KUALITAS HIDUP PASIEN KUSTA Tinjauan Pustaka

advertisement
MDVI
Vol. 40 No.1 Tahun 2013:28 -34
Tinjauan Pustaka
KUALITAS HIDUP PASIEN KUSTA
Rinadewi Astriningrum, Wieke Triestianawati, Sri Linuwih Menaldi
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Indonesia / Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
ABSTRAK
Kualitas hidup merupakan konsep yang melibatkan kesehatan fisik, keadaan psikologis, derajat
ketidakbergantungan, hubungan sosial, kepercayaan, dan hubungannya dengan lingkungan. Dalam bidang
medis, penilaian health-related quality of life (HRQOL) mencakup ranah kesehatan fisik, psikologis, dan
sosial. Dampak penyakit kulit terhadap kualitas hidup pasien penting diketahui untuk menilai keparahan
penyakit, evaluasi pengobatan, dan pengambilan keputusan dalam tatalaksana penyakit. Penyakit kusta
merupakan kondisi kompleks yang melibatkan kesehatan fisik dan kualitas hidup pasien. Penyakit kusta
maupun deformitas fisik yang ditimbulkan merupakan sumber terjadinya stigma dan isolasi sosial terhadap
pasien maupun keluarganya dalam masyarakat. Kecacatan dan stigma yang dirasakan pasien akan
mempengaruhi kesehatan mental dan berperan besar dalam penurunan kualitas hidup. Selain itu, stigma
negatif penyakit kusta akan menghalangi program kesehatan komunitas yang berkaitan dengan pencegahan,
diagnosis dini, terapi dan ketaatan berobat pasien kusta. Pencegahan kecacatan, rehabiltasi dan intervensi
psikososial diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kusta. Selain itu, pemeliharaan kesehatan
mental pasien kusta penting dilakukan. Pemberian psikoterapi dapat dipertimbangkan pada pasien kusta yang
menunjukkan gangguan psikis. (MDVI 2013; 40/1:28-34)
Kata kunci: kualitas hidup, kusta, kecacatan, stigma, kesehatan mental
ABSTRACT
Quality of life is a concept that involves physical health, psychological state, level of independence, social
relationships, personal beliefs and their relationship to the environment. In the medical field, the assessment of
health-related quality of life (HRQOL) domains include physical, psychological, and social aspects. The impact of
skin disease on quality of life of patients is important to recognize in order to assess the severity of the disease,
treatment evaluation,and management of the disease. Leprosy is a complex condition, it affects physical health and
also the quality of life of patients. Leprosy and its physical deformities are the source of stigma and social isolation
against patients and their families. Disability and stigma felt by the patients affect mental health and plays a major
role in the loss of quality of life. Negative stigma against leprosy will impede community health programme for
prevention, early diagnosis, treatment, and patients’ compliance. Disability prevention, rehabilitation and
psychosocial interventions are needed to improve the quality of life of patients with leprosy. In addition, mental
health care is important in the management of leprosy. Psychotherapy may be considered in patients with leprosy
who showed mental disorders. (MDVI 2013; 40/1:28-34)
Keywords: quality of life, leprosy, disability, stigma, mental health
Korespondensi:
Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta Pusat
Telp. 021-31935383
Email; [email protected]
28
R Astriningrum
PENDAHULUAN
Konsep kualitas hidup diperkenalkan pertama kali
dalam bidang kesehatan ketika hasil akhir (outcome)
tatalaksana kedokteran tradisional berupa mortalitas dan
morbiditas dipandang terlalu sempit. Indikator tersebut
dinilai belum mencakup potensi hasil akhir lain yang cukup
luas, yang berhubungan dengan kesehatan.1 Dalam bidang
dermatologi, penyakit kulit kronis, misalnya kusta berhubungan dengan gangguan yang bermakna terhadap kehidupan pasien sehari-hari. Dampak penyakit kulit terhadap
kualitas hidup pasien penting diketahui untuk menilai
keparahan penyakit, evaluasi pengobatan, pengambilan
keputusan dalam tatalaksana, dan kepentingan penelitian
dalam pelayanan kesehatan.2
Kualitas hidup berbagai penyakit kronis telah
banyak diteliti, namun penelitian tentang kualitas hidup
pasien kusta dengan instrumen yang sudah divalidasi
hanya beberapa saja yang pernah dilakukan. Kebanyakan
penelitian yang dilakukan berupa penelitian deskriptif
atau berupa laporan. Pada makalah ini dibahas kualitas
hidup pasien kusta yang dihubungkan dengan kecacatan,
stigma penyakit ini dalam masyarakat, dan diskriminasi
atau isolasi sosial yang dialami pasien.
