ORASI ILMIAH DISAMPAIKAN DALAM DIES NATALIS KE- 30 UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA JUDUL: “PERANAN HUKUM DALAM MEREKATKAN KEBANGSAAN INDONESIA” Oleh: PROF DR ZUDAN ARIF FAKRULLOH, SH,MH Bismillahirrohmanirrohim, Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh, Selamat Pagi dan Salam Sejahtera Bagi Kita Semua Yang Saya Hormati: 1. Koordinator Kopertis Wilayah VII; 2. Ketua Yayasan Wijaya Kusuma Surabaya; 3. Senat Guru Besar; 4. Rektor dan Para Pembantu Rektor; 5. Para Dekan, Pembantu Dekan, Ketua Jurusan dan Ketua Bagian; 6. Para Dosen; 7. Para Pejabat; 8. Para Mahasiswa; 9. Tamu Undangan dan hadirin yang berbahagia. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang senantiasa terlimpah kepada kita semua sehingga dapat hadir pada acara yang sangat membahagiakan ini. Ucapan terima kasih yang tak terhingga harus saya haturkan kepada Ketua Yayasan Universitas Wijaya Kusuma, Rektor dan Panitia Dies Natalis yang mempercayai saya untuk berdiri di mimbar yang terhormat ini untuk menyampaikan orasi ilmiah. Sebelum saya memulai orasi ilmiah ini, perkenankanlah saya mengucapkan selamat kepada Ketua Yayasan, Rektor, Para Dekan, Para Guru Besar, Dosen dan Karyawan serta mahasiswa atas seluruh pencapaian yang telah diperoleh Universitas Wijaya Kusuma dalam kurun waktu 30 tahun. Usia 30 tahun adalah usia yang sudah matang dan siap untuk tidak saja bersaing di tingkat nasional, bahkan harus mulai berani untuk berkompetisi di tingkat Internasional. Universitas Wijaya Kusuma sudah mengalami kemajuan yang banyak dibandingkan dengan ketika saya pertama kali menjadi dosesn tetap di Fakultas Hukum mulai pada tanggal 1 Februari 1993. Mudah-mudahan perkembangan yang luar biasa yang sudah dicapai oleh Universitas Wijaya Kusuma dapat tingkatkan terus secara berkelanjutan agar Kampus Universitas Wijaya Kusuma dapat menjadi Kampus yang Terpercaya dan menjadi Kampus yang membanggakan seluruh warga Almamaternya.Mudah-mudahan, dari kampus ini akan dapat ditebarkan ilmu yang barokah untuk selanjutnya dapat diimplementasikan menjadi ilmu yang amaliah. Para hadirin yang saya muliakan, perkenankanlah saya untuk memulai menyampaikan isi orasi ilmiah yang berjudul: PERANAN HUKUM DALAM MEREKATKAN KEBANGSAAN INDONESIA. -2- I. PENDAHULUAN Ada yang mengusik nurani kita sebagai anak bangsa ketika kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan “masih banggakah engkau sebagai bangsa Indonesia?”. Dibalik keberhasilan reformasi yang mampu mendorong keterbukaan dan demokratisasi, terpapar pula fakta empirik dihadapan kita yang menunjukkan problema serius yang mengancam kerekatan kebangsaan Indonesia. Kita dapat mengidentifikasi persoalan-persoalan tersebut mulai dari ancaman terhadap keamanan individu, radikalisme agama korupsi yang terjadi secara massif, penegakan hukum yang tidak berkeadilan, desentralisasi yang cenderung terimplementasi dalam federalisasi maupun kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang tidak dapat segera diatasi. Upaya untuk merawat kebangsaan Indonesia sekaligus mewujudkan suasana aman, tertib dan sejahtera dalam keberagaman masyarakat Indonesia memang tidak semudah seperti teori-teori yang ada di dalam buku. Tidak ada satupun teori yang dapat secara tepat digunakan untuk diterapkan di Indonesia, sebuah negeri yang demikian besar, yang di dalamnya terdapat lebih dari 300 (tiga ratus) etnis dengan lebih dari 50 (lima puluh) bahasa yang berbeda-beda yang tersebar dalam 17.504 (tujuh belas ribu lima ratus empat) pulau yang terangkai dari Sabang sampai Merauke (Zudan Arif Fakrulloh, 2009) dan terwadahi dalam administrasi pemerintahan pada 530 (lima ratus tiga puluh) daerah otonom yang terbagi dalam 497 (empat ratus Sembilan puluh tujuh) kabupaten/kota dan 33 (tiga puluh tiga) provinsi (Kemendagri, 2011). Karakteristik Indonesia sebagaimana saya uraikan di atas membutuhkan penanganan yang spesifik Indonesia dan tidak dapat dilakukan secara serta merta dengan mengcopy paste proses-proses yang dilakukan oleh negara-negara lain yang dianggap sudah maju. Contoh-contoh di negara lain adalah referensi yang dapat digunakan sebagai bahan perbandingan, namun bukan satu-satunya model yang tepat untuk digunakan di Indonesia. Kita harus mewujudkan Kebangsaan Indonesia sekaligus mencapai kesejahteraan yang berbasiskan rasa aman dan tertib dengan nilai-nilai keindonesiaan yang berlandaskan kepada Pancasila. Terhadap seluruh ancaman terhadap kebangsaan Indonesia, seluruh pemangku kepentingan di Indonesia mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan seluruh warga masyarakat harus bersama-sama untuk melakukan tindakan pencegahan dan penanganan secara terkoordinasi, sistematik dan berkelanjutan menggunakan cara pandang yang sama dengan menggunakan pendekatan kekinian yang up to date. Empat Pilar dalam bernegara dapat kita jadikan referensi untuk merawat kebangsaan Indonesia. Empat pilar tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika. -3- Dalam merawat Kebangsaan Indonesia, kita tidak boleh terjebak dengan romantisme masa lalu karena pendekatan yang efektif pada masa lalu tidak selalu cocok digunakan untuk menyelesaikan persoalan pada masa kini. Kebangsaan (nationhood) adalah rangkaian upaya untuk mencapai keseimbangan kepentingan masyarakat (society) di satu pihak dengan kekuasaan negara (state) di pihak lain (Parakitri Simbolon,2006,3). Dalam rangkaian upaya tersebut, benturan kedua belah pihak seringkali terjadi dan tidak bisa dihindarkan. Apabila benturan yang terjadi berakhir pada dominasi salah satu pihak, justru akan mengancam kelangsungan hidup negara atau masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, yang harus diwujudkan adalah keseimbangan yang menjelma dalam lembaga dan pranata yang mewujud dalam masyarakat baik yang diciptakan oleh negara maupun yang tumbuh secara asli dari masyarakatnya. Kegagalan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada seringkali terjadi karena kita menggunakan logika-logika masa lampau untuk menyelesaikan persoalan masa kini. Pakar manajemen Peter Drucker dengan jelas menyatakan bahwa: THE GREATEST DANGER IN TIMES OF TURBULENCE, IS NOT THE TURBULENCE …, IT IS TO ACT WITH YESTERDAY’S LOGIC”. II. GAGASAN IDEAL TENTANG INDONESIA Para Hadirin yang saya hormati, Apabila merujuk pada tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, maka tergambar dengan jelas tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia. Ketika kita menggali lebih dalam, dan Pancasila sebagai dasar negara dibongkar isinya, maka di dalamnya dapat diperoleh makna model masyarakat Indonesia. Dari sila-sila yang ada, dapat dikontruksikan bahwa Masyarakat Indonesia merupakan komunitas yang hidup dalam negara yang bermoral religius dalam tatanan yang secara totalitas memberikan penghargaan pada martabat kemanusiaan dalam bingka negara kesatuan Indonesia yang demokratis dan berkeadilan sosial. Gambaran inilah yang sebenarnya sering disebut oleh para ahli sebagai Civil Society atau Masyarakat Madani. Berbagai konsep tentang masyarakat madani berkembang sebagai hasil abstraksi pemikiran dengan dasar/setting masyarakat tertentu. Konsep Hegel tentang masyarakat madani misalnya, dipandang