tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Selulosa
Selulosa adalah homopolimer yang tersusun dari subunit D-glukosa yang
ditautkan satu sama lain dengan ikatan β-(1→4)-glikosida. Unit penyusun
(building block) selulosa adalah selobiosa karena unit keterulangan dalam molekul
selulosa adalah 2 unit gula (D-glukosa). Selulosa adalah senyawa yang tidak larut
di dalam air dan ditemukan pada dinding sel tumbuhan terutama pada tangkai,
batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa
merupakan
polisakarida
struktural
yang
berfungsi
untuk
memberikan
perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap sel, dan jaringan. (Lehninger
1993). Gambar 1 menyajikan struktur kimia dari selulosa.
Gambar 1 Struktur kimia selulosa.
Di dalam jaringan tumbuhan berkayu, selulosa dapat dijumpai bersamasama dengan hemiselulosa, lignin, dan pati. Gabungan 40-50% selulosa dan 1525% hemiselulosa disebut holoselulosa. Kandungan holoselulosa berdasarkan
bobot keringnya adalah sebesar 65-70%. Gabungan antara selulosa, hemiselulosa,
dan lignin disebut lignoselulosa (Rowell 2005). Menurut Hu et al. (2008), bahanbahan yang mengandung lignoselulosa dapat dihasilkan dari berbagai sumber, di
antaranya biomassa hasil hutan, limbah pertanian, tanaman rumput-rumputan, dan
limbah industri (Gambar 2). Komposisi kimia bahan lignoselulosa tergantung
pada jenis dan sumber/asal bahannya. Komposisi kimia bahan lignoselulosa
disajikan pada Tabel 1.
10
Gambar 2 Bahan lignoselulosa berdasarkan sumbernya (Hu et al. 2008).
Tabel 1 Komposisi kimia beberapa bahan yang mengandung lignoselulosa
Sumber
Lignoselulosa
Komposisi (%)
Pustaka Acuan
Selulosa
Hemiselulosa
Lignin
Jerami padi
36,5
33,8
12,3
Sun et al. (2000)
Bagas tebu
43,6
33,5
18,1
Sun et al. (2004a)
Abaka
63,72
5-10
21,83
Hon (1996)
Tongkol jagung
45
35
15
Hon (1996)
Kapas
95
2
0,9
Hon (1996)
Sisal
73
11
13
le Digabel dan
Avérous (2006)
Jerami gandum
39,4
24,0
11,2
Kham et al. (2005)
Serat rami
65,0
15,8
12,7
Jahan et al. (2011)
Jumlah unit glukosa di dalam molekul selulosa dapat dilihat melalui derajat
polimerisasinya (DP). Derajat polimerisasi didefinisikan sebagai berikut:
DP =
bobot molekul selulosa
bobot molekul satu unit glukosa
11
Derajat polimerisasi dapat ditentukan secara viskometri. Derajat polimerisasi
selulosa sangat bervariasi, nilai DP bergantung pada sumber dan perlakuan yang
diberikan.
Perlakuan
kimia
secara
intensif
seperti
pembuatan
pulp,
pengelantangan, dan transfromasi akan sangat menurunkan harga DP. Proses
delignifikasi dan ekstraksi juga dapat menurunkan DP selulosa. Selain itu,
semakin tua umur pohon, maka derajat polimerisasi juga semakin menurun
(Fengel dan Wegener 1995). Derajat polimerisasi juga menggambarkan perkiraan
bobot molekul dari selulosa. Tabel 2 menyajikan derajat polimerisasi berbagai
bahan yang mengandung selulosa.
Tabel 2 Derajat polimerisasi berbagai jenis selulosa
Bahan
Kisaran DP
Native cotton
Up to 12000
Scoured & bleached cotton
800-1800
Wood pulp
600-1200
Man-made cellulose filaments and fibers
250-500
Cellulose powders (prepared by partial hyrolysis
and mechanical disintegration)
100-200
Sumber: Klemm et al. (1998)
Selulosa memiliki struktur yang unik karena kecenderungannya membentuk
ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan hidrogen intramolekular terbentuk antara:
(1) gugus hidroksil C3 pada unit glukosa dan atom O cincin piranosa yang
terdapat pada unit glukosa terdekat, (2) gugus hidroksil pada C2 dan atom O pada
C6 unit glukosa tetangganya. Ikatan hidrogen antarmolekul terbentuk antara
gugus hidroksil C6 dan atom O pada C3 di sepanjang sumbu b (Gambar 3).
