BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh kuman M. leprae. Berdasarkan penemu kuman M. leprae yaitu Armauer Gerald Hansen, kusta juga disebut dengan Morbus Hansen. Infeksi oleh M. leprae berlangsung secara perlahan dan progresif, secara primer menyerang saraf tepi, dan secara sekunder menyerang kulit. Konsentrasi kuman yang tinggi dalam tubuh dapat melibatkan organ dalam lainnya seperti otot, mukosa saluran pernafasan atas, sistem retikuloendothelial, saluran pencernaan, mata, tulang, dan testis (Kumar dan Dogra, 2010). 2.1.2 Epidemiologi kusta Prevalensi kusta di dunia menurut WHO, berdasarkan data dari 121 negara yang dikelompokkan dalam 5 wilayah sejumlah 213.899 kasus pada tahun 2014, mengalami peningkatan dari 215.656 kasus pada tahun 2013. Sejumlah 154.834 kasus terdapat di wilayah Asia Tenggara, India menempati posisi kasus kusta terbanyak sejumlah 125.785 kasus, disusul oleh Brazil sejumlah 31.064 kasus, dan Indonesia menempati posisi ketiga (WHO, 2015). Departemen Keseha tan Republik Indonesia pada tahun 2013 melaporkan jumlah penderita kusta di Indonesia meningkat dari tahun 2013 sejumlah 16.856 kasus menjadi 17.025 8 9 kasus. Jawa Timur menempati posisi dengan jumlah kasus kusta baru terbanyak sejumlah 4.132 kasus dari total 16.856 kasus pada tahun 2013 (Infodatin, 2015). Diantara negara-negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,3% (Depkes, 2013). Keadaan ini memberi kesan bahwa MDT berhasil menurunkan prevalensi namun tidak dapat mencegah timbulnya kasus kusta baru di masyarakat. Kondisi ini dihubungkan dengan fenomena gunung es dimana MDT hanya membasmi kusta yang sudah bermanifestasi, namun kusta subklinis sebagai kandidat kasus kusta baru tidak terjamah (Desikan et al, 2003). Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit kusta dapat terjadi pada semua usia, namun yang terbanyak pada usia muda dan produktif. Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, namun laporan di beberapa negara menemukan angka kejadian yang lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Hando et al, 2011). 2.1.3 Etiologi kusta Mycobacterium leprae merupakan mikobakteri berbentuk batang tahan asam, gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, bersifat non motil, aerob, dan obligat intraseluler. Bakteri ini memiliki ukuran panjang 1 mikron hingga 8 mikron, diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat. Seperti mikobakteri yang lain M. leprae membelah secara biner. 10 Tropisme dari bakteri ini adalah sel histiosit dan sel Schwann, namun dapat pula pada sel otot dan sel vaskuler endotel. Pembelahan terjadi setiap 11 hari hingga 13 hari, dan tumbuh maksimal pada suhu 30o C hingga 33o C. Pemeriksaan mikroskopis secara langsung menunjukkan bentukan khas adanya basil menggerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi) yang terletak intraseluler dan ekstraseluler (Rees dan Young, 1994). Dinding sel M. leprae mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target respon imunitas selular maupun humoral yang ditemukan pada membran sel bagian luar. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol dimycocerosate yang berperan sebagai perlindungan pasif terhadap terhadap respon imun host, dan PGL-1, merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis. Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat memicu immunoglobulin kelas imunoglobulin M (IgM) yang ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL (Mahapatra et al, 2008). 