BAB V KESIMPULAN Studi ini mengkaji fenomena perilaku memilih

advertisement
BAB V
KESIMPULAN
Studi ini mengkaji fenomena perilaku memilih dikalangan pemilih
Tionghoa di Bangka pada Pileg 2009—satu rentang waktu yang memberikan
kesempatan terbaik untuk melihat keterkaitan antara dimensi agama, etnisitas, dan
kedaerahan dengan perilaku memilih. Argumen utama yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah adanya keterkaitan antara sentimen agama, etnisitas, dan
kedaerahan terhadap perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa.
Dalam bab ini saya membuat rekapitulasi temuan-temuan studi ini dan
membahasnya secara singkat. Ada beberapa catatan layak disampaikan. Pertama,
struktur sosial masyarakat di Bangka secara umum yang terpola juga
teraktualisasikan dalam dukungan politik yang terdistribusi terhadap politisi yang
mengikuti pola tersebut. Pemilih di Kabupaten Bangka misalnya, secara luas tidak
terlalu mendukung politisi asal Belitung. Sederhananya, pemilih di Bangka lebih
mengutamakan politisi asal Bangka. Meski demikian, bukan berarti politisi
Tionghoa asal Pulau Belitung kesulitan mendapatkan dukungan politik di
kelompok pemilih Tionghoa yang berada di Pulau Bangka. Jika pilihannya adalah
politisi Tionghoa dan politisi Melayu maka bisa dipastikan dukungan politik dari
pemilih Tionghoa Bangka akan mengalir ke politisi asal Belitung. Singkat kata,
selama politisi tersebut bisa mengindikasikan dirinya sebagai bagian dari
Tionghoa maka persoalan sekat georgrafis akan dikalahkan oleh identitas
ketionghoaan yang melekat di pemilih Tionghoa.
210
Ke dua, meski terpola dalam dukungan politik kepada politisi tertentu
nampak dalam aktifitas kesehariannya masyarakat Tionghoa di Bangka cukup
melebur. Polarisasi antara masyarakat Tionghoa dan Melayu lebih mengakar pada
sebuah proyek politik dibandingkan dengan dimensi sosial lainnya, seperti
masalah agama dan budaya. Walau ada perbedaan yang nyata secara kultur antara
masyarakat Tionghoa dengan kelompok masyarakat lainnya, tidak menjadikan
mereka menginklusifkan dirinya. Adanya perbedaan tadi malah bisa dijadikan alat
ukur sebagai penopang bagi terciptanya harmoni sosial dalam keseharian. Paling
tidak, begitu terlihat nyata bagaimana setiap perayaan-perayan agama dan tradisi
yang melekat di masyarakat Tionghoa dan Melayu menjadi medium pemeliharaan
kesatuan dan persatuan yang terbangun. Artinya, meski perbedaan memang tidak
dapat dihindarkan bukan berarti menjadi alasan untuk berbenturan dalam
pertengkaran berparas etnis.
Ke tiga, meski pemilih Tionghoa terdiri dari berbagai latarbelakang
karakteristik demografis, namun terkait dengan pilihan politiknya di Pileg 2009
nyaris seragam. Jika dilihat dari partai politik pilihan, pemilih Tionghoa
cenderung memilih partai bercorak nasionalis, khususnya PDIP dan sedikit
terdistribusi kepada Golkar. Sementara dilihat dari politisi pilihannya maka
pemilih Tionghoa cenderung memilih politisi asal Tionghoa seperti Tjen dan
Ahok. Jika dikatikan antara partai politik yang dipilih dengan politisi yang dipilih
maka tidak bisa dilepaskan dari kuatnya figur Tjen dan Ahok yang melekat di
kalangan pemilih Tionghoa. Begitu nampak kedua politisi ini cukup populer di
kalangan pemilih Tionghoa. Bahkan, jika ditelusuri motifikasi pemilih Tionghoa
211
dalam berpartisipasi di Pileg 2009 juga tidak bisa dilepaskan dari hadirnya kedua
politisi ini yang ikut berkompetisi diranah politik.
Ke empat, Pileg 2009 menunjukkan ketatnya kompetisi politik di Babel
secara umum yang mewakili dua etnis dominan, yakni entnis Tionghoa dan etnis
Melayu yang juga sekaligus mewakili dua gugusan pulau terbesar, yakni pulau
Bangka dan Belitung. Munculnya beberapa politisi dari kalangan Tionghoa untuk
memperebutkan jabatan politik semakin meningkatkan kompetisi politik di Babel.