Dengan adanya ikatan hidrogen serta gaya van der Waals yang terbentuk, maka
struktur selulosa dapat tersusun secara teratur dan membentuk daerah kristalin. Di
samping itu, juga terbentuk rangkaian struktur yang tidak tersusun secara teratur
yang akan membentuk daerah nonkristalin atau amorf. Semakin tinggi packing
density-nya maka selulosa akan berbentuk kristal, sedangkan semakin rendah
packing density maka selulosa akan berbentuk amorf. Derajat kristalinitas selulosa
dipengaruhi oleh sumber dan perlakuan yang diberikan. Rantai-rantai selulosa
akan bergabung menjadi satu kesatuan membentuk mikrofibril, dimana bagian
12
kristalin akan bergabung dengan bagian nonkristalin. Mikrofibril-mikrofibril akan
bergabung membentuk fibril, selanjutnya gabungan fibril akan membentuk serat
(Gambar 4).
Gambar 3 Ikatan hidrogen intra dan antar rantai selulosa (Klemm et al. 1998).
Gambar 4 Model fibril struktur supramolekul selulosa (Klemm et al. 1998).
13
Ela Sagu
Ela sagu (hampas) adalah limbah padat selain kulit batang yang dihasilkan
pada saat ekstraksi pati sagu (Metroxylon sagu). Pada saat ekstraksi pati sagu akan
dihasilkan 3 (tiga) limbah, yaitu kulit batang sagu (bark), limbah padat berserat
(ela sagu~hampas), dan air limbah. Skema ekstraksi pati sagu disajikan pada
Gambar 5.
Sago Pith
Debarking
Bark
Fiber
Pulping
Hampas
Starch
Extraction
Starch
Wastewater
Drying &
Packing
Gambar 5 Skema ekstraksi pati sagu.
Jumlah ela sagu yang dihasilkan pada setiap proses ekstraksi pati sagu
bergantung pada kualitas proses ekstraksi di tempat tersebut. Menurut Awg-Adeni
et al. (2010), ela sagu mengandung sekitar 66% pati dan 14% serat kasar serta
25% lignin. Pada proses ekstraksi pati sagu, limbah padat berserat yang masih
mengandung sedikit pati merupakan masalah utama, khususnya untuk pabrik
berskala besar, karena jumlahnya yang sangat banyak. Penanganan limbah ela
sagu ini juga sulit karena kelembabannya yang tinggi sehingga tidak mudah
kering dan masih mengandung pati. Pada kondisi ini, ela sagu mudah menjadi
media tumbuh mikroorganisme. Selain pati, ela sagu mengandung sejumlah
selulosa dan lignin. Beberapa kajian tentang pemanfaatan ela sagu telah
dilaporkan pada pohon industri sagu yang disajikan pada Gambar 6.
14
Obat tradisional
Atap, dinding
Daun
Tumang
Kerajinan
Kertas
Papan partikel
Sagu
Kulit Batang
Lantai
Bahan bakar
Salad Dressing
Roti
Makanan
Mie
Batang Sagu
Siklodektrin
Cookies dll
Sirup glukosa
bioplastik
Bahan kimia
bioetanol
Biofuel
lem
Farmasi
Pati Sagu
plywood
tekstil
Asam Sitrat
Asam Laktat
Pakan ternak
Papan partikel
Kompos
Ela Sagu
Kultur media
Biosorben
Fermentable sugars
Gambar 6 Pohon industri sagu.
15
Bagas Tebu
Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas (bagasse) adalah hasil samping
dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan tebu di pabrik gula. Gambar 7
menyajikan proses pembuatan gula pada pabrik gula.
Gambar 7 Proses pembuatan gula pada pabrik gula.
Bagas tebu mengandung air 48-52%, rerata gula 3,3% dan rerata serat
47,7%. Menurut Samsuri et al. (2007), serat dari bagas tebu tidak dapat larut
dalam air dan komposisi lignoselulosa pada ampas tebu terdiri atas 52,7%
selulosa, 20% hemiselulosa, dan 24,2% lignin (berdasarkan bobot kering). Dengan
komposisi selulosa yang cukup tinggi, ampas tebu berpotensi untuk dimanfaatkan
oleh industri lainnya. Beberapa pemanfaatan bagas tebu dapat dilihat pada pohon
industri dari tanaman tebu yang disajikan pada Gambar 8.
