BAB 1 PENDAHULUAN

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah:
Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatua Republik Indonesia memiliki beragam
masyarakat yang tinggal di dalamnya. Sebagai pusat aktivitas perkembangan
negara terdapat berbagai etnis
atau suku bangsa yang datang ke kota ini.
Beberapa etnis atau suku bangsa seperti: Melayu, Arab, China, serta India, yang
merupakan bagian dari warga Jakarta saat ini yang telah tinggal di kota ini sejak
dulu. Salah satu etnis yang paling menonjol perannya dalam perkembangan di
Jakarta, khususnya dibidang ekonomi dan industri, adalah etnis China atau yang
biasa kita sebut sebagai keturunan Tionghoa.
Gelombang migrasi orang-orang Tionghoa secara Individual dari daratan
China ke berbagai pelosok wilayah di seluruh Indonesia, telah berlangsung lama
dan itu terjadi jauh sebelum zaman Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
datang. Kaum Belanda dan priayayi menjadi penguasa, masyarakat Tionghoa
menjadi masyarakat menengah yang bergerak di bidang perdagangan saja,
sementara bagian terbesar rakyat jelata menjadi kaum yang senantiasa ditindas.
Kesenjangan ekonomi dan politik menjadi nyata dalam situasi tersebut.
Sebagai masyarakat perantauan, mereka memiliki kekuatan yang cukup
besar, dari segi jumlah maupun dari segi peran. Hanya sayangnya, mereka selalu
di tempatkan dalam posisi mengembang baik dari segi hokum maupun
kehidupan social. Mereka menjadi masyarakat yang identitasnya selalu dibuat
1
2
tidak mengakar. Sejak zaman penjajahan Belanda, Tionghoa selalu dijadikan
“target operasi” konflik politik. Bahkan, ketika bangsa ini sudah merdeka dan
merumuskan cita-cita perjuangannya dalam wadah Pancasila yang egaliter dan
jauh sentiment etnis itu, Tionghoa masih menjadi tumbal kekuasaan. Warga
keturunan Tionghoa selalu dijadikan kambing hitam. Minoritas Tionghoa dicap
eksklusif, tidak mau berbaur, tahunya hanya berdagang, tidak punya
nasionalisme, tidak peduli nasib bangsa, dan seterusnya. Labellisasi itu tentu
tidak sepenuhnya tepat.
Ketika Indonesia sudah merdeka, diskriminasi terhadap warga Tionghoa
tidak mengalami perubahan. Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1959 oleh
Presiden Soekarno, melarang hampir semua bentuk perdagangan eceran daerah
pedalaman yang berada di tangan orang-orang Tionghoa. Dengan demikian
Pemerintah
Indonesia
tidak
saja
membatasi
pembauran,
tetapi
juga
mengesampingkan kedudukan masyarakat tionghoa dalam kehidupan social
desa.(Suparlan, 1979)
Sama halnya ketika Indonesia memasuki era Orde Baru, Presiden
Soeharto juga melakukan pembatasan melalui Intruksi Presiden No.14 Tahun
1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa. Inpres ini yang
kemudian menjadi dasar bagi dilarangnya bentuk-bentuk ekspresi keagamaan,
kepercayaan dan adat-istiadat masyarakat Tionghoa di depan umum (黄昆章,
2005).
Kaum Tionghoa hanya bisa bergerak di bidang ekonomi, sementara
pribumi mendominanasi bidang politik dan pemerintahan. Akhirnya terjadilah
3
kolusi antara penguasa dan pengusaha. Ketergantungan etnis Tionghoa semakin
dinintensifkan dalam lingkaran kekuasaan, terutama menyangkut jaminan
keamanan, perlindungan, dan proteksi ekonomi.
