Negara Dan Kedaulatan Rakyat

advertisement
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Negara dan Kedaulatan Rakyat :
Tinjauan Komparatif Konstitusi
Indonesia dan Saudi Arabia
-Negara dalam Perspektif Hukum Islam -
Disusun oleh :
RAFLI FADILAH ACHMAD
(1206246313)
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
__
2015
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 1
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................8
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................................9
1.4 Metode Penulisan..................................................................................................9
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Negara dan Kedaulatan Rakyat.....................................................................10
2.1.1 Teori Tentang Negara....................................................................................10
2.1.2 Konsep Negara ditinjau dari Perspektif Islam...........................................12
2.1.3 Konsep Kedaulatan Rakyat ditinjau dari Perspektif Islam.......................20
2.2. Kedaulatan Rakyat di Indonesia..................................................................27
2.2.1 Pengaturan UUD 1945 tentang Kedaulatan Rakyat..................................27
2.2.2. Contoh Pengamalan Kedaulatan Rakyat di Indonesia.............................32
2.3 Kedaulatan Rakyat di Saudi Arabia............................................................34
2.3.1 Pengaturan Konstitusi Saudi Arabia tentang Kedaulatan Rakyat...........34
2.3.2. Contoh Pengamalan Kedaulatan Rakyat di Saudi Arabia........................37
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................................39
3.2 Saran.......................................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 2
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Definisi tentang negara harus ditinjau secara holistik dari berbagai perspektif.
Setidaknya terdapat tiga tinjauan yang membahas sifat dan hakekat Negara. Pertama
secara historis, negara dipandang sebagai istilah-istilah yang merefleksikan kondisi
masyarakat pada masing-masing zaman. Jika dilihat dari perspektif ini istilah negara
memiliki sifat yang relatif sesuai dengan karakteristik pada zamannya. Salah satu
contohnya pada zaman Yunani, negara disebut sebagai polis dengan ciri utamanya
sistem demokrasi langsung. Sedangkan pada zaman Abad Menengah, seorang sarjana
bernama Agustinus menyatakan bahwa civitas itu terbagi menjadi dua yaitu, petama
Civitas Dei yang merupakan masyarakat keagamaan dimana kegiatan negara diatur
oleh ketentuan-ketentuan agama. Kedua, adalah Civitas Terenna yang merupakan
masyarakat keduniaan, dan agar supaya masyarakat dunia ini dapat berjalan dengan
baik maka harus selalu mendekatkan diri kepada Civitas Dei.1 Pada abad Modern
sejatinya negara diartikan sebagai Rijk atau Reich yaitu sebagai suatu benda berupa
kepemilikan atas tanah yang menimbulkan kewenangan kenegaraan, yang
menimbulkan kemakmuran khususnya kepada suatu dinasti atau imperium secara
turun temurun.
Jika ditinjau secara sosiologis, salah satu sarjana dari Prancis yaitu Leon
Duguit menyatakan bahwa negara adalah suatu organisasi dari orang-orang yang
paling kuat dan dapat memaksakan keinginannya pada orang-orang yang lemah dwang
organisatie, dimana orang-orang yang paling kuat ini mendapatkan kekuasaan dalam
negara karena memiliki keunggulan dalam lapangan fisik, ekonomi, kecerdasan, dan
sebagainya.2
Sedangkan jika ditinjau secara Yuridis negara merupakan hasil perjanjian
antara seluruh rakyat yang mempunyai suatu tujuan kepentingan yang sama yaitu
membentuk satu kelompok atau negara.3
Padmo Wahjono, S.H., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, cet.1, (Jakarta : Ind-Hill-Co, 1996), hlm.46
Soehino, S.H., Ilmu Negara, cet. 1, (Yogyakarta : Liberty, 1986), hlm.134
3Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI, Ilmu Negara,ed.revisi, (Depok : Penerbit FH UI
,2014), hlm.20
1
2
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 3
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Dari ketiga perspektif tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada definisi yang
baku terkait negara. Namun setidaknya terdapat tiga unsur utama yang harus
dipenuhi oleh suatu negara, yaitu memiliki wilayah tertentu, terdiri atas rakyat atau
sejumlah orang, diatur oleh pemerintahan yang berdaulat, dan sebagai unsur
komplementernya adalah pengakuan oleh masyarakat internasional. Prof. Dr. H
Muhammad Tahir Azhary, S.H. secara umum mendefinisikan negara bukan hanya
sebagai suatu kehidupan berkelompok manusia yang didasari atas perjanjian
bermasyarakat (kontrak sosial), tetapi juga atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah
Allah di bumi untuk mengemban kekuasaan sebagai amanah-nya. Oleh karena itu
manusia dalam menjalin hidup ini harus sesuai dengan perintah-perintah Allah dalam
rangka mencapai kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.4
Pembahasan mengenai konsep negara tidak dapat dipisahkan dengan teori
kedaulatan. Teori kedaulatan dalam khazanah konsep kenegaraan merupakan teori
yang sangat penting, karena berbicara tentang apakah yang memiliki kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara, dan instrumen apa yang melaksanakan kedaulatan
tersebut.
Kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan dalam perspektif yuridis. Dalam
melihat kedaulatan terdapat dua aliran yang berkembang, yaitu aliran monisme dan
pluralisme. Aliran monisme melihat kedaulatan suatu negara di pegang oleh suatu
subjek yang tunggal dan absolut, sedangkan aliran pluralisme melihat kedaulatan
terbagi-bagi atas entitas-entitas tertentu. Penulis menggunakan penekanan aliran
monisme dalam tulisan ini, hal itu disebabkan kedaulatan itu sejatinya tidak
tersegmentasi menjadi beberapa bagian, akan tetapi terdiri atas satu kedaulatan yang
disebut sebagai kedaulatan rakyat. Barulah kedaulatan rakyat itu bermetamorfosa
menjadi berbagai macam jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Namun pada intinya berbagai kekuasaan itu terlahir melalui rahim yang
sama, yaitu legitimasi yang berasal dari kedaulatan rakyat.
Orang yang pertama kali membahas masalah kedaulatan adalah Jean Bodin,
sehingga tak ayal jika ia kemudian disebut sebagai Bapak teori kedaulatan.
Menurutnya kedaulatan adalah wewenang tertinggi yang tidak dapat dibatasi oleh
hukum. Wewenang ini diletakan kepada penguasa atau raja selaku penguasa tertinggi
untuk memutuskan apa saja, termasuk didalamnya adalah membentuk hukum,
4
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta : Kencana, 2005), hlm. 17
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 4
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
membuat uang, memaklumkan perang, mengawasi kepantasan, dan lain-lain. Akan
tetapi, seiring berjalannya waktu konsep tersebut telah bergeser. Hal tersebut
disebabkan karena banyaknya raja yang absolut sehingga menyebabkan runtuhnya
legitimasi dan tergantikan dengan jenis kedaulatan yang baru yaitu kedaulatan yang
berada di tangan rakyat.
Perkembangan konsep mengenai kedaulatan rakyat mengundang banyak pro
dan kontra di kalangan ahli hukum.
Salah satu pertanyaan besarnya adalah, bagaimana mungkin “rakyat” dapat
berkuasa atas dirinya sendiri dan dapat memerintah dirinya sendiri”. Dalam zaman
yang kental akan nuansa feodalis, pemikiran mengenai penempatan rakyat sebagai
penguasa tertinggi atau pemegang kedaulatan adalah suatu pikiran yang gila dan
mustahil.
Akan tetapi gagasan kedaulatan rakyat ini tetap terus berkembang dalam
diskursus teori kenegaraan dan praktek trial and error baik di Prancis, Amerika, hingga
akhirnya diikuti oleh hampir seluruh negara di dunia. Arus deras demokrasi telah
merombak struktur monarki, minimal menjadi monarkhi parlementer atau menjadi
hancur sama sekali dan digantikan dengan sistem Republik Demokrasi.
Timbulnya teori kedaulatan rakyat ini jelas sebagai reaksi atas teori kedaulatan
raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Bapak Teori
kedaulatan rakyat ini adalah J.J Rousseau yang menggemakan kekuasaan rakyat lewat
bukunya “Du Contract Social”. Dalam teori fiksinya mengenai perjanjian masyarakat
(Kontrak Sosial), ia menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural liberty telah
berubah menjadi civil liberty dimana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat
sebagai yang tertinggi dalam hal ini melalui perwakilan yang berdasarkan suara
terbanyak (general will).5
Pandangan Rousseau ini dianggap terlalu murni oleh beberapa ahli hukum,
salah satunya adalah Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih. Menurut mereka apa yang
dikatakan Rousseau tentang keputusan dari suara terbanyak (mayoritas) yang
mengatasnamakan kepentingan umum, tidak selamanya benar. Apa yang didukung
oleh suara terbanyak itu tidak lagi mempersoalkan tentang kebenaran yang hendak
dikejar, melainkan mempersoalkan tentang menang atau kalah. Disinilah letak
5 Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI, Ilmu Negara,ed.revisi, (Depok : Penerbit FH UI
,2014), hlm.124
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 5
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
penyelewenangan dari sistem mayoritas yang tidak mengejar kebenaran lagi,
melainkan mengejar kemenangan.6
Sebelum masuk kedalam pembahasan yang lebih komprehensif terdapat
batasan awal yang harus dikemukakan oleh Penulis terkait pendekatan kedaulatan
rakyat yang dipakai oleh Penulis tidak menggunakan perspektif filsuf barat akan tetapi
menggunakan perspektif Islam. Dimana dalam perspektif barat terdapat segmentasi
yang tegas antara Kedaulatan Tuhan dengan Kedaulatan Rakyat, itu artinya
Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Rakyat didikotomikan satu dengan yang lainnya,
padahal sejatinya dalam perspektif Islam Kedaulatan Tuhan itu dalam pelaksanaanya
mewujud dalam Kedaulatan Rakyat. Dengan demikian antara Kedaulatan Tuhan dan
Kedaulatan Rakyat tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena
perwujudan Kedaulatan Tuhan adalah dengan Kedaulatan Rakyat, dimaa rakyat yang
berdaulat diakui sebagai khalifah Allah yang mempunya kehendak bebas untuk hidup
bersama dalam masyarakat, asalkan tetap berada dalam batas-batas hukum syariat
yang ditetapkan oleh Allah.
Dalam makalah ini Penulis mencoba mengkaji kedaulatan rakyat yang ada di
Indonesia dan Saudi Arabia dengan melihat dari konstitusi kedua negara tersebut.
Namun sebelumnya, Penulis juga meneliti terlebih dahulu apakah negara Saudi
Arabia adalah benar menganut konsepsi kedaulatan rakyat ataukah tidak, ataukah
justru Saudi Arabia menganut konsepsi kedaulatan tuhan namun tetap menjunjung
tinggi rakyat dalam negaranya. Kemudian Penulis juga mengkaji implementasi dari
ketentuan normatif kedaulatan rakyat yang ada dalam konstitusi Indonesia dan Saudi
Arabia.