2.1.4 Mekanisme penularan kusta Mekanisme penularan M. leprae hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Penelitian mengenai mekanisme penularan penyakit kusta sulit dilakukan karena biologi M. leprae yang bersifat unik dan periode inkubasi yang panjang. Sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak diobati. Kusta tipe MB merupakan sumber infeksi yang paling utama dibandingkan tipe pausi basiler (PB), namun semua kasus kusta aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber infeksi yang potensial. Saluran pernafasan 11 terutama mukosa nasal merupakan tempat masuk utama M. leprae, sehingga inhalasi droplet merupakan mekanisme penularan yang paling penting. Kemampuan transmisi M. leprae yang bersifat rendah menyebabkan kontak yang lama (nara kontak) serta penduduk yang padat merupakan salah satu faktor risiko (Thorat et al, 2010). Faktor genetik yaitu gen human leucocyte antigen (HLA-DR2) dan gen non HLA diduga berperan pada kerentanan genetik baik pada kusta secara umum maupun tipe kusta. Lokus pada kromosom 6q25 tampaknya berperan dalam mengendalikan kerentanan terhadap kusta. Penelitian lain di India menunjukkan lokus pada kromosom 10p13 berkaitan dengan peningkatan risiko kusta tipe PB (Thorat et al, 2010). Penularan kusta dapat melalui kulit secara langsung dan fomit. Metode transmisi lain yang masih belum terbukti adalah transmisi in utero dan melalui air susu ibu (ASI). Transmisi in utero dicurigai berperan pada penularan karena adanya kasus kusta yang dilaporkan pada bayi usia 3 minggu, sedangkan transmisi melalui ASI dicurigai karena ditemukannya basil M. leprae pada ASI, namun hipotesis ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Penularan juga dipengaruhi oleh IB dan tipe kusta pada kontak (Thorat et al, 2010). 2.1.5 Imunopatogenesis kusta Patogenesis kusta dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor patogen (M. leprae), faktor host (usia, jenis kelamin, migrasi, imunitas, genetik), lingkungan (kelembaban, daerah endemis), dan sosial (lingkungan padat, pendidikan rendah, kebersihan diri rendah, dan ventilasi yang kurang). Faktor 12 patogen adalah M. leprae yang bersifat obligat intraseluler dengan afinitas tinggi terutama pada sel Schwann, dan sel dalam sistem retikuloendothelial. Kondisi jaringan yang dingin merupakan tempat pertumbuhan paling baik untuk M. leprae seperti saraf tepi, kulit, saluran pernafasan atas, dan testis (Sekar, 2010). Komponen imunogenik M. leprae yaitu polisakarida yang menginduksi respon imun humoral, dan protein yang menginduksi baik respon humoral maupun imun seluler. Komponen imunogen M. leprae ini berasal dari antigen sitoplasma dan antigen yang disekresikan oleh sel mikobakteri (Bryceson, 1990). Penyakit kusta ditandai dengan spektrum klinis luas yang didasarkan atas respon imunitas seluler host. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh sel Thelper 1 (Th1) pada kulit dan saraf, menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae. Hal ini mengakibatkan gambaran klinis adanya gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae (Modlin, 2010). Respon imunitas host terhadap infeksi M. leprae diawali masuknya patogen menembus barier fisik mukosa hidung, kemudian menuju ke kulit dan saraf tepi melalui sirkulasi. Keberhasilan invasi M. leprae menembus barier fisik, kemudian direspon oleh sistem seluler yang diperankan oleh makrofag, sehingga sistem fagositosis makrofag merupakan barier pertama untuk melawan M. leprae (Modlin, 2010). 