BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aristoteles

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aristoteles mengungkapkan bahwa manusia membutuhkan pendidikan.
Dewa sebagai makhluk rohani tidak membutuhkan pendidikan, dan
binatang sebagaimana sudah dikodratkan berbeda dengan manusia juga
tidak membutuhkan pendidikan. Manusia yang hanya memerlukan
pendidikan. Hal tersebut bertolak dari pemahaman tentang pokok
persoalan pendidikan, yakni manusia itu sendiri (Sudiarja, 2007, hal. 4).
Manusia memiliki nama khas “homo educandum” sebagaimana sering
disinggung dalam perkuliahan filsafat manusia dan filsafat pendidikan.
Manusia menjadi aktor utama dalam pendidikan. Pendidikan sebagai
sistem yang dijalankan dari, oleh dan untuk manusia.
Pendidikan sebagai proses inisiasi, menurut Driyarkara, masyarakat
modern memahami proses inisiasi tersebut dengan pendidikan formal.
Pemahaman tersebut mengimplikasikan pengertian bahwa orang terdidik
adalah orang yang berbudaya. Oleh karena itu, kekurangan memeroleh
pendidikan dapat membuat orang “kurang ajar” dan karenanya sekaligus
kurang berbudaya. Driyarkara memandang pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai, sehingga persoalan berbudaya berkaitan dengan
penghayatan nilai-nilai. Driyarkara menganggap seseorang masuk dalam
lingkup budaya bukanlah tindakan yang semata-mata alami terjadi dengan
2
sendirinya, melainkan proses aktif manusia membudaya secara sistematis
dan terencana (Sudiarja, 2007, hal. 10).
Pendidikan sebagai aspek mendasar bagi manusia, sehingga sudah
seharusnya menjadi perhatian sejak manusia dilahirkan. Sejak dunia
neurosains modern menemukan bahwa perkembangan otak anak yang
paling cepat adalah pada usia 0-6 tahun, maka dunia pendidikan mulai
memerhatikan pelayanan pendidikan terhadap anak-anak usia dini. Para
psikolog yang memahami perkembangan anak, sering mengatakan bahwa
usia anak yang paling efektif dalam menyerap stimulus yang diberikan
oleh lingkungan hingga mencapai titik optimum. Oleh sebab itu, usia
anak-anak, khususnya 0-6 tahun, sering disebut sebagai usia emas (the
golden ages) (Suyadi, 2011, hal. v). Periode yang sangat penting dan
menentukan tersebut, penting untuk menanamkan berbagai nilai yang
dapat menjadi karakter dan watak pada anak-anak. Hal ini akan
memengaruhi pola perilaku anak hingga usia dewasanya. Dengan alasan
demikian, dapat dilihat yang menjadi latar belakang pentingnya
mengangkat isu pendidikan untuk anak usia dini, dengan tidak
mengesampingkan pendidikan untuk usia remaja dan seterusnya.
Pendidikan untuk anak usia dini atau yang dikenal dengan PAUD
sedang marak digalakkan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Pemerintah melalui UU RI No. 20/2003 mengatur pelayanan pendidikan
untuk anak usia dini, sehingga ada usaha dari negara untuk meningkatkan
mutu pendidikan dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang
3
berkualitas. Semakin baik kualitas pendidikan, semakin baik pula mutu
sumber daya manusianya. Semakin berkualitas sumber daya manusia,
semakin baik pula negaranya. Pendidikan untuk anak usia dini itu dalam
undang-undang tersebut dapat diselenggarakan melalui tiga bentuk yaitu:
pendidikan formal pada lembaga Taman Kanal-Kanak (TK), Raudhatul
Athfal (RA) dan bentuk lain yang sejenis ; dan pendidikan anak usia dini
non-formal pada Kelompok Belajar (KB/playgroup); serta Pendidikan
Anak usia dini informal berbentuk Tempat Pengasuhan Anak (Suyadi,
2011, hal. vi-vii). Di samping penggalakan program PAUD, di perguruan
tinggi pedagogi mulai banyak muncul jurusan khusus keguruan PAUD
melihat dibutuhkannya tenaga pendidik bagi PAUD itu sendiri.
Kurikulum
pendidikan
merupakan
instrumen
penting
bagi
keberlangsungan pendidikan. Arah dan tujuan pendidikan ditentukan oleh
berbagai hal, termasuk elemen kurikulum pendidikan. Berdasarkan realitas
yang ada, sering terjadi perubahan terhadap kurikulum pendidikan di
Indonesia, hingga yang terbaru tentang perubahan kurikulum pendidikan
tahun 2013.
