MDVI Vol. 40 No.1 Tahun 2013:28 -34 Tinjauan Pustaka KUALITAS HIDUP PASIEN KUSTA Rinadewi Astriningrum, Wieke Triestianawati, Sri Linuwih Menaldi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia / Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ABSTRAK Kualitas hidup merupakan konsep yang melibatkan kesehatan fisik, keadaan psikologis, derajat ketidakbergantungan, hubungan sosial, kepercayaan, dan hubungannya dengan lingkungan. Dalam bidang medis, penilaian health-related quality of life (HRQOL) mencakup ranah kesehatan fisik, psikologis, dan sosial. Dampak penyakit kulit terhadap kualitas hidup pasien penting diketahui untuk menilai keparahan penyakit, evaluasi pengobatan, dan pengambilan keputusan dalam tatalaksana penyakit. Penyakit kusta merupakan kondisi kompleks yang melibatkan kesehatan fisik dan kualitas hidup pasien. Penyakit kusta maupun deformitas fisik yang ditimbulkan merupakan sumber terjadinya stigma dan isolasi sosial terhadap pasien maupun keluarganya dalam masyarakat. Kecacatan dan stigma yang dirasakan pasien akan mempengaruhi kesehatan mental dan berperan besar dalam penurunan kualitas hidup. Selain itu, stigma negatif penyakit kusta akan menghalangi program kesehatan komunitas yang berkaitan dengan pencegahan, diagnosis dini, terapi dan ketaatan berobat pasien kusta. Pencegahan kecacatan, rehabiltasi dan intervensi psikososial diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kusta. Selain itu, pemeliharaan kesehatan mental pasien kusta penting dilakukan. Pemberian psikoterapi dapat dipertimbangkan pada pasien kusta yang menunjukkan gangguan psikis. (MDVI 2013; 40/1:28-34) Kata kunci: kualitas hidup, kusta, kecacatan, stigma, kesehatan mental ABSTRACT Quality of life is a concept that involves physical health, psychological state, level of independence, social relationships, personal beliefs and their relationship to the environment. In the medical field, the assessment of health-related quality of life (HRQOL) domains include physical, psychological, and social aspects. The impact of skin disease on quality of life of patients is important to recognize in order to assess the severity of the disease, treatment evaluation,and management of the disease. Leprosy is a complex condition, it affects physical health and also the quality of life of patients. Leprosy and its physical deformities are the source of stigma and social isolation against patients and their families. Disability and stigma felt by the patients affect mental health and plays a major role in the loss of quality of life. Negative stigma against leprosy will impede community health programme for prevention, early diagnosis, treatment, and patients’ compliance. Disability prevention, rehabilitation and psychosocial interventions are needed to improve the quality of life of patients with leprosy. In addition, mental health care is important in the management of leprosy. Psychotherapy may be considered in patients with leprosy who showed mental disorders. (MDVI 2013; 40/1:28-34) Keywords: quality of life, leprosy, disability, stigma, mental health Korespondensi: Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta Pusat Telp. 021-31935383 Email; [email protected] 28 R Astriningrum PENDAHULUAN Konsep kualitas hidup diperkenalkan pertama kali dalam bidang kesehatan ketika hasil akhir (outcome) tatalaksana kedokteran tradisional berupa mortalitas dan morbiditas dipandang terlalu sempit. Indikator tersebut dinilai belum mencakup potensi hasil akhir lain yang cukup luas, yang berhubungan dengan kesehatan.1 Dalam bidang dermatologi, penyakit kulit kronis, misalnya kusta berhubungan dengan gangguan yang bermakna terhadap kehidupan pasien sehari-hari. Dampak penyakit kulit terhadap kualitas hidup pasien penting diketahui untuk menilai keparahan penyakit, evaluasi pengobatan, pengambilan keputusan dalam