BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki gunung berapi aktif yang lebih banyak dari pada negaranegara lain, terdapat 129 gunung aktif di indonesia, dipulau sumatera terdapat 30 gunung
berapi penyebaran gunung berapi di indonesia merentang sepanjang 700 km dari Aceh
sampai ke Sulawesi Utara melalui Bukit Barisan, Pulau Jawa, Nusa Tenggara dan
Maluku. Beberapa gunung berapi tersebut adalah gungung berapi yang pernah meletus
dengan dahsyat, yang tak terlupakan dalam peradapan manusia seperti Gunung Krakatau.
(Depkes RI, 2007).
Indonesia memiliki tiga gunung berapi yang masuk dalam status siaga yaitu :
Gunung Soputan, Gunung Merapi, Gunung Sinabung. Gunung Sotupan di Sulawesi utara
meletus dan memuntahkan vulkanik setinggi 6 kilometer pada tanggal 3 Juli 2011 yang
lalu. Pusat Vulakanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat awan panas
yang membawa matrial dengan pijar vulkanik setinggi 250 meter dari kawah. Erupsi
terus terjadi dan susul menyusul kearah utara dan barat laut di sertai kilat gemuruh.
Gunung Merapi meletus di Jawa tengah tanggal 25 Oktober 2010 dengan korban 29
orang meninggal.
Letusan gunung berapi merupakan salah satu fenomena, yang menjadi perhatian
utama di Indonesia, disebabkan bencana alam letusan gunung berapi akan menimbulkan
korban jiwa dan kerugian yang amat besar. Letusan gunung berapi dapat menimbulkan
gejala vulkanik seperti erupsi gunung berapi. Erupsi gunung berapi membawa awan
1
Universita Sumatera Utara
panas serta material vulkanik yang amat berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
Letusan gunung berapi dapat memperburuknya kesehatan terutama pernafasan
merupakan dampak yang secara langsung dapat dirasakan manusia akibat erupsi gunung
berapi selain kerugian dari segi materil. Erupsi gunung berapi juga mengakibatkan
kerusakan kehidupan ekosistem disekitar wilayah gunung berapi. Hutan, udara, sungai,
sawah dan perkebunan penduduk menjadi tercemar akibat debu dan material vulkanik
yang muncul dari erupsi gunung berapi (Adiputro, 2002).
Letusan gunung berapi terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang
didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Magma merupakan cairan pijar yang
terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni diperkirakan lebih
o
dari 1.000 C. Cairan magma yang keluar dari dalam bumi disebut lava. Suhu lava yang
o
dikeluarkan bisa mencapai 700-1.200 C. Letusan gunung berapi membawa batu dan
debu dapat menyembur sampai sejauh radius 18 km bahkan lebih, sedangkan lavanya
bisa mengalir sampai sejauh radius 90 km (Pollard, 2007)
Kabupaten Karo secara geografis berada di dekat jejeran gunung berapi wilayah
Sumatera, di Karo ada 2 dari 129 gunung berapi aktif yang berada di Indonesia yaitu
Gunung Berapi Sinabung dan Gunung Berapi Sibayak. Kedua gunung ini berstatus Awas
(level III). Kedua gunung ini tidak pernah erupsi sejak tahun 1600. Kabupaten Karo
mengalami peristiwa erupsi Gunung Sinabung cukup mengejutkan pada tanggal 29
Agustus 2010. Surono selaku Kepala PVMBG sebelumnya menyatakan: “Gunung
Sinabung tidak akan mengalami erupsi” Akhirnya Surono mengumumkan pernyataan:
“Gunung Sinabung berbahaya dari status tipe B berubah menjadi tipe A. Masyarakat agar
Universita Sumatera Utara
mengungsi sejauh 6 Km dari kaki Gunung Sinabung.” Erupsi Sinabung juga
mengakibatkan rusaknya pertanian dan perkebunan seluas 60 Ha. Sektor mata
pencaharian utama sebahagian besar masyarakat Kabupaten Karo adalah sektor
pertanian. Masyarakat mengungsi ke 21 titik pengungsian sebanyak 27.472 orang, korban
meninggal sebanyak dua orang (Kemenkes RI, 2010)
Erupsi Sinabung kembali terjadi pada malam hari pukul 20.24 WIB, Hari Minggu
tanggal, 17 November 2013, dengan tampak awan panas 500 meter ke tenggara tinggi kolom
asap letusan 2 ribu meter. Pada pukul 20.45 WIB, erupsi sinabung berlangsung hingga malam
hari dengan jumlah pengungsi pada saat tersebut sekitar 6.155 jiwa yang tersebar di 16 titik
pengungsian. Di antaranya Desa Mardinding, Desa Sukameriah, Masjid Payung, Desa
bekerah dan desa Simacem. Status Gunung sinabung pada saat sekarang ini adalah berstatus
Awas (lever VI), jumlah pengungusipun semangkin hari semangkin bertambah sehinga
sampai dengan tanggal 17 Januari 2014, sekitar 27.319 jiwa yang tersebar di 40 titik
pengungsian.
