2 Relasi antara atasan dan bawahan merupakan suatu

advertisement
2
Relasi antara atasan dan bawahan merupakan suatu faktor penting dalam
meningkatkan produktivitas kerja. Komunikasi interpersonal dalam interaksi kerja
memiliki pengaruh yang besar terhadap kinerja karyawan dalam sebuah
perusahaan (Peltokorpi, 2006). Relasi interpersonal dalam perusahaan tersebut
merupakan pada suatu interaksi yang terjalin antara dua atau lebih individu yang
terlibat langsung satu sama lainnya dalam konteks pekerjaan.
Relasi mengacu pada hubungan dua orang atau lebih dimana perilakunya
saling mepengaruhi dan menghasilkan suatu perubahan terhadap perilaku lainnya
(Dwyer, 2000). Keragaman dari hubungan komunikasi interpersonal dalam
organisasi menjadi suatu hal yang penting bagi keterlibatan individu dalam
pekerjaan yang akan memberikan pengaruh terhadap kepuasan, komitmen, dan
produktifitas (Zalabak, 2006).
Carmeli dkk (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kualitas
hubungan yang baik dalam suatu organisasi erat kaitannya dengan menciptakan
landasan relasional untuk meningkatkan kemampuan karyawan yang penting
sehingga menghasilkan suatu perubahan positif dan meningkatkan kinerja. Long
dan Vaughan (2012) juga menyatakan bahwa hubungan interpersonal dalam
sebuah organisasi memiliki salah satu struktur pembentuk dalam organisasi yaitu
hubungan antara atasan dan bawahan, yang mana hubungan antara atasan dan
bawahan
sangat
penting
dalam
menentukan
bagaimana
karyawan
mengidentifikasi pekerjaan mereka, komitemen terhadap perusahaan, serta
dikaitkan juga terhadap pendapatan karyawan dan produktivitas karyawan.
3
Hubungan antara atasan dan bawahan adalah merupakan hal yang cukup
kuat dalam menentukan di hubungan yang baik dalam organisasi. Hal ini
melibatkan sejauh mana hubungan antara atasan dan bawahannya terjalin
kooperatif dan ramah atau antagonis dan sulit. Seorang atasan yang memiliki
hubungan yang baik dengan bawahannya maka akan merasa mendapat dukungan
dan dapat mengandalkan loyalitas dari para bawahannya untuk dapat
menghasilkan suatu kinerja yang maksimal (Hughes dkk, 2009).
Asumsi dasar dari hubungan antara atasan dan bawahan adalah adanya
hubungan pertukaran antara dua orang yang memiliki pengaruh positif tehadap
komitmen pada tujuan, produkitivitas serta kinerja karyawan (Song, 2006).
Hubungan antara atasan dan bawahan dapat dideskripsikan sebagai sebuah dasar
dari struktur hubungan interpersonal dalam sebuah organisasi, hal ini dikarenakan
terbentuk untuk mendukung pekerjaan dan persyaratan pekerjaan Hubungan yang
terjalin antara atasan merupakan hal penting dalam mendukung pekerjaan yang
mampu meningkatkan kinerja dari bawahan dalam pencapaian target kerja
kelompok (Zalabak, 2006).
Sweeney & Thompson (2009) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa
pengembangan kepercayaan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor
hubungan, faktor personal dan faktor organisasi. Faktor hubungan (relasional)
terdiri atas pembentukan dari hubungan saling ketergantungan (interdependence)
secara bersama dalam hubungan antara atasan dan bawahan, dan dalam
membangun tipe hubungan ini merupakan tanggung jawab dari seorang atasan.
