TINJAUAN PUSTAKA Selulosa Selulosa adalah homopolimer yang tersusun dari subunit D-glukosa yang ditautkan satu sama lain dengan ikatan β-(1→4)-glikosida. Unit penyusun (building block) selulosa adalah selobiosa karena unit keterulangan dalam molekul selulosa adalah 2 unit gula (D-glukosa). Selulosa adalah senyawa yang tidak larut di dalam air dan ditemukan pada dinding sel tumbuhan terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa merupakan polisakarida struktural yang berfungsi untuk memberikan perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap sel, dan jaringan. (Lehninger 1993). Gambar 1 menyajikan struktur kimia dari selulosa. Gambar 1 Struktur kimia selulosa. Di dalam jaringan tumbuhan berkayu, selulosa dapat dijumpai bersamasama dengan hemiselulosa, lignin, dan pati. Gabungan 40-50% selulosa dan 1525% hemiselulosa disebut holoselulosa. Kandungan holoselulosa berdasarkan bobot keringnya adalah sebesar 65-70%. Gabungan antara selulosa, hemiselulosa, dan lignin disebut lignoselulosa (Rowell 2005). Menurut Hu et al. (2008), bahanbahan yang mengandung lignoselulosa dapat dihasilkan dari berbagai sumber, di antaranya biomassa hasil hutan, limbah pertanian, tanaman rumput-rumputan, dan limbah industri (Gambar 2). Komposisi kimia bahan lignoselulosa tergantung pada jenis dan sumber/asal bahannya. Komposisi kimia bahan lignoselulosa disajikan pada Tabel 1. 10 Gambar 2 Bahan lignoselulosa berdasarkan sumbernya (Hu et al. 2008). Tabel 1 Komposisi kimia beberapa bahan yang mengandung lignoselulosa Sumber Lignoselulosa Komposisi (%) Pustaka Acuan Selulosa Hemiselulosa Lignin Jerami padi 36,5 33,8 12,3 Sun et al. (2000) Bagas tebu 43,6 33,5 18,1 Sun et al. (2004a) Abaka 63,72 5-10 21,83 Hon (1996) Tongkol jagung 45 35 15 Hon (1996) Kapas 95 2 0,9 Hon (1996) Sisal 73 11 13 le Digabel dan Avérous (2006) Jerami gandum 39,4 24,0 11,2 Kham et al. (2005) Serat rami 65,0 15,8 12,7 Jahan et al. (2011) Jumlah unit glukosa di dalam molekul selulosa dapat dilihat melalui derajat polimerisasinya (DP). Derajat polimerisasi didefinisikan sebagai berikut: DP = bobot molekul selulosa bobot molekul satu unit glukosa 11 Derajat polimerisasi dapat ditentukan secara viskometri. Derajat polimerisasi selulosa sangat bervariasi, nilai DP bergantung pada sumber dan perlakuan yang diberikan. Perlakuan kimia secara intensif seperti pembuatan pulp, pengelantangan, dan transfromasi akan sangat menurunkan harga DP. Proses delignifikasi dan ekstraksi juga dapat menurunkan DP selulosa. Selain itu, semakin tua umur pohon, maka derajat polimerisasi juga semakin menurun (Fengel dan Wegener 1995). Derajat polimerisasi juga menggambarkan perkiraan bobot molekul dari selulosa. Tabel 2 menyajikan derajat polimerisasi berbagai bahan yang mengandung selulosa. Tabel 2 Derajat polimerisasi berbagai jenis selulosa Bahan Kisaran DP Native cotton Up to 12000 Scoured & bleached cotton 800-1800 Wood pulp 600-1200 Man-made cellulose filaments and fibers 250-500 Cellulose powders (prepared by partial hyrolysis and mechanical disintegration) 100-200 Sumber: Klemm et al. (1998) Selulosa memiliki struktur yang unik karena kecenderungannya membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan hidrogen intramolekular terbentuk antara: (1) gugus hidroksil C3 pada unit glukosa dan atom O cincin piranosa yang terdapat pada unit glukosa terdekat, (2) gugus hidroksil pada C2 dan atom O pada C6 unit glukosa tetangganya. Ikatan hidrogen antarmolekul terbentuk