KUALITAS HIDUP
Kualitas hidup menurut World Health Organization
(WHO) didefinisikan sebagai persepsi individu tentang
posisinya dalam kehidupan dalam konteks budaya dan
sistem nilai yang dianut, yang berhubungan dengan tujuan
hidup, harapan, standar, dan minat. Hal tersebut merupakan konsep yang luas yang melibatkan kesehatan fisik,
keadaan psikologis, derajat ketidakbergantungan, hubungan
sosial, kepercayaan, dan hubungannya dengan lingkungan.
Definisi tersebut mencerminkan bahwa kualitas hidup
mengacu pada penilaian subyektif, yang tertanam dalam
konteks budaya, sosial, dan lingkungan. Dengan demikian,
kualitas hidup tidak dapat disamakan secara sederhana
dengan status kesehatan, gaya hidup, kepuasan hidup,
keadaan mental, atau keadaan sehat, melainkan merupakan konsep multidimensional yang menggabungkan
persepsi individu akan hal tersebut dan aspek lain dalam
kehidupan.3
Dalam bidang medis, penilaian kualitas hidup dikaitkan
dengan kesehatan (health-related quality of life (HRQOL),
oleh karena itu, pengukuran HRQOL mencakup ranah
kesehatan fisik, psikologis, dan sosial, baik secara subyektif
maupun obyektif. Pengukuran HRQOL pada penyakit kronis
yang tidak mengancam nyawa misalnya penyakit kulit,
menjadi pengukuran yang penting dalam menilai keparahan
penyakit, evaluasi pengobatan, dan alokasi sumber daya.
Dalam bidang dermatologi, HRQOL dapat diukur dengan
instrumen umum, instrumen yang spesifik untuk kelainan
dermatologi, dan instrumen yang spesifik untuk kondisi
Kualitas hidup pasien kusta
kelainan kulit tertentu. Walaupun instrumen pengukuran
HRQOL yang tersedia bervariasi, belum ada konsensus
tentang instrumen mana yang merupakan pilihan dalam
dermatologi.4
Kusta tidak hanya merupakan kondisi medis belaka,
melainkan kondisi yang mencakup dimensi psikologis,
sosial-ekonomi, dan spiritual yang melemahkan individu
secara progresif. Penyakit kusta dan deformitas fisik yang
ditimbulkan oleh penyakit ini merupakan sumber terjadinya stigma dan isolasi sosial terhadap pasien dan
keluarganya dalam masyarakat, yang kemudian dapat
mempengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup
pasien kusta maupun keluarganya.5
Instrumen HRQOL yang spesifik untuk penyakit
kusta belum pernah dibuat. Penelitian kualitas hidup
pasien kusta dengan instrumen umum dan spesifik untuk
kelainan dermatologi yang sudah divalidasi di antaranya
menggunakan Dermatology Quality Life Quality Index
(DLQI) oleh An dkk. (2010) di China dan Martins dkk.
(2008) di Brazil, World Health Organization Quality of
Life Assessment BREF (WHOQOL-BREF) oleh Joseph
dan Rao (1999) di India, dan Tsutsumi dkk. (2007) di
Bangladesh.6, 7, 8, 9
WHOQOL-BREF
Kuesioner WHOQOL-BREF merupakan instrumen
umum penilaian kualitas hidup untuk berbagai penyakit
yang dibuat oleh grup WHOQOL pada tahun 1996 yang
mencakup ranah kesehatan fisik, psikologis, hubungan
sosial, dan lingkungan (Tabel 1). Kuesioner WHOQOLBREF terdiri atas 26 pertanyaan, telah diterjemahkan
lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.10 Instrumen
ini telah digunakan dalam penelitian beberapa kelainan kulit
misalnya melasma, psoriasis, sarkoidosis, dan kusta. Instrumen ini dinilai memiliki konsistensi internal dan testretest reliability yang baik.4
Joseph dan Rao (1999) dalam penelitiannya terhadap
50 pasien kusta di India (30 subyek laki-laki dan 20 subyek
perempuan) yang menggunakan instrumen WHOQOL,
menemukan bahwa keseluruhan ranah penilaian kualitas
hidup pasien kusta laki-laki maupun perempuan lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol. Pasien kusta laki-laki dengan
cacat memiliki nilai kualitas hidup yang lebih rendah
dibandingkan dengan pasien yang tidak cacat (nilai 91.4
dibandingkan dengan 99.2) yang secara statistik bermakna.
