Modul Filsafat Ilmu dan Logika [TM14]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
FILSAFAT
ILMU DAN
LOGIKA
Filsafat Untuk Psikologi
Fakultas
Fakultas
Psikologi
Program
Studi
Tatap
Muka
14
Abstract
Filsafat merupakan tradisi yang melahirkan banyak
ilmu. Salah satu yang menjadi turunan dari filsafat
adalah psikologi. Aliran-aliran yang muncul dari
psikologi dipengaruhi oleh pandangan para
psikolog mengenai pandangan mereka tentang
manusia secara filosofis. Oleh karena itu,
mahasiswa harus memahami filsafat dan filsafat
manusia untuk memahami secara komprehensif
konsep psikologi
Kode MK
Disusun Oleh
Kode MK
Masyhar, MA
Kompetensi
Mampu menganalisis suatu peristiwa
berdasarkan aliran filsafat
Mengerti
dan
memahami
tentang
pengetahuan dan kebenaran yang
disertai dengan cara berpikir logis
Mampu berpikir reflektif terhadap
masalah-masalah psikologi
A. Posisi Filsafat dalam Psikologi
Filsafat mempunyai posisi penting terhadap semua disiplin ilmu termasuk psikologi.
Filsafat berfungsi sebagai penggagas dan peletak dasar, dan selanjutnya ilmu-ilmu itulah
yang berkembang sesuai dengan objek kajianya masing-masing. K. Bertens memberikan
lima hal yang menyangkut peranan dari filsafat bagi perkembangan ilmu-ilmu yang lain:
1)
Filsafat dapat menyumbang untuk memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang
sangat dibutuhkan, yang disinyalir kecondongan ilmu pengetahuan untuk berkembang
ke arah spesialisasi yang akhirnya menimbulkan kebuntuan. Tetapi pada filsafat tidak
ada spesialisasi khusus, filsafat bertugas untuk memperhatikan keseluruhan dan tidak
berhenti pada detail-detailnya.
2)
Filsafat dapat membantu dalam membedakan antara ilmu pengetahuan dan
scientisme. Dengan scientisme dimaksudkan pendirian yang tidak mengakui
kebenaran lain daripada kebenaran yang disingkapkan oleh ilmu pengetahuan dan
tidak menerima cara pengenalan lain daripada cara pengenalan yang dijalankan oleh
ilmu pengetahuan, dengan demikian ilmu pengetahuan melewati batas-batasnya dan
menjadi suatu filsafat.
3)
Tidak dapat disangkal bahwa hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih
erat dalam bidang pengetahuan manusia daripada bidang ilmu pengetahuan alam.
4)
Salah satu cabang filsafat yang tumbuh subur sekarang ini adalah apa yang disebut
“foundational research“ suatu penelitian kritis tentang metode-metode, pengandaianpengandaian dan hasil ilmu pengetahuan positif.
5)
Peranan filsafat dalam kerja sama interdisipliner pasti tidak dapat dibayangkan
sebagai semacam “pengetahuan absolut“.
Selanjutnya, setelah psikologi berpisah dengan filsafat dan berdiri sendiri sebagai
sebuah cabang ilmu yang baru; nampaknya psikologi, melalui berbagai penelitiannya
berusaha memberikan gambaran bahwa psikologi mengikuti aturan-aturan penelitian yang
berlaku dengan menggunakan cara yang sistematik dan metodologis sehingga hasil
penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara empirik. Kebutuhan keilmiahan psikologi
tersebut nampaknya baru terpecahkan ketika Wilhelm Wundt (1832-1920) dan kawankawannya memulai menerapkan metode yang baru dalam bidang psikologi eksperimen.
Dalam laboratorium eksperimen pertama yang didirikannya pada tahun 1879 di Universitas
Leipzig (Jerman), Wundt kemudian mulai melakukan serangkaian eksperimen untuk menguji
fenomena-fenomena yang dulunya merupakan bagian dari filsafat.
Namun demikian, meskipun pengaruh filsafat bagi perkembangan ilmu psikologi
masih dapat dirasakan dalam setiap penelitian yang dihasilkan, hal ini tentunya tidak
terlepas dari bidang garapan yang lebih banyak mempunyai kesamaan dengan filsafat itu
sendiri.