Di dalam konstitusi negara Indonesia penegasan kedaulatan rakyat secara
nyata dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Pasal tersebut merupakan bentuk kemerdekaan dan penghargaan kepada rakyat
selaku elemen tertinggi. Sebelumnya, kedaulatan tersebut di jewantahkan dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, akan tetapi kepercayaan
tersebut ternoda dengan tirani kekuasaan selama 32 tahun yang dilakukan oleh
Presiden selaku mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut Jimly
6 Moh. Kusnarsi, S.H dan Bintan Saragih, S.H., Ilmu Negara, cet.3, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1988), hlm.163
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 6
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Asshiddiqie, perubahan tersebut menjadikan tidak hanya MPR sajalah yang
melakukan kedaulatan rakyat secara tunggal, akan tetapi mandat rakyat dijalankan
oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar.7
Perubahan tersebut juga secara koheren diikuti dengan perubahan mekanisme
pemilihan penyelenggara negara. Sebelumnya rakyat selaku pemegang kedaulatan
tertinggi menyerahkan suaranya kepada MPR, nantinya MPR-lah yang memilih
Presiden selanjutnya. Akan tetapi saat ini Presiden dipilih langsung oleh rakyat
dengan mekanisme Pemilihan Umum. Tidak hanya itu, penyelenggaran kekuasaan
negara lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah serta
Pemerintah Daerah juga di pilih langsung menggunakan mekanisme Pemilu.
Dari pemaparan singkat diatas, diperoleh kesimpulan sementara bahwa
konstitusi negara Indonesia mengakui kedaulatan rakyat di dalam negaranya, dimana
terdapat jaminan bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur,
melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi
kekuasaan. Pelaksanaan keterlibatan penuh rakyat tersebut dijewantahkan menurut
Undang-Undang Dasar sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan tidak lagi
diorganisasikan melalui satu institusi kenegaraan khusus yang dinamakan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.8
Sedangkan kerajaan Saudi Arabia adalah suatu negara yang dengan tegas
menyatakan bahwa pemerintahannya didasari pada hukum Islam. Karena itu, negara
ini dapat dinamakan sebagai negara Islam dalam makna yang hakiki, dengan
konsekuensi mengamalkan aturan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Namun pertanyaan
besar yang perlu dijawab dalam makalah ini adalah “apabila dalam suatu negara
mendasari hukumnya berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi apakah serta merta
menganut teori kedaulatan tuhan? Ataukah justru dalam penerapannya justru
kedaulatan rakyat yang dijunjung tinggi?”
Hipotesa awal yang muncul kepermukaan adalah negara arab saudi menganut
teori kedaulatan tuhan, kedaulatan raja, dan kedaulatan rakyat sekaligus. Hal ini
tentunya berbeda dengan Indonesia yang dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan
yang dianut adalah kedaulatan rakyat saja. Hal inilah yang menjadi menarik perhatian
Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum
Nasional, Sambutan Pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) Oleh Komisi Hukum
Nasional (KHN) Republik Indonesia, Jakarta, 21 November 2005.
8 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta :
Bhuana Ilmu Populer, 2007) hlm. 292.
7
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 7
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Penulis untuk meneliti lebih lanjut letak posisi kedaulatan rakyat di negara seperti
Saudi Arabia, terlebih lagi negara ini mendasari hukumnya berdasarkan hukum islam
dan memiliki raja selaku representasi dari negara Saudi Arabia.
Saat ini dinamika politik di negara Saudi Arabia telah terdapat gerakangerakan sosial yang merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat, salah satunya
adalah memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk memberikan kritik dan saran
kepada Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak. Akan tetapi, secara umum
kedaulatan rakyat di Saudi Arabia lebih di kekang, salah satu bentuknya adalah
pemilihan Raja tidak didasarkan pada pemilihan rakyat, dan larangan pembentukan
partai politik.
Akan tetapi tradisi tersebut pada akhirnya berubah karena desakan reformasi
Amerika Serikat yang menuntut terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan
kerajaan Saudi Arabia. Konsekuensinya adalah dilakukannya pemilihan umum secara
nasional untuk memilih wakil-wakil rakyat setelah sebelumnya menyetujui komite hak
asasi manusia non pemerintah pada 8 Oktober 2007.
Dari pemaparan di atas setidaknya terdapat beberapa perbedaan mendasar
yang menjadi perhatian utama penulis, yakni pengaturan mengenai kedaulatan rakyat
di Indonesia dan Saudi Arabia terdapat banyak perbedaan dari sisi formil dan materilnya. Dari segi formil, Indonesia mengatur ketentuan mengenai kedaulatan rakyat
secara khusus di dalam konstitusi, sedangkan di Saudi Arabia kaidah-kaidah pokok
pengaturan mengenai kedaulatan rakyat perlu dikaji lebih lanjut dari pengaturan yang
ada di dalam al-Qur’an. Dari segi materil kedaulatan di Saudi Arabia diletakan pada
kedaulatan tuhan daripada kedaulatan rakyat. Itu artinya kekuasaan tertinggi berada di
tangan
Tuhan,
dimana
mengimplimentasikan
seluruh
perintah
kehendak-kehendak
tuhan.
perintah
negara
Sedangkan
di
haruslah
Indonesia,
kedaulatan itu berada di tangan rakyat, meskipun kedaulatan rakyat ini berada di
tengah-tengah penduduk yang mayoritas beragama Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana negara Indonesia mengatur kedaulatan rakyat di dalam UUD 1945
setelah Amandemen ke 4?
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 8
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
2. Bagaimana negara Saudi Arabia mengatur kedaulatan rakyat di dalam
Konstitusinya?
3. Apakah perbedaan konsep kedaulatan rakyat dalam Konstitusi Indonesia dan
Saudi Arabia?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui
pengaturan
kedaulatan
rakyat
di
Indonesia
berdasarkan
Konstitusinya.
2. Mengetahui pengaturan kedaulatan rakyat di Saudi Arabia berdasarkan
Konstitusinya.
3. Mengidentifikasi perbedaan konsep kedaulatan rakyat dalam konstitusi Indonesia
dan Saudi Arabia.
1.4 Metode Penulisan
Makalah ini disusun dan ditulis berdasarkan penelusuran literatur dan dokumen
yang berkaitan dengan konsep kedaulatan rakyat baik di Indonesia maupun di Saudi
Arabia. Pendekatan metode yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu dengan
mengumpulkan sumber penulisan dari bahan-bahan pustaka.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 9
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Negara dan Kedaulatan Rakyat
2.1.1 Teori tentang Negara
Manusia adalah makhluk yang bersifat zoon politicon, hal ini memiliki
konsekuensi bahwa manusia akan selalu hidup bersama-sama dengan manusia lainnya
dalam suatu kelompok. Dalam kelompok itu manusia berjuang bersama-sama
mempertahankan hidupnya untuk mencari makan, melawan bahaya serta melanjutkan
keturunannya. Lahirnya negara merupakan tindak lanjut dari kehendak manusia
dalam bergaul antara seorang dengan orang lainnya dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Secara harfiah, negara dapat diterjemahkan dari kata staat
(bahasa Belanda), state (bahasa Inggris) dan Etat (bahasa Perancis). Namun asal kata
negara berasal dari bahasa latin yang berarti menaruh dalam keadaan berdiri,
membuat berdiri atau menempatkan. Pada dasarnya tidak ada suatu definisi yang
baku
terhadap pengertian Negara.
Namun terdapat beberapa
ahli yang
mendefinisikan negara dan dapat dijadikan suatu bahan rujukan, beberapa
diantaranya adalah Plato dan Thomas Hobbes.
Menurut Plato, negara adalah suatu tubuh yang senantiasa maju, berevolusi
dan terdiri dari orang-orang yang timbul karena masing-masing dari orang itu secara
sendiri sendiri tidak mampu memenuhi kebetuhan dan keinginannya yang beraneka
ragam, yang menyebabkan mereka harus bekerja sama untuk memenuhi kepentingan
mereka bersama. Kesatuan inilah yang kemudian disebut masyarakat sebagai suatu
negara. Dari definisi yang dikemukakan oleh Plato dapatlah ditarik suatu kesimpulan
bahwa suatu negara ada karena terdapat hubungan manusia dengan sesamanya karena
manusia sadar tidak dapat hidup secara sendiri-sendiri dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, atau dalam doktrin aristotles disebut sebagai zoon politicon.
Sedangkan menurut Thomas Hobbes, negara diartikan seperti tubuh yang
dibuat oleh orang banyak yang mana masing-masing orang tersebut berjanji akan
memakainya untuk menjadi alat keamanan dan perlindungan mereka. Konsepsi
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 10
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
negara dari Thomas Hobbes lahir karena adanya kesadaran bahwa manusia dapat
menjadi serigala bagi sesama manusia (homo homini lupus) dalam mencapai kepentingan
masing-masing mereka yang kemudian dalam skala besar dapat menyebabkan
terjadinya perlawanan atau perang.Kemudian menurut George Jellinek memberikan
pengertian negara sebagai organisasi kekuasaan yang timbil dari kelompok manusia
yang telah berdiam lama di suatu wilayah tertentu.
Sehubungan dengan subjek utama dalam hubungan internasional adalah
negara, maka hukum internasional memberikan perhatian khusus mengenai hak dan
kewajiban serta kepentingan dari negara. Maka dari itu dirumuskanlah pengertian
suatu negara berdasarkan hukum internasional yang tertuang dalam Konvensi
Montevidio pada tahun 1993 yang mengatur mengenai unsur-unsur dari suatu negara,
yakni :
a. Penduduk yang tetap. Penduduk yang dimaksud adalah sekumpulan
manusia yang hidup bersama di suatu tempat tertentu sehingga menjadi
satu kesatuan msyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional.
Penduduk tersebut tidak harus berasal dari rumpun, etnis, suku, latar
belakang kebudayaan, agama ataupun bahasa yang sama akan tetapi
intinya adalah penduduk tersebut haruslah menetap dan mendiami suatu
tempat di wilayah negara tersebut. Tapa adanya penduduk, mustahil
negara akan tebentuk. Hal ini dipertegas menurut Leacock yang
menyatakan bahwa negara tidak akan berdiri tanpa adanya sekelompok
orang yang mendiami bumi ini.
b. Wilayah tertentu. Wilayah adalah tempat bernanung penduduk disuatu
negara. Wilaya suatu negara tidak dipengaruhi batas ukurannya, bahkan
terdapat beberapa negara yang memiliki ukuran sangat kecil akan tetapi
tetap dapat dikatakan sebagai suatu negara seperti San Marino, Vatikan,
Tuvalu, dan Monaco.
c. Pemerintahan yang berdaulat. Unsur ini merupakan unsur konstitusif
yang harus ada, dimana pemerintah adalah pemegang dan penentu
kebijakan yang berkaitan dengan pembelaan negara. Dimana pemerintah
memiliki kekuasaan baik kedalam maupun keluar. Kekuasaan kedalam
berarti bahwa pemerintah tersebut berdaulat sehingga dihormat dan
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 11
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
diakui oleh seluruh rakyat dalam negara itu, sedangkan kekuasaan keluar
berarti bahwa kekuasaan pemerintahan itu dihormati dan diakui oleh
negara-negara lain. Masalah kedaulatan merupakan masalah yang sangat
penting dalam suatu negara, karena kedaulatan merupakan unsur
pembeda antara satu negara dengan negaa lainnya.
d. Pengakuan dari negara lain. Unsur ini tidak bersifat konstitutif, melainkan
bersifat deklaratif itu artinya pengakuan dari negara lain bukanlah unsur
pembentuk negara, akan tetapi sifatnya hanya menerangkan saja adanya
suatu negara. Pengakuan terdiri jadi dua hal, yaitu pengakuan berdasarkan
de facto dan de jure. Pengakuan secara de facto berarti mengakui
senyataanya eksistensi dari suatu negara, sedangkan pengakuan secara de
jure berarti pengakuan yang bersifat yuridis dari negara lain dengan segala
konsekuensinya.