Walaupun pasien kusta perempuan dengan cacat juga
memiliki nilai kualitas hidup yang lebih rendah, namun tidak
bermakna secara statistik. Bila dibandingkan antara
perempuan dan laki-laki, nilai kualitas hidup perempuan
lebih tinggi pada seluruh ranah penilaian (nilai 95.2
dibandingkan 93.9). Hal ini dikarenakan perempuan lebih
siap menerima penyakitnya, sejalan dengan peranan
perempuan di India yang dianggap nomor dua.8
29
MDVI
Vol. 40 No.1 Tahun 2013:28 -34
Tabel1. WHOQOL-BREF10
DOMAIN
1.
Physical health
2.
Psychological
3.
Social relationships
4.
Environment
FACETS INCORPORATED WITHIN DOMAIN
Activities of daily living
Dependence on medicinal substances and medical aids
Energy and fatigue
Mobility
Pain and discomfort
Sleep and rest
Work capacity
Bodily image and appearance
Negative feelings
Positive feelings
Self-esteem
Spirituality / Religion / Personal beliefs
Thinking, learning, memory, and concentration
Personal relationships
Social support
Sexual activity
Financial resources
Freedom, physical safety and security
Health and social care: accessibility and quality
Home environment
Opportunities for acquiring new information and skills
Participation in and opportunities for recreation/leisure activities
Physical environment (pollution/noise/traffic/climate)
Transport
Tsutsumi dkk. (2007) dalam penelitiannya terhadap
189 pasien kusta (154 subyek laki-laki dan 35 subyek
perempuan) yang bertujuan untuk menentukan kualitas
hidup dan kesehatan mental pasien kusta dibandingkan
dengan populasi umum di Bangladesh, menemukan bahwa
total nilai WHOQOL-BREF pasien kusta baik laki-laki
maupun perempuan lebih rendah dibandingkan kontrol (nilai
78.61 dibandingkan dengan 86.64). Pada laki-laki, didapatkan nilai rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan
kontrol yang secara statistik bermakna untuk ranah
pertanyaan tentang fisik, psikologis, dan hubungan sosial.
Sedangkan pada pasien perempuan, didapatkan nilai rata-rata
lebih rendah dibandingkan dengan kontrol untuk ranah
pertanyaan fisik dan psikologis. Pada pasien kusta laki-laki
dengan cacat, nilai untuk seluruh ranah pertanyaan lebih
rendah dibandingkan dengan pasien kusta yang tidak cacat,
sedangkan pada pasien kusta perempuan dengan cacat,
walaupun nilai untuk seluruh ranah juga lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol, namun tidak berbeda
bermakna secara statistik. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya oleh Joseph dan Rao (1999).
Penelitian ini juga membandingkan antara pasien kusta yang
mengalami stigma dengan yang tidak, didapatkan hasil
bahwa secara keseluruhan, nilai kualitas hidup pasien yang
tidak mengalami stigma lebih baik dibandingkan dengan
yang mengalami stigma. Faktor yang berhubungan dengan
rendahnya kualitas hidup pasien kusta dalam penelitian ini
adalah adanya stigma, rendahnya tingkat pendidikan, adanya
cacat, dan penghasilan yang rendah.9
30
DLQI
Kuesioner DLQI merupakan instrumen pertama penilaian kualitas hidup yang spesifik untuk kelainan dermatologi,
dibuat oleh Finlay dan Khan pada tahun 1994 di Inggris,
terdiri atas sepuluh pertanyaan yang dikelompokkan dalam
empat skala penilaian. Pertanyaan dalam DLQI fokus pada
enam ranah, yakni gejala dan perasaan sakit, aktivitas harian,
hobi atau kesenangan, pekerjaan dan sekolah, hubungan
interpersonal, dan terapi.11 Instrumen ini dinilai ringkas dan
sederhana, dengan konsistensi internal dan test-retest
reliability yang baik.4 Kuesioner DLQI dinilai fokus pada
fungsi dan aktivitas pasien sehari-hari, sehingga aspek emosi
dan kesehatan mental tidak termasuk dalam cakupan.4 Hingga
tahun 2007, DLQI merupakan instrumen penilaian kualitas
hidup yang spesifik untuk kelainan kulit yang paling luas
digunakan, yakni 33 jenis kelainan kulit, pada 32 negara, dan
telah tersedia dalam 55 bahasa.12
An dkk. (2010) melakukan penelitian kualitas hidup
pada 64 pasien kusta lepromatosa polar di Cina, didapatkan