tatalaksana, dan kepentingan penelitian dalam pelayanan kesehatan.2 Kualitas hidup berbagai penyakit kronis telah banyak diteliti, namun penelitian tentang kualitas hidup pasien kusta dengan instrumen yang sudah divalidasi hanya beberapa saja yang pernah dilakukan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan berupa penelitian deskriptif atau berupa laporan. Pada makalah ini dibahas kualitas hidup pasien kusta yang dihubungkan dengan kecacatan, stigma penyakit ini dalam masyarakat, dan diskriminasi atau isolasi sosial yang dialami pasien. KUALITAS HIDUP Kualitas hidup menurut World Health Organization (WHO) didefinisikan sebagai persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai yang dianut, yang berhubungan dengan tujuan hidup, harapan, standar, dan minat. Hal tersebut merupakan konsep yang luas yang melibatkan kesehatan fisik, keadaan psikologis, derajat ketidakbergantungan, hubungan sosial, kepercayaan, dan hubungannya dengan lingkungan. Definisi tersebut mencerminkan bahwa kualitas hidup mengacu pada penilaian subyektif, yang tertanam dalam konteks budaya, sosial, dan lingkungan. Dengan demikian, kualitas hidup tidak dapat disamakan secara sederhana dengan status kesehatan, gaya hidup, kepuasan hidup, keadaan mental, atau keadaan sehat, melainkan merupakan konsep multidimensional yang menggabungkan persepsi individu akan hal tersebut dan aspek lain dalam kehidupan.3 Dalam bidang medis, penilaian kualitas hidup dikaitkan dengan kesehatan (health-related quality of life (HRQOL), oleh karena itu, pengukuran HRQOL mencakup ranah kesehatan fisik, psikologis, dan sosial, baik secara subyektif maupun obyektif. Pengukuran HRQOL pada penyakit kronis yang tidak mengancam nyawa misalnya penyakit kulit, menjadi pengukuran yang penting dalam menilai keparahan penyakit, evaluasi pengobatan, dan alokasi sumber daya. Dalam bidang dermatologi, HRQOL dapat diukur dengan instrumen umum, instrumen yang spesifik untuk kelainan dermatologi, dan instrumen yang spesifik untuk kondisi Kualitas hidup pasien kusta kelainan kulit tertentu. Walaupun instrumen pengukuran HRQOL yang tersedia bervariasi, belum ada konsensus tentang instrumen mana yang merupakan pilihan dalam dermatologi.4 Kusta tidak hanya merupakan kondisi medis belaka, melainkan kondisi yang mencakup dimensi psikologis, sosial-ekonomi, dan spiritual yang melemahkan individu secara progresif. Penyakit kusta dan deformitas fisik yang ditimbulkan oleh penyakit ini merupakan sumber terjadinya stigma dan isolasi sosial terhadap pasien dan keluarganya dalam masyarakat, yang kemudian dapat mempengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup pasien kusta maupun keluarganya.5 Instrumen HRQOL yang spesifik untuk penyakit kusta belum pernah dibuat. Penelitian kualitas hidup pasien kusta dengan instrumen umum dan spesifik untuk kelainan dermatologi yang sudah divalidasi di antaranya menggunakan Dermatology Quality Life Quality Index (DLQI) oleh An dkk. (2010) di China dan Martins dkk. (2008) di Brazil, World Health Organization Quality of Life Assessment BREF (WHOQOL-BREF) oleh Joseph dan Rao (1999) di India, dan Tsutsumi dkk. (2007) di Bangladesh.6, 7, 8, 9 WHOQOL-BREF Kuesioner WHOQOL-BREF merupakan instrumen umum penilaian kualitas hidup untuk berbagai penyakit yang dibuat oleh grup WHOQOL pada tahun 1996 yang mencakup ranah kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan (Tabel 1). Kuesioner WHOQOLBREF terdiri atas 26 pertanyaan, telah diterjemahkan lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.10 Instrumen ini telah digunakan dalam penelitian beberapa kelainan kulit misalnya melasma, psoriasis, sarkoidosis, dan kusta. Instrumen ini dinilai memiliki konsistensi internal dan testretest reliability yang baik.4 Joseph dan Rao (1999) dalam penelitiannya terhadap 50 pasien kusta di India (30 subyek laki-laki dan 20 