Data dan Informasi. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI.
Maakaron, JE, Taher, AT, Conrad, ME. 2018. Anemia Clinical Presentation. Update
tanggal 8 Oktober 2018, diakses tanggal: 27 Maret 2019 (Dapat diakses pada
https://emedicine.medscape.com/article/198475-clinical)
Martohusodo, S, Abdullah, M.N. (2005) Gangguan Dalam Kala III Persalinan.
Dalam: Winkjosastro, H (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP-SP.
Megasari, Miratu. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Perdarahan Pasca Persalinan di RSUD Arifin Achmad Propinsi Riau Tahun
2009-2010. Jurnal Kesehatan Komunitas, Vol. 2, No. 2.
Network SMaNC. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline. Primary
postpartum haemorrhage. Queensland: Queensland Government; 2012.
Pavord, S, Maybury, H. 2015. How I treat postpartum hemorrhage. The American
Society of Hematology DOI 10.1182/blood-2014-10-512608.
Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta:
PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Price & Wilson. Gangguan Cairan & Elektrolit. Patofisiologi Vol.1. 6th ed. Jakarta:
EGC; 2006; p. 344.
62
Saifuddin. (2009). Ilmu Kebidanan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Schellenberg J. Primary Postpartum Haemorrhage (PPH) August 13, 2003.
Shivaprasad C. Sheehan’s syndrome: Newer advances. Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism. 2011; (15): 1-5.
Smith,
John
R.
2018.
Postpartum
Hemorrhage.
https://emedicine.medscape.com/article/275038-overview#a9 diakses tanggal
24 Maret 2019.
Sriwaty A. Prevalensi dan Distribusi Gangguan Elektrolit Pada Lanjut Usia.
Available at: http://eprints.undip.ac.id/22684/1/Sriwaty.pdf
Vincent J, De Backer D. Circulatory shock. N Engl J Med. 2013; 369(18):1726-34.
Walfish M, A Neuman, D. Wlody. 2009. Maternal hemorrhage. British Journal of
Anaesthesia.
WHO guidelines for the management of postpartumhaemorrhage and retained
placenta 2009.
WHO recommendations for the prevention of postpartum haemorrhage. Geneva;
2007.
World Health Organization (2012) WHO Recommendations for the Prevention and
Treatment of Postpartum Haemorrhage. World Health Organization, Geneva.
Zwanger M. Hypokalemia. Available at: http://emedicine.com/emerg/topic273.html
63
Download