2016
2
Dengan
diakuinya
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
psikologi
sebagai
ilmu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pengetahuan
yang
berusaha
menempatkan metode penelitian yang sistematis dan ilmiah, psikologi menunjukkan jati
dirinya sebagai salah satu cabang ilmu yang mampu menempatkan metode-metode ilmiah
sebagai bagian dari penelitiannya.
Dengan begitu, dapat diketahui bahwa sesungguhnya filsafat merupakan induk yang
melahirkan psikologi. Psikologi tidak akan ada dan lahir kalau tidak ada filsafat. Psikologi
yang ada hari ini dan berkembang dengan berbagai aliran yang melingkupinya merupakan
perkembangan yang dimulai dari pemikiran filosofis mengenai eksistensi manusia. Oleh
karena itu, mahasiswa yang ingin mempelajari psikologi dengan berbagai disiplinnya harus
mengkaji terlebih dahulu filsafat agar cara berfikir dan sejarah perkembangan dan
munculnya berbagai aliran psikologi dapat difahami dengan baik. Selain itu, dengan
mempelajari filsafat, terutama filsafat manusia, filsafat ilmu logika dan perangkat lainnya,
akan membuat para psikolog dapat berfikir secara sistematis, logis, radik dan berfikir sesuai
dengan perangkat yang benar sesuai dengan kaidah keilmuan dan kebenaran ilmiah.
B. Relevansi Filsafat terhadap Psikologi
Filsafat memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat
terutama filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep
yang diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas,
penarikan kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini
penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya sendiri, dan
mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog sebagai seorang ilmuwan
tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang ditawarkan oleh filsafat ilmu ini.
Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap sadar bahwa ilmu pada dasarnya tidak
pernah bisa mencapai kepastian mutlak, melainkan hanya pada level probabilitas. Dengan
begitu, para psikolog bisa menjadi ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batasbatas ilmunya, dan terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan
sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan merasa keilmuannya adalah yang paling
benar dan hebat.
Selain itu, Filsafat itu mempertanyakan jawaban, sedangkan psikologi menjawab
pertanyaan (masalah).
Jadi dengan berfilsafat, psikolog mendapatkan solusi dari
permasalahan kliennya, karena terus diberikan pertanyaan, kenapa, mengapa, alasannya
apa, terus begitu sampai akhirnya ada kesimpulan dari pertanyaan (dari permasalahan) itu.
Ketika seseorang sudah mampu mempertanyakan siapa dirinya, bagaimana dirinya
terbentuk, bagaimana posisi dirinya di alam semesta ini, itu berarti orang tersebut sudah
berfilsafat ke taraf yang paling tinggi. Untuk itu dibutuhkan perenungan, karena apabila
didiskusikan, bisa jadi orang lain menganggap kita gila, karena itu adalah insight, dan tidak
semua orang bisa mendapatkan insight.
2016
3
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya filsafat berangkat dari apa
yang dialami manusia. Ilmu psikologi menolong filsafat dengan penelitiannya. Kesimpulan
filsafat tentang kemanusiaan akan ‘pincang’ dan jauh dari kebenaran jika tidak
mempertimbangkan hasil psikologi.
Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi. Dalam filsafat, kita juga bisa
menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam tentang konsep jiwa dan perilaku
manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat ditemukan baik di dalam teks-teks kuno
filsafat, maupun teks-teks filsafat modern. Dengan mempelajari ini, para psikolog akan
semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta pergulatan-pergulatan yang terjadi
di dalamnya. Teks-teks kuno tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang
berguna bagi perkembangan ilmu psikologi.
Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting bagi perkembangan ilmu
psikologi, yakni etika. Etika adalah ilmu tentang moral. Sementara, moral sendiri berarti
segala sesuatu yang terkait dengan baik dan buruk. Di dalam praktek ilmiah, para ilmuwan
membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga penelitiannya tidak melanggar nilai-nilai
moral dasar, seperti kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Seorang psikolog
membutuhkan panduan etis di dalam kerja-kerja mereka. Panduan etis ini biasanya
diterjemahkan dalam bentuk kode etik profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal
sebagai filsafat moral, hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis bagi
kode etik tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan ilmu,
termasuk psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan kesadaran etis para
ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi penjajah manusia. Sesuatu yang
tentunya tidak kita inginkan.
Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi psikologi adalah
eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Viktor
Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme sendiri adalah cabang filsafat
yang merefleksikan manusia yang selalu bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia
dipandang sebagai individu yang terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan
di dalam hidupnya. Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai
individu, seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup. Dalam konteks
psikologi, eksistensialisme mengental menjadi pendekatan psikologi eksistensial, atau yang
banyak dikenal sebagai terapi eksistensial. Berbeda dengan behaviorisme, terapi
eksistensial memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan kebebasan.
Jadi, terapinya pun disusun dengan berdasarkan pada pengandaian itu.
Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai
alternatif pendekatan di dalam ilmu psikologi. Fenomenologi sendiri memang berkembang di
2016
4
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dalam filsafat. Tokoh yang berpengaruh adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger, Alfred
Schultz, dan Jean-Paul Sartre. Ciri khas fenomenologi adalah pendekatannya yang secara
radikal memahami hakekat dari realitas tanpa terjatuh pada asumsi-asumsi yang telah
dimiliki terlebih dahulu oleh seorang ilmuwan. Fenomenologi ingin memahami benda
sebagai mana adanya. Slogan fenomenologi adalah kembalilah kepada obyek itu sendiri.
Semua asumsi ditunda terlebih dahulu, supaya obyek bisa tampil apa adanya kepada
peneliti. Metode fenomenologi dapat dijadikan alternatif dari pendekatan kuantitatif, yang
memang masih dominan di dalam dunia ilmu psikologi di Indonesia. Dengan menggunakan
metode ini, penelitian psikologi akan menjadi semakin manusiawi, dan akan semakin
mampu menangkap apa yang sesungguhnya terjadi di dalam realitas.
Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu psikologi.
Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi
tersebut. Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu kritik menghancurkan, tetapi sebagai
kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi bisa berkembang ke arah yang lebih manusiawi, dan
semakin mampu memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi itu biasanya dibagi
menjadi tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis, dan asumsi epistemologis.
Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu mengangkat sekaligus menjernihkan
ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan rasional. Fungsi kritik terhadap asumsi ini
penting, supaya ilmu psikologi bisa tetap kritis terhadap dirinya sendiri, dan semakin
berkembang ke arah yang lebih manusiawi.
Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan
wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer. Di
dalam filsafat sosial, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para filsuf diperkaya
dengan berbagai cara memandang fenomena sosial-politik, seperti kekuasaan, massa,
masyarakat, negara, legitimasi, hukum, ekonomi, maupun budaya. Dengan teori-teori yang
membahas semua itu, filsafat sosial bisa memberikan sumbangan yang besar bagi
perkembangan psikologi sosial, sekaligus sebagai bentuk dialog antar ilmu yang
komprehensif.
Terakhir, filsafat bisa menawarkan cara berpikir yang radikal, sistematis, dan rasional
terhadap ilmu psikologi, bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi, sehingga ilmu
psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh. Dengan ilmu logika,
yang merupakan salah satu cabang filsafat, para psikolog dibekali kerangka berpikir yang
kiranya sangat berguna di dalam kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun di
atas dasar logika, dan begitu pula psikologi. Metode pendekatan serta penarikan kesimpulan
seluruhnya didasarkan pada prinsip-prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara
sistematis, para psikolog bisa mulai mengembangkan ilmu psikologi secara sistematis, logis,
2016
5
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan rasional. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi sumbangan
cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi.
Teori psikologi tradisional masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai
individu mutlak. Teori psikologi tradisional juga masih percaya, bahwa manusia bisa
diperlakukan sebagai obyek. Dengan cara berpikir yang terdapat di dalam displin filsafat,
‘kepercayaan-kepercayaan’ teori psikologi tradisional tersebut bisa ditelaah kembali,
sekaligus dicarikan kemungkinan-kemungkinan pendekatan baru yang lebih tepat. Salah
satu contohnya adalah, bagaimana paradigma positivisme di dalam psikologi kini sudah
mulai digugat, dan dicarikan alternatifnya yang lebih memadai, seperti teori aktivitas yang
berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi budaya yang menempatkan manusia di dalam
konteks, dan teori-teori lainnya.
Salah satu cabang utama filsafat adalah logika. Logika sangat membantu sekali dalam
menemukan dan merumuskan mengenai psikologi. Misalnya teori deduktif, induktif,
silogisme dan lain sebagainya. Teori tersebut sangat bermanfaat dan berguna dalam
penalaran psikologi.
