BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1884 Louis Duhring pertamakali menjelaskan gambaran klinis dan sejarah dari suatu kelainan polimorfik yang gatal, yang disebutnya dermatitis herpetiformis. Beberapa literatur menyebut kelainan ini sebagai penyakit Duhring untuk menghormatinya. Pada tahun 1888 Brocq menjelaskan penderita dengan kelainan yang sangat mirip dan disebutnya dermatite polymorhe prurigineusu. Pada tahun 1940 Costello memperlihatkan kemanjuran dari sulfapiridin dalam pengobatan DH. Pierard, Whimster, Mac Vicar dkk. Pada awal tahun 1960 menemukan bahwa lesi dini DH ditandai dengan mikroabses netrofil pada papila dermis. Pada tahun 1967 Cormane menemukan bahwa kulit DH mengandung deposit imunoglobulin pada ujung papilla dermis dan pada tahun 1969 Van der Meer melanjutkan penelitian ini dan menemukan imunoglobulin tersebut adalah IgA. 1,2 Penyakit ini berhubungan dengan gangguan gastrointestinal. Hubungan antara DH dan kelainan usus pertamakali diamati oleh Marks dkk. Pada tahun 1966, kemudian Fry dkk dan Shuster dkk menyebut kelainan tersebut sebagai Gluten Sensitive Enteropathy. 1,2 Lebih dari 90% pasien terbukti sensitif terhadap gluten, yang mana dapat dimulai dari limfosit intraepitel jejunum sampai atrofi total vili usus kecil. Hanya 20% pasien DH yang memiliki gejala intestinal dari Celiac disease. Penyakit kulit maupun pada intestinal keduanya berespon terhadap restriksi gluten dan membaik dengan penggantian diet yang mengandung gluten. Ada hubungan genetik yang kuat, 90% dari Celiac disease dengan pasien DH, yaitu memiliki HLA kelas II genotipe DQ2, terdiri dari alel DQA1*0501 dan DQB1*02, dibandingkan dengan 20% pasien dengan kontrol normal.1,2 Prevalensi terjadinya dermatitis herpetiformis pada populasi bangsa Caucasian yaitu 10-39 per 100.000 orang. Dermatitis herpetiformis bisa terjadi pada semua umur, tapi yang tersering pada umur 30 – 40 tahun.2 Gambaran klinis yang dapat mendukung diagnosis DH adalah papulovesikel, pruritus atau papula ekskoriasi pada permukaan ekstensor, infiltrasi netrofil pada papilla dermis disertai terbentuk vesikel pada epidermal-dermal junction, deposisi granular IgA pada papilla dermis pada kulit normal di sekitar lesi, pemberian terapi diaminodiphenyl sulfone menimbulkan respon terhadap kulit tetapi bukan merupakan suatu penyakit kulit.2 Remisi spontan dapat terjadi pada 10% pasien, tetapi kebanyakan remisi yang terjadi berhubungan dengan pengurangan konsumsi gluten. Pengobatan dengan sulfone memberi respon cepat pada pasien DH anak dan dewasa.2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Dermatis Herpetiformis (DH) adalah suatu penyakit papulovesikel yang jarang dijumpai. Penyakit ini ditandai dengan erupsi papulovesikel yang tersusun berkelompok, sangat gatal dengan distribusi simetris pada permukaan ekstensor seperti siku, lutut dan bokong.2,3 B. EPIDEMIOLOGI Pada pasien keturunan Eropa Utara paling lazim terjadi DH. Diketahui pria memiliki prevalensi lebih tinggi untuk terkena DH dibandingkan perempuan. Sejumlah studi epidemiologi telah dijelaskan insiden dan prevalensi DH. Sebagian besar studi ini berfokus pada individu Eropa Utara, baik di Eropa dan Amerika Serikat, dimana gangguan ini adalah paling umum terjadi. 