16
Gambar 8 Pohon industri tebu.
17
Jerami Padi
Jerami padi adalah limbah pertanian yang dihasilkan dalam jumlah cukup
banyak setiap tahunnya. Jerami padi dihasilkan sebagai proses penggabahan.
(Gambar 9). Pohon industri dari tanaman padi disajikan pada Gambar 10.
Gambar 9 Proses menghasilkan padi.
Komponen utama dinding sel jerami padi adalah selulosa. Di dalam dinding
sel ini, rantai selulosa akan terikat melalui ikatan hidrogen membentuk beberapa
mikrofibril dengan panjang beberapa milimeter dan diameter beberapa nanometer
(Chen et al. 2011). Pada musim panen, kadar air jerami padi mencapai 60%
berdasarkan bobot basah. Akan tetapi setelah dikeringkan dapat mencapai 1012%. Jerami padi mempunya kadar abu yang tinggi mencapai 22% dan
kandungan protein yang rendah (Abdel-Mohdy et al. 2009). Menurut Sun et al.
(2000), komposisi jerami padi terdiri atas selulosa 36,5%, hemiselulosa 33,8%,
lignin 12,3%, bahan ekstraktif 3,8%, abu 13,3%, dan silika 70,8%.
18
Gambar 10 Pohon industri padi.
19
Pencangkokan dan Taut Silang
Penggabungan monomer dan polimer dapat dilakukan dengan berbagai
teknik, di antaranya adalah dengan fisisorpsi, pencangkokan (grafting), dan taut
silang (crosslinking) (Bhattacharya et al. 2009). Istilah fisisorpsi digunakan jika
melibatkan ikatan secara fisik. Proses fisisorpsi ini adalah proses yang dapat balik
(reversibel). Pencangkokan melibatkan ikatan secara kovalen dan bersifat tidak
dapat balik (irreversibel). Teknik pencangkokan terbagi menjadi grafting to dan
grafting from. Pada grafting to, polimer backbone membawa gugus fungsional X
reaktif yang terdistribusi secara random dan bereaksi dengan polimer lain yang
membawa gugus fungsi Y. Teknik grafting from terjadi jika polimer backbone
membawa tapak aktif yang digunakan untuk menginisiasi polimerisasi monomer
lain. Teknik grafting form akan menghasilkan polimer dengan derajat grafting
yang tinggi. Proses grafting secara skematis disajikan pada Gambar 11a. Taut
silang adalah menggabungkan polimer-polimer melalui suatu ikatan kimia. Pada
sebagian kasus, taut silang bersifat tidak dapat balik. Ikatan yang terbentuk
melalui taut silang dapat berbentuk intra- atau antarmolekul. Proses taut silang
secara skematis disajikan pada Gambar 11b.
Gambar 11 A Skema fisisorpsi (I), grafting to (II), grafting form (III);
B Skema crosslinking antarmolekul (I) dan intramolekul (II)
20
Kromatografi
Kromatografi berasal dari kata chroma yang berarti warna dan graphein
yang artinya menulis. Kromatografi adalah salah satu teknik yang digunakan di
laboratorium untuk pemisahan campuran. Pada prinsipnya semua kromatografi
menggunakan dua cara, yaitu fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile
phase). Pemisahan bergantung pada gerakan relatif dari kedua fase ini.
Keuntungan penggunaan teknik kromatografi adalah cepat, murah, dapat
memisahkan campuran yang kompleks, dan membutuhkan analit yang sedikit
(Miller 1975; Ahuja 2002).