4
Dalam melihat relasi interpersonal yang terjadi dalam sebuah organisasi
dapat dibedakan atas dua tipe hubungan yaitu hubungan dalam lingkup pekerjaan
dan lingkup diluar pekerjaan, Elizur (1986) dalam penelitiannya mengenai
hubungan dalam lingkup pekerjaan dan diluar pekerjaan dengan menggunakan
metode facet anlysis menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang terdapat
dalam relasi inetrpersonal yang terbentuk dalam lingkup pekerjaan dan di luar
pekerjaan. Aspek yang terdapat dalam relasi interpersonal dalam lingkup
pekerjaan dapat berupa: task identity, feedback from agents, feedback from job,
skill variety, dealing on job,autonomy, dan task significance. Aspek yang terdapat
dalam relasi interpersonal yang terbentuk dalam lingkup non-pekerjaan dapat
berupa : feedback from others, physical variety, dealing, autonomy.
Semakin baik hubungan interpersonal yang terjalin maka dapat membuat
seseorang menjadi lebih terbuka mengenai dirinya, makin cermat dalam
mempersepsikan orang lain dan dirinya sehingga akan menciptakan terjalinnya
komunikasi yang efektif baik dalam lingkup pekerjaan maupun lingkup nonpekerjaan dalam suatu organisasi yang dapat menciptakan suatu kinerja yang baik
pula (Rakhmat, 2012). Hal ini juga diungkap oleh Popescu (2013) dalam
penelitiannya bahwa komunikasi adalah tujuan yang memiliki arti penting dalam
konteks organisasi untuk mencipatakan kinerja yang baik dan mencapai tujuan
organisasi.
Salah satu aspek penting dalam kepemimpinan adalah kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi bawahan serta tingkat kepercayaan yang
diberikan kepadanya dalam mencapai tujuan organisasi serta dapat terjalinnya
5
saling penerimaan antara satu sama lainnya (Sweeney & Thompson, 2009).
Atasan yang mampu berkomunikasi dengan bawahan dengan baik seperti mampu
memotivasi karyawan dan menjalin hubungan yang saling mempengaruhi satu
sama lain dalam mencapai tujuan akan memiliki dampak positif pada
produktivitas kinerja karyawan (Song, 2006).
Adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan bersama dalam organisasi
membuat terciptanya hubungan saling ketergantungan antara atasan dan bawahan
(interdependesi). Dasar pemikiran dari teori interdependensi sosial adalah adanya
struktur tujuan dari beberapa orang dalam situasi tertentu serta bagaimana orangorang tersebut berinteraksi dan untuk menentukan hasil dari interaksi yang mereka
lakukan. Tipe dalam hubungan saling ketergantungan (interpedendensi)
menentukan bagaimana individu harus berinteraksi dalam mencapai tujuan
mereka tersebut. Dalam sebuah interaksi terlihat bahwa terdapat kesempatan
untuk a) mendukung dan memfasilitasi orang lain dalam mencapai tujuan, dan b)
menghambat dan menghalangi orang lain dalam mencapai tujuan. Dalam sebuah
interaksi didefinisikan sebagai perilaku individu yang berurutan atau bersamaan
yang dapat mempengaruhi hasil di masa depan baik langsung ataupun tidak
langsung dari setiap individu (Jhonson & jhonson, 2005).
Jhonson&Jhonson (2005) menjelaskan bahwa interdependensi positif
menghasilkan suatu proses interaksi yang saling mendukung (promotive
interaction), sedangkan interdependensi negatiif mengakibatkan proses interaksi
yang bertentangan (oppositional interaction). Promotive interaction didefinisikan
sebagai orang yang terlibat dalam tindakan yang memungkinkan meningkatkan
6
setiap keberhasilan orang lain dalam mencapai tujuan bersama. Hal ini terdiri dari
sejumlah variabel yang meliputi bantuan, pertukaran sumber daya yang
diperlukan, komunkasi yang efektif, pengaruh timbal balik, kepercayaam dan
manajemen konflik. Oppositional intercation didefinisikan sebagai individu
terlibat dalam tindakan yang memungkinkan akan menghambat keberhasilan
orang lain dalam mencapai tujuannya, individu tersebut
memfokuskan pada
peningkatan produktivitas diri sendiri dan bisa menghalangi orang lain untuk
mencapai produktivitas yang lebih baik dari yang ia lakukan. Hal ini terdiri dari
variabel seperti terhalangnya orang lain dalam mencapai tujuan, taktik untuk
mengancaman serta memaksa, komunikasi yang tidak efektif, ketidakpercayaan
dan perjuangan untuk menang dalam
konflik. No interaction didefinisikan
sebagai individu yang terlibat dalam tindakan yang mendukung pencapaian tujuan
sendiri tanpa mempengaruhi pencapaian tujuan orang lain, individu ini hanya
fokus dalam meningkatkan produktivitas dan pencapaian dirinya, serta
mengabaikan usaha orang lain yang tidak relevan dengan tindakan yang ia
lakukan.