suatu masyarakat borjuis yang terdiri dari individu-individu yang telah meninggalkan satuan-satuan keluarga dan memasuki persaingan ekonomi. Hegel melihat dalam masyarakat ini terdapat berbagai kepentingan sempit yang saling bertentangan dan saling memecah belah sehingga masyarakat ini ada kecenderungan menghancurkan dirinya sendiri. Dalam hal ini negara diperlukan sebagai pelestari dan -4- pemelihara kepentingan masyarakat yang universal. Pandangan Hegel ini bertentangan dan merupakan reaksi dari pandangan kaum liberal yang diwakili oleh Locke (16321704), Rousseau (1712-1778) dan Adam Smith (1723-1790). Berbeda dengan konsep di atas, Al Farabi seorang filsuf muslim pada abad pertengahan mengedepankan konsep masyarakat dan negara yang ideal dengan nama "Al-Madinah Al-Fadilah" atau Konsep negara utama yaitu sebuah model negara yang mewujudkan segala keutamaan hidup atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa. Masyarakat utama sebagai bagian dari negara itu berjalan paralel dengan etos yang hidup dan diyakini dalam kehidupan bernegara. Gambaran negara dan masyarakat utama ini merupakan sebuah proses suatu masyarakat sejak nomaden dan primitif, kemudian memasuki masa peralihan dan akhirnya sampai pada tahap kematangan. Di lingkungan kaum cendekiawan muslim, gagasan Al Farabi yang dikenalkan oleh Abidin Ahmad (1979) dan Umar Amin Husin (1964) kurang begitu dikenal. Konsep masyarakat ideal yang populer bagi cendekiawan muslim adalah yang tertuang dalam Al Quran surah Saba' ayat 15 yaitu konsep masyarakat Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Ghafur. Konsep masyarakat sebagaimana surah Saba' ayat 15 tersebut merupakan gambaran masyarakat yang paling ideal dan dicoba ditransformasikan ke dalam masyarakat Indonesia yang terkristal dalam tujuan pembangunan nasional yang hendak mewujudkan masyarakat adil makmur merata materiel dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Zudan Arif Fakrulloh, 2009). Sebenarnya gagasan Al-Farabi tentang masyarakat utama dan negara utama, bersumber dari konsep-konsep dalam Al Quran sebagaimana surah Saba' ayat 15 di atas. Masyarakat utama ini adalah masyarakat yang sudah tinggi tingkat perkembangannya yaitu suatu masyarakat yang memiliki sistem kelembagaan dan mekanisme yang menjamin berlakunya upaya-upaya masyarakat untuk melakukan fungsi amar makruf nahi munkar dan memelihara iman. Untuk membangun masyarakat yang ideal (masyaraka madani) Bung Karno mengedepankan sistem ekonomi yang mengedepankan demokrasi ekonomi dan SosioNasionalisme. Konsep dan ide dasar Soekarno adalah: “memperbaiki keadaan dalam masyarakat sehingga keadaan yang pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papa sengsara, ... jadi yang dicari adalah keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki” Soekarno sangat menyadari adanya kepincangan yang menyolok dalam struktur sosial di mana massa rakyat hidup dalam stelsel yang eksploitatif. Soekarno berpendapat bahwa kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan adalah syarat untuk melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi di dalam masyarakat. Pikiran-pikiran Soekarno yang populis tampak sekali mewarnai konsep sistem ekonomi yang ada dalam UUD 1945 (Zudan Arif Fakrulloh, Disertasi, 2001) -5- Undang-undang Dasar 1945 dalam Pembukaanya menegaskan bahwa tujuan negara Republik Indonesia adalah membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta dalam usaha perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi,dan keadilan sosial. Rumusan ini mengandung penugasan aktif kepada negara untuk mewujudkannya. III. DESENTRALISASI: ANCAMAN ATAUKAH PELUANG UNTUK KEBANGSAAN INDONESIA ? Para hadirin yang saya muliakan, Saya ingin mengajak para hadirin untuk kilas balik merefleksikan jalannya pemerintahan Indonesia ketika menggunakan UU nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang berparadigma sentralistik. Paradigma sentralistik meletakkan pilihan kebijakan (legal policy) dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan sifat yang otoritarian, represif, penyeragaman dan kontrol yang ketat terhadap partisipasi di tingkat lokal. Demokratisasi tidak mendapatkan tempat untuk tumbuh subur.Hal ini membuat situasi penyelenggaraan pemerintahan yang kering terhadap inovasi dan invensi. Dibukanya keran desentralisasi dengan UU nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi perubahan yang luar biasa dalam penyelenggara pemerintahan di Indonesia. Demokratisasi dan inovasi tumbuh dengan baik, namun adapula eksesnya yaitu korupsi bertranformasi menjadi massif ke seluruh daerah dan desentralisasi cenderung menjadi federalisasi. Desentralisasi merupakan pilihan yang tepat untuk Indonesia, negeri yang penuh keberagamaan ini. Namun desentralisasi harus tetap dilaksanakan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ancaman terhadap kebangsaan Indonesia melalui pintu desentralisasi dapat terjadi manakala system dan praktek desentralisasi melupakan kaidah-kaidah dasar dalam desentralisasi yang sudah dibangun dalam UUD 1945. Konstruksi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan otonomi daerah di Indonesia diatur dalam UUD 1945 di dalam Bab VI yang terdiri dari Pasal 18, 18A dan 18B1. 1 Bunyi selengkapnya Bab VI tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. -6- Pengaturan dalam pasal-pasal tersebut merupakan satu kesatuan pengaturan yang meliputi susunan pemerintahan, pengakuan terhadap keanekaragaman dan keistimewaan daerah, dan kerangka sistem otonomi. Berdasarkan konstruksi dalam UUD 1945 tersebut, maka untuk penyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan provinsi dibagi lagi menjadi daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah propinsi, kabupaten dan kota merupakan pemerintah daerah yang diberi kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang berdasarkan pada asas otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni nilai unitaris dan nilai desentralisasi. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara. Artinya, kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak tidak akan terbagi di dalam kesatuan pemerintahan lokal ataupun regional. Berdasarkan dua nilai dasar dalam konstitusi tersebut, penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia sangat terkait dengan pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Daerah-daerah otonom diadakan guna menyangga tatanan Negara Kesatuan. Dasar kesatuan ini amat penting dalam mendudukannya dengan dasar otonomi seluas-luasnya. Otonomi seluas-luasnya tentu tidak boleh bertentangan dengan dasar kesatuan, dan dasar kesatuan sebaliknya tidak boleh melenyapkan wujud dari otonomi seluas-luasnya. Oleh karena itu, dalam konteks ini perlu dicari sebuah metoda untuk menseimbangkan antara dasar kesatuan dan dasar (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Pasal 18A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Pasal 18B (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. -7- otonomi. Negara Kesatuan tidak dapat meniadakan Otonomi Daerah namun betapapun luas kewenangan Otonomi Daerah, tidaklah dapat meniadakan wadah Negara Kesatuan. Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia bercirikan pada karakteristik sebagai berikut: 1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan. 2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan 3. Penyerahan atau pengakuan atas urusan tersebut didasarkan pada pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat. Berdasarkan UUD 1945 ciri-ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah terbentuk karena dibentuk oleh Pemerintah sehingga dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum. 2. Di wilayah Indonesia dibentuk provinsi dan di wilayah provinsi di bentuk kabupaten dan kota sebagai daerah otonom. 3. Pembentukan wilayah di atas mempunyai konsekuensi bahwa kebijakan desentralisasi dibuat oleh pemerintah sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD serta masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang demokratis. 4. Hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom (provinsi,kabupaten dan kota) adalah bersifat tergantung dan bawahan (dependent and subordinate). Prinsip ini berbeda dengan hubungan antara negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme yang sifatnya independen dan koordinatif. 5. Adanya pembagian dan penyerahan urusan kepada daerah otonom. 6. Gubernur merupakan wakil pemerintah yang ada di daerah untuk melaksanakan urusan Pusat yang ada di daerah. 7. Terdapatnya perbedaan sumber daya alam dan sumber daya manusia pada masingmasing daerah, maka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sangat penting bagi terciptanya penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka negara keatuan. Para hadirin yang mulia Dari konstruksi yang terdapat dalam Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 maka hak, kewenangan dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lebih diarahkan pada pemenuhan kepentingan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menggariskan bahwa maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah adalah memacu kesejahteraan, pemerataan -8- pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat; menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dala penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, peningkatan pelayanan public dan daya saing daerah. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, pemberian otonomi diarahkan pada beberapa hal yaitu: Pertama, dari aspek politik pemberian otonomi daerah bertujuan untuk mengikutsertakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat ke dalam program-programprogram pembangunan baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung kebijakan nasional tentang demokarsi. Kedua, dari aspek manajemen pemerintahan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam memberikan pelayanan dalam berbagai kebutuhan masyarakat. Ketiga, dari aspek kemasyarakatan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatkan partisipasi serta menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat untuk tidak perlu banyak bergantung kepada pemberian pemerintah dalam proses pertumbuhan daerahnya sehingga daerah memiliki daya saing yang kuat. Keempat, dari aspek ekonomi pembangunan, pemberian otonomi daerah bertujuan menyukseskan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat. Otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 1999 menggunakan filosofi “keanekaragaman dalam kesatuan”, sebagai kontra-konsep dari filosofi “keseragaman” yang digunakan oleh UU No. 5 Tahun 1974. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditekankan perlunya peningkatkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih memperhatikan aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragamnan daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggara pemerintahan negara. Dengan demikian, maka daerah otonom diberi keleluasaan yang besar untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah dan masyarakatnya sesuai kebutuhan dan kemampuan masing-masing namun harus tetap dalam sistem NKRI. Dalam implementasi kebijakan desentralisasi selalu terjadi adanya persebaran urusan pemerintahan kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi lembaga negara yang membidangi legislative atau lembaga pembentuk UU dan Yudikatif ataupun lembaga negara lainnya yang berwenang mengawasi keuangan negara. Walaupun DPRD diberi wewenang untuk mengatur urusan daerah bersama kepala -9- daerah, namun tidak dapat mengintervensi ke dalam wilayah-wilayah yang tidak berada dalam kompetensi pemerintah. Belajar dari perbandingan otonomi daerah di berbagai negara, terdapat dua pola besar dalam merumuskan hukum yang terkait dengan pembagian urusan pemerintahan yaitu dengan pola: (Zudan Arif Fakrulloh, 2009) 1. Otonomi luas (general competence) 2. Otonomi terbatas (ultra vires) Dalam pola otonomi luas, urusan-urusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat bersifat limitatif dan sisanya menjadi kewenangan pemerintah daerah (Teori Residu). Sedangkan dalam pola otonomi terbatas, urusan-urusan daerahlah yang dirumuskan secara limitatif dan sisanya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam negara yang menggunakan prinsip desentralisasi, maka makna dan tujuan pembangunan tersebut juga menjadi landasan pelaksanaan desentralisasi. Secara teoritis, desentralisasi menjanjikan banyak hal bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat pada tingkat lokal. Dengan pemahaman itu, maka desentralisasi dan otonomi daerah memberikan kesempatan yang sangat besar kepada pemerintah dan masyarakat daerah untuk mengatur dan melayani pemenuhan kebutuhan mereka dalam rangka hidup bermasyarakat. Pada dasarnya desentralisasi dan otonomi daerah mempunyai makna besar bagi kepentingan masyarakat daerah untuk menjadi pengambil manfaat dari setiap pengaturan dan pelayanan pemerintahan. Pandangan ini menyiratkan suatu keharusan bahwa dengan otonomi daerah, kepentingan, kebutuhan, dan kondisi masyarakat merupakan inspirasi utama dalam setiap langkah kegiatan pemerintah daerah. Artinya setidak-tidaknya ada 3 (tiga) aspek penting yang tidak boleh diabaikan oleh pemerintahan daerah dalam berproses sebagai kepanjangan tangan pemerintahan nasional maupun daerah yaitu: harus mewujudkan harapan masyarakat, menuntaskan masalah yang dihadapi masyarakat, dan meningkatkan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat. Para hadirin dan tamu undangan yang berbahagia Di berbagai negara yang mempunyai wilayah yang luas, hampir tidak ada kebijakan sentralisasi yang dapat berjalan secara efektif. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam wilayah negara yang luas diperlukan pola-pola penyerahan/pelimpahan sebagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui otonomi daerah. Oleh karena itu, otonomi daerah dapat dianggap sebagai refleksi dari distribusi kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. -10- Dalam distribusi kewenangan tersebut, Rondinelli berpendapat bahwa desentralisasi dalam arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan ke daerah.Dalam hal kewenangan diserahkan kepada pemerintah daerah, kebijakan tersebut disebut devolusi. Sedangkan kalau kewenangan dilimpahkan kepada pejabatpejabat pusat yang ditugaskan di daerah, maka hal tersebut masuk dalam kategori kebijakan dekonsentrasi. Sebagai model pertama pelaksanaan devolusi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan pemberian otonomi serta dibentuknya lembaga daerah seperti pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan lembaga yang dibentuk dengan kebijakan dekonsentrasi sebagai model kedua, disebut instansi vertikal dan wilayah kerjanya disebut wilayah administrasi yang dapat mencakup satu atau lebih wilayah daerah otonom. Model ketiga dari kebijakan desentralisasi dalam arti luas adalah adanya kebijakan delegasi (delegation) pemerintah pusat dapat mendelegasikan pelaksanaan suatu tugas tertentu kepada suatu lembaga atau unit pemerintah yang khusus dibentuk untuk keperluan termasuk. Pemerintah Indonesia sebagai contoh membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi tertentu oleh negara seperti penerbangan oleh Garuda, perminyakan oleh Pertamina, listrik oleh PLN, pembentukan Otorita Batam, pembentukan kawasan khusus lainnya, untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan/atau berskala nasional. Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintah tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik. Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut. Model keempat dari kebijakan desentralisasi adalah melalui kebijakan privatisasi. Pemerintah untuk kepentingan efisiensi yaitu mengurangi beban penyediaan pelayanan publik bisa menyerahkan pelayanan tersebut kepada swasta murni dengan pemberian ijin dan pengendalian dalam batas tertentu, seperti pembentukan sekolah swasta, rumah sakit swasta, pasar swasta (Mall), jalan swasta (toll road) dan lain-lainnya. Pemerintah baik pusat maupun daerah dapat juga mengadakan kerjasama dengan swasta (public private partnership) melalui bentuk-bentuk kemitraan BOT (Build Operate Transfer), -11- BOO (Build Operate Own), BTO (Build Transfer Operate), Management Contracting Out dan lain-lainnya. Apakah pelimpahan wewenang akan lebih menitik beratkan pada pilihan devolusi, dekonsentrasi, delegasi ataupun bahkan privatisasi, hal tersebut tergantung dari para pengambil keputusan politik di negara yang bersangkutan. Di banyak negara, keempat bentuk tersebut sering diterapkan bersama oleh pemerintah, walaupun salah satu bentuk mungkin mendapatkan prioritas dibandingkan bentuk-bentuk lainnya (Rondinelli & Cheema, 1983). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pembagian urusan pemerintahan diatur dalam 4 model urusan pemerintahan, yaitu: 1. Urusan absolut yang secara mutlak menjadi urusan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat (3) UU 32 tahun 2004) 2. Urusan Bersama yaitu urusan yang dapat dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota. 3. Urusan Wajib pemerintah daerah. Urusan wajib provinsi di atur dalam Pasal 13 Undang-Undang2 nomor 32 tahun 2004 dan urusan wajib kabupaten kota di atur dalam Pasal 143 tahun 2004. 2 Pasal 13 UU Nomor 32 tahun 2004 mengatur Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Pasal 14 UU nomor 32 tahun 2004 mengatur Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3 -12- 4. Urusan Pilihan pemerintah daerah. Urusan pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi dan potensi unggulan daerah (Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU 32 tahun 2004). Urusan absolute sebagaimana Pasal 10 UU nomor 32 tahun 2004 didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan Negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan dimaksud dimaksud meliputi: 1. politik luar negeri dalam arti mengangkat pejabat diplomatic dan menunjuk warga Negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negerimelakukan perjanjian dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya; 2. Pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan Negara atau sebagian wilayah negaradalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan system pertanahan Negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela Negara bagi setiap warga Negara dan sebagainya. 3. Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian Negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum Negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan Negara dan sebagainya. 4. Moneter, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. -13- 5. Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesty, abolisi , membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya. 6. Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya, dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional tidak diserahkan kepada daerah. Disamping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penangannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, daerah Kabupaten/Kota maka disusun kriteria yang meliputi: 1. Kriteria Eksternalitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut Apabila dampak yang ditimbulkan berfifat local, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan propinsi dan apabila nasional menjadi kewenangan pemerintah. 2. Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. 3. Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumberdaya (personil, dana dan peralatan)untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/ Daerah -14- Kabupaten/Kota. Sebaiknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola kewenangan adalah sebagai berikut : a. Bahwa pemahaman Otonomi Daerah harus secara utuh dan tidak semata-mata didasarkan atas pendekatan pembagian kekuasaan yang cenderung dimaknai kedaulatan, akan tetapi harus diperhatikan dan difahami melalui pendekatan kesejahteraan untuk rakyat daerah dan semakin baiknya penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan di Daerah serta dalam mendukung integritas dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Dengan pendekatan kesejahteraan, kewenangan dapat dikelola antara lain untuk meningkatkan pelayanan melalui upaya menciptakan iklim yang kondusif untuk kesempatan berusaha, mengembangkan dan menarik investasi, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan kerja, serta terciptanya suasana tentram, tertib hukum dan adanya kepastian hukum. c. Dalam mengelola kewenangan yang diakomodir melalui Perda, Keputusan Kepala Daerah dan kebijakan pelaksanaannya kiranya tidak ditujukan semata-mata untuk kepentingan Pemerintah Daerah, namun harus sebesar-besarnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat luas dan kelangsungan berjalannya kegiatan dan kebijakan Pemerintahan Nasional. d. Apabila Daerah telah menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi segera mengkaji dan meninjau kembali atau dilakukan judicial review yang disesuaikan dengan kepentingan umum yang lebih luas dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan memahami konsep dan paradigm desentralisasi seperti uraian di atas, maka apabila desentralisasi dilaksanakan sesuai dengan kaidah, konsep dan paradigm yang tepat akan dapat merekatkan kebangsaan Indonesia. -15- IV. KEAMANAN, KETERTIBAN DAN KETENTRAMAN INDIVIDU: PINTU MASUK PEREKAT KEBANGSAAN INDONESIA Para hadirin yang saya hormati, Keamanan, ketertiban dan ketentraman Individu merupakan pilar untuk mewujudkan tujuan bernegara yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Seringkali