antara gugus hidroksil C6 dan atom O pada C3 di sepanjang sumbu b (Gambar 3). Dengan adanya ikatan hidrogen serta gaya van der Waals yang terbentuk, maka struktur selulosa dapat tersusun secara teratur dan membentuk daerah kristalin. Di samping itu, juga terbentuk rangkaian struktur yang tidak tersusun secara teratur yang akan membentuk daerah nonkristalin atau amorf. Semakin tinggi packing density-nya maka selulosa akan berbentuk kristal, sedangkan semakin rendah packing density maka selulosa akan berbentuk amorf. Derajat kristalinitas selulosa dipengaruhi oleh sumber dan perlakuan yang diberikan. Rantai-rantai selulosa akan bergabung menjadi satu kesatuan membentuk mikrofibril, dimana bagian 12 kristalin akan bergabung dengan bagian nonkristalin. Mikrofibril-mikrofibril akan bergabung membentuk fibril, selanjutnya gabungan fibril akan membentuk serat (Gambar 4). Gambar 3 Ikatan hidrogen intra dan antar rantai selulosa (Klemm et al. 1998). Gambar 4 Model fibril struktur supramolekul selulosa (Klemm et al. 1998). 13 Ela Sagu Ela sagu (hampas) adalah limbah padat selain kulit batang yang dihasilkan pada saat ekstraksi pati sagu (Metroxylon sagu). Pada saat ekstraksi pati sagu akan dihasilkan 3 (tiga) limbah, yaitu kulit batang sagu (bark), limbah padat berserat (ela sagu~hampas), dan air limbah. Skema ekstraksi pati sagu disajikan pada Gambar 5. Sago Pith Debarking Bark Fiber Pulping Hampas Starch Extraction Starch Wastewater Drying & Packing Gambar 5 Skema ekstraksi pati sagu. Jumlah ela sagu yang dihasilkan pada setiap proses ekstraksi pati sagu bergantung pada kualitas proses ekstraksi di tempat tersebut. Menurut Awg-Adeni et al. (2010), ela sagu mengandung sekitar 66% pati dan 14% serat kasar serta 25% lignin. Pada proses ekstraksi pati sagu, limbah padat berserat yang masih mengandung sedikit pati merupakan masalah utama, khususnya untuk pabrik berskala besar, karena jumlahnya yang sangat banyak. Penanganan limbah ela sagu ini juga sulit karena kelembabannya yang tinggi sehingga tidak mudah kering dan masih mengandung pati. Pada kondisi ini, ela sagu mudah menjadi media tumbuh mikroorganisme. Selain pati, ela sagu mengandung sejumlah selulosa dan lignin. Beberapa kajian tentang pemanfaatan ela sagu telah dilaporkan pada pohon industri sagu yang disajikan pada Gambar 6. 14 Obat tradisional Atap, dinding Daun Tumang Kerajinan Kertas Papan partikel Sagu Kulit Batang Lantai Bahan bakar Salad Dressing Roti Makanan Mie Batang Sagu Siklodektrin Cookies dll Sirup glukosa bioplastik Bahan kimia bioetanol Biofuel lem Farmasi Pati Sagu plywood tekstil Asam Sitrat Asam Laktat Pakan ternak Papan partikel Kompos Ela Sagu Kultur media Biosorben Fermentable sugars Gambar 6 Pohon industri sagu. 15 Bagas Tebu Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas (bagasse) adalah hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan tebu di pabrik gula. Gambar 7 menyajikan proses pembuatan gula pada pabrik gula. Gambar 7 Proses pembuatan gula pada pabrik gula. Bagas tebu mengandung air 48-52%, rerata gula 3,3% dan rerata serat 47,7%. Menurut Samsuri et al. (2007), serat dari bagas tebu tidak dapat larut dalam air dan komposisi lignoselulosa pada ampas tebu terdiri atas 52,7% selulosa, 20% hemiselulosa, dan 24,2% lignin (berdasarkan bobot kering). Dengan komposisi selulosa yang cukup tinggi, ampas tebu berpotensi untuk dimanfaatkan oleh industri lainnya. Beberapa pemanfaatan bagas tebu dapat dilihat pada pohon industri dari tanaman tebu yang disajikan pada Gambar 8. 