A
B
Promotive interaction
A
B
Oppositional intercation
7
B
A
No interaction
Gambar 1: Bentuk interaksi
Hubungan interpersonal di organisasi terbentuk berdasarkan kepentingan
tugas dan social consideration. Untuk menjadikan suatu hubungan yang efektif,
penting untuk mengerti bagaimana bisa menarik orang lain dan bagaimana
mempengaruhi mereka membentuk suatu pengaruh perilaku komunikasi yang
terjalin didalamnya. Apabila komunikasi yang terjalin antara atasan dan bawahan
sudah terjalin dengan efektif, maka dengan kemungkinan terbesar dapat
membentuk suatu relasi interpersonal yang baik pula antara atasan dan bawahan
di sebuah organisasi.
Hubungan interdependesi dapat membantu atasan dalam menciptakan
kepercayaan dari bawahan dengan meningkatkan hubungan yang
kooperatif,
menjadi kompeten dalam pekerjaan, menampilkan karakter terbaik, dan
menampilkan intensi untuk membuat bawahan lebih memiliki kepercayaan
kepadanya. Interdependensi kooperatif dapat didefinisikan sebagai ketika atasan
dan bawahan saling peduli antar satu sama lain. (Sweeney & Thompson, 2009)
Deutsch (dalam Jhonson & Jhonson, 2005) juga menjelaskan bahwa
individu akan mengejar tujuan mereka sendiri, namun bagaimana individu
tersebut dapat percaya bahwa tujuan mereka itu berhubungan dengan orang lain
dan sangat mempengaruhi dinamika dan memiliki konsekuensi terhadap
8
hubungannya dengan orang lain. Dalam berinteraksi individu akan menjalani dua
hal yaitu kerjasama dan kompetisi. Dasar dari sebuah kerjasama maupun
kompetisi adalah arah dari tujuan yang menentukan bagaimana individu
berinteraksi dan interaksi mereka tersebut yang akan menentukan hasilnya.
Kerjasama
dalam
hubungan atasan-bawahan,
tujuan dianggap
berhubungan positif, atasan percaya kesuksesan bawahan akan
memfasilitasi
kesuksesan mereka juga, ketika bawahan bergerak ke arah pencapaian tujuan,
maka mereka juga akan beregerak mencapai tujuan bersama. Terjalinnya
kerjasama yang baik antara atasan dan bawahan dapat menghasilkan suatu
produktivitas kinerja bersama, dimana ketika bawahan mampu mencapai target
pekerjaan mereka maka atasan pun dapat mencapai tujuan pekerjaanya (Jhonson
& Jhonson, 2005).
Kompetisi dalam hubungan atasan bawahan, tujuan mereka berhubungan
negatif dan bertolak belakang. Dalam kompetisi seseorang merasa ketika semakin
banyak orang lain mencapai kesuksesan, maka semakin kecil mereka bisa
mendapatkan apa yang mereka inginkan, sehingga mereka mencoba menahan
informasi
dan ide-ide untuk
meningkatkan kesempatan mereka
dalam
memenangkan persaingan. Hasil dari kompetisi dapat mengakibatkan interaksi
yang kurang baik serta dapat menimbulkan konflik dan bisa disebabkan oleh
komunikasi yang terbatas antara atasan dan bawahan. Dalam hubungan atasan
bawahan kompetisi dapat terjadi ketika atasan tidak menjelaskan tujuan kerja
bersama bawahan dan tidak menghargai hasil pekerjaan bawahannya.
