Faculty of Law – University of Indonesia 2015 NAMA : Rafli Fadilah Achmad NPM : 1206246313 KODE SOAL : UAS - A MATA KULIAH : Negara dalam Perspektif ____________________..Hukum Islan DOSEN : Dr. Hamid Chalid, S.H., ____________________..L.L.M. Tanggal : Sabtu, 30 Mei 2015. 1. Bandingkanlah Konstitusi Madinah dengan Salah Satu Konstitusi Negara yang Ada Saat ini. Dalam menjawab soal ini terdapat banyak aspek yang dibandingkan oleh Penulis. Namun sebelumnya, Penulis memilih untuk membandingkan Konstitusi Madinah dengan Konstitusi yang ada di negara Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen. Itu artinya, perbandingan yang dilakukan oleh Penulis hanya sebatas pada Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku di Indonesia saat ini, bukannya dari Konstitusi RIS maupun Undang-Undang Dasar Sementara. Sebelum Penulis memperbandingkan Konstitusi Madinah dengan UUD 1945 setelah Amandemen, ada baiknya Penulis memaparkan terlebih dahulu sejarah dari Konstitusi Madinah. Setiba Rasul di Madinah, ia dihadapkan pada persoalan bagaimana cara menata masyarakat yang plural. Pada saat itu, penduduk Madinah terdiri atas (1) Muslim pendatang dari Mekah (kaum Muhajirin), (2) Muslim Madinah (kaum Anshar) yang terdiri atas suku Aus dan suku Khasraj, yang telah memeluk Islam dalam tahap awal, bahkan sejatinya ada yang diam-diam memusuhi Rasullulah. NAPHI – SOAL A Page 1 Faculty of Law – University of Indonesia 1 2015 (3) Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menyembah berhala, tetapi kemudian masuk Islam, (4) Orang-orang Yahudi yang terbagi dalam tiga suku utama, yakni bani Qainuga, bani Nadhir, bani Quraizhi.2 Belum genap dua tahun setelah hijrah dan dua tahun sebelum perang badar, yaitu tepatnya pada tahun 622 M di kota Yathrib, Rasullulah mengeluarkan Konstitusi Madinah yang ditujukan kepada kaum Muhajirin, Anshar, dan kaum Yahudi. Piagam ini sering pula disebut dengan Dustur Madinah, UUD Madinah, atau Piagam Madinah.3 Maka dari itu sejatinya Konstitusi ini merupakan karya Muhammad yang berstatus sebagai pendatang dan pada mulanya hanya diakui oleh kaum Muhajirin dan Anshar, sedangkan pada saat itu penduduk Madinah belum banyak yang memeluk Islam.4 Ada dua landasan fundamental kehidupan bernegara yang diatur dalam Konstitusi Madinah, yaitu : a. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku. b. Hubungan antara komunitas muslim dan nonmuslim didasarkan prinsip, bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama.5 Menurut berbagai ahli sejarah, piagam ini adalah naskah otentik yang tidak perlu diragukan lagi keasliannya.6 Secara sosiologis, piagam ini merupakan antisipasi dan jawaban terhadap realitas sosial masyarakatnya. 7 Dimana kondisi Madinah saat itu teramat heterogen, sehingga perlu ada jaminan memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan aktivitas dalam bidang sosial 1 W. Motgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman, (London : Oxford Press University, 1969), hlm.85. 2 Zafrulla Khan, Muhammad Seal of the Prophets, (London : Rourledge & Kegan Paul, 1980), hlm.88 3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : UI Press, 1999), hlm.10-15 4 Djaka Soetappa, Ummah, Komunitas Religius, Sosial dan Politik dalam Al-Quran (Yogyakarta, : Duta Wacana University Press, 1978), hlm.89 5 Ibid., hlm. 15-16 6 Muhammad Hamiddulah, Sahifah Hamman Ibn Munnabbih, (Paris : Pulications of Centre Culturla Islamique, 1979), hlm.25-26 7 A.J Wnsinck, Muhammad and Jews at Maden (t.tt : Freibug in Breisgan, 1975), hlm.56 NAPHI – SOAL A Page 2 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 dan ekonomi. Piagam ini digadang-gadang sangatlah bersifat revolusioner, karena menentang segala tradisi kesukuan orang-orang Arab pada saat itu. Dimana kaum Muhajirin dan Anshar disebut sebagai satu umat yang berhadapan dengan umat lainnya atau ummatun wahidah min duni an-nas, itu artinya terdapat usaha dari Muhammad S.A.W untuk membentuk ummah dengan pengertian