TOPIK-TOPIK LANJUTAN SISTEM INFORMASI TECHNOPRENEURSHIP Disusun Oleh : 06PMM / Kelompok 1 Sofian Muhammad Akbar Arifin Ferliano Ossadi Akmal Syafaat Muhammad Hidayat 1100053102 1100053001 1100059636 1100049881 1100022772 TECHNOPRENEURSHIP ABSTRAK Kinerja dan keberlanjutan pembangunan ekonomi harus didukung oleh berbagai sektor ekonomi. Sektor riil sebagai salah satu sektor yang penting dalam mendukung target dari pertumbuhan ekonomi. Sektor ini merupakan sektor yang menghasilkan berbagai produk secara langsung. Pertumbuhan dan daya saing output dari sektor riil dari sebuah negara baik untuk pasar domestic maupun pasar internasional akan menentukan kinerja ekonomi dari negara yg bersangkutan. Lebih lanjut, daya saing produk dari sebuah negara akan ditentukan oleh kualitas kebijakan pasar dan kualitas produk yang bersangkutan. Besaran sektor riil dan kemampuan teknologi yang dimiliki sangat menentukan berbagai faktor pendukung daya saing dari produk-produk sektor riil bagi negara yang bersangkutan. Kebijakan ekonomi yang kondusif dan tingginya aktivitas kewirausahaan yang disertai kemampuan teknologi bagi pelaku akan sangat menentukan kinerja sektor industri riil ini. Terkait dengan hal tersebut di atas, studi ini memandang semangat entrepreneurship dengan karakteristik entrepreneur yang memiliki kemampuan teknologi menjadi hal yan penting. Kebijakan membangun kemandirian teknologi dan daya saing ekonomi dengan dukungan faktor teknologi akan sangat dipengaruhi oleh semangat dan tumbuhnya aktivitas technopreneurship ini. Kata kunci : entrepreneurship, sector riil, aktivitas technopreneurship BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan adanya Technopreneurship merupakan acuan untuk dunia bisnis karena Technopreneurship dapat mencegah pengangguran bagi para sarjana. 1.2 Ruang Lingkup Definisi teknolodi, entrepreneur, dan technopreneur Hubungan antara dunia bisnis, pendidikan dengan technopreneur 1.3 Tujuan dan Manfaat Tujuannya : 1. Studi literature yang dilakukan akan mensitesiskan konsep pentingnya aktivitas technopreneurship dalam mendukung daya saing industri dan daya saing ekonomi pada umumnya. 2. Survey terhadap sampel/ pelaku-pelaku technopreneurship akan memberikan gambaran aktivitas technopreneurship secara umum di Indonesia. 3. Studi kasus terhadap beberapa pelaku technopreneurship yang unggul akan memberikan pemahaman bagaimana perilaku dan aktivitas pelaku technopreneur tersebut dalam berkompetisi dan bertahan dilingkungan industri. Hal ini diharapkan mampu menjadi rujukan bagi pelaku-pelaku yang lain dan menjadi dasar pemahaman bagi pemerintah dalam melakukan kebijakan dan strategi penguatan sistem inovasi nasional. Manfaatnya : 1. Memperoleh pencerahan mengenai alternatif profesi sebagai wirausaha selain sebagai ekonom, manajer atau akuntan atau profesi lainnya. 2. Memiliki skill-based yang memadai dalam bidang Teknologi Informasi 3. Mendapatkan pengetahuan dasar dalam bentuk teori maupun praktek magang dalam mengelola suatu bisnis. 4. Memperoleh akses untuk membangun networking dunia bisnis. Sedangkan bagi Perguruan Tinggi sebagai fasilitator adalah : 1. Menjadi bentuk tanggungjawab sosial sebagai lembaga pendidikan untuk berkontribusi dalam mengatasi masalah pengangguran. 2. Menjadi bagian penting dalam upaya menjembatani gap kurikulum pendidikan antara lembaga pendidikan dan industri pengguna. 3. Menjadi salah satu strategi efektif untuk meningkatkan mutu lulusan. 4. Menjadi wahana interaksi untuk komunitas Perguruan Tinggi yang terdiri dari alumni, mahasiswa, dosen, dan karyawan dengan masyarakat umum. 1.4 Metodologi Penulisan Studi ini akan menggunakan metode kuantitatif dengan didukung pendekatan statistik deskriptif sederhana untuk menghasilkan output-output untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data hasil mail survey dari sampel yang diambil dan studi kasus dari beberapa pelaku technopreneurship akan digunakan untuk mendukung analisis data terkait dengan pentingnya faktor technopreneurship dalam mendukung kebijakan kemandirian teknologi dan peningkatan daya saing berbasis teknologi pada umumnya. BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Definisi 2.1.1 Teknologi atau pertukangan memiliki lebih dari satu definisi. Salah satunya adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya. Sebagai aktivitas manusia, teknologi mulai dikenal sebelum sains dan teknik. Teknologi dibuat atas dasar ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia, namun jika pada kenyataannya teknologi malah mempersulit, layakkah disebut Ilmu Pengetahuan? Kata teknologi sering menggambarkan penemuan dan alat yang menggunakan prinsip dan proses penemuan saintifik yang baru ditemukan. Meskipun demikian, penemuan yang sangat lama seperti roda juga disebut sebuah teknologi. Definisi lainnya (digunakan dalam ekonomi) adalah teknologi dilihat dari status pengetahuan kita yang sekarang dalam bagaimana menggabungkan sumber daya untuk memproduksi produk yang diinginkan( dan pengetahuan kita tentang apa yang bisa diproduksi). Oleh karena itu, kita dapat melihat perubahan teknologi pada saat pengetahuan teknik kita meningkat. 2.1.2 Entrepreneurship merupakan ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan, dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidupnya. Mereka yang menjadi Enterpreneur adalah orang-orang yang mengenal potensi (traits) dan belajar mengembangkan potensi untuk menangkap peluang serta mengorganisir usaha dalam mewujudkan cita-citanya. Entrepreneurship merupakan disiplin ilmu tersendiri karena berisi body of knowledge yang utuh dan nyata ada objek, konsep dan metodenya. Entrepreneurship pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata secara kreatif. Unsur-unsur entrepreneurship meliputi: motivasi, visi, komunikasi, optimisme, dorongan semangat dan kemampuan memanfaatkan peluang. Ciri-Ciri Watak Percaya diri Keyakinan, ketidaktergantungan, individualitas dan optimisme Berorietasi pada tugas dan hasil Kebutuhan untuk berprestasi, berorientasi laba, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, energik dan inisiatif Pengambil resiko dan suka tantangan Kemampuan untuk mengambil resiko yang wajar Kepemimpinan Perilaku sebagai pemimpin, bergaul dengan orang lain, menanggapi saran-saran dan kritik. Keorisinilan Inovatif dan Kreatif serta fleksibel Berorientasi Masa Depan Pandangan ke depan, perspektif 2.1.3 Technopreneurship adalah bentuk semangat dan keberanian seseorang untuk melakukan usaha-usaha berbasis teknologi secara mandiri. Semua orang pasti memiliki technopreneurship, tapi kaum muda adalah “golongan” manusia yang paling fit dan proper untuk urusan yang satu ini. Memang, tidak ada istilah terlalu tua untuk menjadi technopreneur. Hanya saja, kenapa harus menunggu menjadi tua dulu untuk seorang technopreneur? Pelan tapi pasti, beberapa “kesempurnaan” yang dimiliki oleh seorang manusia di masa mudanya akan mulai terbenam seiring bertambahnya usia. Akan sangat berbeda, jika technopreneurship diawali sejak muda. (Bahkan) sebuah kegagalan yang dialami, jika diterima dengan kepala dingin, akan menyempurnakan technopreneurship dalam diri seorang pemuda. BAB 3 PEMBAHASAN 3.1 Generasi Technopreneurship Di Era Informasi Globalisasi ekonomi dan era informasi mendorong industri menggunakan sumber daya manusia lulusan perguruan tinggi yang kompeten dan memiliki jiwa kewirausahaan. Akan tetapi tidak setiap lulusan perguruan tinggi memiliki jiwa kewirausahaan seperti yang diinginkan oleh lapangan kerja tersebut. Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan perguruan tinggi yang memiliki jiwa kewirausahaan. Di sisi lain, krisis ekonomi menyebabkan jumlah lapangan kerja tidak tumbuh, dan bahkan berkurang karena bangkrut.Dalam kondisi seperti ini, maka lulusan perguruan tinggi dituntut untuk tidak hanya mampu berperan sebagai pencari kerja tetapi juga harus mampu berperan sebagai pencipta kerja. Keduanya memerlukan jiwa kewirausahaan. Oleh karena itu, agar supaya perguruan tinggi mampu memenuhi tuntutan tersebut, berbagai inovasi diperlukan diantaranya adalah inovasi pembelajaran dalam membangun generasi technopreneurship di era informasi sekarang ini. Ada suatu pendapat bahwa, saat ini sebagian besar lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih lemah jiwa kewirausahaannya. Sedangkan sebagian kecil yang telah memiliki jiwa kewirausahaan, umumnya karena berasal dari keluarga pengusaha atau dagang. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa kewirausahaan adalah merupakan jiwa yang bisa dipelajari dan diajarkan. Seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan umumnya memiliki potensi menjadi pengusaha tetapi bukan jaminan menjadi pengusaha, dan pengusaha umumnya memiliki jiwa kewirausahaan. Proses pembelajaran yang merupakan inkubator bisnis berbasis teknologi ini dirancang sebagai usaha untuk mensinergikan teori (20%) dan Praktek (80%) dari berbagai kompetensi bidang ilmu yang diperoleh dalam bidang teknologi & industri. Inkubator bisnis ini dijadikan sebagai pusat kegiatan pembelajaran dengan atmosfir bisnis yang kondusif serta didukung oleh fasilitas laboratorium yang memadai. Tujuan implementasi inovasi dari kegiatan inkubator bisnis berbasis teknologi ini adalah menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan bagi mahasiswa sebagai peserta didik. Sedangkan manfaat yang diperoleh bagi institusi adalah tercapainya misi institusi dalam membangun generasi technopreneurship dan meningkatnya relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Sedangkan manfaat bagi mitra kerja adalah terjalinnya kerja sama bisnis dan edukasi. Kerjasama ini dikembangkan dalam bentuk bisnis riil produk sejenis yang memiliki potensi ekonomi pasar yang cukup tinggi. Proses globalisasi yang sedang terjadi saat ini, menuntut perubahan perekonomian Indonesia dari resourced based ke knowledge based. Resource based yang mengandalkan kekayaan dan keragaman sumber daya alam umumnya menghasilkan komoditi dasar dengan nilai tambah yang kecil. Salah satu kunci penciptaan knowledge based economy adalah adanya technology entrepreneurs atau disingkat techno-preneur yang merintis bisnis baru dengan mengandalkan pada inovasi. Hightech business merupakan contoh klasik bisnis yang dirintis oleh technopreneurs. Bisnis teknologi dunia saat ini didominasi oleh sektor teknologi informasi, bioteknologi dan material baru serta berbagai pengembangan usaha yang berbasiskan inovasi teknologi. Bisnis teknologi dikembangkan dengan adanya sinergi antara teknopreneur sebagai pengagas bisnis, Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian sebagai pusat inovasi teknologi baru, serta perusahaan modal ventura yang memiliki kompetensi dalam pendanaan. Jumlah usaha kecil menengah berbasis teknologi (UKMT) di Indonesia berkembang dengan pesat. Kecenderungan peningkatan ini lebih didorong oleh terbatasnya peluang kerja di industri-industri besar karena pengaruh krisis ekonomi dan mulai munculnya technopreneurship di kalangan lulusan pendidikan tinggi teknik. Dalam menghadapi era globalisasi, persaingan akan semakin ketat, sehingga sangat dibutuhkan kebijakan-kebijakan dan aktivitas-aktivitas secara langsung yang dapat meningkatkan daya saing UKMT di kemudian hari. Kesulitan dan hambatan pada UKMT di Indonesia dalam mengembangkan usahanya adalah lemahnya jalur pemasaran, dukungan \teknologi dan terbatasnya permodalan. Terlebih lagi, bagi pengusaha pemula, masalah ini akan terlihat lebih besar dan menjadi kendala cukup besar dalam mengembangkan usahanya. Sampai saat ini belum banyak institusi pemerintah maupun swasta yang dapat memberikan dukungan secara langsung untuk pengembangan UKMT khususnya bagi pengusaha pemula. Sehingga sangat dibutuhkan suatu wadah yang dapat memberikan dukungan langsung berupa fasilitas-fasilitas yang dapat membantu UKMT khususnya membantu pengusaha pemula dalam melaksanakan dan mengembangkan usahanya. Dalam rangka turut serta membantu dan mendukung secara langsung kegiatan UKMT khususnya kegiatan pengusaha pemula, maka dipandang sangat perlu untuk dapat membangun suatu wadah yang memiliki fasilitas yang dapat mendukung secara langsung kegiatan operasional, promosi, pemasaran, konsultasi teknologi produksi, investasi dan permodalan. Dengan adanya fasilitasfasilitas tersebut, diharapkan UKMT khususnya pengusaha pemula di Indonesia dapat mengembangkan usahanya lebih cepat dan terarah. Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, semoga munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan juga Bangsa Indonesia. 3.2 Technopreneurship: Trend Solusi Bisnis Masa Kini Beberapa tahun terakhir ini, istilah teknoprenuership kerap sekali kita jumpai dan dengar di berbagai media baik media cetak maupun media elektronik. Buku-buku yang menggunakan istilah ini sebagai bagian dari judulnya pun sudah banyak bermunculan. Bahkan, ada beberapa universitas yang mulai menawarkan technoprenuership sebagai program studi dan membuka program master. Salah satu universitas di Asia yang menawarkan Master Degree Program in Technopreneurship adalah Universitas Teknologi Nanyang (Nanyang Technological University – NTU) Singapura. NTU bahkan memiliki pusat studi khusus untuk bidang ini yang dikenal dengan nama Nanyang Technopreneurship Center (NTC). 