9
Yifeng (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa teori kerja sama
dan kompetisi dalam hubungan atasan-bawahan dapat menyediakan kerangka
kerja bagaimana atasan asing dalam menghadapi hambatan dan rintangan antara
manajer dan karyawan. Bambacas, dkk (2008) dalam penelitiannya menghasilkan
bahwa seorang atasan harus memiliki komunikasi interpersonal yang baik untuk
dapat menciptakan komitmen bawahannya, bagaimana perilaku atasan, cara
penyampaian
pesan
kepada
bawahan,
kemampuan
mendengarkan
dan
kemampuan memimpin merupakan hal pentinng dalam meningkatkan komitmen
bawahan dalam bekerja.
Atasan dan bawahan keduanya memiliki beragam karakteristik pribadi dan
kecenderungan dalam memandang hubungan mereka. Interaksi dari karakteristik
akan mempengaruhi kepuasan dari perasaan seseorang terhadap orang lain dan
membantu menetapkan efektivitas dari suatu hubungan. Neufeld, dkk (2010) juga
menjelaskan dalam penelitiannya bahwa efektivitas komunikasi antara atasan dan
bawahan merupakan prediktor kuat yang mempengaruhi kinerja atasan.
Lee dalam Zalabak (2006) menyatakan bahwa hubungan atasan dan
bawahan dapat dijelaskan dalam istilah Leader-Member Exchange Theory
(LMX). Teori LMX menunjukkan bahwa pemimpin memiliki waktu yang
terbatas, sumber daya dan bersama-sama diantara pribadi dan posisi yang berbeda
dengan bawahan mereka (Aamodt & Raynes, 2000).
Vertical Dyad Linkage (VDL) adalah teori yang dikembangkan oleh
Dansereau, Graen dan Haga (1975) dan merupakan teori situasional. Teori VDL
ini berkonsentrasi pada interaksi antara atasan dan bawahan yang biasa disebut
10
degan Teori Leader Member Exchange (LMX). Teori VDL menyatakan bahwa
para atasan mengembangkan peran yang berbeda dengan bawahan yang berbeda
dan juga melakukan tindakan yang berbeda pula dengan bawahan yang berbeda
pula (Aamodt & Raynes, 2000). Fokus dalam model LMX dalam hubungan dyad
yaitu menjelaskan metode atasan dan bawahan dalam mengembangakan berbagai
perilaku yang saling ketergantungan satu sama lain (Yrle, 2003).
Leader-member Exchange (LMX) menyatakan bahwa para atasan
membentuk hubungan khusus dengan bawahannya yang berdasarkan kompetensi
bawahan dan keahlian serta keinginan pribadi yang sama dengan mereka. Seperti
sebuah hubungan khusus, kepercayaan berkembang antara atasan-bawahan dalam
sebuah kelompok, atasan dan bawahan dengan kemapuan yang lebih besar untuk
dapat mempengaruhi satu sama lain (Sweeney & Thompson, 2009; Daft, 1999).
LMX merupakan sebuah konsep yang mampu menjelaskan bagaimana
hubungan antara atasan dan bawahan berpengaruh terhadap kinerja karyawan
(Cogliser et al., 2009). Lee (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
kualitas dari hubungan atasan-bawahan (LMX) juga mampu memediasi hubungan
antara tipe kepemimpinan atasan dengan komitmen organisasi yang ditunjukkan
oleh bawahan.