subyek perempuan) yang menggunakan instrumen WHOQOL, menemukan bahwa keseluruhan ranah penilaian kualitas hidup pasien kusta laki-laki maupun perempuan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pasien kusta laki-laki dengan cacat memiliki nilai kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang tidak cacat (nilai 91.4 dibandingkan dengan 99.2) yang secara statistik bermakna. Walaupun pasien kusta perempuan dengan cacat juga memiliki nilai kualitas hidup yang lebih rendah, namun tidak bermakna secara statistik. Bila dibandingkan antara perempuan dan laki-laki, nilai kualitas hidup perempuan lebih tinggi pada seluruh ranah penilaian (nilai 95.2 dibandingkan 93.9). Hal ini dikarenakan perempuan lebih siap menerima penyakitnya, sejalan dengan peranan perempuan di India yang dianggap nomor dua.8 29 MDVI Vol. 40 No.1 Tahun 2013:28 -34 Tabel1. WHOQOL-BREF10 DOMAIN 1. Physical health 2. Psychological 3. Social relationships 4. Environment FACETS INCORPORATED WITHIN DOMAIN Activities of daily living Dependence on medicinal substances and medical aids Energy and fatigue Mobility Pain and discomfort Sleep and rest Work capacity Bodily image and appearance Negative feelings Positive feelings Self-esteem Spirituality / Religion / Personal beliefs Thinking, learning, memory, and concentration Personal relationships Social support Sexual activity Financial resources Freedom, physical safety and security Health and social care: accessibility and quality Home environment Opportunities for acquiring new information and skills Participation in and opportunities for recreation/leisure activities Physical environment (pollution/noise/traffic/climate) Transport Tsutsumi dkk. (2007) dalam penelitiannya terhadap 189 pasien kusta (154 subyek laki-laki dan 35 subyek perempuan) yang bertujuan untuk menentukan kualitas hidup dan kesehatan mental pasien kusta dibandingkan dengan populasi umum di Bangladesh, menemukan bahwa total nilai WHOQOL-BREF pasien kusta baik laki-laki maupun perempuan lebih rendah dibandingkan kontrol (nilai 78.61 dibandingkan dengan 86.64). Pada laki-laki, didapatkan nilai rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan kontrol yang secara statistik bermakna untuk ranah pertanyaan tentang fisik, psikologis, dan hubungan sosial. Sedangkan pada pasien perempuan, didapatkan nilai rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan kontrol untuk ranah pertanyaan fisik dan psikologis. Pada pasien kusta laki-laki dengan cacat, nilai untuk seluruh ranah pertanyaan lebih rendah dibandingkan dengan pasien kusta yang tidak cacat, sedangkan pada pasien kusta perempuan dengan cacat, walaupun nilai untuk seluruh ranah juga lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, namun tidak berbeda bermakna secara statistik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Joseph dan Rao (1999). Penelitian ini juga membandingkan antara pasien kusta yang mengalami stigma dengan yang tidak, didapatkan hasil bahwa secara keseluruhan, nilai kualitas hidup pasien yang tidak mengalami stigma lebih baik dibandingkan dengan yang mengalami stigma. Faktor yang berhubungan dengan rendahnya kualitas hidup pasien kusta dalam penelitian ini adalah adanya stigma, rendahnya tingkat pendidikan, adanya cacat, dan penghasilan yang rendah.9 30 DLQI Kuesioner DLQI merupakan instrumen pertama penilaian kualitas hidup yang spesifik untuk kelainan dermatologi, dibuat oleh Finlay dan Khan pada tahun 1994 di Inggris, terdiri atas sepuluh pertanyaan yang dikelompokkan dalam empat skala penilaian. Pertanyaan dalam DLQI fokus pada enam ranah, yakni gejala dan perasaan sakit, aktivitas harian, hobi atau kesenangan, pekerjaan dan sekolah, hubungan interpersonal, dan terapi.11 Instrumen ini dinilai ringkas dan sederhana, dengan konsistensi internal dan test-retest reliability yang baik.4 Kuesioner DLQI dinilai