hasil secara keseluruhan bahwa kusta sangat mempengaruhi
kualitas hidup 95.3% pasien dibandingkan dengan 29.7%
kontrol. Dalam penelitiannya, dari keenam ranah dalam
instrumen DLQI, kusta lepromatosa polar mempengaruhi
kualitas hidup pasien terutama oleh karena gejala dan
perasaan sakit, hubungan interpersonal, hobi atau kesenangan, aktivitas harian, terapi, dan terakhir pekerjaan atau
sekolah.6 Kualitas hidup pasien dengan cacat, baik pasien
laki-laki dan perempuan lebih rendah dibandingkan kontrol,
yakni nilai rata-rata DLQI 21.94 dibandingkan 15.86 pada
laki-laki, dan nilai rata-rata 20.50 dibandingkan 19.42
R Astriningrum
pada perempuan.6 Nilai rata-rata DLQI sebesar 18.78
dalam penelitian ini, merupakan nilai DLQI tertinggi
diantara seluruh dermatosis yang pernah diteliti (psoriasis
8.9, pruritus 10.5, dermatitis atopik 12.5, dermatitis lain
8.6, akne 4.3, keratosis solaris 3.4, veruka 6.7, karsinoma
sel basal 2.0, nevus 1.0).12 Hal ini menunjukkan kualitas
hidup pasien kusta paling buruk dibandingkan dengan
dermatosis lain.
GAMBARAN KLINIS PASIEN KUSTA
Gambaran klinis pasien kusta bervariasi, bergantung
pada tingkat kekebalan selular pasien. Pasien kusta dapat
hanya menderita mononeuritis, atau timbul satu lesi makula
di kulit yang menetap atau hilang sendiri. Pasien kusta juga
dapat menderita lesi kulit berupa makula, papul, nodus
yang sangat banyak, dengan polineuritis dan kerusakan
organ vital misalnya mata, laring, tulang, dan testis.13
Pasien kusta lepromatosa, seiring dengan bertambah
berat penyakit, dapat mengalami penebalan kulit daerah
dahi yang menyebabkan garis wajah semakin dalam (fasies
leonina), penebalan cuping telinga, alis mata yang rontok,
hidung yang kolaps, suara parau, gigi insisivus atas yang
melonggar dan kemudian tanggal, serta hilangnya sensitivitas alat gerak bilateral (glove and stocking anaesthesia),
yang kemudian menyebabkan pemendekan jari-jari tangan
dan kaki akibat trauma berulang.13
Kerusakan saraf perifer berupa penebalan saraf dan
disfungsi saraf sensorik, motorik, atau otonom menyebabkan
anestesi, kelemahan otot yang kemudian dapat menjadi
paralisis, serta kulit kering yang mudah terjadi fisur dan
ulkus. Paralisis otot yang karakteristik pada pasien kusta di
antaranya berupa kelumpuhan otot wajah (facial palsy), claw
hand, ape hand, dropped foot, dan claw toes.13
Deformitas tulang pada pasien kusta terjadi pada
tangan, kaki, dan tulang tengkorak. Pada tangan, terjadi
atrofi dan absorbsi tulang falang distal, medial, dan
proksimal. Pada kaki, terjadi atrofi pada tulang falang,
metatarsal, dan tarsal. Deformitas ini terjadi akibat berbagai
faktor, di antaranya trauma berulang pada daerah anestesi,
gangguan suplai darah karena endarteritis saat terjadi reaksi,
disuse osteoporosis akibat paralisis motorik, dan osteomielitis pada ulserasi kronis.13
GANGGUAN PSIKOSOSIAL PASIEN KUSTA
Gangguan psikososial pasien kusta berasal dari perjalanan kronis penyakit, cacat, dan stigma yang berkaitan
dengan kusta. Dampak psikologis kusta sama beratnya
dengan deformitas fisik yang dialami pasien kusta.
Ketakutan yang berhubungan dengan kegagalan terapi
setelah menjalani terapi jangka panjang dan tingginya
angka kejadian reaksi serta relaps menyebabkan keterlambatan pelaporan diri. Persepsi diri berperan penting dalam
mempengaruhi kehidupan sosial seseorang, dalam hal ini
Kualitas hidup pasien kusta
hubungan dengan sesama manusia, prestasi belajar, dan
prospek pekerjaan. Penampilan wajah, merupakan aspek
yang penting dalam persepsi penampilan tubuh, sehingga
kerusakan wajah menyebabkan terjadi psikopatologi, yakni
hilangnya rasa percaya diri dan perasaan kekurangan dalam
diri. Pasien kusta dengan deformitas yang tampak pada
wajah dan ekstremitas memiliki risiko yang tinggi terjadinya
masalah psikologis, khususnya kecemasan, kepercayaan diri
yang rendah, dan depresi. Masalah tersebut kemudian
ditambah lagi dengan adanya penolakan dari komunitas.