2.2. Konsep Negara ditinjau dari perspektif Islam
Setelah pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai konsep negara
berdasarkan kaidah hukum umum, pada bagian ini akan dipaparkan mengenai konsep
negara ditinjau dari perspektif Islam. Terlebih pembahasan yang diangkat oleh
penulis erat kaitannya dengan negara, maka kajian mengenai konsep negara dari
perspektif Islam mutlak adanya.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, pada dasarnya teori mengenai definisi
dan terbentuknya negara sudah banyak dikemukakan oleh para filsuf barat. Misalnya
saja para pemikir-pemikir terkemuka seperti Plato, Aristotles, George Jellinek, ,
Thomas Hobbes yang teori-teorinya sering dijadikan bahan rujukan mengenai ilmu
kenegaraan. Namun tidak kalah cemerlangnya, sejatinya banyak juga pemikir-pemikir
Islam yang mengemukakan teori mengenai kenegaraan, beberapa diantaranya adalah
al-Farabi, Ibnu Khaldun, al-Ghazali, dan Ibnu Taimiyah.
Pertama, pandangan al-Farabi banyak terpengaruh daripemikiran-pemikiran
yang telah ada sebelumnya yakni Plato dan Aristoteles.9 Menurutnya, negara
terbentuk karena karakteristik manusia yang suka bergaul dan berkumpul dengan
9Lihat Wawan Hermawan, “Konsep Negara Menurut al-Farabi,” h t t p : / / f i l e . u p i . e d u /
D i r e k t o r i?FPIPS/M_K_D_U/197402092005011-W A W A N _ H E R M A W A N / K o n s e
p _Negara_Mnrt-al-F a r abi.pdf, diakses pada 31 Mei 2015.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 12
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
manusia lain (homo homoni socius) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu
manusia juga bergaul mencapai kebahagiaan material dan spiritual di dunia dan di
akhirat.10 Oleh karena itu, setiap orang dituntut untuk bekerjasama dalam menggapai
apa yang diinginkannya, dan disini perlu adanya peran dari pemimpin yang bertugas
untuk mengatur dan membagi segala hasil untuk memenuhi segala kebutuhan
anggotanya.11 Dari konsep yang dikemukakan oleh Al-Farabi tersebut terdapat
sentuhan Islam dalam memodifikasi pandangan Plato dan Aristotles dengan
menambahkan aspek ukhrawi dari pembentukan negara.12
Konsep al-Din al-Islam memberikan penegasan bahwa ajaran Islam tidak
memisahkan antara hukum dengan agama. Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya dan diperkuat oleh pandangan Al-Farabi bahwa ad-din mencakup aspek
spiritual-religius dan aspek kemasyarakatan. Muhammad Tahir Azhary secara
sederhana mengungkapkan hubungan antara hukum dengan agama sebagai berikut: 13
“Salah satu argumen yang paling kuat yang mendukung pendapat bahwa dalam
Islam hukum dan agama tidak dapat dipisahkan ialah sumber hukum Islam itu
sendiri. Dalam kepustakaan hukum Islam selalu disebutkan bahwa sumbersumber hukum Islam adalah al-Qur’an yang terutama, kemudian Sunnah Rasul
dan al-ra’yu. Agama Islam pun bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul.”
Dengan demikian, tidak perlu diperdebatkan lagi hubungan antara
hukum dengan agama menurut Islam karena pada dasarnya Islam adalah
hukum itu sendiri.
Pandangan yang kedua, menurut Ibnu Khaldun negara terdiri menjadi dua
kelompok yaitu (1) negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi’i) dan (2) negara
dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi) yang olehnya dibagi lagi menjadi tiga
macam yaitu (i) negara hukum atau nomokrasi Islam (siyasah diniyah), (ii) negara
hukum sekuler (siyasah ‘aqliyah), dan (iii) negara a la ‘Republik’ Plato (siyasah
madaniyah). Di antara tipe-tipe negara tersebut, menurut Ibnu Khaldun tipe negara
10Wawan
Hermawan, op cit., hlm. 5.
Asnawi, “Teori Bernegara Dalam Hukum Islam,” Jurnal Hukum Respublica, (No. 4 Vol. 2
Tahun 2003;231-250), hlm. 233.
12Wawan Hermawan, loc cit.
13Muhammad Tahir Azhary, op cit., hlm. 60.
11Eddy
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 13
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
yang paling baik dan ideal adalah siyasah diniyah atau yang menurut Malcolm H. Kerr
disebut dengan istilah Nomokrasi Islam.14
Nomokrasi Islam, menurut Muhammad Tahir Azhary adalah suatu negara
hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum antara lain: (1) kekuasaan sebagai
amanah, (2) musyawarah, (3) keadilan, (4) persamaan, (5) pengakuan dan
perlindungan setiap hak asasi manusia, dan lain-lain.15 Prinsip-prinsip itu tercantum di
dalam ayat-ayat al-Qur’an yang antara lain yaitu surah an-Nisaa ayat 58 dan 135, surah
al-Hujarat ayat 13, surah asy-Syuraa ayat 38, surah al-Maidah ayat 8 dan 32, surah anNahl ayat 90, dan surah al-Israa’ ayat 33 dan 70.
Kemudian terdapat tiga ciri fundamental negara islam, yakni adanya
masyarakat muslim (ummah), hukum Islam (syari’ah), dan kepemimpina masyarakat
Muslim (khalifah). Karena konsep dasarnya Allah s.w.t adalah kekuasaan yang paling
utama, maka negara Islam harus menunjung tinggi nilai-nilai yang ada dalam hukum
islam dan menerapkannya. Konsekuensi logisnya adalah kepala negara sejatinya tidak
boleh memiliki kekuasaan membuat undang-undang, karena tanggung jawab
tunggalnya ialah melaksanakan hukum Al-Quran. Maka darti itu diperlukan
penunjukan kepada sebuah badan penasehat (syura) yang bermusyawarah dengan
para anggotanya untuk menetapkan perundang-undangan turunan dari Al-Quran
dimana pertimbangan mereka tidak bersifat mengikat.16
Ibid., h. 13-14.
Ibid., h. 85.
16Hakim Jabid Iqbal, “Konsep Negara Islam” dalam Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah
Teori Politik Islam, terj. Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1993), hlm.59
14
15
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 14
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
ALLAH
Manusia
Memilih
Wakil Yang
Amanah
2015
Menegakkan
Hukum
Dengan Adil
Gambar 1.1 Proses bagaimana menerapkan Hukum Allah.17
Bagan diatas menjelaskan bagaimana cara menegakkan hukum Allah dalam
sebuah negara Islam. Pertama, Allah s.w.t. menciptakan manusia di muka bumi ini
dengan misi sebagai wakil tuhan untuk berbuat kebaikan serta beribadah dan
menghambakan diri pada Allah. Kemudian manusia di muka bumi hidup
berkelompok dan dalam perkembangannya timbulah praktik bernegara, didalam
praktek bernegara dipilihlah wakil-wakil yang dianggap amanah dalam menjalankan
tugasnya. Melalui wakil itulah diciptakan suatu peraturan yang merujuk pada
ketentuan Islam seperti Al-Quran dan As-Sunnah dengan tujuan untuk menegakan
hukum dengan adil dan sesuai dengan perintah-perintah Allah.
Oleh karena itu, terdapat empat perbedaan fundamental antara Negara
Hukum dalam konsep Islam dengan rechstaat maupun rule of law yang berasal dari
Barat yaitu:
1. Nomokrasi Islam bersumber dari al-Qur’an, sunnah, dan ra’yu sehingga ia
tidak terpisah dari agama, sementara konsep Barat memisahkan hukum
dengan agama di mana bersumber dari rasio manusia, liberalistik, dan
antroposentrik (sekuler).
17Hamid
Chalid, Negara Dalam Perspektif Hukum Islam pada 16 Maret 2015.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 15
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
2. Sementara Nomokrasi Islam memegang teguh prinsip-prinsip sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, konsep negara hukum Barat (rechstaat, rule of
law, dan socialist legality) lebih cenderung antroposentrik di mana hukum
melayani kepentingan manusia semata.18
3. Dalam negara Islam hukum yang mengatur berdasarkan hukum-hukum
Allah sebagaimana yang tertuang dalam Al-Quran, sedangkan dalam
konsep barat hukum-hukum yang mengatur adalah buah karya manusia.
4.
Dalam konsep negara Islam, dikatakan berdaulat apabila ketentuanketentuan Allah s.w.t sudah diamalkan dan dijalankan Sedangkan dalam
konsep barat, berdaulat adalah salah satu aspek selain harus menjadi
nasional dan mempunyai batas wilayah yang jelas. Apabila ketiga aspek
tersebut terpenuhi, maka sebuah negara dapat secara sah menyatakan
dirinya sebagai negara yang berdaulat.
Oleh karena itu, untuk menegakkan keadilan manusia diberikan kewenangan
untuk memikirkan (ijtihad) suatu mekanisme yang tidak bertentangan dengan agama,
misalnya membuat lembaga-lembaga pengaturan (legislatif) dan lembaga eksekutif.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa lembaga-lembaga itu harus sejalan dengan aturanaturan Allah Swt, diikat dengan undang-undang Allah Swt dan RasulNya.19
Allah Swt dalam firmanNya di al-Qur’an telah memberikan pedoman bagi
manusia untuk bernegara, meskipun lebih tepatnya untuk mengikuti suatu kekuasaan
dalam QS. al-Israa’: 80 :
“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan
keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau
[otoritas] kekuasaan yang menolong.”
Berdasarkan surah di atas, Al-Maududi mengatakan bahwa terdapat
kebutuhan untuk mendirikan sebuah negara karena al-Qur’an tidak hanya meletakkan
prinsip-prinsip moralitas dan etika, melainkan juga memberikan tuntutan di bidang
politik, sosial, ekonomi.
Dengan demikian, untuk mempraktikkan itu semua
Muhammad Tahir Azhary, op cit., hlm.100-101.
Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan [Al Khilafah wal Mulk], diterjemahkan oleh
Muhammad Al Baqir, cet. 2, (Bandung: Penerbit Mizan, 1988), hlm.73.
18
19
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 16
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
diperlukan suatu negara, yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, untuk
melaksanakannya.