Perubahan kurikulum memiliki alasan mengenai pentingya perubahan
dilakukan, sehingga diharapkan kurikulum pendidikan tetap berorientasi
pada tujuan pendidikan yang menjadi kehendak umum. Namun, dari
berbagai kurikulum yang pernah ada, muncul pertanyaan sesungguhnya
kurikulum yang seperti apa yang ideal bagi pendidikan untuk anak usia
dini. Salah satu kendala dalam pengembangan pendidikan ialah
4
keengganan guru untuk berubah dan perasaan puas dengan yang telah
dicapai saat ini. Jebakan mental dan rutinitas kinerja membuat kurikulum
dilaksanakan tetapi hanya setengah-setengah (Mujiran, 2013, hal. 20-21).
Hal tersebut menjadi alasan pentingnya persoalan kurikulum pun turut
serta dikaji.
Para orangtua memiliki pengaruh sangat besar bagi kehidupan anakanak sejak awal kehidupan mereka. Orangtua dapat memiliki kontak yang
sangat akrab dengan anak-anak sejak masih kecil. Bentuk kontak ini
membentuk kepercayaan; dengan kepercayaan akan tumbuh komitmen.
Para orangtua yang memiliki komitmen terhadap kesejahteraan anaknya
dapat memiliki pengaruh yang positif pada anak-anaknya (National
Institute of Child Health Development (NICHD), 2004, hal. 8). Peran
orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak juga mendapat kedudukan
yang vital, sehingga tidak semata-mata pendidikan anak usia dini
diserahkan kepada lembaga pendidikan. Masyarakat sekitar kita, kadang
masih ada orangtua yang tidak ko-operatif dengan lembaga pendidikan,
sehingga dapat menimbulkan permasalahan pada anaknya. Misalnya,
anak-anak mendapat pengajaran dan pendidikan di kelompok belajar atau
taman kanak-kanak, dengan berbagai macam asupan pengalaman baru.
Namun, orangtua yang berperan sangat vital kemudian mengabaikan
perkembangan anak, dan menghilangkan pengawasannya, sehingga anak
dapat tumbuh tidak optimal.
5
Persoalan yang memengaruhi pendidikan dan pengasuhan anak usia
dini, terutama yang berkaitan dengan perubahan atau dinamika kehidupan.
Kekerasan terhadap anak; penyakit anak, seperti keracunan timbal, asma,
gizi buruk; kemiskinan; pengasuhan dan pendidikan berkualitas rendah;
ketidaksetaraan program dan layanan; dan ketidakmampuan masyarakat
memenuhi kebutuhan semua siswa menjadi persoalan publik, sehingga
membutuhkan sinergi antar berbagai pihak dalam penyelesaiannya.
Perubahan adalah satu hal yang tetap dalam bidang pendidikan anak usia
dini. Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah pengambilan keputusan
apa dan mana yang terbaik bagi anak dan keluarga dalam rangka
memenuhi kebutuhan dan permintaan politik masyarakat (Morrison, 2012,
hal. 32).
Pendidikan untuk anak usia dini (PAUD) di Indonesia, meski saat ini
sedang dalam progres yang baik dalam perihal pertumbuhan keberadaan
lembaga formal di berbagai daerah. Namun, patut diperhatikan juga
perihal kualitas dari pendidikan anak usia dini tersebut. Banyak pihak
yang terkait dengan suksesi pendidikan di Indonesia, tidak hanya pendidik,
keluarga,
tetapi
lingkungan
sosial
juga
turut
menjadi
penentu
keberlangsungan dan keberhasilan program PAUD. Pendidikan anak tidak
lepas dari model atau pola asuh anak. Banyak sekali pola yang ada di
masyarakat, sehingga menciptakan berbagai macam parenting yang secara
implikatif berpengaruh juga terhadap perkembangan watak anak-anak di
kemudian hari. Ada pola yang tegas dan diktator; lembut dan fleksibel;
6
mengikuti arus dan penurut; bahkan ada pola yang membiarkan anak
tumbuh kembang dengan sendirinya, tanpa ada pengawasan yang disiplin.
Hal ini menjadi diskusi mengenai bagaimana sebenarnya pola yang baik
dan tepat dalam mengasuh anak. Dengan landasan tersebut, diharapkan
persoalan pengasuhan dan pendidikan anak usia dini akan terjawab pula
oleh pemikiran filsafat pendidikan John Dewey.