C. Filsafat Manusia; titik tolak menuju psikologi
Mempelajari filsafat manusia, maka kita akan dibawa kepada suatu panorama
pengetahuan yang luas, dalam, dan kritis, yang menggambarkan esensi manusia.
Panorama pengetahuan seperti itu, paling tidak, mempunyai manfaat ganda, yakni manfaat
praktis dan teoretis.
Secara praktis filsafat manusia tidak saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa
manusia secara menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah sesungguhnya diri
kita didalam pemahaman tentang manusia yang menyeluruh itu. Pemahaman yang
demikian pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil keputusan-keputusan
praktis atau dalam menjalankan berbagai aktifitas hidup sehari-hari, dalam mengambil
makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani dalam menentukan arah dan
tujuan hidup kita.
Sedangkan secara teoretis, filsafat manusia mampu memberian kepada kita
pemahaman yang esensial tentang manusia, sehingga pada gilirannya, kita bisa meninjau
secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik teori-teori yang terdapat didalam ilmuilmu tentang manusia.
Manfaat lainya dalam mempelajari filsafat manusia adalah mencari dan menemukan
jawaban tentang siapakah sesungguhnya manusia itu. Setelah kita mempelajari filsafat
manusia, maka paling tidak kita akan dapatkan sebuah pelajaran berharga tentang
kompleksitas manusia, yang tidak habis-habisnya dipertanyakan apa makna dan hakikatnya.
Karena kompleksitas yang melekat pada manusia itu, seperti dari beberapa filsup yang
2016
6
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menarik kesimpulan bahwa esensi manusia pada prinsipnya adalah sebuah misteri, sebuah
teka-teki yang barangkali tidak akan pernah terungkap secara tuntas kapan dan oleh siapa
pun.
Sementara itu, Anton Bakker, berpendapat bahwa filsafat manusia lazimnya disebut
”psikologi”. Agar dibedakan dengan ilmu jiwa positif, maka diberi tambahan menjadi
”psikologi rasional” atau ”psikologi spekulatif”, atau ”psikologi metafisis”. Nama ini
menimbulkan keberatan, karena tampak terlalu menekankan satu sudut manusia saja, yaitu
kehidupan sadar sebab psyche berarti ”jiwa”. Padahal filsafat manusia dalam kerangka
metafisik tentang manusia berupaya untuk mencari esensi dan hakikat manusia, dengan
demikian filsafat manusia juga tidak boleh mengabaikan sudut lainnya tentang manusia.
Psikologi sebagai imu tentang manusia hanya membicarakan manusia dalam satu
sudut saja dalam bentuk yang terfragmentaris (bagian-bagian) baik sudut pandang maupun
materinya tentang manusia. Hal itu menjadi dangkal jika dikatakan sebagai filsafat manusia
yang berupaya mencari esensi dan hakikat manusia dalam keseluruhannya, yang tentu saja
tidak cukup sampai disana. Misalnya, psikologi eksperimental menelaah reaksi mata, daya
ingatan, kemampuan belajar; dalam ilmu hayat, senyuman diterangkan sebagai gerak otot;
psikologi klinis mempelajari proses-proses dan bidang-bidang kesadaran manusia. Oleh
sebab itu, konsep-konsep dan istilah-istilah yang dipakainya juga tidak diteliti sampai pada
akarnya tetapi diartikan sesuai dengan pemahaman pada taraf ilmu itu sendiri.
Filsafat manusia karena upayanya yang radikal dan komprehensip dalam memahami
manusia dengan demikian dapat memberi insight kepada perkembangan ilmu-ilmu positif
tentang manusia termasuk psikologi untuk mengambil spirit-spirit baru dari spekulasi filsafat
yang menembus berbagai celah dan sudut yang kabur pada batas-batas ilmu-ilmu positif
tentang manusia. Sebaliknya, upaya filsafat manusia untuk mencari kedalaman hakikat
manusia juga sulit untuk mencapai keumuman universal tentang manusia jika mengabaikan
fakta-fakta empiri tentang manusia dari hasil observasi dan pengamatan ilmu-ilmu positif
tentang manusia.