2 Studi pada populasi ini dilakukan pada akhir 1970 ke awal 1980-an melaporkan kisaran prevalensi dari 1,2-39,2 per 100.000 orang dan kejadian kisaran 0,4-2,6 per 100.000 orang per tahun. Selain itum sebuah studi berbasis populasi yang dilakukan di Utah pada tahun1992 mendokumentasikan prevalensi 11,2 per 100.000 orang dan kejadian 0,98 oer 100.000 orang per tahun, dan kedua tingkat yang sebanding dengan penelitian dilakukan dalam Eropa.2 Karena populasi Utah memiliki proporsi yang tinggi dari orang-orang dengan keturunan Eropa Utara, konkordansi ini menemukan dengan penelitian sebelumnya tidak mengherankan. Dari itu dilaporkan kejadian DH sebanding dengan yang dilaporkan untuk penyakit immunobulous lainnya, seperti pemfigoid bulosa dan pemfigus vulgaris.2 Beberapa penelitian di populasi Asia telah menunjukkan bahwa DH adalah sangat langka di antara kelompok ini dan bahkan jarang jika dibandingkan dengan Amerika Afrika. Bahkan, begitu sedikitnya kasus yang dimiliki telah dijelaskan bahwa tidak ada yang lebih besar studi berbasis populasi telah dilaporkan dalam grup entis. 2 Eropa Utara tampaknya memiliki jumlah terbesar kasus secara keseluruhan, tapi DH dengan onset pada masa kanak-kanak cenderung lebih umum di negara-negara Mediterania. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan dalam diet gluten atau kecendrungan genetik dalam populasi ini.2 Laki-laki memiliki prevalensi lebih tinggi dari DH. Bahkan, sebagian besar berbasis populasi studi sampai saat ini telah ditemukan laki-laki untuk rasio wanita mulai 1,5:1 sampai 2:1. Kebanyakan pasien melaporkan timbulnya gejala selama musim panas pertahun, setiap saat dari musim semi hingga akhir tahun musim panas.2 Onset DH adalah bervariasi, dengan rentang usia yang paling umum pada presentase yang berusia 30 sampai 40 tahun, namun usia saat diagnosis bervariasi dari bayi sampai penduduk usia lanjut. DH pada anak-anak jarang terjadi, dan selama bertahun-tahun itu dikelompokkan dengan diagnosis IgA linear bulous dermatosis masa kanak-kanak. Oleh karena itu, prevalensi sejati masa kanak-kanak DH tidak dapat diketahui pasti.2 C. ETIOLOGI DAN PATHOGENESIS Gluten Sensitive Enterophathy (GSE) kemungkinan berhubungan dengan deposit IgA pada kulit penderita DH, meskipun mekanismenya belum diketahui secara pasti apakah IgA terikat pada antigen yang ditemukan pada gastrointestinal kemudian beredar dan tertimbun pada kulit atau apakah IgA yang terbentuk khas untuk antigen kulit yang belum diketahui.3 Ditemukan IgA dan komplemen diseluruh kulit menimbulkan perkiraan bahwa diperlukan faktor tambahan untuk menerangkan permulaan lesi. Dengan faktor tambahan ini, IgA mengaktifkan komplemen (mungkin melalui jalur alternative) sehingga terjadi kemotaksis neutrophil yang melepaskan enzimnya dan mengakibatkan lesi yang disebut dengan DH.3 Selain gluten, yodium juga disebutkan dapat mempengaruhi timbulnya remisi dan eksaserbasi penyakit.3 Ada hubungan yang kuat dengan Human Leucosyt Antigen yang spesifik histocompatibility: HLA-B8 (60%), HLA kelas II antigen HLA-DR3 (95%), dan HLA-DQw2 (100%). IgA linear bulosa dermatosis memiliki fitur klinis yang mirip dengan dermatitis herpetiformis, tetapi memiliki pola histologist dan imunofluoresensi berbeda dan ada penyakit usus kecil terkait.4 Pada penderita DH ditemukan ada riwayat keluarga penyakit celiac atau DH di 10,5% pasien. Semua pasien memiliki enteropati gluten-sensitif merupakan hal yang mendasari, meskipun penyakit ini mungkin tanpa gejala. Ada hubungan dengan paparan infeksi adenovirus, seperti yang telah diamati pada penyakit celiac studi HLA pada pasien yang pada klinis dan imunologi kriteria DH, telah menunjukkan temuan identik dengan penyakit celiac.4 Ada hubungan yang sangat kuat dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw2. Karakteristik temuan adalah