Ford & Greguras (2006) dalam penelitiannya LMX
yang meneliti
mengenai LMX dengan menggunakan teori LMX yang dikembangkan oleh Liden
& Maslyn (1998) yang terdiri dari empat dimensi yang berbeda, yaitu (a) afeksi,
merupakan sikap saling mempengaruhi satu sama lain antara atasan dan bawahan
berdasarkan daya tarik interpersonal dan tidak hanya dari nilai professional
11
pekerja (seperti, persahabatan), b) loyalitas, merupakan ekspresi dan ungkapan
untuk mendukung penuh tujuan dan karakter pribadi anggota lainnya dalam
hubungan timbal balik pimpinan dan bawahan (dyad LMX) (seperti, kesetiaan);
(c) kontribusi, merupakan persepsi tentang kegiatan yang berorientasi pada tugas
di tingkat tertentu antara setiap anggota untuk mencapai tujuan bersama (eksplisit
atau implisit). Sejauhmana anggota bawahan dari dyad menangani tanggung
jawab dan menyelesaikan tugas-tugasnya secara bertanggung jawab atau sesuai
kontrak kerja, serta sejauhmana atasan memberikan sumber daya dan peluang
untuk kegiatan tersebut, (d) Respek profesional, adalah persepsi dimana setiap
anggota dalam hubungan tersebut telah menciptakan reputasi didalam atau diluar
organisasi. Persepsi ini dapat didasarkan pada data sejarah tentang seseorang,
seperti pengalaman pribadi dengan seseorang, komentar yang dibuat menggenai
seseorang yang diperoleh secara pribadi dari dalam maupun dari luar organisasi,
serta penghargaan atau pengakuan professional yang diperoleh seseorang.
Perizade dan Mohamed (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa
LMX dengan dua dimensi afeksi dan kontribusi adalah merupakan instrumen
yang solid. Pada penelitiannya yang dilakukan di Sumatera Selaran dengan
partisipan para CEO yang ada di daerah tersebut. Efektivitas kepemimpinan
cukup nyata
telah dipengaruhi oleh LMX dimana kontribusi dan afeksi
merupakan dimensi yang dapat mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Hasil
penelitian Mashud, Yukl dan Prussia (2010) menyatakan bahwa perilaku yang
berorientasi pada hubungan atasan sepenuhnya dimediasi oleh hubungan antara
etika kepemimpinan dan hubungan antara atasan dan bawahan (LMX).
12
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Yifeng (2008) bahwa
tujuan merupakan fondasi utama dalam mengatasi jarak budaya antara atasan
asing dengan karyawan, dan merupakan fondasi dalam membangun dan
mengembangkan hubungan atasan-bawahan yang kuat dengan para atasan asing
yang ada di Cina.
Selain dijelaskan dalam teori LMX, hubungan atasan bawahan juga telah
dijelaskan oleh Warren (1999) mengenai paternalisme leadership. Warren (1999)
menjelaskan bahwa paternalisme leadership baru diimplementasikan dalam
kebijakan HRM untuk mendapatkan komitmen karyawan dan produktivitas yang
berbasis tim. Dalam paternalisme baru, perusahaan lebih terlibat dalam kehidupan
diluar
konteks
pekerjaan
karyawan
mereka
dengan
membantu
dalam
permasalahan sosial dan keluarga mereka (Aycan, 2006).
Dalam konteks organisasi, paternalisme baru dikembangkan untuk
memanusiakan dan memoralisasi tempat kerja dalam membangun sistem
manajemen yang lebih fleksibel dibandingkan dengan hubungan yang kaku
anatara atasan dan bawahan. Paternalisme dapat menjelaskan hubungan antara
atasan bawahan dalam konteks corporate culture, yaitu hubungan yang lebih
fleksibel antara atasan dan bawahan dengan tidak adanya aturan formal yang
mengikat diantara keduanya sehingga dapat dimungkinkan terjalinnya hubungan
bergantung pada kondisi saat itu (Aycan, 2006).
