RADIKALISME AGAMA

advertisement
RADIKALISME
AGAMA
(Suatu Pendekatan Sosiologi)
Oleh: Abu Hapsin, Ph.D.
Ilmu Sosial: agama sebagai fakta sosial
yang memiliki banyak dimensi.
Antropologi: banyak prilaku keagamaan
yang berasal dari proses akulturasi maupun
inkulturasi budaya.
Psikologi: agama mampu menghadirkan
gejala kejiwaan yang khas.
Sosiologi: agama telah melahirkan
kelompok-kelompok dan prilaku sosial.
Mengingat agama memiliki banyak
dimensi, maka pendekatan (baik
dalam mendiagnosa, menganalisis
maupun dalam penyelesaian)
permasalahan radikalisme agama
harus bersifat multi-disipliner dan
multi-dimensional.
Radikalisme sebagai Masalah Sosial
Radikalisme adalah suatu paham yang
menghendaki adanya perubahan,
perombakan dan pergantian terhadap
suatu sistem sosial sampai ke akarnya dan
dilakukan secara total. Jika perlu bisa saja
dilakukan dengan menggunakan cara-cara
kekerasan. Karena itu radikalisme agama
merupakan masalah sosial yang
kehadirannya tidak diinginkan oleh
masyarakat.
Sudut pandang Sosiologi mendasarkan
pada tiga kerangka teori induk, yakni
teori Fungsional Struktural (Patologi
Sosial, disorganisasi/disintegrasi dan
teori Deviasi Sosial), teori Konflik
(Konflik Nilai individual/personal dan
Konflik Nilai institusional) dan teori
Interaksionisme Simbolik
(Labeling).(Julian, 1986: 11).
Dua Asumsi Dasar:
Pertama, masalah sosial merupakan
efek tidak langsung dari pola tingkah
laku serta sistem sosial yang ada. Oleh
karena itu radikalisme agama harus
dilihat sebagai efek atau akibat dari
pola, sistem nilai maupun struktur
sosial yang ada.
Kedua, Dalam setiap struktur sosial,
pasti ditemukan orang-orang yang bisa
beradaptasi dengan struktur sosial dan
sistem nilai dan juga ada orang-orang
yang menyimpang. Radikalisme agama
merupakan suatu bentuk prilaku yang
menyimpang secara sosial.
Radikalisme Agama Sebagai Akibat dari
Struktur Sosial (Religio-Politik)
1. Demokrasi rakyat yang “lapar” ditambah
“tidak berpendidikan” dapat melahirkan
persepsi yang simplistis yang kemudian
akan mudah membawa pada sikap-sikap
emosional karena kurangnya pemahaman
yang komprehensif mengenai masalah
yang dihadapi.
2. Masyarakat politik (political
community) lebih senang mendirikan
insitusi daripada membangun budaya
demokratis.
3. Partai politik yang ada sudah tidak
lagi berfungsi sebagai institusi
demokrasi yang mampu
menyelenggarakan pendidikan politik.
3. Partai-partai politik sudah kehilangan
idealismenya sehingga yang terjadi bukan
perjuangan mempertahankan citra diri
serta karakter ideologis partai tetapi
bagaimana agar partai bisa digunakan
menjadi alat bargaining posisi politik dan
kendaraan sewaan.
4. Euforia politik yang ditandai dengan
tuntutan berlebihan atas hak-hak politik
tetapi pada saat yang sama mengabaikan
kewajiban politik.
5. Konflik elite dalam perebutan kekuasaan
yang berkepanjangan juga telah ikut
mewarnai struktur sosio-politik yang ada
sekarang. Jargon ”kepentingan rakyat”
selalu dinyanyikan meskipun kenyataannya
untuk kepentingan pribadi dan
golongannya.
6. Pernyataan konstitusional “Negara
Hukum”, kenyataannya politik masih
diangap sebagai panglima, bukan hukum.
7. Pimpinan partai menjadi rebutan bukan
untuk tujuan ideologis tetapi karena posisi
ketua partai politik bisa dijadikan sebagai alat
tawar menawar posisi politik yang ujungujungnya duit dan kepentingan pribadi.
8. Para tokoh agama seharusnya muncul
sebagai “guru bangsa”, yang dapat
mencerdaskan warga negara akan hak-hak dan
kewajibannya, malah banyak yang menjadi
pelayan politisi/penguasa atau pelayan calon
penguasa.
9. Peran tokoh agama baik sebagai social
engeener maupun sebagai pengganti
peran-peran kenabian tidak berfungsi
dengan baik. Akibatnya politik kerakyatan
yang merupakan inti dari peran kenabian
ini tidak pernah dimainkan dengan baik.
