LAPORAN HASIL TUTORIAL SKENARIO 1 NAMA ANGGOTA KELOMPOK: 1 Ahmad Haviz H1A013004 2 Desak Made Dinda Kartika Utari H1A013014 3 I Nengah Putra Yasa H1A013029 4 Inayah H1A013030 5 Hairu Nurul Mutmainah H1A013026 6 Irwani Mandalika H1A013032 7 Intania Rosati H1A013031 8 Lalu Muhammad Kamal Abdurrosid H1A013034 9 Luh Gede Janny Resistayani H1A013035 10 Muhammad Bagus Syaiful Chairudin H1A013040 11 Neneng Miratunnisa H1A013043 12 Mimin Kurniati H1A013039 13 Nini Azniati H1A013048 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN MUATAN LOKAL KEDOKTERAN KEPULAUAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2018 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan hidayah-Nya laporan tutorial skenario 1 ini dapat kami selesaikan dengan sebagaimana mestinya. Di dalam laporan ini kami memaparkan hasil kegiatan tutorial yang telah kami laksanakan yakni berkaitan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi serta metode pembelajaran berbasis pada masalah yang merupakan salah satu metode dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan hingga terselesaikannya laporan ini. Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam menganalisis semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan skenario serta Learning Objective yang kami cari. Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun sehingga dapat membantu kami untuk dapat lebih baik lagi kedepannya. Mataram, 25 Juni 2018 Penyusun 2 DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................................................... 2 Daftar Isi .......................................................................................................................... 3 I. Pendahuluan 1.1 Keterangan Pelaksanaan Tutorial ......................................................................... 4 1.2 Skenario 1 ............................................................................................................. 5 1.3 Mind Map .............................................................................................................. 6 1.4 Learning Objective ............................................................................................... 7 II. Pembahasan 2.1 Fisiologi Penyelaman ............................................................................................ 8 2.2 Penyakit Akibat Menyelam………………………………………………........... 10 - Kriteria diagnosis DCS 1 dan 2………………………………………………… 17 2.3 Tatalaksana Penyakit Akibat Menyelam ……………………………………… . 21 2.4 Analisis Skenario... ............................................................................................... 26 III. Penutup Kesimpulan ........................................................................................................... 28 IV. Daftar Pustaka .......................................................................................................... 29 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 KETERANGAN PELAKSANAAN TUTORIAL A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tutorial 1 (Step 1-5) Hari, tanggal : Kamis, 21 Juni 2018 Waktu : 08.50 – 10.30 WITA Tempat : Ruang IKM Tutorial 2 (Step 7) Hari, tanggal : Sabtu, 23 Juni 2018 Waktu : 08.00 – 09.40 WITA Tempat : Ruang Diskusi 9 B. Data Kelompok Tutor : dr. Ika Primayanti, Mkes dan dr. Dian Puspita Sari, M.Med.Ed Ketua : Ahmad Haviz (H1A013004) Sekretaris : Inayah (H1A013030) Scribber : L. Muhammad Kamal Abdurrosid (H1A013034) Anggota : Desak Made Dinda Kartika Utari (H1A013014) I Nengah Putra Yasa (H1A013029) Hairu Nurul Mutmainah (H1A013026) Irwani Mandalika (H1A013032) Intania Rosati (H1A013031) Luh Gede Janny Resistayani (H1A013035) Muhammad Bagus Syaiful Chairudin (H1A013040) Neneng Miratunnisa (H1A013043) Mimin Kurniati (H1A013039) Nini Azniati (H1A013048) 4 1.2 SKENARIO 1 Seorang laki-laki berusia 38 tahun dibawa oleh instruktur diver ke suatu klinik swasta dokter praktek umum dengan keluhan kedua tungkai mendadak lemas, diikuti berkurangnya sensasi raba dan rasa sejak 30 menit yang lalu. Selain itu terdapat pula bercakbercak merah kebiruan pada bagian dada dan paha pasien yang muncul tiga jam sebelum datang ke IGD yang awalnya terasa gatal (lihat gambar). Pasien juga mengeluhkan perut bagian bawah terasa nyeri dan pasien belum buang air kecil sejak beberapa jam yang lalu. Pasien merupakan seorang wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Gili Terawangan untuk menyelam. Dua belas jam sebelumnya, pasien melakukan scuba-diving pada kedalaman 55 kaki (16.7 m) selama 60 menit. Penyelaman kedua dilakukan tujuh jam yang lalu pada kedalaman 50 kaki (15.24 m) selama 45 menit. Pasien selesai menjalani briefing untuk penyelam rekreasional dan baru menyelam pertama kali. Bagaimana gejala-gejala tersebut dapat muncul setelah penyelaman? Bagaimana penatalaksanaan awal dan penatalaksanaan lanjut pada kasus di atas? 5 1.3 MIND MAP MENYELAM Fisiologi Menyelam Hukum Boyle Penyakit Akibat Menyelam Arterial Gas Embolism Hukum Henry Decompression Sickness Keracunan Tatalaksana Awal Lanjut Terapi Hiperbarik 6 1.4 Learning Objective 1. Bagaimana fisiologis dari menyelam? 