Pada beberapa jenis kromatografi, kolom merupakan tempat untuk
memisahkan. Kolom selalu berbentuk tabung yang dapat diatur
menjadi
kumparan atau lurus. Jika suatu analit dimasukkan ke dalam alat kromatografi,
maka akan ada waktu dimana analit ditahan oleh kolom. Waktu ini disebut waktu
penahanan (tR). Pada kondisi ideal dengan pemisahan yang sempurna, puncak
yang dihasilkan oleh suatu campuran analit adalah berbentuk garis tipis (Gambar
12a), namun demikian kondisi ini jarang terjadi. Puncak yang sering didapatkan
adalah puncak dengan bentuk kurva-kurva Gauss dengan pelebaran puncak
(Gambar 12b), atau pada keadaan tertentu dapat dihasilkan puncak berekor
dengan pemanjangan di muka.
d
A
D
C
Injeksi
B
(a)
(b)
W1
W2
Gambar 12 Profil kromatogram.
21
Resolusi Pemisahan
Resolusi pemisahan adalah pemisahan nyata antara 2 puncak yang saling
berdekatan. Resolusi pemisahan (R) dinyatakan sebagai:
R=
2d
W1 + W 2
Jika R=1 maka pemisahan dikatakan 98%. Untuk pemisahan yang baik, maka R
harus ≥ 1.5. Hal ini berarti pemisahan yang terjadi adalah ≥ 99.7%
Pemisahan dari puncak-puncak dalam kromatogrfi erat hubungannya
dengan dua faktor, yaitu:
1. Efisiensi Kolom: Pelebaran puncak merupakan hasil dari bentuk kolom
dan kondisi operasi
2. Efisiensi Pelarut: Hasil dari interaksi antara cuplikan dengan fase diamnya.
Efisiensi pelarut menentukan relatif dari jalur-jalur solut dalam suatu
kromatogram.
Efisiensi Kolom
Efisiensi kolom diukur sebagai jumlah pelat teoritis (N). HETP (The
height equivalent to a theoretical plate) didefinisikan sebagai:
HETP =
L
N
N adalah jumlah pelat teoritis dalam suatu kolom dan L adalah panjang
kolom(cm). Efisiensi kolom tergantung pada:
1. Pelarut-fase diam
2. Analit/zat yang dilarutkan
3. Suhu
4. Kecepatan aliran
5. Ukuran dari analit
22
Efisiensi Pelarut
Kromatografi dapat memisahkan campuran kompleks yang memiliki titik
didih sama. Pada kondisi ini, pemisahan tidak akan bisa dilakukan melalui teknik
distilasi. Pelarut mempunyai interaksi yang spesifik dengan analit. Pemisahan
akan tergantung pada harga koefisien partisi (K).
Efisiensi pelarut didefinisikan sebagai perbandingan dari koefisien partisi
atau waktu retensi yang telah diatur. Profil kromatogram terkoreksi disajikan pada
Gambar 13.
X2
X2’
X1 X udara
X1’ Injeksi
Puncak udara
Puncak 1
Puncak 2
Keterangan:
X1, X2 adalah waktu retensi (volume) dari puncak 1,2
X1’, dan X2’ adalah waktu retensi terkoreksi
Gambar 13 Profil kromatogram terkoreksi.
Efisiensi pelarut (α) dinyatakan sebagai:
x 2'
k
α= ' = 2
x1 k 1
Selain itu dapat didefinisikan juga faktor pemisahan (SF) sebagai:
SF =
x2
x1
Faktor kapasistas untuk suatu pemisahan didefinisikan sebagai:
k 2' =
x 2'
xudara
23
Koefisien partisi (K) akan tergantung pada suhu. Harga K akan turun dengan
meningkatnya suhu karena molekul-molekul akan tertahan lebih lama di dalam
fase gas pada suhu yang tinggi dan efisiensi pelarut akan tetap pada kisaran suhu
tertentu. Akan tetapi, pada suhu yang relatif tinggi, harga K akan menjadi sangat
kecil sehingga pemisahan akan menjadi tidak sempurna. Hal ini disebabkan
pemisahan hanya terjadi di fase cairnya saja.
Secara umum dapat diperkirakan jumlah pelat teoritis (N) yang dibutuhkan
dalam suatu pemisahan atau dengan kata lain dapat diperkirakan panjang kolom
yang dibutuhkan untuk menghasilkan pemisahan yang baik, melalui persamaan
berikut ini:
N yangdibutuhkan
⎛ α ⎞
= 16 R ⎜
⎟
⎝α − x ⎠
2
2
⎛ k 2 '+1 ⎞
⎜⎜
⎟⎟
k
'
⎝ 2 ⎠
2
dengan R adalah resolusi pemisahan, α adalah efisiensi pelarut, dan k2’ adalah
faktor kapasistas.