Data-data positif dari psikologi tentang manusia dapat dipakai oleh filsafat sebagai
contoh-contoh dan ilustrasi-ilustrasi untuk uraiannya sendiri; sebab, jika memang benar,
mereka akan cocok dengan struktur-struktur yang ditemukan filsafat. Ilmu-ilmu itu juga dapat
memberikan rangsangan psikologis untuk mempelajari soal-soal tertentu, ataupun untuk
mencari jalan-jalan ke jurusan tertentu. Namun, pengaruh ini tetap bersifat ekstrinsik saja;
dan ilmu filsafat wajib menemukan simpul-simpulnya sendiri dengan memakai metodenya
sendiri. Sebaliknya, filsafat dapat memberikan petunjuk-petunjuk atau peringatan kepada
ilmu psikologi tentang hal-hal atau pola-pola yang dialpakannya sebagai pengaruh
psikologis-ekstrinsik. Namun, ilmu psikologi berkewajiban menyelidiki soal-soal menurut
metodenya sendiri, tanpa dipengaruhi secara logis, dengan mengambil alih hasil-hasil
2016
7
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
filsafat manusia. Oleh sebab itu, hubungan antara filsafat manusia dan psikologi adalah
hubungan yang saling topang menopang, dimana filsafat memberikan wawasan dan spirit
untuk berkembangnya psikologi sementara psikologi memberikan data-data untuk
direfleksikan oleh pemikiran filsafat tentang manusia.
D. Refleksi kefilsafatan; psikologi filsafati dan filsafat psikologi
Psikologi pada dasarnya adalah ilmu yang berkembang dan muncul berdasarkan
pemikiran filsafat terutama dalam filsafat manusia. Psikologi mencapai puncak kelahiran dan
menjadi ilmu yang mandiri ketika munculnya laboratorium yang digagas oleh Wilhem Wundt
tahun 1879 di University of Leipzig, Jerman. Dengan berdirinya laboratorium ini, maka
metode ilmiah untuk lebih mamahami manusia telah ditemukan walau tidak terlalu memadai.
Dengan berdirinya laboratorium ini pula, lengkaplah syarat psikologi untuk menjadi ilmu
pengetahuan, sehingga tahun berdirinya laboratorium Wundt diakui pula sebagai tanggal
berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan.
Sebelum tahun 1879, jiwa dipelajari oleh para Ahli filsafat dan para ahli ilmu Fasal
(Phisiologi), sehingga psikologi dianggap sebagai bagian dari kedua ilmu tersebut. Para
filsuf kuno, seperti Plato (427 -347 SM), Aristoteles (384 - 322 SM) dan Soerates (469-399
SM), telah memikirkan hakikat jiwa dan gejala-gejalanya. Filsafat sebagai induk ilmu
pengetahuan adalah ilmu yang meneari hakikat sesuatu dengan menciptakan pertanyaan
dan jawaban seeara terus-menerus sehingga meneapai pengertian yang hakiki tentang
sesuatu. Pada waktu itu belum ada pembuktian-pembuktian empiris, melainkan berbagai
teori dikemukakan berdasarkan argumentasi logika belaka. Psikologi benar-benar masih
merupakan bagian dari filsafat dalam arti semurni-murninya.
Pada abad pertengahan, psikologi masih merupakan bagian dart filsafat sehingga
objeknya tetap hakikat jiwa dan metodenya masih menggunakan argumentasi logika.
Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Deseartes (1596-1650) yang terkenal dengan teori
tentang kesadaran, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) yang mengutarakan teori
kesejahteraan psikofisik (psyehophysieal paralellism), John Loeke (1623-1704) dengan
teori tabula rasa mengemukakan, bahwa jiwa anak yang baru lahir masih bersih seperti
papan Win atau kertas putih yang belum ditulisi. Pada masa sebelumnya masalah
kejiwaan dibahas pula oleh para ulama Islam seperti Imam Al Gazali (wafat 505 H). Imam
Fakhrudin Ar-Raazi (wafat 606 H), Ibn Sina, Ikhwan al-Shafa dan lain sebagainya
Di samping para Ahli filsafat yang menggunakan logika, para ahli ilmu faal juga
mulai menyelidiki gejala kejiwaan melalui eksperimen-esksperimen. Walaupun mereka
menggunakan metode ilmiah (empiris), namun yang mereka selidiki terutama tentang urat
syaraf pengindraan (sensoris ), syaraf motoris (penggerak), pusat sensoris dan motoris di
2016
8
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
otak, serta hukum-hukum yang mengatur bekerjanya syaraf-syaraf tersebut.Dengan
demikian, gejala kejiwaan yang mereka selidiki hanya merupakan bagian dari objek ilmu
faal dengan metode yang lazim digunakannya. Di antara para tokohnya adalah: E. Bell
(1774 - 1842), F. Magendie (1774-1855). J.P. Muller (1801 - 1858), P. Broea (1824 - 1880)
dan IP. Pavlov (1849 - 1936).