fokus pada fungsi dan aktivitas pasien sehari-hari, sehingga aspek emosi dan kesehatan mental tidak termasuk dalam cakupan.4 Hingga tahun 2007, DLQI merupakan instrumen penilaian kualitas hidup yang spesifik untuk kelainan kulit yang paling luas digunakan, yakni 33 jenis kelainan kulit, pada 32 negara, dan telah tersedia dalam 55 bahasa.12 An dkk. (2010) melakukan penelitian kualitas hidup pada 64 pasien kusta lepromatosa polar di Cina, didapatkan hasil secara keseluruhan bahwa kusta sangat mempengaruhi kualitas hidup 95.3% pasien dibandingkan dengan 29.7% kontrol. Dalam penelitiannya, dari keenam ranah dalam instrumen DLQI, kusta lepromatosa polar mempengaruhi kualitas hidup pasien terutama oleh karena gejala dan perasaan sakit, hubungan interpersonal, hobi atau kesenangan, aktivitas harian, terapi, dan terakhir pekerjaan atau sekolah.6 Kualitas hidup pasien dengan cacat, baik pasien laki-laki dan perempuan lebih rendah dibandingkan kontrol, yakni nilai rata-rata DLQI 21.94 dibandingkan 15.86 pada laki-laki, dan nilai rata-rata 20.50 dibandingkan 19.42 R Astriningrum pada perempuan.6 Nilai rata-rata DLQI sebesar 18.78 dalam penelitian ini, merupakan nilai DLQI tertinggi diantara seluruh dermatosis yang pernah diteliti (psoriasis 8.9, pruritus 10.5, dermatitis atopik 12.5, dermatitis lain 8.6, akne 4.3, keratosis solaris 3.4, veruka 6.7, karsinoma sel basal 2.0, nevus 1.0).12 Hal ini menunjukkan kualitas hidup pasien kusta paling buruk dibandingkan dengan dermatosis lain. GAMBARAN KLINIS PASIEN KUSTA Gambaran klinis pasien kusta bervariasi, bergantung pada tingkat kekebalan selular pasien. Pasien kusta dapat hanya menderita mononeuritis, atau timbul satu lesi makula di kulit yang menetap atau hilang sendiri. Pasien kusta juga dapat menderita lesi kulit berupa makula, papul, nodus yang sangat banyak, dengan polineuritis dan kerusakan organ vital misalnya mata, laring, tulang, dan testis.13 Pasien kusta lepromatosa, seiring dengan bertambah berat penyakit, dapat mengalami penebalan kulit daerah dahi yang menyebabkan garis wajah semakin dalam (fasies leonina), penebalan cuping telinga, alis mata yang rontok, hidung yang kolaps, suara parau, gigi insisivus atas yang melonggar dan kemudian tanggal, serta hilangnya sensitivitas alat gerak bilateral (glove and stocking anaesthesia), yang kemudian menyebabkan pemendekan jari-jari tangan dan kaki akibat trauma berulang.13 Kerusakan saraf perifer berupa penebalan saraf dan disfungsi saraf sensorik, motorik, atau otonom menyebabkan anestesi, kelemahan otot yang kemudian dapat menjadi paralisis, serta kulit kering yang mudah terjadi fisur dan ulkus. Paralisis otot yang karakteristik pada pasien kusta di antaranya berupa kelumpuhan otot wajah (facial palsy), claw hand, ape hand, dropped foot, dan claw toes.13 Deformitas tulang pada pasien kusta terjadi pada tangan, kaki, dan tulang tengkorak. Pada tangan, terjadi atrofi dan absorbsi tulang falang distal, medial, dan proksimal. Pada kaki, terjadi atrofi pada tulang falang, metatarsal, dan tarsal. Deformitas ini terjadi akibat berbagai faktor, di antaranya trauma berulang pada daerah anestesi, gangguan suplai darah karena endarteritis saat terjadi reaksi, disuse osteoporosis akibat paralisis motorik, dan osteomielitis pada ulserasi kronis.13 GANGGUAN PSIKOSOSIAL PASIEN KUSTA Gangguan psikososial pasien kusta berasal dari perjalanan kronis penyakit, cacat, dan stigma yang berkaitan dengan kusta. Dampak psikologis kusta sama beratnya dengan deformitas fisik yang dialami pasien kusta. Ketakutan yang berhubungan dengan kegagalan terapi setelah menjalani terapi jangka panjang dan tingginya angka kejadian reaksi serta relaps menyebabkan keterlambatan pelaporan diri. Persepsi diri berperan penting dalam mempengaruhi kehidupan sosial seseorang, dalam hal ini Kualitas hidup pasien kusta hubungan dengan sesama