Bahkan anggota keluarga dan kontak sosial yang dekat
tidak mau berhubungan dengan pasien kusta karena
khawatir akan tertular.14
STIGMA DAN DISKRIMINASI PASIEN
KUSTA
Stigma adalah penilaian negatif masyarakat akan suatu
hal atau tingkah laku tertentu. Terdapat berbagai macam
pendekatan dalam mendefinisikan stigma. Goffman (1963)
mendefinisikan stigma sebagai atribut yang sangat
mencemarkan (deeply discrediting) yang mengurangi nilai
individu sebagai manusia yang utuh. Penyakit kulit,
termasuk kusta, yang tampil berbeda dibandingkan dengan
kulit sehat akan menarik perhatian dan mengundang reaksi
orang sekitar. Label sosial dan stigma kemudian akan
melekat. Puncak proses stigma terjadi ketika perbedaan
yang ada menyebabkan berbagai bentuk penolakan,
eksklusi, dan diskriminasi.15
Pasien kusta sering mengalami stigma yang cukup
berat sebagai akibat penilaian atau “cap” sosial yang buruk
tentang penyakitnya atau kecacatan yang ditimbulkannya.
Pasien dan keluarganya mengalami perlakuan negatif,
isolasi sosial, dan perilaku diskriminatif lainnya. 16
Studi oleh de Stigter dkk. (2000) pada 300 orang
anggota masyarakat di Nepal yang dilakukan dengan cara
melakukan wawancara dengan pertanyaan terbuka menunjukkan bahwa pasien kusta mendapat perlakuan negatif oleh
masyarakat, yakni dikucilkan dalam masyarakat, mendapatkan penolakan, dan dibenci masyarakat. Pasien yang
berusia muda kerap dibatasi dalam meraih pendidikan,
sekolah enggan menerima mereka sebagai siswa atau
membatasi kegiatan pendidikan mereka.17
Disamping hambatan dalam bidang sosial, kusta dan
stigma yang berkaitan juga membebankan hambatan yang
besar dalam bidang ekonomi pasien dan keluarganya.
Stigma menyebabkan pasien kusta kesulitan mencari
pekerjaan atau kehilangan pekerjaan dan penghasilan.
Pasien kusta juga kesulitan dalam mendapatkan pinjaman
usaha. Hal ini akan membuat pasien kusta mengalami
kesulitan keuangan.17 Studi oleh Prabhakara Rao dkk.
(2000) pada 478 pasien kusta dengan cacat derajat 1 dan 2
di India menemukan bahwa 16-44% pasien kusta
mengalami penurunan penghasilan akibat penyakitnya.18
31
MDVI
Stigma dan diskriminasi terkait gender
Perempuan dengan penyakit kusta seringkali menghadapi masalah yang lebih berat dibandingkan dengan lakilaki.17 Penyakit kusta yang diderita perempuan merupakan
masalah kesehatan yang kompleks, tidak hanya karena
keunikan fisiologis yang dialami perempuan, misalnya
perubahan hormonal, hamil dan menyusui, tetapi juga karena
status sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan.19 Studi
retrospektif terhadap 2309 pasien kusta oleh Peters dkk.