13 Terdapat 4 rute sinyal disertai interaksi molekuler pada makrofag yang melibatkan aktivasi TRLs, TGF-, jalur regulasi TNF-, dan jalur yang diperantarai oleh VDR seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1 (Lastoria, 2014). Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh PGL-1 pada dinding sel M. leprae yang dikenali oleh complement receptor atau CR1(CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18), serta diregulasi oleh protein kinase. Sistem fagositosis makrofag diaktivasi melalui pengenalan PGL-1 oleh TLRs pada permukaan makrofag. Interaksi makrofag dengan PGL-1 melalui TLRs ini menimbulkan aktivasi sel Tnaive melalui sekresi interleukin-12 (IL-12) dan IL-10. Sitokin-sitokin ini menginduksi perubahan sel Tnaive menjadi sel Th1 maupun sel Th2. Masing-masing sel limfosit T teraktivasi ini akan mempromosikan sel respon imun seluler dan humoral terhadap M. leprae, sehingga muncul perkembangan penyakit kusta ke bentuk tuberkuloid atau lepromatosa. Aktivasi TLRs makrofag juga meningkatkan regulasi VDR dan gen 1-hydroxylase vitamin D yang menyebabkan induksi peptida anti mikroba katelisidin untuk membunuh M. leprae. Selain itu, stimulasi TLRs memicu aktivasi nuclear transcription factor (NF) yang berperan dalam proses transkripsi berbagai gen pada respon imun (Lastoria, 2014; Spierings et al, 2000). 14 Gambar 2.1 Jalur metabolik respon imun pada kusta (Lastoria, 2014) Sitokin proinflamasi akibat aktivasi makrofag memodulasi TGF- yang berperan mempertahankan toleransi sistem imun melalui regulasi proliferasi, diferensiasi, dan pertahanan hidup limfosit. Aktivasi TGF- ini mengontrol inisiasi dan resolusi respon inflamasi tanpa mempengaruhi respon imun terhadap patogen. Aktivasi TGF- memicu protein SMAD3 yang berfungsi sebagai koaktivator VDR atau faktor transkripsi pada inti (Lastoria, 2014). Makrofag teraktivasi akibat stimulus patogen mensekresi sitokin seperti TNF- yang dapat menginduksi inducible nitric oxide species (iNOS) dan nitric oxide (NO) yang berperan untuk membunuh M. leprae (Lastoria, 2014). 15 2.1.6 Penegakan diagnosis dan klasifikasi kusta Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan didukung dengan pemeriksaan slit skin smear. Diagnosis kusta ditegakkan bila memenuhi satu atau lebih dari tanda kardinal sebagai berikut: (WHO,1997). 1. Lesi kulit disertai anestesi. Lesi kulit dapat berupa makula, atau plak eritema berwarna seperti tembaga, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dapat juga berupa infiltrasi atau edema. Jumlah lesi dapat tunggal atau multipel. Hilangnya fungsi kelenjar menyebabkan permukaan lesi tampak kering, kasar, berkeringat atau berkilap. Folikel rambut dapat menghilang. Anestesi atau gangguan hingga hilangnya fungsi sensorik terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu dapat ditemukan pada lesi dan area yang dipersarafi oleh saraf perifer. Pada kusta tipe lepromatosa dapat juga mengenai area di luar persarafan yang terlibat. 2. Penebalan saraf tepi Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit, paling sering mengenai nervus ulnaris dan nervus peroneus komunis. Pembesaran saraf multipel umumnya lebih sering ditemukan pada kusta tipe MB. Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus peroneus, dan nervus tibialis posterior (WHO, 1997). 3. Pemeriksaan slit skin smear ditemukan basil tahan asam Pemeriksaan slit skin smear memiliki spesifisitas 100% dengan sensitivitas lebih rendah sekitar 10-50%. Hapusan kulit dapat diambil dari kedua lobus telinga, lesi 16 kulit, bagian dorsum interfalang digiti III manus, dan bagian dorsum digiti I pedis. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen. Berdasarkan pemeriksaan slit skin smear dapat ditentukan IB dan indeks morfologis (IM) yang membantu dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi. Indeks bakteriologi merupakan ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus yang dihitung menurut skala logaritma Ridley. Nilai IB berkisar dari terendah +1 yang mengandung jumlah bakteri paling sedikit, hingga +6 yang mengandung jumlah bakteri paling banyak pada setiap lapangan pandang (WHO,1997). Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen pengobatan, prognosis, komplikasi, perencanaan operasional, dan untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat. Klasifikasi kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley dan Jopling (1966) yang membagi kusta menjadi lima spektrum berdasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1. Lima spektrum kusta tersebut yaitu kusta tipe tuberkuloid atau tuberculoid tuberculoid (TT), kusta tipe lepromatosa atau lepromatous lepromatous (LL), dan kusta tipe borderline. Kusta tipe borderline terdiri atas tiga tipe yaitu kusta borderline-borderline (BB), borderline tuberculoid (BT), dan borderline lepromatous atau BL. Pada fase awal perjalanan alamiah penyakit kusta dapat terbentuk tipe inderterminate (Suzuki et al, 2012). 17 Tabel 2.1 Klasifikasi kusta Ridley dan Jopling (Suzuki et al, 2012) Lesi TT BT BB BL LL Jumlah biasanya tunggal (sampai dengan 3 lesi) bervariasi, umumnya besar kering, dengan skuama sedikit (sampai dengan 10 lesi) beberapa (10-30 lesi) banyak asimetris (>30 lesi) tidak terhitung, simetris bervariasi, beberapa besar kering, dengan skuama, terlihat cerah, infiltrasi menurun dengan jelas Bervariasi kecil, beberapa dapat besar mengkilap kecil menurun sedang sedikit menurun menurun dengan jelas negatif atau sedikit menurun sedang sedikit menurun jumlah sedang banyak positif lemah (+ atau ++) negatif negatif atau positif lemah menurun minimal, atau normal normal pada tahap awal banyak sekali termasuk globi negatif Ukuran Permukaan Sensasi absen Pertumbuhan rambut absen BTA negatif Reaktivitas lepromin positif kuat (+++) kusam atau sediki mengkilap mengkilap Berdasarkan kepentingan pengobatan dan untuk memudahkan petugas lapangan, WHO mengklasifikasikan kusta menjadi dua tipe berdasarkan jumlah lesi kulit yaitu kusta tipe MB terdiri atas lebih dari 5 lesi kulit, dan PB lesi tunggal (single lession paucibacillary atau SLPB), dan PB dua hingga lima lesi kulit. Apabila didapatkan hasil IB yang positif diklasifikasikan menjadi tipe MB tanpa 18 memandang jumlah lesi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.2 (Northern Territory Government, 2010). Tabel 2.2 Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan WHO (Northern Territory Government, 2010) Klasifikasi klinis Jumlah lesi kulit SLPB Hanya 1 lesi Sediaan hapusan Negatif pada semua area Terbatas Distribusi Hilangnya sensasi Kerusakan saraf Korelasi dengan Ridley dan Jopling Saraf dibadan tidak terlibat I, TT, BT PB 2- 5 lesi DAN Negatif pada semua area Asimetris Terbatas Hanya 1 saraf dibadan yang terlibat TT, kebanyakan BT MB 6 atau lebih lesi Positif pada semua area Lebih simetris Luas Banyak saraf dibadan yang terlibat Beberapa BT, BB, BL, LL 2.1.7 Pengobatan kusta World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan penggunaan MDT yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofasimin untuk pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk menurunkan insiden relaps paska pengobatan, menurunkan efek samping serta menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya. Untuk kepentingan terapi, WHO mengklasifikasi penderita kusta menjadi tiga kelompok yaitu kusta PB dengan lesi tunggal, kusta PB dengan lesi kulit dua hingga lima, dan kusta MB dengan lesi kulit lebih dari lima, atau semua pasien dengan BTA positif. Regimen PB dengan lesi kulit dua hingga lima terdiri atas rifampisin 600mg sebulan sekali ditambah dapson 100mg/hari selama enam bulan. Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari 19 lima, terdiri atas kombinasi rifampisin 600mg sebulan sekali, klofazimin 300mg/sebulan sekali dan 50mg/hari, dapson 100mg/hari dengan lama pengobatan 12 bulan. Regimen PB lesi tunggal terdiri atas rifampisin 600mg ditambah dengan ofloksasin 400mg dan minosiklin 100mg (ROM) dosis tunggal. Regimen PB 2-5 lesi terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dapson 100 mg setiap hari selama 6 bulan (Worobec, 2009; Desikan et al, 2003). 2.2 Vitamin D 2.2.1 Definisi vitamin D Vitamin D merupakan vitamin larut dalam lemak yang berperan sebagai hormon sekosteroid yaitu hormon steroid dengan cincin B yang hilang. Terdapat dua bentuk vitamin D yang belum aktif yaitu vitamin D2 (ergokalsiferol), dan vitamin D3 (kolekalsiferol). Vitamin D2 bersumber dari tumbuhan seperti ragi dan jamur. Vitamin D3 (kolekalsiferol) yang disintesis di kulit manusia dengan bantuan sinar matahari dan dikonsumsi dari diet makanan berbahan hewan seperti ikan salmon, tuna, makarel, sarden, kuning telur, hati, keju. Kedua jenis vitamin dapat disintesis secara komersial dan didapatkan dalam suplemen diet dan makanan yang difortifikasi. Struktur vitamin D2 dan D3 hanya berbeda pada rantai samping (Norman, 2008). Sumber utama vitamin D adalah produksi endogen oleh kulit saat terpapar radiasi sinar ultraviolet B (UVB) dengan panjang gelombang 290-315 nm. Pada kondisi normal kulit dapat memenuhi 80-100% kebutuhan vitamin D. Paparan tubuh dari sinar matahari langsung bersifat terbatas, sehingga suplai tergantung 20 juga pada asupan vitamin D yang akan diolah menjadi vitamin D yang sebenarnya. Walaupun individu banyak mengkonsumsi makanan mengandung vitamin D, tanpa paparan sinar matahari tidak akan cukup memenuhi kebutuhan tubuh terhadap vitamin D. Sehingga paparan sinar matahari yang terbatas, tanpa disertai asupan vitamin D dengan dosis 800-1000 IU atau 20-25 mcg per hari, maka akan meningkatkan risiko menderita defisiensi vitamin D (DeLuca, 2013). 2.2.2 Sejarah penemuan vitamin D Penemuan vitamin D berawal dari penelitian oleh Sir Edward Mellanby dari Inggris pada tahun 1914 mengamati tingginya insiden riketsia di Inggris, berpendapat vitamin A dalam minyak dari hati ikan kod yang berhasil menyembuhkan penyakit riketsia. Rekan Mellanby yaitu McCollum di Universitas Johns Hopkins pada tahun 1922 menguji kembali hipotesis apakah vitamin A yang bertanggung jawab pada penyembuhan riketsia. McCollum dan rekan-rekan akhirnya menyimpulkan bahwa yang menyembuhkan riketsia adalah vitamin baru, yaitu vitamin D. Sementara itu Huldsshinky seorang fisikawan dari Vienna, Chick et al menemukan bahwa paparan sinar matahari selama musim panas atau sinar ultraviolet artifisial dapat menyembuhkan riketsia. Profesor Steenbock pada tahun 1916 melakukan pengamatan pada kambing yang berada di luar kandang saat musim panas memiliki kalsium yang seimbang dibandingkan kambing saat berada di dalam kandang pada musim dingin. Steenbock menyimpulkan bahwa lemak yang belum aktif dalam diet dan pada kulit diubah oleh sinar ultraviolet menjadi substansi aktif sebagai anti riketsia (DeLuca, 2013). 