Bila akhirnya munculah budaya suap, kelompok minoritas inilah yang
dipersalahkan oleh masyarakat. Mereka, yang menurut pendapat umum warga
Tionghoa terbiasa dengan main sogok, seakan-akan dituduh atau dicap sebagai
biang keladi budaya korupsi. Hal ini jarang sekali dipandang secara objektif,
bahwa sesungguhnya dipihak lain para aparat dan pegawai borokrasi juga yang
memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi, sehingga memeras kelompok
minoritas ini yang tengah terjepit kepentingannya. Dari sinilah, mitos-mitos
yang salah tentang orang-orang Tionghoa itu semakin terkukuhkan lagi.
Pengusaha keturunan Tionghoa yang melakukan bisnis melalui jalan
KKN mungkin hanya beberapa pengusaha, tetapi menyebapkan hampir semua
pengusaha Tionghoa dicap Tionghoa KKN. Stempel ini bahkan sudah ada sejak
zaman colonial Belanda dulu. Kiprah segelintir pengusaha Tionghoa yang
menikmati hasil pembangunan itulah, yang membuat jurang pemisah dan rasa
kebencian bagi masyarakat pribumi terhadap etnis Tionghoa. Salah satu
peristiwa yang merupakan contoh nyata perihal telah berkembangnya rasa
sentiment masyarakat umum terhadap eksistensi warga minoritas ini kerusuhan
Mei tahun 1998 silam (Suparlan, 1979)
Memasuki era reformasi eksistensi masyarakat Tionghoa mulai diakui.
Presiden abduraahman Wahid mengeluarkan keputusan Presiden Nomer 6 Tahun
2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 (dalam Latar belakang
meihwa-flim, 2006). Dan pada zaman pemerintahan Megawati Soekarnoputri,
4
beliau menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa adalah bagian dari bangsa ini,
dan kedudukannya harus disamaratakan. Seperti suami beliau Taufik Kemas,
Mega Wati selalu memberi perlakuan yang sama terhadap warga Tionghoa, di
dalam suatu kabinetpun paling sedikit ada seorang warga keturunan Tionghoa
memegang jabatan mentri. Mega Wati juga menetapkan hari Raya Imlek dalam
daftar tanggal merah almanak Indonesia, melengkapi pengakuan identitas yang
selama ini dibatasi oleh penguasa (李卓辉,2004).
Hal ini memang cukup mengembirakan, namun sampai hari ini, yang
terjadi baru wilayah permukaan dan simbolik. Sebab, dalam praktek kehidupan
warga Tionghoa sehari-hari, apabila dibeberapa tempat tertentu, mereka tetap
memperoleh perlakuan berbeda. Etnis Tionghoa kini masih kerap mengalami
diskriminasi seperti diminta Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI)
yang secara resmi tidak dibutuhkan lagi. Salah satu bentuk perlakuan yang
membedakan terhadap warga Tionghoa yang terungkap adalah wawancara
Wimar kepada beberapa nara sumber dalam acara Wimars World pada tanggal
14 februari 2007 di Jak TV. Berdasarkan wawancara dari nara sumber Lucky
krompis, Hendrawan, dan Anton J Supit, sebagai etnis Tionghoa, terungkap
bahwa mereka masih harus menggunakan SBKRI untuk pembuatan surat-surat
penting seperti KTP, akte kelahiran, paspor, dan sebagainya. Hal tersebut seperti
belum sepenuhnya menunjukan tercapainya persamaan hak sipil. Selain itu
narasumber Toni dan Hendrawan (keturunan Tionghoa) mengatakan bahwa
mereka harus dimintau uang oleh petugas untuk mempelancar pembuatan paspor.
5
Hal ini menjadi sebuah pertanyaan bagi penulis, sudahkah diskriminasi terhadap
masyarakat Tionghoa benar-benar lepas?
Di masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, dimana terdapat
keragaman etnik, kultur, bahasa, agama, dan keyakinan ini, peluang masyarakat
untuk berprasangka negatif terhadap orang lain cukup besar. Prasangka social
inilah yang dapat membawa masyarakat di suatu daerah untuk bertindak
diskriminatif, dalam hal ini terhadap warga keturunan Tionghoa.