deposisi IgA dalam pola granular dalam dermis papiler meskipun IgM, IgG dan C3 dapat ditemukan. Deposit IgA glutendependent, dan perlahan-lahan dibersihkan dari kulit setelah gluten dihapus dari diet. Mekanisme dimana gluten menyebabkan deposisi IgA dalam kulit masih belum diketahui.4 C3 telah ditunjukkan dalam papiladermis kulit kedua lesi dan perilesional. Properdin dan faktor B telah ditemukan dan mendukung saran bahwa komplemen diaktifkan melalui jalur alternative. C5 dan fibrin sering terdeteksi pada bagian serupa. Fraksi diaktifkan, C5a, sangat chemotactic untuk neutrofil dan dapat berkontribusi pada perubahan inflamasi kaskade. Data ini menunjukkan bahwa IgA berasal dari mukosa dan serum.4 Pada tahun 1967, hubungan dengan enteropati gluten-sensitif (Penyakit celiac) ditegakkan. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa perubahan atrofi total vili dari usus kecil merupakan sensitivitas sekunder terhadap gluten. Enteropati gluten-sensitif ada pada semua pasein, meskipun pada beberapa kasus sulit ditunjukkan, pasien ditemukan memiliki antiretikulin antibody dan, disamping itu, antigluten atau antigliadin antibody.4 Perkembangan yang paling menarik dari beberapa tahun terakhir adalah antibody dan reaksi T-sel transglutaminases jaringan, dan transglutaminase 2 tertentu, relevan dengan pathogenesis penyakit celiac. Antibody ini telah dibuktikan dalam DH. Selain itu, sekarang jelas bahwa sebelum antiretikulin diakui dan antibody yang endomisial terkait dengan antibody ini, dan memerlukan transglutaminase 2 untuk mengikat jaringan, jaringan transglutaminase membelah gliadin untuk peptide antigenik dan hal ini dapat berkontribusi untuk peran mereka dalam pathogenesis.4 Ada perbedaan dalam profil autoantibody antara DH dan penyakit celiac, dalam bahwa ada antibodi terhadap epidermal transglutaminase di DH tetapi bukan penyakit celiac. IgA yang mengendap di dalam dermis mengandung transglutaminase epidermal. 4 Telah diketahui bahwa DH adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh pengendapan IgA dalam papila dermis, yang memicu kaskade imunologi, sehingga rekurtmen neutrofil dan aktivasi komplemen. Dermatitis herpetiformis adalah hasil dari suatu respon kekebalan terhadap rangsangan kronis dari mukosa usus oleh diet gluten.4 Gambar 1. Patogenesis Dermatitis Herpetiformis D. MANIFESTASI KLINIS Umumnya pada penyakit DH terkena antara usia 20-55 tahun. Onset dapat bersifat akut atau bertahap, pruritus adalah gejala yang biasanya pertama dikeluhkan. Lesi awal pada kulit adalah papula eritematosa, bercak, urtikaria atau vesikel yang multiple, yang sering disertai dengan eksoriasi. Vesikel biasanya berkelompok bersama-sama pada plak yang eritema tetapi,walaupun jarang, blisters sebesar 1-2 cm dapat terjadi. Hal Ini lebih sering terjadi pada panyakit yang kambuh pada saat pengobatan tidak dilanjutkan. Papula tanpa blisters tidak lazim dan perubahan eczematous, yang mungkin linchenified, kadang-kadang terlihat. Pigmentasi progresif pada bagian lesi kulit terjadi di beberapa pasien.4 Keadaan umum pasien biasanya baik. Keluhannya sangat gatal, seperti rasa terbakar atau rasa tersengat tetapi bisa juga asimptomatik walaupun jarang. Ruam berupa eritema, papulo vesikel, vesikel atau bula yang berkelompok. Kelainan yang utama adalah vesikel, oleh sebab itu disebut herpetiformis yang berarti seperti Herpes Zoster atau Herpes Simplex. Vesikel-vesikel tersebut dapat berbentuk arsiner atau sirsiner. Dinding vesikel atau bula tegang. Bula jarang dijumpai. Dapat juga dijumpai