Modul Filsafat Manusia [TM1]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
FILSAFAT
MANUSIA
PENDAHULUAN
Fakultas
Fakultas
Psikologi
Program
Studi
Tatap
Muka
01
Kode MK
Disusun Oleh
Kode MK
Masyhar, MA
Abstract
Kompetensi
Filsafat Manusia adalah salah satu mata
kuliah yang mendukung untuk
memahami manusia dilihat dari aspek
filsafat. Tujuannya adalah mahasiswa
mampu memahami hakekat manusia
secara komprehensif
Mahasiswa mampu memahami
relasi manusia dengan
pengetahuan, deskrispsi filsafat
manusia, objek kajian filsafat
manusia dan lainnya
A. Pengetahuan Manusia dan Filsafat Manusia
Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia dibanding makhluk yang lain,
manusia adalah pemimpin atau yang mengatur alam ini, manusia adalah makhluk yang
mempunyai kepribadian yang berbeda-beda dan lain sebagainya. Jelasnya, manusia adalah
makhluk paling istimewa di antara makhluk lainnya.1
Manusia sebagai manusia justru lebih sulit memahami dirinya daripada memahami
makhluk lain seperti hewan dengan berbagai jenisnya. Walaupun manusia telah berusaha
keras dan mempunyai pembedaharaan yang begitu banyak tentang manusia, seseorang
hanya mampu memahami manusia dari sedikit seginya saja. Manusia tidak mengetahui
dirinya secara utuh.2
Kesulitan memahami manusia ini dikarenakan adanya keterlambatan manusia
sendiri untuk memahami dirinya, akal yang cenderung untuk memikirkan sesuatu yang tidak
kompleks dan karena kekompleksitasan manusia itu sendiri.3
Para pemikir mempunyai banyak ragam dalam mengartikan dan memahami manusia
itu sendiri. Murtadla Muthahari misalnya, memahami manusia tidak semata-mata
digambarkan sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki,
dan pandai berbicara. Lebih dari itu, manusia lebih luhur dan lebih gaib dari apa yang dapat
didefinisikan oleh kata-kata tersebut.4
Ia membagi sifat manusia dalam dua segi. Pertama segi positif dan kedua segi
negatif. Segi positif adalah;
a) Manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi
b) Manusia mempunyai kapasitas intelegensi yang lebih tinggi dibanding makhluk
lainnya.
c) Manusia mempunyai kecenderungan untuk dekat dengan Allah. Artinya, ia sadar
akan kehadiran Tuhan jauh di dalam sanubari mereka.
d) Manusia, dalam fitrahnya, mempunyai sekumpulan unsur kebaikan yang luhur yang
berbeda dengan unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhan, dan benda tak
bernyawa.
e) Penciptaan manusia telah diperhitungkan dengan benar-benar secara teliti, bukan
suatu kebetulan
f)
Manusia bersifat bebas dan merdeka
1 Untuk keterangan lebih lanjut mengenai status manusia dibanding dengan makhluk lainnya
lihat pada, Abd al-Rahmân `Utsmân, (1987) al-Insân, al-ruh, al-`Aql wa al-Nafs (Makkah: Da`wah alHaq), 12-17.
2 Ini adalah sedikit pernyataan A. Carrel sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab,(1997)
Wawasan al-Qur`an (Bandung: Mizan), 277.
3 M. Quraish Shihab,(1997) Wawasan al-Qur`an., h. 277-278
4 Murtadha Muthahari (1994), Perspektif al-Qur`an tentang Manusia dan Agama (terj),
(Bandung: Mizan), h. 117
2016
2
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
g) Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan mempunyai martabat.
h) Manusia memiliki kesadaran moral
i)
Jiwa manusia tidak akan damai kecuali dengan mengingat Allah
j)
Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia
k) Manusia diciptakan untuk menyembah Tuhan dan tunduk patuh merupakan
tanggung jawab utama mereka.5
Sedangkan segi negatifnya, menurut Murtadha Muthahari, manusia memiliki sikap
keji dan bodoh yang luar biasa.6
Dalam konsep teologi sentral pembahasan mengenai manusia adalah kekuatan,
kelemahan, kebebasan dan tanggungjawab manusia. Misalnya, dalam teologi Mu`tazilah
salah satu konsep ushûl khamsah ada pembahasan mengenai kebebasan manusia.