(2002) di Nigeria menunjukkan bahwa pada suatu kebudayaan yang menuntut perempuan untuk tunduk dan bergantung pada laki-laki secara ekonomi, proses diagnosis dan
terapi kusta pada pasien perempuan menjadi terlambat.20 Bila
seorang ibu terjangkit kusta, terdapat ketakutan akan
menularkan penyakit menghalangi kedekatan emosional
dengan anak. Studi oleh Zodpey dkk. (2000) di Nagpur,
India terhadap 486 pasien kusta (268 laki-laki dan 218
perempuan) melaporkan bahwa 49% perempuan dengan
kusta berhenti menyusui anaknya karena penyakit kusta yang
diderita. Lebih jauh, saat perempuan didiagnosis kusta,
kemungkinan untuk mengalami isolasi, penolakan dan
diskriminasi lebih besar dibandingkan dengan laki-laki.21
Shieh dkk. (2006) melakukan studi terhadap 21 orang
perempuan yang dirawat di leprosarium di Taiwan dengan
cara melakukan wawancara individual dan diskusi dalam
grup. Dalam studi tersebut dipaparkan bahwa setelah
diagnosis kusta, pasien sedapat mungkin tinggal di rumah,
memakai pakaian lengan panjang dan sarung tangan untuk
menutupi lengan dan tangannya, berhenti sekolah,
menghindari bertemu dengan tamu yang berkunjung ke
rumah, dan jarang berkunjung ke kerabat. Stigma oleh
masyarakat yang tercermin dari tingkah laku, baik sengaja
maupun tidak, seperti menatap pasien, segera menghindar
bila bertemu, atau menghindari kontak dekat dengan pasien
akan memperburuk rasa malu akan penyakit. Dalam studi
tersebut, seorang pasien perempuan menceritakan bahwa
satu hari setelah kunjungannya ke rumah kerabat, kerabatnya
tersebut mencuci kursi yang telah diduduki pasien. Beberapa
pasien tidak sanggup menghadapi stigma dan cenderung
memikirkan usaha bunuh diri.19
Schuller dkk. (2010) melakukan studi terhadap 35
pasien kusta perempuan di pedesaan Sulawesi Selatan
dengan cara melakukan wawancara individual dan diskusi
dalam grup. Dalam studi tersebut dilaporkan bahwa
permasalahan sehari-hari yang dialami pasien kusta terutama
disebabkan adanya stigma. Tidak hanya oleh karena
masyarakat yang menghindar, tetapi juga keluarga, dan
pasien kusta sendiri yang menghindar dari masyarakat.
Perempuan dengan kusta tidak diterima sebagai pasangan
dalam pernikahan bagi individu sehat. Kecacatan dan stigma
yang dialami menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan,
pendapatan, dan kemungkinan menjalani pernikahan.22
32
Vol. 40 No.1 Tahun 2013:28 -34
Stigma & diskriminasi mempengaruhi kesehatan
mental dan kualitas hidup
Stigma mempengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup pasien kusta. Berbagai studi menunjukkan
bahwa pasien kusta memiliki prevalensi yang tinggi
terjadi masalah psikiatri dibandingkan dengan populasi
umum atau pasien penyakit lain. Depresi yang dialami
pasien kusta secara signifikan lebih parah dibandingkan
dengan populasi umum. Stigma dan diskriminasi yang
terjadi menyebabkan tingginya persentase pasien kusta
yang merasa putus asa dan timbul ide bunuh diri. 9, 23
Hubungan antara stigma dan kesehatan mental pasien
kusta belum banyak diuraikan. Tsutsumi dkk. (2004)
melakukan studi terhadap 140 pasien kusta di Bangladesh,
dengan menggunakan skala Center for Epidemiologic Studies
Depression (CES-D). Dalam studi tersebut diperlihatkan
hubungan antara stigma yang dialami pasien dengan kesehatan
mental. Pasien yang mengalami stigma memiliki tingkat
depresi yang lebih parah dibandingkan dengan pasien tanpa
stigma. Kualitas hidup pasien kusta dan keluarganya, baik
dalam segi sosial, ekonomi, dan psikologis sangat terpengaruh
oleh adanya stigma oleh masyarakat umum.23
Tsutsumi dkk. (2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa stigma yang dirasakan pasien kusta menyumbang paling banyak dalam rendahnya kualitas hidup pasien
kusta.9
Efek stigma pada terapi dan pengobatan
Pengaruh negatif stigma akan menghalangi program
kesehatan komunitas yang berkaitan dengan pencegahan,
diagnosis dini, terapi dan ketaatan berobat pasien kusta.
Stigma menyebabkan keterlambatan terapi, karena ketakutan
pasien akan diketahui oleh orang lain bahwa dirinya terinfeksi. Penyakit kusta merupakan ancaman terhadap status
sosial pasien di masyarakat, sehingga pasien menyembunyikan penyakitnya. Pasien bahkan menghentikan pengobatannya karena ketakutan akan diketahui penyakitnya dan
ditolak oleh masyarakat, sehingga meningkatkan morbiditas,
risiko kecacatan, dan terjadinya resistensi obat sekunder.17
Bila pasien telah dinyatakan sembuh, stigma akan tetap
dialami pasien, sehingga menjadi hambatan dalam memulai
kehidupan yang normal. Persepsi negatif terhadap kusta tetap
akan menjadi penghalang proses reintregrasi pasien dengan
keluarga, pekerjaan, dan komunitas sosial yang lebih luas.5
Penyebab timbulnya stigma
Banyak faktor berkontribusi terhadap timbulnya stigma
penyakit kusta, faktor ini bervariasi dalam kebudayaan
dan masyarakat yang berbeda.5
R Astriningrum
Kepercayaan tentang penyebab kusta. Kepercayaan akan
penyebab timbulnya penyakit kusta berbeda-beda antara
tempat yang satu dengan yang lain. Terdapat kelompok yang
mempercayai bahwa kusta merupakan ketetapan Tuhan
akibat kesalahannya dalam kehidupan saat ini atau
kehidupan sebelumnya. Pasien kusta dihindari oleh karena
ada anggapan bahwa mereka berdosa, dan berada di sekitar
pasien kusta akan mendatangkan kemurkaan Tuhan.5
Pada sebagian masyarakat, penyakit kusta dianggap
sebagai penyakit menular seksual, penyakit akibat gunaguna, atau penyakit akibat sihir yang dimiliki pasien.