Tindakan-tindakan diskriminatif atau berbeda diartikan sebagai tindakantindakan yang bercorak menghambat, merugikan perkembangan, bahkan
mengecam kehidupan pribadi orang-orang hanya karena mereka kebetulan
termasuk golongan yang diprasangkai itu. (Gerungan, 2004). Melalui pernyataan
ini dapat dikatakan bahwa munculnya diskriminasi terhadap golongan tertentu
dapat diawali dengan munculnya prasangka. Prasangka yang terjadi terhadap
golongan etnis Tionghoa merupakan fenomena prasangka social.
Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap
golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan
golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri dari sikap-sikap
sosial yang negatif terhadap golongan lain dan tidak mempengaruhi tingkah
lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka sosial yang pada
umumnya hanya merupakan sikap-sikap persaan negatif itu lambat laun
menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orangorang yang termasuk golongan-golongan yang diprasangkai itu tanpa terdapat
alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenai tindakan-tindakan
diskriminatif.
6
Prasangka itu datang bisa dikarnakan adanya pengaruh-pengaruh sejarah,
dari lingkungan, dan bisa juga dari pengalaman yang mereka alami, yang
menjadikan prasangka itu ada dan ditujukan kepada golongan yang sama, dan
sebenarnya mereka belum tentu mempunyai sifat yang sama. Prasangka bisa
terjadi kepada siapapun, termasuk para mahasiswa dengan latar belakang yang
sudah cukup tinggi mahasiswa adalah intelektual, yaitu berfikir logis. Berpikir
logis, artinya berpikir dengan yang jernih dan sehat. Tindakan logis, artinya tidak
melakukan sebuah tindakan terlebih dahulu, sebelumnya tindakan itu
dipertimbangan matang-matang melalui pikiran, nalar yang sehat, mempunyai
pemikiran yang sangat luas, dan bisa memilih mana yang baik dan buruk. Maka
penulis memilih mahasiswa untuk dijadikan objek penelitian.
1. 2. Perumusan Masalah:
Analisa Gambaran
prasangka sosial mahasiswa pribumi terhadap warga
Tionghoa (dari segi psikologi sosial).
1. 3. Ruang Lingkup Masalah:
Ruang lingkup pada penelitian ini mencangkup mahasiswa pribumi di beberapa
Universitas di Jakarta, yaitu: Universitas Al-azhar (Jakarta selatan), Universitas
Bina Nusantara (Jakarta barat), Universitas Darma Persada (Jakarta timur),
Universitas Kedokteran Iarsi (Jakarta pusat), Universitas Bunda Mulia (Jakarta
Utara) dan Universitas Indonesia (Depok).
1. 4. Tujuan dan Manfaat Penulisan:
Tujuan penulisan peneliti adalah mengetahui masih adakah sikap prasangka
sosial oleh mahasiswa pribumi terhadap warga Tionghoa di Jakarta.
7
1. 5. Metodologi Penulitian:
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kuantitatif (dengan
instrument kuesioner), kualitatif (dengan wawancara beberapa sumber) dan studi
kepustakaan untuk memeperkuat data dan informasi yang berhubungan skripsi
ini, baik dari buku, maupun internet.
1. 6. Sistematika penulisan:
BAB 1
Pendahuluan
Bab ini membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB 2
Landasan Teori
Membahas tentang ada dan tidak adanya prasangka dari sisi teori
“Psikologi Sosial”.
BAB 3
Analisa Data
Akan menbahas gambaran prasangka sosial mahasiswa pribumi terhadap
warga Tionghoa dari hasil penelitian.
BAB 4
Kesimpulan dan Saran
Bab ini membahas kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan pada
bab-bab sebelumnya dan memberikan saran.
BAB 5
Ringkasan
Bab ini akan membahas ringkasan isi skripsi dari bab 1-4.
Download