definitif.8 Secara strategis, Konstitusi ini bertujuan untuk menciptkan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya.9 Dengan demikian, sejatinya Konstitusi Madinah merupakan alat legitimasi Muhammad S.A.W untuk menjadi pemimpin yang bukan hanya bagi kaum muslimin saja (Muhajirin dan Anshar), tetapi juga seluruh penduduk Madinah. Itu artinya Konstitusi Madinah disebut sebagai konstitusi karena fungsinya sebagai dokumen resmi yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan dan memiliki prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan Umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suat masyarakat dan pemerntahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah yang majemuk. UUD 1945 juga merupakan suatu konstitusi, lebih khususnya adalah konstitusi Negara Republik Indonesia yang disahkan dan ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Akan tetapi sesuai perkembangan zaman, konstitusi Indonesia tercatat sempat beberapa kali diubah menjadi Konstirusi RIS, UUDS, dan juga diamandemen pada tahun 1999-2002. UUD 1945 juga berfungsi sebagai konstitusi karena merupakan sumber hukum tertinggi yang melandasi tindakan seseorang dalam berbangsa dan bernegara, didalamnya terkandung hal-hal yang bersifat fundamental seperti hubungan antara lembaga negara dengan lembaga negara, hubungan antara pemerintah dan warga negara, serta jaminan hak asasi manusia. Setelah penjabaran mengenai latar belakang Konstitusi Madinah diatas, sampailah Penulis pada bagian terpenting dalam jawaban soal ini, yaitu mengkomparasikan Konstitusi Madinah dengan UUD 1945 setelah amandemen. Memperbandingkan keduanya merupakan hal yang penting karena dari 8 Juwairiyah Dahlan, Piagam Madinah dan Konsep Ummah, http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg02993.html diakses pada 31 Mei 2015. hlm.4 9 Syafii Ma’Arif, Islam dan Politik : Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, (Jakarta : Gema Insani, 1996), hlm. 149-164. NAPHI – SOAL A Page 3 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 perbandingan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan apakah terdapat perbedaan dan kesamaan diantara keduanya,10 hal ini tentunya akan memperluas khasanah pengetahuan Penulis dan Pembaca, sekaligus juga dapat memilah untuk menerapkan yang baik diantara keduanya dan menjauhi yang buruk diantara keduanya. Berikut adalah aspek perbedaan dan persamaan antara Konstitusi Madinah dan UUD 1945 : A. Baik Konstitusi Madinah dan UUD 1945, keduanya merupakan jawaban atas kebutuhan konstitusional terhadap realitas sosial politik yang masyarakat hadapi yaitu pluralitas. Masyarakat Madinah terdiri atas suku-suku yang sangat plural,11 begitupun dengan masyarakat Indonesia yang heterogen pula namun dengan mayoritas masyarakatnya berpenduduk Islam. B. Baik Konstitusi Madinah dan UUD 1945 sama-sama dibentuk oleh tokohtokoh Islam. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, Konstitusi Madinah dibuat oleh umat Islam dibawah pimpinan Muhammad S.A.W untuk membentuk kesatuan hidup bersama, sama halnya dengan UUD 1945 yang dibentuk oleh tokoh-tokoh beragama Islam meskipun dengan latar belakang berbeda seperti dari kalangan ulama, muslim nasionalis, dan nasionalis muslim.12 C. Terdapat tiga kategori hukum dalam Islam yaitu hukum syari’at, fiqh dan siyasah syar’iyah.13 Dilihat dari sifat dan isinya mengenai tatanan kehidupan politik maka Konstitusi Madinah dapat dikatakan sebagai hadis siyasah atau hadis tentang politik. Sedangkan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang menentukan pokok-pokok kebijakan politik adalah juga hukum dasar tentang siyasah (kenegaraan). D. Secara konseptual, baik Konstitusi Madinah dan UUD 1945 memiliki kesamaan yaitu meletakan urusan agama bagian dari urusan negara dan hukum agama merupakan sumber bagi hukum negara. Di Indonesia 10 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 : Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk, (Jakarta : UI Press, 1995), hlm.6 11 Muhammad Husein Haikal, Hayat Muhammad, (Jakarta : Litera Antar Nusa, 1990) hlm.221. 