Di dalam Islam sendiri suatu negara didirikan harus bedasarkan prinsipprinsip yang telah diterapkan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Dimana
terdapat dua prinsip utama dalam menjalankan suatu negara, yaitu prinsip yang
pertama adalah seluruh kekuasaan hanya milik Allah s.w.t. karena ia yang telah
menciptakan semua ini, kemudian prinsip kedua bahwa segala hukum Islam
ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran dan Sunnah nabi Muhammad s.a.w.
sedangkan Sunnah Nabi merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan yang
ada di Al-Quran. Selain kedua prinsip diatas, terdapat syarat lain yang menyatakan
bahwa dalam menaati orang yang memegang kekuasaan atas kaum muslimin tidak
perlu ditaati apabila syarat taat kepada Allah dan Rasulnya tidak terpenuhi. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam Al-Quran surat An-Nisa : 59 ;
“ wahai orang-orang yang beriman! Taatillah Allah dan Taatilah Rasul
(Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di anatara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah-Nya), jika kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian., Yang demikian itu, lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.
Saat ini terdapat beberapa kalangan yang memisahkan secara tegas antara
agama dan negara, kalangan ini akrab dikenal sebagai sekuler yang memisahkan antara
kehidupan duniawi dan ukhrawi. Kalangan ini mendasari pemikirannya bahwa negara
yang dikonstruksikan melalui cara pikir (rasio) tidak cocok apabila dihubungkan
dengan agama yang bersifat transeden. Namun Islam, kata Bernard Lewis seperti
yang dikutip Muhammad Tahir Azhary, sejak dari masa hidup pendirinya adalah
sebuah negara, dan pertalian antara negara dan negara agama tertancap tanpa dapat
terhapuskan di dalam ingatan dan kesadaran pengikut setianya, di dalam kitab suci,
sejarah, dan pengalamannya.20 Hal tersebut menegaskan bahwa secara historis
terdapat hubungan yang erat antara agama dengan negara menurut Islam, hal ini
20Muhamad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2004),
hlm. 53-54.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 17
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
sekaligus mematahkan landasan pemikiran kalangan sekuler yang menolak dengan
tegas hubungan antara agama dan negara, lagi pula Nabi Muhammad SAW pada saat
memimpin negara Madinah adalah bukti nyata bahwa antara agama dan negara bisa
berjalan secara harmonis tanpa perlu menegasikan antara satu dengan yang lainnya.
Logika berpikir seperti di atas sejatinya dapat dibenarkan karena pada
dasarnya Islam merupakan ajaran yang tidak hanya mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhannya (vertikal) namun juga antara manusia dengan manusia
(horizontal). Istilah ad-din dalam al-Qur’an mengandung konsep multidimensional
yang mencakup dua aspek kehidupan manusia yaitu aspek religius-spiritual dan aspek
kemasyarakatan yang bertumpu pada ajaran tauhid (unitas).21 Sirkularitas Hukum
Islam menimbulkan konsekuensi bahwa ajaran Islam tidak melulu mengurusi masalah
ukhrawi namun juga duniawi.
Dalam studi kenegaraan, al-ahkam al-sultaniyah merupakan ruang lingkup
Hukum Islam yang membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintahan (pusat dan daerah), tentara, pajak,22 dan hukum administrasi negara.23
Aspek-aspek kenegaraan ini merupakan satu bagian saja dari keluasan ajaran Agama
Islam yang mencakup aspek akhlak, akidah, dan syariah.
Pada dasarnya Islam memang tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan
tertentu apalagi bentuk negara yang mutlak, oleh karenanya hal itu diserahkan
kembali kepada manusianya untuk berijtihad. Akan tetapi, al-Maududi dalam bukunya
al-Khilafah wal Mulk (1897), menyatakan bahwa menurut al-Qur’an bentuk
pemerintahan yang benar adalah pemerintahan yang mengakui kepemimpinan dan
kekuasaan Allah dan RasulNya di bidang perundang-undangan.24 Pendapat alMaududi ini didasarkan oleh surah al-Maidah ayat 48 dan surah Shaad ayat 26.
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujian, terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
Ibid., hlm. 27.
Daud Ali, op cit., h. 57.
23Muhammad Tahir Azhary, op cit., h. 77.
24 Abul A’la al-Maududi, op.cit., hlm. 63.
21
22Mohammad
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 18
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. al-Maidah: 48)
Dalam negara, agama merupakan unsur penting sebagai pengendali hawa nafsu
dan pengawas yang melekat di hati nurani masyarakatnya yang menjadikannya sebagai
sandi terkuat bagi kesejahteraan masyarakat dan negara.25 Dalam hal ini agama tampil
sebagai batasan sekaligus petunjuk bagi tindakan-tindakan manusia. Ajaran Islam
mengajarkan agar senantiasa mengembalikan segala persoalan kepada Allah dan
Rasul, dan mendasarkan segala perbuatan pada firman-firmanNya. Sebagaimana
firman Allah swt berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. an-Nisaa:59)
Berdasarkan ayat al-Qur’an surat QS. Shaad: 26, al-Maududi menganggap
bahwa pemerintahan yang benar adalah pemerintahan yang berdiri dalam suatu
kepemimpinan khilafah yang secara tegas berbunyi:
“ Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.”
Khilafah berasal dari bahasa Arab yaitu khalf yang berarti ‘wakil’, ‘pengganti’
atau ‘penguasa’), menurut Ibnu Khaldun, adalah tanggungjawab umum yang sesuai
dengan tujuan syarak (hukum Islam) dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
(kepentingan) dunia dan akhirat bagi umat. Pada hakikatnya, khilafah merupakan
25
Eddy Asnawi, op cit., hlm. 246.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 19
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
pengganti fungsi pembuat syarak, yakni Rasulullah Saw sendiri, dalam urusan agama
dan urusan politik keduniaan. Meskipun konsep khilafat sangat bercorak keislaman,
akan tetapi konsep ini tetap mengusung prinsip-prinsip pemerintahan pada umumnya
seperti mewujudkan keadilan, tanggungjawab, amanah, musyawarah, dan memerintah
tanpa kezaliman. Hal demikian tercermin dalam sejumlah ayat al-Qur’an, yakni :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu, Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepadaNya.” (QS. Ali Imran:159)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. anNisaa:58)
Senada dengan al-Maududi, al-Ghazali berpendapat bahwa mendirikan
khilafah adalah wajib syar’i (berdasarkan syarak), yang didasarkan pada ijmak dan
kategori wajibnya adalah fardu kifayah.26
Lebih lanjut al-Maududi mengatakan:
“Adapun sistem pemerintahan yang memalingkan diri dari Allah, lalu menjadi
sistem terlepas bebas, memerintah dengan dirinya sendiri, untuk dirinya sendiri, maka
itu bukanlah khilafah, tapi itu adalah pemberontakan atau kudeta melawan Sang
Penguasa yang hakiki.”27
2.3. Konsep Kedaulatan Rakyat ditinjau dari perspektif Islam
Mengkaji pandangan Islam mengenai gagasan kedaulatan rakyat secara
komprehensif merupakan pekerjaan yang sangat urgen dan berasalasan, karena
26 Abdul Aziz Dahlan, et al., ed., Ensiklopedi Hukum Islam 3, cet. 7, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2006), hlm. 918-919
27 Abdul A’la al-Maududi, op cit., hlm. 65-66.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 20
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
gagasan tersebut sejatinya memiliki akar filosofi dan historis yang kuat dalam tradisi
peradaban Islam.
Istilah kedaulatan lazim dipahami sebagai sovereignity atau majesty yang diadopsi
dari bahasa Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda yang telah banyak dipengaruhi oleh
Bahasa Latin. Semua istilah tadi menunjuk kepada akar pengertian yang sama yaitu
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Akan tetapi sejatinya akar kata kedaulatan itu sendiri merupakan saduran dari
bahasa Arab yang berasal dari akar kata daulat atau dulatan, yang dalam makna klasik
artinya sebagai pergantian atau peredaran. Dalam al-Qur’an pencerminan kata daulah
terdapat sebanyak 2 kali, yaitu dalam Qs 3 : 140 sebagai bentuk kata kerja nudawiluha
dan Qs 59 : 7 sebagai bentuk kata kerja duulatan. Dalam ayat pertama terkandung
muatan yang berkonotasi politik, sedangkan pada ayat kedua memiliki konotasi
ekonomi.
Dengan demikian, pengertian kedaulatan itu dalam makna klasiknya berkaitan
erat dengan gagasan mengenai kekuasaan tertinggi yang didalamnya sekaligus
terkandung dimensi waktu dan proses peralihannya sebagai fenomena yang bersifat
alamiyah.28 Pandangan seperti ini tercermin dalam pemikiran Ibnu Khaldun (13321406) yang merekonstruksikan kedaulatan sebagai naik-tenggelamnya kekuasaan
negara-negara di sepanjang sejarah umat manusia sebagaimana ditulisnya dalam
mukaddimah. Muncul dan tenggelamnya negara atau yang oleh Ibnu Khldun disebut
dengan al-daulah itu merupakan tuntutan alamiyah yang sangat rasional, dan gagasan
ini nampaknya yang mempengaruhi Niccolo Machiavelli dalam mahakaryanya yang
berjudul L-Prince.
Ironisnya sejarah negara-negara modern pada saat terdapat kebutuhan untuk
mengembangkan kembali gagasan kedaulatan rakyat disaat yang sama masih sedikit
rujukan ilmiah utuk membangun gagasan kedaulatan rakyat yang khas. Maka yang
dilakukan adalah meminjam berbagai pemikiran mengenai soal kedaulatan rakyat
yang dikembangkan oleh masyarakat barat. Sehingga muncul kesan seolah-olah
rujukan pemikiran dibidang kedaulatan rakyat hanya bermula dari pemikiranpemikiran Thomas Hobbes, Jean Bodin dan sebagainya. Padahal sejatinya gagasan
28
Jimmly Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta : Gema Insani Pers,1995)hlm. 11
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 21
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
kedaulatan itu sendiri sudah berkembang sebeumnya oleh masyarakat Islam diTimur,
namun sayangnya memudar karen tidak disadari lagi. Sehingga dalam berbagai
literatur yang ada saat ini, konsep kedaulatan rakyat seakan-akan memang hanya
berkaitan dengan sumber rujukan yang berasal dari barat, padahal pandangan
demikian sejatinya salah besar.
Terminologi yang tepat sebenarnya adalah konsep kedaulatan rakyat
dipopulerkan kembali oleh sarjana-sarjana barat, akan tetapi awalnya bersumber dari
Islam. Salah satu tokoh barat yang turut mempopulerkan gagasan kedaulatan rakyat
adalah Jean Bodin, beliau mengatakan dalam buku Six Livres de la Republique (1675)
bahwa kedaulatan adalah summa in cives ac subditos legibusque soluta potestas yang berarti
kekuasaan tertinggi yang mengatasi warga negara, anak buah, dan undang-undang.
Konsep ini jika diurai dapat ditarik menjadi 3 unsur, yakni :
1) Kekuasaan itu bersifat tertinggi, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi, dan
asli dalam arti tidak berasal dari atau bersumber kepada kekuasaan lain yang
lebih tinggi.
2) Mutlak dan sempurna dalam arti tidak terbatas dan tidak ada kekuasaan lain
yang membatasinya.
3) Utuh, bulat, dan abadi, dalam arti tidak terpecah-pecah dan tidak terbagi-bagi.