2. Bagaimana patofisiologi dari decompression sickness dengan arterial gas embolism? 3. Bagaimana Criteria Diagnosis DCS tipe 1 dan 2? 4. Bagaimana prinsip tatalaksana awal pada pasien penyakit pasien akibat menyelam? 5. Bagaimana patofisiologi gejala dan tanda yang terjadi pada pasien di skenario? 6. Bagaimana terapi hiperbarik? 7 BAB II PEMBAHASAN 2.1 FISIOLOGI PENYELAMAN Bila manusia turun kedalam laut, tekanan dari sekelilingnya akan meningkat dengan sangat hebat. Untuk menjaga agar paru tidak kolaps udara yang diberikan harus bertekanan sangat tinggi agar paru tetap mengembang. Hal ini menyebabkan darah di dalam paru juga terpajan dengan tekanan gas alveolus yang sangat tinggi, keadaan ini disebut hiperbarik. Efek penting lain dari kedalaman ialah adanya kompresi gas sehingga volumenya semakin mengecil. Gambar 1.Efek kedalaman laut terhadap tekanan dan terhadap volume gas Gambar tersebut memperlihatkan wadah berbentuk lonceng pada ketinggian permukaan laut yang berisi 1 liter udara. Pada kedalaman 33 kaki dibawah permukaan laut, tekanannya menjadi 2 atmosfer, dan volumenya mengecil menjadi hanya setengah liter dan pada tekanan 8 atmosfer (233 kaki), volumenya menjadi seperdelapan liter. Jadi, volume yang diberikan oleh sejumlah gas yang terkompresi berbanding terbalik dengan tekanannya. Prinsip fisika ini disebut Hukum Boyle. Narkosis nitrogen pada tekanan nitrogen tinggi kira-kira empat perlima bagian udara terdiri dari nitrogen. Pada tekanan di permukaan laut, nitrogen tidak memeliki efek 8 yang bermakna terhadap fungsi tubuh, tetapip ada tekanan yang tinggi dapat menimbulkan narcosis dengan derajat yang bervariasi. Narkosis oleh nitrogen mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan keracunan alkohol, oleh sebab itu sering disebut sebagai “keriangan akibat kedalaman.” Mekanisme terjadinya narcosis diduga sama dengan narkosis yang ditimbulkan oleh kebanyakan gas anestesi lainnya. Mekanismenya ialah nitrogen larut dalam substansi lemak di membrane saraf dan karena efek fisik nitrogen dalam merubah aliran ion yang melewati membran, akan menurunkan rangsangan saraf. Keracunan pada oksigen tinggi. Bila PO2 darah meningkat di atas 100 mmHg, maka jumlah oksigen yang larut dalam cairan darah akan meningkat secara nyata. Di permukaan laut (1 ATA) dalam tubuh manusia terdapat kira-kira 1 liter larutan nitrogen. Apabila seorang penyelam turun sampai kedalaman 10 meter (2 ATA) tekanan parsial dari nitrogen yang dihirupnya menjadi 2 kali lipat dan akhirnya yang terlarut dalam jaringan juga menjadi 2 kali lipat (2 liter). Waktu sampai terjadinya keseimbangan tergantung pada daya larut gas di dalam jaringan dan pada kecepatan suplai gas kedalam jaringan oleh darah. Hal tersebut sesuai dengan hukum Henry yang menyatakan bahwa pada suhu tertentu jumlah gas yang terlarut di dalam suatu cairan berbanding lurus dengan tekanan partial dari gas tersebut di atas cairan. Pada kondisi di atas permukaan laut gas nitrogen terdapat dalam udara pernapasan sebesar 79%. Nitrogen tidak mempengaruhi fungsi tubuh karena sangat kecil yang larut dalam plasma darah, sebab rendahnya koefisien kelarutan pada tekanan di atas permukaan laut. Tetapi bagi seorang penyelam Scuba atau pekerja Caisson (pekerja pembangun saluran di bawah air) yang berada pada kondisi udara pernapasan di bawah tekanan tinggi, jumlah nitrogen yang terlarut dalam plasma darah dan cairan interstitial sangat besar. Hal tersebut mengakibatkan pusing atau mabuk, yang disebut dengan gejala nitrogen narcosis. 9 2.2 PENYAKIT AKIBAT PENYELAMAN Beberapa penyakit akibat penyelaman dijelaskan di bawah ini: A. Keracunan Keracunan Oksigen pada Tekanan Tinggi a. Efek PO2 yang Sangat Tinggi Terhadap Pengangkutan Oksigen Darah Bila PO2 darah meningkat di atas 100 mmHg, maka jumlah oksigen yang larut dalam cairan darah akan meningkat secara nyata. Dalam batas-batas PO2 alveolus yang normal (di bawah 120 mmHg), dari seluruh oksigen yang berada dalam darah hampir tidak ada yang berupa oksigen terlarut, tetapi dengan naiknya tekanan oksigen menjadi ribuan milimeter air raksa, sebagian besar dari keseluruhan oksigen kemudian larut dalam cairan darah, selain yang berikatan dengan hemoglobin. b. Efek PO2 Alveolus yang Sangat Tinggi Terhadap PO2 Jaringan Jika diumpamakan bahwa PO2 dalam paru adalah sekitar 3000 mmHg (tekanan 4 atmosfer). Total kandungan oksigen setiap 100 ml darah adalah 29 volume persen, hal ini berarti bahwa 20 persen volume persen terikat pada hemoglobin dan 9 persen volume persen terlarut dalam cairan darah. Ketika darah melewati kapiler jaringan, jaringan normal akan mengambil 5 ml dari tiap 100 ml darah, sehinggakandungan oksigen sewaktu meninggalkan kapiler jaringan masih 24 volume persen. Di titik, PO2 sekitar 1200 mmHg yang berarti bahwa oksigen dihantarkan ke jaringan dengan tekanan yanag sangt tinggi dibandingkan dengan tekanan normal yang hanya 40 mmHg. Jadi, ketika