Perbuatan manusia adalah ciptaan mereka sendiri. Dengan demikian, manusia bebas
menentukan perbuatannya dan bertanggungjawab penuh atas perbuatan tersebut.7
Kelompok Maturidi memandang manusia mempunyai kebebasan dalam melakukan
perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti sebenarnya,
bukan dalam arti kiasan.8
Para filosof Barat era modern juga tidak ketinggalan untuk mengkaji masalah
manusia. Misalnya Mercia Eliade, seorang sosiolog dalam bidang agama, menyatakan
bahwa manusia adalah mempunyai sikap homo religious. Manusia sebagai homo religious
merupakan bentuk mikrokosmos, yang oleh karenanya manusia juga berhak mendapat
kesucian dari kosmos.9
Perdebatan yang muncul mengenai manusia serta adanya perkembangan ilmu
sosial dan ilmu eksakta, maka manusia juga harus memahami dirinya. Memahami hal ini
menjadi penting, karena manusia adalah subjek dan objek dari perkembangan ilmu
tersendiri.
Pada sisi lain, ada banyak masyarakat dan ilmuan yang menyikapi keberadaan
manusia ini dengan beberapa sikap yang berbeda pula. Dampaknya adalah banyak yang
menyikapi kehidupan ini dengan pemisistis da adapula yang menyikapi dengan optimistis.
Sikap pesimis ini menyebabkan manusia menjadi kurang respon terhadap kehidupan dunia
dan menginginkan untuk meninggalkan dunia dengan cara yang tidak wajar seperti bunuh
5 Untuk keterangan lebih lanjut dan point-pointnya dapat dilihat pada Murtadha Muthahari
(1994), Perspektif al-Qur`an tentang, h. 119-121
6
7
8
Murtadha Muthahari (1994), Perspektif al-Qur`an tentang h. 122
Al-Qâdhi al-Jabbâr, al-Muniyyât wa al-‘Amal (Iskandariyah: Dâr al-Ma’ârif,1985), h. 105
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UIP, 1983), h. 112
9 Untuk keterangan lebih lajut mengenai hal ini lihat pada M. Sastraprateja,(ed) Manusia Multi
Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat (Jakarta: PT Gramedia, 1982), h. 40-43
2016
3
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
diri dan lainnya. Sedangkan bagi mereka yang menghadapi kehidupan dunia dengan
positistis akan memberikan dampak dalam menyikapi kehidupan dunia dengan baik dan
benar.
Filsafat manusia adalah salah satu cara untuk memahami dan memandang
manusia dengan baik dan benar, sehingga manusia mampu memahami diri baik sebagai
objek ataupun sebaga subjek manusia.
Filsafat secara bahasa berasal dari bahasa Yunani philosophia (cinta akan
kebijaksanaan) philos (cinta: persahabatan, tertarik kepada), (shophos: kebijaksanaan,
pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis intelegensia).10 Dalam tradisi filsafat Arab,
filsafat sering diterjemahkan dengan falsafat, dan hikmah.11 Sedangkan secara istilah filsafat
mempunyai banyak definisi tergantung dari tokoh yang mendefinisikan. Definisi tersebut
antara lain
a. Usaha manusia dengan akalnya untuk memperoleh suatu pandangan dunia dan
hidup yang memuaskan hati.12
b. Poedjawiyatna mendefinisikan filsafat dengan sejenis pengetahuan yang
berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang
berdasarkan pikiran belaka13
c. Plato mendefinisikan dengan pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran
asli.
d. Aristoteles mengartikan dengan pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan lain
sebagainya.
e. Al-Farabi: Filsafat adalah pengetahuan tentang alam wujud bagaimana hakekat
sebenarnya.14
Pengertian filsafat seperti di atas, sebenarnya masih banyak lagi tergantung cara
melihat atau sudut pandangnya.