3.3 Apakah Technopreneurship Itu? Ditilik dari asal katanya, Technopreneurship merupakan istilah bentukan dari dua kata, yakni ‘teknologi’ dan ‘enterpreneurship’. Secara umum, kata Teknologi digunakan untuk merujuk pada penerapan praktis ilmu pengetahuan ke dunia industri atau sebagai kerangka pengetahuan yang digunakan untuk menciptakan alat-alat, untuk mengembangkan keahlian dan mengekstraksi materi guna memecahkan persoalan yang ada. Sedangkan kata entrepreneurship berasal dari kata entrepreneur yang merujuk pada seseorang atau agen yang menciptakan bisnis/usaha dengan keberanian menanggung resiko dan ketidakpastian untuk mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang yang ada (Zimmerer & Scarborough, 2008). Jika kedua kata diatas digabungkan, maka kata teknologi disini mengalami penyempitan arti, karena Teknologi dalam “technopreneurship” mengacu pada Teknologi Informasi, yakni teknologi yang menggunakan Komputer sebagai alat pemrosesan. Posadas (2007) mendefinisikan istilah technopreneurship dalam cakupan yang lebih luas, yakni sebagai wirausaha di bidang teknologi yang mencakup teknologi semikonduktor sampai ke asesoris Komputer Pribadi (PC). Sebagai contoh adalah bagaimana Steven Wozniak dan Steve Job mengembangkan hobi mereka hingga mereka mampu merakit dan menjual 50 komputer Apple yang pertama, atau juga bagaimana Larry Page dan Sergey Brin mengembangkan karya mereka yang kemudian dikenal sebagai mesin pencari Google. Mereka inilah yang disebut sebagai para teknopreneur dalam definisi ini. Dalam wacana nasional, istilah Technopreneurship lebih mengacu pada pemanfaatan Teknologi informasi untuk pengembangan wirausaha. Berbeda dengan pengertian pertama diatas, jenis wirausaha dalam pengertian technopreneurship disini tidak dibatasi pada wirausaha teknologi informasi, namun segala jenis usaha, seperti usaha meubel, restaurant, super market ataupun kerajinan tangan, batik dan perak. Penggunaan teknologi informasi yang dimaksudkan disini adalah pemakaian Internet untuk memasarkan produk mereka seperti dalam perdagangan online (e-Commerce), pemanfaatan Perangkat Lunak khusus untuk memotong biaya produksi, atau pemanfaatan teknologi web 2.0 sebagai sarana iklan untuk wirausaha. Dalam pengertian kedua ini, tidaklah jelas pihak mana yang bisa disebut sebagai technopreneur. Disini, kedua pengertian ini akan digunakan bersama-sama. 3.4 Technopreneurship di Asia Jika kita menengok ke 2 -3 dekade yang lalu, maka sebut saja Taiwan, Korea Selatan dan Singapura masih digolongkan sebagai Negara Berkembang. Namun sekarang Negara-negara ini telah menjadi Negara maju dengan perekonomian yang didasarkan pada Industri teknologi. Perkembangan Korea diawali dengan industri tradisional kemudian diikuti oleh industri semikonduktor. Sedangkan Singapura memiliki kontrak di bidang elektronik dengan perusahaan-perusahaan barat kemudian diikuti juga oleh manufaktur semikonduktor. Taiwan terkenal dengan industri asesoris Komputer Pribadi (PC). Rahasia lain yang membuat perkembangan negara-negara ini melejit adalah adanya inovasi. Inovasi di bidang Teknologi Informasi inilah yang juga membuat India berkembang dan menjadi incaran industri dunia barat baik bagi outsourcing maupun penanaman modal. Contoh teknologi yang dikembangkan oleh India adalah sebuah Handheld PC yang disebut sebagai Simputer. Simputer dikembangkan untuk pengguna pemula dan dari sisi finansial adalah pengguna kelas menengah bawah. Simputer dijalankan oleh prosesor berbasis ARM yang murah dan menggunakan Sistem Operasi berbasis opensource. Harga di pasaran adalah sekitar $200. Inovasi India yang luar biasa datang dari perusahaan Shyam Telelink Ltd. Shyam Telelink memperlengkapi becak dengan telefon CDMA yang berkekuatan 175 baterai. Becak inipun diperlengkapi juga dengan mesin pembayaran otomatis. Penumpang becak bisa menelpon dan tariff yang dikenakan adalah sekitar 1.2 rupee per 20 menit. Lalu perusahaan ini mempekerjakan orang yang tidak memiliki keahlian untuk mnegemudikan becak. Upah para pengemudi becak tidak didasarkan pada gaji yang tetap namun merupakan komisi sebesar 20% dari tiap tarif telfon yang diperoleh (Wireless week, 2003). Di Filipina, perusahaan telefon SMART mengembangkan metode untuk melayani transfer pengiriman uang dari para pekerja Filipina yang diluar negeri melalui telefon seluler dengan SMS. Menurut laporan Asian Development Bank (ADB), SMART dapat meraup sekitar US $14 – 21 trilyun per tahunnya dari biaya transfer program ini. China mengikuti jejak yang sama. Perusahaan-perusahaan China mulai menunjukkan kiprahnya di dunia internasional. Akuisisi IBM oleh perusahaan China Lenovo di tahun 2004 dan akuisisi perusahaan televisi Perancis Thomson oleh Guangdong membuktikan bahwa technoprenuership di China semakin kukuh. Studi Posadas menunjukkan bahwa technopreneurship di Asia berkembang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, faktor inovasi yang diinsiprasikan oleh Silicon Valley. Jika revolusi industri Amerika di abad 20 yang lalu dipicu oleh inovasi yang tiada henti dari Silicon valley, maka negara-negara Asia berlomba untuk membangun Silicon Valley mereka sendiri dengan karakteristik dan lokalitas yang mereka miliki. Kedua, Inovasi yang dibuat tersebut diarahkan untuk melepaskan diri dari ketergantungan dunia barat. Sebagian besar teknologi yang diciptakan oleh dunia barat diperuntukkan bagi kalangan atas atau orang/instansi/perusahaan yang kaya dan menciptakan ketergantungan pemakaiannya. Sementara itu sebagian besar masyarakat (baca pasar) Asia belum mampu memenuhi kriteria pasar teknologi barat tersebut. Masih banyak masyarakat asia yang memiliki penghasilan dibawah $1 per hari, sehingga mereka tidak memiliki akses ke teknologi yang diciptakan oleh dunia barat. Ini merupakan peluang yang besar bagi para teknopreneur untuk berinovasi dalam menciptakan sebuah produk teknologi yang menjangkau masyarakat marginal. 3.5 Arah technopreneurship di Indonesia Sebagian besar wacana di negara kita mengarahkan Technopreneurship seperti dalam definisi kedua di atas. Baik dalam seminar, lokakarya dan berita, maka bisa dijumpai bahwa pemakaian teknologi Informasi dapat menunjang usaha bisnis. Terlebih dimasa krisis global seperti sekarang ini, maka peluang berbisnis lewat Internet semakin digembar-gemborkan. Ada kepercayaan bahwa Technopreneurship menjadi solusi bisnis dimasa lesu seperti ini. Sebagai contoh, penggunaan Perangkat Lunak tertentu akan mengurangi biaya produksi bagi perusahaan Meubel. Jika sebelumnya, mereka harus membuat prototype dengan membuat kursi sebagai sample dan mengirimkan sample tersebut, maka dengan pemakaian Perangkat Lunak tertentu, maka perusahaan tersebut tidak perlu mengirimkan sample kursi ke pelanggan, namun hanya menunjukkan desain kursi dalam bentuk soft-copy saja. Asumsi ini tidak memperhitungkan harga lisensi software yang harus dibeli oleh perusahaan meubel tersebut. Jika technopreneurship dipahami seperti dalam contoh-contoh ini, maka kondisi ini menyisakan beberapa pertanyaan: Apakah benar technopreneurship mampu menjadi solusi bisnis di masa kini? Akan dibawa kemanakah arah technoprenership di negara kita? Menurut hemat penulis, technopreneurship yang dipahamai dalam makna yang sesempit ini justru akan menjadi bumerang bagi pelaku bisnis, karena ini akan menciptakan ketergantungan terhadap teknologi buatan barat. Dan ini tidak sejalan dengan semangat technopreneurship yang dikembangkan oleh negara-negara Asia lainnya. Selain itu, inovasi yang berkembang belum mampu melepas ketergantungan tersebut karena masih berskala individu, seperti inovasi dan kreatifitas dalam pembangunan website, penggunaan teknologi web 2.0 sebagai media promosi. Inovasi yang diharapkan adalah inovasi dalam pengembangan kapasitas lokal dengan basis teknologi dari dunia barat, sehingga hasil inovasi tersebut mampu melepaskan kita dari kungkungan ketergantungan penggunaan lisensi dan ketergantungan teknologi barat. Untuk dapat menuju ke arah yang sama seperti neagara-negara tetangga kita lainnya, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan dekonstruksi pemahaman Technopreneurship. Ini penting sekali karena kita semua tahu bahwa persepsi menentukan aksi. Dengan pemahaman technopreneurship seperti dalam definisi pertama maka akan memungkinkan bermunculannya para technopreneurship sejati yang akan membawa negara kita berjalan bersama-sama dengan India, Korea Selatan maupun taiwan. 