Istilah keamanan dan ketenteraman seringkali kita ucapkan dalam satu tarikan nafas untuk menunjukkan bahwa keduanya mempunyai keterkaitan yang erat. Dalam undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, keamanan dan ketertiban didefinisikan sebagai kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Sedangkan Ketenteraman dan ketertiban umum dalam peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2010 didefinisikan sebagai suatu keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib dan teratur. Pada dasarnya, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat telah dilimpahkan menjadi urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan keamanan, ketertiban dan ketentraman sebagimana kerangka normatif di atas tidaklah mudah. Ancaman terhadap keamanan individu terus bertebaran. Perasaan aman dan tentram merupakan hal amat mahal. Kita sering merasa takut untuk bepergian, merasa tidak aman melepaskan anak-anak pergi sekolah dank e tempat ibadahpun tidak ada jaminan penuh dari ancaman terhadap keamanan. Sekedar contoh untuk menyegarkan ingatan kita, adanya konflik dan kasus anarkhis yang dialami oleh pengikut jemaah ahmadiyah, kasus anarkis Temanggung, penembakan terhadap polisi, bom bunuh diri pada saat sholat Jumat di masjid Polres Cirebon, ancaman bom menjelang perayaan paskah, kasus mbah Priok yang melibatkan aparat satuan polisi pamong praja, dugaan penculikan mahasiswa oleh kelompok NII, dan persoalan terorisme dan radikalisme agama Dalam skala yang lebih besar, kita juga menghadapi ancaman yang serius dari kejahatan transnasional terorganisir (transnasional organized crime) yang antara lain berupa terorisme, perdagangan obat-obat terlarang dan trafficking. Contoh-contoh tersebut menunjukkan pada kita bahwa bahwa eskalasi ancaman terhadap keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat terus terjadi dan akan berdampak luas terhadap kebangsaan Indonesia. -16- Di Indonesia, konflik-konflik sosial seperti ini cenderung terjadi terus menerus dan hal ini sangat mengganggu perasaan kebangsaan ini. Khusus terjadinya konflik sosial selama tahun 2010 terdapat data sebagai berikut: (Kemendagri, data konflik 2010) Tabel 1: Konflik Sosial No Kelompok Faktor Pemicu Konflik Jumlah Peristiwa Persentase (%) a. Bentrokan antar Warga 16 Peristiwa 17 % b. Bentrokan antar Suku 7 Peristiwa 7.5 % c. Isu Keamanan 15 Peristiwa 16 % d. 13 % i. Isu Agama dan Pendirian Rumah 12 Peristiwa Ibadah 3 Peristiwa Isu Suku, Ras dan Antar Etnis 10 Peristiwa Kesenjangan Sosial 4 Peristiwa Konflik pada Institusi Pendidikan 4 Peristiwa Konflik Organisasi 7 Peristiwa Kemasyarakatan j. Sengketa Lahan 15 Peristiwa 16 % e. f. g. h. 3.2 % 11 % 4.4 % 4.4 % 7.5 % Ekses Konflik Politik Jumlah keseluruhan peristiwa 93 Peristiwa Dari aspek wilayah, konflik di atas`tersebar menjadi 7 (tujuh) kelompok wilayah yaitu : a. Wilayah Sumatera (Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung); b. Wilayah Jawa (Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur); c. Wilayah Nustra (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur); d. Wilayah Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur); e. Wilayah Sulawesi (Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo); -17- f. Wilayah Maluku (Maluku, Maluku Utara); g. Wilayah Papua (Papua Barat, Papua). Oleh karena itu, kita harus meredfinisi konsep keamanan dan ketentraman. Konsep keamanan dan ketentraman yang dibangun masa lampau pasca perang dingin tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Konsep keamanan yang dibangun secara statis dengan pendekatan militeristik tidak cukup untuk mewadahi dinamika yang terus berkembang demikian pesat. Konsep keamanan telah berkembang dan sekurangkurangnya mempunyai lima dimensi yang saling terkait, yaitu dimensi militer, politik, ekonomi, sosial dan lingkungan ( Buzan, 1991;19-20). Buzan memberikan catatan penting bahwa dalam mencapai keamanan, antara negara dan masyarakat tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis, seringkali keduanya berada dalam posisi yang berlawanan. Khusus kejahatan yang bersifat transnasional, ancaman yang ditebarkan akan lebih berdampak luas karena melibatkan antar negara sehingga tidak hanya mengancam kepada keamananan individu namun dapat mengancam pula kemananan negara dengan seluruh dimensinya. Pada dimensi sosial, kejahatan transnasional menjadi ancaman serius karena langsung mengancam kesejahteraan warga masyarakat. Kejahatan transnasional ini menjalankan kejahatannya dengan sangat keji, mulai dari suap, pemerasan, perampokan hingga pembunuhan. Sebagai contoh, di Kolumbia tercatat angka pembunuhan kira-kra sebanyak 28.000 jiwa setiap tahun, dengan angka 40% terkait dengan kasus-kasus narkotika. Hal ini memaksa pemerintah Kolumbia menyatakan negaranya dalam keadaan darurat pada tahun 1995. (Mc Farlane, 1999;44) Dari perspektif korban pengguna narkotika, kejahatan transnasional ini merupakan ancaman yang sangat serius bagi kesejahteraan indidvidu khususnya dan bisa dimaknai merupakan ancaman serius terhadap daya tahan negara pada jangka panjang. Dimensi sosial ini sangat terkait erat dengan salah satu aspek penting dalam konsep keamanan yakni keamanan individu. Oleh karena itu, keamanan individu harus dijadikan isu sentral pula dalam persoalan-persoalan keamanan. Perkembangan paradigm tentang keamanan ini didorong oleh UNDP (United Nations Development Program) dengan mengajukan rumusan baru keamanan yang diawali dengan pemahaman bahwa keamanan berarti: “keamanan dari ancaman terus menerus dari rasa lapar, penyakit, kejahatan, dan penindasan,…perlindungan terhadap gangguan yang membahayakan atas kehidupan sehari-hari, baik dirumah, tempat kerja, masyarakat, maupun lingkungan. Lebih jauh UNDP mengidentifikasi enam komponen keamanan individu yaitu: economic security, food security, health security, environmental security, personal security, community dan political security (Analisis CSIS, 2002, Volume 1). Para hadirin yang saya hormati Pada kesempatan ini saya ingin mohonkan perhatian kepada para hadirin semua terkait dengan radikalisme agama yang akhir-akhir ini mengoyak rasa kebangsaan kita. Persoalan radikalisme agama terasa sangat menguat dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kelompok agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan segala cara, memperjuangkan visi dan misi mereka tanpa peduli -18- akan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan di masyarakat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat pluralis karena kemajemukannya, adat istiadatnya serta budayanya yang mempunyai corak dan karakteristik yang berbeda dengan bangsabangsa lain di dunia. Pertanyaan yuridis yang mengemuka adalah apakah dengan diberikan hukuman yang berat bahkan hukuman mati kepada pelaku radikalisme agama dapat secara efektif mencegah terorisme dan anarkhisme yang berbasiskan agama? Sebagian masyarakat masih meragukan efektifitas hukuman itu dalam mengatasi aksi kekerasan dan terorisme, karena cara tersebut masih menyisakan sejumlah persoalan karena penyelesaian hukum tidak menyentuh masalah terorisme secara komprehensif. Hukuman