John Dewey (1859-1952) merupakan filsuf Amerika yang membidangi
berbagai macam cabang filsafat, seperti: Metafisika, Epistemologi, Etika,
Logika, Filsafat Ilmu, Estetika, Filsafat Sosial dan Politik selain itu juga
ahli dalam Psikologi. Akan tetapi, Dewey menekankan pada Filsafat
Pendidikan, karena filsafat pendidikan sebagai cabang filsafat paling
penting dan fundamental. Dewey menganggap cabang filsafat lainnya
dalam beberapa hal, tergantung pada filsafat pendidikan. Dewey
menganggap Filsafat Pendidikan adalah filsafat kehidupan. John Dewey
terkenal dengan aliran filsafat Instrumentalisme, beberapa penulis
memberi nama aliran filsafat Dewey dengan “Pragmatic Naturalism”
yang mendapatkan pengaruh dari Pragmatisme Charles Sanders Peirce
(Nodding, 2007, hal. 23-26).
John Dewey melakukan banyak hal untuk mengatur kembali
pendidikan.
Teori
tentang
pendidikannya
yang
biasa
disebut
progresivisme, memberi penekanan pada anak-anak dan minat anak-anak
bukanlah pada mata pelajaran. Penekanan yang berpusat pada anak
membuat munculnya istilah-istilah kurikulum yang berpusat pada anak
7
dan sekolah yang berpusat pada anak. Topik tersebut sedang dikedepankan
pada saat ini (Morrison, 2012, hal. 68).
Pemikiran John Dewey mengenai pendidikan memiliki corak
naturalistik. Pendidikan dalam pengertian yang lebih luas, berarti proses
kehidupan sosial. Kehidupan adalah sebuah proses pembaharuan diri
melalui tindakan dalam lingkungan. Pendidikan ini terdiri atas terutama
pengiriman (transmission) pengalaman melalui komunikasi. Komunikasi
adalah proses berbagi pengalaman hingga ini menjadi sebuah milik umum.
Hal ini mengubah watak kedua belah pihak yang ambil bagian di
dalamnya. Saat setiap susunan sosial adalah pengaruh mendidik, pengaruh
mendidik pertama menjadi sebuah bagian penting dari tujuan asosiasi
hubungannya dengan asosiasi orang tua dengan orang muda. Sebagai
masyarakat menjadi lebih kompleks dalam struktur dan sumber daya,
kebutuhan dari belajar dan mengajar secara resmi atau pun intensional
menjadi berkembang (Dewey, 1916, hal. 11).
Dewey memiliki pengaruh dalam bidang Filsafat Pendidikan, terutama
dalam pendidikan anak. Mengingat pendidikan anak sangat penting,
pendidikan awal pada anak usia dini sebagaimana telah diungkapkan di
awal, maka pemikiran Dewey akan menjadi referensi dalam analisis
persoalan pendidikan untuk anak usia dini di Indonesia, sekaligus
digunakan sebagai bahan reflektif dalam penelitian ini. Filsafat Pendidikan
Dewey akan menjadi sudut pandang dalam persoalan pendidikan anak usia
dini, dengan memerhatikan aspek-aspek filosofis pada pendidikan anak,
8
seperti, epistemologi pendidikan, dan aksiologi pendidikan. Dengan
harapan akan mampu menjawab persoalan pendidikan untuk anak usia dini
dengan perspektif filsafat pendidikan Dewey. Dengan demikian,
pemikiran Dewey akan diketahui pula relevan atau tidak dengan
pendidikan anak usia dini, khususnya di Indonesia.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat disusun
beberapa pokok rumusan masalah yang akan diteliti.
1.) Apa konsep Pendidikan untuk anak usia dini?
2.) Apa konsep Filsafat Pendidikan John Dewey?
3.) Bagaimana analisis hubungan antara konsep Pendidikan untuk
anak usia dini dengan Filsafat Pendidikan John Dewey?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
bidang filsafat dengan
menggunakan objek material Pendidikan untuk anak usia dini, dan
objek formal Filsafat Pendidikan John Dewey. Meski telah terdapat
penelitian yang membahas mengenai Pendidikan, maupun tokoh John
Dewey sebagai objek material maupun sebagai objek formalnya.
Namun, penelitian ini akan menjadi sebuah penelitian yang berbeda
dengan penelitian sebelumnya. Berikut dipaparkan beberapa penelitian
yang terkait dengan pendidikan dan Filsafat John Dewey.
1.) Ahmad Samawi (4498/IV-9/2/92). 1995. Konsep Demokrasi
Dalam Pendidikan Menurut Progresivisme John Dewey. Tesis.