Keseluruhan kepercayaan tersebut memiliki efek negatif
dan pasien dianggap telah melakukan kesalahan sehingga
penyakit kusta timbul karena kesalahannya sendiri.5
Ketakutan tertular penyakit. Ketakutan akan tertular
penyakit merupakan alasan pengucilan pasien kusta. Dahulu,
pasien kusta diisolasi untuk tujuan menghentikan penyebaran
penyakit. Seperti yang terjadi di Jepang pada tahun 1953
sampai dengan tahun 1996, hukum mengharuskan pasien
kusta untuk diisolasi. Saat ini, isolasi pasien kusta dianggap
sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, setelah
sebuah kasus pengadilan dimenangkan oleh pasien kusta di
Jepang pada tahun 2001.5
Ketakutan terhadap penyakit kusta terkadang diperberat oleh metode penanganan penyakit ini yang berbeda
dari penyakit lain. Tatalaksana pasien kusta yang terpisah,
baik yang tertuang dalam program maupun pemisahan
rumah sakit, mengesankan bahwa peyakit kusta memang
berbeda dan lebih infeksius dibandingkan dengan penyakit
lain. Masyarakat kemudian percaya hal tersebut dan
menginginkan pasien kusta ditatalaksana jauh dari komunitas
untuk menghindari penyebaran penyakit.5
Cacat dan deformitas. Alasan lain timbulnya stigma
yang berhubungan dengan kusta adalah cacat dan deformitas yang disebabkan oleh penyakit ini. Pasien kusta tipe
lepromatosa polar memiliki karakteristik wajah yang
menandai bahwa seseorang mengidap penyakit ini, seperti
kulit yang menebal dan hidung yang melebar.5 Penelitian
oleh Prabhakara Rao dkk. (2000) di India menunjukkan
bahwa semakin parah kecacatan, semakin besar stigma
yang diperoleh.18
Bau. Pasien kusta mungkin memiliki bau tidak enak yang
disebabkan oleh ulkus terinfeksi. Bau tersebut dapat
membuat orang di sekitar pasien menjadi mual, dan
kondisi dapat menjadi lebih buruk lagi bila pada suatu
masyarakat, pasien kusta tidak diizinkan untuk mencuci
lukanya menggunakan air untuk umum, seperti yang
terjadi di Madhya Pradesh, India. Bau yang tidak enak
membuat pasien kusta menyendiri, dan menyebabkan
perasaan rendah diri.5
Kualitas hidup pasien kusta
Stigmatisasi diri sendiri. Stigmatisasi diri sendiri (selfstigmatization) berupa rasa malu oleh karena deformitas
tubuhnya dan perlakuan orang lain di sekitarnya,
menyebabkan pasien mengisolasi diri dari masyarakat.
Hal tersebut kemudian mendukung pendapat bahwa kusta
merupakan penyakit yang memalukan dan sebaiknya
disembunyikan. Pasien kusta sulit untuk menghargai atau
memandang positif dirinya. Sebagian pasien sulit untuk
menerima kenyataan bahwa dirinya sakit kusta, sementara
orang lain mungkin tidak percaya bahwa pasien kusta
dapat sembuh setelah diobati.5
KESIMPULAN
Penyakit kusta merupakan kondisi kompleks yang
tidak hanya melibatkan fisik, namun juga berdampak pada
kualitas hidup pasien dan keluarganya, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan psikologis. Kecacatan dan stigma
yang dirasakan pasien berperan besar dalam penurunan
kualitas hidup. Pencegahan kecacatan, rehabiltasi dan intervensi psikososial diperlukan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien kusta. Selain itu, pemeliharaan kesehatan
mental penting dilakukan dan pemberian psikoterapi dapat
dipertimbangkan pada pasien kusta yang menunjukkan
gangguan psikis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Power MJ. Quality of life. Dalam: Lopez SJ, Snyder CR,
penyunting. Positive psychological assessment a handbook
models and measures. Washington DC: American Psychological Association, 2003. h.427-39.
