Relasi Bahasa dan Budaya - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Komunikasi
Antar Budaya
Relasi Bahasa dan Budaya
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Periklanan
Tatap Muka
07
Kode MK
Disusun Oleh
85012
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Abstract
Kompetensi
Bahasa dan Budaya memiliki
keterkaitan yang kuat satu dengan yang
lain, tidak ada produk budaya tercipta,
ter-repoduksu dan tersosialisasi tanpa
melalui bahasa, dan bahasa tidak
memiliki makna apapun jika tidak ada
budaya.
Mahasiswa dapat memahami relasi
Bahasa dan Budaya
Relasi Bahasa dan Budaya
Pembuka
Bahasa dapat dikatakan sebagai kemampuan manusia untuk berkomunikasi melalui
penggunaan jenis tanda tertentu yang disusun dalam unit dan sistem tertentu pula. Menurut
Foley
(1997:27
–
29),
bahasa
adalah
sistem
tanda
dengan
kaidah-kaidah
penggabungannya. Prinsip-prinsip kaidah penggabungan tanda-tanda untuk membentuk
kalimat itulah yang disebut tatabahasa bahasa yang bersangkutan. Kramsch (2001:3, 6)
berpendapat bahwa bahasa adalah wahana mendasar bagi manusia untuk melakukan
kehidupan sosial. Sewaktu digunakan dalam konteks komunikasi, bahasa terikat dengan
budaya secara berlapis dan rumit. Bahasa mengungkapkan kenyataan budaya; bahasa
mewujudkan kenyataan budaya; dan bahasa melambangkan kenyataan budaya. Kunci
bahwa bahasa dan budaya terjadi secara alamiah terlihat pada bentuk sosialisasi atau
penyesuaian diri manusia yang beragam. Kramsch (2001:11, 77) juga mengemukakan
bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara
yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka
menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang
berbeda pula.
BEBERAPA TOERI MENGENAI RELASI BAHASA DAN BUDAYA
Berkaitan dengan pembahasan diatas, telah ada beberapa ahli linguistik yang membahas
dan mengkaji relasi bahasa dan budaya, diantaranya:
1. Wilhelm Von Humboldt
Von Humboldt menjelaskan bahawa pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat
ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Kemudian ia menjelaskan bahwa anggotaanggota masyarakat tidak dapat menyimpang dari garis-garis yang telah ditentukan oleh
bahasanya. Bila salah seorang dari anggota masyrakat
ni ingin mengubah pandangan
hidupnya, maka dia harus mempeljarai dulu satu bahasa lain (Abdul Chaer: 2002 hal, 5152).
2. Sapir-Whorf
Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini dibawah “belas kasih” bahasanya
yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupan suatu masyarakat yang sebagian
didirikan di atas tabiat-tabiat dan sifat bahasa (Abdul Chaer: 2002 hal, 52).
‘13
2
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
3. Teori Jean Piaget
Jean Piaget berpendapat bahwa pikirnlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa
tidak akan ada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan lesksikon bahasa,
bukan sebaliknya (Abdul Chaer: 2002 hal, 54).
4. Teori L.S Vygotksy
Vygostky berpendapat bahwa adanya satu tahap perkembangan bahsa sebelum adanya
pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemduian,
kedua garis perkembangan ini salling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran
berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap
permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi mula-mula
pikiran berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu
pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, saling mempengaruhi (Abdul
Chaer: 2002 hal, 55).
Selanjutnya ia mengatakan bahwa hubungan
antara pikiran dan bahasa selanjutnya
bukanlah satu benda, melainkan merupakan satu proses, satu gerak yang terus menerus,
dari pikiran ke kata (bahasa) dan dari kata (bahasa) ke pikiran.
Pikiran tidak hanya
disampaikan dengan kata-kata, tetapi lahir dengan kata-kata itu. Tiap pikiran cenderung
untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuat yang lain, dan mendirikan satu hubungan
diantara benda-benda. Tiap pikiran bergerak, tumbuh, dan berkembang, melaksanakan stu
fungsi dan memecahkan satu masalah (Abdul Chaer: 2002 hal, 56).