Kejadian bencana umumnya memiliki dampak yang merugikan yaitu, rusaknya
sarana prasarana fisik, permukiman dan fasilitas umum. Dampak lain yang tak kalah
pentingnya adalah permasalahan kesehatan seperti pelayanan kesehatan, korban meninggal,
penurunan status gizi masyarakat, anak balita serta bayi yang sedang menyusui. Hal ini
merupakan permasalahan yang semestinya menjadi perhatian pemerintah pusat, provinsi serta
kabupaten kota untuk dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang terjadi seperti
halnya masalah kesehatan ibu dan bayi. Pada keadaan situasi terjadi bencana, masalah
kesehatan ibu dan bayi sering terabaikan di tempat pengungsian. Hal ini dipengaruhi oleh
Universita Sumatera Utara
jumlah pengungsi yang banyak, tempat pengungsian yang sempit, sehingga
keadaan
lingkungan disekitar pengungsian dapat memperburuk masalah kesehatan ibu dan bayi.
Masalah kesehatan ibu dan bayi merupakan masalah kesehatan yang perlu
mendapatkan perhatian. Tujuaannya adalah untuk meningkatkan pembangunan kesehatan
melalui kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Upaya perbaikan gizi melalui
penerapan pemberian ASI Eksklusif telah diamanatkan melalui Undang-Undang No.36 tahun
2009 pasal 128 dan 129 yaitu: bahwa bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif. Peraturan
Pemerintah RI No.33 tahun 2012 Bab II pasal 3,4 dan 5 juga menyebutkan bahwa
Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan pemerintak Kab./Kota bertanggungjawab dalam
program pemberian ASI Eksklusif.
Pemerintah telah menghimbau pemberian ASI Ekslusif, namun angka pemberian ASI
Eksklusif masih sangat rendah. Data menunjukkan lebih kurang 1,5 juta anak meninggal
karena pemberian makanan yang tidak benar. Kurang dari 15% bayi diseluruh dunia diberi
ASI Ekslusif selama 4 bulan dan pemberian makanan pendamping Asi yang tidak sesuai dan
tidak aman bagi bayi. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002
dilaporkan bahwa bayi di Indonesia rata-rata hanya mendapat ASI sampai usia 1,6 bulan,
sedangkan yang diberi ASI Eksklusif sampai umur 4-5 bulan hanya 14%. Kondisi ini masih
sangat jauh dari yang direkomendasikan dalam indikator Indonesia Sehat 2010 yaitu 80%
(Depkes RI, 2007)
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan pemberian ASI di
Indonesia saat ini memprihatinkan dimana persentase bayi yang menyusui Eksklusif sampai
Universita Sumatera Utara
dengan 6 bulan hanya 15,3 persen. Menurut Depkes (2010), kesadaran mayarakat dalam
mendorong peningkatan pemberian ASI masih relatif rendah. Selain itu, salah satu penyebab
utama rendahnya pemberian ASI di Indonesia adalah masih kurangnya pengetahuan ibu
menyusui, keluarga dan masyarakat tentang ASI Eksklusif ditambah lagi faktor sosial budaya
di beberapa tempat kurang mendukung pencapaian ASI Eksklusif.