PO2 alveolus memingkat hingga melewati batas kritis, mekanisme dapar oksigen-hemoglobin tidak dapat mempertahankan PO2 jaringan dalam batas-batas normal yang aman, yaitu antara 20 sampai 60 mmHg. c. Keracunan Oksigen Akut Ketika menghirup oksigen yang bertekanan sangat tinggi, dapt timbul PO2 jaringan yang sangat tinggi pula. Hal ini dapat merusak jaringan tubuh. Misalnya, ketika menghirup oksigen pada tekanan 4 atmosfer (PO2 = 3040 mmHg), sebagian besar orang akan mengalami kejang otak yang diikuti koma setelah 30 hingga 60 menit. Kejang-kejang sering timbul tanpa didahului tanda-tnda peringatan, sehingga dapat mengakibatkan kematian pada penyelam di dalam laut. 10 Gejala-gejala lain keracunan oksigen akut adalah rasa mual, kedutan pada oto-otot, pusing, gangguan penglihatan, mudah tersinggung, dan disorientasi. Gerakan-gerakan tubuh sangat meningkatkan kecenderungan terjadinya keracunan oksigen pada penelam, gejala-gejala yang timbul jauh lebih dini dan lebih hebat dibandingkan dengan orang yang berada dalam keadaan diam. d. Oksidasi Intrasel Berlebihan Sebagai Penyebab Keracunan Oksigen pada Sistem Saraf molekul oksigen mempunyai kemampuan yang sangat rendah dalam mengoksidasi senyawa-senyawa kimia lainnya. Bahkan, molekul ini harus diubah dulu menjadi bentuk oksigen yang “aktif”. Oksigen aktif terdapat dalam beberapa bentuk, biasanya disebut sebagai radikal bebas oksigen. Salah satu yang penting iala radikal bebas superoksida O2-, dan yang lain adalah radikal peroksida dalam bentuk hidrogen peroksida. Sekalipun PO2 jaringan bersifat normal dengan nilai 40 mmHg, sejumlah kecil radikal bebas dapat terbentuk terus menerus dari molekul oksigen yang terlarut. Untungnya, jaringan juga mengandung berbagai enzim yang dapat dengan cepat menghilangkan radikal bebas tersebut. enzim-enzim itu ialah peroksidase, katalase, dan dismutase superoksida. Oleh karena itu, selama mekanisme dapar oksigenhemoglobin mampu mempertahankan nilai normal PO2 jaringan, radikal bebas pengoksidasi akan cepat dihilangkan sehingga hanya sedikit atau tidak sama sekali memengaruhi jaringan. Bila PO2 alveolus berada di atas titik kritis (di atas sekitar 2 atmosfer PO2), maka mekanisme dapar oksigen-hemoglobin tidak akan mampu mengatasi, sehingga PO2 jaringan akan meningkat menjadi ratusan atau ribuan milimeter air raksa. Pada tekanan yang tinggi ini, jumlah radikal bebas pengoksidasi akan melampauai kemampuan sistem enzim yang berfungsi untuk menghilangkan radiakl bebas pengoksidasi tersebut, sehingga menimbulkan kerusakan hebat bahkan kematian sel. salah satu efek utamanya ialah mengoksidasi asam lemak tidak jenuh ganda yang merupakan komponen utama berbagai membran sel. efek yang lainnya adalah mengoksidasi beberapa enzim sel, sehingga mengakibatkan kerusakan serius pada sistem metabolisme sel. jaringan saraf terutama sangat rentan karena kandungan lemaknya yang tinggi. Oleh karena itu, sebagian besar efek akut yang mematikan dari keracunan oksigen akut disebabkan oleh gangguan fungsi otak. 11 e. Keracunan Oksigen Kronik Menyebabkan Gangguan Paru Seseorang dapat terpajan pada tekanan oksigen 1 atmosfer dengan hampir tidak mengalami keracunan oksigen akut pada sistem saraf. Namun, hanya setelah terpajan tekanan oksigen 1 atmosfer selama 12 jam, baru kemudian terjadi pembengkakan di saluran paru, edema paru, dan atelektasis akibat kerusakan pada lapisan bronki dan alveoli. Alasan mengapa efek ini terjadi pada paru dan bukan di jaringan lain adalah bahwa ruang udara paru secara langsung terpajan oleh tekanan oksigen yang tinggi, sementara penghantaran oksigen ke jaringan lain tetap dalam PO2 yang hampir normal karena adanya sistem dapar oksigen hemoglobin. Nitrogen Narcosis Gas nitrogen merupakan gas yang tidak berbau, diatomic dan dipergunakan sebagai pelarut oksigen dalam tanki pernafasan. Gas nitrogen merupakan gas yang mudah larut dilingkungan bertekanan tinggi terutama di jaringan lemak. Pada kedalaman saat penyelaman, terjadi peningkatan kelarutan gas inert berlipat yang memberikan efek samping yang berbahaya. Kondisi ini kerap disebut sebagai narcosis nitrogen. Nitrogen pada tekanan tinggi dapat memberikan efek narkotik pada otak seperti gangguan intelektual dan koordinasi neuromuscular disertai perubahan mood dan perilaku. Keracunan nitrogen dapat terjadi mulai kedalaman 30 meter atau lebih (PN2 = 3,2 ATA), dimana gejalanya seperti orang mabok alcohol akibat minum minuman keras, narkosis nitrogen juga menyebabkan penurunan intelektual akut, disorientasi waktu dan tempat, kehilangan memori jangka pendek sehingga menyulitkan dalam memonitor kedalaman, waktu maupun lokasi partner menyelam. Keracunan Karbondioksida (CO2) Alat selam yang dirancang dan berfungsi dengan baik tidak akan menyebabkan keracunan karbon dioksida, karena faktor kedalaman saja tidak meningkatkan tekanan parsial karbon dioksida dalam alveoli. Bila udara segar yang masuk ke dalam kompresor (waktu mengisi tabung) tercemar gas CO2 dari mesin/pabrik maka akibatnya penyelam bisa