12 Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Politik : Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin. (Jakarta : Gema Insani, 1996), hlm. 153. 13 Nurcholis Majid dan Syaukani H.R, Strategi Membangun Spiritualitas Masyakrat dalam Otonomi Daerah, (Jakarta : Nuansa Madani, 2001), hlm.303 NAPHI – SOAL A Page 4 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 kedudukan agama cukup tinggi dan terhormat, dimana suasana keagamaan di Indonesia cukup baik dengan tidak adanya rintangan dari Pemerintah untuk beragama, bahkan pemerintah memberikan jaminan dan dorongan. Suasana kehidupan keagamaan yang baik itu berpangkal dari pinrsip bahwa urusan agama merupakan bagian dari urusan negaar. Prinsip demikian sejalan dengan Konstitusi Madinah yang menempatkan agama dan negara secara tidak terpisah dan menjadi tanggungjawab pemerintah.14 E. Prinsip-prinsip pada Konstitusi Madinah dan UUD 1945 memiliki kesamaan yakni pikiran monoteisme, persatuan dan kesatuan, persamaan, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat yang baik, keberlakuan hukum agama (syariat), politik damai dan proteksi. Namun jika diurai lebih lanjut terdapat perbedaan yang besar dalam kedudukan syariat Islam dan penekanan sifat baik dan takwa di dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945. F. Meskipun pada dasarnya UUD 1945 dapat dibandingkan dengan prinsipprinsip yang tertuang dalam Konstitusi Madinah yaitu kebebasan beragama, kewajiban membela serta mempertahankan negara, akan tetapi situasi sosial yang melahirkan kedua perjanjian itu sangat berbeda. Di Madinah, masyarakat Islam baru akan terbentuk, sedangkan di Indonesia masyarakat Islam telah lama terbentuk (meskipun kualitasnya di bawah standar).15 G. Pada saat diberlakukannya Konstitusi Madinah dan UUD 1945 terdapat kondisi masyarakat yang plural. Di kota Madinah terdapat tiga komunitas keagamaan yakni kaum Muslimin, kaum Yahudi, dan kaum Musyrikin,16 sedangkan di Indonesia sendiri terdiri dari enam golongan keagamaan yang secara yuridis diakui yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. H. Konstitusi Madinah dicetuskan oleh Nabi Muhammad dalam kedudukannya sebagai pemimpin kaum Muhajirin dan Anshar, tapi pengaruh moral dan kekuasaan politiknya memang telah terlegitimasi dan terinternalisasi oleh golongan-golongan lain di Madinah. Sedangkan UUD 1945 menurut sejarah dicetuskan oleh founding fathers dan salah satunya adalah Soekarno yang 14 Ahmad Sukardja, Op.cit., hlm.178 Ahmad Syafii Maarif, Loc.cit. 16 Guillaume, The Live of Muhammad, (Karazhi : Oxford University Press, 1970), hlm.38. 15 NAPHI – SOAL A Page 5 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 memiliki karier politik sebagai tokok nasionalis yang menganut pemisahan agama dan negara. 17 I. Dilihat dari aspek kebahasaan kedua naskah konstitusi tersebut tertulis katakata ayng mengandung makna religius. Dalam Konstitusi Madinah diawali kalimat basmalah, kata Allah juga tertulis sebanyak 14 kali sedangkan dalam UUD 1945 sebanyak 2 kali. Dalam Konstitusi Madinah tertulis kata Muhammad sebanyak 5 kali, kata nabi 1 kali, kata rasul 1 kali, kata mukmin dan muslim 35 kali, dan kata musyrik 1 kali. Sedangkan dalam UUD 1945 terdapat frasa yang berbunyi “Atas berkat rhmat Allah Yang Maha Kuasa”, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan “Agama”. Akan tetapi dalam kedua konstitusi tersebut tidak terdapat kata Islam, namun sifat keislaman jelas tampak dalam kata-kata atau kalimat keagamaan diatas.18 J. Pelaksanaan Konstitusi Madinah melibatkan seluruh warga atau rakyat. Sedangkan dalam UUD 1945 pelaksanaannya dipegang dan diatur oleh Pemerintah, dimana Agama ditempatkan pada urusan negara. Maka dari itu di Indonesia dibentuk isntansi-instansi keagamaan seperti Menteri Agama, Peradilan Agama, Majelis Ulama, dan Undang-Undang yang bersifat keagamaan. Selain