Masa sesudah psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri merupakan masa di
mana gejala kejiwaan dipelajari secara tersendiri dengan metode ilmiah, terlepas dari
filsafat dan ilmu faal. Gejala kejiwaan dipelajari seeara lebih sistematis dan objektif.
Selain metode eksperimen, digunakan pula metode instrospeksi oleh W. Wundt.
Akan tetapi, sekalipun psikologi pada akhirnya memisahkan diri dari filsafat, namun
psikologi masih tetap mempunyai hubungan dengan filsafat, bahkan ilmu-ilmu yang telah
memisahkan diri dari filsafatpun tetap masih ada hubungan dengan filsafat, khususnya
filsafat ilmu, terutama mengenai hal-hal yang menyangkut sifat, hakikat, serta tujuan dari
ilmu pengetahuan itu. Dengan demikian, maka akan dapat dianalisa lebih lanjut tentang
aktualitas filsafat ilmu dalam perkembangan ilmu pengetahuan sebagai landasan
filosofisnya, khususnya psikologi, baik dalam hal ontology, epistemology, maupun
aksiologinya.
Ketika mengingingkan mengkaji psikologi lebih mendalam maka setiap pengkaji
harus memahami epistemologi, ontologi dan aksiologi suatu ilmu. Dengan memahami hal
tersebut dengan baik, maka dapat diharapkan bahwa seseorang akan mampu mengkaji
keilmuan tersebut dengan baik.
Pengkajian psikologi melalui filsafat akan menghasil beberapa temuan baru yang
menarik untuk dijadikan kajian. Setiap orang yang ingin mendalami ada hubungan yang
sangat penting antara filsafat dan psikologi.
Memikirkan aspek psikologi berdasarkan teori filsafat akan memberikan suatu analisa
yang mendalam sehingga setiap pengkaji akan memperoleh suatu informasi yang
mendalam. Dalam filsafat ada banyak aliran yang mengkaji manusia dan banyak pula aliranaliran filsafat ilmu dalam memandang suatu disiplin kajian ilmu. Oleh karena itu, kita harus
mengenal aliran-aliran tersebut untuk dipraktekan dalam psikologi. Semua kajian keilmuan
maka harus memahami filsafat. Begitu juga sebaliknya filsafat akan menjadi sia-sia jika tidak
diaplikasikan dalam kajian keilmuan. Oleh karenanya,
Sebagai contoh dalam berpsikologi dapat menggunakan teori filsafat Pragmatisme.
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William
James (1842 – 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan,
dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Dengan kata lain,
suatu teori adalah benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan), sehingga pertanyaan
2016
9
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang muncul bukanlah what is tetapi what for. Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh
Charles S. Pierce (1839-1914) dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama "keyakinankeyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan
suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinankeyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki
oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi
Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di
terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya.
Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan
berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni,
pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”. Tradisi pemikiran
yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang
melalui idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir
rasionalistik lainnya. Warisan ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang
terhormat kerena memiliki kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah
mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan
daya nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi,
di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya
pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak
terlalu ditekankan sehingga rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya
sebagai
instrumen
khas
manusiawi
yang
mampu
membentuk
pemikiran
dan
mengarahkan sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan.
Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan
mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam
pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).
Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk
menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna
bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme
akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan
filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan
dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno.
Pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut.
Prinsip yang dipegang kaum pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori
ini atau itu; yang penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat
berfungsi dalam tindakan. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekwensi praktis
dari masalah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masalah-masalah itu.
2016
10
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan
dengan tanggapan panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari
alam, manusia mula-mula bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada.
Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja
terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu
pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya
perubahan dalam lingkungan. Dewey menyebut situasi tempat manusia hidup sebagai
situasi problematis. Cara manusia bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik
belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi problematis
dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia
buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah
mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Baru setelah orang bertindak
dalam situasi problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud.
`Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat naturalistis sebagai
“perkembangan terus-menerus hubungan organisme dengan lingkungannya”. Dari
pandangan tersebut kita dapat menggolongkan Dewey sebagai seorang empiris karena
ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali kepengalaman. Si subyek bergumul dengan
situasi problematika yang real empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga
menghasilkan perubahan-perubahan. Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai
transaksi proses “doing dan undergoing”, suatu hubungan aktif antara organisme dengan
lingkungannya. Dewey tidak membedakan antara subyek dengan obyek, antara tindak
dengan benda material.
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James.
Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah
individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan
kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey
menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak
menggunakan pendekatan biologis
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme
menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan
pengalaman.
Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Pengalaman (Experience)
adalah salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah
“mengenai” (about) dan “untuk” (For) pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah
keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses “ saling memengaruhi” (take
and give) antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey
menolak orang yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak
2016
11
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa
pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi menusia sehingga tidak melihat alam.
Pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki rahasia-rahasia
alam.
Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah
satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang
bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas
sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalamanpengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera dan
kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada dunia
sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau
dalam dunia kita. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang
terkandung di dalamnya pemisahan subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan
sarananya. Di dalam pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan.
Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai satu hal yang
penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu
bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran,
itulah yang menyusun sasaran pengetahuan. Atas dasar ini pula, Dewey merumuskan
tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam
kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiranpemikiran metafisis yang tidak bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai
dasar dan fungsi sosial.
Pokok pandangan ini muncul sebagai kritiknya atas pokok dari filsafat jaman
sebelumnya yang mengemukakan pandangan tentang realitas dan fungsi pengetahuan
yang membingungkannya. Menurutnya, kaum empiris telah beranggapan bahwa pikiran
selalu menunjuk pada obyek-obyek dari alam, dan bahwa setiap ide selalu berhubungan
dengan suatu realitas. Dengan kata lain, pengetahuan seakan-akan dibentuk setelah
subyek berhadapan dengan atau memandang sesuatu di luar dirinya. Inilah yang disebut
“a spectator theory of knowledge”. Menurut teori ini, subyek pengetahuan bertindak
bagaikan seorang penonton yang hanya dengan memandang sudah mendapatkan ide
tentang obyeknya. Inilah pandangan kaum rasionalis. Menurut pandangan ini, rasio
merupakan suatu instrumen untuk memperhatikan apa yang tetap dan pasti pada alam.
Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah dan berbeda.
Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris
maupun kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain
pihak. Atas pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan
alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman. Hal ini
2016
12
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
disebabkan karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang berdaya guna.
Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan
alam yang mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru.
Pengalaman juga bersifat dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi
pada hakikatnya merupakan kekuatan yang dimiliki manusia untuk menghadapi
lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir
adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan
bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata.
Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di
atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran
selalu berada dalam a) situasi yang membingkungkan dan tidak jelas, b) situsi yang jelas
di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan
sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas
inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan
yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang
disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Teori instrumentalisme adalah
suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep,
pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan
dalam
bentuknya
yang
bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi
dalam
penentuan-penentuan
yang
berdasarkan
pengalaman,
yang
mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk
menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai
pragmatisme.
Dunia yang ada sekarang ini, yakni dunia pria dan wanita, dunia sawah dan pabrik,
dunia tumbuhan dan binatang, dunia yang kita hiruk pikuk dan bangsa-bangsa yang
berjuang, adalah dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha memakainya dan
kemudian berusaha membentuk suatu masyarakat dimana setiap orang dapat hidup
dalam kemerdekaan dan kecerdasan.
Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul untuk memberikan
arti dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh pekerjaan di luar hipotesis atau
membimbing kepada perbuatan yang akan dilakukan. Kata Dewey, kegunaan kerja
pikiran tidak lain hanya merupakan cara jalan untuk melayani kehidupan. Makanya, ia
dengan kerasnya menuntut untuk menggunakan metode ilmu alam (Scientific Method)
bagi semua lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak(etika), estetika,
politik dan lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan
dengan lingkungan dan kebutuhan hidup.
2016
13
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut Dewey yang dimaksud dengan Scientific Method ialah cara yang dipakai
oleh seseorang sehingga bisa melampaui segi pemikiran semata-mata pada segi
amalan. Dengan demikian, suatu pikiran bisa diajukan sebagai pemecahan suatu
kesulitan (to solve problematic situation), dan kalau berhasil maka pikiran itu benar.