keracunan. Pada beberapa jenis alat selam juga terdapat alat selam yang udaranya dihirup ulang sehingga karbon dioksida dapat tertimbun dalam ruang rugi alat dan dihirup kembali oleh penyelam. Penyelam 12 biasanya masih dapat menoleransi tekanan karbon dioksida alveolus sampai sekitar 80 mmHg atau dua kali keadaan normal dengan meningkatkan volume respirasi semenit hingga maksimal yaitu, 8-11 kali lipat. Bila PCO2 lebih besar dari 80 mmHg, maka keadaan ini tidak dapat dikompensasi kembali dimana pusat pernapasan yang awalnya terangsang pada akhirnya malah tertekan karena efek negatif metabolik jaringan akibat PCO2 yang tinggi. Penyelam mulai mengalami gagal napas hingga asidosis respiratorik hebat disertai berbagai tingkatan letargi, narkosis, dan bahkan terjadi anestesi. Gejalanya diantaranya adalah sesak napas (napas pendek, cepat, dalani dan berat), kepala terasa ringan, kejang-kejang, penglihatan menurun dan pada tingkat berat jantung dan pernapasan dapat berhenti dan berakhir dengan kematian. B. Penyakit Dekompresi/Decompression Sickness (DCS) Jaringan tubuh manusia sangat heterogen dihubungkan dengan masalah kemampuan menyerap atau melepaskan gas nitrogen, ada jaringan yang cepat dan ada yang lambat dalam mencapai saturasi (kejenuhan) nitrogen tergantung pada factor kecepatan aliran darah ke jaringan dan daya larutan nitrogen dalam jaringan. Darah adalah cairan tubuh yang tercepat menerima dan melepaskan nitrogen. Darah menerima nitrogen dari paru dan mencapai kejenuhan nitrogen dalam waktu beberapa menit. Otak termasuk dalam jaringan yang cepat karena mempunyai banyak suplai darah. Tulang rawan pada permukaan sendi mempunyai suplai darah yang kurang, sehingga memerlukan waktu lebih lama (sampai beberapa jam) untuk mencapai kejenuhan nitrogen. Nitrogen mempunyai daya larut yang baik dalam jaringan lemak, sehingga jaringan lemak bisa melarutkan nitrogen lebih banyak daripada jaringan-jaringan lainnya. Konsep jaringan cepat dan lambat penting untuk memahami bentuk-bentuk klinis penyakit dekompresi yang mungkin timbul. Penyelaman singkat dan dalam akan menghasilkan pembebanan nitrogen yang tinggi pada jaringan-jaringan cepat, tetapi tidak cukup waktu untuk pembebanan tinggi pada jaringan-jaringan lambat. Dekompresi yang inadekuat memungkinkan pembentukan gelembung nitrogen didalam darah yang bisa mengakibatkan gangguan pernapasan (chokes) atau gejala neurologis (penyakit dekompresi tipe II). Penyelaman yang relatif dangkal tapi lama akan memberikan pembebanan nitrogen yang kurang lebih sama antara jaringan cepat dan jaringan yang lebih lambat. Perbedaan tekanan yang tidak terlampau besar antara kedalaman dan permukaan menyebabkan darah lebih mampu mentolerir kelebihan nitrogen tersebut, karena darah sebagai jaringan cepat bisa mengeliminasi 13 nitrogen lebih cepat lewat alveoli paru sedangkan jaringan lambat tidak bisa. Penyelaman seperti ini cenderung menimbulkan nyeri pada persendian (bends), karena sendi adalah jaringan lambat dan tidak dapat melepas nitrogen dengan cepat lewat darah (penyakit dekompresi tipe I). Bila seseorang menggunakan udara bertekanan tinggi sebagai media pernapasan untuk menyelam, maka semakin dalam dan semakin lama ia menyelam akan semakin banyak gas yang larut dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Sesuai hukum Henry, volume gas yang larut dalam suatu cairan sebanding dengan tekanan gas di atas cairan itu. Karena oksigen (O2) dikonsumsi dalam jaringan tubuh, maka yang tinggal adalah Nitrogen (N2) yang merupakan gas inert (tidak aktif). Berdasarkan data Divers Alert Network tahun 1998-2004 gejala yang paling sering muncul pada penyakit dekompresi ialah nyeri (68%). Nyeri yang paling sering muncul adalah nyeri sendi sebanyak 58%, nyeri otot sebanyak 35%, dan nyeri pinggang sebanyak 7%. Meskipun gelembung udara dapat terbentuk di berbagai tempat di dalam tubuh, lokasi anatomik yang paling sering terkena dampaknya adalah bahu, siku, lutut, dan pergelangan kaki. Gejala kedua terbanyak yang sering muncul akibat penyakit dekompresi ialah kesemutan atau parestesia sebanyak 63,4%. Gejala konstitusional yang muncul akibat penyakit dekompresi ialah sakit kepala, lelah, malaise, mual atau muntah, dan anoreksia. Kaku sendi, kram, dan spasme juga dapat menjadi tanda sindrom dekompresi. Secara umum gejala-gejala yang timbul setelah terjadinya dekompresi pada ketinggian tertentu dan dalam kurun waktu tertentu merupakan suatu penyakit dekompresi. Penyakit dekompresi juga dapat menyebabkan terjadinya trombositopenia. Hal ini disebabkan oleh trombosit yang menempel pada gelembung gas nitrogen selama terjadinya penyakit dekompresi. Penyakit dekompresi juga dapat menyebabkan defisit neurologis. Spektrum defisit neurologis yang muncul akibat penyakit dekompresi ini bervariasi dari disfungsi kognitif, lesi nervus kranialis, hingga disfungsi korda spinalis akibat barotrauma. Kerusakan korda spinalis berupa hancurnya white matter akibat barotrauma atau akibat dari terbentuknya mikrotrombus pada sirkulasi spinal. Gejala lain yang dapat muncul akibat penyakit dekompresi adalah tuli sensori neural yang bersifat simetris bilateral maupun asimetris unilateral. Gangguan pendengaran ini terjadi akibat adanya barotrauma. Manifestasi lain yang dapat muncul pada gangguan pendengaran dapat berupa tinnitus dan vertigo. 