5. Noam Chomsky
Menurut Chomsky, bahasa-bahasa yang ad di dunia adalah sama (karena didasari oleh satu
sistem yang universal) hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang disebut struktur-dalam
(deep-structur). Pada tingkat luar atau struktur luar bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Pada
tingkat dalam bahsa itulah terdapat rumus-rumus tata bahasa yang mengatur proses-proses
untuk memungkinkan aspek-aspek kreatif bahasa bekerja. Apa yang disebut oleh Chomsky
sebagai inti proses generatif bahsa terletak pada tingkat dalam ini. Inti proses generatif inilah
yang merupakan alat semantic untuk menciptakan kalimat-kalimat baru yang tidak terbatas
jumlahnya, fan finamai “tata bahasa generatif” (Abdul Chaer: 2002 hal, 56-57).
RELATIVITAS BAHASA
‘13
3
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Relativitas bahasa bukan ide baru di bidang linguistik. Ia pernah terabaikan beberapa
dasawarsa di pertengahan abad 20; namun mulai dasarwarsa 1970-an ia bangkit lagi
dengan semangat baru, yaitu semangat perlawanan terhadap universalitas bahasa yang
diformalkan secara berlebihan oleh Gramatika Generatif, dengan pandangan sentralnya
yang tidak pernah bergeser dari ranah sintaksis. Kini relativitas bahasa kembali
mendapatkan posisi yang mapan dalam Sosiolinguistik, Pragmatik, dan terutama
Etnolinguistik. Dalam sejarahnya yang cukup panjang, relativitas bahasa berawal dari
pemikiran para sarjana linguistik, dimulai sejak awal abad 19 dan merentang sampai paruh
pertama abad 20.
Adalah Wilhelm von Humboldt (1767-1835) yang sering dirujuk sebagai bapak relativitas
bahasa. Menurut filosof dan bahasawan berbangsa Jerman ini, terdapat saling-hubungan
yang erat antara masyarakat, bahasa, dan budaya. Pada tahap ideal, kesatu-paduan itu
muncul sebagai tritunggal : satu masyarakat, satu bahasa, dan satu budaya (Andy Ristiawan
dalam
www.scribd.com/doc/.../Bahasa-Indonesia-sebagai-bagian-dari-budaya-bangsa,
hal.4)
Di Amerika Serikat, relativitas bahasa nampak jelas pada Linguistik Deskriptif ala Franz
Boas (1858-1942), yang merupakan hasil penelitiannya atas bahasa-bahasa IndianAmerika. Llinguistik Boas sangat diwarnai oleh pendekatan antropologi dan dengan
demikian selalu melihat kaitan yang erat antara bahasa dan budaya. Boas di Amerika
bergelut dengan bahasa-bahasa Indian yang eksotik dan tak dikenal untuk menghasilkan
deskripsi yang tuntas. Akhirnya Boas menyimpulkan bahwa setiap bahasa memiliki
deskripsinya yang khas, karena setiap bahasa memiliki struktur yang unik. Bagi Boas, tak
ada bahasa dengan tipe ideal yang dapat dijadikan model bagi bahasa-bahasa alamiah
yang ada Andy Ristiawan dalam www.scribd.com/doc/.../Bahasa-Indonesia-sebagaibagian-dari-budaya-bangsa, hal.4)
Berdasarkan pemikiran tokoh-tokoh di atas dapat kita simpulkan bahwa setiap bahasa
mempunyai ciri khas yang membedakannya dari bahasa yang lain. Ciri khas bahasa
tersebut lahir akibat keragaman keadaan masyarakat dan budaya para penutur bahasa
tersebut. Dengan kata lain, setiap masyarakat dan setiap budaya mempunyai bahasanya
sendiri; yang cocok dengan keadaan lingkungan sosiokultural mereka. Jadi, tidak ada
alasan lagi untuk lebih gemar menggunakan bahasa asing daripada menggunakan bahasa
asli atau bahasa ibu dalam konteks ini adalah bahasa Indonesia. Akhirnya anggapananggapan negatif terhadap bahasa Indonesia yang dilontarkan para penggemar bahasa
asing akan gugur dengan sendirinya. Tidak ada bahasa yang lebih unggul dari bahasa lain.