Dengan demikian, pengalaman merupakan salah satu kata kunci dalam filsafat
instrumentalisme. Pengalaman tidak akan bisa terlepas, karena pengalaman berintegrasi
dengan alam dan kehidupan manusia. Pengalaman tidak bisa kita lupakan karena,
pengalaman bisa menjadi tolak ukur kita untuk melangkah ke depan dengan lebih baik.
Pandangan John Dewey dalam pemikiran dan pengalaman ada istilah yang disebut
instrumental. Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to
conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all
kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah
pragmatisme
dengan
instrumentalism,
operationalism,
functionalism,
dan
experimentalism. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha
untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbanganpertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam,
dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuanpenentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di
masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan
istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.
Padangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi
kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala
perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi
di lain pihak, manusia manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri
secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus
diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan
semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain
berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh
masyarakat yang ada di sekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur
kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting
dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat
fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok
pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis
manusia
atau
kodrat
manusia
mengandung
kemampuan-kemampuan
tertentu.
Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran
manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan
2016
14
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu.
Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.
Dewey juga berbicara tentang kejahatan (evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu
yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan merupakan hasil dari cara tertentu
manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh karena itu, syarat mutlak
untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu
kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap kesekitaran.
Dengan mengetahui pola berfikir model pragmatism dalam filsafat terutama
mengenai konsep manusia, maka teori dapat diturunkan untuk pengkajian psikologi.
Begitu semua konsep psikologi yang sudah ditemukan dapat dikaji ulang melalui filsafat.
Misalnya, konsep jiwa yang selama ini sudah dikaji dapat dikaji ulang melalui konsep
transcendental dan lain sebagainya.
2016
15
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal (2003), Filfasat Manusia: memahami Manusia melalui Filsafat (Bandung:
Rosdakarya
Abidin, Zainal (2003), Filsafat Manusia: memahami manusia melalui filsafat (Bandung:Rosda
Karya
Alwasilah, A. Chaedar, (2008). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.,
Bagus, Lorens (2000), Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Bakker, Anton (2000), Antropologi Metafisik, Yogyakarta: Kanisius
Hadiwijono Harun (1980), Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 8
Hardiman, Budi (2002), Pemikiran-Pemikiran yang membentuk dunia Modern, Jakarta,
Penerbit Airlangga
Haviland, William A, (1999) Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, Jakarta:
Erlangga
Jabbâr, Al-Qâdhi al- al-Muniyyât wa al-‘Amal (Iskandariyah: Dâr al-Ma’ârif,1985
John, Stephen W. Little (2005) Theories of Hu- man Communication: Eighth edition,
Canada, Thomson Wardsworth
Kattsoff, Louis O, (1992) Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana)
Koentjaraningrat (1987) Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Jakarta: Univesitas Indonesia
Press
Kuswarno, Engkus, 2009, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi,
Pedoman dan Contoh Penelitian, Bandung : Widya Padjadjaran
Leenhouwers, P. (1988), Manusia dan Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang Manusia,
(Jakarta: Gramedia
M.S.
Kaelan, 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta:
Paradigma,
Muthahari Murtadha (1994), Perspektif al-Qur`an tentang Manusia dan Agama (terj),
(Bandung: Mizan
Nasr, Sayyed Hossein dan Oliver Leaman (ed), (2001), History of Islamic Philosophy (Qum:
Ansariyan Publication
Nasution, Harun (1983), Teologi Islam (Jakarta: UIP,
Poedjawijatna (1974), Pembimbing ke Arah Alam FIlsafat (Jakarta, PT Pembangunan), 11
Salam, Burhanuddin (1988), Logika Formal, Filsafat Berfikir, (Jakarta, Bina Aksara,), hal. 13
Sastrapratedja. M (ed) (1982) Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat
(Jakarta: Gramedia)
Sastraprateja M.,(ed) Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat (Jakarta: PT
Gramedia, 1982
Shihab M. Quraish,(1997) Wawasan al-Qur`an (Bandung: Mizan
Tafsir, Ahmad (1990), Filsafat Umum (Bandung: Rosda karya), 9
Utsman, Abd al-Rahmân (1987), al-Insân, al-ruh, al-`Aql wa al-Nafs (Makkah: Da`wah alHaq)
Weij, P.A. van der, (2000), Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia (Yogyakarta: Kanisius)
2016
16
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download