MODUL PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA Filsafat Untuk Psikologi Fakultas Fakultas Psikologi Program Studi Tatap Muka 14 Abstract Filsafat merupakan tradisi yang melahirkan banyak ilmu. Salah satu yang menjadi turunan dari filsafat adalah psikologi. Aliran-aliran yang muncul dari psikologi dipengaruhi oleh pandangan para psikolog mengenai pandangan mereka tentang manusia secara filosofis. Oleh karena itu, mahasiswa harus memahami filsafat dan filsafat manusia untuk memahami secara komprehensif konsep psikologi Kode MK Disusun Oleh Kode MK Masyhar, MA Kompetensi Mampu menganalisis suatu peristiwa berdasarkan aliran filsafat Mengerti dan memahami tentang pengetahuan dan kebenaran yang disertai dengan cara berpikir logis Mampu berpikir reflektif terhadap masalah-masalah psikologi A. Posisi Filsafat dalam Psikologi Filsafat mempunyai posisi penting terhadap semua disiplin ilmu termasuk psikologi. Filsafat berfungsi sebagai penggagas dan peletak dasar, dan selanjutnya ilmu-ilmu itulah yang berkembang sesuai dengan objek kajianya masing-masing. K. Bertens memberikan lima hal yang menyangkut peranan dari filsafat bagi perkembangan ilmu-ilmu yang lain: 1) Filsafat dapat menyumbang untuk memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan, yang disinyalir kecondongan ilmu pengetahuan untuk berkembang ke arah spesialisasi yang akhirnya menimbulkan kebuntuan. Tetapi pada filsafat tidak ada spesialisasi khusus, filsafat bertugas untuk memperhatikan keseluruhan dan tidak berhenti pada detail-detailnya. 2) Filsafat dapat membantu dalam membedakan antara ilmu pengetahuan dan scientisme. Dengan scientisme dimaksudkan pendirian yang tidak mengakui kebenaran lain daripada kebenaran yang disingkapkan oleh ilmu pengetahuan dan tidak menerima cara pengenalan lain daripada cara pengenalan yang dijalankan oleh ilmu pengetahuan, dengan demikian ilmu pengetahuan melewati batas-batasnya dan menjadi suatu filsafat. 3) Tidak dapat disangkal bahwa hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih erat dalam bidang pengetahuan manusia daripada bidang ilmu pengetahuan alam. 4) Salah satu cabang filsafat yang tumbuh subur sekarang ini adalah apa yang disebut “foundational research“ suatu penelitian kritis tentang metode-metode, pengandaianpengandaian dan hasil ilmu pengetahuan positif. 5) Peranan filsafat dalam kerja sama interdisipliner pasti tidak dapat dibayangkan sebagai semacam “pengetahuan absolut“. Selanjutnya, setelah psikologi berpisah dengan filsafat dan berdiri sendiri sebagai sebuah cabang ilmu yang baru; nampaknya psikologi, melalui berbagai penelitiannya berusaha memberikan gambaran bahwa psikologi mengikuti aturan-aturan penelitian yang berlaku dengan menggunakan cara yang sistematik dan metodologis sehingga hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara empirik. Kebutuhan keilmiahan psikologi tersebut nampaknya baru terpecahkan ketika Wilhelm Wundt (1832-1920) dan kawankawannya memulai menerapkan metode yang baru dalam bidang psikologi eksperimen. Dalam laboratorium eksperimen pertama yang didirikannya pada tahun 1879 di Universitas Leipzig (Jerman), Wundt kemudian mulai melakukan serangkaian eksperimen untuk menguji fenomena-fenomena yang dulunya merupakan bagian dari filsafat. Namun demikian, meskipun pengaruh filsafat bagi perkembangan ilmu psikologi masih dapat dirasakan dalam setiap penelitian yang dihasilkan, hal ini tentunya tidak terlepas dari bidang garapan yang lebih banyak mempunyai kesamaan dengan filsafat itu sendiri. 2016 2 Dengan diakuinya Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA psikologi sebagai ilmu Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pengetahuan yang berusaha menempatkan metode penelitian yang sistematis dan ilmiah, psikologi menunjukkan jati dirinya sebagai salah satu cabang ilmu yang mampu menempatkan metode-metode ilmiah sebagai bagian dari penelitiannya. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa sesungguhnya filsafat merupakan induk yang melahirkan psikologi. Psikologi tidak akan ada dan lahir kalau tidak ada filsafat. Psikologi yang ada hari ini dan berkembang dengan berbagai aliran yang melingkupinya merupakan perkembangan yang dimulai dari pemikiran filosofis mengenai eksistensi manusia. Oleh karena itu, mahasiswa yang ingin mempelajari psikologi dengan berbagai disiplinnya harus mengkaji terlebih dahulu filsafat agar cara berfikir dan sejarah perkembangan dan munculnya berbagai aliran psikologi dapat difahami dengan baik. Selain itu, dengan mempelajari filsafat, terutama filsafat manusia, filsafat ilmu logika dan perangkat lainnya, akan membuat para psikolog dapat berfikir secara sistematis, logis, radik dan berfikir sesuai dengan perangkat yang benar sesuai dengan kaidah keilmuan dan kebenaran ilmiah. B. Relevansi Filsafat terhadap Psikologi Filsafat memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat terutama filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas, penarikan kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya sendiri, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog sebagai seorang ilmuwan tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang ditawarkan oleh filsafat ilmu ini. Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap sadar bahwa ilmu pada dasarnya tidak pernah bisa mencapai kepastian mutlak, melainkan hanya pada level probabilitas. Dengan begitu, para psikolog bisa menjadi ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batasbatas ilmunya, dan terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan merasa keilmuannya adalah yang paling benar dan hebat. Selain itu, Filsafat itu mempertanyakan jawaban, sedangkan psikologi menjawab pertanyaan (masalah). Jadi dengan berfilsafat, psikolog mendapatkan solusi dari permasalahan kliennya, karena terus diberikan pertanyaan, kenapa, mengapa, alasannya apa, terus begitu sampai akhirnya ada kesimpulan dari pertanyaan (dari permasalahan) itu. Ketika seseorang sudah mampu mempertanyakan siapa dirinya, bagaimana dirinya terbentuk, bagaimana posisi dirinya di alam semesta ini, itu berarti orang tersebut sudah berfilsafat ke taraf yang paling tinggi. Untuk itu dibutuhkan perenungan, karena apabila didiskusikan, bisa jadi orang lain menganggap kita gila, karena itu adalah insight, dan tidak semua orang bisa mendapatkan insight. 2016 3 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya filsafat berangkat dari apa yang dialami manusia. Ilmu psikologi menolong filsafat dengan penelitiannya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan ‘pincang’ dan jauh dari kebenaran jika tidak mempertimbangkan hasil psikologi. Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi. Dalam filsafat, kita juga bisa menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam tentang konsep jiwa dan perilaku manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat ditemukan baik di dalam teks-teks kuno filsafat, maupun teks-teks filsafat modern. Dengan mempelajari ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta pergulatan-pergulatan yang terjadi di dalamnya. Teks-teks kuno tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang berguna bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting bagi perkembangan ilmu psikologi, yakni etika. Etika adalah ilmu tentang moral. Sementara, moral sendiri berarti segala sesuatu yang terkait dengan baik dan buruk. Di dalam praktek ilmiah, para ilmuwan membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga penelitiannya tidak melanggar nilai-nilai moral dasar, seperti kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Seorang psikolog membutuhkan panduan etis di dalam kerja-kerja mereka. Panduan etis ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk kode etik profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal sebagai filsafat moral, hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis bagi kode etik tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan ilmu, termasuk psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan kesadaran etis para ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi penjajah manusia. Sesuatu yang tentunya tidak kita inginkan. Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi psikologi adalah eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Viktor Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme sendiri adalah cabang filsafat yang merefleksikan manusia yang selalu bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia dipandang sebagai individu yang terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan di dalam hidupnya. Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai individu, seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup. Dalam konteks psikologi, eksistensialisme mengental menjadi pendekatan psikologi eksistensial, atau yang banyak dikenal sebagai terapi eksistensial. Berbeda dengan behaviorisme, terapi eksistensial memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Jadi, terapinya pun disusun dengan berdasarkan pada pengandaian itu. Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai alternatif pendekatan di dalam ilmu psikologi. Fenomenologi sendiri memang berkembang di 2016 4 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dalam filsafat. Tokoh yang berpengaruh adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger, Alfred Schultz, dan Jean-Paul Sartre. Ciri khas fenomenologi adalah pendekatannya yang secara radikal memahami hakekat dari realitas tanpa terjatuh pada asumsi-asumsi yang telah dimiliki terlebih dahulu oleh seorang ilmuwan. Fenomenologi ingin memahami benda sebagai mana adanya. Slogan fenomenologi adalah kembalilah kepada obyek itu sendiri. Semua asumsi ditunda terlebih dahulu, supaya obyek bisa tampil apa adanya kepada peneliti. Metode fenomenologi dapat dijadikan alternatif dari pendekatan kuantitatif, yang memang masih dominan di dalam dunia ilmu psikologi di Indonesia. Dengan menggunakan metode ini, penelitian psikologi akan menjadi semakin manusiawi, dan akan semakin mampu menangkap apa yang sesungguhnya terjadi di dalam realitas. Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut. Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu kritik menghancurkan, tetapi sebagai kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi bisa berkembang ke arah yang lebih manusiawi, dan semakin mampu memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi itu biasanya dibagi menjadi tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis, dan asumsi epistemologis. Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu mengangkat sekaligus menjernihkan ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan rasional. Fungsi kritik terhadap asumsi ini penting, supaya ilmu psikologi bisa tetap kritis terhadap dirinya sendiri, dan semakin berkembang ke arah yang lebih manusiawi. Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer. Di dalam filsafat sosial, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para filsuf diperkaya dengan berbagai cara memandang fenomena sosial-politik, seperti kekuasaan, massa, masyarakat, negara, legitimasi, hukum, ekonomi, maupun budaya. Dengan teori-teori yang membahas semua itu, filsafat sosial bisa memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan psikologi sosial, sekaligus sebagai bentuk dialog antar ilmu yang komprehensif. Terakhir, filsafat bisa menawarkan cara berpikir yang radikal, sistematis, dan rasional terhadap ilmu psikologi, bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh. Dengan ilmu logika, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para psikolog dibekali kerangka berpikir yang kiranya sangat berguna di dalam kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun di atas dasar logika, dan begitu pula psikologi. Metode pendekatan serta penarikan kesimpulan seluruhnya didasarkan pada prinsip-prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara sistematis, para psikolog bisa mulai mengembangkan ilmu psikologi secara sistematis, logis, 2016 5 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dan rasional. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi. Teori psikologi tradisional masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai individu mutlak. Teori psikologi tradisional juga masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai obyek. Dengan cara berpikir yang terdapat di dalam displin filsafat, ‘kepercayaan-kepercayaan’ teori psikologi tradisional tersebut bisa ditelaah kembali, sekaligus dicarikan kemungkinan-kemungkinan pendekatan baru yang lebih tepat. Salah satu contohnya adalah, bagaimana paradigma positivisme di dalam psikologi kini sudah mulai digugat, dan dicarikan alternatifnya yang lebih memadai, seperti teori aktivitas yang berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi budaya yang menempatkan manusia di dalam konteks, dan teori-teori lainnya. Salah satu cabang utama filsafat adalah logika. Logika sangat membantu sekali dalam menemukan dan merumuskan mengenai psikologi. Misalnya teori deduktif, induktif, silogisme dan lain sebagainya. Teori tersebut sangat bermanfaat dan berguna dalam penalaran psikologi. C. Filsafat Manusia; titik tolak menuju psikologi Mempelajari filsafat manusia, maka kita akan dibawa kepada suatu panorama pengetahuan yang luas, dalam, dan kritis, yang menggambarkan esensi manusia. Panorama pengetahuan seperti itu, paling tidak, mempunyai manfaat ganda, yakni manfaat praktis dan teoretis. Secara praktis filsafat manusia tidak saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa manusia secara menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah sesungguhnya diri kita didalam pemahaman tentang manusia yang menyeluruh itu. Pemahaman yang demikian pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil keputusan-keputusan praktis atau dalam menjalankan berbagai aktifitas hidup sehari-hari, dalam mengambil makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani dalam menentukan arah dan tujuan hidup kita. Sedangkan secara teoretis, filsafat manusia mampu memberian kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia, sehingga pada gilirannya, kita bisa meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik teori-teori yang terdapat didalam ilmuilmu tentang manusia. Manfaat lainya dalam mempelajari filsafat manusia adalah mencari dan menemukan jawaban tentang siapakah sesungguhnya manusia itu. Setelah kita mempelajari filsafat manusia, maka paling tidak kita akan dapatkan sebuah pelajaran berharga tentang kompleksitas manusia, yang tidak habis-habisnya dipertanyakan apa makna dan hakikatnya. Karena kompleksitas yang melekat pada manusia itu, seperti dari beberapa filsup yang 2016 6 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id menarik kesimpulan bahwa esensi manusia pada prinsipnya adalah sebuah misteri, sebuah teka-teki yang barangkali tidak akan pernah terungkap secara tuntas kapan dan oleh siapa pun. Sementara itu, Anton Bakker, berpendapat bahwa filsafat manusia lazimnya disebut ”psikologi”. Agar dibedakan dengan ilmu jiwa positif, maka diberi tambahan menjadi ”psikologi rasional” atau ”psikologi spekulatif”, atau ”psikologi metafisis”. Nama ini menimbulkan keberatan, karena tampak terlalu menekankan satu sudut manusia saja, yaitu kehidupan sadar sebab psyche berarti ”jiwa”. Padahal filsafat manusia dalam kerangka metafisik tentang manusia berupaya untuk mencari esensi dan hakikat manusia, dengan demikian filsafat manusia juga tidak boleh mengabaikan sudut lainnya tentang manusia. Psikologi sebagai imu tentang manusia hanya membicarakan manusia dalam satu sudut saja dalam bentuk yang terfragmentaris (bagian-bagian) baik sudut pandang maupun materinya tentang manusia. Hal itu menjadi dangkal jika dikatakan sebagai filsafat manusia yang berupaya mencari esensi dan hakikat manusia dalam keseluruhannya, yang tentu saja tidak cukup sampai disana. Misalnya, psikologi eksperimental menelaah reaksi mata, daya ingatan, kemampuan belajar; dalam ilmu hayat, senyuman diterangkan sebagai gerak otot; psikologi klinis mempelajari proses-proses dan bidang-bidang kesadaran manusia. Oleh sebab itu, konsep-konsep dan istilah-istilah yang dipakainya juga tidak diteliti sampai pada akarnya tetapi diartikan sesuai dengan pemahaman pada taraf ilmu itu sendiri. Filsafat manusia karena upayanya yang radikal dan komprehensip dalam memahami manusia dengan demikian dapat memberi insight kepada perkembangan ilmu-ilmu positif tentang manusia termasuk psikologi untuk mengambil spirit-spirit baru dari spekulasi filsafat yang menembus berbagai celah dan sudut yang kabur pada batas-batas ilmu-ilmu positif tentang manusia. Sebaliknya, upaya filsafat manusia untuk mencari kedalaman hakikat manusia juga sulit untuk mencapai keumuman universal tentang manusia jika mengabaikan fakta-fakta empiri tentang manusia dari hasil observasi dan pengamatan ilmu-ilmu positif tentang manusia. Data-data positif dari psikologi tentang manusia dapat dipakai oleh filsafat sebagai contoh-contoh dan ilustrasi-ilustrasi untuk uraiannya sendiri; sebab, jika memang benar, mereka akan cocok dengan struktur-struktur yang ditemukan filsafat. Ilmu-ilmu itu juga dapat memberikan rangsangan psikologis untuk mempelajari soal-soal tertentu, ataupun untuk mencari jalan-jalan ke jurusan tertentu. Namun, pengaruh ini tetap bersifat ekstrinsik saja; dan ilmu filsafat wajib menemukan simpul-simpulnya sendiri dengan memakai metodenya sendiri. Sebaliknya, filsafat dapat memberikan petunjuk-petunjuk atau peringatan kepada ilmu psikologi tentang hal-hal atau pola-pola yang dialpakannya sebagai pengaruh psikologis-ekstrinsik. Namun, ilmu psikologi berkewajiban menyelidiki soal-soal menurut metodenya sendiri, tanpa dipengaruhi secara logis, dengan mengambil alih hasil-hasil 2016 7 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id filsafat manusia. Oleh sebab itu, hubungan antara filsafat manusia dan psikologi adalah hubungan yang saling topang menopang, dimana filsafat memberikan wawasan dan spirit untuk berkembangnya psikologi sementara psikologi memberikan data-data untuk direfleksikan oleh pemikiran filsafat tentang manusia. D. Refleksi kefilsafatan; psikologi filsafati dan filsafat psikologi Psikologi pada dasarnya adalah ilmu yang berkembang dan muncul berdasarkan pemikiran filsafat terutama dalam filsafat manusia. Psikologi mencapai puncak kelahiran dan menjadi ilmu yang mandiri ketika munculnya laboratorium yang digagas oleh Wilhem Wundt tahun 1879 di University of Leipzig, Jerman. Dengan berdirinya laboratorium ini, maka metode ilmiah untuk lebih mamahami manusia telah ditemukan walau tidak terlalu memadai. Dengan berdirinya laboratorium ini pula, lengkaplah syarat psikologi untuk menjadi ilmu pengetahuan, sehingga tahun berdirinya laboratorium Wundt diakui pula sebagai tanggal berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan. Sebelum tahun 1879, jiwa dipelajari oleh para Ahli filsafat dan para ahli ilmu Fasal (Phisiologi), sehingga psikologi dianggap sebagai bagian dari kedua ilmu tersebut. Para filsuf kuno, seperti Plato (427 -347 SM), Aristoteles (384 - 322 SM) dan Soerates (469-399 SM), telah memikirkan hakikat jiwa dan gejala-gejalanya. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan adalah ilmu yang meneari hakikat sesuatu dengan menciptakan pertanyaan dan jawaban seeara terus-menerus sehingga meneapai pengertian yang hakiki tentang sesuatu. Pada waktu itu belum ada pembuktian-pembuktian empiris, melainkan berbagai teori dikemukakan berdasarkan argumentasi logika belaka. Psikologi benar-benar masih merupakan bagian dari filsafat dalam arti semurni-murninya. Pada abad pertengahan, psikologi masih merupakan bagian dart filsafat sehingga objeknya tetap hakikat jiwa dan metodenya masih menggunakan argumentasi logika. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Deseartes (1596-1650) yang terkenal dengan teori tentang kesadaran, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) yang mengutarakan teori kesejahteraan psikofisik (psyehophysieal paralellism), John Loeke (1623-1704) dengan teori tabula rasa mengemukakan, bahwa jiwa anak yang baru lahir masih bersih seperti papan Win atau kertas putih yang belum ditulisi. Pada masa sebelumnya masalah kejiwaan dibahas pula oleh para ulama Islam seperti Imam Al Gazali (wafat 505 H). Imam Fakhrudin Ar-Raazi (wafat 606 H), Ibn Sina, Ikhwan al-Shafa dan lain sebagainya Di samping para Ahli filsafat yang menggunakan logika, para ahli ilmu faal juga mulai menyelidiki gejala kejiwaan melalui eksperimen-esksperimen. Walaupun mereka menggunakan metode ilmiah (empiris), namun yang mereka selidiki terutama tentang urat syaraf pengindraan (sensoris ), syaraf motoris (penggerak), pusat sensoris dan motoris di 2016 8 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id otak, serta hukum-hukum yang mengatur bekerjanya syaraf-syaraf tersebut.Dengan demikian, gejala kejiwaan yang mereka selidiki hanya merupakan bagian dari objek ilmu faal dengan metode yang lazim digunakannya. Di antara para tokohnya adalah: E. Bell (1774 - 1842), F. Magendie (1774-1855). J.P. Muller (1801 - 1858), P. Broea (1824 - 1880) dan IP. Pavlov (1849 - 1936). Masa sesudah psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri merupakan masa di mana gejala kejiwaan dipelajari secara tersendiri dengan metode ilmiah, terlepas dari filsafat dan ilmu faal. Gejala kejiwaan dipelajari seeara lebih sistematis dan objektif. Selain metode eksperimen, digunakan pula metode instrospeksi oleh W. Wundt. Akan tetapi, sekalipun psikologi pada akhirnya memisahkan diri dari filsafat, namun psikologi masih tetap mempunyai hubungan dengan filsafat, bahkan ilmu-ilmu yang telah memisahkan diri dari filsafatpun tetap masih ada hubungan dengan filsafat, khususnya filsafat ilmu, terutama mengenai hal-hal yang menyangkut sifat, hakikat, serta tujuan dari ilmu pengetahuan itu. Dengan demikian, maka akan dapat dianalisa lebih lanjut tentang aktualitas filsafat ilmu dalam perkembangan ilmu pengetahuan sebagai landasan filosofisnya, khususnya psikologi, baik dalam hal ontology, epistemology, maupun aksiologinya. Ketika mengingingkan mengkaji psikologi lebih mendalam maka setiap pengkaji harus memahami epistemologi, ontologi dan aksiologi suatu ilmu. Dengan memahami hal tersebut dengan baik, maka dapat diharapkan bahwa seseorang akan mampu mengkaji keilmuan tersebut dengan baik. Pengkajian psikologi melalui filsafat akan menghasil beberapa temuan baru yang menarik untuk dijadikan kajian. Setiap orang yang ingin mendalami ada hubungan yang sangat penting antara filsafat dan psikologi. Memikirkan aspek psikologi berdasarkan teori filsafat akan memberikan suatu analisa yang mendalam sehingga setiap pengkaji akan memperoleh suatu informasi yang mendalam. Dalam filsafat ada banyak aliran yang mengkaji manusia dan banyak pula aliranaliran filsafat ilmu dalam memandang suatu disiplin kajian ilmu. Oleh karena itu, kita harus mengenal aliran-aliran tersebut untuk dipraktekan dalam psikologi. Semua kajian keilmuan maka harus memahami filsafat. Begitu juga sebaliknya filsafat akan menjadi sia-sia jika tidak diaplikasikan dalam kajian keilmuan. Oleh karenanya, Sebagai contoh dalam berpsikologi dapat menggunakan teori filsafat Pragmatisme. Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 – 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan), sehingga pertanyaan 2016 9 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id yang muncul bukanlah what is tetapi what for. Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama "keyakinankeyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinankeyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya. Warisan ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909). Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno. Pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip yang dipegang kaum pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi dalam tindakan. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekwensi praktis dari masalah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masalah-masalah itu. 2016 10 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan. Dewey menyebut situasi tempat manusia hidup sebagai situasi problematis. Cara manusia bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Baru setelah orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud. `Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat naturalistis sebagai “perkembangan terus-menerus hubungan organisme dengan lingkungannya”. Dari pandangan tersebut kita dapat menggolongkan Dewey sebagai seorang empiris karena ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali kepengalaman. Si subyek bergumul dengan situasi problematika yang real empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan. Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses “doing dan undergoing”, suatu hubungan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey tidak membedakan antara subyek dengan obyek, antara tindak dengan benda material. John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Pengalaman (Experience) adalah salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah “mengenai” (about) dan “untuk” (For) pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses “ saling memengaruhi” (take and give) antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak orang yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak 2016 11 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi menusia sehingga tidak melihat alam. Pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam. Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalamanpengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera dan kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam dunia kita. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang terkandung di dalamnya pemisahan subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sarananya. Di dalam pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai satu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun sasaran pengetahuan. Atas dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiranpemikiran metafisis yang tidak bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi sosial. Pokok pandangan ini muncul sebagai kritiknya atas pokok dari filsafat jaman sebelumnya yang mengemukakan pandangan tentang realitas dan fungsi pengetahuan yang membingungkannya. Menurutnya, kaum empiris telah beranggapan bahwa pikiran selalu menunjuk pada obyek-obyek dari alam, dan bahwa setiap ide selalu berhubungan dengan suatu realitas. Dengan kata lain, pengetahuan seakan-akan dibentuk setelah subyek berhadapan dengan atau memandang sesuatu di luar dirinya. Inilah yang disebut “a spectator theory of knowledge”. Menurut teori ini, subyek pengetahuan bertindak bagaikan seorang penonton yang hanya dengan memandang sudah mendapatkan ide tentang obyeknya. Inilah pandangan kaum rasionalis. Menurut pandangan ini, rasio merupakan suatu instrumen untuk memperhatikan apa yang tetap dan pasti pada alam. Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah dan berbeda. Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Atas pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman. Hal ini 2016 12 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id disebabkan karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang berdaya guna. Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam yang mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga bersifat dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan kekuatan yang dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata. Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran selalu berada dalam a) situasi yang membingkungkan dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme. Dunia yang ada sekarang ini, yakni dunia pria dan wanita, dunia sawah dan pabrik, dunia tumbuhan dan binatang, dunia yang kita hiruk pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha memakainya dan kemudian berusaha membentuk suatu masyarakat dimana setiap orang dapat hidup dalam kemerdekaan dan kecerdasan. Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul untuk memberikan arti dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh pekerjaan di luar hipotesis atau membimbing kepada perbuatan yang akan dilakukan. Kata Dewey, kegunaan kerja pikiran tidak lain hanya merupakan cara jalan untuk melayani kehidupan. Makanya, ia dengan kerasnya menuntut untuk menggunakan metode ilmu alam (Scientific Method) bagi semua lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak(etika), estetika, politik dan lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan hidup. 2016 13 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Menurut Dewey yang dimaksud dengan Scientific Method ialah cara yang dipakai oleh seseorang sehingga bisa melampaui segi pemikiran semata-mata pada segi amalan. Dengan demikian, suatu pikiran bisa diajukan sebagai pemecahan suatu kesulitan (to solve problematic situation), dan kalau berhasil maka pikiran itu benar. Dengan demikian, pengalaman merupakan salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman tidak akan bisa terlepas, karena pengalaman berintegrasi dengan alam dan kehidupan manusia. Pengalaman tidak bisa kita lupakan karena, pengalaman bisa menjadi tolak ukur kita untuk melangkah ke depan dengan lebih baik. Pandangan John Dewey dalam pemikiran dan pengalaman ada istilah yang disebut instrumental. Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbanganpertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuanpenentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme. Padangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan 2016 14 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya. Dewey juga berbicara tentang kejahatan (evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan merupakan hasil dari cara tertentu manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap kesekitaran. Dengan mengetahui pola berfikir model pragmatism dalam filsafat terutama mengenai konsep manusia, maka teori dapat diturunkan untuk pengkajian psikologi. Begitu semua konsep psikologi yang sudah ditemukan dapat dikaji ulang melalui filsafat. Misalnya, konsep jiwa yang selama ini sudah dikaji dapat dikaji ulang melalui konsep transcendental dan lain sebagainya. 2016 15 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Abidin, Zainal (2003), Filfasat Manusia: memahami Manusia melalui Filsafat (Bandung: Rosdakarya Abidin, Zainal (2003), Filsafat Manusia: memahami manusia melalui filsafat (Bandung:Rosda Karya Alwasilah, A. Chaedar, (2008). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya., Bagus, Lorens (2000), Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Bakker, Anton (2000), Antropologi Metafisik, Yogyakarta: Kanisius Hadiwijono Harun (1980), Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 8 Hardiman, Budi (2002), Pemikiran-Pemikiran yang membentuk dunia Modern, Jakarta, Penerbit Airlangga Haviland, William A, (1999) Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, Jakarta: Erlangga Jabbâr, Al-Qâdhi al- al-Muniyyât wa al-‘Amal (Iskandariyah: Dâr al-Ma’ârif,1985 John, Stephen W. Little (2005) Theories of Hu- man Communication: Eighth edition, Canada, Thomson Wardsworth Kattsoff, Louis O, (1992) Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana) Koentjaraningrat (1987) Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Jakarta: Univesitas Indonesia Press Kuswarno, Engkus, 2009, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman dan Contoh Penelitian, Bandung : Widya Padjadjaran Leenhouwers, P. (1988), Manusia dan Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang Manusia, (Jakarta: Gramedia M.S. Kaelan, 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma, Muthahari Murtadha (1994), Perspektif al-Qur`an tentang Manusia dan Agama (terj), (Bandung: Mizan Nasr, Sayyed Hossein dan Oliver Leaman (ed), (2001), History of Islamic Philosophy (Qum: Ansariyan Publication Nasution, Harun (1983), Teologi Islam (Jakarta: UIP, Poedjawijatna (1974), Pembimbing ke Arah Alam FIlsafat (Jakarta, PT Pembangunan), 11 Salam, Burhanuddin (1988), Logika Formal, Filsafat Berfikir, (Jakarta, Bina Aksara,), hal. 13 Sastrapratedja. M (ed) (1982) Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat (Jakarta: Gramedia) Sastraprateja M.,(ed) Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat (Jakarta: PT Gramedia, 1982 Shihab M. Quraish,(1997) Wawasan al-Qur`an (Bandung: Mizan Tafsir, Ahmad (1990), Filsafat Umum (Bandung: Rosda karya), 9 Utsman, Abd al-Rahmân (1987), al-Insân, al-ruh, al-`Aql wa al-Nafs (Makkah: Da`wah alHaq) Weij, P.A. van der, (2000), Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia (Yogyakarta: Kanisius) 2016 16 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id