erosi atau krusta jika vesikel atau bula pecah.5,6,7 Distribusi lesi biasanya simetris pada permukaan ekstensor seperti siku, lutut, sacrum, bokong dan punggung. Lesi jarang terjadi pada mukosa mulut, telapak tangan dan kaki. Penderita biasanya dapat memperkirakan tempat timbulnya lesi baru 8-12 jam sebelumnya karena daerah tersebut terasa tersengat atau terbakar atau gatal.5,6,7 a b Gambar 2. a) papulovesikel eritematous dan erosi pada siku. b) vesikel dan papula yang berkelompok pada lutut disertai krusta hemoragik 6 a b Gambar 3. a.Papulovesikel berkelompok pada leher dan kulit 6, b.Bulla Pada siku Gambar 4. Distribusi lesi pada dermatitis herpetiformis 6 Gambar 5. Gambaran papulavesicel berkelompok, krusta, erosi dengan dasar eritema pada sacrum, bokong6 Gambar 6. Papul, plak urtikaria, vesikel dan krusta pada siku6 E. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis dari Dermatitis Herpetiformis adalah sebagai berikut : a) Histopatologi Gambaran histopatologi DH yang khas paling baik terlihat pada daeah eritem disekitar vesikel yang baru muncul. Pada daerah ini terdapat akumulasi netrofil dan beberapa eosinofil pada ujung papila dermis yang semakin lama semakin bertambah besar membentuk mikroabses. Pembentukan mikroabses mengakibatkan pemisahan antara ujung papila dermis dan epidermis sehingga terbentuk vesikel.8,9 Pada awalnya interpapilary ridges epidermis tetap melekat pada dermis sehingga vesikel yang terbentuk adalah multilokular dan masih terlalu kecil untuk dilihat secara klinis. Dalam 1-2 hari rete ridges ini akan terlepas dari dermis dan terbentuk vesikel unilokular yang akan tampak secara klinis. Pada saat ini mungkin masih terlihat mikroabses pada tepi vesikel . karena itu biopsi pada tepi vesikel sangat berguna. 8,9 Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron terlihat bula subepidermal di bawah lamina basalis. Pada daerah lesi, lamina basalis rusak atau hilang dan pada kulit di dekat lesi, lamina basalis menjadi tipis. 8,9 Gambar 7. Biopsi pada lesi awal DH menunjukkan kumpulan eosinofil dan netrofil pada papilla dermis dan vesikulasi pada subepidermal 6 b) Pemeriksaan Serologi Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan serologis pada penderita DH. Sebuah panel tes serologis digunakan untuk mendeteksi gluten-sensitif enteropathy (GSE). Tiga antibodi ditujukan ke jaringan ikat atau komponen permukaan fibril otot polos: 1. A-EmA Antiendomysial antibody (IgA) 2. AGA Antigliadin antibody (IgG atau pooled Ig) 3. R1-ARA Antireticulin antibody (IgA)10 A-EmA memiliki spesifisitas sampai 100% untuk celiac disease, sedangkan kepekaannya adalah 85% untuk orang dewasa yang tidak diobati dan 90% pada childhood celiac disease. Hal ini dapat menetap dalam titer rendah pada 10-25% pasien dengan diet bebas gluten, meskipun histologinya normal. Tes AGA memiliki sensitivitas yang baik (68-76%), tetapi juga dapat ditemukan pada 10-20% pasien dengan penyakit lain pada mukosa usus kecil. Tes AGA sangat membantu dalam pemantauan GSE. R1-ARA memiliki spesifitas yang lebih tinggi disbanding AGA pada pasien anak, tetapi sensitivitasnya relatif rendah (<40-50%).11 Pemeriksaan direct immunifluorescent menunjukkan adanya IgA di ujung-ujung papilla di sekitar lesi. Ditemukannya IgA pada papilla dermis merupakan tanda spesifik untuk DH.10,11 Gambar 8. Direct immunofluorescent. Deposisi granular IgA pada papilla dermis6 F. DIAGNOSIS Diagnosis DH dapat ditegakkan berdasarkan : Gejala klinik ( pleomorfik dan papula eritematous yang gatal, urtikaria, dan vesikobulla, yang