Maka dari itu konsep kedaulatan sejatinya bersifat unite dalam arti terdapat
semangat dan kemauan umum rakyat adalah suatu kesatuan dengan mana mereka
sebagai kesatuan berhak memerintah dan menolak diperintah. Karena rakyat adalah
satu maka negara juga adalah satu, dan dengan sendirinya konsep kedaulatan ini juga
bersifat bulat dan tak dapat dipecah-pecah. Jika yang berdaulat adalah Raja, maka
rajalah yang merupakan satu-satunya pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara, jika rakyat berdaulat, maka rakyatlah satu-satunya pemegang kekuasaan
tertinggi, bukan yang lain. Disimpulkan oleh Bodin, bahwa kedaulata adalah milik
setiap bangsa sebagai kesatuan yang bersifat turun-temurun, sehingga kedaulatan
tidak dapat berubah-ubah begitu saja, ketika berada di tangan rakyat maka selamanya
akan tetap ada di tangan rakyat.
Jika sebelumnya telah diulas secara komprehensif mengenai sarjana barat
dalam memandang konsep kedaulatan rakyat, kini saatnya melihat para sarjana
Muslim memaknai gagasan kedaulatan rakyat ini. Pada dasarnya terdapat dua
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 22
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
perbedaan pendapat diantara para sarjana muslin, pendapat pertama melihat
kedaulatan rakyat dengan penekanan pada konsep kekuasaan hukum (nomokrasi),
sedangkan pendapat kedua lebih cenderung kepada konsep Islam mengenai negara
sebagai divine democracy.
Muhammad Muslehuddin misalnya, beliau memiliki pandangan yang berbeda
dengan pandangan barat yang menganggap bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat,
menurutnya kedaulatan itu ada di tangan Tuhan. Negara menurutnya adalah is a state
ruled by Divine Laws which precede it and to whose dictates it has ideall to conform. 29 Itu artinya
kekuasaan yang pertama dan yang paling utama adalah bersumber kepada kekuasaan
tuhan, maka dari itu sejatinya tuhanlah yang berdaulat, bukannya manusia. Oleh A.
Hasjimy misalnya dintakan bahwa negara pada dasarnya adalah kepunyaan Allah,
demian pula kedaulatan negara itu adalah milik Allah. Hal inipun kemudian
dipertegas dalam Qs : Al-Hadih : 5 yang menyatakan :
“Kerajaan langit dan bumi adalah milik Alllah, dan kepada Allah-lah segala urusan
dikembalikan”.
Kemudian terdapat juga dalam surat Al-Hadid : 6 dan Al-Mulk : 1 yang
berbunyi :
“Kerajaan Allah-lah kerajaan lagit dan bumi, Allah menghidupkan dan mematikan, dan Allah
berkuasa atas segala-galanya”; “Maha Suci Allah yang dalam kekuasaanya kerjaan dan Allah
menguasai segala yang ada”.
Negara itu sendiri diperlukan sebagai alat kehidupan bersama warga
masyarakat yang diikat atas dasar solidaritas bersama untuk bersama-sama dan secara
sendiri-sendiri berlomba-lomba melakukan kebajikan-kebajikan kemanusiaan sesuai
dengan perintah tuhan. Dengan demikian, fungsi negara menjadi sekadar alat bantu
yang diperlukan untuk menegakan syari’at. Tetapi alat bantu ini tidak boleh keluar dari
kerangka Hukum tuhan tu sendiri. Dalam hal ini, kedaulatan yang dimiliki oleh setiap
rakyat haruslah mengikuti standar-standar yang ditentukan oleh hukum yang telah
ditentukan oleh tuhan. Karena, kedaulatan rakyat itu merupakan “cermin” dari
kedaulatan yang hakiki yaitu kedaulatan tuhan.
29
Ibid., hlm. 17
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 23
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Konsep demikian ini sama sekali berbeda dengan konsep teokrasi yang
dikembangan oleh filsuf abad pertengah yang menyatakan bahwa gagasan kedaulatan
tuhan dalam sistem kependetaan menyatu dengan kekuasaan para Raja. Seperti halnya
dalam konsep Islam, teokrasi baratpun mengangap Tuhan sebagai sumber dan
pemegang kedaulatan. Tetapi, teokrasi barat menjelmakan kedaulatan Tuhan itu ke
dalam diri jabatan kepala negara. Bahkan pada perkembangan di zaman abad
pertengahan, kekusaaan Kepala Negara dalam hal ini raja menyatu dengan konsep
kependetaan dalam agama Nasrani, sehingga teokrasi melahirkan sistem yang absolut.
Dalam konteks ini hukum tuhan dijalankan oleh Raja atau Pendeta atas nama Tuhan
yang mutlak. Karena itulah, istilah teokrasi di zaman moderen sekarang selalu
digambarkan sebagai kejahatan dan kekhawatiran yang dilakukan atas nama Tuhan.
Akibatnya, konsep negara islam sendiri harus turun merusakan pil pahit akibat
implikasi yang menyertai penggunaan istilah yang menyerupai konsep “teokrasi” ini.
Padahal sejatinya menurut Said Ramadhan, bertolak belakang dengan konsep
“teokrasi” barat, konsep Islam justeru merupakan pemberontakan total terhadap
segala bentuk pemenuhan terhadap sesama manusia. Sistem kependetaan demikian
ini ditentang keras justru oleh Islam sebagaimana yang tertuang dalam Qs 9 :31 dan 2
:165. Dengan demikian jelaslah terdapat perbedaan antara konsep negara dalam
perspektif Islam ini dengan konsep teokrasi barat abad pertengahan. Seperti
dinyatakan oleh Maududi, konsep negara dalam perspektif Islam bukanlah teokrasi,
melainkan popular vicegerency atau menurut isilat Thahir Azhaary disebut sebagai
Nomokrasi Islam yang didasarkan pada “The Rule of Islamic Law”. Jika
digambarkan, terdapat perbedaan antara gagasan Kedaulatan Tuhan dalam konsep
teokrasi barat dengan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam perspektif Islam ini, dapatlah
dirumuskan dalam bentuk kerangka sebagai berikut :
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 24
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Dalam model Teokrasi pertama, gagasan Kedaulatan Tuhan itu sebagai Law
Giver yang pada pelaksnaanya terjelma dalam kekuasaan kepada negara yang
menetapkan hukum-hukum atas nama Tuhan. Sedangkan dalam perspektif Islam,
kedaulatan rakyat dapat dipahami terwujud dalam kekuasaan yang terkait dalam
fungsi manusia (rakyat) sebagai “khilafah” Allah. Itu berarti, Kedaulatan Tuhan itu
dalam pelaksanaanya mewujud dalam Kedaulatan Rakyat yang akan memberikan
amanat kepada para pemimpin yang dipilih oleh mereka sebagai mandataris dan
mengangkat ahlhalli wa al-aqdhi ataupun dewan syuro untuk menetapkan hukum negara
yang tidak rumuskan berdasarkan rujukan syariat ataupun dirumuskan dalam
kerangka syari’at Allah.
Dengan demikian, dalam konsepsi Islam negara haruslah mengakui prinsipprinsip kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat secara
sekaligus. Artinya, ajaran kedaulatan yang dianut dalam Islam pertama dan yang
paling utama adalah ajaran Kedaulatan Tuhan. Kemudian dalam pelaksanaanya,
Kedaulatan Tuhan itu diorganisasikan melalui konsep mengenai kekuasan negara
dalam dua perwujudan, yaitu Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum. Di satu
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 25
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
pihak, kedaulatan Tuhan itu diwujudkan dalam bentuk berdaulatnya rakyat, dan di
pihak lain dalam bentuk Kedaulatan Hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Allah
melalui wahyunya. Rakyat yang berdaulat itu diakui sebagai khalifah Allah yang
mempunyai kehendak bebas untuk hidup bersama dalam masyarakat, asalkan tetap
berada dalam batas-batas hukum syari’at yang merupakan pedoman tertinggi yang
telah ditetapkan oleh Allah.
Dengan demikian, dalam pandangan Islam, kekuasaan pada hakikatnya adalah
milik Allah sehingga yang berlaku adalah Kedaulatan Tuhan yang diwujudkan lebih
lanjut dengan Kedaulatan Rakyat.
Tuhan mengamanatkan kekuasaan kepada
manusia agar mereka menjalani kehidupannya, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dalam rangka berlomba-lomba beribadah kepada-Nya. Proses
pemberian amat inilah yang menurut A.Hasjmy merupakan proses penyerahan
mandat oleh Allah kepada manusia dalam artian pergeseran Kedaulatan Tuhan
menjadi Kedaulatan Rakyat, yang dalam hal ini terbagi menjadi dua macam yaitu :
a. Mandat yang bersifat umum, yaitu berkenaan dengan pengertian khalifah
sebagai genus begrip. Itu artinya mandat ini diberikan Tuhan kepada seluruh
dan setiap umat manusia sebagai khilafahnya di atas muka bumi untuk
mengelola dan mengeolah alam semesta sekaligus untuk memimpin atau
mengurus kehidupan sesama manusia dalam arti memimpin sebagian yang
lain dalam arti laus.
b. Mandat yang bersifat khusus terbagi menjadi dua lagi, yaitu khusus diberikan
kepada kelompok masyarakat dan mandat yang diberikan kepada perorangan.
Mandat yang diberikan kepada kelompok misalnya untuk mendirikan negara
atau meraih kekuasaan asalkan kelompok masyarkat itu beriman dan beramal
shaleh sebagaimana dinyatakan dalam Qs : 24 : 55. Adapun mandat kepada
perorangan, dicontohkan seperti khalifah Daud, imam Ibrahim, atau Raja
Musa yang merupakan penjewantahan dari konsep Kedaulatan Rakyat.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 26
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2.2
2015
Kedaulatan Rakyat di Indonesia
2.2.1 Pengaturan UUD 1945 setelah amandemen ke-4 tentang
kedaulatan rakyat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut
ajaran kedaulatan rakyat, meskipun pada khususnya beberapa ahli hukum Tata
Negara menyatakan bahwa selain ajaran kedaulatan rakyat juga terdapat ajaran
kedaulatan lain dalam UUD 1945, misalnya Ismail Sunny yang menyatakan bahwa
UUD 1945 menganut tiga ajaran kedaulatan sekaligus yaitu ajaran kedaulatan
uhan, kedaulatan Rakyat, dan kedaulatan Hukum.30 Pandangan demikian wajar
terjadi, karena seperti yang telah dikemukakan di atas sejatinya kedaulatan Tuhan
dan Kedaulatan Rakyat tidak dapat didikotomikan satu dengan yang lain, karena
dalam konsep Islam justru kedaulatan tuhan dan kedaulatan rakyat memiliki
hubungan yang integral dimana kedaulatan tuhan itu mewujud menjadi kedaulatan
rakyat dalam pelaksanannya.
Secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 bahwa
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Dalam proses perubahan UUD 1945 terjadi pergulatan pemikiran tentang gagasan
kedaulatan rakyat. Pergulatan pemikiran tersebut berujung dengan diubahnya
ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Awalnya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”. Kemudian diubah pada saat perubahan ketiga UUD 1945
sehingga rumusannya menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. MPR yang pada mulanya dipahami sebagai
pemegang mandat sepenuhnya dari rakyat atau pemegang kedaulatan rakyat yang
tertinggi,31 bergeser ke arah pemahaman bahwa MPR tidak lagi sebagai pemegang
mandat tunggal yang tertinggi, melainkan mandat itu dilaksanakan berdasarkan
Undang-Undang Dasar.