9
Yogyakarta: Pascasarjana Filsafat UGM. Penenilitian tersebut
menginventarisasi dan melakukan evaluasi tentang konsep
demokrasi dalam pendidikan. Relevansi konsep John Dewey
dengan pendidikan nasional di Indonesia.
2.) Muhammad Arafah Sinjar (82/39657/FI/1283). 1986. Pendidikan
Pragmatisme John Dewey Dan Kaitannya Dengan Pendidikan
Nasional. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM. Skripsi
tersebut menjelaskan mengenai konsep pendidikan pragmatisme
John Dewey dengan perspektif pendidikan nasional Indonesia
sebagai bentuk komparasi konsep pendidikan.
3.) Nofi Nachriatun Nurchijah (97/116565/FI/026649). 2003. Konsep
Kurikulum dalam Pendidikan menurut John Dewey. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM. Skripsi tersebut menjelaskan
mngenai konsep kurikulum pendidikan menurut perspektif John
Dewey. Kurikulum yang digagas Dewey adalah Kurikulum
Eksperimental yang berdasarkan pengalaman.
4.) R. Adhi Putro H (05/185493/FI/03229). 2009. Konsep Pendidikan
Multikultural
Menurut
Perspektif
Filsafat
Pendidikan
Progresivisme John Dewey. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Filsafat
UGM. Skripsi tersebut meneliti tentang pendidikan multikultural
dari perspektif Filsafat Pendidikan John Dewey, khususnya aliran
Progresivisme.
10
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi khalayak
baik secara langsung maupun tidak langsung dan sebagai sumbangsih
bagi perkembangan dunia pendidikan. Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah:
1.) Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan pendidikan, khususnya referensi atau refleksi
pendidikan anak usia dini di Indonesia. Pemerintah dan para
pendidik serta pemerhati pendidikan anak usia dini, diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan
anak usia dini.
2.) Bagi Ilmu Filsafat
Penelitian ini diharapkan sebagai kontribusi akademis di dalam
perkembangan Ilmu Filsafat. Filsafat Pendidikan dengan
pembahasan mengenai pendidikan anak usia dini, dapat
dijadikan sebagai diskursus akademis yang produktif.
3.) Bagi Peneliti
Hasil penelitian memiliki manfaat bagi peneliti sebagai dua
manfaat yakni, pertama, penelitian ini sebagai aktualisasi
pemikiran filsafat untuk digunakan sebagai kerangka analisis
terhadap persoalan pendidikan anak usia dini.
11
B. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah:
1.) Mendeskripsikan konsep Pendidikan untuk anak usia dini
2.) Mendeskripsikan Filsafat Pendidikan John Dewey
3.) Menelaah konsep Pendidikan untuk anak usia dini menurut pandangan
Filsafat Pendidikan John Dewey
C. Tinjauan Pustaka
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 20 Tahun 2003
menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pendidikan untuk anak usia
dini di Indonesia, sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat 14.
“Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan
yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut.”
Program Pendidikan untuk anak usia dini adalah program bagi
anak-anak yang di dalamnya terkandung filosofi, teori-teori, dan
kurikulum yang membimbing pengajaran dan pembelajaran kepada anak
(Morrison, 2012, hal. 94). Pengasuhan anak memiliki peranan penting
dalam sistem pendidikan. Pengasuhan anak adalah bagian dari sistem tak
terputus yang diberikan kepada anak-anak dimulai sejak lahir hingga
Sekolah Menengah Atas dan selanjutnya. Dengan demikian, pengasuhan
anak dijadikan salah satu dasar Pendidikan untuk anak usia dini.
(Morrison, 2012, hal. 95)
12
Perkembangan anak secara esensial merupakan proses yang
membawa anak menjadi pribadi yang mengetahui dan memiliki nilai,
norma dan perasaan (Nurchijah, 2003, hal. 57). Konsep kurikulum yang
ditawarkan Dewey adalah kurikulum yang menekankan kebebasan anak
untuk mengekspresikan diri agar memeroleh pengalaman yang dapat
bermanfaat bagi dirinya dan perkembangan sosial (Nurchijah, 2003, hal.
123). Hal tersebut disampaikan Nurchijah dalam skripsi filsafat tentang
konsep kurikulum pendidikan menurut John Dewey.