Sedangkan filsafat manusia sendiri adalah bagian integral dari sistem filsafat,
yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia.15
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa filsafat manusia
merupakan kajian terhadap manusia secara filosofis, bukan dilihat secara biologis,
10
Lorens Bagus (2000), Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka), 242
Ada beberapa karya yang menulis filsafat dengan falsafah dan adapula karya filsafat
dengan mengistilahkan hikmah. Untuk keterangan lebih lanjut ada pada, Sayyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman (ed), (2001), History of Islamic Philosophy (Qum: Ansariyan Publication), jilid I., 21-23
12 Harun Hadiwijono (1980), Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 8
13 Poedjawijatna (1974), Pembimbing ke Arah Alam FIlsafat (Jakarta, PT Pembangunan), 11
14 Item c,d,e dikutip dari Ahmad Tafsir (1990), Filsafat Umum (Bandung: Rosda karya), 9
15
Zainal Abidin (2003), Filsafat Manusia: memahami manusia melalui filsafat
(Bandung:Rosda Karya), 3
11
2016
4
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sosiologis ataupun lainnya. Filsafat manusia merupakan suatu metode untuk menyelidiki
dan mentematisir kesadaran mengenai manusia, mengurai mengenai objek langsung dan
eksplisit, membeberkan dan menjelaskan hakekat manusia agar inti pemahamanan manusia
yang tersirat menjadi tersurat.
B. Objek Filsafat Manusia
Filsafat manusia, objek kajiannya ada dua macam yaitu objek formal dan objek
material. Objek formal filsafat manusia adalah struktur hakiki manusia yang sedalamdalamnya yang berlaku selalu dan dimana-mana untuk semua orang. Sedangkan objek
materialnya adalah semua gejala atau fenomena manusiawi. 16 Dalam hal fenomena ini tidak
hanya berhenti pada fenomena itu, akan tetapi menerobos pada aspek paling mendasar
yaitu nomena dari manusia itu sendiri.
Hakekat manusia sebagai objek filsafat manusia meliputi dua aspek
a. Manusia mau difahami seekstensif atau seluas mungkin. Manusia bukan
difahami berupa sifat atau gejala saja, seperti berjalan, bekerja, malu dan lain
sebagainya, akan tetapi meliputi semua sifat, semua kegiatan, semua pengertian
dan semua aspek yang dilihat secara keseluruhan dan satu kesatuan
b. Manusia difahami seintensif mungkin yaitu tidak cukup memahami manusia dari
kegiatan atau taraf tertentu, akan tetapi manusia difahami dari semua taraf dan
semua kegiatan.
Kedua hal di atas terjadi karena dalam filsafat manusia tidak membatasi diri pada
gejala empiris. Bentuk atau jenis gejala apapun tentang manusia dapat menjadi bahan
kajian filsafat manusia, selama dapat dipikirkan dan memungkinkan untuk dipikirkan secara
rasional. Oleh karena itu, filsafat manusia tidak dapat dikaji hanya menggunakan metode
observisional atau eksperimental. Sebab, metode observisional atau eksperimental hanya
mampu untuk meneliti gejala yang dapat diamati (empiris) dan bisa di ukur. Sementara itu,
dalam diri manusia ada dimensi metafisis, spiritual dan universal yang hanya mampu untuk
diteliti melalui metode tertentu seperti sintesis dan refleksi.17 Dengan metode itu, gejala
manusia dalam filsafat manusia jauh lebih ekstensif dan intensif dibandingkan dengan teori
yang diperoleh dari ilmu-ilmu mengenai manusia.
C. Filsafat Manusia dan Ilmu-ilmu Manusia lain
Ilmu-ilmu yang mengkaji mengenai manusia, pada dasarnya, bersifat positivistic.