3.6 Menumbuhkan technopreneurship mahasiswa : Kolaborasi kompetensi dan aplikasi teknologi dalam pengembangan kewirausahaan Dalam peradaban manusia, dari tatanan global hingga tatanan rumah tangga, ekonomi merupakan sektor yang sangat penting dalam menunjang keberlangsungan hidup individu di dalamnya. Oleh karena itu, upaya pengembangan perekonomian, yang bertujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, selalu menjadi fokus dalam perencanaan ke depan setiap unit masyarakat dari struktur hierarki terendah hingga yang tertinggi. Secara konseptual, pengembangan perekonomian selalu berkaitan erat dengan ekonomi makro dan keberlakuan sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara. Akan tetapi, pengembangan perekonomian dalam skala nyata pada umumnya berkisar pada ekonomi mikro: sektor informal, industri kecil-menengah, koperasi, dan usaha distribusi. Sektor-sektor tersebut selalu berkorelasi dengan sebuah karakter individual dan komunitas yang secara langsung diperlukan oleh subjek pengembang usaha tersebut, entrepreneurship. Di sisi lain, kehidupan masyarakat juga memerlukan sebuah instrumen yang dapat memudahkan setiap aktivitasnya. Rekayasa instrumen-instrumen tersebut, yang juga dipergunakan dalam mengeksplorasi sumber daya kebutuhan manusia, membutuhkan suatu pembaharuan dan fleksibilitas agar mampu mengimbangi perubahan keadaan yang begitu cepat. Oleh karena itu, penerapan sains dan pengetahuan sebagai sebuah teknologi nyata merupakan sebuah keniscayaan yang konsekuensional. 3.7 Teknologi sebagai Alat Secara sederhana, teknologi merupakan aplikasi langsung dari ilmu pengetahuan yang kita miliki. Tujuan perekayasaan teknologi ini adalah sebuah alat untuk memudahkan kerja manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Di era modern, pengembangan teknologi akan sangat berpengaruh terhadap daya saing suatu negara dalam kompetisi global. Inovasi teknologi yang kontinu dan tepat guna membutuhkan sebuah penguasaan kompetensi serta otoritas ilmiah dalam implementasi teknologi tersebut. Untuk itulah, diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni sebagai ahli-praktisi dalam masing-masing bidang keilmuan dan aplikasinya. Di sinilah peran universitas dan institusi pendidikan tingkat tinggi. Universitas dan/atau instusi pendidikan lain memiliki peran dalam menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kepahaman ilmiah dan penguasaan teknis dalam rekayasa teknologi tersebut. Proses pembentukan kompetensi ini harus ditempuh melalui proses pendidikan yang paripurna. Pihak universitas yang bertanggung jawab dalam tatanan kurikuler harus dapat meramu sebuah hidangan kurikulum pendidikan yang lezat dan bergizi. Disamping itu, organisasi kemahasiswaan yang bergerak pada zona co-kurikuler dan ekstrakurikuler juga perlu memberikan dukungan pengembangan untuk dapat menghasilkan profil mahasiswa yang memiliki kapabilitas yang tinggi (high-capable) dalam bidangnya masingmasing. 3.8 Enterpreneurship sebagai Kebutuhan Kewirausahaan, dalam konteks apapun, selalu berdampingan erat dengan karakter entrepreneurship. Pengembangan usaha yang mandiri membutuhkan jiwa dan semangat entrepreneurship yang juga mumpuni. Entrepreneurship adalah sebuah karakter kombinatif yang merupakan fusi antara sikap kompetitif, visioner, kejujuran, pelayanan, pemberdayaan, pantang menyerah, dan kemandirian. Karakter ini bersatu dan menjadi kebutuhan langsung dalam proses wirausaha. Secara sederhana, entrepreneurship memiliki ciri-ciri swadaya usaha serta mengandung komponen manajemen pemasaran, produksi, dan finansial. Entrepreneurship tidak hanya berkaitan dengan pengembangan unit usaha. Dalam bukunya ”Innovation and Entrepreneurship”, Peter F. Drucker menyebutkan bahwa entrepreneur bukan hanya seseorang yang membangun unit bisnis pribadi yang kecil dan baru. Menjadi pegawai korporasi pun kita tetap bisa memiliki jiwa entrepreneurial. Karena, menurut Drucker, entrepreneurship adalah the practice of consistently converting good ideas into profitable commercial ventures. Jadi, inti dari entrepreneurship adalah konsistensi usaha (consistent work), inovasi ide (innovative idea), dan hasil yang menguntungkan (profitable output). 3.9 Technopreneurship : Sebuah Kolaborasi Integral Di era persaingan global yang sangat ketat, inovasi usaha harus diiringi dengan berbagai macam rekayasa teknologi agar dapat melipatgandakan performa dari usaha tersebut. Pemanfaatan teknologi mutakhir tepat guna dalam pengembangan usaha yang berdasarkan pada jiwa entrepreneur yang mapan akan dapat mengoptimalkan proses sekaligus hasil dari unit usaha yang dikembangkan. Inilah yang disebut technopreneurship: sebuah kolaborasi antara penerapan teknologi sebagai instrumen serta jiwa usaha mandiri sebagai kebutuhan. Technopreneurship adalah suatu karakter integral antara kompetensi penerapan teknologi serta spirit membangun usaha. Dari sini, tumbuhlah unit usaha yang teknologis: unit usaha yang memanfaatkan teknologi aplikatif dalam proses inovasi, produksi, marketisasi, dan lain sebagainya. Menanamkan jiwa entrepreneurship bukan perkara yang mudah, karena ini berhubungan dengan dua hal kompleks yang perlu ditanamkan, yakni kesadaran teknologi, dan semangat entrepreneurship. Dua hal ini memiliki karakteristik yang spesifik dalam masing-masing pengembangannya. Oleh karena itu, untuk membentuk ketiga hal tersebut, penulis membaginya menjadi tiga tahapan: 1. Teknologi Seperti yang dijelaskan di awal, teknologi memiliki kebutuhan yang erat dalam penguasaan keilmuan dan penerapannya. Proses ini diperlukan untuk mendapatkan otoritas teknologi yang diakui eksistensinya. Penyaluran keilmuan serta teknis rekayasa ini didapatkan melalui proses pendidikan di universitas. Proses pendidikan hingga memiliki kompetensi yang mumpuni inilah yang disebut authorization. Setelah memiliki kompetensi yang memadai, ilmu dan berbagai macam teori harus bisa dimanfaatkan, baik secara luas maupun sempit. Pemanfaatan ini tidak harus menghasilkan produk nyata, namun dapat berupa konsep dan ide pengembangan dari teori tersebut. Proses ini disebut utilization. Berdasarkan sifatnya yang aplikatif, untuk dapat menjadi teknologi, ilmu-ilmu yang dipelajari harus dapat diimplementasikan. Implementasi ini berupa karya nyata yang dapat dimanfaatkan secara langsung dalam usaha keseharian manusia. Proses rekayasa teknologi menjadi produk yang bisa dimanfaatkan secara langsung merupakan tujuan akhir dari pengaplikasian sains dan keilmuan. Tahap ini disebut implementation. Lalu, teknologi yang telah dihasilkan harus dapat dikolaborasikan dengan kebutuhan yang ada, agar tepat guna dan bermanfaat secara luas sekaligus spesifik. Proses ini disebut collaboration. 