hanyalah sebuah shock therapy (kejutan sesaat) saja. Terorisme sesungguhnya terkait dengan beberapa masalah mendasar, antara lain pertama, adanya wawasan keagamaan yang keliru, kedua, penyalahgunaan simbol- simbol agama, ketiga, lingkungan yang tidak kondusif yang terkait dengan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan., keempat faktor eksternal yaitu adanya perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh sekelompok atau suatu negara terhadap sebuah komunitas. Akibatnya komunitas tersebut merasa diperlakukan tidak adil yang berdampak kepada tindakan kekerasan dan radikalisme. Terorisme hanya dapat dicegah secara fundamental apabila negara bisa menyelesaikan keempat pokok masalah mendasar tersebut. Berbagai studi tentang terorisme memperlihatkan bahwa pandangan agama yang keliru dan penyalahgunaan simbol-simbol agama menjadi dalang utama aksi terorisme. Demi alasan agama, seseorang dapat mengorbankan nyawanya, bahkan ada yang lebih ekstrem, demi menjaga kemurnian agama sendiri, komunitas lain harus dihabisi karena berseberangan dengan pandangan mereka. Pandangan tersebut tetap hidup dalam kelompok sempalan beberapa agama dan semuanya berakar pada radikalisme dalam penghayatan agama. Secara teoritis, radikalisme muncul dalam bentuk aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan dari komunitas tertentu agar dunia dapat dirubah dan ditata sesuai dengan doktrin agamanya. Menurut Horace M Kallen, radikalisme ditandai oleh 3 ( tiga ) kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri tersebut menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia ( world view ) tersendiri. Kaum radikalis berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai pengganti dari tatanan yang sudah ada. Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideolodi yang mereka emban. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinanannya yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus -19- pada kekerasan. Apabila kita cermati teori ini sedikit banyak ada pembenarannya ketika terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana. Secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang kongkrit, yaitu kekerasan atau konflik-konflik. Di Bosnia misalnya, kaum ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Begitu pula di Indonesia terjadi konflik antar agama di Poso dan di Ambon. Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering menjadi pendorong terjadinya konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian. Oleh sebab itulah, bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktekan oleh sebagian umat seharusnya tidak sampai menghadirkan ancaman bagi masa depan bangsa. Pluralisme tetap menjadi komitmen kita bersama untuk membangun bangsa yang modern, yang didalamnya terdapat bermacam-macam agama dan etnis secara damai. Pluralisme adalah simbol bagi suksesnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam kemajemukan. Oleh karena itu, agama yang dimiliki oleh masingmasing umat tetap terjaga sebagai sosok keyakinan yang tidak melampaui batas, karena bagaimanapun juga agama sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan spiritual agama, tetapi segala bentuk ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa depan dunia yang damai. Apabila kaum radikalisme agama mengekspresikan keyakinannya dalam bentuk kekerasan, maka hal ini merupakan ancaman besar bagi pluralisme. Berkembangnnya radikalisme agama di Indonesia sebenarnya bukan hanya satu kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi masa depan bangsa yang mendambakan keamanan dan kedamaian. Sesungguhnya ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa peledakan bom di Bali. Peristiwa tersebut dapat digunakan untuk memperluas kembali gerakan umat moderat, inklusif dan pluralis di tengah-tengah masyarakat beragama. Gerakan inklusif didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif gerakan inklusif umat diyakini sebagai penopang bagi terciptanya harmonisasi sosial masyarakat di era multikultural. Karena bagaimanapun juga multikulturalisme adalah suatu kenyataan historis di dalam masyarakat yang harus disikapi secara baik. Disinilah eksklusivitas beragama yang diyakini secara total sebagai kebenaran agama dapat menjadi batu sandungan ideologis untuk menyampaikan pesan perdamaian. Oleh karena itu pendidikan pluralis tetap menjadi prioritas utama dalam menjembatani doktrin eksklusif yang selama ini diyakini umat. Kedua, secara praksis, praktek kehidupan beragama yang masih mendikotomikan klaim kebenaran dan keselamatan di dalam masing-masing umat beragama harus dikikis habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu agama dengan agama lainnya. Bukankah problem pluralisme kerap kali disebabkan oleh fanatisme kebenaran agama yang menimbulkan sikap-sikap radikal. Karena itulah upaya kongkrit untuk membangun -20- toleransi antar umat beragama harus terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial yang berkelanjutan. Dengan demikian secara wacana dan praksis, gerakan sikap umat beragama tidak sampai pada kesadaran dan gerakan radikal. Dekonstruksi kesadaran terhadap eksklusifitas, militansi, dan radikalisme agama adalah langkah awal untuk menjamin masa depan pluralis, yang pada gilirannya akan tercapai pembangunan kembali (rekonstruksi ) kesadaran kehidupan beragama yang toleran, inklusif, dan pluralis adalah langkah terakhir untuk menyampaikan pesan perdamaian agama-agama di tengah-tengah masyarakat multikultural. Kondisi inilah yang kita dambakan dalam menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik ditengah-tengah ancaman terorisme dan kekerasan. Oleh karena itu, langkah dan upaya yang perlu diambil dalam menyikapi gerakan radikalisme di Indonesia salah satunya yaitu mengintensifkan pemantapan Pancasila melalui program wawasan pendalaman dan kebangsaan guna diimplementasikan kepada masyarakat dalam upaya memperkokoh ketahanan bangsa, yang juga merupakan langkah strategis dan moment-nya sangat tepat terutama bila dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi bangsa kita dewasa ini. Pengembangan wawasan kebangsaan sangat diperlukan sebagai upaya pembinaan karakter dan jati diri bangsa guna meningkatkan kualitas kebangsaan, sehingga bangsa Indonesia mampu menghadapi berbagai permasalahan kebangsaan, termasuk yang paling berat, yaitu ancaman disintegrasi bangsa. Hal ini sebagai konsekuensi logis, setelah tercapainya kemerdekaan RI, tanggal 17 Agustus 1945, bahwa bangsa Indonesia harus mampu mempertahankan eksistensi, identitas, integritas bangsa dan negara, serta perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Pengalaman sejarah berbagai bangsa menunjukan bahwa merosotnya penghayatan dan pengembangan terhadap wawasan kebangsaan itu dapat menimbulkan ambruknya ketahanan bangsa, yang pada gilirannya dapat merontokkan suatu negara bangsa yang bersangkutan. Contohnya antara lain yang terjadi di Balkan/Eropa Timur (bekas Uni Soviet), dan direduksinya paham kebangsaan menjadi paham keagamaan atau kesukuan seperti yang terjadi di beberapa negara Afrika. Deskripsi di atas bukanlah mendramatisir tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini, namun sebagai