Artinya, ilmu tersebut tetap pada satu pandangan, dengan model metodologi ilmu-ilmu alam
fisik, sesuai dengan rujukan eksperimental dan/atau observasional. Suatu ilmu yang
membatasi diri pada penyelidikan terhadap gejala empiris dan penggunaan metode yang
16
17
2016
5
Anton Bakker (2000), Antropologi Metafisik, h. 12
Zainal Abidin (2003), Filsafat Manusia: memahami manusia, h. 4
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bersifat observasional/eksperimental, maka bisa dipastikan mempunyai konsekuensikonsekuensi teoretis yang positif dan bersifat negative sekaligus. Demikian pula halnya
dengan ilmu-ilmu tentang manusia. Sisi ‘negatif’ dari ilmu-ilmu tentang manusia, pertamatama tampak dari ruang lingkupnya yang serba terbatas. Ilmu-ilmu tentang manusia hanya
bersangkut paut dengan aspek-aspek atau dimensi-dimensi tertentu dari manusia.18
Sedangkan aspek-aspek atau dimensi-dimensi di luar pengelaman indrawi, yang
tidak dapat diobservasi atau eksperimentasi tidak dapat tempat di dalam ilmu. Oleh sebab
itu ilmu-ilmu tentang manusia ini tidak dapat menjawab pertanyaan yang meskipun sifatnya
sederhana dan mendasar, seperti: apakah manusia itu? Apakah hakikat manusia itu bersifat
material atau spiritual? Apakah ada kebebasan dalam manusia? Apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dalam dunia yang serba tidak menentu ini?.
Dalam ilmu pengetahuan cara kerja ilmu
adalah fragmentaris.19
Keterbatasan
metode observasi dan eksperimentasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk
melihat gejala manusia secara utuh dan menyeluruh. Contohnya ilmu psikologi, ilmu
tersebut hanya menekankan pada aspek psikis dan fisiologis manusia sebagai suatu
organisme. Ilmu lainya seperti antropologi dan sosiologi lebih memfokuskan pada gejala
budaya dan pranata sosial, dan enggan bersentuhan dengan pengalaman dan gejala
individual.20
Oleh karena itu, kajian filsafat manusia terhadap ilmu-ilmu tentang manusia ini adalah
berbeda. Filsafat manusia persis seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, yakni dengan
menggunakan metode sintesis dan reflektif yang mempunyai ciri-ciri ekstensif, intensif, dan
kritis. Penggunaan metode sintesis dalam filsafat manusia, yang mensistensiskan
pengalaman dan pengetahuan kedalam satu visi.
Dengan metode sintesis maka akan
tercapai visi yang menyeluruh dan rasional tentang hakikat manausia. Oleh sebab itu,
filsafat manusia justru berkenaan dengan totalitas dan keragaman aspek-aspek yang
terdapat pada manusia secara universal.
Penggunnaan metode refleksi, dalam filsafat manusia tampak dari pemikiranpemikiran filsafati besar seperti yang dikembangkan misalnnya oleh Descartes, Kant,
18 Aspek-aspek tertentu misalnya sosiologi hanya membahas mengenai relasi manusia
dengan masyarakat, antropologi membahas mengenai manusia dan kebudayaan yang semua itu
dapat diteliti secara eksperimental dan lain sebagainya
19 P. Leenhouwers (1988), Manusia dan Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang Manusia, (Jakarta:
Gramedia), hal. 18.
20 Secara umum antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh
pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia, William A
Haviland, (1999) Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, Jakarta: Erlangga),h. 7;
Koentjaraningrat (1987) Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Jakarta: Univesitas Indonesia Press) 1-2.
2016
6
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Edmund Husserl, Karl Jasper dan lain-Nya.21 Refleksi yang dimaksudkan disini menunjuk
pada dua hal: pertama, pada pertanyan tentang esensi sesuatu hal. (misalnya: apakah
esensi manusia itu, apakah esensi keindahan itu, apakah esensi alam semesta itu). Kedua,
pada proses pemahaman diri (self-understanding) berdasarkan pada totalitas gejala dan
kejadian manusia yang sedang direnungkannya. Filosof yang sedang berfilsafat pada
kenyataannya bukan hanya berusaha memahami esensi manusia di luar dirinya, tetapi juga
hendak memahami dirinya sendiri. Oleh karena itu, ada kemungkinan dalam filsafat manusia
terdapat keterlibatan pribadi dan pengalaman subjektif dari beberapa filsuf tertentu pada
setiap apa yang difikirkannya.22
Kemungkinan keterlibatan pengalaman pribadi dan pengalaman “subjektif”, seperti
yang terdapat dalam filsafat manusia, paling tidak secara ideal, sedapat mungkin
dihindarkan dari ilmu-ilmu tentang manusia. Ilmu harus bersifat ‘netral’ dan ‘bebas nilai’.
