MODUL PERKULIAHAN Etika Periklanan EPI Bab III.B. butir 1. – 3. Fakultas Program Studi Fakultas Ilmu Komunikasi Periklanan dan Komunikasi Periklanan Tatap Muka 13 & 14 Kode MK Disusun Oleh Kode MK SM Niken Restaty, M.Si Abstract Kompetensi Materi pada modul ini membahas mengenai iklan-iklan yang melanggar Mahasiswa diharapkan dapat menganalisis mengenai pelanggaranpelanggaran yang ada pada iklan non barang dgn EPI Bab III.B. butir 1. – 3. EPI Bab III.B. butir 1. – 3. Pembahasan Bab III.B mengatur mengenai etika bisnis di antara ke 4 komponen utama dalam industri periklanan yaitu: Klien Biro Iklan Media Massa Mitra Kerja Biro Iklan Pada prinsipnya etika bisnis ini mengacu pada konsep “Good Corporate Governance” EPI Bab III.B.1. Penerapan Umum 1.1. Individu atau organisasi usaha periklanan harus merupakan entitas yang didirikan secara sah, dan beridentitas jelas. 1.2. Semua pelaku dan usaha periklanan wajib mengindahkan hak cipta. 1.3. Penawaran harga produksi atau penyiaran materi periklanan, harus diajukan berdasarkan permintaan dan taklimat (brief) resmi dari pemesan yang dilampiri naskah, serta segala hal yang terkait dengan kebutuhan pesanannya. 1.4. Izin produksi dan beban pajak yang timbul dalam proses produksi atau penyiaran materi periklanan, menjadi tanggungjawab pelaksana pesanan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan penawaran harga yang diajukan kepada pemesan. 1.5. Ikatan kerja antara pemesan dan pelaksana pesanan harus dikukuhkan dengan suatu perjanjian, yang sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut: 1.5.1 Kesanggupan pelaksana untuk melaksanakan dan menyelesaikan pesanan tersebut. 1.5.2 Spesifikasi, kualitas dan atau jumlah pesanan. 1.5.3 Syarat-syarat pemesanan dan jangka waktu penyelesaiannya. 1.5.4 Harga, cara, dan waktu pelunasan yang disepakati. 1.6. Pemesan wajib membayar pesanannya kepada pelaksana pesanan sesuai jumlah, cara, dan batas waktu yang sudah disepakati. 2012 2 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 1.7. Komisi dan rabat harus diterimakan hanya kepada pemesan sebagai suatu badan usaha, bukan sebagai pribadi. 1.8. Setiap usaha periklanan wajib melindungi dan hanya menggunakannya untuk keperluan, atau atas seijin pemilik yang sah, barang-barang hak milik pihak lain yang diproduksi, diserahkan atau dipinjamkan untuk keperluan sesuatu pesanan. 1.9. Setiap usaha periklanan wajib memegang teguh dan bertanggungjawab atas kerahasiaan segala informasi dan kegiatan periklanan dari klien, produk, atau materi iklan yang ditanganinya. 1.10. Ketidaksempurnaan hasil pesanan, tampilan iklan, atau pelaksanaan kesepakatan akibat kelalaian pelaksana pesanan, wajib diganti tanpa dipungut pembayaran, atau sesuai perjanjian antara para pihak. Terkait dengan komisi/rabat: setiap biro iklan yang menerima komisi/rabat dari mitra kerjanya (klien, media massa ataupun perusahaan produksi materi iklan) haruslah menerima komisi/rabat itu atas nama perusahaan dan bukan atas nama pribadi. Dalam prakteknya, ada beberapa perusahaan periklanan yang bahkan melarang karyawannya menerima hadiah (misalnya parsel Lebaran/Tahun Baru) dari mitra-mitra kerjanya. Hal ini untuk menjamin bahwa hubungan antara biro iklan dengan mitra-mitra kerjanya terjaga tetap profesional dan obyektif. Terkait dengan kerahasiaan informasi: biro iklan pada umumnya tidak diperkenankan menangani 2 atau lebih klien dari kategori produk/jasa yang sama; misalnya: menangani dua atau lebih bank. Hal ini dimaksudkan agar informasi yang diperoleh dari satu klien tidak “bocor” ke klien lain melalui karyawan biro iklan tersebut. Kebocoran informasi tersebut dapat berakibat sangat fatal karena untuk menyusun suatu strategi komunikasi periklanan dibutuhkan banyak informasi-informasi yang bersifat sangat rahasia. Dalam beberapa kasus, suatu biro iklan dapat saja menerima lebih dari 1 klien dengan kategori produk/jasa yang sama selama hal tersebut mendapat persetujuan dari klien-klien yang saling berkompetisi tersebut. Umumnya, klien yang memberikan persetujuan tersebut akan menerapkan syarat-syarat yang ketat untuk menjaga informasi-informasi rahasia mereka; misalnya dengan meminta agar dibentuk tim yang berbeda anggotanya, memisahkan/mengisolasi tim dan tim yang satu tidak dapat mengakses informasi-informasi dari tim yang lain. 2012 3 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Selain itu, idealnya dalam suatu perjanjian kerja, terdapat klausal “Non Disclosure Agreement” (perjanjian untuk tidak membocorkan informasi rahasia). Para pihak yang terikat suatu perjanjian dapat mengajukan klausal tersebut. Hal ini penting karena: (1) dari sisi klien: banyak informasi rahasia yang harus diteruskan kepada biro iklan terkait produk yang akan dibuatkan iklannya dan (2) dari sisi biro iklan: ide-ide yang telah disampaikan kepada klien (entah disetujui ataupun tidak) hanyalah untuk keperluan klien/produk terkait, bila ide-ide itu disebarkan kepada pihak-pihak lain, maka hal tersebut dapat merugikan biro iklan. EPI Bab III.B.2. Produksi Periklanan 2.1 Pengiklan 2.1.1. Pengiklan wajib memberi taklimat periklanan (advertising brief) atau keterangan yang benar dan memadai mengenai produk yang akan diiklankan. (Lihat juga Penjelasan) 2.1.2. Pengiklan wajib menghormati standar usaha yang berlaku pada pelaku usaha periklanan. (Lihat juga Penjelasan). Sukses tidaknya sesuatu kampanye periklanan amat dipengaruhi oleh kebenaran dan kelengkapan informasi yang diterima pihak perusahaan periklanan dari pihak pengiklan. Karena itu, dianjurkan agar pengiklan bersedia memberi informasi produk, beserta kegiatan komunikasi dan pemasarannya kepada perusahaan periklanan yang menangani produk tersebut. Terkait dengan “brief”: idealnya, setiap pesanan dari klien ke biro iklan dilakukan melalui suatu penugasan tertulis dimana dalam “brief” tersebut disebutkan butir-butir penting terkait pesanan tugas dari klien seperti: mengapa produk klien butuh beriklan, masalah apa yang dihadapi, seperti apa profil konsumen produk tersebut, reaksi apa yang diinginkan dari konsumen serta kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh biro iklan. Tanpa informasi ini, hasil akhir (ide) yang muncul sebenarnya bukanlah suatu hasil yang ideal, bahkan dalam beberapa kasus dimana klien tidak ingin membeberkan informasi rahasianya, biro iklan terkesan lebih sebagai “tukang bikin iklan” karena seluruh isinya telah “diatur” oleh klien. 2012 4 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 2.2. Perusahaan Periklanan 2.2.1. Perusahaan periklanan wajib memiliki akses terhadap informasi, prasarana, dan sarana yang sesuai dengan bidang usahanya. 2.2.2. Perusahaan periklanan wajib menghormati dan mematuhi Standar Usaha Periklanan Indonesia (SUPI). 2.2.3. Perusahaan periklanan tidak boleh menangani produk sejenis, kecuali dengan persetujuan tertulis dari para pengiklan terkait. 2.2.4. Pencantuman nomor kunci (key number) yang mengandung identitas perusahaan periklanan pada materi periklanan, harus atas seijin pihak pengiklan. Semua perusahaan periklanan anggota PPPI menghormati dan berupaya mematuhi Standar Usaha Periklanan Indonesia (SUPI) yang merupakan kesepakatan interen antar anggota asosiasi tersebut. Standar usaha ini antara lain mengatur tentang aturan main perusahaan periklanan dalam menangani para pengiklan atau produk-produk mereka. Hubungan antara biro iklan yang satu dan lainnya dalam keanggotaan PPPI diatur oleh pedoman etika bisnis yang khusus dibuat untuk anggota PPPI, yaitu Standar Usaha Periklanan Indonesia (SUPI). Dalam SUPI di atur beberapa hal seperti: etika dalam mendekati klien yang saat ini masih ditangani oleh anggota PPPI yang lain, etika dalam merekruit tenaga kerja dari anggota PPPI yang lain, etika dalam menentukan besaran komisi/biaya jasa dari klien, dan sebagainya. Sedikit penjelasan mengenai key number: key number adalah kode atas suatu materi iklan cetak. Key number biasanya dicetak dalam huruf kecil-kecil dan ditaruh di sisi kiri/kanan/bawah dari suatu materi cetak. Tujuannya adalah agar pihak biro iklan dapat mengecek apakah materi cetak tersebut sudah benar (karena untuk setiap media cetak biasanya dibutuhkan materi yang berbeda-beda ukurannya maupun pengaturan warnanya). Dalam key number biasanya juga tercantum identitas dari biro iklan yang bersangkutan. Hal inilah sebenarnya yang membutuhkan ijin dari pengiklan karena karya iklan tersebut telah dibayar biayanya oleh pengiklan dan tidak diharapkan pencantuman key number tersebut seakan-akan menjadi “iklan” bagi biro iklan pembuatnya. 