terletak pada permukaan ekstensor, bokong, dan punggung) Gambaran histologi (bulla subepidermal, akumulasi eosinofil dan mikroabses netrofil pada papilla dermis) Ada antibodi IgA terhadap endomysium dan TG2 di sirkulasi DIF pada kulit di sekitar lesi menunjukkan deposisi granular IgA pada daerah membrane basalis di atas papilla dermis. Konfirmasi diagnosis secara exjuvantibus dengan pemberian terapi dapson dan mendapat respon yang cepat dan baik. Enteropati akibat sensitif terhadap gluten dapat dikonfirmasi melalui biopsy jejunum.11 G. DIAGNOSIS BANDING DH dibedakan dengan pemfigus vulgaris, pemfigoid bullosa, dan Chronic Bullous Diseases of Childhood (CBDC).11 1) Pemfigus Vulgaris Pada pemfigus vulgaris, keadaan umumnya buruk, tak gatal, kelainan utama ialah bulla yang berdinding kendur, generalisata, dan eritema bisa terdapat atau tidak. Pada gambaran histopatologik terdapat akantolisis, letak vesikel intraepidermal. Terdapat IgG di stratum spinosum.11 Gambar 9. Pemfigus Vulgaris pada punggung 2) Pemfigus Bullosa Pemfigoid bullosa berbeda dengan DH karena ruam yang utama ialah bulla, tak begitu gatal, dan pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat IgG tersusun seperti pita di subepidermal.11 Gambar 10. Pemfigus Bullosa 3) Chronic Bullous Disease of Childhood (CBDC) CBDC atau dermatosis linear IgA, terdapat pada anak, kelainan utama ialah bulla, tak begitu gatal, eritema tidak selalu ada, dan dapat berkelompok atau tidak. Terdapat IgA yang linear.6 Gambar 11. Chronic Bullous Disease of Childhood Pemfigus vulgaris Pemfigoid Chronic Bullous bullosa Disease of Childhood Etiologi Autoimun Disangka Belum jelas autoimun Usia 30-60 tahun Biasanya usia tua Anak atau dewasa Keluhan Kelainan kulit Biasanya tidak Biasanya tidak gatal gatal Bula berdinding Bula berdinding Vesikel kendur, krusta tegang berkelompok bertahan lama Sangat gatal berdinding tegang Tanda + - - Biasanya Perut, lengan Simetrik : generalisata fleksor, lipat tengkuk, bahu, paha, tungkai lipat ketiak, medial lengan ekstensor, Nikolski Tempat predileksi daerah sacrum, bokong Kelainan 60% 10-40% Jarang Bula Celah di taut Celah intraepidermal, dermal-epidermal, subepidermal, akantolisis bula di sub- terutama netrofil mukosa mulut Histopatologi epidermal, terutama eosinofil Imunofluorese nsi langsung IgG dan IgG seperti pita di IgA granular di komplemen di membrane basal papilla dermis epidermis Enteropati - - + Peka gluten - - + HLA - - B8, DQW2 Terapi Kortikosteroid Kortikosteroid DDS (prednisone) 60- (prednisone) 40- (diaminodifenil 150mg sehari, 60mg sehari sulfon) 200-300 sitostatik mg sehari H. TATALAKSANA Terapi yang utama pada pasien DH adalah dengan diet bebas gluten. Ini melibatkan penghapusan gandum dan makanan yang terbuat dari biji-bijian dari diet pasien DH. Mungkin diperlukan dua tahun atau lebih untuk deposit IgA bawah kulit untuk benar-benar jelas.12 Diet gluten-free (GF) adalah komitmen seumur hidup dan tidak boleh dimulai sebelum ada diagnosis pasti DH. Memulai diet tanpa pemeriksaan lengkap tidak disarankan dan kemudian membuat diagnosis sulit. Tes untuk mengkonfirmasi DH bisa negatif jika seseorang melakukan diet GF untuk jangka waktu tertentu. Untuk diagnosis yang valid, gluten perlu dikonsumsi kembali oleh pasien selama beberapa minggu sebelum pemeriksaan lengkap. DH adalah suatu penyakit keturunan autoimun sehingga konfirmasi DH akan membantu generasi mendatang sadar akan risiko dalam keluarga.13 Obat pilihan untuk DH ialah preparat (diaminodifenilsulfon). Pilihan kedua yakni