Dalam arti luas, Paternalisme dalam organisasi adalah bagaimana atasan
mempelakukan karyawan seolah-olah mereka adalah bagian dari keluarga. Dalam
hubungan interpersonal, atasan paternalistik beperilaku seperti kebapakan kepada
13
bawahannya. Dalam konteks organisasi, berperilaku atasan paternalistikdapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Menciptakan suasana keluarga di tempat kerja, dapat berperilaku
seperti seeorang ayah kepada atasan dengan memberikan nasehat
kepada bawahan dalam mewujudkan suatu profesionalitas dari
bawahan.
b. Membangun hubungan dekat dan hubungan individual dengan
bawahan, dapat memahami setiap bawahan dan menjalin sebuah
hubungan dekat dengan bawahan.
c. Terlibat dalam domain non-kerja bawahan, dapat membantu bawahan
dalam hal-hal yang tidak berkaitan dnegan pekerjaan seperti masalah
pribadi dari bawahan tersebut.
d. Mengharapkan loyalitas. Mengharapkan loyalitas dan komitmen dari
setiap bawahan terhadap pekerjaan yang berkaitan dengan organisasi.
e. Mempertahankan otoritas/status. Pentingnya memberikan perbedaan
status/posisi dan bawahan dapat memahami hal tersebut (Aycan,
2006).
Reaksi dan perilaku dalam hubungan paternalistik karyawan belum
ditelaah secara sistematis dalam literatur, namun ada ada bukti yang bersifat
anekdotal dan penelitian kualitatif menyatakan bahwa loyalitas karyawan dan rasa
hormat diwujudkan dalam berbagai bentuk sebagai berikut:
14
a. Menganggap
lingkungan
pekerjaan
sebagai
sebuah
keluarga.
Menerima lingkupan kerja mejadi sebagai sebuah keluarga dan merasa
adanya ikatan emosional dengan atasan.
b. Menjadi loyal dan menghormati atasan. Menunjukkan sikap loyal dan
setia terhadap atasan sehingga mampu bekerja dnegan baik dan
menjaga nama baik atasan dan perusahaan.
c. Ikut terlibat dalam domain non-pekerjaan. dapat saling membantu
dengan atasan dalam permasalahan yang tidak berkaitan dengan
pekerjaan / masalah pribadi atasan apabila ia membutuhkannya.
d. Menerima otoritas dan percaya terhadap apa yang diberikan oleh
atasan (Aycan, 2006).
Aycan (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kerangka kerja
konseptual yang dibagi dua tipe paternalisme yaitu benevolent paternalisme dan
exploitative paternalisme yang sangat berbeda dengan gaya manajemen otoriter
dan otoritatif. Benevolent paternalisme terjadi ketika penekaman utamanya adalah
pada kesejahteraan karyawan yang diberikan oleh atasan. Sebagai imbalannya,
karyawan menunjukkan loyalitas dan rasa hormat serta mendapatkan penghargaan
terhadap sikap dari atasanya. Pada tipe ini atasan akan peduli (care) pada
bawahannya untuk dapat meningkatkan kinerja dari bawahannya, dimana bawahn
akan menujukkan loyalitas (loyalty) dan rasa hormat (deference) terhadap atasan
mereka.
Dalam exploitative paternalisme perilaku yang jelas terlihat juga dalam
hal perhatian dan pengasuhan, tetapi dengan alasan yang berbeda yaitu untuk
15
menciptakan kepatuhan karyawan dalam mencapai tujuan organisasi. Pada tipe ini
atasan peduli pada karyawan dengan tujuan untuk mengeksploitasi karyawannya,
dimana bawahan akan menunjukkan loyalitas dan rasa hormat kepada atasan guna
semata-mata mendapatkan keuntungan atau menghindari hukuman.
Manajemen otoriter (authoritarian approach) bergantung pada kontrol
(control) dan eksploitasi pada bagian superior, di mana bawahan menunjukkan
kesesuaian dan ketergantungan dalam menerima imbalan atau menghindari
hukuman. Pada tipe ini atasan akan memberikan kontrol kepada bawahan agar
bawahan mampu bekerja lebih keras, dimana bawahan akan menunjukkan
kesesuaian (conformity) dan ketergantungan (dependence) pada atasan untuk
mendapatkan keuntungan atau menghindari hukuman.
Manajemen
pengawasan
otoritatif
(control),
tetapi
(authoritative
alasan
yang
apporach)
juga
mendasarinya
melakukan
adalah
untuk
mempromosikan kesejahteraan bawahan. Bawahan sebagai imbalannya adalah
menghormati keputusan atasan dan sesuai dengan aturan yang akan bermanfaat
untuk diri karyawan tersebut.