Oleh karena itu, tugas seorang ilmuan adalah mengamati, mengukur, menjelaskan dan
memprediksi dalam bentuk bahasa ilmiah. Kemungkinan untuk terlibat atau tidak netral itu,
relative sangat kecil karena nilai-nilai yang sifatnya subjektif dan manusiawi, tidak dapat
dirumuskan secara statistik dalam bentuk angka atau grafik.
Namun ada yang khas dengan filsafat manusia, dan tidak terdapat pada ilmu-ilmu
tentang manusia. Kalau ilmu adalah netral dan bebas nilai, maka bisa dikatakan juga bahwa
ilmu berkenaan hanya dengan das Sein (kenyataan sebagaimana adanya). Nilai, dari
manapun asalnya dan apapun bentuknya, diupayakan untuk tidak dilibatkan dalam kegiatan
keilmuan. Nilai dipandang sesuatu yang subjektif dan tidak bisa diukur, sehingga
keberadaanya dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebaliknya di
dalam filsafat manusia, bukan hanya das Sein yang dipertimbangkan, tetapi juga das Sollen
(kenyataan yang seharusnya). Ini berarti bahwa nilai yang selain dipandang subjektif tetapi
juga ideal, mewarnai kegiatan filsafat manusia.
D. Metode Filsafat Manusia
Filsafat manusia tidak memberikan fakta-fakta baru tentang manusia, melainkan
berusaha mencari pengetahuan yang lebih mendalam dari data-data yang telah banyak
diketahui sebelumnya. Oleh karena itu, filsafat manusia lebih bersifat refleksif, yaitu melihat
diri sendiri dan melakukan olah pikir untuk mendapatkan pengetahuan tentangnya. Reflektif
di sini menunjukkan pada dua hal; pertama, pada pertanyaan tentang esensi sesuatu hal,
21 Data-data mengenai metode yang mereka gunakan dapat dilihat dalam beberapa buku
seperti, K. Bertens, Filsuf-Filsuf tentang manusia, F. Budi Hardiman (2002), Pemikiran-Pemikiran
yang membentuk dunia Modern, Jakarta, Penerbit Airlangga dan beberapa rujukan lainnya
22
Secara umum bisa dikatakan, bahwa tidak mustahil terdapat keterlibatan pribadi dan
pengalaman subjektif dari beberapa filsuf tertentu, pada setiap pemikiran filsafati mereka. Pandangan
negative dan pesimistik tentang manusia dari Schopenhaur, misalnya atau sebaliknya, pemikiran
optimistic dan religius tentang manusia dari Bergson dan Thomas Aquinas, yang bisa dijadikan
contoh kasus tersebut.
2016
7
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
misalnya mengenai esensi keindahan, esensi kebenaran, esensi alam dan lainnya. Kedua,
proses pemahaman diri berdasarkan pada totalitas gejala dan kejadian manusia yang
sedang direnungkannya. Filosof yang berfilsafat pada kenyataannya bukan hanya berusaha
memahami esensi manusia an sich tetapi juga hendak memahami dirinya sendiri di dalam
pemahaman tentang esensi manusia tersebut.
Filsafat manusia juga berkembang dengan metode dialektis, yakni melalui proses
pengajuan jawaban dan pertanyaan, yang kemudian intensitas dan tingkat refleksinya terus
berkembang.
Selain itu metode filsafat manusia juga dapat dilakukan dengan cara
1. Metode kritis.
Metode kritis artinya filosof tidak dapat lekas percaya, bersifat selalu berusaha
menemukan kesalahan, tajam dalam penganalisaan. Berpikir kritis berarti pula
berpikir kreatif, yaitu suatu proses berpikir melalui akal budi yang bersifat intuitif
untuk menciptakan suatu kemampuan, memperkirakan dan membuat kesimpulan
baru, asli, cerdik dan mengagumkan.23
2. Metode analitika bahasa
Analitis
bahasa
merupakan
metode
yang
khas
untuk
menjelaskaan,
menguraikan, dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis.24 Sebab,
menguraikan dan menguji kebenaran hanya mungkin dilakukan lewat bahasa,
karena bahasa memiliki fungsi kognitif, yaitu dengan bahasalah manusia
menjelaskan proposisi-proposisi yang dipikirkannya, apakah benar atau salah,
sehingga ia menerima atau menolaknya secara rasional.25
3. Metode fenomenologis
Fenomenologi adalah pendekatan yang beranggapan bahwa suatu fenomena
bukanlah realitas yang berdiri sendiri. Fenomena yanng tampak merupakan
objek yang penuh dengan makna yang transendental. Dunia sosial keseharian
tempat manusia hidup senantiasa merupakan suatu yang inter subjektif dan sarat
dengan makna.26 Dengan demikian, fenomena yang di pahami oleh manusia
adalah refleksi dari pengalaman transedental dan pemahaman tentang makna.