16 Gambar 8 Pohon industri tebu. 17 Jerami Padi Jerami padi adalah limbah pertanian yang dihasilkan dalam jumlah cukup banyak setiap tahunnya. Jerami padi dihasilkan sebagai proses penggabahan. (Gambar 9). Pohon industri dari tanaman padi disajikan pada Gambar 10. Gambar 9 Proses menghasilkan padi. Komponen utama dinding sel jerami padi adalah selulosa. Di dalam dinding sel ini, rantai selulosa akan terikat melalui ikatan hidrogen membentuk beberapa mikrofibril dengan panjang beberapa milimeter dan diameter beberapa nanometer (Chen et al. 2011). Pada musim panen, kadar air jerami padi mencapai 60% berdasarkan bobot basah. Akan tetapi setelah dikeringkan dapat mencapai 1012%. Jerami padi mempunya kadar abu yang tinggi mencapai 22% dan kandungan protein yang rendah (Abdel-Mohdy et al. 2009). Menurut Sun et al. (2000), komposisi jerami padi terdiri atas selulosa 36,5%, hemiselulosa 33,8%, lignin 12,3%, bahan ekstraktif 3,8%, abu 13,3%, dan silika 70,8%. 18 Gambar 10 Pohon industri padi. 19 Pencangkokan dan Taut Silang Penggabungan monomer dan polimer dapat dilakukan dengan berbagai teknik, di antaranya adalah dengan fisisorpsi, pencangkokan (grafting), dan taut silang (crosslinking) (Bhattacharya et al. 2009). Istilah fisisorpsi digunakan jika melibatkan ikatan secara fisik. Proses fisisorpsi ini adalah proses yang dapat balik (reversibel). Pencangkokan melibatkan ikatan secara kovalen dan bersifat tidak dapat balik (irreversibel). Teknik pencangkokan terbagi menjadi grafting to dan grafting from. Pada grafting to, polimer backbone membawa gugus fungsional X reaktif yang terdistribusi secara random dan bereaksi dengan polimer lain yang membawa gugus fungsi Y. Teknik grafting from terjadi jika polimer backbone membawa tapak aktif yang digunakan untuk menginisiasi polimerisasi monomer lain. Teknik grafting form akan menghasilkan polimer dengan derajat grafting yang tinggi. Proses grafting secara skematis disajikan pada Gambar 11a. Taut silang adalah menggabungkan polimer-polimer melalui suatu ikatan kimia. Pada sebagian kasus, taut silang bersifat tidak dapat balik. Ikatan yang terbentuk melalui taut silang dapat berbentuk intra- atau antarmolekul. Proses taut silang secara skematis disajikan pada Gambar 11b. Gambar 11 A Skema fisisorpsi (I), grafting to (II), grafting form (III); B Skema crosslinking antarmolekul (I) dan intramolekul (II) 20 Kromatografi Kromatografi berasal dari kata chroma yang berarti warna dan graphein yang artinya menulis. Kromatografi adalah salah satu teknik yang digunakan di laboratorium untuk pemisahan campuran. Pada prinsipnya semua kromatografi menggunakan dua cara, yaitu fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Pemisahan bergantung pada gerakan relatif dari kedua fase ini. Keuntungan penggunaan teknik kromatografi adalah cepat, murah, dapat memisahkan campuran yang kompleks, dan membutuhkan analit yang sedikit (Miller 1975; Ahuja 2002). Pada beberapa jenis kromatografi, kolom merupakan tempat untuk memisahkan. Kolom selalu berbentuk tabung yang dapat diatur menjadi kumparan atau lurus. Jika suatu analit dimasukkan ke dalam alat kromatografi, maka akan ada waktu dimana analit ditahan oleh kolom. Waktu ini disebut waktu penahanan (tR). Pada kondisi ideal dengan pemisahan yang sempurna, puncak yang dihasilkan oleh suatu campuran analit adalah berbentuk garis tipis (Gambar 12a), namun demikian kondisi ini jarang terjadi. Puncak yang sering didapatkan adalah puncak dengan bentuk kurva-kurva Gauss dengan pelebaran puncak (Gambar 12b), atau pada keadaan tertentu dapat dihasilkan puncak berekor dengan pemanjangan di muka. d A D C Injeksi B (a) (b) W1 W2 Gambar 12 Profil kromatogram. 