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di
Indonesia:Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik
Dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi,1945-1980-an, Disertasi Pada Fakultas Pasca
Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 61.
31 Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Asosiasi
Pengajar HTN dan HAN dan In-TRANS, Malang, 2004, hlm. 3
30
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 27
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Dengan demikian, mandat rakyat yang semula hanya dijalankan oleh MPR
kini dijewantahkan kepada cabang-cabang kekuasaan Negara lain berdasarkan
UUD, termasuk didalamnya oleh MPR sebagai salah satu lembaga penyelenggara
kekuasaan negara. Alasan perubahan ini menurut Jimly Asshiddiqie dikarenakan
rumusan Pasal 1 Ayat (2) sebelum perubahan memuat ketentuan yang tidak
jelas, dengan adanya ungkapan “…dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat” maka ada yang menafsirkan bahwa hanya MPR sajalah yang melakukan
kedaulatan rakyat sehingga DPR yang merupakan wakil rakyat dipandang
tidak
melaksanakan kedaulatan rakyat.32 Selain itu juga terdapat beban historis
bahwa dulu MPR hanyalah lembaga yang melanggengkan kekuasaan Presiden semata
dimana pada zaman orde baru Presiden dapat menghegemoni selama 32 Tahun,
maka dari itu timbul sentimen negatif kepada MPR sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat secara tunggal apakah benar MPR telah melaksanakan kehendak rakyat yang
hakiki? Dan jawabannnya adalah tidak, karena MPR telah menutup matanya dengan
tidak mendengarkan aspirasi dan keresahan masyarakat Indonesia kala itu. Maka dari
itu timbulah suatu gagasan bahwa sentral kedaulatan rakyat itu perlu dilaksanakan
langsung oleh rakyat dengan dibantu oleh lembaga-lembaga negara lain seperti MPR,
DPR, DPD, dan lain-lain.
Perubahan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini menunjukan terjadinya
perubahan gagasan yang begitu mendasar tentang kedaulatan rakyat dalam UUD
1945. Terjadi pergeseran yang sangat fundamental tentang siapa sebenarnya yang
bertindak sebagai pemegang supremasi atau kekuasaan tertinggi. Sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh Soewoto Mulyosudarmo, perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 merupakan perubahan menuju sebuah kondisi yang mencerminkan keadaan
yang sebenarnya tentang pengaturan kekuasaan tertinggi, dalam artian kedaulatan di
negara Indonesia.33 Di mana pemilik kekuasaan tertinggi dalam Negara sejatinya
adalah rakyat yang pelaksanaannya harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar.
Selaras dengan perubahan gagasan kedaulatan dalam UUD 1945, hal ini juga
diiringi dengan perubahan terhadap cara rakyat dalam memberikan mandat
Baca Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum
Nasional, Sambutan Pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) Oleh Komisi Hukum
Nasional (KHN) Republik Indonesia, Jakarta, 21 November 2005.
32
33
Soewoto Mulyosudarmo, op.cit., hlm. 4.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 28
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
terhadap penyelenggara kekuasaan negara. Salah satu contoh yang dapat
dikemukan bahwa dahulu Presiden sebagai penyelenggara negara dipilih oleh
MPR sebagai mandataris, sedangkan saat ini Presiden dipilih langsung oleh rakyat,
tidak lagi oleh MPR. Itu artinya saat ini Presiden menjalankan tugasnya bukan
sebagai mandataris MPR, melainkan sebagai mandataris rakyat yang sejatinya harus
memiliki orientasi untuk mensejahteraan rakyatnya.
Begitu juga mandat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara kekuasaaan
negara lainnya, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Semua anggota DPR dan DPD dipilih langsung melalui pemilihan
umum. Saat ini tidak seorangpun anggota DPR dan DPD dipilih dengan cara
penunjukan sebagaimana pernah terjadi pada masa-masa sebelum reformasi, di
mana anggota DPR, DPRD I dan DPRD II yang berasal dari ABRI tidak
dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum melainkan ditunjuk oleh
Presiden. Sama halnya dengan Presiden, saat ini anggota DPR dan DPD yang
terpilih merupakan representasi dari rakyat Indonesia, hal ini merupakan wujud
kedaulatan rakyat yang hakiki bahwa legislator dipilih dari dan untuk rakyat itu
sendiri sehingga diharapkan program-program yang dibuatnya berorientasi pada
kemakmuran rakyat.
Manifestasi dari konsep kedaulatan rakyat adalah harus terdapat jaminan
bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan
melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.
Pelaksanaan keterlibatan penuh
rakyat
tersebut
haruslah
diorganisasikan
menurut Undang-Undang Dasar sesuai dengan dengan ketentuan UUD 1945,
tidak lagi diorganisasikan melalui institusi kenegaraan Majelis Permusyawaratan
Rakyat layaknya ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan.34
Maka dari itu terdapat dua ciri utama perwujudkan konsep kedaulatan rakyat
di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 :
1. Kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu sekarang tidak lagi
dilembagakan hanya pada satu subjek (ordening subject) yaitu MPR sebagai
penjelmaan tunggal lembaga negara. Dalam rumusan yang baru, semua
34
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, op.cit., hlm. 292.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 29
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
lembaga negara baik secara langsung ataupun tidak langsung juga dianggap
sebagai penjelman dan dibentuk dalam rangka pelaksanaan kedaulatan
rakyat.
2. Pengharusan pelaksanaan tugas menurut ketentuan undang-undang dasar
tidak hanya satu lembaga saja, yakni MPR, melainkan semua lembaga
negara diharuskan bekerja menurut ketentuan undang-undang dasar.
3. Rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan
melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.
Sehubungan dengan subjek pemegang kedaulatan rakyat tidak lagi terkait
hanya dengan satu subjek, itu artinya semua lembaga negara atau jabatan publik
baik secara langsung atau tidak langsung juga dianggap sebagai penjelmaan dan
dibentuk dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat. Secara langsung penjelmaan
dan pelaksanaan kedaulatan rakyat itu dilakukan dengan cara pemilihan umum
langsung untuk menetukan pemegang jabatan publik pada suatu lembaga negara
sedangkan secara tidak langsung adalah dengan perantara wakil rakyat dalam hal ini
Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh karena semua lembaga negara atau jabatan publik pada hakikatnya
adalah jabatan yang memperoleh legitimasi dari rakyat yang berdaulat, maka
bukan saja tugas dan wewenang jabatan itu harus diselenggarakan menurut
undang-undang dasar, akan tetapi juga harus ada mekanisme pertanggungjawaban
kepada rakyat melalui prinsip akuntabilitas, transparansi, dan cara kerja yang
partisipatoris. Setiap warga negara harus mendapatkan akses yang seluas-luasnya
terhadap kinerja lembaga-lembaga negara, dan secara berkala lembaga-lembaga
negara yang bersangkutan diharuskan menyampaikan laporan terbuka kepada
masyarakat, dan yang tidak kalah pentingnya adalah kebebasan pers untuk
mendapatkan informasi dan memberikan informasi itu kepada masyarakat luas.35
Selain itu yang menjadi karakteristik khas kedaulatan rakyat di Indonesia
adalah terkait pemaknaan kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 yang berbeda
dengan negara liberal pada umumnya. Sebabnya, pertama kedaulatan rakyat d i
Indonesia menurut UUD 1945 tidak hanya menyangkut bidang politik, tetapi
35
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, op.cit., hal. 295.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 30
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
juga kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dan bahkan
Soekarno,
prinsip
ini
disebutkan
sebagai
2015
sosial.36 Menurut
sosio-demokrasi atau demokrasi
yang berdiri di kedua kakinya. P a d a bentuk demokrasi seperti ini rakyat
menjadi berdaulat dalam bidang politik dan juga dalam bidang ekonomi. Itu
alasannya mengapa UUD 1945 selain memuat ketentuan-ketentuan dasar mengenai
sistem politik juga memuat dasar-dasar mengenai sistem ekonomi. Dengan kata
lain, UUD 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi dalam ketatanegaraan
Republik Indonesia harus menjadi acuan dan pegangan bagi penyelenggara negara
dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam rangka menjalankan tugas
kenegaraan dan pemerintahan. Kebijakan politik, kebijakan ekonomi, dan
bahkan kebijakan sosial budaya harus mengacu pada ketentuan hukum dasar atau
ketentuan hukum tertinggi yaitu UUD 1945. UUD 1945 adalah cerminan
kehendak politik seluruh rakyat yang berdaulat dalam negara
Republik
Indonesia. Kedaulatan rakyat itu tidak hanya menyangkut aspek politik
kehidupan bernegara, tetapi juga dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dalam
bernegara.
Kedua, kedaulatan rakyat di Indonesia merupakan tindak lanjut dari
kedaulatan Tuhan. Mengapa? Karena jika kedaulatan dipahami sebagai
konsep mengenai kekuasaan tertinggi, maka konsep megnenai ke-Maha
Kuasaan Tuhan yang dirumuskan dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945
adalah juga merupakan konsep kekuasaan tertinggi. Dalam alinea ketiga
Pembukaan UUD 1945, digunakan istilah “atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa” sedangkan dalam rumusan Pancasila yang tertuang dalam alinea
ke-empat UUD 1945 terdapat istilah yang digunakan adalah “Ke-Tuhanan
Yang Maha Esa”. Demikan pula perkaraan yang digunakan dalam rumusan
Pasal 29 ayat (1) adalah “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Itu artinya dalam
UUD 1945 ini diakui juga konsep mengenai Kemaha Esaan Tuhan secara
sekaligus. Semua ini menunjukan bahwa UUD 1945 mengandung pengakuan
yang sangat jelas dan tegas mengenai cita ke-Tuhanan dan keagamaan bangsa
Indonesia dalam konteks kehidupan kenegaraan.
36
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, op.cit., hlm. 296.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 31
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Jika dihubungkan dengan pandangan Islam mengenai negara, lebih
khususnya mengenai konsep kedaulatan, maka kedua konsep tersebut
sejatinya tidak terbedakan dan tidak terdikotomikan. Karena itu sangatlah
tepat jika dikatakan bahwa UUD 1945 itu, selain menganut ajaran kedaulatan
rakyat juga menganut ajaran kedaulatan tuhan. Bahkan seperti dikemukakan
oleh Ismail Sunny, UUD 1945 menganut ajaran kedaulatan Tuhan,
Kedaulatan Rakyat dan
Kedaulatan
Hukum
sekaligus.
Lebih lanjut
menurutnya bahwa kedaulatan itu petama-tama pada hakikatnya dipegang
oleh Allah S.WT. Dalam kehidupan kenegaraan, kedaulatan tuhan terwujud
dalam kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang kemudian memegang
dan
melaksanakan kedaulatan itu melalui mekanisme kenegaraan. Artinya,
kedaulatan rakyat Indonesia bedasarkan UUD 1945 itu pada akikatnya adalah
“Penyelnggaraan kedaulatan tuhan oleh seluruh rakyat yang merupakan
hamba-hambat
tuhan”.