manusia, prestasi belajar, dan prospek pekerjaan. Penampilan wajah, merupakan aspek yang penting dalam persepsi penampilan tubuh, sehingga kerusakan wajah menyebabkan terjadi psikopatologi, yakni hilangnya rasa percaya diri dan perasaan kekurangan dalam diri. Pasien kusta dengan deformitas yang tampak pada wajah dan ekstremitas memiliki risiko yang tinggi terjadinya masalah psikologis, khususnya kecemasan, kepercayaan diri yang rendah, dan depresi. Masalah tersebut kemudian ditambah lagi dengan adanya penolakan dari komunitas. Bahkan anggota keluarga dan kontak sosial yang dekat tidak mau berhubungan dengan pasien kusta karena khawatir akan tertular.14 STIGMA DAN DISKRIMINASI PASIEN KUSTA Stigma adalah penilaian negatif masyarakat akan suatu hal atau tingkah laku tertentu. Terdapat berbagai macam pendekatan dalam mendefinisikan stigma. Goffman (1963) mendefinisikan stigma sebagai atribut yang sangat mencemarkan (deeply discrediting) yang mengurangi nilai individu sebagai manusia yang utuh. Penyakit kulit, termasuk kusta, yang tampil berbeda dibandingkan dengan kulit sehat akan menarik perhatian dan mengundang reaksi orang sekitar. Label sosial dan stigma kemudian akan melekat. Puncak proses stigma terjadi ketika perbedaan yang ada menyebabkan berbagai bentuk penolakan, eksklusi, dan diskriminasi.15 Pasien kusta sering mengalami stigma yang cukup berat sebagai akibat penilaian atau “cap” sosial yang buruk tentang penyakitnya atau kecacatan yang ditimbulkannya. Pasien dan keluarganya mengalami perlakuan negatif, isolasi sosial, dan perilaku diskriminatif lainnya. 16 Studi oleh de Stigter dkk. (2000) pada 300 orang anggota masyarakat di Nepal yang dilakukan dengan cara melakukan wawancara dengan pertanyaan terbuka menunjukkan bahwa pasien kusta mendapat perlakuan negatif oleh masyarakat, yakni dikucilkan dalam masyarakat, mendapatkan penolakan, dan dibenci masyarakat. Pasien yang berusia muda kerap dibatasi dalam meraih pendidikan, sekolah enggan menerima mereka sebagai siswa atau membatasi kegiatan pendidikan mereka.17 Disamping hambatan dalam bidang sosial, kusta dan stigma yang berkaitan juga membebankan hambatan yang besar dalam bidang ekonomi pasien dan keluarganya. Stigma menyebabkan pasien kusta kesulitan mencari pekerjaan atau kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Pasien kusta juga kesulitan dalam mendapatkan pinjaman usaha. Hal ini akan membuat pasien kusta mengalami kesulitan keuangan.17 Studi oleh Prabhakara Rao dkk. (2000) pada 478 pasien kusta dengan cacat derajat 1 dan 2 di India menemukan bahwa 16-44% pasien kusta mengalami penurunan penghasilan akibat penyakitnya.18 31 MDVI Stigma dan diskriminasi terkait gender Perempuan dengan penyakit kusta seringkali menghadapi masalah yang lebih berat dibandingkan dengan lakilaki.17 Penyakit kusta yang diderita perempuan merupakan masalah kesehatan yang kompleks, tidak hanya karena keunikan fisiologis yang dialami perempuan, misalnya perubahan hormonal, hamil dan menyusui, tetapi juga karena status sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan.19 Studi retrospektif terhadap 2309 pasien kusta oleh Peters dkk. (2002) di Nigeria menunjukkan bahwa pada suatu kebudayaan yang menuntut perempuan untuk tunduk dan bergantung pada laki-laki secara ekonomi, proses diagnosis dan terapi kusta pada pasien perempuan menjadi terlambat.20 Bila seorang ibu terjangkit kusta, terdapat ketakutan akan menularkan penyakit menghalangi kedekatan emosional dengan anak. Studi oleh Zodpey dkk. (2000) di Nagpur, India terhadap 486 pasien kusta (268 laki-laki dan 218 perempuan) melaporkan bahwa 49% perempuan dengan kusta berhenti menyusui anaknya karena penyakit kusta yang diderita. Lebih jauh, saat perempuan didiagnosis kusta, kemungkinan untuk mengalami isolasi, penolakan dan diskriminasi lebih besar dibandingkan dengan laki-laki.21 Shieh