‘13
4
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Setiap bahasa mempunyai kedudukannya masing-masing, anggapan keunggulan suatu
bahasa terhadap bahasa lain adalah sesuatu yang bersifat relatif tergantung penafsiran
masing-masing orang. Penafsiran tersebut lahir akibat penilaian dan persepsi sempit
seseorang terhadap suatu bahasa.
Relasi Antara Bahasa Dan Budaya
Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak
oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar personal. Komunikasi selalu
diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana,
makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu
mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya
ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya
selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka
analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk
menganalisis bahasa lain (Al Mauki Solikhin dalam
http://tamancatatan.blogspot.com/2009/02/bahasa-dan-budaya.html, hal 1).
Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup
dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish;
dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti
ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman
pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya dan
sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya
ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada
konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi
berarti beras atau padi. Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka
dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang masyarakatnya tidak berbudaya makan
nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim
yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia
‘13
5
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut
adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga
berarti adik.
Fenomena lain, misalnya budaya inggris dan budaya Indonesia memandang waktu sehari
semalam yang 24 jam itu. Pukul satu malam budaya Inggris mengatakan Good morning
alias selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengatakan selamat malam karena memang
masih malam, matahari belum terbit. Sebaliknya pukul sebelas siang, buadaya barat masih
juga mengatakan selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengucapkan selamat siang
karena memang hari sudah siang, matahari sudah tinggi.
Selain itu dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili
latar belakang budaya, pandangan hidup dan status sosial yang berbeda, maka makna
sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan.
Umpamanya kata butuh dalam masyarakat Indonesia di Pulau Jawa berarti perlu, tetapi
dalam masyarakat Indonesia di Kalimantan berarti kemaluan. Demikian pula dalam bahasa
jawa terdapat tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, tingkat tutur karma misalnya kata aku,
kulo, dalem kawula atau kata kowe, sampeyan, panjenengan, paduka. Tingkat tutur ngoko
memiliki makna rasa tak berjarak antara orang pertama dengan orang kedua misalnya.
karma adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun antara sang penutur
dengan mitranya. Madya adalah tingkat tutur menengah yang berada antara ngoko dan
karma. Banyak orang menyebut bahwa tingkat tutur ini setengah sopan dan setengah tidak
sopan.
Orang bogor memanggil remaja lelaki dengan panggilan Neng sedangkan panggilan itu
biasanya untuk anak perempuan atau wanita muda di Bandung. Sedangkan orang
makassar dan Ambon menggunakan kata bunuh (yang tentu sinonimnya matikan) untuk
listrik, lampu televisi dan radio. Seperti dalam kalimat “tolong bunuh lampunya”, sudah
siang. Sementara itu kata bujur yang berarti pantat bagi orang Sunda, ternyata berarti
“terima kasih” bagi orang Batak (Karo), dan “benar” bagi orang Kalimantan Selatan
(Banjarmasin).
Begitu juga bahasa jawa sebagaimana disebutkan Abdul Wahab, yang ada kaitannya
dengan kelapa. Dalam bahasa Jawa kita mengenal janur (daun muda kelapa), blarak (daun
tua kelapa), sada (lidi atau tulang daun kelapa), plapah (tempat daun kelapa melekat), tebah
(sekumpulan lidi untuk menghalau atau menangkap lalat atau nyamuk), manggar
(srangkaian kuntum bunga kelapa), mandha (tunas kelapa), bluluk ( buah kelapa yang
masih sangat muda dan belum berair), cengkir (buah kelapa muda bertulang tempurung
‘13
6
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
lunak tapi belum berdaging), degan (buah kelapa muda yang sudah bedaging lunak),
krambil (kelapa ang sudah tua dan dapat dipakai sebagai bahan minyak goreng), glugu
(batang kelapa sebagai bahan bangunan).Uraian di atas menunjukan bahwa tak diragukan
lagi bahwa budaya suatu bangsa tercermin dalam bahasanya
Beberapa keistimewaan bahasa tersebut dipakai suatu bangsa, atau daerah tertentu untuk
membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa atau daerah yang bersangkutan
terhadap fenomena tempat mereka hidup. Dengan demikian sususan bahasa dan
keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat
memandang hakikat alam dan tempat mereka berada.