21 Resolusi Pemisahan Resolusi pemisahan adalah pemisahan nyata antara 2 puncak yang saling berdekatan. Resolusi pemisahan (R) dinyatakan sebagai: R= 2d W1 + W 2 Jika R=1 maka pemisahan dikatakan 98%. Untuk pemisahan yang baik, maka R harus ≥ 1.5. Hal ini berarti pemisahan yang terjadi adalah ≥ 99.7% Pemisahan dari puncak-puncak dalam kromatogrfi erat hubungannya dengan dua faktor, yaitu: 1. Efisiensi Kolom: Pelebaran puncak merupakan hasil dari bentuk kolom dan kondisi operasi 2. Efisiensi Pelarut: Hasil dari interaksi antara cuplikan dengan fase diamnya. Efisiensi pelarut menentukan relatif dari jalur-jalur solut dalam suatu kromatogram. Efisiensi Kolom Efisiensi kolom diukur sebagai jumlah pelat teoritis (N). HETP (The height equivalent to a theoretical plate) didefinisikan sebagai: HETP = L N N adalah jumlah pelat teoritis dalam suatu kolom dan L adalah panjang kolom(cm). Efisiensi kolom tergantung pada: 1. Pelarut-fase diam 2. Analit/zat yang dilarutkan 3. Suhu 4. Kecepatan aliran 5. Ukuran dari analit 22 Efisiensi Pelarut Kromatografi dapat memisahkan campuran kompleks yang memiliki titik didih sama. Pada kondisi ini, pemisahan tidak akan bisa dilakukan melalui teknik distilasi. Pelarut mempunyai interaksi yang spesifik dengan analit. Pemisahan akan tergantung pada harga koefisien partisi (K). Efisiensi pelarut didefinisikan sebagai perbandingan dari koefisien partisi atau waktu retensi yang telah diatur. Profil kromatogram terkoreksi disajikan pada Gambar 13. X2 X2’ X1 X udara X1’ Injeksi Puncak udara Puncak 1 Puncak 2 Keterangan: X1, X2 adalah waktu retensi (volume) dari puncak 1,2 X1’, dan X2’ adalah waktu retensi terkoreksi Gambar 13 Profil kromatogram terkoreksi. Efisiensi pelarut (α) dinyatakan sebagai: x 2' k α= ' = 2 x1 k 1 Selain itu dapat didefinisikan juga faktor pemisahan (SF) sebagai: SF = x2 x1 Faktor kapasistas untuk suatu pemisahan didefinisikan sebagai: k 2' = x 2' xudara 23 Koefisien partisi (K) akan tergantung pada suhu. Harga K akan turun dengan meningkatnya suhu karena molekul-molekul akan tertahan lebih lama di dalam fase gas pada suhu yang tinggi dan efisiensi pelarut akan tetap pada kisaran suhu tertentu. Akan tetapi, pada suhu yang relatif tinggi, harga K akan menjadi sangat kecil sehingga pemisahan akan menjadi tidak sempurna. Hal ini disebabkan pemisahan hanya terjadi di fase cairnya saja. Secara umum dapat diperkirakan jumlah pelat teoritis (N) yang dibutuhkan dalam suatu pemisahan atau dengan kata lain dapat diperkirakan panjang kolom yang dibutuhkan untuk menghasilkan pemisahan yang baik, melalui persamaan berikut ini: N yangdibutuhkan ⎛ α ⎞ = 16 R ⎜ ⎟ ⎝α − x ⎠ 2 2 ⎛ k 2 '+1 ⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ k ' ⎝ 2 ⎠ 2 dengan R adalah resolusi pemisahan, α adalah efisiensi pelarut, dan k2’ adalah faktor kapasistas. Material Sepator Senyawa selulosa dan turunan selulosa telah digunakan dalam teknologi separasi sebagai material separator, khususnya dalam teknik kromatografi misalnya pada kromatografi kertas sampai kromatografi cair kinerja tinggi. Aplikasi senyawa turunan selulosa sebagai penukar ion pada kromatografi lapis tipis dilaporkan memberikan hasil yang cepat dan akurat dalam pemisahan ion-ion anorganik pada