2012 5 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 2.2. Mitra Usaha 2.3.1. Percetakan Izin produksi dan beban pajak yang timbul dalam proses produksi barang cetakan menjadi tanggungjawab perusahaan percetakan, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan penawaran harga yang diajukan. 2.3.2. Griya Produksi Film Ikatan kerja antara griya produksi film dengan pemesan harus mencakup juga hak atas kepemilikan, dan tanggungjawab atas penyimpanan hasil produksi, serta persyaratan atas pesanan bulk copies. 2.3.3. Griya Swara Ikatan kerja antara griya rekaman suara dengan pemesan harus mencakup juga hak atas kepemilikan, dan tanggungjawab atas penyimpanan hasil produksi, serta persyaratan atas pesanan bulk copies. 2.3.4. Pelaksana Ajang (event organizer) Pelaksana ajang wajib mempunyai organisasi, kompetensi dan sarana yang memadai untuk menyelenggarakan ajang, sesuai dengan profil dan jumlah khalayaknya. Kompetensi dimaksud termasuk: a. Memiliki sendiri, atau akses pada pengarah lantai (floor director) dan pengarah panggung (stage director). b. Kemampuan merancang run down acara. Pedoman etika bisnis bagi para mitra kerja yang tercantum dalam EPI ini hanya mencantumkan beberapa hal pokok saja. Diharapkan setiap mitra kerja tersebut dapat membentuk asosiasi dan menentukan etika bisnis yang lebih terperinci lagi. Sampai dengan saat ini, baru Ikatan Perusahaan Film Iklan Indonesia (IPFII) yang mempunyai pedoman etika bisnis, baik untuk anggotanya, maupun dengan mitra-mitra kerja mereka. EPI Bab III.B.3. Media Periklanan 3.1. Data Perusahaan Profil dan jumlah khalayak media wajib dinyatakan secara benar, lengkap, dan jelas, berdasarkan sumber data terbaik yang dimiliki media yang bersangkutan. 3.2. 2012 Cakupan Khalayak 6 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Pernyataan tentang cakupan distribusi atau siaran media haruslah yang sesuai dengan data pada jangkauan efektif dan stabil. 3.3. Pemesan Pembelian ruang dan waktu iklan di media hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang beroperasi secara sah di Indonesia. 3.4. Pesanan Program, jadwal atau frekuensi penempatan iklan harus dipegang teguh. Dalam hal terjadi force mayeur, media yang bersangkutan harus memberitahukan kepada pemesan pada kesempatan pertama. 3.5. Iklan Nirpesanan Penyiaran iklan di luar pesanan resmi, harus mendapat persetujuan dari pengiklan atau perusahaan periklanan yang terkait. 3.6. Penempatan Iklan Media wajib memisahkan sejauh mungkin penempatan iklan-iklan dari produk yang sejenis atau bersaing. Kecuali pada program, ruang, atau rubrik khusus yang memang dibuat untuk itu. 3.7. Monopoli Monopoli waktu/ruang/lokasi iklan untuk tujuan apa pun yang merugikan pihak lain tidak dibenarkan. 3.8. Tarif Tarif iklan yang berlaku harus ditaati oleh pemesan. 3.9. Informasi Dasar Segala informasi dasar yang menyangkut tarif iklan, program, ruang, waktu atau lokasi iklan, dan segala bentuk rabat harus diumumkan secara terbuka, jujur dan benar, dan diberlakukan seragam kepada semua pemesan. 3.10. Perubahan Tarif Iklan Perubahan tarif iklan dan segala ketentuan penyiaran wajib diberitahukan secara tertulis dan dalam tenggang waktu yang layak. 3.11. Komisi dan Rabat Komisi dan rabat optimal hanya diberikan kepada perusahaan periklanan yang menjadi anggota asosiasi penandatangan EPI. Komisi dan rabat harus diperuntukkan hanya kepada pemesan sebagai suatu badan usaha, bukan sebagai pribadi. 3.12. Bukti Siar 2012 7 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dokumen bukti penyiaran iklan wajib diserahkan media kepada pemesan sesuai jadwal yang telah disepakati. 3.13. Pemantauan Pemantauan atas penyiaran iklan wajib dilakukan perusahaan periklanan sebagai bagian dari layanan usahanya. 3.14. Penggantian Penggantian iklan yang tidak memenuhi mutu reproduksi atau siaran, ataupun tidak sesuai dengan jadwal akibat kelalaian media, wajib diulang siar tanpa biaya, atau diselesaikan menurut kesepakatan sebelumnya antara para pihak. 3.15. Pembayaran Pembayaran iklan wajib dilakukan pemesan sesuai dengan jumlah, syarat-syarat, dan jadwal yang sudah disepakati. 3.16. Ancaman Media tidak boleh memaksakan sesuatu pemesanan iklan dari pengiklan atau perusahaan periklanan dengan ancaman apa pun. 3.17. Ketentuan Lain Pelaku periklanan wajib menghormati dan mematuhi segala ketentuan lain yang berlaku bagi media periklanan yang tercantum sebagai kode etik profesi atau usaha media, dari asosiasi pengemban EPI. Butir 3.11. di atas menunjukkan bahwa anggota asosiasi pendukung EPI mendapatkan keuntungan dibanding mereka yang tidak menjadi anggota dari asosiasi pendukung EPI. Butir 3.12.: bukti siar atas iklan yang dipesan oleh biro iklan paling mudah didapat dan dicek kebenarannya bila berupa iklan cetak. Untuk bukti siar iklan televisi, walaupun lebih kompleks, tapi relatif dapat dicek kebenarannya dengan melihat hasil riset yang dilakukan oleh perusahaan riset. Untuk materi media luar-ruang, biasanya bukti siar dalam bentuk foto lokasi. Yang paling sulit dicek kebenarannya adalah bukti siar atas pemasangan iklan radio karena masih belum intensifnya monitoring iklan-iklan radio di Indonesia dan juga karena jumlah stasiun radio yang demikian banyaknya. EPI Bab IV. Prosedur Penegakan D. 2012 PROSEDUR 8 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 1. DPI memperoleh informasi pelanggaran dari hasil pemantauan atas iklan-iklan yang sudah disiarkan, maupun dari laporan berbagai pihak. 2. DPI melayani keberatan publik atas iklan yang melanggar EPI. 3. Iklan yang melanggar idiologi negara, bersifat subversif atau SARA dapat langsung diperintahkan untuk dihentikan penyiarannya. 4. Iklan yang secara jelas melanggar EPI akan diminta untuk dihentikan penyiarannya dengan diberi batas waktu tertentu. 5. Iklan yang hanya diduga melakukan pelanggaran EPI, akan dibahas oleh DPI, untuk: 5.1 Mendengar penjelasan dan memperoleh bukti-bukti pelengkap dari pihak yang terlibat. 5.2 Menghimpun informasi dan bukti tambahan dari sumber atau pihak lain. 5.3 Memutuskan untuk: a. Mengizinkan iklan tersebut seperti apa adanya; atau b. Mengenakan sesuatu sanksi. E. SANKSI 1. Bentuk sanksi terhadap pelanggaran memiliki bobot dan tahapan, sebagai berikut: 1.1. Peringatan, hingga dua kali 1.2. Penghentian penyiaran atau mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait dan atau menginformasikan kepada semua pihak yang berkepentingan. Untuk setiap tahapan diberikan rentang waktu. 2. Penyampaian sanksi dilakukan secara tertulis dengan mencantumkan jenis pelanggaran dan rujukan yang digunakan. 3. Distribusi penyampaian sanksi pada setiap bobot atau tahap pelanggaran adalah sebagai berikut: 3.1 Peringatan Pelanggaran; kepada pihak pelanggar dan asosiasi atau lembaga terkait. 