Maraknya politisi dari kalangan Tionghoa tampil dalam memperbutkan jabatan
politik di Babel telah menggeser dominasi politik yang semula dikuasai oleh
politisi Melayu.
Hasil Pileg 2009 di Babel secara sederhana memperlihatkan polarisasi
dukungan politik yang didapatkan oleh politisi dapat dijelaskan melalui pemilahan
berdasarkan etnisitas dan kedaerahan. Rendahnya dukungan politik yang
didapatkan oleh politisi Melayu dibasis-basis pemilih Tionghoa menunjukkan
bekerjanya sentimen etnisitas. Selanjutnya, jika dilihat dari rendahnya tingkat
keterpilihan politisi asal Bangka di pulau Belitung juga menegaskan bekerjanya
pengaruh sentimen kedaerahan di kalangan pemilih di Babel. Begitu
kompetitifnya, beberapa politisi incumbent gagal mempertahankan jabatan
politiknya.
Ke lima, hasil penelitian ini menunjukkan pemilih Tionghoa dalam
memberikan dukungan politiknya kepada partai politik dan politisi di Pileg 2009
sangat menonjolkan ikatan-ikatan primordial seperti aspek agama, etnisitas dan
kedaerahan. Masing-masing aspek primordial tadi memberikan sumbangsih
212
dengan berbagai varian. Jika diurutkan, aspek etnisitas berada diurutan teratas
untuk dipertimbangkan. Setelah etnisitas, kedaerahan merupakan pertimbangan
yang berada diurutan kedua. Dan, aspek agama berada diurutan ketiga. Meski
berbeda urutan, aspek primordial seperti agama, etnisitas, dan kedaerahan
memberikan kontribusi untuk dipertimbangkan pemilih Tionghoa dalam
menentukan pilihan politiknya. Artinya, ketiga aspek primordial tadi saling
menopang satu sama lain untuk menentukan pilihan elektoral di kalangan pemilih
Tionghoa.
Sederhananya,
semakin
seorang
politisi
bisa
menunjukkan
dan
mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Tionghoa maka dukungan politik
sudah bisa dipastikan mengalir dari pemilih Tionghoa. Bahkan, di kalangan
pemilih Tionghoa yang menganggap dirinya bagian dari masyarakat Tionghoa
akan memastikan dukungan politiknya kepada politisi Tionghoa. Semakin
Tionghoa seseorang maka semakin mempertimbangkan faktor etnisitisas politisi
untuk memberikan dukungan politiknya. Artinya, meski politisi yang berhasil
menegaskan dirinya sebagai seorang Tionghoa namun bukan putra daerah, dan
tidak memeluk agama yang sama dengan pemilih, maka dukungan politik bisa
dipastikan akan tetap diberikan kepada politisi tersebut. Selama masih ada politisi
yang berlatarbelakang Tionghoa maka pemilih akan memberikan dukungannya
meskipun mengabaikan batas kedaerahan dan agama yang berbeda.
Apa Selanjutnya?
Pengalaman dari Bangka membuktikan bahwa kebebasan politik di
kalangan pemilih Tionghoa dalam menyalurkan aspirasi politiknya di Pileg 2009
213
tidak mampu mengatasi sigresi komunal dalam upaya meminimalkan sentimensentimen etnisitas. Kehadiran politisi Tionghoa malah semakin mengkristalkan
identitas politik berbasis etnis. Akibatnya, kemunculan politisi dari kalangan
Tionghoa, serta adanya kebebasan politik bagi pemilih Tionghoa untuk
menyalurkan aspirasi politiknya melalui pemilihan umum yang tidak berlawanan
dengan
peraturan-peraturan
dalam
sistem
politik
di
Indonesia,
belum
membebebaskan persoalan sentimen-sentimen etnisitas yang selalu membayangi
kehidupan sosial di Babel.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perilaku memilih etnis
Tionghoa memang tersegmentasi dan terkonsentrasi kepada politisi asal
Tionghoa. Tersegmentasi dan terkonsentrasinya dukungan pemilih Tionghoa
terhadap politisi Tionghoa secara diam dan tersembunyi dikhawatirkan berada
dalam bahaya tingginya politik berbasis etnisitas. Menonjolnya politik
berbasiskan etnisitas boleh jadi menjadi semacam bom waktu dalam setiap
gejolak sosial yang memiliki potensi konflik antara kedua etnis terbesar diwilayah
tersebut. Asumsi ini berdasarkan dari kekhawatiran bila etnis dominan (Melayu)
kehilangan kendalinya dan legitimasi dalam ruang politik pada titik nadir tertentu
tidak menutup kemungkinan akan menjadi pemicu konflik etnis. Fakta ini
sekaligus menunjukkan harmoni sosial yang dihasilkan dari asmilisasi kultural
dan struktural selama ini belum menyentuh dibidang politik dalam level
masyarakat di masing-masing basis sosial yang terpola dengan etnisitas. Tandatanda tersebut akan menjadi pertaruhan masa depan kehidupan politik di Babel.