suatu kewajaran pengungkapan realita untuk menggugah semangat kebangsaan dalam negara bangsa yang terdiri dari aneka suku, ras, agama, adat istiadat (pluralis) dan aspirasi politik. (Kemendagri, Makalah: Membahas Pengelolaan dan Pengaruh Radikalisme Kanan Terhadap Bangsa dan Negara 9 Mei 2011) Berbagai fenomena yang dapat dilihat dan dirasakan mengindikasikan, betapa wawasan kebangsaan sebagai enerji ketahanan bangsa sedang mengalami pendangkalan dan erosi pemaknaan. Antara horizontal lain penonjolan isu putera daerah, konflik yang bernuansa sara, konflik vertikal, tingginya tingkat -21- kriminalitas, nafsu pemanfaatan hasil sumber daya alam yang cenderung tidak memperdulikan kepentingan nasional, euforia reformasi-transisi demokrasi yang berekses egoisme/penonjolan kepentingan pribadi atau kelompok, dan kesibukan mengejar kenikmatan sesaat yang meminggirkan perlunya mawas diri dalam rangka berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Fenomena melunturnya wawasan kebangsaan disebabkan pemahaman wawasan kebangsaan yang bersifat abstrak, belum terinternalisasi dan tersosialisasi secara sistematis, sehingga terjadi distorsi pemahaman dan pendangkalan terhadap wawasan kebangsaan. Atau dengan pengertian lain belum diperoleh nilai-nilai wawasan kebangsaan yang bisa mempersatukan, sekaligus mewadahi semua keanekaragaman, saling mengisi dan melengkapi, menghindari pertentangan dikarenakan perbedaan, untuk kemudian dikembangkan sesuai dengan akar budaya masyarakat, bangsa Indonesia. V. HUKUM DAN PERSOALAN KEBANGSAAN: PERGESERAN PERAN HUKUM MENUJU PERAN HUKUM YANG BERKARAKTER MEMBAHAGIAKAN RAKYATNYA Para hadirin yang saya muliakan, Serangkaian uraian di atas, menunjukan persoalan kebangsaan Indonesia perlu untuk dirawat dengan baik dan perlu untuk direkatkan secara terus menerus agar Indonesia tidak ambruk sebagaimana Uni Soviet maupun Jerman Timur yang harus gulung tikar karena gagal dalam menjaga kebanggaan dalam berbangsa. Dalam konsep negara hukum tercakup empat tuntunan dasar yaitu 1) adanya kepastian hukum yang merupakan kebutuhan langsung rakyatnya; 2) hukum harus berlaku sama bagi segenap penduduk dan warga negara; 3) harus ada legitimasi demokratis yaitu bahwa proses pembuatan atau penetapan hukum harus mengikutsertakan dan mendapatkan persetujuan rakyat; 4) negara hukum merupakan tuntutan akal budi yaitu harus menjunjung tinggi martabat manusia dan masyarakat (Frans Magnis Suseno, 1991). Disamping itu, terdapat beberapa prinsip umum yang berlaku di negara hukum yaitu:1) adanya perlindungan HAM, 2) adanya kelembagaan negara yang bersifat demokratis; 3) adanya tertib hukum; 4) adanya kekuasaan kehakiman yang bebas (Arif Hidayat, 2010, 32). Dalam kerangka untuk mengantisipasi munculnya ancaman terhadap kebangsaan, karakter Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) dan prinsip-prinsip umum di atas harus mampu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari secara nyata dan berkelanjutan. Hukum harus ditempatkan sebagai pranata utama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar hukum dapat berperan secara optimal, maka hukum Indonesia haruslah hukum yang berkarakter membahagiakan rakyatnya. Karakter ini memerlukan prasyarat dasar bahwa hukum -22- tersebut harus diorientasikan untuk meningkatkan harkat martabat rakyat, berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan didasarkan pada kebutuhan untuk menyelesaikan masalah. Karakter yang demikian itu, harus dimbangi pula dengan nilai-nilai dasar yang yang terkandung dalam Pancasila yaitu nilai-nilai: a. Moral religious; b. Kemanusian; c. Kebangsaan –persatuan; d. Demokrasi – permusyawaratan; e. Keadilan sosial; Dengan karakter hukum yang demikian itu, maka negara Indonesia diarahkan sebagai negara hukum yang berhati nurani atau negara yang memiliki kepedulian (a state with conscience and compassion) (satjipto Rahardjo, 2009;94). Dengan demikian, kita akan sampai kepada sebuah paradigm yaitu “hukum untuk manusia”. Paradigma ini mensyaratkan agar cara kita dalam berhukum tidak dilakukan secara linier, melainkan progresif dan bermakna kemanusiaan. Untuk menjangkau tujuan kemanusiaan yang lebih tinggi, kita harus membebaskan diri dari teks yang linier sehingga tujuan hukum untuk membahagiakan rakyatnya dapat tercapai. Dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan hukum yang berkarakter membahagiakan rakyatnya, saya sepakat dengan tesis Nonetz dan Selznick (1978) yang tidak menganjurkan suatu negara meniru negara manapun, melainkan mendasarkan pembangunan hukumnya berdasarkan realitas dinamika internal bangsa itu sendiri. Nonetz dan Selznick dalam konteks yang sama juga mengatakan bahwa perkembangan setiap negara adalah khas atau unik yang tidak serta merta dapat di copy paste oleh negara lain. Oleh karena itu, pembangunan hukum di Indonesia dilakukan dari dalam Indonesia sendiri (development from within). Strategi pembangunannya dilaksanakan dengan mengandalkan modal sosial cultural dan kekuatan yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, sehingga tidak terlepas dari akar budaya bangsa Indonesia. Dengan memahami seluk beluk Keindaonesia secara utuh, maka hukum yang akan dibangun di Indonesia tidak dapat berangkat dari kosmologi bangsa lain atau masyarakat lain. Prof Satjipto Rahardjo menganjurkan bahwa dalam pembangunan hukum itu berangkat dari kosmologi bangsa Indonesia sendiri. Pembangunan hukum harus mampu mengakomodir keragaman geografis dan etnografis dengan menjadikan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai basis dan acuan pokok. Kita harus mengkaji kembali rezim developmentalist yang benar-benar mengarahkan hukum agar secara efektif mampu menjadi "penjaga” pembangunan. Hukum diarahkan sebagai bagian dari “mesin” pembangunan sehingga hukum yang ada menjadi bersifat teknokratis dan struktural. Artinya fungsi-fungsi hukum -23- yang ada menjadi sarana yang bersifat teknologis untuk “mendesain” masyarakat atau bahkan mendesain “manusia”. Fungsi hukum sebagai kontrol sosial sangatlah strukturalis, karena memberikan posisi pada pemerintah untuk mendefiniskan hukum sebagai government social control. Fungsi rekayasa sosial mereduksi manusia seolah-olah menjadi “mesin” atau “hanya bahan” yang yang dapat direkayasa, dengan menghilangkan sifat-sifat kodrati manusia yang lekat dengan cipta, rasa dan karsa. Paradigma hukum yang strukturalis ini sudah tidak sesuai dengan ruh kebangsaan Indonesia. Harus dilakukan pergeseran paradigm hukum yang lebih sesuai dengan konteks Indonesia saat ini. Paradigma Hukum humanis partisipatoris lebih memberikan ruang apresiasi bagi perwujudan hukum yang membahagiakan rakyatnya.. Dalam perspektifi ini, model humanis-partisipatoris adalah model yang memberikan tempat kepada hukumhukum lokal dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hukum. Fungsi hukum yang humanis partisipatoris merupakan perwujudan dari hukum yang mendasarkan pada martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan melalui pemberian prakarsa dan kesempatan kepada masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Proses ini dimulai dari perencanan hukum sampai pada pendayagunaan hukum. Untuk mewujudkan