Pada saat yang bersamaan banyak para
tokoh agama yang lebih memilih berada
pada wilayah politik praktis, terutama
menjelang PILKADA.
Radikalisme Agama sebagai Deviasi Sosial
1. Deviant (orang-orang yang prilaku tidak
sejalan dengan sistem nilai dan sistem
sosial yang telah disepakati bersama) bisa
terjadi karena banyak faktor. Dalam
kaitannya dengan pemahaman keagamaan,
deviasi sosial bisa saja muncul ketika model
pemahaman seseorang berbeda dengan
umumnya orang menafsirkan.
2. Model pemahaman tekstual,
membuat orang terpasung oleh teks,
sementara pendekatan pemahaman
romantik dalam memandang sejarah
masa lalu juga bisa membuat orang
menjadi kehilangan daya kritis. Dua
model pendekatan dalam memahami
ajaran agama ini sangat mungkin
membuat seseorang mengalami konflik
nilai.
3. Jika konflik nilai terjadi
berkepanjangan pada diri seseorang,
maka ketakutan, kecemasan dan
frustasi akan mengendap pada jiwa
seseorang (Gordon, 1993: 393).
Ketakutan dan kecemasan inilah yang
kemudian melahirkan tiga macam
sikap, yakni, rigiditas, agresif dan
schizophrenia.
4. Rigiditas pada umumnya disertai dengan
sikap exclusive. Keduanya (rigiditas dan
eksklusifitas) merupakan penyimpangan
psikologis yang ditandai dengan prilaku
maladaptive (ketidak-mampuan
menyesuaikan diri). Secara psikologis,
keduanya dianggap “abnormal” atau secara
sosiologis disebut deviant, sebab individu
yang normal selalu memiliki kemampuan
untuk berpikir realistik dalam menafsirkan
kejadian-kejadian di sekelilingnya.
5. Rigiditas dan Exclusiveness bermula dari
suatu keyakinan akan kebenaran suatu
nilai. Nilai yang diyakini benar, sudah
barang pasti berasal dari sebuah otoritas.
Sedangkan prilaku exclusive merupakan
akibat langsung dari keberpihakan jiwa
terhadap apa yang dianggap sebagai
otoritas dan mengalahkan konformitas
sosial (Gergen, 1990:21-24).
6. Semakin keras konflik nilai, semakin
frustasi seseorang, dan semakin frustasi
seseorang, maka akan semakin agresif
(Gordon, 1993:397). Tapi sikap agresif ini
hanya mungkin diwujudkan manakala
kondisi sekitarnya memungkinkan. Jika
tidak, maka dua kemungkinan bentuk
prilaku akan timbul, melakukan kepatuhan
semu (pseudo obediance) atau melakukan
tindakan agresif berupa tinakan
radikalisme keagamaan.
Apa Yang Harus Dilakukan?
1. Penafsiran yang Memberi Kenyamanan
Beragama dan Berbangsa
Tafsir terhadap agama tentu saja tidak
pernah tunggal. Kalau memang demikian
memilih model dan hasil penafsiran
keagamaan yang tidak membuat para
pengikut agama berada dalam konflik nilai
menjadi penting. Orang yang dilanda
konflik nilai bisa berakibat kaku, eksklusif
dan emosional.
2. Pengendalian Semangat dan Emosi
Keagamaan
Kenyataannya setiap agama telah
memunculkan dua kondisi kejiwaan para
pemeluknya yang diidealkan berjalan paralel,
yakni sikap agamis dan emosional. Seorang
pemeluk agama tidak mungkin dikatakan
agamis menurut logika agama yang dipeluknya
jika tidak memiliki emosi keagamaan. Tapi jika
hanya semangat, tanpa disertai dengan
kemampuan memahami agama dengan baik
maka radikalisme sangat mungkin terjadi.
3. Tidak melakukan politisasi
agama
Berpolitik tanpa fondasi agama bisa
membawa pada tindakan pembenaran segala
cara (Machiavellism). Tapi bukan berarti kita
boleh melakukan eksploitasi agama untuk
pemenuhan kepentingan politik. Ini penting
untuk menghindari “perang tafsir” demi
kepentingan politik.
4. Membangun Padaparadigma
Kemanusiaan
Membangun kerjasama dengan sesama
kelompok lain baik dalam satu agama maupun
beda agama harus berdasarkan pada
paradigma kemanusiaan (Humanity), tidak
berdasar pada paradigma politik. Dalam politik
berlaku adagium “tidak ada lawan dan teman
abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi”.
“In politics your enemy can not hurt you but
your friend will kill you”. Jadi dalam politik yang
ada hanya persahabatan semu.
Sekian
dan
Terima Kasih
Download