2. Entrepreneurship Untuk mengembangkan jiwa entrepreneurship diperlukan beberapa tahapan, antara lain internalization, paradigm alteration, spirit initiation, dan competition. Internalization adalah tahapan penanaman jiwa entrepreneurship melalui konstruksi pengetahuan tentang jiwa entrepreneurial serta medan dalam usaha. Tahap ini berkutat pada teori tentang kewirausahaan dan pengenalan tentang urgensinya. Setelah itu, paradigm alteration, yang berarti perubahan paradigma umum. Pola pikir pragmatis dan instan harus diubah dengan memberikan pemahaman bahwa unit usaha riil sangat diperlukan untuk menstimulus perkembangan perekonomian negara, dan jiwa entrepreneurship berperan penting dalam membangun usaha tersebut. Di tahap ini diberikan sebuah pandangan tentang keuntungan usaha bagi individu maupun masyarakat. Setelah pengetahuan telah terinternalisasi dan paradigma segar telah terbentuk, diperlukan sebuah inisiasi semangat untuk mengkatalisasi gerakan pembangunan unit usaha tersebut. Inisiasi ini dengan memberikan bantuan berupa modal awal yang disertai monitoring selanjutnya. Lalu, perlu digelar sebuah medan kompetisi untuk dapat mengembangkan usaha tersebut dengan baik. 3. Technopreneurship Setelah memiliki kompetensi teknologi dan jiwa entrepreneurship, hal terakhir yang perlu dilakukan adalah mengintegrasikannya. Teknologi yang telah dimiliki kita kreasikan dan inovasikan untuk menyokong pengembangan unit usaha. Hal ini dapat dilakukan secara nyata dalam proses produksi (contoh: Microsoft), marketing (contoh: e-Bay), accounting, dan lain sebagainya. Kreativitas dan pemanfaatan teknologi dengan tepat adalah hal utama dalam mengembangkan jiwa technopreneurship. Dalam konteks kementerian ekonomi kabinet KM ITB, yang perlu dilakukan dalam masing-masing tahapan adalah dengan mengoptimalkan keprofesian dalam masingmasing organisasi co-kurikuler untuk dapat memaksimalkan pendidikan teknologi, mengadakan kegiatan seminar kewirausahaan dalam proses menginternalisasi serta membangun paradigma kewirausahaan, membuat kompetisi usaha sekaligus memberikan stimulus modal dan investasi untuk mengembangkan kewirausahaan, serta mengkonstruksi prototype unit usaha yang secara langsung menerapakan prinsip technopreneurship untuk menjadi model unit-unit tersebut. Kolaborasi dengan pihak universitas dan kelompok komunitas usaha seperti T-Club, serta pemanfaatan agenda kewirausahaan yang ada (I3M, IEC) dapat menjadi sebuah langkah awal yang strategis dalam menumbuhkan technopreneurship mahasiswa. 3.10 TECHNOPRENEURSHIP : Inkubator Bisnis Berbasis Teknologi Perubahan demi perubahan yang terjadi dari suatu zaman ke zaman berikutnya telah mengantarkan manusia memasuki era digital, suatu era yang seringkali menimbulkan pertanyaan : apakah kita masih hidup di masa kini atau telah hidup di masa datang. Pertanyaan ini timbul karena hampir segala sesuatu yang semula tidak terbayangkan akan terjadi pada saat ini, secara tiba-tiba muncul di hadapan kita. Masa depan seolaholah dapat ditarik lebih cepat keberadaannya dari waktu yang semestinya, berkat kemajuan teknologi informasi. Teknologi komunikasi dan informasi atau teknologi telematika (information and communication technology –ICT) telah diakui dunia sebagai salah satu sarana dan prasarana utama untuk mengatasi masalah-masalah dunia. Teknologi telematika dikenal sebagai konvergensi dari teknologi komunikasi (communication), pengolahan (computing) dan informasi (information) yang diseminasikan mempergunakan sarana multimedia. Masalah di Indonesia yang paling utama adalah bagaimana memecahkan masalah kesenjangan digital yang masih sangat besar dengan menumbuh-kembangkan inovasi atau teknopreneur industri telematika. Technopreneurship atau wirausaha teknologi merupakan proses dan pembentukan usaha baru yang melibatkan teknologi sebagai basisnya, dengan harapan bahwa penciptaan strategi dan inovasi yang tepat kelak bisa menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor untuk pengembangan ekonomi nasional. Pengusaha bidang teknologi (Technopreneur), khususnya teknologi informasi (TI) membutuhkan adanya kebebasan dalam berinovasi, tanpa harus terkekang oleh regulasi yang malah menghambat. Semakin pemerintah mengendurkan ketatnya regulasi yang mengatur gerakan grass root komunitas TI di Indonesia, maka akan memberikan dampak positif berupa tumbuhnya TI itu sendiri dan juga aspek bisnisnya. Hal ini sangat penting karena dilandasi pengalaman di lapangan, di mana seringkali terjadi benturan antara kepentingan badan usaha sebagai unit bisnis yang menuntut untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai wirausahawan dan melakukan perubahan-perubahan, menyesuaikan antara fakta yang ada dengan tuntutan perubahan serta memperbesar usaha, tetapi di sisi lain ada kepentingan-kepentingan Pemerintah yang mungkin saja berlawanan dengan kepentingan sebagai suatu unit bisnis. Padahal dalam technopreneurship diperlukan semangat kompetisi yang dominan, agar tidak tertinggal dari turbulensi bisnis global. Dalam kurun waktu yang panjang, ilmu pengetahuan ditempatkan pada “kotak” tersendiri secara eksklusif, seolah-olah diasingkan dari kegiatan ekonomi. Dunia ilmu pengetahuan atau kita sebut dengan pendidikan, dianggap bukan menjadi bagian dari suatu sistem ekonomi. Dunia pendidikan dipandang sebagai suatu dunia tersendiri tempat dibangunnya nilai-nilai luhur, sementara dunia ekonomi dipandang sebagai dunia yang penuh dengan kecurangan, ketidakadilan, bahkan seolah dunia tanpai nilai (value). Cara pandang yang dikotomis tersebut, dalam kurun waktu yang lama belum dapat terjembatani secara baik. Masing-masing pihak lebih mementingkan dan meng claim sebagai pihak yang paling benar. Yang perlu kita ketahui adalah bahwa dalam era ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan, pendidikan merupakan wujud dari keberhasilan pembangunan nasional suatu negara. Bahkan pendidikan dapat menjadi keunggulan daya saing suatu negara. Dengan kata lain, pendidikan memegang peran strategis dalam memajukan ekonomi bangsa. Dan hal ini telah dibuktikan oleh negara-negara industri baru seperti Singapore, Taiwan dan Malaysia, di mana dengan membangun sarana dan prasarana pendidikan secara serius dalam sepuluh tahun terakhir, kualitas kehidupan bangsabangsa tersebut terus meningkat. Bagaimana dengan Indonesia ?. Selama berpuluh tahun, pendidikan dijadikan alat politik penguasa, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Akibatnya pendidikan berjalan lamban (too slow), sehingga tidak dapat mengejar tuntutan perubahan. Pendidikan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi atau masih sangat sedikit (too little). Bahkan pendidikan seringkali terlambat (too late) dalam mengadaptasi perubahan, sehingga pendidikan tertinggal dan belum mampu menjawab tantangan masa depan. Faktor penyebabnya adalah karena kebijakan yang ada disamping tambal sulam, juga dibuat secara tergesa-gesa. Bahkan pemerintah dinilai belum memiliki visi dan komitmen yang jelas tentang pendidikan. 