Menurut profil Kesehatan Kabupaten Karo Tahun 2010 dari jumlah bayi sebesar
7.073 yang mendapat ASI Eksklusif Sebesar 1.100 bayi (15,6%). Pada
tahun 2012
ditemukan peningkatan jumlah bayi yang mendapat ASI Eksklusif sebesar 1,479 bayi
(39,2%). Dengan demikian persentase bayi yang mendapat ASI Eksklusif di Kabupaten Karo
tahun 2012 masih di bawah standar Indonesia Sehat 2015 yaitu sebesar 80%.
Pemberian ASI Eksklusif pada bayi adalah salah satu masalah kesehatan Ibu dan
anak yang sering terabaikan di tempat pengungsian. Menurut survei awal pada tanggal, 22
Januari 2014 di posko utama kesehatan pengungsi Erupsi Sinabung, diketahui sampai tanggal
20 januari 2014 terdapat 23 orang Ibu yang melahirkan, sebanyak 602 orang pengungsi balita
dan 777 orang jumlah ibu yang menyusui di pengungsian Erupsi Sinabung. Sampai tanggal 7
februari 2014 jumlah pengungsi: 9.996 KK/32.355 jiwa, ibu hamil ada sebanyak 222 orang
serta bayi sebanyak 222 orang. Berdasarkan pengamatan peneliti keadaan yang tidak
kondusif, status kesehatan dan gizi ibu serta stress di pengungsian mempengaruhi prilaku ibu
dalam mempertahankan ASI Eksklusif pada bayi
Menurut Dr.Gianfranco, (2008) sering terdapat anggapan yang tidak tepat bahwa
keluarga-keluarga di wilayah bencana membutuhkan susu formula dan susu bubuk.
Sumbangan sukarela dalam bentuk tersebut sering membanjiri wilayah bencana. Masyarakat
Universita Sumatera Utara
luas dan para donor yang beritikad baik perlu diberitahu bahwa produk-produk tersebut tidak
diperlukan dalam situasi darurat. Hanya pada situasi tertentu dan atas indikasi medis dan
sosial tertentu, susu formula dapat diberikan secara terbatas dan melalui pengawasan dan
persyaratan yang sangat ketat (misalnya karena keterbatasan air bersih).
Merosotnya pemberian ASI menunjukkan adanya peningkatan dalam penggunaan
susu formula, yang jika digunakan secara tepat pun masih kalah manfaatnya dibandingkan
dengan ASI. Dalam keadaan darurat yang sering diikuti dengan kelangkaan air bersih dan
sedikitnya kesempatan serta fasilitas untuk membersihkan botol dan perlengkapan makan
bayi dan anak, risiko yang berkaitan dengan pemberian makanan yang tidak alami cukup
tinggi (JPIG, 2008).
Pada survey awal ke Losd Tigabinanga pada tanggal 13-14 Desember 2013 ada
beberapa masalah yang ada kaitannya dengan pemberian ASI Eksklusif yaitu air bersih
terbatas, kandungan gizi dari bantuan makanan yang datang tidak variatif, bahan makan yang
ada kurang tepat bagi kelompok sasaran tertentu terutama ibu menyusui.
Hal tersebut di atas menimbulkan permasalahan besar utamanya bagi bayi, anak
balita dan ibu menyusui serta bagi petugas di lapangan. Dampak yang terjadi adalah
bertambahnya angka kesakitan pada bayi, serta menurunnya status gizi balita sehingga
berpotensi terhadap kejadian gizi buruk (kurang gizi terselubung) bertambah. Ibu menyusui
banyak yang mengalami stres berat sehingga tidak lagi menyusui.