itu kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah juga mengarah pada Agama, seperti pembinaan kerukunan beragama, kelancaran perjalanan Ibadah Haji, pembangunan saranan ibadah, dan lain lain.19 Meskipun kebijakan tersebut sejatinya harus ditingkatkan dengan menerapkan ajaran amar makruf nahi munkar yang apabila diimplementasikan sangat cocok dalam bidang hukum pidana. K. Secara substansi terdapat beberapa persamaan makna dalam rumusan Pasal antara Konstitusi Madinah dan UUD 1945, yakni : 1. Di dalam pasal 11, 12 dan 16 Konstitusi Madinah dinyatakan bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama, wajib saling menghormati dan wajib kerja sama antara sesama mereka, serta tidak seorang pun yang diperlakukan secara buruk Bahkan orang yang lemah diantara mereka harus dilindungi dan dibantu. Rumusan demikian juga 17 Ahmad Syafii Maarif, Loc.cit. Ahmad Sukardja, Op.cit., hlm.176. 19 Ibid., hlm.177 18 NAPHI – SOAL A Page 6 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 terdapat dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1) yang menyatakan bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan dan dalam Pasal 34 UUD 1945 menegaskan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. 2. Di dalam Pasal 25-33 Konstitusi Madinah dinyatakan bahwa negara mengakui, melindungi dan menjamin kebebasan menjalankan ibadah dan agama baik bagi orang-orang Muslim maupun Non Muslim. Hal tersebut juga terdapat dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 dimana negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya itu. 3. Di dalam Pasal 34 dan 40 Konstitusi Madinah dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law), pun di dalam Pasal 27 UUD 1945 juga ada, bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. L. Dalam Konstitusi Madinah disebutkan, penyelesaian perselisihan ditetapkan menurut ketentuan Allah dan keputusan Nabi Muhammad SAW, akan tetapi dalam UUD 1945 tidak terdapat rumusan seperti itu, melainkan diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku NAPHI – SOAL A Page 7 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 2. Jelaskan apa yang Anda Pahami tentang teori Kedaulatan dalam Islam? Secara sistematis terdapat tiga hal fundamental yang saya pahami mengenai teori Kedaulatan dalam Islam, yakni sejarah, konsep dan implementasinya. Namun sebelum saya menjawab satu persatu, perlu saya nyatakan terlebih dahulu bahwa terdapat kemungkinan kesamaan penulisan antara jawaban untuk soal ini dengan pembahasan saya di dalam makalah, mengingat konten paper yang saya miliki berhubungan langsung dengan konsep kedaulatan, khususnya kedaulatan rakyat. Pertama berdasarkan sejarah dan terminologinya. Istilah kedaulatan lazimnya dipahami berasal dari terjemahan istilah-istilah barat seperti sovereignity, soverainette, superanus, atau majesty yang diadopsi dari bahasa Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda yang banyak terpengaruh dari Bahasa Latin. Istilah tersebut sejatinya memiliki makna yang sama bahwa merujuk pada kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam suatu negara.20 Sebagaimana yang dikatakan oleh Jean Bodin dalam bukunya Six Livres de la Republique bahwa summa in cives ac subditos legibusque soluta potestas yang berarti kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang mengatasi warga negara, anak buah dan undangundang.21 Jika diuraikan terdapat tiga unsur fundamental dari apa yang dikemukakan oleh Jean Bodin mengenai kedaulatan : a. Kekuasaan itu bersifat tertinggi, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi, dan asli dalam arti tidak berasal dari atau bersumber kepada kekuasaan lain yang lebih tinggi. 