3.2 Perintah Penghentian Penyiaran; kepada semua pihak yang terlibat, asosiasi atau lembaga terkait, serta media yang bersangkutan. Bagian IV ini menunjukkan bahwa sanksi terhadap suatu pelanggaran EPI bukanlah suatu sanksi hukum, tapi tetap berada dalam koridor etika; yaitu memberikan 2012 9 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id peringatan dan edukasi kepada pihak yang melanggar. Masing-masing asosiasi pendukung EPI diharapkan membentuk suatu badan penegak etika sehingga badan ini dapat berfungsi untuk menjaga pelaksanaan etika di anggota-anggota asosiasi tersebut. Setiap asosiasi pendukung EPI yang membentuk badan penegak etika boleh-boleh saja menetapkan panduan etika yang berbeda-beda selama minimal mendukung EPI. Artinya, panduan mereka boleh lebih ketat daripada EPI (tapi tidak boleh lebih longgar). Dalam struktur Dewan Periklanan Indonesia (DPI), sebenarnya harus dibentuk Badan Musyawarah Etika (BME). Badan ini berfungsi sebagai badan tertinggi dalam industri periklanan dalam menangani masalah sengketa etika. Jadi bila misalnya dalam tingkatan badan penegak etika di masing-masing asosiasi maka masalah itu bisa diputuskan di tingkat BME yang diharapkan akan dipatuhi oleh seluruh anggota asosiasi. Terlepas dari sanksi yang dapat diberikan oleh DPI, tetap harus diingat bahwa EPI bukanlah hak milik DPI saja (walaupun kitab EPI adalah terbitan DPI). EPI, sebagai suatu penduan etika, harus juga dilihat sebagai milik seluruh masyarakat Indonesia. Dengan pengertian ini, maka seluruh masyarakat Indonesia dapat (dan wajib) memberikan sanksi kepada iklan yang tidak etis, yaitu berbentuk sanksi sosial. 2012 10 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Etika Pariwara Indonesia – In Action oleh FX Ridwan Handoyo Latar Belakang Tergerak untuk mendorong sosialisasi dari Etika Pariwara Indonesia, maka kami akan menurunkan suatu seri tulisan yang secara singkat akan mengulas apa itu Etika Pariwara Indonesia, Badan Pengawas Periklanan PPPI dan beberapa kasus yang muncul dalam dunia periklanan di Indonesia. Dua bagian pertama dari tulisan ini akan mengulas secara singkat apa itu Etika Pariwara Indonesia dan apa/siapa itu Badan Pengawas Periklanan PPPI. Kasus-kasus yang akan dibahas dalam tulisan selanjutnya akan lebih berkonsentrasi pada masalah yang muncul dan bukan pada biro iklan pembuatnya ataupun sisi produsen sebagai pemrakarsa iklan tersebut. Kasus-kasus tersebut diangkat berdasarkan hasil diskusi pada rapat-rapat BPP PPPI. Bila dalam pembahasan kasus terpaksa harus disebutkan contoh iklan tertentu, maka kami mohon agar pencantuman nama iklan tersebut bukan dianggap sebagai mendeskreditkan suatu biro iklan ataupun produsen pemrakarsa iklan tertentu. Kami harapkan bahwa tulisan ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi insan periklanan dan masyarakat pada umumnya dalam memahami etika beriklan sekaligus memancing diskusi lebih lanjut mengenai topik ini. Kami terbuka atas segala masukan dan kritikan atas tulisan-tulisan kami ini (silakan kirimkan via email ke: [email protected]). Catatan: Penulis adalah ketua merangkap anggota BPP PPPI periode 2005-2008. Bagian 1: Sekilas EPI Etika Pariwara Indonesia (selanjutnya disingkat EPI) adalah produk Dewan Periklanan Indonesia (DPI) yang beranggotakan asosiasi-asosiasi yang berkaitan dengan dunia periklanan seperti: AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar-griya Indonesia), APINA (Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Suratkabar), dan Yayasan TVRI (Yayasan Televisi Republik Indonesia). 2012 11 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Walaupun kitab EPI diikrarkan pada 26 Agustus 2005 dan secara resmi diterbitkan serta disebarluaskan pada awal tahun 2006, sebenarnya EPI adalah penyempurnaan dari produk sejenis sebelumnya yang dikenal dengan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) yang pertama kali diikrarkan pada tanggal 17 September 1981 yang kitabnya secara resmi diikrarkan pada tanggal 19 Agustus 1996). Dengan demikian, EPI bukanlah suatu produk yang baru muncul di tahun 2006 ini. Dalam kitab EPI, terdapat 6 bagian pokok yaitu: Pendahuluan (berisi latar belakang posisi EPI), Pedoman (berisi Mukadimah dan dan ruang lingkup EPI), Ketentuan (berisi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan), Penegakan (berkaitan dengan sanksi), Penjelasan (mengenai istilah-istilah yang digunakan) dan Lampiran (yang berisi peraturan/hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan periklanan serta sekilas mengenai DPI dan sejarah falsafah Swakrama). Jiwa dari EPI adalah swakrama; mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah periklanan secara mandiri (tidak perlu menunggu adanya peraturan ataupun turut campurnya unsur pemerintah dalam mengatur etika periklanan). Prinsip swakrama merujuk bahwa suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri. Kondisi ini juga terjadi di banyak negara lain dan sesuai dengan kondisi masyarakat modern saat ini dimana halhal yang bersifat praktis non-politis diserahkan langsung kepada masyarakat untuk mengaturnya. Ada 3 asas penting yang mendasari penyusunan EPI; yaitu bahwa iklan dan pelaku perikklanan harus: 1. Jujur, benar, dan bertanggungjawab. 2. Bersaing secara sehat. 3. Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku Salah satu hal yang sering dipertanyakan oleh khalayak adalah apakah EPI mempunyai kaitan dengan hukum positif di Indonesia. Jawabannya sebenarnya dapat dilihat pada Undang-Undang RI No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (terdapat pada bagian Lampiran EPI) khususnya pada pasal 17 ayat 1 butir f yang berbunyi: “Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: (f). melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan”. Dan sampai dengan saat ini, etika yang mengatur mengenai periklanan hanya ada satu; yaitu seperti yang tercantum pada kitab EPI. Konsekuensi logis dari status hukum tersebut adalah bahwa kitab EPI dapat digunakan sebagai landasan hukum bagi pihak-pihak (termasuk masyarakat luas serta badan-badan pemerintah maupun independen; seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) yang ingin mempermasalahkan suatu iklan. 2012 12 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Satu hal yang tak dapat dilupakan adalah bahwa etika akan mempunyai keterkaitan yang sangat tinggi dengan kondisi budaya masyarakat pada suatu saat tertentu disamping dinamika industri periklanan dan komunikasi yang berkembang demikian pesatnya akhir-akhir ini. Kondisi ini menyebabkan aktualisasi atas suatu rujukan etika pun dapat bergeser. Karena itu, dalam penerapannya ke depan, para pelaku periklanan harus mampu menerjemahkan roh dan isi dari kitab EPI ini, sesuai dialektika dari setiap situasi dan kondisi nyata yang berkembang. Setidaknya dalam sistem nilai, jiwa dan semangatnya. Secara lengkap, kitab EPI tersedia di www.pppi.or.id. Bagian 2: Sekilas BPP PPPI Adalah kewajiban dari masing-masing anggota DPI untuk mendukung EPI sepenuhnya, termasuk PPPI. Dalam rangka itu, PPPI memiliki badan kerja yang berfungsi untuk menyebar-luaskan, mengedukasi dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan EPI. Badan itu disebut sebagai Badan Pengawas Periklanan PPPI (disingkat BPP PPPI). Diharapkan setiap asosiasi anggota DPI juga membentuk badan sejenis sedangkan ditingkat DPI fungsi ini ditangani oleh suatu badan yang disebut sebagai Badan Musyawarah Etika (disingkat BME) yang beranggotakan wakil-wakil anggota DPI. BPP dengan demikian adalah suatu badan bentukan PPPI yang dalam proses kerjanya akan mengutamakan faktor sosialisasi, edukasi dan kontrol penerapan EPI khususnya kepada para anggota PPPI. Selain mengacu pada kitab EPI, BPP juga mempunyai tugas menangani masalahmasalah yang berkaitan dengan pelanggaran atas Standard Usaha Periklanan Indonesia (disingkat SUPI – dokumen selengkapnya dapat ditemukan di www.pppi.or.id). Saat ini BPP memiliki 9 orang anggota inti