3.11 Pendidikan TI Berbasis TECHNOPRENEURSHIP Teknologi komunikasi dan informasi atau teknologi telematika (information and communication technology–ICT) telah diakui dunia sebagai salah satu sarana dan prasarana utama untuk mengatasi masalah-masalah dunia. Teknologi telematika dikenal sebagai konvergensi dari teknologi komunikasi (communication), pengolahan (computing) dan informasi (information) yang diseminasikan mempergunakan sarana multimedia. Technopreneurship adalah sebuah inkubator bisnis berbasis teknologi, yang memiliki wawasan untuk menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan di kalangan generasi muda, khususnya mahasiswa sebagai peserta didik dan merupakan salah satu strategi terobosan baru untuk mensiasati masalah pengangguran intelektual yang semakin meningkat ( + 45 Juta Orang). Dengan menjadi seorang usahawan terdidik, generasi muda, khususnya mahasiswa akan berperan sebagai salah satu motor penggerak perekonomian melalui penciptaan lapangan-lapangan kerja baru. Semoga dengan munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. Disisi lain bahwa kurikulum Pendidikan TI berbasis Technopreneurship yang diberikan di perguruan tinggi memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Memberikan kontribusi kongkret dalam mensiasati masalah pengangguran intelektual di Indonesia. 2. Mengembangkan spirit kewirausahaan di dunia perguruan tinggi. 3. Meminimalisir gap antara pemahaman teori dan realita praktek dalam pengelolaan bisnis. Manfaat bagi mahasiswa dalam proses implementasi Technopreneurship Based Curicullum adalah sebagai berikut : 1. Memperoleh pencerahan mengenai alternatif profesi sebagai wirausaha selain sebagai ekonom, manajer atau akuntan atau profesi lainnya. 2. Memiliki skill-based yang memadai dalam bidang Teknologi Informasi 3. Mendapatkan pengetahuan dasar dalam bentuk teori maupun praktek magang dalam mengelola suatu bisnis. 4. Memperoleh akses untuk membangun networking dunia bisnis. Sedangkan bagi Perguruan Tinggi sebagai fasilitator adalah : 1. Menjadi bentuk tanggungjawab sosial sebagai lembaga pendidikan untuk berkontribusi dalam mengatasi masalah pengangguran. 2. Menjadi bagian penting dalam upaya menjembatani gap kurikulum pendidikan antara lembaga pendidikan dan industri pengguna. 3. Menjadi salah satu strategi efektif untuk meningkatkan mutu lulusan. 4. Menjadi wahana interaksi untuk komunitas Perguruan Tinggi yang terdiri dari alumni, mahasiswa, dosen, dan karyawan dengan masyarakat umum. Berdasarkan tujuan tersebut di atas, maka Program Pengembangan Budaya Technopreneurship atau kewirausahaan di Perguruan Tinggi dirancang meliputi 6 (enam) kegiatan yang saling terkait, yaitu: 1. Pelatihan materi ”Techno SKILL BASED” 2. Magang Kewirausahaan 3. Kuliah Kewirausahaan 4. Kuliah Kerja Usaha 5. Karya Alternatif Mahasiswa 6. Konsultasi Bisnis dan Peluang usaha Secara teknis, implementasi pendidikan TI berbasis TECHNOPRENEURSHIP ini, sama saja seperti perkuliahan pada umumnya, hanya saja pada 2 semester pertama secara intensif para mahasiswa diberikan pelatihan (training) sebagai pondasi awal berupa penguasaan bahasa pemrograman (VB.Net/C#/Java) atau disain grafis 3D, WEB, dan ini disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri TI saat itu. Proses pelatihan diberikan bersamaan dengan perkuliahan reguler, sehingga mereka mendapat pembinaan secara intensif & fokus untuk mempersiapkan SKILL Based mereka. Pada saat mereka menginjak semester 3, mereka melakukan proses pemagangan di perusahaan/industri TI, setelah itu diharapkan para mahasiswa sudah bisa bekerja secara part time di beberapa perusahaan, sehingga ketika mereka telah menyelesaikan studinya, mereka memiliki asset berupa knowledge & experince yang cukup untuk menjadi Technopreneur, atau alternatif lainnya mereka tetap bisa bersaing secara kompetitif untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dengan bekal IPTEK yang mereka telah kuasai. Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi akademis & kesehatan jiwa bagi anak bangsa, semoga munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan juga Bangsa Indonesia. 3.12 Pengembangan Technopreneurship menuju Kemandirian Nasional Dibandingkan upaya ?persyaratan lokal? atau ?local content?, maupun imbal dagang atau ?barter?, technopreneurship merupakan suatu upaya yang jauh lebih maju. Di dalamnya terkandung niatan untuk mengembangkan kegiatan yang tidak saja terfokus pada kegiatan dalam negeri, tetapi juga pada negara-negara lain. Karena itu semestinya technopreneurship senantiasa berorientasi ke luar, merujuk kemajuan yang terlihat di negara lain, terutama yang tidak memiliki sumber daya alam sehingga praktis industri jasa dan teknologi merupakan tulang punggung kemajuan ekonominya. Peluang pengembangan technopreneurship di sektor kelistrikan dapat terlihat dengan kenyataan bahwa sampai dengan tahun 2010, jumlah investasi yang dibutuhkan sektor listrik dan migas masing2 sekitar USD 5 miliar/tahun. Proyeksi perkiraan peningkatan kebutuhan tenaga listrik dan migas yang terkait jumlah investasi ini akan meningkatkan kebutuhan barang dan jasa teknologi baik langsung maupun yang bersifat penunjang, sehingga akan membuka kesempatan pengembangan technopreneurship di kedua sektor ini seluas-luasnya. Pemerintah Indonesia telah memulai upaya mengembangkan technopreneurship melalui Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, sementara pengembangan sumber daya manusianya sudah dilakukan banyak perguruan tinggi, antara lain Pusat Inkubator Bisnis di Institut Teknologi Bandung (ITB). Departemen ESDM secara tidak langsung turut mengembangkan technopreneurship melalui kegiatan yang didanai oleh APBN, misalnya dalam hal pembangunan pembangkit listrik mikrohidro, dimana usaha kecil dan menengah yang melaksanakan kegiatan pembangunan tersebut menggunakan kemampuan dalam negeri baik tenaga maupun komponen yang diperlukan. Prasyarat bagi terciptanya technopreneurship yang handal dan berkelanjutan dalam semua bidang, termasuk sektor listrik dan migas, mencakup empat faktor utama: pertama, langkah yang perlu dilakukan oleh perguruan tinggi, yaitu bahwa sistem pendidikan terutama pada tingkat perguruan tinggi dikembangkan tidak hanya untuk menghasilkan lulusan yang cakap dan trampil, tetapi juga yang mampu menciptakan peluang bisnis. Kedua, yang perlu dilakukan oleh sektor industri dan iptek, yaitu membangun fasilitas yang nyaman dan lengkap, seperti kawasan iptek/science park, yang dapat mendorong terbangunnya technopreneur. Ketiga, yang perlu dilakukan oleh institusi hukum, yaitu menciptakan peraturan perundang-undangan yang kondusif bagi pengembangan technopreneurship termasuk insentif fiskal dan pajak bagi usaha kecil dan menengah yang berbasis teknologi. Terakhir, langkah yang dilakukan oleh sektor keuangan, yaitu pengalokasian dana yang cukup untuk membantu pendirian dan pengembangan usaha kecil dan menengah berbasis teknologi yang berpotensi untuk berkembang menjadi usaha besar. 