20 Sushila Ramaswamy, Political Theory : Ideas and Concepts, (New Delhi : Asoke K, 2015), hlm.171 21 James Brown Scott, Law, The State, and The International Community, (New Jersey : Union, 2002), hlm.332. NAPHI – SOAL A Page 8 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 b. Mutlak dan sempurna dalam arti tidak terbatas dan tidak ada kekuasaan lain yang membatasinya. c. Utuh, bulat, dan abadi, dalam arti tidak terpecah-pecah dan tidak terbagi-bagi. Dari konsep kedaulatan itu, terdapat unsur utama yang bersifat unite atau dalam arti terdapat semangat dan kemauan umum rakyat itu adalah suatu kesatuan dengan mana mereka sebagai kesatuan berhak memerintah dan menolak diperintah. Karena rakyat adalah satu maka negara juga adalah satu, dan dengan sendirinya konsep kedaulatan itu juga bersifat bulat dan tidak dapat dipecahpecah. Hal ini sekaligus membantah teori dari Montesquie bahwa kedaulatan harus dipecah-pecah dalam bingkai Trias Politica.22 Menurutnya jika yang berdaulat adalah Raja, maka Rajalah yang merupakan satu-satunya pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, jika rakyat yang berdaulat maka rakyatlah satusatunya pemegang kekuasaan tertinggi, bukan yang lain. Maka dari itu, kedaulatan tidak dapat diserahkan atau diberikan kepada pihak lain, sehingga kedaulatan itu sifatnya turun temurun dan tidak dapat berubah-ubah begitu saja. Kedaulatan menurutnya ada di tangan rakyat dan selamanya akan tetap ada di tangan rakyat. Akan tetapi sejatinya akar kata kedaulatan itu sendiri sebenarnya bukanlah dari istilah asing, melainkan kata yang diserap dari bahasa Arab berupa daulat atau daulatan yang dalam makna klasiknya berarti pergantian atau peredaran.23 Di dalam Al-Quran itu sendiri pun tercermin kata daulah dalam 2 surat, yakni dalam Qs 3 : 140 sebagai kata kerja nudawiluha dalam konteks politik, dan Qs 59 :7 berupa kata kerja duulatan’ dalam konteks ekonomi.24 Secara sederhana pengertian kedaulatan itu sebagai gagasan mengenai kekuasaan tertinggi yang didalamnya sekaligus terkandung dimensi waktu dan proses peralihannya sebagai fenomena yang bersifat alamiyah.25 Sayangnya dalam 22 23 Baron De Montesquieu, The Spirit of Laws, (New York : Hafner, 1949), hlm.1x Al-Mawrid, A Modern English Arabic Dictionary,(Dar el-‘Ilm Lil Malayen, 1997), 24 Al-Maqdisi, Indeks Al-Quran Fathu Al-Rahman, (Mustafa Al-Bab Al Halaby 1322 H), 25 Jimly Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta : Gema Insani Pers, 1995), hlm.882. hlm.156. hlm.11. NAPHI – SOAL A Page 9 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 sejarah negara-negara modern ketika para tokoh pergerakan berkeinginan untuk mengembangkan kembali gagasan kedaulatan rakyat, mereka kekurangan rujuan ilmiah untuk membangun gagasan kedaulatan rakyat yang khas. Kemudian dilakukanlah penyaduran pemikiran yang dikembangkan oleh barat. Sehingga muncul kesan seolah-olah rujukan pemikiran di bidang ini hanya bermula dari pikiran-pikiran Thomas Hobbes, Jean Bodin, dan sebagainya. Padahal faktanya, kita mengetahui bersama bahwa gagasan kedaulatan rakyat itu sendiri dikembangkan oleh masyarakat Islam di Timur. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesalahan historis dalam literatur yang ada saat ini, bahwa seakan-akan gagasan kedaulatan rakyat merupakan produk orisinil dari barat, padahal sejatinya kedaulatan itu memiliki sumber primer yaitu masyarakat Islam. Salah satu tokoh pemikir orisinil adalah Ibnu Khaldun, beliau memaparkan kedaulatan sebagai muncul dan tenggelamnya negara disebut dengan al-daulah yang merupkaan tuntutan alamiah yang sangat rasional dan gagasan mengenai hal ini diduga telah mempengaruhi pemikiran Niccolo Machiavelli dalam magnum opusnya yang berjudul L’Prince.26 Hal ini sejatinya menjadi bukti bahwa gagasan kedaulatan yang berkembang di dunia timur sebenarnya ikut andil dalam mempengaruhi pemikiran-pemikiran barat. Kedua, secara konseptual Islam memadang gagasan kedaulatan secara filosofis yang nyata dan kuat dalam tradisi peradaban Islam. Di kalangan para sarjana Muslim sendiri, terdapat perbedaan penafsiran mengenai konsep kedaulatan ini. Setidaknya terdapat dua pandangan, pertama yang memandang bahwa kedaulatan memiliki penekanan pada konsep kekuasaan hukum (nomokrasi), sedangkan pandangan