Muhammad Arafah Sinjar (Sinjar, 1986, hal. 16) dalam skripsinya
yang berjudul “Pendidikan Pragmatisme John Dewey dan Kaitannya
dengan Pendidikan Nasional”, menjelaskan pendidikan memegang
peranan penting dalam kehidupan, karena pendidikan merupakan proses
kelanjutan sosial dari kehidupan. Manusia menjadi anggota kelompok
sosial, sehingga realitas tersebut menjadi dasar penempatan persoalan
pendidikan sebagai bagian penting dari kehidupan. Oleh karena itu,
manusia sebagai anggota sosial seharusnya menggairahkan diri dalam
dunia penyelidikan dalam rangka membangun manusia yang bermanfaat.
Pendidikan menurut Pragmatisme John Dewey menekankan
kepada proses yang dapat membentuk manusia mandiri dan berkualitas.
Hal tersebut dibutuhkan dalam antisipasi keadaan manusia yang senantiasa
berubah. Sinjar juga menyatakan relevansi pendidikan Pragmatisme John
Dewey dengan pendidikan Nasional bangsa Indonesia. Pendidikan
Nasional Indonesia bercorak Pancasila, karena berlandaskan nilai-nilai
13
Pancasila. Meski demikian, ada keterkaitan antara konsep pendidikan
Dewey dengan konsep Pendidikan Nasional, seperti; pada aspek
peningkatan kualitas potensi diri; aspek asas kemerdekaan dan kebebasan
manusia dalam mengaktualisasikan diri. (Sinjar, 1986, hal. 86-87)
Pendidikan untuk anak usia dini disokong oleh tradisi kuat yang
menganggap “bermain” sebagai hal yang esensial untuk belajar dan
berkembang. Hal ini secara substansial didasarkan pada pemikiran para
pionir pemikir pendidikan seperti, Jean-Jacques Rousseau, John Dewey,
Maria Montessori, Friedrich Froebel, Margareth MacMillan dan Rudolf
Steiner. Bagaimananpun, melanjutkan dukungan dengan antusias terhadap
“bermain” yang ditempatkan dalam kurikulum masih meinggalkan
persoalan, terutama sekali melebihi sekolah usia dini. Aturan, tujuan dan
nilai dari “bermain” dalam kurikulum usia dini masih berlanjut menjadi
perdebatan. Terdapat perdebatan terus-menerus tentang hubungan antara
“bermain”, “belajar” dan “mengajar” (Wood & Attfield, 2005, hal. 1).
Konsep kurikulum yang masih dipahami secara sempit, dapat
membawa ke persoalan pemahaman bahwa dengan mengubah kurikulum
berarti sudah mengubah sekolah, apabila yang dimaksud dengan
kurikulum adalah sekedar daftar mata pelajaran dalam silabus yang dicetak
rapi dengan kata pengantar yang muluk (Beeby, 1981, hal. 144). Penelitian
ini akan membahas juga mengenai kurikulum Pendidikan Anak usia dini
untuk memeroleh gambaran yang komprehensif. Dalam penelitian ini,
14
pembahasan kurikulum pendidikan PAUD akan merujuk kepada ketentuan
pemerintah yang telah diperkenalkan sebagai kurikulum PAUD 2013.
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang diciptakan dan
untuk masyarakat itu sendiri. Guru-guru juga merupakan bagian dari
masyarakat, serta murid-murid juga datang dari keluarga biasa yang
menghabiskan waktu lebih banyak di luar sekolah. Dengan kecakapan dan
petunjuk-petunjuk yang telah ditentukan, sekolah secara intelektual, moral
dan sosial harus lebih mampu memajukan masyarakat tanpa ada
kesenjangan pendidikan (Beeby, 1981, hal. 293).
Salah satu hal yang penting bagi guru atau pendidik serta orangtua
dalam hubungannya dengan anak ialah mengetahui hakikat perkembangan
anak, sehingga akan mengerti bagaimana anak dan remaja tumbuh dan
berkembang dalam hal kognitif, sosial dan, moral (Djiwandono, 2002, hal.
70).
Perkembangan masa kanak-kanak dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa
pokok:
perkembangan
fisik;
perkembangan
kognisi;
perkembangan bahasa; perkembangan sosio-emosional; perkembangan
moral (Djiwandono, 2002, hal. 70-84). Oleh karena itu, pengajaran
sebelum sekolah dan di Taman Kanak-Kanak harus memerhatikan
perkembangan anak.