Material Sepator
Senyawa selulosa dan turunan selulosa telah digunakan dalam teknologi
separasi sebagai material separator, khususnya dalam teknik kromatografi
misalnya pada kromatografi kertas sampai kromatografi cair kinerja tinggi.
Aplikasi senyawa turunan selulosa sebagai penukar ion pada kromatografi lapis
tipis dilaporkan memberikan hasil yang cepat dan akurat dalam pemisahan ion-ion
anorganik pada konsentrasi yang kecil. Beberapa kajian terkait dengan pemisahan
ion logam ini telah dilaporkan di antaranya menggunakan karboksimetil selulosa
(CMC) (Shimizu et al. 1976), menggunakan selulosa fosfat (Shimizu et al. 1980),
menggunakan polietilenimina-selulosa (Shimizu et al. 1989).
Kajian beberapa material separator berbasis selulosa sebagai chiral
stationary phases (CSP) telah dilaporkan di antaranya oleh Ficarra et al. (2000)
melaporkan telah menggunakan kolom selulosa untuk memisahkan 1-metil-3hidroksi-5-aril-2-pirolidinonat.
dimetilfenilkarbamat
untuk
Selain
pemisahan
itu,
kolom
8
selulosa
enansiomer
tris
(3,5-
O,O-dialkil-2-
24
benziloksikarbonilaminoarilmetil fosfonat (Yang et al. 2002). Lipka et al. (2005)
melakukan pemisahan secara kiral pada derivat senyawa melatoninergat
menggunakan kolom kiral berbasis selulosa. Su-lian et al. (2007) menggunakan
etil selulosa (EC) dan paduan etil selulosa/selulosa asetat (EC/CA) sebagai
column packing material pada HPLC (high performance liquid chromatography).
Temu Lawak
Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan salah satu jenis tanaman
unggulan yang mememilik banyak manfaat, di antaranya sebagai bahan tambahan
makanan, obat-obatan, dan suplemen energi (Hwang et al. 2004). Klasifikasi
tanaman temu lawak adalah sebagai berikut: kingdom Plantae, divisi
Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae,
kelas
Monocotyledonae,
ordo
Zingeberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma
xanthorrhiza. Temu lawak memiliki beberapa nama, misalnya koneng gede (Jawa
Barat), temu lawak (Jawa Tengah), temu lobak (Madura), dan tetemu lawak
(Sumatera) (Supriadi 2001).
Temu lawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Setiap
rumpun tanamannya terdiri atas beberapa anakan dengan 2-9 helai daun. Temu
lawak memiliki rimpang dengan daging rimpang berwarna kuning, berbau tajam,
dan terasa pahit. Tanaman dan rimpang temu lawak disajikan pada Gambar 14.
(a)
(b)
Gambar 14 (a) Tanaman temu lawak dan (b) rimpang temu lawak.
Kandungan rimpang temu lawak segar terutama terdiri atas pati (4859,64%), kurkuminoid (1,6-2,2%), dan minyak atsiri (1,48-1,63%). Kandungan
utama minyak atsiri dalam rimpang temu lawak adalah xantorizol dan oleoresin.
25
Temu lawak dilaporkan memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antitumor,
antiinflamasi, antioksidan, hepatoprotektif, dan antibakteri (Ravindran et al.
2007). Sementara itu, Irawati (2008) melaporkan bahwa kapasitas antioksidan
temu lawak menggunakan metode CUPRAC dengan pelarut THF sebesar
131,5937 µmol tr/g ekstrak. Aktivitas tersebut disebabkan adanya senyawa aktif
dalam temu lawak, terutama kurkuminoid dan xantorizol (Hwang et al. 2004)
Temu lawak dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai macam
penyakit, yaitu gangguan hati, demam, sakit kuning, pegal-pegal, sembelit,
perangsang air susu, dan obat peluruh haid. Selain itu, rimpang temu lawak juga
berkhasiat untuk obat kejang, antijerawat, malaria, diare, kurang nafsu makan,
kurang darah, cacar air, radang lambung, getah empedu, cacingan, kencing darah,
dan radang ginjal (Sidik et al. 1995).