Pelaksanaann
perintah-perintah
Tuhan
dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimusyawarahkan oeh
rakyat melalui perantara wakil-wakilnya. Hasil permusyawaratan rakyat itu
merupakan kesadaran hukum rakyat yang ditetapkan oleh MPR dalam bentuk
ketetapan-ketetapannya, dan oleh DPR bersama-sama Presiden dalam bentuk
Undang-Undang.
2.2.2 Contoh pengamalan kedaulatan rakyat di Indonesia
Dalam praktek ketatanegaraan sehari-hari, terdapat dua teori yang lazim
diterapkan terkait hubungan antara rakyat dengan kekuasaan negara, yaitu teori
demokrasi langsung (direct democracy) dan teori demokrasi tidak langsung (representative
democracy). Artinya kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dimana
rakyatlah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya. Namun, di zaman
modern sekarang ini dengan tingkat kompleksitas permasalahan yang sangat tinggi
bentuk semacam ini nyaris tidak lagi dapat dilakukan. Salah satu alasannya karena
Rakyat dalam suatu negara memiliki kuantitas yang sangat banyak, sehingga hampir
mustahil apabila semua rakyat itu memegang jabatan penting untuk melaksanakan
kedaulatannya secara langsung. Karena itu, hal yang lebih populer dewasa ini
adalah
ajaran
demokrasi
yang tidak
langsung
atau
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
demokrasi perwakilan
Page 32
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
(representative democracy).37 Konsep utama dari kedaulatan rakyat adalah Rakyat terlibat
penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan
serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.
Kedaulatan rakyat Indonesia berdasarkan ketentuan undang-undang dasar
(constitutional democracy) diselenggarakan secara langsung dan melalui sistem
perwakilan. Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaaan yang
tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai pemegang kekuasaan
legislatif, Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, dan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan
yudikatif. Dalam menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur
ketentuan-ketentuan hukum berupa undang-undang dasar dan undang-undang
dan juga dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan,
dilangsungkanlah suatu perlembagaan kedaulatan rakyat berdasarkan sistem
perwakilan yang menghadirkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah. Bahkan juga di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota, perlembagaan
kedaulatan rakyat itu disalurkan melalui sistem perwakilan sehingga menghadirkan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.38 Pada hakikatnya dalam ide kedaulatan rakyat
itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan
segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di
bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Itu artinya UUD 1945 dengan segala
ketentuannya merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat, baik yang dilaksanakan
secara langsung (direct democracy)
langsung
atau
maupun
yang
dilaksanakan
secara
tidak
perwakilan (representative democracy) melalui lembaga perwakilan
rakyat. Oleh sebab itu pula, organ atau lembaga-lembaga negara yang melaksanakan
fungsi kekuasaan negara dianggap melaksanakan amanat kedaulatan rakyat dan
tunduk pada kedaulatan rakyat berdasarkan ketentuan undang-undang dasar.
Hanya saja dalam proses menjalankan kedaulatan rakyat itu, semua lembaga negara
haruslah tunduk pada ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai
implikasi dari supremasi konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD
37 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia,
(Jakarta : Ichtiar Baru- Van Hoeve, 1994), hlm. 73.
38 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press, 2005),
hlm.59.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 33
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
1945. Tidak hanya itu saja, segala ketentuan yang berada dalam UUD 1945
sejatinya adalah amanat pelaksanaan kedaulatan rakyat namun tetap tidak dapat
bertentangan dengan kedaulatan rakyat itu sendiri. Artinya apabila rakyat
menghendaki untuk merubah ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945, maka
kehendak rakyat ini harus dipandang sebagai kehendak hukum ataupun kedaulatan
di bidang hukum (volunte general) yang harus disalurkan dan tidak boleh
dikesampingkan karena UUD 1945 juga telah memberi peluang untuk melakukan
perubahan terhadapnya.
Karena hal tersebut negara Indonesia memiliki badan atau lembaga
perwakilan rakyat yang bertindak sebagai pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat
itu dalam kekuasaan negara sehari-hari. Pengisian jabatan keanggotaan badan atau
lembaga perwakilan itu biasanya dilakukan melalui mekanisme Pemilihan Umum
yang menghimpun dan mengorganisasikan aspirasi, pendapat, dan suara rakyat
yang berdaulat itu. Oleh karena itu, sistem demokrasi atau paham kedaulatan
rakyat dewasa ini selalu terkait dengan pemilihan umum dan partai politik,
apalagi dalam sistem konstitusional berdasarkan undang-undang dasar, pelaksanaan
kedaulatan rakyat harus disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur
konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy)
dan hal ini terwujud dalam pemilihan umum dan partai politik.39
Bentuk penyaluran kedaulatan rakyat lainnya yaitu melalui pelaksanaan hak
atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebebesan
informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi
lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar.40
2.3
Kedaulatan Rakyat di Saudi Arabia
2.3.1 Pengaturan Konstitusi Saudi Arabia tentang kedaulatan
rakyat
Negara Saudi Arabia memiliki konstitusi yang dibentuk pada tahun 1992 dan
telah di amandemen pada tahun 2005. Berbicara dalam konteks kedaulatan tidak
39
40
Ibid., hlm. 58
Ibid., hal.59.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 34
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
dengan mudahnya langsung dapat diidentifikasi bahwa Saudi Arabia adalah negara
yang menganut teori kedaulatan Tuhan, ataupun teori kedaulatan Rakyat secara
mutlak karena diperlukan suatu tinjauan kritis dalam ketentuan normatif dan
pelaksanaan di negara Saudi Arabia selama ini.
Tidak seperti negara Indonesia yang secara tegas menyatakan bahwa konsep
kedaulatan yang dianut adalah kedaulatan Rakyat, tetapi di negara Saudi Arabia di
dalam Pasal 1 Konstitusinya dinyatakan bahwa The Kingdom of Saudi Arabia is a
Sovereign Arab Islamic State. Itu artinya Negara Saudi Arabia tidak dengan tegas
menyatakan bahwa menganut teori Kedaulatan Rakyat maupun Teori Kedaulatan
Tuhan secara sekaligus, melainkan menyerahkannya kepada aspek-aspek kedaulatan
dari perspektif Islam. Hal ini pun dipertegas dalam konstitusi tersebut bahwa dasar
hukum tertinggi di Saudi Arabia adalah Al-Quran dan Sunnah. Hal ini sekaligus
menepis pandangan yang menyatakan bahwa Saudi Arabia tidak memiliki konstitusi
tertulis secara khusus, karena pada dasarnya Saudi Arabia memiliki konstitusi khusus
yang telah diamandemen pada tahun 2005, dimana dalam konstitusi tersebut
dinyatakan bahwa Al-Quran dan Sunnah adalah dasar hukum tertinggi. Alquran-dan
Sunnah Rasul sebagai sumber dasar hukum tertinggi itu artinya terdapat undangundang yang menjadi bentuk derivatifnya. Karena secara hierarkis kedua dasar
hukum itu dikenal dengan istilah The Basic Law of Government atau hukum dasar
pemerintahan, yang dikenal di Indonesia sebagai batang tubuh UUD 1945. Maka dari
itu jika dikaitkan dengan jenjang norma hukum dalam suatu negara milik Hans
Kelsen, maka di Saudi Arabia hukum tertingginya adalah Al-Quran dan Sunnah,
kemudian disusul dengan hukum dasar atau undang-undang pada peringkat kedua
dan ketiga, dan diakhiri oleh dekrit raja pada tingkatan terakhir. Dimana peraturanperaturan dibawahnya tersebut harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang
terdapat pada Al-Quran dan Sunnah Rasul.
Jika ditelaah lebih lanjut, dalam Islam intinya kedaulatan ada di tangan syara’,
akan tetapi kekuasaanya ada di tangan ummat. Itu artinya sebagai pemegang
kedaulatan, khalifah hanya bertugas menerapkan Islam kepada umatnya, bukan
menjadi penentu standar benar salahnya suatu perbuatan. Menurut Penulis, spektrum
utama dari kedaulatan di Saudi Arabia adalah kedaulatan Tuhan yang diwujudkan
dengan kedaulatan rakyat.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 35
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Karena di Negara Saudi Arabia, kekuasaan tertnggi ada di tangan Allah S.W.T
yang diwujudkan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada di Al-Quran dan
Sunnah. Allah-lah yang dipandang sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan
manusia di dunia dalam urusan bernegara, dimana manusia (rakyat) hanyalah
pelaksana dari kehendank Tuhan. Namun yang perlu digaris bawahi, bahwa
kedaulatan Tuhan di negara Saudi Arabia tidak sebegitu runyamnya sebagaimana yang
dikatakan oleh filsuf barat. Dimana filsuf-filsuf barat memiliki sentimen negatif
bahwa praktik teokrasi di suatu negara hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan
belaka. Bahkan Agama dan Tuhan dengan mudah diperalat dalam rangka
keserakahan hawa nafsu manusia akan kekuasaan, akan kekayaan, dan pelampiasan
nafsu seks secara tanpa kendali. Jika sang Raja bertindak sewenang-wenang, maka
kesewenang-wenangannya itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga, karena
itu merupakan titah raja yang identik dengan titah Tuhan.
Kekhawatiran konsep barat tersebut harus dibuang jauh-jauh karena pada
dasarnya filsuf barat mencoba mensekulerasikan pandangan manusia bahwa antara
agama dan negara tidak dapat di persatukan. Sejatinya kekhawatiran tersebut tidak
benar adanya, karena di negara Saudi Arabia yang spektrum utamanya adalah
kedaulatan tuhan justru lebih baik ketimbang negara-negara lain di dunia. Dimana
negara Saudi Arabia dengan tegasnya ingin mengamalkan prinsip-prinsip Islam yang
membawa kebajikan kepada para ummat. Lagipula tidak bisa dibenarkan pandangan
dari filsuf barat tersebut, karena kesewenang-wenangan raja yang digambarkan oleh
mereka sejatinya dilarang oleh agama Islam itu sendiri.
Namun demikian, sekali lagi, patut diperhatikan oleh para ahli bahwa doktrin
mengenai kedaulatan tuhan atau ‘theocracy’ itu, sebenarnya, ditolak dalam sejarah
karena kelemahannya yang mewujudkan diri dalam gagasan kedaulatan raja.
Kedaulatan Tuhan atau teokrasi itu, apabila diwujudkan dalam sistem kerajaan,
terbukti telah menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangwenangan. Oleh karena itu, sistem yang demikian ini dapat dipandang tidak relevan
lagi untuk dipertimbangkan, meskipun masih tetap banyak juga negara yang
menerapkannya sampai sekarang.
Namun demikian, apabila konsep teokrasi atau prinsip Kedaulatan Tuhan itu
tidak diwujudkan dalam sistem kerajaan, tentu tetap dapat dipertimbangkan
relevansinya di zaman modern sekarang ini. Misalnya yang ada di negara Saudi Arabia
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 36
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
dimana paham Kedaulatan Tuhan itu dapat diwujudkan dalam paham Kedaulatan
Rakyat, atau dapat pula diimplementasikan melalui paham Kedaulatan Hukum.
Kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa tetap diakui, tetapi perwujudannya dalam
praktik dipandang menjelma dalam keyakinan setiap rakyat yang berdaulat.