Hubungan Antara Bahasa dan Budaya
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan
bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa
bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan
yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal
yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang
mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau
masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya
Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan, menjelaskan bahwa hubungan
antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa
berada dibawah lingkup kebudayaan (Al Mauki Solikhin dalam
http://tamancatatan.blogspot.com/2009/02/bahasa-dan-budaya.html, hal.1). Namun
pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan
yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi.
Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang
melekat pada manusia (Al Mauki Solikhin dalam
http://tamancatatan.blogspot.com/2009/02/bahasa-dan-budaya.html, hal.1) . Kalau
kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka
kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi
itu.
‘13
7
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, du buah
fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem
kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
Pengaruh Budaya Terhadap Perubahan Bahasa
Pengaruh budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak kata atau
istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada. Hal
tersebut karena dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah.
Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme, kata wisatawan untuk menggantikan
turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk mengganti kata piknik; dan kata suku cadang
untuk mengganti kata onderdil. Kata-kata turisme, turis dan onderdil dianggap tidak
nasional. Karena itu perlu diganti yang bersifat nasional. Kata-kata kuli dan buruh diganti
dengan karyawan, babu diganti dengan pembantu rumah tangga, dan kata pelayan diganti
dengan
pramuniaga,
karena
kata-kata
tersebut
dianggap
berbau
feodal.
Begitu juga dengan kata penjara diganti dengan lembaga pemasyarakatan, kenaikan harga
diganti dengan penyesuaian harga, gelandangan menjadi tuna wisma, pelacur menjadi
tunasusila adalah karena kata-kata tersebut dianggap halus ; kurang sopan menurut
pandangan norma sosial. Proses penggantian nama atau penyebutan baru masih terus
akan berlangsung sesuai dengan perkembangan pandangan dan norma budaya di dalam
masyarakat.
Begitu juga bahasa yang diplesetkan yang tidak lepas dari perkembangan pengetahuan,
pertukaran budaya, dan kemajuan informasi sekarang ini. Sebagaimana Mansoer Pateda
mengatakan
bahwa
perkembangan
bahasa
pemakai
yang
bahasa
diplesetkan
untuk
sangat
menyampaikan
berhubungan
pikiran,
erat
dengan
perasaan,
dan
kemauannya.16 Misalnya kata kepala diplesetkan menjadi kelapa, tolong diplesetkan
menjadi lontong, reformasi diplesetkan menjadi repot nasi, partisipasi diplesetkan menjadi
partisisapi. Begitu juga dalam kalimat misalnya I am going to school menjadi ayam goreng to
school.
Bahasa, budaya dan Manusia
‘13
8
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori
relativitas
linguistik
yang
menjadi
dasar
perumusan
hipotesis
Sapir-Whorf
mengukapkan ada keterkaitan antara bahasa, budaya, dan pikiran manusia. Meskipun
sebagian ahli keberatan dengan teori dan hipotesis itu, namun keberadaannya dalam
khasanah teori linguistik, terutama dalam sosiolinguistik dan linguistik kebudayaan, cukup
berpengaruh. Teori ralativitas linguistik yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf
menyatakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir
dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa
mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia di sekitar mereka dengan cara
yang berbeda pula. Teori ini diperkuat oleh Sapir dan Whorf dengan menyatakan bahwa
struktur bahasa, suatu yang digunakan secara terus menerus, mempengaruhi cara
seseorang berpikir dan berprilaku (lihat Kramsch, 2001:11).
Selain itu Pandangan Whorf menenjelaskan adanya saling ketergantungan antara bahasa
dengan pikiran. Hipotesis ini kemudian dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis
Sapir-Whorf lebih tegas menyatakan bahwa struktur bahasa, adalah suatu yang digunakan
secara terus menerus, yang dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir dan berprilaku.