Dengan fenomenologi kita dapat mempelajari bentuk-bentuk pengalaman dari
sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung, seolah-olah kita
23
Burhanuddin Salam (1988), Logika Formal, Filsafat Berfikir, (Jakarta, Bina Aksara,), hal.
13
24
M.S. Kaelan, 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta:
Paradigma, hal. 84
25 A. Chaedar Alwasilah, ( 2008). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya., hal. 24
26 Stephen W. Little John (2005) Little John, Stephen W., 2005, Theories of Hu- man
Communication: Eighth edition, Canada, Thomson Wardsworth), h. 336
2016
8
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mengalaminya sendiri. Fenomenologi tidak saja mengklasifikasikan setiap
tindakan sadar yang dilakukan, namun juga meliputi prediksi terhadap tindakan di
masa yang akan datang, dilihat dari aspek-aspek yang terkait dengan- nya.
Semuanya itu bersumber dari bagaimana seseorang memaknai objek dalam
pengalamannya. Oleh karena itu, tidak salah apabila fenomenologi juga diartikan
sebagai studi tentang makna,
yang makna tersebut lebih luas dari sekedar
bahasa yang mewakilinya.
Tahapan-tahapan penelitian fenemenologi, adalah sebagai berikut : (a). Epoche,
adalah
pemutusan
hubungan
dengan
pengalaman
yang
peneliti
miliki
sebelumnya. Dalam melakukan penelitian fenomenologi, epoche ini mutlak harus
ada, terutama ketika menempatkan fenomena dalam kurung (bracketing method)
dan memisahkan fenomena dari keseharian dan dari unsur-unsur fisiknya, dan
ketika mengeluarkan “kemurnian” yang ada padanya. Jadi epoche adalah cara
untuk melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang bebas, (b). Reduksi, ketika
epoche adalah langkah awal untuk “memurnikan” objek dari pengalaman dan
prasangka awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalah menjelaskan
dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Tidak hanya dalam term
objek secara eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal,
pengalaman, ritme dan hubungan antara fenomena “aku”, sebagai subjek yang
diamati. Fokusnya terletak pada kualitas pengalaman, sedangkan tantangannya
ada pada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan makna dari pengalaman. Dengan
demikian proses ini terjadi lebih dari satu kali.27
4. Metode transendental
Transendental
secara
harafiah
dapat
diartikan
sebagai
sesuatu
yang
berhubungan dengan transenden atau sesuatu yang melampaui pemahaman
terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah. Hal-hal yang transenden
bertentangan dengan dunia material. Dalam pengertian tersebut, filsafat
transendental dapat disamakan dengan metafisika. Bahkan Immanuel Kant
menggnakan kata transendental ketika menyebut transendental aplikasi prinsip
dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas
pengalaman. Dalam skolatisme, transendental bersifat superkategoris. Dikatakan
seperti itu karena cakupan hal transendental lebih luas daripada kategori-kategori
tradisional dari filsafat skolastik yaitu forma atau bentuk dan materi, aksi, potensi,
dsb. Hal-hal transendental mengungkapkan ciri universal dan adiinderawi dari
yang ada. Tanda-tanda tersebut ditangkap melalui intuisi yang mendahului
27 Engkus Kuswarno, 2009, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi,
Pedoman dan Contoh Penelitian, Bandung : Widya Padjadjaran: 47-53
2016
9
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pengalaman apapun. Dalam filsafat neo-skolastik, transenden menunjukkan
eksistensi yang mengatasi kegiatan berpikir, kesadaran, dan dunia. Sedangkan
kata transendental menunjuk konsep yang karena sifatnya universal melampaui
kategori-kategori atau tidak dapat diperas ke dalam satu kategori saja. Konsep
eksiten itu sendiri dan konsep mengenai atribut hakiki yang termasuk eksisten
disebut sebagai transendental.