3.13 Technopreneur Ciptakan Lapangan Kerja Coba bayangkan untuk lowongan 2 orang tenaga sekretaris dari sebuah perusahaan harus diperebutkan oleh sekitar 300 orang pelamar. Sementara itu, untuk 1 lowongan staf pemasaran harus diperebutkan sekitar 200 pelamar. Bahkan untuk lowongan 1 orang staf pengajar kursus komputer pun harus diperebutkan sekitar 50 orang pelamar. Persaingan yang sangat fantastis! Beban yang dialami oleh para calon tenaga kerja tampak semakin penat ketika tuntutan kebutuhan sehari‑hari terus meningkat. Bekerja! Bekerja! Bekerja! Kata itu terus terngiang‑ngiang dalam lubuk hati setiap tenaga kerja. Tidak jarang rasa penat, tegang dan gentar untuk menyongsong hari esok datang menyergap, serta membawa depresi dan keputusasaan. Meskipun situasi persaingan sedemikian ketatnya, keinginan untuk mencari kerja masih sangat tinggi. Para calon tenaga kerja tidak ragu‑ragu untuk membekali diri dengan bersekolah hingga ke tingkat perguruan tinggi, kursus keterampilan‑keterampilan tertentu, belajar bahasa Inggris atau Mandarin, mengikuti workshop‑workshop untuk mendalami tip‑tip dalam meraih lapangan kerja dan sukses karir. Bahkan, kalaupun sampai diminta untuk membayar sekalipun, mereka pun bersedia, asalkan mendapatkan pekerjaan. Para tenaga kerja, bahkan lulusan perguruan tinggi sekalipun terus berupaya mencari lapangan kerja ke sana ke mari. Setiap kali sarjana baru diwisuda, langsung melegalisirkan minimal 10 lembar fotocopy ijazah untuk mengirimkan lamaran. Mengapa para tenaga kerja tersebut terus berusaha mencari pekerjaan? Beberapa alasan berikut ini dikumpulkan dari hasil konsultasi atau curahan isi hati (curhat) dengan sejumlah orang dan peserta seminar enterpreneur yaitu: merasa tidak memiliki modal, pengalaman, relasi, belum mahir atau terampil, takut rugi, tidak dapat mengelola para karyawan, tidak memiliki jiwa atau minat bisnis, trauma terhadap kegagalan dan berasal dari lingkungan keluarga pekerja bukan pebisnis. Menjadi technopreneur Antrian mencari kerja sudah terlalu panjang, sedangkan kebutuhan harian tidak dapat dihentikan. Kini tiba saatnya untuk membuat keputusan dan bertindak untuk menciptakan lapangan kerja baru. Tinggalkan sekarang juga dari antrian mencari kerja! Percayalah pada rahmat penyelenggaraan Illahi dan kemampuan diri Anda. Segeralah merintis jalan menjadi seorang technopreneur yang sukses! Apa itu technopreneur? Kalau kata enterpreneur sudah tidak asing bagi kebanyakan orang, sedangkan kata technopreneur tampak masih asing. Technopreneur secara sederhana dapat diartikan sebagai seorang peminat teknologi yang berjiwa enterpreneur. Tanpa jiwa enterpreneur, seorang peminat teknologi hanya menjadi teknisi dan kurang dapat menjadikan teknologi yang digelutinya sebagai sumber kehidupannya. Bill Gates yang mengawali keberhasilannya di sebuah garasi rumahnya, Linus Trovaldi yang mengawali debutnya dengan menggulirkan software open source Linux, Onno W. Purbo dan Michael Sunggiardi yang menggulirkan gagasan‑gagasan tentang warung internet (warnet), internet RT/RW dan majalah Neotek tampaknya dapat dinobatkan sebagai sosok‑sosok yang dapat menjadi panutan dalam mengembangkan jiwa technopreneur. Angka kelahiran technopreneur tampaknya kian meningkat dari hari ke hari. Jika datang ke pameran‑pameran dan presentasi teknologi informasi (TI), maka akan didapati presenter‑presenter yang masih muda, tetapi tampil visioner, futuristik, bersemangat, energik, penuh gagasan, dan piawai dalam mendemonstrasikan kemampuannya untuk mengoperasikan dan memanfaatkan TI dalam berbagai bidang. Kelahiran para technopreneur itu banyak didasari dengan sejumlah latar belakang, antara lain: idealisme untuk menciptakan lapangan kerja baru, mengubah peran teknologi tidak hanya sebagai alat bantu saja, melainkan sebagai sumber bisnis, menggali potensi diri untuk hidup mandiri, memiliki kebebasan berkreasi dan pendapatan tidak terbatas. Dasar untuk sukses Menjadi sukses tentu juga menjadi impian bagi setiap technopreneur. Namun sukses bukanlah sulapan. Untuk meniti tangga kesuksesan, maka seorang technopreneur harus memperhatikan dan mengembangkan 8 dasar utama yang sudah ada dalam diri para technopreneur dengan penuh percaya diri dan optimis. Delapan dasar utama tersebut adalah: visi, semangat dan mental pemenang, cara pandang futuristik, berpikir strategis, mengembangkan kurva pembelajaran, terampil berteknologi dan menajemen, kreatif dan berani memulai. Visi, semangat dan cara pandang futuristik merupakan dasar yang melahirkan daya gerak bagi seorang technopreneur untuk berkarya. Berpikir strategis, mengembangkan kurva pembelajaran, terampil berteknologi dan manajemen akan menjadikan karyanya dapat bertahan bahkan berkembang. Kreatif merupakan dasar untuk menciptakan keunikan dan daya saing. Sedangkan tanpa keberanian untuk memulai, maka technopreneur hanya akan menjadi pemimpi. Kini saatnya para peminat teknologi, khususnya teknologi informasi (TI) untuk menjawab kebutuhan kerja dengan menjadikan teknologi yang digelutinya sebagai sumber kehidupannya, bahkan dapat menciptakan lapangan kerja. 3.14 Mendidik “Technopreneur” Misalkan saja Anda berusia 20-an tahun dan mengawali perusahaan internet pertama Anda. Lalu katakan 21 bulan kemudian Anda menjualnya seharga 1,65 miliar dollar AS. Apa yang terjadi berikutnya? (“Time”, ‘Persons of the Year’, 2006-2007) Kutipan di atas dari majalah Time tatkala mengisahkan situs YouTube yang fenomenal dan pendirinya, Steve Chen, Chad Hurley, dan Jawed Karim. Diperlihatkan pula bagaimana ketiga pemuda itu merancang konsep awal YouTube di garasi Chad. YouTube kemudian sukses besar pada tahun 2006. Alasannya banyak, tetapi satu yang bisa disebut khusus adalah karena ia unggul, tapi juga mudah, satu kombinasi yang langka. Anda bisa menonton video di situs tersebut tanpa perlu mengunduh perangkat lunak apa pun atau bahkan mendaftar. Di Amerika, YouTube untuk menonton video diibaratkan sama dengan Wal-Mart Supercenter untuk belanja. Semua ada di sana dan Anda tinggal masuk saja.Ketika akhir tahun silam YouTube digelontor dengan 65.000 video baru setiap harinya, jumlah video yang bisa ditonton pun menggelembung, dari 10 juta per hari pada tahun sebelumnya, menjadi 100 juta. Selain memperlihatkan bagaimana multiplikasi informasi terjadi, fenomena tersebut juga membuat dunia menoleh kepada sosok-sosok pendiri perusahaan. Lalu tampaklah bagaimana sosok Chad Meredith Hurley yang berdarah seni ternyata juga punya minat besar terhadap bisnis dan teknologi. Bagaimana keberhasilannya di PayPal mempertemukan dirinya dengan Steve Chen dan Jawed Karim, dua insinyur di PayPal, yang kemudian bersepakat dengan dirinya untuk mendirikan perusahaan baru (start-up). Dalam perkembangan kemudian, memang ada ketegangan dalam hubungan Karim (27) dengan kedua pendiri YouTube lainnya. Ini membuat sejarah perusahaan itu lalu ikut disederhanakan, dengan hanya disebutkan, ide pendirian YouTube muncul tahun 2005 saat Chad dan Steve kesulitan berbagi video yang mereka ambil secara online saat santap malam di apartemen Steve. Apa pun yang terjadi di antara ketiga orang muda yang terkait dengan YouTube di atas, yang jelas YouTube berkembang menjadi perusahaan sukses yang kemudian dibeli raksasa Google, Oktober 2006 dengan nilai 1,65 miliar dollar AS. Semestinya sukses YouTube, sebagaimana sukses Apple, Amazon, dan deretan startup lainnya mengilhami orang muda tidak saja di Amerika, tetapi juga di belahan dunia lainnya. Namun, agar lingkungan menjadi kondusif bagi munculnya apa yang dikenal sebagai wirausahawan