Kurkuminoid (Gambar 15a) merupakan komponen yang memberi warna
kuning atau jingga pada rimpang temu lawak, berbentuk serbuk, berasa pahit,
memiliki aroma yang khas, dan tidak bersifat toksik. Senyawa ini larut dalam
aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida kurkuminoid berkhasiat
menetralkan racun, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah,
antibakteri, analgesik, dan antiinflamasi (Ravindran et al. 2007).
Xantorizol (Gambar 15b) merupakan komponen khas minyak atsiri yang
dapat diisolasi dari rimpang temu lawak. Senyawa ini termasuk ke dalam
kelompok seskuiterpena dengan tipe bisabolen (Itokawa et al. 1984, Aguilar et al.
2001). Xantorizol tidak berwarna dan rasanya sangat pahit (Itokawa et al. 1984).
Xantorizol memiliki aktivitas membantu relaksasi pembuluh darah (Campos et al.
2000), antibakteri perusak gigi sehingga dapat digunakan dalam produk makanan
dan pasta gigi (Hwang et al. 2004), dan antitumor (Chung et al. 2007).
26
Keterangan : 1. Kurkumin
2. Demetoksikurkumin
3. Bisdemetoksikurkumin
R1 = R2 = −OCH3
R1 = H, R2 = −OCH3
R1 = R2 = −H
a. Struktur kimia kurkuminoid.
b. Struktur kimia xantorizol.
Gambar 15 Struktur kimia kurkuminoid (a) dan xantorizol (b)
Analisis Finansial dan Nilai Tambah
Dalam pendirian suatu pabrik terdapat investasi, yaitu kegiatan yang
menuntut akan waktu yang singkat, dan tingkat keyakinan yang tinggi akan
keberhasilan suatu pertukaran penggunaan untuk harapan berkembangnya
penggunaan tersebut di masa mendatang (Holmes 1998). Menurut Sutojo (2002),
kajian terhadap keadaan dan prospek suatu industri dilakukan atas aspek-aspek
tertentu di antaranya aspek pasar dan pemasaran, aspek produksi, teknis dan
teknologis, aspek manajemen dan sumber daya manusia serta aspek keuangan dan
ekonomi.
Masalah yang dikaji dalam aspek finansial dan ekonomi adalah keuntungan
proyek. Evaluasi finansial dimaksudkan untuk memperkirakan jumlah dana yang
diperlukan, baik untuk dana tetap maupun modal kerja awal. Pada evaluasi aspek
finansial juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana modal yang
digunakan, berapa bagian dari jumlah kebutuhan dana tersebut yang wajar
27
dibiayai dengan pinjaman dari pihak ketiga, serta dari mana sumbernya dan
berapa besarnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis finansial, yaitu modal
investasi, modal kerja, dan penyusutan. Menurut Kadariah et al. (1999), analisis
finansial suatu proyek memandang perbandingan pengeluaran uang dan perolehan
keuntungan dari proyek tersebut. Bila analisis tersebut menunjukkan keuntungan
(benefit) yang bernilai positif, maka rencana proyek dapat dilanjutkan. Bila
sebaliknya yaitu bernilai negatif, maka rencana investasi tersebut sebaiknya
dibatalkan. Analisis finansial dapat dilakukan dengan menghitung biaya investasi
dan biaya produksi, yang kemudian dinilai kelayakan investasinya melalui
beberapa penilaian di antaranya Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return
(IRR), Net Benefit-Cost Ratio (net B/C), Break Even Point (BEP), Pay Back
Period (PBP), dan analisis sensitivitas. Di dalam penelitian ini, penilaian terhadap
analisis finansial dilakukan terhadap (a) analisis biaya dan pendapatan yang
meliputi biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan; (b) rasio B/C; dan (c) nilai
BEP
Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditi
mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu
proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional). Menurut Gumbira dan
Intan (2000), nilai tambah agroindustri adalah nilai yang tercipta dari kegiatan
mengubah input pertanian menjadi produk pertanian atau yang tercipta dari
kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Nilai tambah
dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis. Informasi atau keluaran yang
diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah besarnya nilai tambah, rasio nilai
tambah, marjin, dan balas jasa yang diterima oleh pemilik-pemilik faktor produksi
(Hayami et al. 1987).
Download