2. Finlay AY. Quality of life indices. Indian J Dermatol
Venereol Lepr 2004;70:143–8.
3. World Health Organization. WHOQOL User Manual.
Geneva: World Health Organization, 1998.
4. Both H, Essink-Bot M, Busschbach J, Nijsten T. Critical review
of generic and dermatology-specific health-related quality of
life instruments. J Invest Dermatol 2007: 127: 2726-38.
5. Rafferty J. Curing the stigma of leprosy. Lepr Rev 2005; 76:
119-26.
6. An JG, Ma JH, Xiao SX, Yang F. Quality of life in patients with
lepromatous leprosy in China. JEADV 2010; 24: 827-32.
7. Martins BDL, Torres FN, Oliveira MLWDR. Impact on the
quality of llife of patients with Hansen’s disease: correlation
between Dermatology Life Quality Index and disease status.
An Bras Dermatol 2008; 83: 39-43.
8. Joseph GA, Sundar Rao PS. Impact of leprosy on the quality
of life. Bull World Health Organ. 1999; 77: 515-17.
9. Tsutsumi A, Izutsu T, Islam A, Maksuda AN, Kato H,
Wakai S. The quality of life, mental health, and perceived
stigma of leprosy patients in Bangladesh. Soc Sci Med 2007;
64: 2443-53.
10. World Health Organization. WHOQOL-BREF instruction,
administration, scoring and generic version of the
assessment. Geneva: World Health Organization, 1996.
33
MDVI
11. Finlay AY, Khan G. Dermatology Life Quality Index
(DLQI): a simple practical measure for routine clinical use.
Clin Exp Dermatol 1994; 19: 210-16.
12. Basra MKA, Fenech R, Gatt RM, Salek MS, Finlay AY.
The dermatology life quality index 1994-2007: a
comprehensive review of validation data and clinical results.
Br J Dermatol 2008;159: 997-1035.
13. Joplin WH, McDougall AC. Handbook of leprosy. Edisi 5.
New Delhi: CBS Publishers & Distributors; 1995: 10-53.
14. Ladhani S. Leprosy disabilities: the impact of multidrug
therapy (MDT). Int J Dermatol 1997; 36: 561-72.
15. Chaturvedi SK, Singh G, Gupta N. Stigma experience in
skin disorder: An Indian perspective. Dermatol Clin 2005;
23: 635-42.
16. Rensen C, Bandyopadhyay S, Gopal PK, Vanbrakel WH.
Measuring leprosy-related stigma – a pilot study to validate
a toolkit of instruments. Disabil Rehabil. 2010; 1-9.
17. Stigter D, de Gaus L, Heynders M. Leprosy: between
acceptance and segregation. Community behavior towards
persons affected by leprosy in Eastern Nepal. Lepr Rev,
2000; 71: 492-8.
18. Prabhakara Rao V, Rao IR, Palande DD. Socio-economic
rehabilitation programme of LEPRA India –methodology,
34
Vol. 40 No.1 Tahun 2013:28 -34
19.
20.
21.
22.
23.
results and application of needs-based socio-economic
evaluation. Lepr Rev 2000; 71: 466–471.
Shieh C, Wang HH, Lin CF. From contagious to chronic: A
life course experience with leprosy in Taiwanese women.
Lepr Rev 2006; 77(2): 99-113.
Peters ES, Eshiet AL. Male-female (sex) differences in
leprosy patients in South Eastern Nigeria: females present
late diagnosis and treatment and have higher rates of
deformity. Lepr Rev 2002; 73: 262-67.
Zodpey SP, Tiwari RR, Salodkar AD. Gender differentials
in the social and family life of leprosy patients. Lepr Rev,
2000; 71: 505–510.
Schuller I, Van Brakel W, Van der V, Beise K, Wardhani L,
Silwana S, et al. The way women experience disabilities and
especially disabilities related to leprosy in rural areas in
South Sulawesi, Indonesia. Asia Pacific Disabil Rehabil J.
2010; 21. 60-70.
Tsusumi A, Izutsu T, Islam A, Jalal U, Nakahara S, Takagi F, et
al. Depressive status of leprosy patients in Bangladesh:
Association with sel-perception of stigma. Lepr Rev 2004; 75:
57-66.
Download