Pendidikan untuk anak usia dini sebagai objek material penelitian
berkaitan dengan bidang ilmu psikologi, terutama psikologi pendidikan
dan psikologi perkembangan, sehingga penelusuran terhadap referensi
bidang ilmu tersebut dilakukan untuk menunjang penelitian berkaitan
15
dengan objek material tersebut. Hanya saja, penelitian ini menggunakan
perspektif atau objek formal salah satu cabang umum filsafat, yakni
Filsafat Pendidikan. Pembeda antara penelitian ini dengan penelitian yang
berkaitan dengan objek material adalah letak perspektif yang digunakan
sebagai
pisau
analisis
utama,
dengan
tidak
mengesampingkan
kemungkinan menggunakan perspektif teori lainnya.
D. Landasan Teori
Filsafat Pendidikan sebagaimana telah diketahui mulai dari Yunani
Kuno sebagai segi yang utuh dari filsafat Socrates (470-399 SM). Paling
penting di antara yang terakhir adalah sang orator Isocratres (436-338 SM)
yang mendirikan sebuah sekolah retorika yang tumbuh subur sekitar empat
tahun setelah Plato membuka akademinya. Kaum Sofis, Orator, dan filsuf
semuanya berkembang mengarah pendidikan yang lebih tinggi, dan
mempertahankan pendekatan itu melawan tuntutan kompetisi dari
kompetitor mereka. Hal ini adalah satu yang paling penting titik tolak
untuk filsafat pendidikan (Curren, 2007, hal. 7-8).
Filsafat Pendidikan adalah penjabaran filsafat ke dalam pendidikan
atau tinjauan pendidikan dari sudut pandang filsafat (Barnadib, 2002, hal.
19). Penjelasan mengenai aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi
dalam pendidikan merupakan kajian filosofis terhadap pendidikan.
Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung, filsafat pendidikan adalah
aktivitas pemikiran yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk
menyusun proses pendidikan, menyelaraskan dan menerapkan nilai dan
16
tujuan yang ingin dicapainya. Filsafat pendidikan merupakan kesatuan
utuh dengan pengalaman kemanusiaan dan pendidikan itu sendiri
(Prasetya, 1997, hal. 22).
John Dewey secara sederhana menyamakan filsafat dengan
pendidikan. Pendidikan dan filsafat adalah mengamati dan ibarat
membalik koin yang sama; kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang
sama, hanya saja dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dewey
menyatukan filsafat dan pendidikan pada kesepakatan keduanya dengan
tema yang sama; keduanya melihat pemecahan masalah kehidupan;
keduanya sepakat dengan persoalan-persoalan nilai, dengan apa yang baik
dan buruk, apa yang benar dan kemudian diinginkan, atau salah dan
kemudian tidak diinginkan, dan dengan menemukan kebenaran dan
pengetahuan pada situasi yang beragam, tanpa sebuah solusi yang tepat
dan efektif tidak bisa ditemukan. Hal ini adalah cara untuk melihat filsafat
pendidikan mempunyai prospek yang besar untuk mengembangkan
pendidikan karena pendidikan adalah metode meningkatkan pertanyaanpertanyaan untuk filsafat dari sisi dalam pendidikan dan menemukan
solusi untuk persoalan pendidikan (Akinpelu, 1981, hal. 6-8).
John Dewey meletakkan pada posisi yang utama sasaran hasil yang
mana “berbicara secara luas”, didasari pada cita-cita sebuah negara
demokrasi. Sasaran tersebut bahwa anak-anak seharusnya menjadi orang
dewasa yang toleran dan rasional, mampu menanggulangi dengan tingkat
tinggi yang secara relatif dari kebebasan sosial tanpa menyalahgunakan
17
kebebasan
itu
untuk
menghubungkan
dengan
kebebasan
atau
kesejahteraan yang lain. Dewey berargumen bahwa pendidikan harus
menghindari pelemahan semangat kapasitas individu untuk berpikir
mandiri dan mempromosikan gagasan bahwa setiap pertanyaan hanya ada
satu jawaban benar (Barrow & Woods, 2006, hal. 137).
Pendidikan dalam bentuk kebetulan dan disengaja adalah selalu
menjadi sebuah kepentingan utama dalam filsafat. Terutama, tidak hanya
banyaknya perhatian. Dewey telah memberikan perhatian untuk filsafat,
terutama juga tindakan dan teori pendidikan yang diperankan dalam
pengembangan gagasannya yang paling dasar (Schilpp, 1951, hal. 419).
Dewey menginterpretasi pendidikan sebagai metode ilmiah dengan cara
yang manusia pelajari di dunia, memeroleh secara kumulatif pengetahuan
yang berarti dan bernilai, hasilnya, bagaimanapun menjadi fakta untuk
belajar kritis dan hidup cerdas (Dewey, 1938, hal. 10).