Atasan yang terbuka dalam berbagai hal dapat membuat bawahan menjadi
merasa dihargai dan dibimbing oleh atasannya sehingga mereka mampu
menghasilkan kinjera yang baik dan mencapai tujuan bersama sampai akhirnya
menghasilkan suatu produktivitas organisasi. Berdasarkan pengalaman penulis
yang telah melakukan praktek kerja profesi psikologi di PT. United Tractors,
hubungan yang terjalin antara atasan dan bawahan terlihat cukup baik. Setiap
Departement Head akan terbuka ketika bawahannya ingin berdiskusi terkait
16
dengan permasalahan yang dialami baik yang berhubungan dengan pekerjaan
maupun masalah pribadi.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh PT. United Tractors berupa
Employee Engagement Survey didapat hasil yang menunjukkan terjalinnya
hubungan yang baik baik antara sesama karyawan dan antara atasan dan bawahan.
Survey ini merupakan survey yang dilakukan oleh manajemen untuk melihat
gambaran mengenai bagaimana hubungan yang terjalin dalam organisasi secara
menyeluruh.
Kase (2009) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa desain pekerjaan
bersama dengan pelatihan dan pengembangan SDM dapat membentuk sautau
hubungan struktural. Pengaruh dari desain pekerjaan bersamaan dengan pelatihan
dan pengembangan SDM dalam transfer pengetahuan antar perusahaan terutama
dimediasi oleh sebuah hubungan interpersonal.
Berdasarkan penelitian
terdahulu yang telah dilakukan oleh Hernaus
(2005) dengan subjek penelitian karyawan yang ada di Kroasia yaitu terjalinnya
relasi interpersonal yang baik dalam bekerja merupakan suatu aspek yang penting.
Penelitian yang dilakukan di Kroasia ini menunjukkan bahwa karyawan Kroasia
menganggap hubungan interpersonal di tempat kerja secara signifikan lebih buruk
dibandingkan dengan yang lainnya dimana karyawan di Kroasia bekerja didalam
lingkungan yang kurang positif, secara signifikan mereka frekuensi mereka untuk
berkonsultasi dengan atasan yang masih kurang, jarang memberi pujian dan
atasan mereka kurang memberikan waktu yang lebih bagi karyawannya.
Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa terdapat perbedaan relasi
17
interpersonal di tempat kerja antara konteks budaya barat dan konteks budaya
non-barat. Moghaddam (1993) dalam Duck(2010), relasi interpersonal pada
konteks budaya barat cenderung individualis, sukarela dan bersifat sementara,
sedangkan untuk budaya non-Barat lebih cenderung kolektif, spontan dan
permanen.
Seorang karyawan yang dapat memberikan kinerja yang baik dapat
disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah hubungan atasan-bawahan dan
iklim komunikasi yang terjadi di perusahaan. Hubungan atasan-bawahan atau
iklim organisasi yang buruk kerap mempengaruhi persepsi atasan terhadap
bawahan, akibatnya hubungan yang tercipta cenderung vertikal dan bawahan
hanyalah dipandang sebagai orang orang suruhan. Dampak jangka panjang yang
terjadi adalah produktivitas menurun karena kurang puas terhadap suasana yang
ada, karyawan akan menjadi malas bekerja karena tidak memiliki semangat dalam
bekerja dan pada akhirnya dapat menimbulkan efek negatif kepada produktivitas
departemen dan organisasi tersebut.
Persepsi interpersonal besar pengaruhnya, bukan saja pada komunikasi
interpersonal melainkan juga pada relasi/hubungan interpersonal. Oleh karena itu,
kecermatan persepsi interpersonal akan sangat berguna dalam meningkatkan
kualitas relasi/hubungan interpersonal. Adapaun faktor-faktor personal yang
mempengaruhi adalah: Pengalaman, motivasi, dan kepribadian (Rakhmat, 2012).