yang kedua lebih cenderung melihat kedaulatan sebagai konsep Islam mengenai negara sebagai divine democracy.27 Muhammad Muslehuddin salah satu yang menentang konsep kedaulatan yang berkembang di barat yang menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, karena menurutnya kedaulatan yang hakiki menurut Islam berada di 26 Jimly Asshiddiqie, Ibnu Khaldun : Pribadi, Pemikiran, dan Pengaruhnya di Indonesia, (Jakarta : Khalaqah Ilmiah, 1985), hlm.14 27 Islam dan Kedaulatan Rakyat,op.cit., 16. NAPHI – SOAL A Page 10 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 tangan Tuhan. Menurutnya Negara dalam perspektif Islam is a state ruled by Divine Laws which precede it and to whose dictates it has ideally to conform.28 Kemudian menurut A. Hasjmy, menyatakan bahwa pada dasarnya negara adalah milik Allah dan kepada Allah segala urusan dikembalikan. 29 Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Qs : Al-Hadid : 5 bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah dan kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan, kemudian juga yang ada dalam Qs : Al-Mulk : 1 bahwa Maha Suci Allah yang ada dalam kekuasaan kerajaanya dan Allah menguasai segala yang ada. Dari pemaparan yang dikatakan oleh Muslehuddin dan A.Hasjmy dapatlah kita simpulkan bahwa pada umumnya sarjana Muslim memahami kekuasaan yang pertama dan yang paling utama adalah kedaulatan Tuhan, bukan kedaulatan manusia. Konsep kedaulatan dalam pandangan Islam ini sangat jauh berbeda dengan konsep teokrasi yang dikembangan oleh filsuf abad pertengahan yang menyatakan bahwa gagasan kedaulatan tuhan dalam sistem kependetaan terintegrasi dengan kekuasaan para Raja. Sebenarnya seperti halnya dalam konsep Islam, teokrasi baratpun mengangap Tuhan sebagai sumber dan pemegang kedaulatan. Akan tetapi teokrasi barat menjelmakan kedaulatan Tuhan itu ke dalam diri jabatan kepala negara ataupun penguasa. Bahkan pada perkembangan di zaman abad pertengahan, kekuasaan Kepala Negara dalam hal ini raja menyatu dengan konsep kependetaan dalam agama Nasrani, sehingga teokrasi melahirkan sistem yang absolut karena penguasa yang memerintah mendasari kekuasannya berdasarkan perintah tuhan secara mutlak. Karena itulah, istilah teokrasi di zaman moderen sekarang selalu digambarkan sebagai kejahatan dan kekhawatiran yang dilakukan atas nama Tuhan. Akibatnya, konsep negara Islam sendiri harus turut merasakan pil pahit akibat implikasi yang menyertai penggunaan istilah yang menyerupai konsep “teokrasi” ini.30 28 Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalists, (Lahore : Islamic Publications1980), hlm.57. 29 A. Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam, (Surabaya : Bina Ilmu, 1984), hlm.27 30 Tahir Azhary, “Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini”, Jakarta : Disertasi Universitas Indonesia, 1991. NAPHI – SOAL A Page 11 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 Padahal sejatinya menurut Said Ramadhan, bertolak belakang dengan konsep “teokrasi” barat, konsep Islam justru merupakan pemberontakan total terhadap segala bentuk pengekangan terhadap sesama manusia.31 Sistem kependetaan demikian ini ditentang keras justru oleh Islam sebagaimana yang tertuang dalam Qs 9 :31 dan 2 :165. Dengan demikian jelaslah terdapat perbedaan antara konsep negara dalam perspektif Islam ini dengan konsep teokrasi barat abad pertengahan. Seperti dinyatakan oleh Maududi, konsep negara dalam perspektif Islam bukanlah teokrasi, melainkan popular vicegerency atau menurut istilah Thahir Azhaary disebut sebagai Nomokrasi Islam yang didasarkan pada “The Rule of Islamic Law”.32 Jika digambarkan, terdapat perbedaan antara gagasan Kedaulatan Tuhan dalam konsep teokrasi barat dengan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam perspektif Islam ini, dapatlah dirumuskan dalam bentuk kerangka sebagai berikut :33 Dalam model Teokrasi pertama, gagasan Kedaulatan Tuhan itu sebagai Law Giver yang pada pelaksanaanya terjelma dalam kekuasaan kepada negara yang menetapkan hukum-hukum atas nama Tuhan. Sedangkan dalam perspektif Islam, kedaulatan rakyat dapat dipahami terwujud dalam kekuasaan yang terkait dalam fungsi manusia (rakyat) sebagai “khilafah” Allah. Itu berarti, Kedaulatan Tuhan itu dalam pelaksanaanya mewujud dalam Kedaulatan Rakyat yang akan 31 Ibid., hlm.149. Ibid., hlm. 138-139. 