Per tanggal 7 Februari 2014, sebanyak 3998 orang yang menderita diare, namun
peneliti tidak mendapatkan penderita berdasarkan umur. Diare merupakan salah satu penyakit
yang berhubungan dengan pencernaan dan gizi. Pemberian pangan untuk bayi dan balita pada
Universita Sumatera Utara
keadaan darurat harus memeperhatikan masalah perlindungan dan dukungan terhadap
pemberian ASI dan makanan yang memadai tepat pada waktunya.
Mengacu kepada kondisi yang telah digambarkan diatas, dalam konteks perilaku Ibu
terhadap pemberian ASI pada bayi dilakukan telaah bedasarkan teori determinan prilaku
kesehatan seseorang atau masyarakat oleh Green (1980), yang menyatakan pemberian ASI
eksklusif dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yakni faktor prilaku (behavior causes) dan faktor
dari luar prilaku (non-behavior causes). Prilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3
(tiga) faktor, yaitu (1) predisposing (pendorong) yang terwujud dalam sikap, kepecayaan,
keyakinan nilai-nilai, (2) enabling (pedukung) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia
atau tidak fasilitas-fasilitas kesehatan, (3) reinforcing (pendorong) yang terwujud dalam sikap
dan prilaku petugas kesehatan atau merupakan kelompok masyarakat (Notoatmojo, 2012).
Bedasakan Uraian diatas maka penulis tetarik melakukan penelitian yang berjudul “Analisis
Determinan Pemberian ASI Eksklusif pada Masa Tanggap Darurat di Pengungsian
Erupsi Sinabung Kabupaten Karo Tahun 2014”.
1.2. Permasalahan
Bedasakan uraian diatas maka rumusan masalah
penelitian
yaitu bagaimana
Determinan pemberian ASI Eksklusif dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Ibu
dalam Pemberian ASI Eksklusif pada Masa Tanggap Darurat di Pengungsian erupsi Sinabung
Kabupaten Karo Tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
Universita Sumatera Utara
Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis bagaimana Determinan dalam
Pemberian ASI Eksklusif pada Masa Tanggap Darurat di Pengungsian Erupsi Sinabung
Kabupaten Karo Tahun 2014.
1.4. Hipoteis
1.
Ada pengaruh faktor pendorong (umur ibu, pendidikan ibu, pengetahuan ibu, sikap ibu
tentang ASI Eksklusif,) dalam pemberian ASI Eksklusif pada Masa Tanggap Darurat di
Pengungsian Erupsi Sinabung Kabupaten Karo Tahun 2014.
2.
Ada faktor pemungkin (ketersediaan fasilitas tempat menyusui) dalam pemberian ASI
Eksklusif pada Masa Tanggap darurat di Pengungsian Erupsi Sinabung Kabupaten Karo
Tahun 2014.
3.
Ada faktor penguat dukungan keluarga (dukungan informasional, dukungan penilaian,
dukungan istrumental dan dukungan emosional ) dalam pemberian ASI Eksklusif pada
Masa Tanggap Darurat di Pengungsian Erupsi Sinanbung Kabupaten Karo Tahun 2014.
1.5. Manfaat Penelitian
1.
Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan Pemberian
ASI Eksklusif pada Masa Tanggap Darurat di Pengungsian Erupsi Sinabung Kabupaten
Karo Tahun 2014.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pelayanan kesehatan tentang
Pemberian ASI Eksklusif pada Masa Tanggap Darurat di Pengungusian Erupsi
Sinabung Kabupaten Karo Tahun 2014.
Universita Sumatera Utara
3.
Sebagai bahan referensi dan masukan bagi pembaca dalam Pemberian ASI Eksklusif
pada Masa Tanggap Darurat di Pengungsian Erupsi Sinanbung Kabupaten Karo Tahun
2014.
Universita Sumatera Utara
Download