21 Isolasi dan identifikasi vitamin D2 pertama kali dilakukan oleh Askew et al. Windaus dan Linsert membuktikan bahwa vitamin D1 hanya merupakan artefak tambahan diantara vitamin D2 dan lamisterol. Pada tahun 1935, 7dehydocholecalceferol diisolasi oleh Windaus et al, sedangkan vitamin D3 oleh Windaus dan Bock pada tahun 1937. Esvelt et al mengisolasi dan mengidentifikasi vitamin D3 melalui mass spectrometry (DeLuca, 2013). Sejarah penemuan vitamin D berkembang dengan penemuan 41 metabolit, diantaranya 25-OHD dan 1,25-(OH)2D. 1,25-dihydroxyvitamin D merupakan produk aktif akhir dari regulasi kompleks produksi ginjal dan berperan sebagai hormon steroid. Selanjutnya pengangkutan metabolit vitamin D ekstra sel oleh lipoprotein, albumin, dan vitamin D binding protein (DBP), sedangkan intra sel oleh VDR. Vitamin D receptor kemudian diidentifikasi sebagai faktor transkripsi nukleus yang mengatur sejumlah gen target. Hal ini menegaskan bahwa 1,25(OH)2D sebagai hormon klasik. Vitamin D receptor ini terdapat di berbagai tempat, dan VDR ekstra renal memproduksi metabolit vitamin D, meregulasi berbagai gen yang tidak terlibat pada metabolisme kalsium (DeLuca, 2013). 2.2.3 Metabolisme vitamin D Metabolisme vitamin D3/D2 bersifat identik, dapat melalui proses bioaktivasi melalui jalur klasik yang melibatkan renal dan jalur non klasik atau ekstra renal. Vitamin D3 disintesis di kulit dengan perubahan 7- dehydrocholesterol melalui proses fotolitik menjadi pre vitamin D3, selanjutnya melalui isomerisasi termal menjadi vitamin D3. Proses berikutnya vitamin D3 dikeluarkan melalui membran plasma keratinosit dan vitamin D2 yang berasal 22 dari intestin ditarik oleh DBP ke dalam plasma, kemudian ke dalam sistem limfatik, memasuki darah vena, diikat oleh DBP dan lipoprotein, yang akhirnya diangkut menuju hepar. Proses hidroksilasi vitamin D2/D3 di hepar pada rantai C25 oleh enzim 25-hydroxilase vitamin D (CYP2R1) akan menghasilkan 25-OHD. Vitamin 25-OHD ditransport oleh DBP dan disimpan dalam lemak. Kadarnya meningkat secara proporsional dalam serum dengan asupan vitamin D, memiliki waktu paruh sekitar tiga minggu, sehingga kadar 25-OHD merupakan marker yang baik untuk mengukur kandungan vitamin D dalam tubuh (Bilke, 2014). Proses metabolisme yang kedua adalah bioaktivasi vitamin D yang terjadi di renal. Enzim vitamin D 1-hydroxylase (CYP27B1) menghidrolisis 25-OHD pada posisi C1 rantai A menjadi 1,25-(OH)2D. Regulasi di ginjal ini sangat ketat, dan dilakukan oleh hormon paratiroid. Penurunan kadar kalsium atau peningkatan kadar fosfat akan segera memicu produksi hormon paratiroid oleh kelenjar paratiroid yang meningkatkan produksi 1,25-(OH)2D. Hidroksilasi 1,25-(OH)2D ditekan oleh peningkatan kalsium atau oleh 1,25-(OH)2D sendiri. 1,25dihydroxyvitamin D kemudian ditransport menuju usus halus, dan berinteraksi dengan reseptor VDR spesifik, yang akan meningkatkan efisiensi absorpsi kalsium intestinal. Aktivitas biologi 1,25-(OH)2D 500 kali hingga 1000 kali lebih tinggi dibandingkan 25-OHD, namun konsentrasi serum 25-OHD yang normal sekitar 100 kali lebih tinggi dibandingkan 1,25-(OH)2D. Setelah beberapa kali proses hidroksilasi dan oksidasi, dihasilkan produk degradasi yaitu asam kalsitroik yang diekskresikan melalui urin. Sebagian metabolit vitamin D juga masuk ke sirkulasi 23 intra hepatik, dan sebagian dari simpanan vitamin