dkk. (2006) melakukan studi terhadap 21 orang perempuan yang dirawat di leprosarium di Taiwan dengan cara melakukan wawancara individual dan diskusi dalam grup. Dalam studi tersebut dipaparkan bahwa setelah diagnosis kusta, pasien sedapat mungkin tinggal di rumah, memakai pakaian lengan panjang dan sarung tangan untuk menutupi lengan dan tangannya, berhenti sekolah, menghindari bertemu dengan tamu yang berkunjung ke rumah, dan jarang berkunjung ke kerabat. Stigma oleh masyarakat yang tercermin dari tingkah laku, baik sengaja maupun tidak, seperti menatap pasien, segera menghindar bila bertemu, atau menghindari kontak dekat dengan pasien akan memperburuk rasa malu akan penyakit. Dalam studi tersebut, seorang pasien perempuan menceritakan bahwa satu hari setelah kunjungannya ke rumah kerabat, kerabatnya tersebut mencuci kursi yang telah diduduki pasien. Beberapa pasien tidak sanggup menghadapi stigma dan cenderung memikirkan usaha bunuh diri.19 Schuller dkk. (2010) melakukan studi terhadap 35 pasien kusta perempuan di pedesaan Sulawesi Selatan dengan cara melakukan wawancara individual dan diskusi dalam grup. Dalam studi tersebut dilaporkan bahwa permasalahan sehari-hari yang dialami pasien kusta terutama disebabkan adanya stigma. Tidak hanya oleh karena masyarakat yang menghindar, tetapi juga keluarga, dan pasien kusta sendiri yang menghindar dari masyarakat. Perempuan dengan kusta tidak diterima sebagai pasangan dalam pernikahan bagi individu sehat. Kecacatan dan stigma yang dialami menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan, dan kemungkinan menjalani pernikahan.22 32 Vol. 40 No.1 Tahun 2013:28 -34 Stigma & diskriminasi mempengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup Stigma mempengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup pasien kusta. Berbagai studi menunjukkan bahwa pasien kusta memiliki prevalensi yang tinggi terjadi masalah psikiatri dibandingkan dengan populasi umum atau pasien penyakit lain. Depresi yang dialami pasien kusta secara signifikan lebih parah dibandingkan dengan populasi umum. Stigma dan diskriminasi yang terjadi menyebabkan tingginya persentase pasien kusta yang merasa putus asa dan timbul ide bunuh diri. 9, 23 Hubungan antara stigma dan kesehatan mental pasien kusta belum banyak diuraikan. Tsutsumi dkk. (2004) melakukan studi terhadap 140 pasien kusta di Bangladesh, dengan menggunakan skala Center for Epidemiologic Studies Depression (CES-D). Dalam studi tersebut diperlihatkan hubungan antara stigma yang dialami pasien dengan kesehatan mental. Pasien yang mengalami stigma memiliki tingkat depresi yang lebih parah dibandingkan dengan pasien tanpa stigma. Kualitas hidup pasien kusta dan keluarganya, baik dalam segi sosial, ekonomi, dan psikologis sangat terpengaruh oleh adanya stigma oleh masyarakat umum.23 Tsutsumi dkk. (2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa stigma yang dirasakan pasien kusta menyumbang paling banyak dalam rendahnya kualitas hidup pasien kusta.9 Efek stigma pada terapi dan pengobatan Pengaruh negatif stigma akan menghalangi program kesehatan komunitas yang berkaitan dengan pencegahan, diagnosis dini, terapi dan ketaatan berobat pasien kusta. Stigma menyebabkan keterlambatan terapi, karena ketakutan pasien akan diketahui oleh orang lain bahwa dirinya terinfeksi. Penyakit kusta merupakan ancaman terhadap status sosial pasien di masyarakat, sehingga pasien menyembunyikan penyakitnya. Pasien bahkan menghentikan pengobatannya karena ketakutan akan diketahui penyakitnya dan ditolak oleh masyarakat, sehingga meningkatkan morbiditas, risiko kecacatan, dan terjadinya resistensi obat sekunder.17 Bila pasien telah dinyatakan sembuh, stigma akan tetap dialami pasien, sehingga menjadi hambatan dalam memulai kehidupan yang normal. Persepsi negatif terhadap kusta tetap akan menjadi penghalang proses reintregrasi pasien