E. Nama Filsafat Manusia
Filsafat manusia, pada saat ini lazim juga disebut dengan psikologi. Namun, agar
psikologi yang dimaksud dalam filsafat manusia ini berbeda dengan yang lain, maka diberi
tambahan psikologi rasional atau psikologi spekulatif atau psikologi metafisis. Penamaan
tersebut ternyata juga kontroversial di kalangan psikolog, sehingga untuk membedakan
dengan perbedaan yang jelas antara filsafat manusia dan psikologi maka filsafat manusia
dikenal pula dengan antropologi metafisik atau antropologi filsafati.
Penamaan antropologi ini berkaitan dengan kajian dari antroplogi sendiri yang
membahas mengenai manusia. Istilah Antropologi berasal dari bahasa Yunani, anthropos
dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Secara sederhana,
pengertian Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia. Menurut William A Haviland,
ahli Antropologi asal Amerika Serikat, Pengertian Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari keanekaragaman manusia dan kebudayaannya. Dengan mempelajari kedua
hal tersebut, Antropologi adalah studi yang berusaha menjelaskan tentang berbagai macam
bentuk perbedaan dan persamaan dalam aneka ragam kebudayaan manusia. Sedangkan,
menurut Koentjaraningrat, ahli Antropologi Indonesia, pengertian Antropologi adalah ilmu
yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk
fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkan.
F. Hubungan Filsafat Manusia dan Psikologi
Filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran
dengan sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya, filsafat memang bertengkar dari pada
yang dialami manusia, karena tak ada pengetahuan jika tidak bersentuhan lebih dahulu
dengan indra, sedangkan ilmu yang hendak menelaah hasil pengindraaan itu tidak mungkin
mengambil keputusan dengan menjalankan pikiran, tanpa menggunakan dalil dan hukum
pikiran yang tidak mungkin dialaminya. Bahkan pikiran manusia itu ada serta mampu
mencapai bagaimana budi manusia dapat mencapai kebenaran itu.
Sebaliknya, filsafat pun memerlukan data dari ilmu. Jika, ahli filsafat manusia hendak
menyelidiki manusia itu serta hendak menentukan apakah manusia itu, ia memang harus
mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam dengan hasil penyelidikannya. Kesimpulan
filsafat tentang kemanusiaan akan sangat pincang dan mungkin jauh dari kebenaran jika
tidak menghiraukan hasil psikologi
2016
10
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam berbagai literatur disebutkan, sebelum menjadi disiplin ilmu yang mansiri,
psikologi memiliki akar-akar yang kuat dalam ilmu kedokteran dan filsafati yang hingga
sekarang masih tampak pengaruhnya. Dalam ilmu kedokteran, psikologi berperan
menjelaskan apa-apa yang berfikir dan terasa oleh organ-organ biologis (jasmaniah).
Adapun dalam filsafati yang memecahkan masalah-masallah rumit yang berkaitan dengan
akal, kehendak, dan pengetahuan.
Bruno membagi pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling
berhubungan. Pertama, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “roh'. Kedua, psikologi
adalah ilmu pengetahuan mengenai “kehidupan mental', Ketiga, Psikologi adalah ilmu
pengetahun mengenai :roh”, Kedua,psikologi adalah ilmu pengetahuan “mengenai mental”,
Ketiga psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “tingkah laku” organisme.
Pengertian pertama merupakan definisi yang paling kuno dan klasik (bercita rasa
tinggal dan bersejarah) yang berhubungan dengan filsafati Plato (427-347 SM) dan
Aristoteles (384-322 SM). Mereka menganggap bahwa kesadaran manusia berhubungan
dengan rohnya. Oleh karena itu, studi mengenai kesadaran dan proses mental manusia
merupakan bagian dari studi tentang roh.