D menghilang melalui saluran empedu (Bilke, 2014). Enzim CYP27B1 yang berperan penting dalam bioaktivasi vitamin D dominan diekspresikan pada renal, namun belakangan sebagai dampak dari genome wide analysis, telah dibuktikan bahwa enzim ini juga dieskpresikan pada berbagai sel atau jaringan ekstra renal seperti sel imunitas alamiah (monosit/makrofag, sel dendritik, dan sel T), sel beta pankreas, plasenta, sel paratiroid, kolon, payudara, dan paru. Enzim CYP27B1 dan VDR akan berperan dalam sintesis vitamin D intrakrin melalui mekanisme yang berbeda dengan sintesis di renal sesuai dengan target sel yang spesifik. Hal ini mengungkapkan berbagai fungsi vitamin D ekstra skeletal seperti peran pada sistem imun, endokrin, muskuler, kardiovaskuler, kanker, neurogeneratif, renal, dan pulmonal (Christakos, 2010; Gupta, 2015) 2.2.4 Peranan vitamin D sebagai anti bakteri Penelitian epidemiologi terkini telah mengamati adanya peran ekstra skeletal (peran non klasik) vitamin D sebagai imunomodulator dalam sistem imunitas. Terdapat hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan berbagai penyakit autoimun maupun infeksi. Vitamin D dikatakan memiliki efek anti mikroba dan memodulasi imunitas serta mempengaruhi kadar sitokin (Viswewaran dan Lekha, 2015; Bartley dan Camargo, 2013). Respon imunomodulator vitamin D bentuk aktif 1,25-(OH)2D telah diketahui sejak beberapa tahun yang lalu, namun baru sejak 5 tahun terakhir diketahui peranan penting vitamin D pada fungsi imunitas normal manusia. Hal ini merupakan 24 dampak dari wide genome analysis yang mendefinisikan kembali perspektif mengenai vitamin D dan imunitas (Pike, 2011). Dari berbagai laporan mengenai efek imunomodulator vitamin D, yang paling menarik perhatian adalah kemampuan vitamin D untuk meregulasi sistem imunitas alamiah dan adaptif. Berawal dari penelitian seorang ilmuwan peraih nobel, Dr. Finsen pada tahun 1903 yang mampu menyembuhkan epidermis dari infeksi tuberkulosis dan lupus vulgaris dengan menggunakan iradiasi sinar terkonsentrasi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa paparan sinar UV dapat memicu sintesis vitamin D epidermis dan mendorong penelitian lebih lanjut yang menunjukkan keberhasilan suplementasi vitamin D oral dalam pengobatan lupus vulgaris dan infeksi mikroba seperti kusta. Pada tahun 2006, wide genome analysis menemukan bukti bahwa aktivasi sistem vitamin D intrakrin pada monosit/makrofag oleh patogen berhubungan dengan mekanisme anti mikroba vitamin D. Talat et al. (2010) melaporkan hubungan antara defisiensi vitamin D dengan progresifitas tuberkulosis. Pengungkapan mengenai respon anti bakteri vitamin D berawal dari dua pengamatan. Pengamatan pertama melaporkan sebagian besar sel-sel yang berproliferasi dalam sistem imunitas mengekspresikan VDR untuk 1,25-(OH)2D seperti ikatan 1,25-(OH)2D dengan sel dalam sistem imunitas adaptif (sel limfosit T dan B), dan ikatan spesifik 1,25-(OH)2D dengan sel-sel dalam sistem imunitas seluler (monosit, makrofag, sel dendritik, neutrofil, dan derivat sel monositik). Pengamatan kedua melaporkan metabolisme vitamin D oleh sel-sel dalam sistem imunitas. Berdasarkan dua pengamatan ini disimpulkan bahwa sel imun yang 25 mengekspresikan VDR ini dapat merespon vitamin D aktif sirkulasi sama halnya dengan jaringan target vitamin D klasik seperti intestinal, renal dan tulang (Chun et al, 2014). Secara garis besar vitamin D berperan penting pada imunoregulasi sistem imunitas alamiah seperti induksi peptida anti mikroba katelisidin dan defensin 