dengan keluarga, pekerjaan, dan komunitas sosial yang lebih luas.5 Penyebab timbulnya stigma Banyak faktor berkontribusi terhadap timbulnya stigma penyakit kusta, faktor ini bervariasi dalam kebudayaan dan masyarakat yang berbeda.5 R Astriningrum Kepercayaan tentang penyebab kusta. Kepercayaan akan penyebab timbulnya penyakit kusta berbeda-beda antara tempat yang satu dengan yang lain. Terdapat kelompok yang mempercayai bahwa kusta merupakan ketetapan Tuhan akibat kesalahannya dalam kehidupan saat ini atau kehidupan sebelumnya. Pasien kusta dihindari oleh karena ada anggapan bahwa mereka berdosa, dan berada di sekitar pasien kusta akan mendatangkan kemurkaan Tuhan.5 Pada sebagian masyarakat, penyakit kusta dianggap sebagai penyakit menular seksual, penyakit akibat gunaguna, atau penyakit akibat sihir yang dimiliki pasien. Keseluruhan kepercayaan tersebut memiliki efek negatif dan pasien dianggap telah melakukan kesalahan sehingga penyakit kusta timbul karena kesalahannya sendiri.5 Ketakutan tertular penyakit. Ketakutan akan tertular penyakit merupakan alasan pengucilan pasien kusta. Dahulu, pasien kusta diisolasi untuk tujuan menghentikan penyebaran penyakit. Seperti yang terjadi di Jepang pada tahun 1953 sampai dengan tahun 1996, hukum mengharuskan pasien kusta untuk diisolasi. Saat ini, isolasi pasien kusta dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, setelah sebuah kasus pengadilan dimenangkan oleh pasien kusta di Jepang pada tahun 2001.5 Ketakutan terhadap penyakit kusta terkadang diperberat oleh metode penanganan penyakit ini yang berbeda dari penyakit lain. Tatalaksana pasien kusta yang terpisah, baik yang tertuang dalam program maupun pemisahan rumah sakit, mengesankan bahwa peyakit kusta memang berbeda dan lebih infeksius dibandingkan dengan penyakit lain. Masyarakat kemudian percaya hal tersebut dan menginginkan pasien kusta ditatalaksana jauh dari komunitas untuk menghindari penyebaran penyakit.5 Cacat dan deformitas. Alasan lain timbulnya stigma yang berhubungan dengan kusta adalah cacat dan deformitas yang disebabkan oleh penyakit ini. Pasien kusta tipe lepromatosa polar memiliki karakteristik wajah yang menandai bahwa seseorang mengidap penyakit ini, seperti kulit yang menebal dan hidung yang melebar.5 Penelitian oleh Prabhakara Rao dkk. (2000) di India menunjukkan bahwa semakin parah kecacatan, semakin besar stigma yang diperoleh.18 Bau. Pasien kusta mungkin memiliki bau tidak enak yang disebabkan oleh ulkus terinfeksi. Bau tersebut dapat membuat orang di sekitar pasien menjadi mual, dan kondisi dapat menjadi lebih buruk lagi bila pada suatu masyarakat, pasien kusta tidak diizinkan untuk mencuci lukanya menggunakan air untuk umum, seperti yang terjadi di Madhya Pradesh, India. Bau yang tidak enak membuat pasien kusta menyendiri, dan menyebabkan perasaan rendah diri.5 Kualitas hidup pasien kusta Stigmatisasi diri sendiri. Stigmatisasi diri sendiri (selfstigmatization) berupa rasa malu oleh karena deformitas tubuhnya dan perlakuan orang lain di sekitarnya, menyebabkan pasien mengisolasi diri dari masyarakat. Hal tersebut kemudian mendukung pendapat bahwa kusta merupakan penyakit yang memalukan dan sebaiknya disembunyikan. Pasien kusta sulit untuk menghargai atau memandang positif dirinya. Sebagian pasien sulit untuk menerima kenyataan bahwa dirinya sakit kusta, sementara orang lain mungkin tidak percaya bahwa pasien kusta dapat sembuh setelah diobati.5 KESIMPULAN Penyakit kusta merupakan kondisi kompleks yang tidak hanya melibatkan fisik, namun juga berdampak pada kualitas hidup pasien dan keluarganya, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan psikologis. Kecacatan dan stigma yang dirasakan pasien berperan besar dalam penurunan kualitas hidup. Pencegahan kecacatan, rehabiltasi dan intervensi psikososial diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kusta. Selain itu, pemeliharaan kesehatan mental penting dilakukan dan pemberian psikoterapi dapat dipertimbangkan pada pasien kusta yang menunjukkan gangguan psikis. DAFTAR PUSTAKA 1. Power MJ. Quality of life. Dalam: Lopez SJ, Snyder CR, penyunting. Positive psychological assessment a handbook models and measures. Washington DC: American Psychological Association, 2003. h.427-39. 