model Hukum Humanist Partisipatoris ini, ke dalam substansi peraturannya harus diakomodasikan semangat “pemberdayaan sosial dan pendayagunaan hukum”. Terutama apabila pemerintah daerah hendak melakukan pengaturan untuk bidang-bidang bisnis, maka semangat tersebut harus ditonjolkan. Upaya untuk pemberdayaan sosial dan pendayagunaan hukum ini dimulai dengan mencipatakan fasilitas-fasilitas hukum. "Fasilitas-fasilitas" yang sebenarnya dapat disediakan oleh hukum dapat berupa: fasilitas untuk mewujudkan rasa tenteram dalam berusaha dan fasilitas yang memberikan kemudahan serta fasilitas yang menciptakan hubungan kemitraan Agar semua fasilitas di atas dapat diakomodasikan dalam peraturan perundnagundangan, maka dalam pola pikir aparatur birokrasi harus dilakukan pergeseran paradigma dan pemahaman politik hukum dari model teknokratis struktural ke arah model humanis partisipatoris. Peranan hukum harus digeser sekedar berfungsi sebagai sarana control sosial social engginering menuju hukum yang mampu menjadi sarana pemberdayaan sosial (social empowerment). Dalam pembangunan hukum ini, kita tidak boleh melupakan unsur yang sangat sentral yaitu aparatur hukum yang akan menggerakan hukum bekerja dengan optimal. Aparatur hukum harus dibekali dengan serangkaian karakter sebagai berikut : 1. Keberanian untuk menerima tanggung jawab (the courage to assume responsibility) 2. Keberanian untuk melayani dengan baik (the courage to serve) -24- 3. Keberanian untuk berargumen dengan pemimpin the courage to challenge) 4. Keberanian untuk berpartisipasi dalam proses transformasi (the courage to participate in transformation) 5. Keberanian untuk mengambil langkah moral (the courage to take moral action) Dengan segenap uraian di atas, agar hukum dapat berperanan yang lebih tepat dalam merekatkan kebangsaan Indonesia maka hukum harus membentuk diri agar berkarakter membahagiakan rakyatnya. Untuk menuju kearah tersebut, maka hukum harus dilihat sebagai sebuah system yang terdiri dari seperangkat bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain yang bekerja sendiri-sendiri atau bersama-sama menuju tujuan yang sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Friedman yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum dapat dianalisis ke dalam tiga komponen, yaitu: (Arif Hidayat, 2010,38) 1. Legal Structure (struktur hukum) yaitu bagian yang bergerak didalam suatu mekanisme atau kelembagaan yang diciptakan oleh system hukum dan berfungsi untuk mendukung bekerjanya system hukum. Dalam konteks operasional, struktur hukum ini didalamnya terdapat aparatur hukum. 2. Legal substance (substansi hukum) yaitu hasil actual yang diterbitkan oleh system hukum (berupa norma-norma dan peraturan perundang-undangan) 3. Legal culture (budaya hukum) yang berupa ide-ide, sikap, harapan dan pendapat tentang hukum sebagai keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya secara baik dan bagaiman orang menerima hukum atau sebaliknya. Dengan meminjam pemikiran Friedman di atas, maka bekerjanya hukum tersebut merupakan akumulasi dari subsistem aturan, subsistem aparatur dan kelembagaan dan subsistem perilaku budaya masyarakatnya. Dengan memahami konteks yang demikian itu maka selain mendasarkan pada basis teks-teks aturan, hukum adalah cerminan dari perilakunya masyarakatnya. Dalam membangun sebuah hukum yang terpolakan dalam system hukum maka harus terlebih dahulu diperlukan suatu basis yang kokoh diatas system hukum yang akan dibangun tersebut. Ulpian, seorang ahli hukum Romawi kuno yang amat terpelajar, terkenal dengan ucapannya “Honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere” (hiduplah dengan jujur, jangan menyakiti orang lain, dan berikan apa yang menjadi haknya) (Satjipto Rahardjo,2009;158). Ulpian sedang menjelaskan pada kita bahwa sesungguhnya hukum itu dilandaskan pada perilaku yang baik dan kejujuran. Perilaku manusia didorong oleh adanya kepentingan, dan kepentingan itu sendiri bermacam-macam sehingga dihadapkan pada masalah pilihan-pilihan. Dengan demikian, berhukum adalah pilihan, bukan pekerjaan yang otomatis. Hukum yang canggih sekalipun tidak akan mampu mengontrol penggunaan hukum menurut kemauan manusia yang akan -25- melakukannya. Maka perilaku berhukumpun dijalankan tergantung pada sudut masuknya sebuah kepentingan. Oleh karena itu, hukum yang berjalan dengan baik hanya dapat disandarkan kepada orang yang berperilaku baik. Sebaliknya orang yang memang ingin berbuat jahat, maka hukumpun dijadikan alat untuk berbuat jahat. Banyak sekali contoh-contoh yang menunjukkan bagaiaman etos hukum sangat tergantung pada perilaku baik manusianya. Contohnya kegagalan hukum administrasi yang dijalankan oleh orang Inggris di Afrika kemudian digantikan oleh pegawai asli afrika yang akhirnya hukum administrasi mengalami kemacetan, budaya Jepang yang lebih memilih menyelesaikan perkara dengan mendahulukan “hone” nilai-nilai dan hati nurani dibandingkan dengan mendahulukan “tatemae” yaitu hukum formal (satjipto Rahardjo, 2009, 160-163). Di Indonesia, banyak pepatah yang mendorong kita mendahulukanperilaku yang baik misalnya Ojo golek perkoro, ngalah iku duwur wekasane, menang tanpo ngasorake dan seterusnya merupakan ungkapan dari perilaku berhukum yang mengutakan kebaikan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hukum yang mampu berperanan tinggi dalam merekatkan kembali kebangsaan Indonesia harus dilandasi dengan perilaku yang baik, yang didalamnya terdapat nilai-nilai kejujuran, keihlasan, kepedulian dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Contoh berhukum yang buruk dan menyentak rasa kebangsaan kita adalah contoh yang terjadi di Surabaya, dimana kejujuran justru tidak mendapatkan tempat yang terbaik dimasyarakat. Siami seorang ibu rumah tangga yang mengadukan kepada pihak yang berwenang karena guru-guru di sekolah anaknya memintan anaknya yang cerdas memberikan contekan kepada rekan-rekannya. Anaknya yang jujur menilai perbuatan gurunya bukanlah perilaku yang baik dan ia melaporkan pada Siami ibundanya. Namun Siami dan anaknya justru dimusuhi oleh lingkungannya. Inilah tragedi dalam berhukum. Nilai dasar hukum yaitu kejujuran sudah dikalahkan oleh kepentingan untuk mendapatkan nilai angka yang baik. VI. PENUTUP Para hadirin yang mulia, Untuk mewujudkan Indonesia dengan sifat kebangsaan yang asli Indonesia maka kita harus melakukan pembangunan dari dalam diri Indonesia sendiri (development from within) bukan membangun Indonesia dengan sekedar mencontoh-contoh yang dari luar (development impose from outside). Untuk menuju kearah tersebut, hukum harus didorong untuk mampu berperanan sebagai sarana memberdayakan masyarakatnya dan hukum yang dibangun haruslah hukum yang berkarakter membahagiakan rakyatnya. Di dalam hukum harus tergambar nilai-nilai yang merepresentasikan kepedulian, semangat, empati, -26- dedikasi, komitmen dan kejujuran serta keberanian untuk bertindak dengan berdasarkan moralitas Indonesia untuk mewujudkan kebangsaan Indonesia yang seutuhnya. Demikian orasi ilmiah yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat memberikan pengayaan kepada kita semua. Terima kasih. Wabillahitaufik wal hidayah, Wassalam Wr Wb