214
Tentu saja ini masih bersifat kekhawatiran—semoga saja gejala ini tidak
menjadi bahaya laten bagi kehidupan politik di Babel. Oleh karenanya, pemilih
Tionghoa harus sadar untuk tidak dijadikan objek manipulasi dari elit politik
dalam rangka menjaring dukungan politik yang berbasis etnisitas. Jika fenomena
dukungan politik yang mengandalkan basis etnisitas terus bergulir boleh jadi
merupakan semacam api dalam sekam yang melahirkan gejolak sosial dan politik
di Babel.
Persoalannya bukan terletak pada sistem pemilihan langsung yang
memang demokratis. Lebih dari itu. Persoalan yang paling mendasar dalam
pengamatan saya adalah penggunaan nilai-nilai primordial untuk dimanipulasi
sebagai sumber dukungan politik bagi politisi. Akibatnya, masyarakat secara luas
dan berkelompok tidak bisa lepas dari jebakan pengelompokan berdasarkan
ikatan-ikatan primordial, khususnya etnisitas.
Oleh karenanya, beranjak dari kekhawatiran tadi saya berharap munculnya
gejala segmentasi etnisitas di arena politik tidak mengganggu konsolidasi
demokrasi yang sedang berlangsung di aras lokal, terutama di Babel. Seperti yang
diketahui, pertarungan politik memang cenderung mendorong politisi untuk
menempuh jalan pintas melalui ikatan-ikatan primordial yang malah dapat
mereduksi sakralitas nilai-nilai demokrasi. Ikatan primordial memang efektif
dimanfaatkan untuk menggalang dukungan politik. Akan tetapi bukan berarti bisa
dilakukan dengan segala cara. Oleh sebab itu, semua pihak harus menjaga agar
proses demokratisasi di Babel tidak menyimpang dari semestinya.
215
Catatan untuk Penelitian ke Depan
Hasil penelitian ini menemukan bahwa proses demokratisasi melalui hasil
Pileg 2009 di Bangka belum sanggup mengatasi segmentasi perilaku politik
berbasis etnisitas. Konsentrasi dukungan politik berbasis etnisitas di kalangan
pemilih Tionghoa begitu kuat. Oleh karenanya, bagi beberapa pihak yang
meyakini bahwa politik yang berbasis etnis di Babel telah mati harus dikritisi
secara tajam.
Melalui hasil penelitian ini dapat dijadikan pintu masuk untuk penelaahan
yang lebih rinci tentang analisis bekerjanya politik etnisitas di Babel secara
umum. Namun, karena penelitian ini bersifat studi kasus tentu sangat terbatas
daya jelajahnya dalam menjelaskan fenomena politik berbasis etnisitas di Babel.
Oleh karena itu, berangkat dari temuan riset ini tampaknya dapat dikembangkan
penelitian lanjutan yang lebih menekankan pemeriksaan dan pemetaan tentang
bagaimana menguatnya politik etnisitas di Babel menjadi hambatan bagi kualitas
demokrasi di aras lokal.
Tema lainnya yang juga dapat dilakukan terkait dengan bentuk-bentuk
etnisitas dimobilisasi sebagai upaya untuk mendapatkan dukungan politik.
Keterbatasan penelitian ini hanya menelusuri dinamika perilaku memilih. Oleh
karenanya, penelitian ini tidak mampu menjelaskan bagaimana bentuk mobilisasi
etnisitas dalam momen-momen politik di Babel yang dimanfaatkan oleh elit-elit
politik.
Ranah kajian berikutnya yang mungkin dapat dikembangkan adalah terkait
dengan agenda demokratisasi di Babel di berbagai arena yang berpengaruh
216
langsung terhadap harmonisasi sosial antara etnis Melayu dan Tionghoa. Jika
dilihat pola hubungan etnis Melayu dan Tionghoa selama ini yang begitu
harmonis dalam keseharian harus didorong terus sebagai faktor transformasi yang
memungkinkan untuk memutus mata rantai sentimen primordial dalam berbagai
proyek politik. Inilah yang menjadi tantangan bagi masa depan demokratisasi di
Babel.
217
Download