sulfapiridin.13 sulfon, yakni DDS - Dapsone (diaminodifenilsulfon) Dosis DDS 200-300 mg/hari. Dicoba dulu 200 mg/hari. Jika ada perbaikan akan tampak dalam 3-4 hari. Bila belum ada perbaikan, dosis dapat dinaikkan. Efek sampingnya ialah agranulositosis, anemia hemolitik, dan methemoglobinemia. Kecuali itu juga neuritis perifer dan bersifat hepatotoksik. Dengan dosis 100 mg sehari umumnya tidak ada efek samping. Yang harus diperiksa adalah kadar Hb, jumlah leukosit, dan hitung jenis, sebelum pengobatan dan 2 minggu sekali. Jika klinis menunjukkan tanda-tanda anemia atau sianosis segera dilakukan pemeriksaan laboratorium. Jika terdapat defisiensi G6PD, maka merupakan kontraindikasi karena dapat terjadi anemia hemolitik. Bila telah sembuh dosis diturunkan perlahan-lahan setiap minggu hingga 50 mg sehari, kemudian 2 hari sekali, lalu menjadi seminggu 1x.13 - Sulfapiridin Sulfapiridin sukar didapat karena jarang diproduksi sebab efek toksiknya lebih banyak dibandingkan dengan preparat sulfa yang lain. Obat tersebut kemungkinan akan menyebabkan terjadinya nefrolithiasis karena sukar larut dalam air. Efek samping hematologic seperti pada dapson, hanya lebih ringan. Khasiatnya kurang dibandingkan dapson. Dosisnya antara 1-4 gram sehari.13 Ketika pemberian dapson dan sulfapiridine tidak dapat digunakan karena adanya reaksi lanjut, pemberian antihistamin dengan dengan dosis tinggi dapat membantu. Penggunakan kortikosteroid harus tersedia dalam keadaan darurat ketika tidak ada obat lain yang tersedia saat itu. Triamcinolone acetonide 60 mg antara 20 atau 30 mg intramuscular tidak diberikan lebih dari 1 bulan, biasanya lebih efektif dan muungkin di gunakan jika DDS dan sulfapiridine gagal atau tidak toleransi.14,15 I. PROGNOSIS Dengan tetap menjalankan diet bebas gluten, prognosis pasien DH sangat baik. Tingkat keparahan dan frekuensi erupsi juga akan berkurang dengan melanjutkan diet. Yodium dan sinar matahari dapat memicu timbulnya erupsi pada beberapa orang, namun yodium merupakan nutrisi penting dan seharusnya tidak dihapus dari diet tanpa pengawasan seorang dokter.15 Sebagian besar penderita akan mengalami DH yang kronis dan residif. Sepuluh persen dari pasien ditemukan mengalami remisi. Infeksi akut dan gangguan emosional dapat mencetuskan serangan. Diet bebas gluten yang ketat akan menyebabkan remisi pada kulit dan intestinal. Pasien DH dengan diet yang normal atau diet bebas gluten tidak menurunkan harapan hidup, meskipun adanya limfoma yang bertambah berat, dan mungkin mereduksi penyakit jantung iskemik.15 BAB III PENUTUP Dermatis Herpetiformis (DH) adalah suatu penyakit vesikobulosa yang jarang dijumpai. Penyakit ini ditandai dengan erupsi papulovesikel yang tersusun berkelompok, sangat gatal dengan distribusi simetris pada permukaan ekstensor seperti siku, lutut dan bokong. Gejalanya sangat gatal, seperti rasa terbakar atau rasa tersengat tetapi bisa juga asimptomatik walaupun jarang. Tanda (UKK): Kelainan yang utama adalah vesikel, oleh sebab itu disebut herpetiformis yang berarti seperti Herpes Zoster atau Herpes Simplex. Vesikelvesikel tersebut dapat tersusun arsiner atau sirsiner. Dinding vesikel atau bula tegang. Bula jarang dijumpai. Dapat juga dijumpai erosi atau krusta jika vesikel atau bula pecah. Predileksi: lesi biasanya simetris pada permukaan ekstensor seperti siku, lutut, sacrum, bokong dan punggung. Lesi jarang terjadi pada mukosa mulut, telapak tangan dan kaki. Penderita biasanya dapat memperkirakan tempat timbulnya lesi baru 8-12 jam sebelumnya karena daerah