dan melakukan rapat rutin setiap hari Selasa ke 3 tiap bulannya. Selain anggota inti, rapat BPP juga terbuka untuk dihadiri para pengurus pusat dan pengurus daerah PPPI. Untuk tugas administrasi, BPP dibantu oleh 1 orang petugas administrasi. Dalam melakukan tugasnya, BPP menyusun Peraturan dan Tata Tertib BPP PPPI yang dapat dibaca selengkapnya di www.pppi.or.id. 2012 13 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dalam setiap rapatnya, BPP akan membahas masalah-masalah yang muncul pada periklanan di Indonesia. Sampai saat ini, masalah yang muncul berkaitan dengan masalah Tata Krama Periklanan. Masalah itu bisa saja diajukan ke dalam rapat BPP karena adanya masukan dari salah satu anggota BPP, masukan dari masyarakat luas ataupun masukan dari anggota PPPI. Pada prinsipnya, BPP akan berusaha bertindak tidak hanya secara reaktif, tapi juga proaktif (tidak harus selalu menunggu laporan dari pihak di luar BPP). Atas setiap masalah yang masuk, BPP akan melakukan pembahasan dan pengambilan keputusan. Bila tidak ditemukan kesepakatan berdasarkan musyawarah, dimungkinkan keputusan diambil berdasarkan pemungutan suara. Anggota BPP yang tidak hadir saat pengambilan keputusan dianggap menyetujui keputusan badan. Pengambilan keputusan hanya dapat dilakukan bila peserta rapat memenuhi kuorum (lebih dari 1/2 anggota BPP hadir). Keputusan BPP dapat berupa: 1. Menyatakan bahwa suatu kasus adalah suatu pelanggaran terhadap EPI 2. Menyatakan bahwa suatu kasus dalam kategori berpotensi melanggar EPI sehingga diperlukan informasi lebih lanjut 3. Menyatakan bahwa suatu kasus tidak melanggar EPI Dalam kasus No. 1, BPP akan menerbitkan surat peringatan kepada pihak yang terkait dengan pelanggaran tersebut. Harus dicatat disini bahwa surat tersebut hanya dapat dikeluarkan oleh BPP bila pihak yang terkait tersebut adalah anggota PPPI mengingat status BPP yang berada di bawah naungan PPPI. Bila pelanggaran tersebut dilakukan oleh pihak yang bukan anggota PPPI, maka BPP akan meneruskan masalah itu kepada PPPI yang untuk selanjutnya dapat meneruskan masalah ini kepada DPI ataupun pihak-pihak lainnya yang berwewenang. Pihak yang mendapat surat peringatan dari BPP berkewajiban untuk menjawabnya dan mengambil tindakan dalam waktu secepat-cepatnya. Bila dalam waktu 2 (dua) minggu sejak surat peringatan pertama dikeluarkan, BPP tidak juga mendapatkan tanggapan, maka BPP akan mengeluarkan surat peringatan ke dua. Dan bila setelah 2 (dua) minggu kemudian tidak ada tanggapan juga, maka BPP akan meneruskan masalah ini kepada PPPI agar Pengurus Pusat PPPI dapat mengambil tindakan organisasi sesuai dengan yang diatur dalam AD/ART PPPI (tersedia di www.pppi.or.id). Sesuai dengan AD/ART PPPI, maka sanksi organisasi paling tinggi adalah pemutusan status keanggotaan. Bila tanggapan yang diberikan kepada BPP berupa argumen untuk mempertahankan kebenaran suatu materi iklan, maka BPP akan membahas ulang kasus itu dan akan mengambil keputusan baru 2012 14 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id (bisa keputusan yang sama, bisa juga berbeda) dan keputusan itu akan disampaikan kepada pihak yang bersangkutan. Dalam kasus No. 2, maka BPP akan mengirimkan surat kepada pihak yang berkaitan untuk meminta penjelasan lebih lanjut mengenai kasus tertentu. Berdasarkan penjelasan tersebut maka BPP akan mengambil keputusan. Bila dalam waktu 2 (dua) minggu setelah surat dikirimkan BPP tidak juga menerima kabar/penjelasan, maka BPP akan mengambil keputusan berdasarkan segala informasi dan pengetahuan yang saat itu dimiliki oleh para anggota BPP. Penjelasan yang dapat diberikan oleh pihak terkait dapat disampaikan secara tertulis ataupun dengan tatap muka langsung dengan para anggota DPP. Bila penjelasan tersebut menyangkut informasi-informasi yang bersifat rahasia, maka BPP akan menggunakan informasi rahasia tersebut sebatas hanya untuk pengambilan keputusan dan tidak akan menyebar-luaskannya kepada pihakpihak lain tanpa seijin pihak terkait. Satu hal yang ingin kami tambahkan disini adalah bahwa BPP bukanlah semacam badan sensor. Walapun para anggota BPP seringkali dimintakan pendapatnya atas suatu konsep iklan yang belum disiarkan, pada prinsipnya, BPP tidak dapat mengambil keputusan atas suatu masalah yang berkaitan dengan konsep iklan yang belum disiarkan. Konsultasi yang diberikan hanya dapat dikaitkan dengan fungsi edukasi dari BPP. Bila suatu konsep iklan dikonsultasikan kepada BPP dan setelah itu ternyata tidak dapat disiarkan karena berbagai hal (misalnya, tidak lolos LSF ataupun ditolak oleh suatu lembaga penyiaran tertentu), maka hal tersebut adalah diluar wewenang dan tanggung-jawab BPP. Salah satu pertanyaan yang cukup sering kami terima adalah: apakah suatu iklan yang sudah lolos Lembaga Sensor Film (LSF) masih dapat dinyatakan melanggar EPI oleh BPP? Jawaban kami adalah: Ya. LSF adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan dan struktur yang berbeda dengan BPP. BPP tidak mempunyai keterkaitan dalam bentuk apapun juga dengan LSF dan PPPI maupun DPI tidak mempunyai kekuatan politis apapun (paling tidak sampai dengan saat ini) untuk memaksakan agar LSF menggunakan EPI sebagai standar acuan mereka dalam melakukan sensor. Bagian 3: Penggunaan kata/istilah superlatif Mungkin bukan kebetulan bahwa pengaturan pengunaan kata/istilah yang bersifat superlatif dicantumkan pada bagian ke dua dalam Tata Krama di kitab EPI (persis setelah pengaturan mengenai Hak Cipta). Hal ini disebabkan sampai dengan laporan BPP untuk semester pertama tahun 2006, isi 2012 15 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id laporan tersebut masih didominasi dengan pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan penggunaan kata/istilah superlatif. Kondisi yang sama juga ditemukan dari laporan BPP dari periodeperiode sebelumnya. BPP masih banyak menemukan iklan baik cetak maupun elektronik yang menggunakan kata-kata seperti: tercepat, terbesar, terlama, selalu terdepan, sempurna, paling murah, paling bersih, 100%, asli dan sejenisnya. Masalahnya adalah bahwa penggunaan kata-kata/istilah yang bernuansa superlatif bukanlah sama-sekali dilarang, tapi penggunaannya haruslah dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. Idealnya, pernyataan itu adalah dari suatu lembaga (riset atau audit misalnya) yang bersifat independen (bukan departemen atau unit dari perusahaan biro iklan atau pemrakarasa iklan itu sendiri). Dalam banyak kasus, penggunaan kata-kata/istilah superlatif tersebut tidak mempunyai dukungan data yang obyektif dan valid. Bila demikian, maka tidak ada bedanya dengan iklan-iklan kecap di masa lalu dimana semua produk kecap dapat menyatakan dirinya sebagai Kecap No. 1. Tidak semua kata berawalan “ter” berkonotasi superlatif. Rapat BPP pernah meloloskan penggunaan kata terpercaya karena konotasi dari kata tersebut secara harafiah lebih mengarah pada pengertian “dapat dipercaya” (karena bentuk superlatifnya adalah: paling/selalu terpercaya). Iklan-iklan yang menggunakan kata/istilah superlatif tanpa dukungan dasar/fakta yang obyektif dan valid adalah sama dengan menipu konsumen dan ini bertentangan dengan jiwa EPI (dan juga bertentangan dengan Undang-Undang RI No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 17 ayat 1 butir a). Usaha tersebut juga dapat dianggap sebagai usaha pembodohan kepada konsumen. Walaupun suatu klaim superlatif mempunyai dukungan data/fakta yang valid, insan periklanan juga harus tetap berhati-hati karena lembaga riset ataupun audit mempunyai metode penelitan yang berbeda-beda. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa terbuka kemungkinan adanya lembaga riset atau audit yang akan berusaha menyesuaikan metode penelitiannya agar dapat memenuhi kebutuhan kliennya. Disamping metode, suatu penelitian ataupun audit akan selalu bersifat situasional; tergantung waktu, subyek yang diteliti (jumlah, jenis/kategori subyek dsb.) dan tempat/demografi penelitian. Saran kami bila suatu iklan ingin mencantumkan suatu kata/istilah yang bersifat superlatif: cantumkanlah nama lembaga riset/audit yang mendukung fakta tersebut, jenis penelitiannya, 2012 16 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id demografi/tempat penelitian dan waktu penelitiannya (contoh: berdasarkan riset mengenai perilaku konsumen yang dilakukan oleh PT X pada 20 kota di Indonesia tahun 2006). Kami yakin bahwa insan periklanan tetap dapat bermain dengan sangat bebas dan leluasa dalam mempromosikan keunggulan/kebaikan dari suatu produk atau jasa tanpa harus menggunakan kata/istilah superlatif tanpa dukungan fakta yang obyektif dan valid. Kami sadari pula bahwa seringkali kasus ini terjadi karena adanya permintaan atau “tekanan” dari pemrakarsa iklan (klien). Disinilah idealisme periklanan anda ditantang. Apakah anda ingin industri ini runtuh karena konsumen pada akhirnya tidak mempercayai lagi iklan-iklan yang muncul demi segepok uang? Belum lagi konsekuensi hukum yang mungkin anda hadapi karena masyarakat bisa melakukan class-action atas iklan anda tersebut (dan tidaklah mudah berkelit bahwa iklan itu dibuat atas permintaan/paksaan klien karena secara undang-undang, penipuan melalui suatu iklan harus ditanggung renteng para pelaku iklan; yaitu pemrakarsa iklan, biro iklannya, sampai media massa yang menyiarkannya). Disinilah tantangan para insan iklan untuk juga membantu para kliennya membuat konsep iklan yang beretika sehingga dapat memajukan industri periklanan dan pada saat yang bersamaan memajukan juga citra yang positif terhadap produk/jasa para pemrakarsa iklan. Ciptakan Pariwara Beretika! Bagian 4: Iklan Promosi Berhadiah Pengaturan mengenai iklan promosi berhadiah (dalam hal ini berkaitan dengan hadiah langsung) di EPI merupakan penyempurnaan daripada aturan sebelumnya dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI). Ada 2 bagian dalam EPI yang mengatur hal ini yaitu: Bab III.A.1.25 (mengenai Ketaktersediaan Hadiah) dan Bab III.A.4.6 (mengenai Promosi Penjualan). Salah satu masalah yang sering muncul berkaitan dengan topik ini adalah masih seringnya muncul iklan promosi berhadiah di media cetak maupun elektronik yang mencantumkan atau menyebutkan “selama persediaan masih ada” (atau kata-kata lain yang bermakna sama). Etika tersebut sebenarnya erat berkaitan dengan pasal 13 ayat 1 Undang Undang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa: “(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan atau jasa lain secara cuma-Cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikannya tidak dengan sebagaimana yang dijanjikannya.” 2012 17 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Pernyataan “selama persediaan masih ada” menempatkan konsumen dalam posisi yang sangat lemah karena mereka tidak akan pernah dapat mengetahui berapa banyak sebenarnya persediaan hadiah tersebut. Apakah ada 1 juta hadiah, atau jangan-jangan persediaannya hanya 1 buah hadiah. Cukup banyak keluhan konsumen mengenai hal ini di tulisan surat pembaca di berbagai media cetak. Dari sisi teknik pemasaran, mungkin cara itu adalah cara yang relatif murah untuk mengangkat penjualan suatu produk/jasa dalam waktu yang singkat walaupun di sisi lain seharusnya dipertimbangkan juga dampak negatif yang muncul yaitu kekecewaan konsumen saat ia diberitahu bahwa “persediaan hadiah sudah habis”. Dalam hal ini, citra produk/jasa itulah yang akan jadi taruhannya. Bagaimana para eksekutif pemasaran dan periklanan menyikapi hal ini? Sebenarnya mudah saja. Ada minimal 3 pendekatan sederhana yang bisa digunakan untuk menghindari pelanggaran terhadap EPI sekaligus dapat menjaga citra yang positif terhadap produk/jasa yang dipromosikan. Pendekatan pertama adalah menetapkan suatu periode promosi/hadiah. Misalnya: produk X akan memberikan hadiah Y antara tanggal 1 Januari 2007 – 31 Maret 2007. Konsekuensinya adalah bahwa hadiah tersebut harus tersedia (tanpa batas) selama periode promosi tersebut. Sepintas hal ini mungkin dinilai membuat biaya penyediaan hadiah akan meningkat. Tapi dari sisi lain dapat diperhitungkan bahwa bila ternyata konsumen berbondong-bondong membeli produk itu untuk mendapatkan hadiahnya, bukankah berarti penjualan produk/jasa itu juga akan meningkat drastis? Belum lagi nilai psikologis yang muncul dalam benak konsumen atas produk/jasa tersebut yang merupakan investasi yang tak ternilai. Bila memang biaya penyediaan hadiah menjadi masalah, maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan memberikan label/tanda/stiker khusus pada produk/jasa yang akan memperoleh hadiah dan kemudian menginformasikannya dalam iklan produk/jasa tersebut bahwa: produk X dengan label khusus akan memberikan hadiah Y (antara tanggal 1 Januari 2007 – 31 Maret 2007). Pencantuman periode pemberian hadiah merupakan sesuatu yang optional disini. Bila dicantumkan berarti konsumen harus menyadari bahwa walaupun produk berlabel khusus itu masih ada di pasaran setelah tanggal 31 Maret 2007, maka mereka tidak berhak atas hadiah tersebut lagi. Pendekatan terakhir dapat diterapkan bila penerapan label tidak dimungkinkan. Hadiah ditentukan jumlahnya sejak awal dan diumumkan dalam iklan produk/jasa tersebut. Contoh: produk X akan 2012 18 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id memberikan hadiah kepada 1.000 pembeli pertama (pencantuman periode hadiah bersifat optional disini). Cara ini akan lebih memberikan dampak yang positif bila produsen/pengiklan dapat mengontrol titik-titik penjualannya dimana pembeli pada titik-titik penjualan tertentu sajalah yang dapat memperoleh hadiah tersebut. Bila produk itu sangat tersebar luas (misalnya sampai ke warungwarung), maka produsen akan tetap menghadapi resiko munculnya kekecewaan konsumen bila mereka tidak memperoleh hadiah karena telah lebih dari jumlah yang diumumkan (tapi produsen tetap aman secara hukum karena bilapun ada pihak yang ingin melakukan audit terhadap jumlah hadiah yang dikeluarkannya, ia dapat membuktikannya). Topik berikutnya yang berkaitan dengan iklan promosi berhadiah adalah pencantuman kata-kata “…..dan masih banyak lagi” atau ungkapan yang bermakna sama. Sekali lagi, permasalahannya adalah bahwa pernyataan tersebut menempatkan konsumen dalam posisi yang sangat lemah untuk mengetahui informasi yang sebenarnya tentang suatu kegiatan promosi karena kata “banyak” dapat sangat bersifat subyektif. Cara sederhana untuk mengatasinya adalah dengan menyebutkan jumlah berapa hadiah “lain-lain” tersebut, misalnya: tersedia hadiah A sebanyak X buah, hadiah B sebanyak Y buah dan 1.000 hadiah lainnya. Dengan demikian konsumen dapat mengetahui berapa total hadiah yang akan diberikan oleh produk/jasa tersebut walaupun tidak diperinci satu persatu. Bila ingin memberikan indikasi jenis hadiah “lain-lain” tersebut dapat disebutkan misalnya: ……dan 1.000 hadiah lainnya yang terdiri dari produk A sampai dengan produk Z. Pelanggaran dalam kategori iklan promosi berhadiah ini termasuk yang sulit untuk “ditangkap” karena umumnya periode penanyangan iklan promosi berhadiah ini sangat singkat. Tapi perlu kita sadari bersama bahwa konsumen bukanlah mahluk yang bodoh yang dapat dengan mudah dikelabui dengan iming-iming hadiah yang tidak jelas. Sekali lagi, pendekatan yang salah mengenai bagaimana mengkampanyekan suatu promosi berhadiah dari suatu produk/jasa akan berdampak pada citra produk/jasa tersebut. Belum lagi resiko legal yang mungkin dapat terjadi. Ciptakan Pariwara Beretika! Bagian 5: Iklan Perbandingan 2012 19 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Topik ini kami angkat karena masih cukup banyak kesimpang-siuran interpretasi atas Etika Pariwara Indonesia yang mengatur masalah ini. Dalam EPI Bab III.A.1.19 disebutkan bahwa: 1. Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama 2. Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Penggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut. 3. Perbandingan tak langsung harus berdasarkan kriteria yang tidak menyesatkan khalayak. Jadi jelas bahwa bila pada masa-masa sebelumnya terkesan iklan perbandingan (antara satu merek/produk dengan merek/produk lainnya) diharamkan muncul di media massa Indonesia, maka dengan adanya EPI, maka hal tersebut sebenarnya diperkenankan dengan batasan-batasan tertentu. Apa yang dimaksud dengan aspek teknis adalah hal-hal yang bersifat fisik dan mudah dipahami oleh khalayak konsumen. Beberapa contohnya misalnya: a. b. c. d. berat/ukuran produk: produk A lebih banyak isinya atau lebih berat daripada produk B, kandungan produk: produk A mengandung zat X sedangkan produk B tidak, kejernihan/kekentalan: produk A lebih jernih atau lebih kental daripada produk B, dan hal-hal yang bersifat fisik lainnya Perlu diwaspadai adalah adanya beberapa hal yang sepintas berkesan aspek fisik tapi berpotensi memberikan informasi yang tidak akurat kepada konsumen, seperti: a. Pernyataan “lebih cepat”: untuk produk-produk tertentu aspek kecepatan relatif mudah dapat disajikan dan diperbandingkan dalam suatu iklan, misalnya produk lem A lebih cepat kering daripada lem B. Tapi konsumen tidaklah akan dengan mudah menangkap kebenaran (misalnya) apakah suatu obat nyamuk lebih cepat membunuh nyamuk dibandingkan dengan produk obat nyamuk lainnya. Dalam kasus seperti ini, diharapkan ada data riset yang mendukungnya. b. Pernyataan “lebih murah”: harga dapat dianggap salah satu aspek fisik suatu produk/jasa. Selama pihak yang terlibat dalam suatu proses pembuatan iklan yakin bahwa ia dapat mengontrol seluruh aspek harga tersebut, bisa saja harga diperbandingkan. Perhitungkan kemungkinan bahwa konsumen dengan variasi demografi dari Sabang sampai Marauke bisa saja mendapatkan produk tersebut (dan pesaingnya yang diperbandingkan) dengan harga yang berbeda-beda. Perlu juga diperhatikan bahwa perbandingan atas harga didasarkan atas perbandingan antara 2 produk yang identik (beratnya, komponennya, kandungannya dsb.). Agar lebih aman, perlu disebutkan apa patokan perbandingan harga tersebut. c. Pernyataan yang berkaitan dengan aspek fisik tapi dapat melibatkan subyektifitas konsumen, misalnya: lebih manis/pahit, lebih cepat panas/dingin, tampilan yang lebih moderen, lebih manjur dan yang sejenisnya. Untuk kasus-kasus seperti ini, diharapkan disebutkan hasil penelitian yang mendukungnya. Ciptakan Pariwara Beretika! 2012 20 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Bagian 6: Penayangan Iklan di Media Massa Dalam bagian ini, kami akan menyampaikan sekaligus beberapa masalah yang berkaitan dengan penanyangan iklan. Masalah pertama yang akan kami bahas adalah iklan yang ditayangkan berturutturut (sambung-ulang) lebih dari 2 (dua) kali. Dalam EPI Bab III.A.4.2.2 tercantum bahwa: “Materi iklan yang tepat sama tidak boleh ditampilkan secara sambung-ulang (back to back) lebih dari dua kali.” Ayat ini mengacu pada iklan di media televisi. Untuk media radio, tercantum hal yang sama pada Bab III.A.4.3.2. Iklan jenis ini pernah marak pada periode 2005 walaupun sampai dengan saat ini BPP masih menemukan iklan-iklan sejenis. Pengulangan lebih dari 2 (dua) kali dianggap oleh EPI sebagai mengganggu kenyamanan konsumen dalam menikmati suatu tayangan iklan disamping dapat diasumsikan sebagai suatu iklan yang “merendahkan” martabat konsumen. Beberapa rekan/insan kreatif periklanan berpendapat bahwa iklan sejenis itu dapat “memangkas” kreatifitas mereka. Beberapa iklan pendek yang menggunakan pendekatan pengulangan di tahun 2006 secara cerdik sudah memodifikasinya sehingga pengulangan tersebut tidak tepat sama. Hal ini tentunya membutuhkan suatu kreatifitas tersendiri. Masalah berikutnya adalah adanya usaha pengiklan (biro iklan dan kliennya) berusaha “menyamarkan” iklannya. Untuk media cetak, hal ini di atur dalam EPI Bab III.A.4.1.2. bahwa: “Iklan dengan tampilan menyerupai redaksional wajib mencantumkan kata-kata ‘Iklan No. ….’ Dengan ukuran sekurang-kurangnya 10 point di tempat yang jelas terbaca, dan tanpa bermaksud menyembunyikannya.” Perlu juga diperhatikan EPI Bab III.A.4.11 mengenai periklanan informatif. (mengenai advertorial, infotorial/infomersial, edutorial/edumersial dan sebagainya). Sedangkan untuk iklan di media elektronik diatur dalam EPI Bab III.A.4.9.1 dan III.A.4.9.2, dimana prinsip yang sama digunakan; yaitu bahwa iklan harus dapat dibedakan dengan suatu berita atau isi program. Masih cukup sering terjadi pelanggaran dalam hal ini khususnya di media radio (pada iklan adlibs). Secara etika, kalau suatu iklan ditayangkan dalam format adlibs, maka si penyiar harus memberikan pengantar sebelumnya bahwa informasi yang akan dibacakan berikutnya adalah suatu iklan. Pendekatan yang sama digunakan dalam mengatur gelar wicara (talk-show) yang tercantum dalam EPI Bab III.A.4.10. 2012 21 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Berikutnya kami ingin membahas masalah penayangan iklan-iklan khusus dewasa (intimate nature). Produk yang termasuk intimate nature adalah produk-produk yang berkaitan dengan seksualitas seperti kondom, pil pencegah kehamilan, alat tes kehamilan, aprodisiak (obat perasangsang seksualitas), dan sejenisnya. Disamping itu termasuk pula di sini adalah produk rokok. EPI memperkenankan produk-produk seperti di atas ditanyakan di media elektronik pada kurun waktu antara pk. 21.30 – 05.00 waktu setempat (lihat EPI Bab III.A.4.2.1 dan III.A.4.3.1.). Salah satu masalah yang masuk ke daerah abu-abu dan sampai dengan saat ini BPP PPPI masih mengajukan bimbingan lebih lanjut dari instansi pemerintah terkait adalah mengenai penanyangan iklan rokok dalam bentuk sponsorship yang muncul di luar kurun waktu tersebut. Sampai dengan saat ini, masih cukup sering ditemui adanya kegiatan sponsorship dari produk rokok khususnya di media televisi dimana pada periode-periode tertentu stasiun televisi tersebut menyiarkan pula pengumuman mengenai kegiatan yang disponsori oleh produk rokok tersebut. Penyiaran spot pengumuman tersebut bisa terjadi di luar kurun waktu di atas. Bahkan cukup banyak juga kegiatan sponsorship dimana program yang disponsori produk rokok tersebut muncul di luar kurun waktu tersebut. Beberapa produk rokok berusaha “menyamarkan” iklan mereka dengan menggunakan nama program seperti: Super Soccer, Mezzo Speed dan sejenisnya. Bagi BPP, hal ini sebenarnya tidaklah cukup karena dalam tampilannya, iklan promosi program tersebut tetap menggunakan sebagian ikon dari produk rokok yang bersangkutan (misalnya: penggunaan tipe huruf/font yang sama dengan logo produk, warna khas produk, penampilan logo produk dan sejenisnya). Bahkan ada pula iklan promosi program yang disponsori tersebut dengan menggunakan visual-visual yang ada pada iklan rokok aslinya. Sambil menunggu petunjuk lebih lanjut, BPP saat ini berpendapat bahwa kegiatan promosi tersebut melanggar EPI dan sangat diharapkan pengertian para pengiklan (biro iklan dan kliennya) untuk merevisinya. Masalah berikutnya berkaitan dengan iklan minuman keras. Menurut Undang Undang RI No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang Undang RI No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, jelas disebutkan bahwa produk minuman keras tidak diperkenankan beriklan di media cetak maupun media elektronik (televisi, radio, bioskop). Etika Pariwara Indonesia menyebutkan bahwa iklan produk minuman keras hanya dapat disiarkan di media non-massa. 