Bahasa dapat dikatakan sebagai bagian integral dari manusia. Keberhubungan antara
bahasa, budaya, dan pikiran, sejuh ini tercermin dalam teori relativitas linguistik dan
hipotesis Sapir-Whorf. Menurut Wardhaugh (1988:212), pendapat yang ada tentang
keberhubungan antara bahasa dan kebudayaan yang cukup lama bertahan adalah: (i)
struktur bahasa menentukan cara-cara penutur bahasa tersebut memandang dunianya; (ii)
budaya masyarakat tercermin dalam bahasa yang mereka pakai, krena mereka memiliki
segala sesuatu dan melakukannya dengan cara tertentu yang mencerminkan apa yang
mereka nilai dan apa yang mereka lakukan. Dalam pndangan ini, perangkat-perangkat
budaya tidak menentukan struktur bahasa, tetapi perangkat-perangkat tersebut jelas
mempengaruhi bagaimana bahasa digunakan dan mungkin menentukan mengapa butiranbutiran budaya tersebut merupakan cara berbahasa; dan (iii) ada sedikit atau tidak da
hubungan sama sekali antara bahasa dan budaya. Pernyataan bahwa struktur bahasa
mempengaruhi bagaimana penuturnya memandang dunia, sebenarnya telah diperkenalkan
oleh Humbolt pada abad ke-19, namun sekarang pernyataan itu dikenal sebagai hipotesis
Sapir-Whorf atau Whorfian hipotesis.
Keterkaitan antara bahasa, masyarakat, dan
kebudayaan terjadi secara berlapis, rumit, dan alami. Manusia dan kebudayaan adalah
pasangan yang tidak terpisahkan. White dan Dillingham (1973:9) menyatakan bahwa tidak
ada budaya tanpa manusia, dan tidak ada manusia (lazimnya) tanpa budaya.
Keberhubungan antara bahasa dan kebudayaan yang begitu erat terjadi pada tataran
lahiriah dan batiniah dalam kehidupn manusia, termasuk dalam pemerolahan dan
pembalajaran bahasa.
‘13
9
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Aspek kesantunan berbahasa termasuk bagian penting dalam peristiwa komunikasi verbal
yang erat pula persentuhannya dengan kebudayaan masyarakat penuturnya. Rasa budaya
dan rasa bahasa masyarakat tertentu terjadi secara alamiah melalui proses pemerolehan
dan pembelajaran. Sehubungan dengan itu, Duranti (1997) mengatakan bahwa kebudayaan
juga dipandang sebagai sesuatu yang dipelajari, dipindahkan dan di wariskan dari generasi
ke generasi berikutnya melalui tindakan manusia; keseringannya dalam bentuk interaksi
langsung, dan tentu saja, melalui komunikasi linguistik. Dalam pemerolehan bahasa, alam
dan budaya berinteraksi sedemikian rupa untuk menghasilkan kekhasan bahasa-bahasa
manusia. Kesantunan berbahasa merupakan sebagian kiat penting dalam berbahasa yang
mendukung keberhasilan penyampaian pesan. Meskipun konsep kesantunan cukup abstrak
dan berbeda sesuai dengan pandangan sosial-budaya serta pribadi tertentu, namun secara
sederhana
dapat
dikemukakan
bahwa
kesantunan
berbahasa
berkaitan
dengan
“penghormatan” (honorific) atau penempatan seseorang pada tempat “terhormat” (honor),
atau sekurang-kurangnya menempatkan seseorang pada tempat yang diingininya. Yule
(1998:60), misalnya, berpendapat bahwa kesantunan dalam interaksi (berbahasa) dapat
didefinisikan sebagai kiat yang dipakai untuk memperlihatkan kepedulian terhadap citra-diri
seseorang di tengah masyarakatnya. Wierzbicka (1994:69) menyatakan bahwa dalam
masyarakat yang berbeda dan dalam komunitas yang berbeda, orang berbicara dengan
cara yang berbeda. Perbedaan cara berbicara tersebut cukup dapat diamati dan sistematis.
Perbedaan-perbedaan itu, di antaranya, menggambrakan nilai budaya yang ada di tengah
masyarakat tertentu. Cara berbicara yang berbeda, gaya kominikatif yang berbeda, atau
pilihan struktur kalimat (ujaran) yang berbeda mempunyai perbedaan kandungan nilai sosialbudaya, di samping nilai kebahasaan lainnya.