Seperti yang dijelaskan oleh Septiani (2006) dalam penelitiannya bahwa iklim
komunikasi ternyata mempengaruhi interaksi antara hubungan atasan-bawahan
dan motivasi karyawan.
18
Penelitian mengenai relasi interpersonal antara atasan dan bawahan harus
dilihat dari dua sudut pandang baik dari atasan ke bawahan dan sebaliknya.
Dengan demikian dapat terlihat bagaimana hubungan yang telah terjalin dari
kacamata kedua belah pihak bukan dari persepsi satu pihak. Penelitian terdahulu
tentang relasi interpersonal seringkali hanya melihat dari satu sudut pandang saja
sehingga data yang diperoleh kurang komprehensif untuk menggali bagaimana
efektivitas relasi interpersonal tersebut. Selain itu, penelitian-penelitian terdahulu
yang telah dilakukan menitikberatkan kepada pengujian secara kuantitatif,
sedangkan secara kualitatif dan mendalam masih jarang dilaksanakan.
Divisi Truck Operation terdiri atas beberapa departemen yang dipimpin
oleh seorang departement head yang membawahi beberapa staff. Secara gambaran
umum berdasarkan hasil prelimenary yang dilakukan oleh penulis terlihat
hubungan yang cukup baik di perusahaan. Gambaran hubungan yang cukup baik
ini hanya berdasarkan survey yang dilakukan oleh perusahaan terhadap hubungan
secara keseluruhan dan belum mengacu kepada hubungan atasan dan bawahan.
Namun, ada terdapatnya perbedaan hubungan yang terjalin antara atasan
yang satu dengan yang lainnya, sehingga terlihat bahwa masih adanya hubungan
yang terjalin kurang baik di dalam divisi tersebut. Komunikasi yang terjalin
kurang baik antara atasan dan bawahan dapat menimbulkan menurunya motivasi
karyawan disebuah departemen di divisi ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka permasalahan penelitian yang
diangkat oleh peneliti adalah bagaimana bentuk relasi interpersonal antara atasan
dan bawahan secara kontekstual pada konteks lingkungan kerja tertentu.
19
Penelitian ini akan mengungkap sejauh mana relasi intereprsonal yang terjalin
serta aspek-aspek relasi interpersonal yang terjalin antara atasan dan bawahan
seperti apa yang mampu meningkatkan produktivitas kinerja dalam konteks
lingkungan pekerjaan tertentu.
Adapun pertanyaan penelitian yang diungkap dalam penelitian ini adalah:
(1) Bagaimana relasi antara atasan dan bawahan yang terjalin?
(2) Apa saja faktor-faktor relasi yang mampu meningkatkan produktivitas kinerja?
(3) Bagaimana dinamika relasi yang terjalin antara atasan dan bawahan?
Penelitian ini dapat membantu perusahaan dalam melihat bagaimana
bentuk relasi interpersonal yang terjalin antara atasan dan bawahan pada divisi
operasional terutama Truck Division. Penelitian ini mampu memberikan masukan
kepada pihak manajemen untuk mencipatakan suatu kompetisi bagi setiap
kelompok yang ada untuk dapat mencipatkan relasi yang baik antara atasan dan
bawahan untuk mencapai hasil kinerja yang maksimal.
Selain itu, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bentuk
hubungan interpersonal yang terjalin antara atasan dan bawahan pada organisasiorganisasi yang sejenis di Indonesia
Implikasi teoritis dari pelaksanaan penelitian ini adalah dapat memberkan
sumbangan ilmu bagi peneliti, praktisi di bidang Psikologi Industri dan Organisasi
dan
masyrakat
umum
mengenai
aspek-aspek
penting
mengenai
relasi
interpersonal yang terjalin di perusahaan. Implikasi praktis dari penelitian ini
adalah memberikan masukan praktis dalam pengelolaan dan pengembangan
sumber daya manusia serta terjalinnya relasi interpersonal yang optimal dan
Download