2012 22 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Pengertian media non-massa adalah: media yang menyasar khalayak terbatas di sekitar sektor, industri, profesi atau entitasnya sendiri. Dengan demikian, pemunculan iklan minuman keras (berakohol) di media massa umum (diperjual-belikan secara umum) tidak dapat dibenarkan. Pemasangan iklan minuman keras/berakohol pada media luar ruang di daerah publik/umum juga tidak dapat dibenarkan (kasus ini masih cukup banyak terjadi di daerah di luar DKI Jakarta). Ciptakan Pariwara Beretika! Bagian 7: Promosi Build-In Beberapa waktu lalu saya menerima sebuah email sbb (kutipan email di bawah ini telah mendapat ijin dari penulisnya dan bbrp identitas dalam email tsb saya samarkan): Beberapa hari yang lalu (kalau tidak salah hari Minggu 22/04), saya melihat acara C di TV. Disana ada adegan dimana Indra Bekti dan Indy Barends sedang mempromosikan sebuah produk yaitu TA. Saat itu Indra sedang berakting seolah-olah dia sedang sakit lalu Indy memberinya TA. Setelah minum TA tiba-tiba Indra sudah merasa sehat kembali pada saat itu juga. Yang jadi permasalahannya adalah: bukankah aturan main di periklanan mengenai obat-obatan adalah efek dari obat tersebut tidak boleh terlihat pada saat itu juga (yang biasanya kalau di TVC selalu diberi keterangan "beberapa hari kemudian" atau si penderita sudah berganti baju sebagai isyarat keesokan harinya). Pembawa acara yang mempromosikan suatu produk di acaranya tersebut bagi saya merupakan sarana beriklan (yang terselubung) juga jadi biar bagaimanapun, TA yang menjadi sponsorship di acara tersebut harus mengikuti aturan main dalam beriklan. Mungkin Indra atau Indy tidak mengetahui aturan main tentang obat-obatan di periklanan. Tapi dari pihak brand harusnya sudah memberitahukannya. Mungkin pihak PPPI perlu mulai mensosialisasikan masalah ini ke para stasiun TV/pembawa acara tentang etika beriklan di acara yang mereka buat. Apalagi banyak acara2 yang seperti EM yang menjadi lahan beriklan melalui pembawa acaranya. Sekiranya ini bisa menjadi masukan bagi Bapak selaku pengawas periklanan dan PPPI. Terima Kasih -AF- art director, Gcomm 2012 23 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Tanggapan saya: Pertama-tama saya merasa bersyukur bahwa ada konsumen yang sekaligus insan periklanan menyampaikan kasus di atas. Suatu bukti bahwa etika dalam periklanan memang sesuatu yang perlu eksis dalam bisnis ini. Kasus ini berkaitan dgn "build-in" ad yang kian hari tampaknya kian marak, baik di media Televisi maupun Radio. Terlepas dari aspek2 finansial yg mungkin ada dalam kampanye "build-in", tulisan saya berikut ini akan lebih mengupasnya dari segi etika periklanan di Indonesia. Kitab EPI sebenarnya sudah mengantisipasi hal ini dan sudah mencantumkan beberapa pasal yang mengatur iklan-iklan "build-in" khususnya di media Radio/Televisi (media elektronik). Bisa dibaca pada EPI Bab III.A.4.9.1 dan III.A.4.9.2, dimana prinsip yang digunakan adalah (sama dengan prinsip iklan advertorial pada media cetak); iklan harus dapat dibedakan dengan suatu berita atau isi program. Secara etika, kalau suatu iklan ditayangkan dalam format adlibs, maka si penyiar/pembawa acara harus memberikan pengantar sebelumnya bahwa informasi yang akan dibacakan berikutnya adalah suatu iklan. Pendekatan yang sama digunakan dalam mengatur gelar wicara (talk-show) yang tercantum dalam EPI Bab III.A.4.10. Jadi pada point ini, saya ingin menekankan bahwa dari sudut pandang EPI, suatu kampanye "buildin" suatu produk adalah sah-sah saja selama pemirsa/konsumen mendapatkan informasi yang jelas bahwa suatu bagian dari program tsb. adalah sponsor/kampanye dari suatu produk/jasa dan tidak dengan disengaja disamarkan dan/atau digabungkan dalam suatu program siaran. Bila program itu berupa film (misalnya sinetron), untuk menghindari kesan "aneh" bila tiba2 aktor/aktrisnya harus mengatakan suatu dialog yg berhubungan dengan sponsorship tertentu, maka minimal dalam credit title di akhir film tsb. hal ini bisa dicantumkan. Selain masalah di atas, maka saya akan masuk lebih dalam pada kasus yang ditulis AF di atas. Saya sangat setuju bahwa produk apapun juga yang menggunakan strategi berkampanye "build-in" seharusnya tetap mematuhi aturan/etika mengenai iklan produk/kategori produk tsb. Dalam kasus di atas, benar adanya bahwa untuk iklan obat-obatan (juga kosmetik dan produk-produk lainnya yang efeknya membutuhkan waktu tertentu), tidak diperkenankan memberikan kesan mempunyai dampak seketika (EPI Bab III.A.1.14). Selain itu, iklan/kampanye produk obat-obatan juga diwajibkan mencantumkan "warning": Baca Aturan Pakai dst. selain juga diwajibkan mencantumkan nama produsennya. Dalam suatu kampanye "build-in" petunjuk dan informasi ini juga wajib diucapkan oleh penyiar/pembawa acara. 2012 24 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Bila produk yang akan ditampilkan dalam bentuk "build-in" itu adalah iklan rokok atau produk yg ditujukan khusus bagi individu dewasa ("intimate product"), maka dianjurkan agar pemunculan program tsb adalah di atas pk. 21.30. Produk rokok juga diwajibkan mencantumkan/menyebutkan "warning" sesuai aturan pemerintah. Kasus iklan "build-in" memang sangat menarik. Satu hal yang pasti, strategi ini memang membuat proses penanyangan iklan menjadi jauh lebih singkat karena tidak ada proses produksi iklan (cukup dalam bentuk teks/brief saja) dan segala "tetek-bengek" di belakangnya (persetujuan atas ide dan eksekusi iklan, lay-out/story-board, tes via FGD dlsb), tidak ada proses sensor (via LSF unt. iklan TV) bahkan tidak perlu melaporkan ke BPOM untuk produk obat-obatan yang sebenarnya diwajibkan untuk melaporkan iklan/kampanyenya terlebih dahulu. Kondisi 'singkat-mudah-murah' ini justru wajib kita cermati dengan hati-hati sekali karena akan muncul peluang yang relatif jauh lebih besar untuk terjadinya pelanggaran-pelanggaran etika di sini. Kuncinya ada di tangan produser dari program-program TV/radio yg disponsori tsb. Produser program harus memahami dengan benar etika beriklan dari suatu produk dan tidak semata-mata berorientasi finansial saja. Pihak produsen/pengiklan (dan media agencynya, bila brief untuk kampanye "build-in" ini datang darinya) juga harus benar-benar memahami apa saja resiko yang dihadapinya dgn melakukan proses 'short-cut' (dgn melakukan strategi "build-in" campaign) atas proses promosi produknya. Sekedar mengingatkan bahwa pada UU RI No. 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 17 ayat 1f, mencantumkan bahwa: Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Dan pada Pasal 20-nya tercantum bahwa: Pelaku usaha periklanan bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang di timbulkan oleh iklan tersebut. Dalam konteks Pasal 20 ini, bila suatu kampanye "build-in" dibuat oleh suatu stasiun radio/TV, maka otomatis penanggungjawab utama dari "iklan build-in" tersebut adalah pihak stasiun radio/TV tsb. Memang tidak akan mudah "menangkap" pelanggaran-pelanggaran etika pada suatu iklan "build-in" krn sifat pemunculannya bisa jadi hanya satu kali saja (kalaupun diulang, bisa jadi tidak akan bisa sama persis lagi), tidak seperti spot iklan radio/TV standard yang bisa berulang-ulang disiarkan dalam 1 hari. Tapi bukan berarti hal ini tidak mungkin. Setahu saya, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) selalu merekam penuh isi siaran TV. Dan saya tidak anjurkan kita "bermain-api" dengan mengambil asumsi "susah ditangkap" ini. Ya salah satu buktinya adalah email dari rekan AF tsb di atas, bukan? Akhir kata, terimakasih banyak kepada bung AF atas masukannya dan semoga tulisan saya di atas dapat menjadi wacana diskusi lebih lanjut mengenai etika periklanan bagi rekan-rekan sekalian. Mari Ciptakan Pariwara Beretika! Salam pariwara 2012 25 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Tugas 1 : 1. Buat kelompok yang terdiri dari 4 orang (maksimal) atau minimal 3 orang. 