John Dewey memandang peroses pembelajaran anak dengan
prinsip learning by doing. Anak didorong untuk belajar dari aktivitas dan
kerja, selama belajar dihormati sebagai proses bertindak atas berbagai hal,
daripada sebagai sebuah proses yang pasif dalam menerima data hingga
makna. Aktivitas yang kreatif dan bentuk lainnya dari berbuat dan
bertindak. Oleh karena itu, aktivitas kerja dalam keseharian di sekolah dan
bahkan dalam makna yang lebih pokok dari pergerakan fisik akan menjadi
sebanyak segi yang dapat diunggulkan daripada sekolah tradisional
(Cohen, 1969, hal. 76-77).
18
E. Metode Penelitian
1.) Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bidang filsafat. Objek
material yang dibahas adalah konsep Pendidikan untuk anak usia dini.
Objek formal yang digunakan untuk mengganalisis persoalan PAUD
adalah Filsafat Pendidikan John Dewey.
Penelitian ini berjenis penelitian kepustakaan, dengan menelaah
objek material dari berbagai sumber buku atau pustaka lainnya, beserta
pendeskripsian objek formal yang diperoleh dari berbagai literatur.
Dengan demikian, data-data kepustakaan akan diolah dengan analisis
hasil yang mengacu kepada kerangka berpikir yang mengaitkan antara
objek material dan objek formal.
2.) Bahan Penelitian
Bahan penelitian menyesuaikan dengan jenis penelitian, berhubung
penelitian ini berjenis studi kepustakaan, maka akan dipetakan pustaka
primer dan pustaka sekunder.
2.1.) Pustaka Primer
Pustaka
Primer
digunakan
sebagai
rujuan
utama
dalam
melaksanakan penelitian ini. Pustaka primer terkait dengan pustaka
yang digunakan untuk mendeskripsikan objek material dan objek
formal secara lengkap dan komprehensif.
i.
Dewey, J. (1916). Democracy and Education. New York: The
Macmillan Company.
19
ii.
Dewey, J. (1938). Experience and Education. New York:
Collier Books.
iii.
Dewey, J. (1902). The Child and Curriculum. Chicago: The
University of Chicago Press.
iv.
Hani'ah. (2001). Agama Pragmatis. Magelang: IndonesiaTera.
v.
Morrison, G. S. (2012). Dasar-Dasar Pendidikan Anak usia
dini (5th ed.). (F. I. Dewi, T. Indeks, Penyunt., S. Romadhona,
& A. Widiastuti, Penerj.) Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia:
Indeks.
vi.
Schilpp, P. A. (1951). The Philosophy of John Dewey. New
York: Tudor Publishing Company.
2.2.) Pustaka Sekunder
Pustaka sekunder digunakan sebagai referensi atau rujukan di
samping dari pustaka primer. Pustaka sekunder berfungsi mendukung
kelengkapan data penelitian.
i.
Akinpelu, J. A. (1981). An Introduction to Philosophy of
Education. Hong Kong: Macmillan Publishers.
ii.
Bakker, A., & Zubair, A. C. (1990). Metodologi Penelitian
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
iii.
Beeby, C. E. (1981). Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan
Pedoman Perencanaan. (A. Bahasodan, N. Idris, Penyunt.,
BP3K, & YISS, Penerj.) Jakarta: LP3ES.
iv.
Curren, R. (2007). Philosophy of Education. Singapore:
Blackwell Publishing.
v.
Djiwandono, S. E. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Penerbit Grasindo.
vi.
Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
20
vii.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2009 Tentang Standar Pendidikan Anak usia
dini.
viii.
National Institute of Child Health Development (NICHD).
(2004). Adventures in Parenting: Bagaimana Sukses Berperan
Sebagai Orantua yang Baik. (N. H. Effendi, Penyunt., & I. N.
Kurniawan, Penerj.) Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Alinea.
ix.
Barnadib, I. (2002). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa.
3.) Langkah-langkah Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap berikut.
3.1. Inventarisasi bahan data: pengumpulan data dilakukan dengan
mengumpulkan referensi pustaka yang beragam untuk menjelaskan
objek material dan objek formal.
3.2. Klasifikasi data: referensi pustaka yang telah diperoleh akan
menjadi bahan penelitian, sehingga akan diklasifikasi menjadi sumber
primer dan sekunder.
3.3. Pengolahan dan sistematisasi data: mengolah dan menyusun
secara sistematis data juga dilaksanakan proses yang penting. Data dari
berbagai pustaka diolah dan disistematisasi berdasarkan kerangka
berpikir.