konsentrasi yang kecil. Beberapa kajian terkait dengan pemisahan ion logam ini telah dilaporkan di antaranya menggunakan karboksimetil selulosa (CMC) (Shimizu et al. 1976), menggunakan selulosa fosfat (Shimizu et al. 1980), menggunakan polietilenimina-selulosa (Shimizu et al. 1989). Kajian beberapa material separator berbasis selulosa sebagai chiral stationary phases (CSP) telah dilaporkan di antaranya oleh Ficarra et al. (2000) melaporkan telah menggunakan kolom selulosa untuk memisahkan 1-metil-3hidroksi-5-aril-2-pirolidinonat. dimetilfenilkarbamat untuk Selain pemisahan itu, kolom 8 selulosa enansiomer tris (3,5- O,O-dialkil-2- 24 benziloksikarbonilaminoarilmetil fosfonat (Yang et al. 2002). Lipka et al. (2005) melakukan pemisahan secara kiral pada derivat senyawa melatoninergat menggunakan kolom kiral berbasis selulosa. Su-lian et al. (2007) menggunakan etil selulosa (EC) dan paduan etil selulosa/selulosa asetat (EC/CA) sebagai column packing material pada HPLC (high performance liquid chromatography). Temu Lawak Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan salah satu jenis tanaman unggulan yang mememilik banyak manfaat, di antaranya sebagai bahan tambahan makanan, obat-obatan, dan suplemen energi (Hwang et al. 2004). Klasifikasi tanaman temu lawak adalah sebagai berikut: kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingeberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza. Temu lawak memiliki beberapa nama, misalnya koneng gede (Jawa Barat), temu lawak (Jawa Tengah), temu lobak (Madura), dan tetemu lawak (Sumatera) (Supriadi 2001). Temu lawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Setiap rumpun tanamannya terdiri atas beberapa anakan dengan 2-9 helai daun. Temu lawak memiliki rimpang dengan daging rimpang berwarna kuning, berbau tajam, dan terasa pahit. Tanaman dan rimpang temu lawak disajikan pada Gambar 14. (a) (b) Gambar 14 (a) Tanaman temu lawak dan (b) rimpang temu lawak. Kandungan rimpang temu lawak segar terutama terdiri atas pati (4859,64%), kurkuminoid (1,6-2,2%), dan minyak atsiri (1,48-1,63%). Kandungan utama minyak atsiri dalam rimpang temu lawak adalah xantorizol dan oleoresin. 25 Temu lawak dilaporkan memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antitumor, antiinflamasi, antioksidan, hepatoprotektif, dan antibakteri (Ravindran et al. 2007). Sementara itu, Irawati (2008) melaporkan bahwa kapasitas antioksidan temu lawak menggunakan metode CUPRAC dengan pelarut THF sebesar 131,5937 µmol tr/g ekstrak. Aktivitas tersebut disebabkan adanya senyawa aktif dalam temu lawak, terutama kurkuminoid dan xantorizol (Hwang et al. 2004) Temu lawak dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai macam penyakit, yaitu gangguan hati, demam, sakit kuning, pegal-pegal, sembelit, perangsang air susu, dan obat peluruh haid. Selain itu, rimpang temu lawak juga berkhasiat untuk obat kejang, antijerawat, malaria, diare, kurang nafsu makan, kurang darah, cacar air, radang lambung, getah empedu, cacingan, kencing darah, dan radang ginjal (Sidik et al. 1995). Kurkuminoid (Gambar 15a) merupakan komponen yang memberi warna kuning atau jingga pada rimpang temu lawak, berbentuk serbuk, berasa pahit, memiliki aroma yang khas, dan tidak bersifat toksik. Senyawa ini larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida kurkuminoid berkhasiat menetralkan racun, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, antibakteri, analgesik, dan antiinflamasi (Ravindran et