14 Gejala yang ringan seperti nyeri sendi dan otot pada umumnya akan berkurang seiring dengan berkurangnya kedalaman atau beberapa saat setelah selesai menyelam. Jika tanda dan gejala persisten maka tatalaksana yang dapat diberikan adalah memberikan 100% oksigen bertekanan tinggi atau hyperbaric oxygen therapy (HBOT). Oksigen bertekanan tinggi mempercepat disolusi gas mulia di dalam pembuluh darah dan memberikan perfusi yang baik untuk jaringan yang rusak pada penyakit dekompresi. Tekanan udara 2 ATA (atmosphere absolute) akan mengurangi volume gelembung gas sebesar 50% dan radius gelembung sebesar 21,7%. Selain itu oksigen bertekanan tinggi dapat mencegah penyerapan gas mulia sehingga akan mempersingkat waktu pengobatan secara keseluruhan. Selain memberikan oksigen bertekanan tinggi, penyakit dekompresi diatasi juga dengan melakukan rekompresi. Penggunaan oksigen bertekanan tinggi harus dilakukan dengan hati-hati karena oksigen memiliki efek toksik terhadap paruparu dan sistem saraf pusat. Gejala intoksikasi oksigen terhadap susunan saraf pusat yang paling sering adalah kejang. Untuk mencegah intoksikasi oksigen hal yang harus dilakukan adalah membatasi penggunaan oksigen 100% hingga 3.0 ATA (atmosphere absolute) dan menggabungkan terapi ini dengan pernapasan udara bebas secara intermitten. Jika pada fasilitas kesehatan tidak tersedia oksigen bertekanan tinggi maka terapi yang cukup efektif untuk diberikan adalah inhalasi oksigen 100% dan metilprednisolon. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pemberian oksigen 100% pada tekanan atmosfer yang normal hanya berhasil mengurangi gejala pada 42% kasus, sehingga teknik ini kurang efektif dibandingkan oksigen hiperbarik. Metode lain yang dikembangkan untuk mencegah penyakit dekompresi ialah rekompresi di dalam air (inwater recompression/IWR) Berdasarkan berat-ringannya gejala, penyakit dekompresi diklasifikasikan menjadi 2 yaitu tipe I dan tipe II. Penyakit dekompresi tipe I disebut juga dengan “pain only bends” atau penyakit dekompresi ringan yang ditandai dengan adanya satu atau kombinasi gejala-gejala berikut: nyeri ringan yang berlangsung selama kira-kira 10 menit, gatal atau kulit seperti tertarik yang menyebabkan sensasi gatal dan terbakar pada kulit, cutis marmorata yaitu ruam papul/plak pada kulit berwarna biru-merah yang tersebar pada bagian tubuh. Cutis marmorata ini disebabkan oleh amplifikasi emboli gas dalam kapiler kutaneus. Keterlibatan kelenjar limfe jarang dan biasanya 15 ditandai dengan edema pitting yang tidak nyeri. Beberapa ahli menyebutkan bahwa anoreksi dan kelelahan yang berlebihan usai menyelam merupakan manifestasi penyakit dekompresi tipe I. Nyeri seperti diikat terjadi pada sebagian besar penderita (70-85%) dengan penyakit dekompresi tipe I. Nyeri adalah gejala klinis yang paling sering pada penyakit dekompresi tipe ringan dan biasanya dideskripsikan seperti nyeri tumpul, nyeri terhujam, dan nyeri seperti sakit gigi dan biasanya terjadi pada persendian, tendon, dan jaringan. Sendi bahu biasanya merupakan sendi yang paling sering terkena. Kadangkala penyelam menganggap hal ini sebagai suatu tarikan biasa sebuah otot yang overexercise. Berdasarkan hukum Henry yang menyatakan bahwa kelarutan gas dalam cairan berbanding lurus dengan tekanan yang diberikan pada gas dan cairan, maka dapat dijelaskan mekanisme terjadinya penyakit dekompresi. Ketika nitrogen dalam tangki udara penyelam terlarut dalam jaringan lemak penyelam atau cairan sinovial penyelam di kedalaman, nitrogen akan dilepaskan dari jaringan mereka saat penyelam naik ke lingkungan dengan tekanan yang lebih rendah. Hal ini akan terjadi secara lebih perlahan dan bertahap jika penyelam naik perlahan dan bertahap, dan nitrogen yang telah memasuki aliran darah akan kembali masuk ke paru-paru dan dihembuskan keluar. Namun, jika penyelam naik dengan cepat, nitrogen akan berusaha keluar dari jaringan dengan cepat dan membentuk gelembung gas. Setelah gelembung terbentuk, mereka akan mempengaruhi jaringan dalam berbagai cara. Penyakit dekompresi tipe I terjadi pada penyelaman yang lama dan dangkal karena gelembung gas yang terdapatdi dalam jaringan lambat (tulang rawan dan sendi) belum dapat dikeluarkan, sementara penyakit dekompresi tipe II terjadi pada penyelaman yang cepat dan dalam karena pada kondisi tersebut beban nitrogen akan lebih besar pada jaringan cepat (otak). Pasien sering memiliki riwayat menyelam yang diikuti dengan penerbangan dalam perjalanan pulang. Mereka mungkin mengeluh nyeri yang muncul perlahan-lahan atau mati rasa di kaki atau punggung. Pasien datang dengan nyeri sendi, otot, atau nyeri punggung yang memburuk dari waktu ke waktu. Nyeri memburuk dengan