tersebut terasa tersengat atau terbakar atau gatal. Diagnosa banding: pemfigus vulgaris, pemfigoid bullosa, dan Chronic Bullous Diseases of Childhood (CBDC). Pemeriksaan penunjang: histopatologi diambil dari eritem disekitar vesikel yang baru muncul, terdapat akumulasi netrofil dan beberapa eosinofil pada ujung papila dermis yang semakin lama semakin bertambah besar membentuk mikroabses. Pembentukan mikroabses mengakibatkan pemisahan antara ujung papila dermis dan epidermis sehingga terbentuk vesikel. DAFTAR PUSTAKA 1. Leonard JN. Dermatitis Herpetiformis. In Harper J, Oranje A, Prose N, eds. Textbook of Pediatric Dermatology. 1st ed. London. Blackwell Sciensce Ltd. 2000 : 724-9. 2. Bolotin Diana, Petronic-Rosic Vesna. Epidemiology, Pathogenesis, and Clinical Presentation. Dalam: Dermatitis Herpetoformis. Chicago. 2015. 3. Burn T, Breathnach S, CoxN, et al. The Genital, Perianal, and Umbilical Region In: Rook’s Textbook of Dermatology. Oxford, UK: Blackwell Publisning Ltd. 2004. 7th ed. Vol 1-4. P.41.54-41.58. 4. Woff Kauls, Goldsmith A. Lovell, Katz I. Stephen, Gilchrest A. Barbara, Paller S. Amy, Leffell J. David. Dermatitis Herpetiformis. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 7th ed. Vol. 1-2.p501. 5. Wiryadi BE. Dermatitis Herpetiformis. Dalam:: Djuanda A. Hamzah M. Aisah S. ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelami. Edisi Keenam. Jakarta. Fakultas KEdokteran Universitas Indonesia. 6. Klaus Wolff. 2008. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Mc Graw Hill. New York. 7. Domonkos N. Anthony, Arnold L. Harry, Odom B. Richard. 1982. Andrews Diseases of the Skin Clinical Dermatology 7th ed. W. B. Saunders Company. Philadelphia. 8. Rose C, Zillikens D. Autoimmune diseases of the skin pathogenesis, diagnosis,management. In: Hertl M, editor. . New York: Springer Wien New York; 2001. p:95-101. 9. Miller JL. Dermatitis herpetiformis. Available at: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1062640-overview#showall. 10. Lin R. Dermatitis Herpertiformis. Available at: URL: http://www.aocd.org/skin/dermatologic_diseases/dermatitis_herpeti.html. 11. Habif TP. Clinical dermatology a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed. Philadelphia: Mosby; 2004 p:554-558. 12. Hall PH, Katz SI. Dermatitis herpetiformis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed: McGraw-Hill; 2008 p: 500-504. 13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Panduan Praktik Klinis. 2017. PERDOSKI. 14. Clarindo, et al. Dermatitis Herpetiformis : Pathophysiology, Clinical Presentation, Diagnosis and Treatment. An Bras Dermatol. 89(6). P: 865-877. 2014. Available at : [http://dx.dpi.org] 15. Sansaricq, FC & Rosic, VP. Dermatitis Herpetiformis : What Practitioner Need To Know. Nutrition Issues In Gastroenterology. Series 111. 2012. Available at : [https://med.virginia.edu/ginutrition/wp- content/uploads/sites/199/2014/06/sansaricq DERMATITIS PERIORAL REFERAT Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD UNDATA Oleh : MUHAMMAD IQBAL N 111 17 062 PEMBIMBING KLINIK: dr. Asrawati Sofyan, Sp.KK., M.Kes KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN RUMAH SAKIT UNDATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO 2018 LEMBAR PENGESAHAN Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa: Nama : Muhammad Iqbal No. Stambuk : N 111 17 062 Judul Referat : Dermatitis Perioral Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako. Palu, Pembimbing Klinik Dr. Asrawati Sofyan, Sp.KK., M.Kes Juni 2018 Ko-Asisten Muhammad Iqbal