3.4. Analisis dan refleksi hasil penelitian: setelah data diolah,
kemudian akan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang disusun.
Setelah itu, akan direfleksikan terhadap kondisi realitas pendidikan
anak usia dini di Indonesia dan nilai-nilai ideal.
21
4.) Analisis Hasil
Analisis hasil penelitian dilaksanakan dengan memerhatkan aspekaspek sebagai berikut.
4.1. Deskripsi, yakni penjelasan secara jelas, lugas dan tegas mengenai
suatu hal tertentu. Pemikiran juga perlu dideskripsikan agar dapat
dimengerti oleh orang lain, sehingga akan menjadi sebuah petunjuk
yang bermanfaat bagi hubungan antar manusia.
4.2. Kesinambungan Historis, yakni rangkaian kegiatan dan peristiwa
dalam kehidupan setiap orang merupakan rantai yang tidak terputus.
Sesuatu yang baru berlandaskan yang dahulu, tetapi juga sebaliknya
bahwa yang lama mendapat arti dan relevansi baru dalam
perkembangan di saat kemudian (Bakker & Zubair, 1990, hal. 47)
4.3. Koherensi Internal, yakni terdapat hubungan internal yang
koheren. Meski ada “oposisi” di antaranya, tetapi unsur-unsur di
dalamnya tidak boleh bertentangan satu sama lain. Unsur-unsur
struktural menjadi hakikat universal ketika ada kesinambungan antara
unsur-unsur struktural tersebut (Bakker & Zubair, 1990, hal. 45-46).
4.4. Refleksi, yakni mencerminkan realita yang terjadi dengan nilai
sebagai sesuatu patokan yang seharusnya terjadi dalam segala
tindakan. Apakah realitas sudah sesuai dengan nilai-nilai, dan apakah
sebaliknya, bahwa nilai-nilai sudah terimplementasi secara nyata
dalam realitas. Refleksi digunakan untuk evaluasi dan kritik tentang
jarak yang terdapat diantara nilai dan fakta. Dalam skripsi ini, refleksi
22
terhadap persoalan pendidikan untuk anak usia dini dalam perspektif
Filsafat Pendidikan Progresivisme John Dewey.
F. Hasil yang Telah Dicapai
Hasil dari penelitian filsafat ini mengacu pada rumusan masalah:
1.) Memperoleh pemahaman mengenaii konsep pendidikan untuk
anak usia dini lebih dalam dan menyeluruh
2.) Memperoleh pemahaman Filsafat Pendidikan John Dewey
terkait dengan pendidikan anak
3.) Mampu merefleksikan antara konsep pendidikan untuk anak
usia dini yang dianggap ideal dengan realitas yang ada di
Indonesia
G. Sistematika Penulisan
Rencana penulisan skripsi ini akan disistematisasi secara garis
besar dalam lima bab sebagai berikut.
BAB I: menguraikan pendahuluan, yang memuat: latar belakang
masalah yang terdiri rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat
penelitian; tujuan penelitian; tinjauan pustaka; landasan teori; metode
penelitian yang terdiri dari jenis, bahan, alur dan analisis hasil penelitian;
hasil yang telah dicapai; serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II: menguraikan teori Filsafat Pendidikan John Dewey.
Sistematisasinya sebagai berikut, deskripsi filsafat pendidikan secara
umum, deskripsi biografi John Dewey yang termuat di dalamnya corak
pemikiran filsafatnya, serta pemikiran filsafat tentang pendidikan John
23
Dewey yang termuat di dalam pemikiran mengenai teori pengetahuan dan
pengalaman, demokrasi dalam pendidikan, dan pendidikan progresif.
BAB III: menguraikan konsep Pendidikan untuk anak usia dini
secara komprehensif. Konsep tersebut akan mencakup pengertian Anak
usia dini, Psikologi perkembangan anak usia dini, pengertian Pendidikan
untuk anak usia dini, Kurikulum Pendidikan Anak usia dini, Psikologi
Pendidikan Anak usia dini.
BAB IV: menguraikan tinjauan kritis Filsafat Pendidikan John
Dewey terhadap Pendidikan untuk anak usia dini. Hasil penelitian
tergambar dalam analisis terhadap objek material dan objek formal
kemudian direfleksikan dengan realitas Pendidikan Anak usia dini di
Indonesia.
BAB V: menyimpulkan hasil penelitian yang berisi jawaban dari
rumusan masalah yang telah diteliti. Pada bab penutup ini terdiri dari
kesimpulan dan saran yang terkait dengan penelitian.
Download