IV. Penutup
Dapat disimpulkan bahwa sebagai sebuah pemangku “ nation state”, Indonesia
adalah sebuah gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang
berada di bawah sebuah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya bahasa
nasional yaitu Bahasa Indonesia. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah
pentingnya kesukuan yang terwujud dalam sistem komunitas suku bangsa sebagai acuan
utama bagi jati diri manusia Indonesia. Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan
budaya Indonesia merupakan upaya membangun citra diri yang didasarkan pada yang
dimilikinya dibandingkan dengan berdasar kesejatidirian. Dengan demikian upaya
membangun citra diri ini sudah lebih diandalkan pada pemilikan ( to have).
‘13
10
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kenyataan yang menunjukkan bahwa orang Indonesia yang berbahasa Indonesia
pada hakikatnya adalah orang dari suku-suku bangsa yang memiliki karakter jiwa
kebudayaan lokalnya yang berbicara dengan bahasa nasional dan bahasa persatuannya.
Untuk itu orang asing yang berkomunikasi dengan orang Indonesia dengan bahasa
Indonesia yang telah dipelajarinya, paling tidak ia telah mempelajari linguistik bahasa
Indonesia dalam konteks ruang dan waktu kebudayaan, kepribadian, dan pola-pola tindakan
“manusia” Indonesia. Itulah sebabnya melalui pendekatan silang budaya dengan pendidikan
heuristik dan pola-pola empatik sangat dimungkinkan linguistik bahasa Indonesia mendapat
“roh” yang sangat “Indonesianis”.
Daftar Pustaka
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University Press
Anderson, Benedict. 2001.
Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang).
(terj. Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.
Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987.
Politeness: Some Universals in Language
Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Budiman, Maneke 1999. ‘Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di Indonesia:
Mengubah
Kendala Menjadi Aset’, Jurnal Wacana FSUI.No.1 April 1999. Vol 1. hal. 3
Hamengkubuwono X. 2001. ‘Implementasi Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan dan
Persatuan Bangsa, Mungkinkah?’ Makalah seminar Nasional. Surakarta: Univet.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang
Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es.
Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.
Sayogya. 1995. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Soeparmo, dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosial Budaya Indonesia.
Surabaya: Unair Press.
Tampublon, Daulat. 2000. ‘Peran Bahasa dalam Pembangunan Bangsa’. Jurnal MLI. hal.69.
Tasmara, Toto. 1999. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta : Gema Insani.
Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia.
Bandung: Alumni
Widdowson, H.G, 1995. Stilistika dan Pengajaran Sastra (terj. Sudijah). Surabaya: Unair
Press.
Yanti, Yusrita. 1999. ‘Tindak tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan Penutur
Minangkabau’. Jurnal MLI. hal. 93
‘13
11
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Alwi, Hasan., Soejono Dardjowidjojo., Hans Lapoliwa., dan Anton M. Moeliono. 2000.
Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia. (edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.
Artawa, I Ketut. 2004. Balinese Language: A Typological Description. Denpasar: CV. Bali
Media Adhikarsa.
Bailey, Kenneth D. 1982. Method of Social Research. New York: The Free Press.
Bally, Charles dan Albert Sechehoye (eds.). 1959. Course in General Linguistics. New York:
Philosophical Library.
Black, James A. dan Dean J. Champion (Koeswara dkk.: penerjemah). 1999. Metode dan
Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Penerbit PT. Refika Aditama.
Chapman, Sioban. 2000. Philosophy for Linguists: An Introduction. London: Routledge.
Comrie, Bernard. 1983, 1989. Language Universals and Lingusitic Typology. Oxford: Basil
Blackwell Publisher Limited.
Croft, William. 1993. Typology and Universals. Cambridge: Cambridge University Press.
Cruse, Allan D. 2000. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics.
Oxford: Oxford University Press.
Dixon, R. W. M. 1994. Ergativity. Cambridge: Cambridge University Press.
Duranti, Allessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University
Press.
‘13
12
Komunikasi Antar Budaya
Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download