33 Islam dan Kedaulatan Rakyat,op.cit., 25. 32 NAPHI – SOAL A Page 12 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 memberikan amanat kepada para pemimpin yang dipilih oleh mereka sebagai mandataris dan mengangkat ahlhalli wa al-aqdhi ataupun dewan syuro untuk menetapkan hukum negara yang tidak rumuskan berdasarkan rujukan syariat ataupun dirumuskan dalam kerangka syari’at Allah.34 Dengan demikian, dalam konsepsi Islam negara haruslah mengakui prinsip-prinsip kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat secara sekaligus. Artinya, ajaran kedaulatan yang dianut dalam Islam pertama dan yang paling utama adalah ajaran Kedaulatan Tuhan. Kemudian dalam pelaksanaanya, Kedaulatan Tuhan itu diorganisasikan melalui konsep mengenai kekuasan negara dalam dua perwujudan, yaitu Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum. Di satu pihak, kedaulatan Tuhan itu diwujudkan dalam bentuk berdaulatnya rakyat, dan di pihak lain dalam bentuk Kedaulatan Hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Allah melalui wahyunya. Rakyat yang berdaulat itu diakui sebagai khalifah Allah yang mempunyai kehendak bebas untuk hidup bersama dalam masyarakat, asalkan tetap berada dalam batas-batas hukum syari’at yang merupakan pedoman tertinggi yang telah ditetapkan oleh Allah.35 Ketiga, berdasarkan Implementasinya. Konsep kedaulatan dalam Islam salah satunya dimanifestasikan dengan mewujudkan khilafah dan ulil amri. Khilafah berarti wakil tuhan di bumi, itu artinya setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat untuk menjaga bumi ini sesuai dengan syariat Allah.36 Disini terdapat amanah dari Allah swt kepada manusia untuk menjaga bumi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam, proses pemberian amanat inilah yang menurut A.Hasjmy merupakan proses penyerahan mandat oleh Allah kepada manusia dalam artian pergeseran Kedaulatan Tuhan menjadi Kedaulatan Rakyat, yang dalam hal ini terbagi menjadi dua macam yaitu :37 a. Mandat yang bersifat umum, yaitu berkenaan dengan pengertian khalifah sebagai genus begrip. Itu artinya mandat ini diberikan Tuhan kepada 34 Z.A Ahmad, Membentuk Negara Islam, (Jakarta : Widjaya, 1956), hlm.34 Islam dan Kedaulatan Rakyat,op.cit., 27. 36 Hj. Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam : Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm.165. 37 A. Hasjmy, Op.Cit., hlm.30-32. 35 NAPHI – SOAL A Page 13 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 seluruh dan setiap umat manusia sebagai khilafahnya di atas muka bumi untuk mengelola dan mengoolah alam semesta sekaligus untuk memimpin atau mengurus kehidupan sesama manusia dalam arti memimpin sebagian yang lain dalam arti laus. b. Mandat yang bersifat khusus terbagi menjadi dua lagi, yaitu khusus diberikan kepada kelompok masyarakat dan mandat yang diberikan kepada perorangan. Mandat yang diberikan kepada kelompok misalnya untuk mendirikan negara atau meraih kekuasaan asalkan kelompok masyarkat itu beriman dan beramal shaleh sebagaimana dinyatakan dalam Qs : 24 : 55. Adapun mandat kepada perorangan, dicontohkan seperti khalifah Daud, imam Ibrahim, atau Raja Musa yang merupakan penjewantahan dari konsep Kedaulatan Rakyat. Manifestasi yang kedua adalah menerapkan ulil amri minkum yang berarti ulul amri atau diantara kamu yang mengandung prinsip perwakilan, yaitu para pemimpin yang berasal dari rakyat.38 Ini menunjukan bahwa konsep ulul amri ini berkaitan erat dengan gagasan kedaulatan rakyat. Dimana konsep wakil rakyat ini diambil dari mandataris rakyat, para wakil rakyat inilah yang nantinya mengadakan permusyawaratan di antara mereka, dimana keputusan-keputusan mereka ini ditujukan untuk kemaslahatan umat itu sendiri, sehingga wajib ditaati oleh segenap rakyat sebagai hukum tertinggi sesuai Al-Quran dan Sunnah. DAFTAR BACAAN Ahmad, Z.A. Islam dan Parlementarisme. Jakarta : Pustaka Antara, 1950. Al-Maqdisi. Indeks Al-Quran Fathu Al-RahmanMustafa Al-Bab Al Halaby 1322 H. Al-Mawrid. A Modern English Arabic Dictionary. Dar el-‘Ilm Lil Malayen, 1997. Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam : Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta : Gema Insani, 2004 Asshiddiqie, Jimly. Ibnu Khaldun : Pribadi, Pemikiran, dan Pengaruhnya di Indonesia.Jakarta : Khalaqah Ilmiah, 1985. ____________. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta : Gema Insani Pers, 1995. Azhary, Tahir. “Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini”, Jakarta : Disertasi Universitas Indonesia, 1991. 38 Ridwan, Paradigma Politin NU : Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik , (Purwokerto : Pustaka Pelajar, 2004), hlm.221. NAPHI – SOAL A Page 14 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 Fadl, Khaled Abou El. Islam dan Tantangan Demokrasi. New Jersey : Princeton University, 2004. Hasjmy, A. Dimana Letaknya Negara Islam.Surabaya : Bina Ilmu, 1984.Montesquieu, Baron De. The Spirit of Laws. New York : Hafner, 1949. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik : Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin. Jakarta : Gema Insani, 1996. Muslehuddin, Muhammad. Philosophy of Islamic Law and the Orientalists. Lahore : Islamic Publications1980. Ramaswamy, Sushila. Political Theory : Ideas and Concepts. New Delhi : Asoke K, 2015. Ridwan. Paradigma Politin NU : Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik . Purwokerto : Pustaka Pelajar, 2004. Scott, James Brown. Law, The State, and The International Community.New Jersey : Union, 2002. Thaba, Abdul Azis. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta : Gema Insani, 1996. Ahmad, Z.A. Islam dan Parlementarisme. Jakarta : Pustaka Antara, 1950. Azhary, Tahir. “Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini”, Jakarta : Disertasi Universitas Indonesia, 1991. Dahlan, Juwairiyah. Piagam Madinah dan Konsep Ummah, http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg02993.html .D iakses pada 31 Mei 2015 Fadl, Khaled Abou El. Islam dan Tantangan Demokrasi. New Jersey : Princeton University, 2004. Guillaume. The Live of Muhammad. Karazhi : Oxford University Press, 1970.Haikal, Muhammad Husein. Hayat Muhammad. Jakarta : Litera Antar Nusa, 1990. Hamiddulah, Muhammad. Sahifah Hamman Ibn Munnabbih. Paris : Pulications of Centre Culturla Islamique, 1979. Hasjmy, A. Dimana Letaknya Negara Islam.Surabaya : Bina Ilmu, 1984.Montesquieu, Baron De. The Spirit of Laws. New York : Hafner, 1949. Khan, Zafrulla. Muhammad Seal of the Prophets. London : Rourledge & Kegan Paul, 1980. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik : Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin. Jakarta : Gema Insani, 1996.Muslehuddin, Muhammad. Philosophy of Islamic Law and the Orientalists. Lahore : Islamic Publication, 1980. Majid, Nurcholis dan Syaukani H.R.Strategi Membangun Spiritualitas Masyakrat dalam Otonomi Daerah. Jakarta : Nuansa Madani, 2001. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta : UI Press, 1999. Soetappa, Djaka. Ummah, Komunitas Religius, Sosial dan Politik dalam AlQuran. Yogyakarta, : Duta Wacana University Press, 1978. NAPHI – SOAL A Page 15 Faculty of Law – University of Indonesia 2015 Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 : Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk. Jakarta : UI Press, 1995. Thaba, Abdul Azis. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta : Gema Insani, 1996. Watt, W. Motgomery. Muhammad Prophet and Statesman. London : Oxford Press University, 1969. Wnsinck, A.J. Muhammad and Jews at Maden. T.tt : Freibug in Breisgan, 1975. NAPHI – SOAL A Page 16