teknologi atau technopreneur ini rupanya dibutuhkan sejumlah syarat. Ketika memberi kuliah perdana di Universitas Media Nusantara (UMN) di Jakarta, 3 September lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh menyebut salah satunya, yakni masa kritis. Menurut Menteri, di Indonesia memang sudah ada banyak ahli ICT (teknologi informasi dan komunikasi/TIK), tetapi jumlah itu dirasa belum mampu menimbulkan efek yang terasakan. Menteri Nuh mengibaratkan kondisi yang ada sekarang sebagai mobil di tanjakan, tidak merosot tetapi juga tidak bisa naik. Dari segi masa kritis, jumlah SDM TIK harus ditambah, dalam hal ini melalui pendidikan. Dalam kondisi kesenjangan digital yang sudah akut dewasa ini antara negara maju dan negara berkembang, jumlah lulusan memang harus dipacu. Para lulusan juga harus bisa menjadi orang yang mampu memengaruhi agar semakin banyak warga masyarakat yang melek TIK dan bisa memanfaatkannya. Pendidikan kewirausahaan Pada kesempatan yang sama, pendiri UMN Dr (HC) Jakob Oetama kembali mengulangi pentingnya pendidikan sebagaimana terkandung dalam semangat culture matters yang akhir-akhir ini sering ia kemukakan. Menurut hasil seminar Harvard yang kemudian dibukukan hasilnya, dan disunting oleh Lawrence Harrison dan Samuel Huntington (2000), nilai budaya berperan penting bagi kemajuan bangsa. Bangsa Korea (Selatan) berkembang maju dibandingkan dengan Ghana meski keduanya berada dalam kondisi serupa pada tahun 1960. Dalam pengantar buku, Huntington menyebutkan, di Korea berkembang nilai-nilai budaya yang membuatnya tumbuh maju dan di antara nilai-nilai tersebut adalah pendidikan, selain disiplin, menghargai waktu, dan berorientasi kepada kemajuan. Seperti disampaikan Menteri Nuh, pemerintah pun berkepentingan agar pendidikan maju, masyarakat Indonesia maju. Ini antara lain coba dilakukan dengan membangun dan meluaskan jaringan komunikasi dengan Palapa Ring, yang tahun 2008 coba diwujudkan untuk wilayah Indonesia timur. Melalui program Universal Service Obligation (USO), pemerintah juga akan memperluas akses telekomunikasi bagi desadesa di Indonesia yang berjumlah 72.000, tetapi 38.000 di antaranya masih merupakan blank spot. Setelah ide disosialisasikan, prasarana dibangun, pendidikan diselenggarakan, lalu bagaimana dengan munculnya technopreneur? Ini tentu persoalan lain. Pembicara lain pada kuliah perdana UMN, Indra Sosrojoyo, menyampaikan peluang yang terbuka dalam industri TIK yang dapat dipilih mahasiswa. Ia juga dengan tepat mengawali kuliah dengan bertanya, siapa yang ingin menjadi technopreneur. Dalam jawaban pertama, mahasiswa yang mengangkat tangan 25 persen, tetapi meningkat jadi sekitar 40 persen saat ia mengulangi pertanyaannya. Pekan silam, ketika menulis tentang Iskandar Alisjahbana, kolom ini juga menyinggung pentingnya jiwa entrepreneurship. Dalam hal ini, perguruan tinggi tidak cukup hanya menjadi penghasil gelar ningrat akademis. Ia harus berhenti sebagai menara gading dan membuka peluang bagi civitas academica-nya untuk menumbuhkan inkubator, seperti yang dipercontohkan oleh MIT dan Stanford University di AS. Memang, tidak sedikit tentangan yang muncul menanggapi gagasan ini, dari tahun 1970-an hingga hari ini. Namun, tampaknya, ada urgensi aktual bagi pendekatan baru untuk lulusan universitas saat ekonomi masih lesu dan lapangan kerja langka dewasa ini. Dalam konteks culture matters yang diangkat oleh Jakob Oetama, melalui praktik kewirausahaan dapat dikembangkan nilai-nilai budaya yang dibutuhkan untuk mencapai kemajuan, seperti disiplin, ulet, dan menghargai waktu. BAB 4 PENUTUP 4.1 Simpulan Technopreneurship merupakanTeknologi komunikasi dan informasi atau teknologi telematika (information and communication technology–ICT) telah diakui dunia sebagai salah satu sarana dan prasarana utama untuk mengatasi masalah-masalah dunia. Teknologi telematika dikenal sebagai konvergensi dari teknologi komunikasi (communication), pengolahan (computing) dan informasi (information) yang diseminasikan mempergunakan sarana multimedia. Dan Technopreneurship merupakan buah pemikiran baru di dalam dunia bisnis terutama di bidang online 4.2 Saran Agar mahasiswa dan masyarakat umum dapat Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi akademis & kesehatan jiwa bagi anak bangsa, semoga munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan juga Bangsa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Drucker, P. F. (1985) Innovaton and Entrepreneurship ; Practice and Principles http://www.inti.ac.id/stmikinti/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1 http://rully6092.wordpress.com/teknologi-jaringan-wireles/ http://edukasi.kompas.com/read/2010/03/14/08112418/Technopreneurship.ITS.Untuk .Atisipasi.Pengangguran.Sarjana http://www.lipi.go.id/www.cgi?proyek&1266906081&1&2010&1036008115 DAFTAR RIWAYAT HIDUP BIODATA Nama Alamat Kota Provinsi Tempat/Tanggal Lahir E-Mail Handphone : Muhammad Akbar Arifin : Jl.Sawah Lio I/31 Rt.01/001 Jakarta 11250 : Jakarta Barat : Jakarta : Jakarta, 17 November 1989 : [email protected] : 0856 9292 7787 – 021 9292 7787 PENDIDIKAN SD (1995-2001) SMP (2001-2004) SMA (2004-2007) Universitas (2007-sekarang) : SD Laksa Bhakti : Mts Daar El-Qalam : SMK Bhinneka Tunggal Ika : Universitas Bina Nusantara (Jakarta) PENGALAMAN Magang pada PT.General Patent Internasional pada 1 Mei 2007 – 31 Agustus 2007 BIODATA Nama : Ferliano Ossadi Alamat Kota Provinsi Tempat/Tanggal Lahir e-Mail Handphone : Jln.Kebun Jeruk Raya NO:23 :Jakarta Barat : Jakarta : Solok,2 Juli 1989 : [email protected] : 085781683833 PENDIDIKAN TK (1993-1995) SD (1995-2001) SMP (2001-2004) SMA (2004-2007) Universitas (2007-sekarang) PENGALAMAN : TK Kutilang Solok,Sumatra Barat : SD N 05 Solok,Sumatra Barat : SMP N 3 Bukittinggi,Sumatra Barat : SMA N 2 Bukittinggi,Sumatra Barat : Universitas Bina Nusantara (Jakarta) BIODATA Nama Alamat Kota Provinsi Tempat/Tanggal Lahir e-Mail Handphone : Akmal Syafaat : pd.kacang prima blok I 1 no 10 : Jakarta : Banten : Jakarta, 01 Desember 1989 : [email protected] : 085691451234 PENDIDIKAN TK (1993-1995) SD (1995-2001) SMP (2001-2004) SMA (2004-2007) Universitas (2007-sekarang) PENGALAMAN : TK ISLAM AL-HASANAH : SD ISLAM AL-HASANAH : SMP NEGERI 3 TANGERANG : SMA NEGERI 108 JAKARTA : UNIVERSITAS BINA NUSANTARA BIODATA Nama Alamat Kota Provinsi Tempat/Tanggal Lahir e-Mail Handphone : Sofyan : Jl. Cengkir Barat 1 FH 1 no 8 : Jakarta : DKI Jakarta : Jakarta/04-Agustus-1989 : [email protected] : 081806947900 PENDIDIKAN TK (1993-1995) SD (1995-2001) SMP (2001-2004) SMA (2004-2007) Universitas (2007-sekarang) PENGALAMAN : TK Santa Bernadet : SD Tunas Gading : SMP Tunas Gading : SMA Don Bosco 1 : Universitas Bina Nusantara (Jakarta) BIODATA Nama Alamat Kota Provinsi Tempat/Tanggal Lahir e-Mail Handphone : Muhammad Hidayat : Jl. Al Amin No.32 : Jakarta : DKI Jakarta : Bukittinggi/19 Oktober 1989 : [email protected] : 085274286888 PENDIDIKAN TK (1993-1995) SD (1995-2001) SMP (2001-2004) SMA (2004-2007) Universitas (2007-sekarang) PENGALAMAN : TK Jamiyyatul Hujjaj : SDN 09 Bukittinggi : SMPN 1 Bukittinggi : SMAN 1 Bukittinggi : Universitas Bina Nusantara (Jakarta)