gerakan namun selalu ada meskipun saat istirahat. Rasa sakit dapat berkisar dari ringan (gatal) sampai berat. Pasien mungkin memiliki riwayat penyakit dekompresi sebelumnya dan melakukan beberapa kali penyelaman di hari yang sama. 16 Penegakan diagnosis penyakit dekompresi: 1. Anamnesis a. Apa saja gejala yang dirasakan berdasarkan manifestasi dan klasifikasi gejala penyakit dekompresi, jika lebih dari satu gejala tanyakan urutan muncul dan intensitasnya (jika ada) b. Apakah terdapat riwayat penyelaman selama 24 jam sebelumnya? c. Onset merasakan gejala (jam atau menit after surfacing, waktu ascent) d. Jam melakukan penyelaman, berapa kedalaman dan lama penyelaman (penyelaman pertama dan kedua) e. Apakah ada panic attack saat di kedalaman? f. Riwayat BAB dan BAK terakhir g. Riwayat penyakit sebelumnya h. Riwayat aktivitas dan intake makan dan minuman sebelum melakukan penyelaman. Gambar 1. Ringkasan anamnesis : tabel penyelaman 17 2. Pemeriksaan fisik a. Kepala/leher - Perhatikan tanda-tanda anemia, ikterik dan moisture lapisan mukosa, reflek miosis dan midriasis b. Telinga - Telinga luar dan eardrum, apakah ada barotrauma c. Thoraks - Inspeksi : warna kulit berwarna kemerahan, cutis marmorata, luka lecet dan batuk terus menerus tanpa dahak. - Perkusi : perhatikan batas jantung, kemungkinan fraktur costa, perubahan suara perkusi lapang paru. - Palpasi : perhatikan apakah ada nyeri tekan diseluruh lapang dada depan dan belakang. - Auskultasi : irama jantung, apakah ada murmur dan suara tambahan paru. d. Abdomen - Inspeksi : apakah terdapat meteorismus, rash kemerahan, cutis marmorata, jejas kulit. - Auskultasi : suara bising usus - Palpasi : batas hepar dan kemungkinan spleenomegali - Perkusi : apakah dalam batas normal e. Ekstremitas - Uji sensorik rangsangan halus dan rangsangan tajam - Uji reflek patella dan aschiles - Uji kekuatan motorik keempat ekstremitas. 3. Pemeriksaan penunjang a. Dianjurkan pemeriksaan rontgen thoraks PA pada pasien dengan batuk-batuk kering yang sebelum menyelam tidak ada batuk. b. Dilakukan pemeriksaan darah rutin bagi pasien terdiagnosis DCS tipe. 18 Tabel 1. Perbedaan manifestasi penyakit dekompresi tipe 1 dan 2 Tipe DCS 1 DCS 2 Rash kemerahan kulit ++++ Tidak ada/dapat ada (cutis marmorata) Kulit gatal +++ + Nyeri otot + ++++ Nyeri sendi + ++++ Riwayat pingsan Tidak ada Tidak ada Nyeri kelenjar limfe leher Dapat ada Tidak ada dan aksila Vertebra back pain Tidak ada +++ Rasa terbakar substernal Tidak ada ++++ Telinga berdenging Tidak ada + Tuli mendadak Tidak ada + Pusing berputar Tidak ada + Muntah Tidak ada + C. Emboli Gas Arteri/Arterial Gas Embolism (AGE) Penyakit dekompresi terjadi akibat terbentuknya fase gas (gelembung udara) dalam darah dan jaringan tubuh seseorang penyelam setelah terjadinya pengurangan tekanan yang terlalu cepat saat naik ke permukaan. Emboli gas arteri sendiri terjadi sebagai akibat sekunder dari barotrauma pulmonal dimana gas kemudian akan menyumbat pembuluh darah arteri dan menyebabkan iskemia organ. Gas yang terbentuk sering bersirkulasi ke otak menyebabkan gejala neurologis yang menyerupai stroke tromboemboli. Hukum Boyle mengatakan bahwa volume gas berbanding terbalik dengan tekanan.Berdasarkan Hukum Boyle diatas dapat dijelaskan bahwa suatu penurunan atau peningkatan pada tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan suatu volume gas dalam ruang tertutup. Bila gas terdapat dalam struktur yang lentur, maka struktur tersebut dapat rusak 19 karena ekspansi ataupun kompresi. Barotrauma dapat terjadi bilamana rongga yang berisi gas dalam tubuh (seperti paru) menjadi ruang tertutup dengan jaras ventilasi normal yang buntu. Emboli udara karena barotrauma pulmonalterus menjadi penyebab kekhawatiran dalam semua jenis kegiatan penyelaman. Saat menyelam, kondisi paru yang berkaitan denganobstruksi bronkus sangat berbahaya, terutama selama naik ke permukaan, walaupun dengan semua tindakan pencegahan yang bisa dilakukan. Emboli udara adalah manifestasi klinis dari Hukum Boyle, yang mempengaruhi paru dan merupakan hasil dari distensi yang berlebihan sertapecahnya alveoli akibatdorongan gas saat penyelam naik ke permukaan. Emboli gas dapat masuk kesirkulasiarteridengansalahsatucaraberikut: - Rupturnya alveoli setelah barotrauma pulmonal - Dari sirkulasiarteriitusendiripadapenyakit dekompresi - Melalui migrasi dari sirkulasi vena (emboli gas vena) melalui shunt kanan ke kiri (paten foramen ovale, atrial septal defek. 20 2.3 Penatalaksanaan Penyakit Akibat Menyelam 1. Pertolongan pertama Prinsip pada pertolongan pertama ini adalah a. DRABC (Danger, Respon, Airway, Breathing, Circulation). b. Pemberian Oksigen 100% dengan masker tight fitting (bila tersedia) atau pemberian oksigen 15 lpm. c. Posisi Korban yang tidak sadar diposisikan terlentang, hal ini dimaksudkan untuk menjaga jalan nafas korban. Jika curiga emboli udara, korban diposisikan horizontal di sebelah kiri. Pada kasus cerebral decompression sickness, pasien diposisikan tanpa menggunakan bantal, hal ini untuk mencegah agar gelembung gas tidak masuk ke dalam sirkulasi otak. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan. Dengan menurunkan posisi kepala, akan meningkatkan tekanan di otak dan hal ini akan memperberat cedera di otak. Pada korban yang mengalami emboli udara atau dekompresi, duduk atau berdiri dapat berbahaya karena gelembung udara masih terdapat di aliran darah serebral. d. Pengelolaan cairan Cairan oral dapat diberikan, jika korban tidak mengalami sakit perut, mual dan muntah. Air atau cairan elektrolit seperti gastrolyte dapat diberikan, cairan yang asam dan mengandung glukosa harus dihindari. Jika pasien tidak sadar, berikan rehidrasi intravena dengan menggunakan ringer laktat. e. Anamnesis korban dan pendamping untuk mendapatakan detail penyelaman dengan membuat diving profile’s dalam 24 jam dan informasi medis korban. f. Kirim korban ke fasilitas medis yang memilki cahmber untuk dilakukan rekompresi Terapi Hiperbarik Definisi Terapi oksigen hiperbarik (TOHB) merupakan terapi medis dengan cara menghirup oksigen 100% didalam suatu chamber yang diberikan tekanan di atas 1,4 ATA. 21 Jenis Chamber 1. Monoplace/-lock : - biasanya untuk terapi medis - merupakan mobile chamber - terdapat 1 ruangan, 2 seat 2. Multiplace/-lock : - biasanya untuk terapi rekompresi - merupakan fix chamber - terdapat 2/lebih ruangan, 8-20 seat Proses terapi hiperbarik dari awal sampai akhir menggunakan tabel terapi. Tabel terapi yang saat ini direkomendasikan untuk tujuan terapi rekompresi adalah tabel 5 dan 6 US Navy, sedangkan untuk terapi medis menggunakan tabel terapi Kindwall. TERAPI REKOMPRESI Indikasi terapi tabel 5 antara lain: - DCS tipe 1 (kecuali untuk cutis marmorata) - Pemeriksaan neurologis tidak menunjukkan adanya kelainan lainnya. Setelah tiba pada 60 feet pemeriksaan neurologis harus dilakukan untuk memastikan tidak ada gejala neurologis (mis., kelemahan, mati rasa, kehilangan koordinasi). Jika terdapat gejala neurologis maka harus diobati dengan menggunakan Tabel Pengobatan 6. - Follow up treatment untuk gejala sisa - Keracunan karbon monoksida 22 Tabel 2.5. Tabel 5 US Navy Tabel 5 merupakan tabel terapi rekompresi yang berlangsung 135 menit (2 jam 15 menit). Warna hijau merupakan tanda bahwa pasien menghisap masker oksigen dengan oksigen 100% dengan flow 15 L/menit. Warna biru menunjukkan tanda waktu istirahat, yaitu pasien menghirup udara atmosfer (udara dalam chamber) dengan melepaskan masker oksigen. Dalam terapi menggunakan tabel 5 terdapat tiga hal yang diterapkan, yaitu: 1. Gejala hanya terdiri dari nyeri sendi (assensment neurologis menunjukkan hasil yang normal) 2. Onset gejala dalam waktu kurang dari 6 jam 3. Terdapat perbaikan gejala dalam waktu 10 menit saat mencapai kedalaman rekompresi 60 fsw Indikasi terapi tabel 6 diantaranya: - Emboli gas arterial - DCS tipe II - DCS tipe I dimana jika dalam waktu 10 menit pada kedalaman 60 kaki tidak terdapat perubahan gejala atau nyeri bertambah parah maka rekompresi dengan tabel 6 harus bisa dilakukan - Cutis marmorata 23 - Keracunan karbon monoksida berat, keracunan sianida, atau inhalasi asap - Gejala kambuh pada kedalaman yang lebih dangkal yaitu kurang dari 60 fsw Tabel 2.6. Tabel 6 US Navy Tabel 6 merupakan tabel terapi rekompresi yang berlangsung 285 menit (4 jam 45menit). Warna hijau merupakan tanda bahwa pasien menghisap masker oksigen dengan oksigen 100% dengan flow 15 L/menit. Warna biru menunjukkan tanda waktu istirahat, yaitu pasien menghirup udara atmosfer (udara dalam chamber) dengan melepaskan masker oksigen. TERAPI KLINIS Tabel 2.7. Tabel Klinis Kindwall 24 Terapi klinis digunakan pada semua indikasi medis selain indikasi rekompresi. Tabel yang digunakan adalah tabel Kindwall atau modifikasinya. Terapi kindwall berlangsung selama 2 jam 10 menit dengan kedalaman antara 14-18 meter (2,4-2,8 ATA) dan descent rate awal yang lambat sekitar 14 menit. Descent rate tidak perlu secepat tabel rekompresi karena secara hipotesis tujuan utama tidak untuk mengecilkan diameter bubbles. Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Hiperbarik Indikasi hiperbarik: - Rekompresi: o AGE o DCS - Medis: o CO poisoning o Anemia berat o Gas gangrene o Abses intracranial o Osteomyelitis o Crush injury o Skin graft and flaps o Necrotizing soft tissue infection o Delayed radiation injury o Thermal burn o Idiophatic sudden sensorineural hearing loss o Enhancement of healing Kontraindikasi: - Absolut : Pneumothorax - Relatif : o Sinusitis o Skizofrenia o Caries padagigi o Ibuhamil trimester I-II 25 o Hipermetroptinggi o Usia<3 bulan o Galukoma o Chepalgiaberat o Status epileptikus o Perforasi membrane timpani unilateral o Claustrophobia o Menstruasi Analisis Skenario Patofisiologi Gejala pada Skenario Tungkai mendadak lemas, penurunan sensasi raba dan rasa, belum BAK PDK tipe 2 menandakan terlibatnya sistem saraf pusat (SSP). PDK spinal memiliki gejala nyeri punggung, parestese, paralisis dan hilangnya kontrol sfingter perkemihan. Gejala tersebut merupakan