2. Finlay AY. Quality of life indices. Indian J Dermatol Venereol Lepr 2004;70:143–8. 3. World Health Organization. WHOQOL User Manual. Geneva: World Health Organization, 1998. 4. Both H, Essink-Bot M, Busschbach J, Nijsten T. Critical review of generic and dermatology-specific health-related quality of life instruments. J Invest Dermatol 2007: 127: 2726-38. 5. Rafferty J. Curing the stigma of leprosy. Lepr Rev 2005; 76: 119-26. 6. An JG, Ma JH, Xiao SX, Yang F. Quality of life in patients with lepromatous leprosy in China. JEADV 2010; 24: 827-32. 7. Martins BDL, Torres FN, Oliveira MLWDR. Impact on the quality of llife of patients with Hansen’s disease: correlation between Dermatology Life Quality Index and disease status. An Bras Dermatol 2008; 83: 39-43. 8. Joseph GA, Sundar Rao PS. Impact of leprosy on the quality of life. Bull World Health Organ. 1999; 77: 515-17. 9. Tsutsumi A, Izutsu T, Islam A, Maksuda AN, Kato H, Wakai S. The quality of life, mental health, and perceived stigma of leprosy patients in Bangladesh. Soc Sci Med 2007; 64: 2443-53. 10. World Health Organization. WHOQOL-BREF instruction, administration, scoring and generic version of the assessment. Geneva: World Health Organization, 1996. 33 MDVI 11. Finlay AY, Khan G. Dermatology Life Quality Index (DLQI): a simple practical measure for routine clinical use. Clin Exp Dermatol 1994; 19: 210-16. 12. Basra MKA, Fenech R, Gatt RM, Salek MS, Finlay AY. The dermatology life quality index 1994-2007: a comprehensive review of validation data and clinical results. Br J Dermatol 2008;159: 997-1035. 13. Joplin WH, McDougall AC. Handbook of leprosy. Edisi 5. New Delhi: CBS Publishers & Distributors; 1995: 10-53. 14. Ladhani S. Leprosy disabilities: the impact of multidrug therapy (MDT). Int J Dermatol 1997; 36: 561-72. 15. Chaturvedi SK, Singh G, Gupta N. Stigma experience in skin disorder: An Indian perspective. Dermatol Clin 2005; 23: 635-42. 16. Rensen C, Bandyopadhyay S, Gopal PK, Vanbrakel WH. Measuring leprosy-related stigma – a pilot study to validate a toolkit of instruments. Disabil Rehabil. 2010; 1-9. 17. Stigter D, de Gaus L, Heynders M. Leprosy: between acceptance and segregation. Community behavior towards persons affected by leprosy in Eastern Nepal. Lepr Rev, 2000; 71: 492-8. 18. Prabhakara Rao V, Rao IR, Palande DD. Socio-economic rehabilitation programme of LEPRA India –methodology, 34 Vol. 40 No.1 Tahun 2013:28 -34 19. 20. 21. 22. 23. results and application of needs-based socio-economic evaluation. Lepr Rev 2000; 71: 466–471. Shieh C, Wang HH, Lin CF. From contagious to chronic: A life course experience with leprosy in Taiwanese women. Lepr Rev 2006; 77(2): 99-113. Peters ES, Eshiet AL. Male-female (sex) differences in leprosy patients in South Eastern Nigeria: females present late diagnosis and treatment and have higher rates of deformity. Lepr Rev 2002; 73: 262-67. Zodpey SP, Tiwari RR, Salodkar AD. Gender differentials in the social and family life of leprosy patients. Lepr Rev, 2000; 71: 505–510. Schuller I, Van Brakel W, Van der V, Beise K, Wardhani L, Silwana S, et al. The way women experience disabilities and especially disabilities related to leprosy in rural areas in South Sulawesi, Indonesia. Asia Pacific Disabil Rehabil J. 2010; 21. 60-70. Tsusumi A, Izutsu T, Islam A, Jalal U, Nakahara S, Takagi F, et al. Depressive status of leprosy patients in Bangladesh: Association with sel-perception of stigma. Lepr Rev 2004; 75: 57-66.