2 pada berbagai jenis sel, sedangkan pada sistem imunitas adaptif seperti supresi aktivasi sel T, induksi sel T regulator, regulasi pola sekresi sitokin, regulasi maturasi dan diferensiasi APC (Chun et al, 2014). Respon anti mikroba yang diperantarai vitamin D, diawali dengan pengenalan patogen oleh pattern recognition receptor TLR2/1 yang menginduksi ekspresi 1--hydroxylase (CYP27B1) dan VDR. Induksi ekspresi CYP27B1 pada sistem intrakrin akan mengubah 25-OHD menjadi vitamin D bentuk aktif 1,25(OH)2D, yang kemudian berikatan dengan VDR dan mendorong regulasi transkripsi gen dari sel target. Respon penting dari aktivasi vitamin D intrakrin meliputi, pertama induksi cathelicidin antimicrobial peptide (CAMP) dan defensin-4 (DEFB4), kedua menekan iron-regulatory hepcidin (HAMP), ketiga mendorong autofagosom, keempat menginduksi ekspresi protein nucleotidebinding oligomerization domain containing 2 (NOD2), dan kelima memberikan umpan balik regulasi ekspresi TLR2/1 yang pada akhirnya akan meningkatkan pembunuhan bakteri. Respon induksi DEFB4 juga memerlukan sinyal imun asesoris seperti ikatan muramyl dipeptide (MDP) yang berikatan dengan NOD2, dan respon interleukin-1 (IL-1) melalui NK, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2 (Jo et al, 2013). 26 Gambar 2.2 Mekanisme induksi respon anti bakteri yang diperantarai oleh vitamin D pada makrofag (Chun et al, 2014) 2.2.5 Peranan vitamin D pada penyakit kusta Genome wide analysis berperan penting dalam mengungkapkan mekanisme utama yang memicu sistem vitamin D intrakrin dan respon imunitas terkait dalam sel monosit/makrofag dan sel dendritik. Penelitian tersebut menggunakan baik sel imun yang diisolasi secara langsung dari subyek penelitian maupun yang dikultur, telah membuktikan adanya respon vitamin D yang diinduksi oleh patogen. Bagaimana respon ini berfungsi pada penyakit imun yang sebenarnya seperti halnya pada kusta, belum sepenuhnya jelas (Chun et al, 2014). Seperti halnya pada tuberkulosis, vitamin D pernah dipertimbangkan sebagai terapi putatif pada kusta. Berbeda dengan tuberkulosis, penyakit kusta dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kusta tipe lerpomatosa dan kusta tipe tuberkuloid. Kedua tipe kusta ini memiliki profil imunitas serta prognosis yang 27 berbeda. Berdasarkan hasil analisis DNA, didapatkan profil ekspresi gen pada kusta tuberkuloid menunjukkan adanya peningkatan ekspresi CYP27B1, CYP24A1, dan VDR yang signifikan, sebaliknya pada kusta tipe lepromatosa didapatkan ekspresi yang lebih rendah (Montoya et al, 2009). Disimpulkan dari penelitian ini bahwa sistem vitamin D intrakrin pada kusta tipe tuberkuloid masih intak atau tidak terganggu, sehingga mampu untuk membantu respon anti bakteri dari vitamin D. Berbeda halnya sistem vitamin D intrakrin pada kusta lepromatosa yang terganggu, khas ditandai oleh tingginya makrofag yang terinfeksi M. leprae (Chun et al, 2014). Terdapat beberapa mekanisme yang diduga meyebabkan sistem vitamin D intrakrin terganggu pada kusta lepromatosa seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Gambar 2.3 Mekanisme sistem vitamin D yang terganggu pada makrofag (Chun et al, 2014) 28 Mekanisme pertama adanya gangguan sistem vitamin D intrakin yang diinduksi TLR2/1 oleh adanya peningkatan IL4, IL-10, IFN/. Sitokin IFN melalui IL-10 berperan menekan ekspresi CYP27B1 (Teles et al, 2013). Sedangkan sitokin IFN- pada kusta tuberkuloid berperan meningkatkan aktivasi vitamin D yang diinduksi TLR2/1 (Edelfelt et al, 2010; Fabri et al, 2011).