2. Setiap kelompok ditugaskan membuat suatu laporan analitis atas topik: Analisa terhadap Iklan Politik di Indonesia. 3. Kirimkan laporan tersebut dalam bentuk softcopy (MS Word) maksimal 5 (lma) halaman A4 (satu spasi, Arial 11) ke [email protected] pada tanggal 3 Juli 2010. 4. Analisa tersebut harus mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Apakah hal-hal menarik dari iklan politik di Indonesia pada 1-2 tahun terakhir ini dibandingkan periode-periode sebelumnya? Mengapa perubahantersebut terjadi? Bagaimana pengaruh dari iklan/kampanye politik di negara-negara lain terhadap iklan/kampanye politik di Indonesia? b. Apa saja dampak positif dan negatif dari iklan-iklan politik di Indonesia pada periode 1-2 tahun terakhir tersebut? c. Apa saran kelompok anda agar dampak-dampak negatif tersebut dapat diminimalkan? Berikan saran bagi: i. Institusi Pemerintah (KPU, Badan Pengawas Pemilu dll). ii. Masyarakat pada umumnya iii. Bagi para calon (baik legislatif, presiden ataupun peserta pilkada) iv. Bagi biro iklan yang menangani iklan politik v. Berikan saran hal-hal apa yang harus ditambahkan/dirubah di kitab EPI agar mampu meminimalkan dampak negatif tersebut. Catatan tambahan: 1. Baca berita-berita di berbagai media massa terkait dengan iklan politik, baik itu pemilu anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan pilkada-pilkada. Baca EPI khususnya yang terkait dengan persyaratan-persyaratan iklan kebijakan publik (politik) 2. Kelompok yang tidak mengumpulkan hasil laporannya pada tanggal di atas secara otomatis akan mendapatkan nilai 50 (tidak ada tugas kelompok pengganti). Tugas 2 : LATAR BELAKANG PERMASALAHAN: Dunia periklanan digital saat ini telah berkembang dengan sangat pesat. Termasuk dalam periklanan digital antara lain: web-site, viral, e-banner, search-engine, portal, social-media (facebook, Twitter, YouTube, dsb) serta mobile advertising. Etika Pariwara Indonesia telah berusaha mengantisipasi munculnya masalah etika periklanan pada media-media tersebut (lihat EPI Bab III.A. butir 4.5.). Tapi disadari bahwa panduan yang terdapat pada EPI tersebut masih jauh dari sempurna, khususnya terkait dengan pesatnya pertumbuhan dan variasi dari periklanan digital tersebut. 2012 26 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id TUGAS KELOMPOK: 5. 6. 7. 8. 9. Buat kelompok yang terdiri dari 3 atau 4 orang (maksimal). Setiap kelompok ditugaskan membuat suatu laporan penelitian kecil dan analisa dengan tema: “Saran penyempurnaan panduan etika periklanan digital pada EPI”. Laporan dalam format softcopy (MS Word) maksimal 10 (sepuluh) halaman A4 (spasi tunggal dengan font Arial 11) dikirimkan ke [email protected] paling lambat tanggal 5 Februari 2011. Buat kuesioner singkat dan wawancarai minimal 6 (enam) orang awam (bukan praktisi periklanan/pemasaran) usia antara 17 – 30 tahun dan minimal 6 (enam) orang praktisi periklanan/pemasaran (idealnya, praktisi periklanan/pemasaran digital/mobile) untuk mendapatkan informasi terkait: (1) perkembangan dunia digital pada umumnya dan periklanan digital pada khususnya, (2) masalah-masalah yang muncul dengan makin maraknya periklanan digital (khususnya yang terkait dengan masalah etika periklanan digital), (3) mengapa masalah-masalah tersebut muncul dan (4) apa saran mereka untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Laporan tersebut harus mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Bab I: perkembangan dunia periklanan digital di Indonesia saat kini dan di masa depan (sebutkan nara-sumbernya bila ada, baik nara-sumber pribadi, kutipan berita media-massa ataupun buku-buku referensi). b. Bab II: Masalah-masalah etika periklanan digital dan mengapa masalah tersebut muncul; baik masalah-masalah yang telah muncul saat ini maupun hasil analisa kelompok akan kemungkinan munculnya masalah-masalah baru di masa yang akan datang. Jabarkan masalah-masalah ini dengan bahasa yang ringkas, runtut/logis dan jelas. c. Bab III: Saran penyempurnaan panduan etika periklanan digital dengan mengaitkan saran-saran tersebut dengan masalah yang tercantum pada Bab II. Dalam bagian ini, tidak perlu mencantumkan kembali panduan-panduan etika yang sudah ada di EPI, kecuali bila kelompok anda ingin menyarankan merubah/menyempurnakan salah satu butir yang sudah ada di EPI. Saran-saran ini dapat dikutip dari pendapat para nara-sumber yang diwawancarai ataupun berdasarkan analisa/pendapat kelompok. d. Lampiran Laporan yang berisi data-data pribadi dari para pihak yang di wawancarai (nama, jenis kelamin, usia, pekerjaan) dan ringkasan hasil wawancara tersebut. e. Daftar pustaka (bila ada) Catatan tambahan: Kelompok yang tidak mengumpulkan hasil laporannya pada tanggal di atas secara otomatis akan mendapatkan nilai 50 (tidak ada tugas kelompok pengganti). Penilaian akan didasarkan pada kualitas penjabaran dan jumlah masalah baru yang ditemukan serta bagaimana kualitas solusinya (saran perbaikan panduan etika periklanan digital). 2012 27 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Bila ada hal-hal yang kurang jelas dari penugasan ini, mohon agar tanya-jawab dilakukan melalui milist sehingga dapat dibaca oleh semua kelompok (konsultasi pribadi tidak akan dilayani). Tugas 3 : 1. Buat kelompok yang terdiri dari 4 orang (maksimal) atau minimal 3 orang. 2. Setiap kelompok ditugaskan membuat suatu laporan analisa atas topik: Analisa terhadap Rencana Pelarangan Total Iklan/Promosi Produk Rokok di Indonesia. 3. Kirimkan laporan tersebut dalam bentuk softcopy (MS Word) maksimal 6 (enam) halaman A4 (satu spasi) ke [email protected] pada tatap muka 14. 4. Laporan tersebut harus mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Hal-hal yang mendukung pelarangan tersebut (baik dari segi periklanan maupun segi-segi sosial-ekonomi lainnya) b. Hal-hal yang tidak mendukung pelarangan tersebut (baik dari segi periklanan maupun segi-segi sosial-ekonomi lainnya) c. Berdasarkan aspek-aspek yang mendukung dan tidak mendukung tersebut, berikan kesimpulan kelompok apakah kelompok anda mendukung ataukah tidak mendukung rencana pelarangan total iklan rokok tersebut. Berikan alasan-alasan yang sesuai dengan kesimpulan kelompok tersebut. d. Tambahkan satu bagian khusus untuk membahas hal berikut: bila iklan rokok tetap diperbolehkan di Indonesia, apakah menurut kelompok anda, persyaratan penayangan iklan rokok yang saat ini berlaku masih relevan ataukah perlu lebih diperketat? Bila kelompok anda memutuskan untuk tetap menggunakan persyaratan iklan rokok yang berlaku sekarang, apa alasannya? Bila kelompok anda memutuskan untuk memperketat iklan rokok, sebutkan apa saja saran-saran dari kelompok anda untuk memperketat persyaratan penayangan iklan rokok di Indonesia? Catatan tambahan: 3. Baca berita-berita di berbagai media massa yang selama 1-4 bulan lalu mengupas masalah iklan rokok. Rencana pelarangan tersebut mencakup tidak diperkenankannya produk rokok mensponsori berbagai kegiatan. 4. Baca EPI khususnya yang terkait dengan persyaratan-persyaratan iklan rokok 5. Kelompok yang tidak mengumpulkan hasil laporannya pada tanggal di atas secara otomatis akan mendapatkan nilai 50 (tidak ada tugas kelompok pengganti). 2012 28 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id -----o0o---- Sampai jumpa di UAS! Semoga berhasil lulus! Daftar Pustaka Dewan Periklanan Indonesia, Etika Pariwara Indonesia, cetakan ke 3, 2007 Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, Laporan Badan Pengawas Periklanan, 2005 – 2009 2012 29 Etika Periklanan SM Niken Restaty, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id