Keyakinan akan ke-Maha-Kuasaan Tuhan itu justru menimbulkan sikap kesetaraan di
antara sesama manusia yang sama-sama berdaulat. Setiap manusia hanya tunduk
kepada Tuhan, dan bukan kepada manusia.
Di Saudi Arabia Kedaulatan Rakyat merupakan penjelmaan dari Kedaulatan
Tuhan. Itu artinya Rakyat dianggap sebagai unsur yang berdaulat karena prinsipprinsip yang ada dalam Kedaulatan Tuhan. Kedaulatan Rakyat pada intinya adalah
pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat
(demokrasi). Bahkan terminologi demokrasi sejatinya berawal dari praktik
ketatanegaraan yang terjadi di Negara Arab pada abad ke-7 silam. Dimana dalam
Piagam Madinah terwujud kedaulatan rakyat dengan sistem pemilihan kepala negara
tanpa melalui prinsip hubungan darah, mekanisme permusyawaratan dan perwakilan
untuk pengambilan keputusan atas masalah-masalah bersama.
2.3.2 Contoh Pengamalan Kedaulatan Rakyat di Saudi Arabia
1. Pada dasarnya Rasulullah S.WA tidak pernay menyebut negara yang ingin dibangun
harus
berbentuk
republik,
kerajaan,
atau
lainnya.
Rasullulah
hanya
mengamanatkan bahwa Islam harus diletakan sbagai dasar negara kepada para
penerusnya (Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib). Ini menunjukkan bahwa, bentuk satu Negara diserahkan kepada rakyat
dan pemerintahannya asalkan harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
2. Kedaulatan Rakyat di Saudi Arabia tidak lebih baik ketimbang yang ada di
Indonesia, karena pada prinsipnya pemerintahan Kerajaan Arab Saudi ialah
monarki mutlak. Konsekuensi logisnya tertuang dalam Undang-Undang Asas
yang digunakan sejak tahun 1992 yang menyatakan bahwa Arab Saudi merupakan
satu kerajaan yang diperintah oleh anak-anak dan cucu cicit Raja Abdul Aziz al
Saud, dan Alqur’an merupakan perlembagaan negara itu, yang diperintah
mengikuti undang-undang Islam (Syari’ah). Itu artinya pemilihan Kepala Negara
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 37
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
dalam hal ini Raja tidak mengikutsertakan langsung peran dari rakyat untuk
memilih. Pengangkatan Raja tidak didasarkan pada pemilihan rakyat, padahal
dalam konsep kedaulatan rakyat maka rakyat Rakyat terlibat penuh dalam
merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta
menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.
3. Di Negara Saudi Arabia pembentukan partai dan pemilihan umum dilarang,
padahal sejatinya kedua instrumen tadi adalah hal yang penting dalam negara yang
menganut teori kedaulatan rakyat karena dengan adanya partai politik, warga
negara yang memiliki kesamaan visi dan misi dapat mewujudkan cita-citanya
dengan cara yang diyakininya dengan mendapatkan kekuasaan. Kemudian dengan
Pemilu masyarakat dapat berperan serta langsung dalam memilih wakil-wakil yang
ia percayai, hal ini merupakan perwujudan nyata bahwa rakyat dapat
berkontribusi langsung dalam pergantian tongkat estafet kepemimpinan.
Meskipun dalam
Perkembangan terkini terdapat desakan reformasi Amerika
Serikat agar terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan kerajaan Arab Saudi,
atas pengaruh tersebut pemerintahan kerajaan Arab Saudi mengumumkan akan
melakukan pemilu nasional waktu dekat untuk memilih wakil-wakil rakyat setelah
sebelumnya menyetujui pembentukan komite hak asasi manusia non pemerintah
pada 8 Oktober 2007.
4. Saudi Arabia memberikan keleluasaan dalam membentuk gerakan-gerakan sosial
yang merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat, salah satunya adalah
memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk memberikan kritik dan saran
kepada Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak.
5. Peradilan di Saudi Arabia ditujukan untuk melindungi hak-hak rakyat, baik yang
berasal dari Allah maupun dari hak manusia. Hal ini merupakan langkah nyata
pemerintah
dalam
melihat
pentingnya
keberadaan
dari
rakyat
dengan
memperhatikan persoalan-persoalan warga negara yang terhalang haknya, baik
menyangkut dengan hak-hak keperdataan maupun hak-hak publik. (bandingkan
Sayid Sabiq, 1988: 19-20).
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 38
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Konsep Kedaulatan Tuhan saat ini dipandang memiliki konotasi negatif
akibat sentimen-sentimen dari pemikiran Barat. Padahal konsep teologis barat
memiliki permasalahan pada orangnya (dalam arti rajanya), bukan karena
ajaran tuhannya.
2. Dalam perspektif Islam konsep Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Rakyat
sejatinya bersifat integral, dimana keduanya tidak dapat didikotomikan dan
dinegasikan satu dengan yang lainnya.
3. Kedaulatan Rakyat berarti pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh
rakyat,untuk rakyat, dan bersama rakyat. Dimana Rakyat terlibat penuh dalam
merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta
menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.
4. Indonesia memiliki konstitusi tertulis yaitu UUD 1945 setelah amandemen,
sedangkan saudi arabia juga memiliki konstitusi tertulis yang dibuat pada
tahun 1992 dan diamandemen pada tahun 2005. Dimana berdasarkan
konstitusi Saudi Arabia, Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber hukum
tertinggi di negara tersebut.
5. Baik Indonesia dan Saudi Arabia di dalam Konstitusinya sejatinya menganut
Kedaulatan Tuhan yang diwujudkan dengan Kedaulatan Rakyat.
6. Implementasi Kedaulatan Rakyat di Indonesia dimanifestasikan dengan
adanya partai politik, pemilihan umum, cabang kekuasaan yang bertanggung
jawab dengan rakyat, adanya kebebasan pers.
7. Implementasi Kedaulatan Rakyat di Saudi Arabia diwujudkan dengan adanya
kritik langsung kepada pemerintah, pengadilan yang berorintasi pada hak
rakyat, dan adanya wacana untuk mengadakan pemilihan umum
8. Pengamalan Kedaulatan Rakyat di Saudi Arabia tidak lebih baik ketimbang
Indonesia. Karena pada dasarnya spektrum utama di Saudi Arabia adalah
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 39
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Kedaulatan Tuhan sehingga titik utamanya adalah bagaimana cara
menjalankan
syariat-syariat
Allah,
hal
ini
terbukti
dengan
tidak
diperbolehkanyna partai politik dan pemilihan umum, selain itu Raja dipilih
tanpa adanya partisipasi dari Rakyat. Sedangkan di Indonesia, Rakyat lebih
mendapatkan tempat untuk berkontribusi langsung dalam pemerintahan
dengan ikut serta dalam pemilihan umum.
3.2
Saran
Dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat itu di lapangan,
diperlukan mekanisme yang secara substansial menjamin penyaluran aspirasi,
pendapat, kehendak rakyat yang berdaulat itu. Mengingat kekuasaan yang pertama
dan yang paling utama adalah bersumber kepada kekuasaan tuhan, maka dari itu
sejatinya tuhanlah yang berdaulat, bukannya manusia, sehingga dalam pelaksanaan
kedaulatan rakyat sejatinya harus sesuai dengan syariat-syariah Allah S.W.T. Hal ini
dapat diwujudkan dengan cara :
1. Melaksanakan Pemilihan Umum yang jujur dan adil sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam.
2. Asas, Tujuan, dan Kegiatan Partai Politik tidak hanya berorientasi pada
rakyat, akan tetapi mempertimbangan dan menyiapkan akhirat juga.
3. Medorong terciptakan wakil rakyat dan pemimpin-pemimpin yang
berkualitas dan berintegritas, yang tidak hanya menjalankan programprogram, tapi juga mengajak ummatnya untuk hidup sesuai dengan
perintah Allah S.W.T
4. Indonesia dapat meniru Saudi Arabia yang dengan konsisten dari awal
pembentukan negaranya menjalankan perintah-perintah Allah S.WT
tanpa ada rasa ragu sedikitpun.
5. Indonesia sebagai negara yang bermayoritas muslim sudah saatnya
mendasari aktivitas kesehariannya dengan prinsip-prinsip Islam yang
sesuai dengan kondisi masyarakat yang heterogen
6. Kedaulatan Rakyat harus dimaknai bahwa Rakyat terlibat penuh dalam
merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan
serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 40
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Z.A. Islam dan Parlementarisme. Jakarta : Pustaka Antara, 1950.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Cet. 6. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
al-Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan [Al Khilafah wal Mulk]. Diterjemahkan
oleh Muhammad Al Baqir. Cet. 2. Bandung: Penerbit Mizan, 1988.
Al-Mawrid. A Modern English Arabic Dictionary. Dar el-‘Ilm Lil Malayen, 1997.
Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam : Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan
Sistem Islam. Jakarta : Gema Insani, 2004
Asshiddiqie, Jimly. Ibnu Khaldun : Pribadi, Pemikiran, dan Pengaruhnya di Indonesia.Jakarta
: Khalaqah Ilmiah, 1985.
____________. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta : Gema Insani Pers, 1995.
____________. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta :
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
____________. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di
Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru- Van Hoeve, 1994.
____________. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Konstitusi Press,
2005.
Asnawi, Eddy. “Teori Bernegara Dalam Hukum Islam.” Jurnal Hukum Respublica.
(No. 4 Vol. 2 Tahun 2003;231-250). Hlm. 231-250.
Azhary, Tahir. “Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini”, Jakarta : Disertasi Universitas Indonesia, 1991.
Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum. Jakarta : Kencana, 2005.
Dahlan, Abdul Aziz. Et al. Ed. Ensiklopedi Hukum Islam 3. Cet. 7. Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 2006.
Fadl, Khaled Abou El. Islam dan Tantangan Demokrasi. New Jersey : Princeton
University, 2004.
Hasjmy, A. Dimana Letaknya Negara Islam.Surabaya : Bina Ilmu, 1984.Montesquieu,
Baron De. The Spirit of Laws. New York : Hafner, 1949.
Kusnarsi, Moh. dan Bintan Saragih, S.H. Ilmu Negara, cet.3. Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1988.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik : Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin.
Jakarta : Gema Insani, 1996.
Muslehuddin, Muhammad. Philosophy of Islamic Law and the Orientalists. Lahore : Islamic
Publications1980.
Ramaswamy, Sushila. Political Theory : Ideas and Concepts. New Delhi : Asoke K, 2015.
Ridwan. Paradigma Politin NU : Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik . Purwokerto :
Pustaka Pelajar, 2004.
Scott, James Brown. Law, The State, and The International Community.New Jersey :
Union, 2002.
Soehino. Ilmu Negara, cet. 1. Yogyakarta : Liberty, 1986
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 41
Rafli Fadilah Achmad - 1206246313
2015
Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI/ Ilmu Negara,ed.revisi.Depok : Penerbit FH UI ,2014.
Thaba, Abdul Azis. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta : Gema Insani,
1996.
Wahjono,Padmo. Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, cet.1.Jakarta : Ind-Hill-Co, 1996.
Negara Dalam Perspektif Hukum Islam
Page 42
Download