gejala spinal akibat akumulasi gelembung nitrogen. Nitrogen larut dalam substansi lemak di membrane saraf, dan karena efek fisik nitrogen dalam merubah aliran ion yang melewati membra, akan menurunkan rangsangan saraf. Mekanisme lain yang mungkin menyebabkan timbulnya gejala spinal adalah gelembung nitrogen yang terakumulasi di selubung myelin akan menyebabkan edema vasogenik dan iskemia lokal sehingga menimbulkan neuropathy. Perut bagian bawah terasa nyeri Salah satu dampak yang disebabkan karena proses naik ke permukaan laut terlalu cepat saat menyelam adalah barotrauma, salah satunya adalah gastrointestinal barotrauma. Hal ini terjadi karena ekspansi udara di usus halus dan kolon ketika terjadi penurunan tekanan saat penyelam naik ke permukaan terlalu cepat. Sehingga terjadi distensi di organ gastrointestinal yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri perut. Selama berada di kedalaman, udara yang tertelan dan gas yang diproduksi di dalam perut dalam jumlah tertentu akan meluas sepanjang daerah penyebarannya. Beberapa teknik penyelaman SCUBA (penyelaman dengan cara menahan napas), juga dapat mengakibatkan kelebihan gas di dalam perut atau kolon. Ini merupakan suatu 26 hal yang fisiologis, dengan adanya kompensasi tubuh terhadap hal tersebut maka akan terjadi suatu proses equalisasi yang akan berlangsung sejak mulai masuk ke dalam air, dimana proses ini akan menyamakan tekanan udara yang berada di dalam tubuh dan dari luar tubuh sendiri. Secara normal, bila proses ini berhasil, udara atau gas yang berlebihan tersebut akan mencari jalan keluarnya sendiri melalui sistem pelepasan lewat anus dan mulut. Bila proses equalisasi tidak berhasil, distribusi gas tersebut dapat mengakibatkan distensi. Distensi ini berlangsung sepanjang daerah ekspansinya dan berdasarkan pada Hukum Boyle – Mariotte. Hal ini menyebabkan siklus dari usus halus yang terperangkap di antara sekum dan kolon sigmoid sehingga menyebabkan suatu obstruksi pada mekanisme bowel. Distensi ini dapat menimbulkan nyeri yang tidak tertahankan, memungkinkan adanya beberapa luka, pendarahan pada kolon atau saluran pencernaan. Cutis marmorata Gelembung nitrogen dapat menyebabkan bintik-bintik benjolan maupun ruam. Gejala pada kulit menunjukkan adanya masalah pada daerah lain. Tanda khusus pada kulit yang menggambarkan PDK serius adalah kutis marmorata, dimana terdapat belang berwarna gelap yang dikelilingi area pucat di sekelilingnya pada kulit, yang menandakan terbentuknya gelembung udara yang cukup banyak di dalam tubuh. Terdapat beberapa mekanisme yang diduga mendasari terjadinya cutis marmorata pada penyakit dekompresi tipe II, antara lain supersaturasi jaringan lemak subkutan karena nitrogen paling larut dalam jaringan lemak dibandingkan jaringan lain, emboli karena amplifikasi gelembung nitrogen di kapiler kutaneus sehingga menyebabkan obstruksi aliran darah, dan adanya emboli gelembung nitrogen di batang otak yang mengganggu kontrol otonom terhadap vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah. 27 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Penyakit akibat menyelam sering disebabkan oleh kelalaian penyelam dan seringkali hal ini kurang disadari oleh banyak penyelam. Beberapa penyakit tersebut diantaranya adalah barotrauma, emboli gas arteri, penyakit dekompresi dan keracunan. Tatalaksana pada penyakit akibat menyelam adalah terapi awal dengan pemberian oksigen 100 % (jika ada) dan tindakan ABCDE pada pasien. Setelah itu terapi definitif untuk penyakit ini adalah dengan terapi hiperbarik. Meskipun angka kejadian penyakit akibat menyelam jarang, tingkat keparahan kasus yang mungkin terjadi membuatnya banyak diteliti dalam usaha menemukan cara untuk mencegahnya. Diharapkan kepada semua penyelam hendak-nya mematuhi prosedur penyelaman dan mentaati semua larangan yang telah ditentukan. Rawat, kenali ciri khas dan pakai alat selam yang biasa digunakan untuk menyelam. Dalam satu unit penyelaman usahakan minimal seorang penyelam harus menggunakan depth gauge, jam selam, kompas selani serta tabel dekompresi dan "log book". 28 Daftar Pustaka Eric, Mowat. The Bends-Decompression syndromes. 2012. (Available from http://www.emedicinehealth.com/decompression_syndromes_the_bends/article_em.htm, : Cited on : Juni 22th ,2018). Guyton Ac, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2012. p. 572-8. 4 Nurachmad Hadi. 1991. Penyelaman. Oseana, Volume XVI No. 4. Available at :http://oseanografi.lipi.go.id/dokumen/oseana_xvi(4)1-12.pdf. Accessed on 23 June 2018. Ni Made Ayu Linggayani1 , M. Ricky Ramadhian. 2017. Penyakit Caisson pada Penyelam. (Volume 4,Nomor 2). Available at :file:///C:/Users/ASUS/Downloads/1813-2535-1- PB%20(2).pdf. Accessed on 23 June 2018. Van Hulst RA et al. Gas embolism: pathophysiology and treatment. Clinical Physiology and Functional Imaging. Blackwell Publishing; 2003. Stephen PA, 2016. Decompression Sickness Treatment & Management. Accesed on 24 June 2018. Availabe at : https://emedicine.medscape.com/article/769717 29