al. 2007). Xantorizol (Gambar 15b) merupakan komponen khas minyak atsiri yang dapat diisolasi dari rimpang temu lawak. Senyawa ini termasuk ke dalam kelompok seskuiterpena dengan tipe bisabolen (Itokawa et al. 1984, Aguilar et al. 2001). Xantorizol tidak berwarna dan rasanya sangat pahit (Itokawa et al. 1984). Xantorizol memiliki aktivitas membantu relaksasi pembuluh darah (Campos et al. 2000), antibakteri perusak gigi sehingga dapat digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi (Hwang et al. 2004), dan antitumor (Chung et al. 2007). 26 Keterangan : 1. Kurkumin 2. Demetoksikurkumin 3. Bisdemetoksikurkumin R1 = R2 = −OCH3 R1 = H, R2 = −OCH3 R1 = R2 = −H a. Struktur kimia kurkuminoid. b. Struktur kimia xantorizol. Gambar 15 Struktur kimia kurkuminoid (a) dan xantorizol (b) Analisis Finansial dan Nilai Tambah Dalam pendirian suatu pabrik terdapat investasi, yaitu kegiatan yang menuntut akan waktu yang singkat, dan tingkat keyakinan yang tinggi akan keberhasilan suatu pertukaran penggunaan untuk harapan berkembangnya penggunaan tersebut di masa mendatang (Holmes 1998). Menurut Sutojo (2002), kajian terhadap keadaan dan prospek suatu industri dilakukan atas aspek-aspek tertentu di antaranya aspek pasar dan pemasaran, aspek produksi, teknis dan teknologis, aspek manajemen dan sumber daya manusia serta aspek keuangan dan ekonomi. Masalah yang dikaji dalam aspek finansial dan ekonomi adalah keuntungan proyek. Evaluasi finansial dimaksudkan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan, baik untuk dana tetap maupun modal kerja awal. Pada evaluasi aspek finansial juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana modal yang digunakan, berapa bagian dari jumlah kebutuhan dana tersebut yang wajar 27 dibiayai dengan pinjaman dari pihak ketiga, serta dari mana sumbernya dan berapa besarnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis finansial, yaitu modal investasi, modal kerja, dan penyusutan. Menurut Kadariah et al. (1999), analisis finansial suatu proyek memandang perbandingan pengeluaran uang dan perolehan keuntungan dari proyek tersebut. Bila analisis tersebut menunjukkan keuntungan (benefit) yang bernilai positif, maka rencana proyek dapat dilanjutkan. Bila sebaliknya yaitu bernilai negatif, maka rencana investasi tersebut sebaiknya dibatalkan. Analisis finansial dapat dilakukan dengan menghitung biaya investasi dan biaya produksi, yang kemudian dinilai kelayakan investasinya melalui beberapa penilaian di antaranya Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (net B/C), Break Even Point (BEP), Pay Back Period (PBP), dan analisis sensitivitas. Di dalam penelitian ini, penilaian terhadap analisis finansial dilakukan terhadap (a) analisis biaya dan pendapatan yang meliputi biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan; (b) rasio B/C; dan (c) nilai BEP Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditi mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional). Menurut Gumbira dan Intan (2000), nilai tambah agroindustri adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input pertanian menjadi produk pertanian atau yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Nilai tambah dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis. Informasi atau keluaran yang diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah besarnya nilai tambah, rasio nilai tambah, marjin, dan balas jasa yang diterima oleh pemilik-pemilik faktor produksi (Hayami et al. 1987).