G. Manfaat Mempelajari Filsafat Manusia
Mempelajari filsafat manusia, maka kita akan dibawa kepada suatu panorama
pengetahuan yang luas, dalam, dan kritis, yang menggambarkan esensi manusia.
Panorama pengetahuan seperti itu, paling tidak, mempunyai manfaat ganda, yakni manfaat
praktis dan teoretis.
Secara praktis filsafat manusia tidak saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa
manusia secara menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah sesungguhnya diri
kita di dalam pemahaman tentang manusia yang menyeluruh itu. Pemahaman yang
demikian pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil keputusan-keputusan
praktis atau dalam menjalankan berbagai aktifitas hidup sehari-hari, dalam mengambil
makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani dalam menentukan arah dan
tujuan hidup kita.
Sedangkan secara teoretis, filsafat manusia mampu memberian kepada kita
pemahaman yang esensial tentang manusia, sehingga pada gilirannya, kita bisa meninjau
secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik teori-teori yang terdapat didalam ilmuilmu tentang manusia.
Manfaat lainya dalam mempelajari filsafat manusia adalah mencari dan menemukan
jawaban tentang siapakah sesungguhnya manusia itu. Setelah kita mempelajari filsafat
manusia, maka paling tidak kita akan dapatkan sebuah pelajaran berharga tentang
kompleksitas manusia, yang tidak habis-habisnya dipertanyakan apa makna dan hakikatnya.
Karena kompleksitas yang melekat pada manusia itu, seperti dari beberapa filsup yang
2016
11
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menarik kesimpulan bahwa esensi manusia pada prinsipnya adalah sebuah misteri, sebuah
teka-teki yang barangkali tidak akan pernah terungkap secara tuntas kapan dan oleh siapa
pun.
2016
12
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal (2003), Filsafat Manusia: memahami manusia melalui filsafat (Bandung:Rosda
Karya
Bagus, Lorens (2000), Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Bakker, Anton (2000), Antropologi Metafisik, Yogyakarta: Kanisius
Hadiwijono Harun (1980), Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 8
Hardiman, Budi (2002), Pemikiran-Pemikiran yang membentuk dunia Modern, Jakarta,
Penerbit Airlangga
Haviland, William A, (1999) Antropologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, Jakarta:
Erlangga
Jabbâr, Al-Qâdhi al- al-Muniyyât wa al-‘Amal (Iskandariyah: Dâr al-Ma’ârif,1985
John, Stephen W. Little (2005) Theories of Hu- man Communication: Eighth edition,
Canada, Thomson Wardsworth
Kattsoff, Louis O, (1992) Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana)
Koentjaraningrat (1987) Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Jakarta: Univesitas Indonesia
Press
Kuswarno, Engkus, 2009, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi,
Pedoman dan Contoh Penelitian, Bandung : Widya Padjadjaran
Leenhouwers, P. (1988), Manusia dan Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang Manusia,
(Jakarta: Gramedia
M.S.
Kaelan, 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta:
Paradigma,
Muthahari Murtadha (1994), Perspektif al-Qur`an tentang Manusia dan Agama (terj),
(Bandung: Mizan
Nasr, Sayyed Hossein dan Oliver Leaman (ed), (2001), History of Islamic Philosophy (Qum:
Ansariyan Publication
Nasution, Harun (1983), Teologi Islam (Jakarta: UIP,
Poedjawijatna (1974), Pembimbing ke Arah Alam FIlsafat (Jakarta, PT Pembangunan), 11
Salam, Burhanuddin (1988), Logika Formal, Filsafat Berfikir, (Jakarta, Bina Aksara,), hal. 13
Sastrapratedja. M (ed) (1982) Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat
(Jakarta: Gramedia)
Sastraprateja M.,(ed) Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat (Jakarta: PT
Gramedia, 1982
Shihab M. Quraish,(1997) Wawasan al-Qur`an (Bandung: Mizan
Tafsir, Ahmad (1990), Filsafat Umum (Bandung: Rosda karya), 9
Utsman, Abd al-Rahmân (1987), al-Insân, al-ruh, al-`Aql wa al-Nafs (Makkah: Da`wah alHaq)
Weij, P.A. van der, (2000), Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia (Yogyakarta: Kanisius)
2016
13
Filsafat Manusia
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download