Poverty and Exclusion in a Global World (Ch.1: Defining Exclusion) A.S.Bhalla & Frederic Lapeyre (Reviewed by; Hatika Al Shafa, Ilham Abrar, Pitor Sarani) Pendahuluan Gagasan mengenai eksklusi sosial merupakan hal yang relatif baru dalam literatur Anglo-Saxon, tapi menyebar secara cepat selama periode 1990an. Gagasan mengenai eksklusi sosial pertama kali dikembangkan oleh Sosiolog Perancis, menyangkut munculnya masalah sosial yang berhubungan dengan transformasi sosial-ekonomi di tahun 1980an. Konsep ini mengacu kepada hilangnya kohesi sosial akibat meningkatnya kesenjangan ekonomi di masyarakat. Akan tetapi menurut Silver (1995), eksklusi sosial tidak hanya berhubungan dengan materi, tapi juga eksklusi secara simbolis, deprivasi sosial, dan partisipasi yang tidak sempurna dalam institusi sosial. Oleh karena itu eksklusi sosial dapat dilihat sebagai sebuah proses multi dimensi dan multi struktur, yang mencakup kekhawatiran akan lapangan kerja dan pengangguran di satu sisi dan retaknya ikatan sosial serta melemahnya solidaritas masyarakat di sisi lain. 1.1. Sejarah Singkat Konsep Eksklusi Sosial Gagasan mengenai eksklusi sosial dipengaruhi oleh proses industrialisasi dan modernisasi di negara-negara barat pada awal abad ke-19. Industrialiasi dan liberalisme telah menghasilkan ketegangan sosial, yang dapat mengancam tatanan sosial masyarakat. Dinamika perjuangan kekuasaan antara kelas bawah dan kelas borjuis serta resiko retaknya masyarakat menjadi inti utama perdebatan. Pada periode ini, eksklusi kebanyakan dilihat sebagai fenomena kurangnya representasi kelas pekerja dalam institusi politik dan kurangnya akses terhadap hak penuh sebagai warga negara. Oleh karena itu, integrasi kelas pekerja ke dalam proses politik menjadi fokus perdebatan. Dalam basis analisis terhadap kaptalisme abad 19, Polanyi (1957) memperlihatkan bagaimana aktor sosial bereaksi terhadap tekanan sosial yang terjadi. Dimana aktor sosial mampu menguatkan legislasi pabrik-pabrik, asuransi sosial dan institusionalisasi hubungan industrial. Inilah awal mula dibentuknya welfare state. Pembangunan welfare state secara bertahap telah berhasil mengurangi ketegangan sosial konflik di negara-negara industri, dan secara signifikan juga telah berkontribusi dalam proses integrasi masyarakat. Setelah itu, isu kemiskinan seolah lenyap dari agenda politik negara-negara industri. Pada tahun 1974, Sosiolog Perancis, Lenoir mengemukakan pemikirannya mengenai eksklusi sosial. Dia dianggap sebagai pionir yang menggunakan istilah ‘eksklusi sosial’. Eksklusi yang dimaksud adalah orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap hasil pertumbuhan ekonomi. Pemikiran Lenoir ini berkaitan dengan munculnya sistem kapitalis pada akhir tahun 1970an yang diikuti restrukturisasi sisitem sosial-ekonomi di negara-negara industri. Globalisasi modal dan restrukturisasi lapangan kerja diikuti dengan jenis baru regulasi ekonomi dan sosial. Hal ini menyebabkan negara-negara yang berjalan harmonis pada masa industrialisasi menjadi hancur. Individu yang awalnya terintegrasi dalam konsep welfare state menjadi terdeprivasi. Dari hal ini dapat dilihat bahwa gagasan mengenai eksklusi sosial sangat berhubungan dengan perubahan struktur sosial-ekonomi dibandingkan perilaku atau karakteristik individual. Munculnya ekonomi global menyebabkan fragmentasi dalam struktur sosial dan pekerjaan. Hal ini dikarenakan terciptanya polarisasi sosial dalam masyarakat, dimana semakin jauhnya perbedaan pendapatan antara kelas bawah dan kelas atas. Menurut Castel (1995) yang menjadi fokus kemudian adalah mengenai krisis pencari kerja dan hilangnya proteksi sosial. Sementara itu, menurut Rosanvallon (1994) krisis solidaritas akibat tidak efisiennya welfare state dalam menanggulangi bentuk baru kemiskinan dan fragmentasi masyarakat merupakan fokus utama yang diperdebatkan. Menurut pemikiran Republik Perancis- tempat asal mula eksklusi sosial dikembangkan, -eksklusi sosial mengacu pada proses ‘diskualifikasi sosial’ (Paugnam, 1993) atau proses ‘disafiliasi sosial’ (Castel, 1995) yang mengarah kepada retaknya hubungan antara masyarakat dengan individu. Untuk mencegah munculnya eksklusi sosial tersebut, diperlukan mekanisme solidaritas nasional, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Perancis. Untuk melawan eksklusi sosial, Pemerintah Perancis mengeluarkan hukum mengenai eksklusi pada tanggal 29 Juni 1998. Hukum ini diikuti oleh pembentukan Observator Nasional mengenai Kemiskinan dan Eksklusi Sosial. Komisis Eropa (EC) memaikan peran penting dalam difusi konsep eksklusi sosial di awal tahun 1990an. EC berkontribusi secara signifikan dalam membuat perlawanan terhadap eksklusi sosial menjadi salah satu kunci objektif dalam kebijakan sosial nasional dan bahkan di lingkup Eropa. Presiden EC, Jacques Delor juga berperan dalam mempromosikan gagasan mengenai eksklusi sosial dalam debat kebijakan dan program riset Eropa. Selain itu, konsep eksklusi sosial juga dimuat dalam pembukaan European Social Charter pada tahun 1989, yang menekankan bahwa semangat solidaritas penting untuk melawan eksklusi sosial. Selanjutnya di tahun 1992 perlawanan terhadap eksklusi sosial juga dimuat dalam protokol kebijakan sosial EC Treaty, yang dilanjutkan di Amsterdam pada tahun 1997. Pada bulan Maret tahun 2000 di Lisbon, Dewan Eropa membuat kebijakan untuk mengurangi kemiskinan di tahun 2010 dan memperbaiki pemahaman mengenai kemiskinan dan eksklusi sosial dalam konteks Eropa. Dalam proses ini, negara anggota dibantu dalam membangun kebijakan mereka sendiri, merefleksikan situasi individu nasional mereka untuk membagi pengalaman mereka, dan meninjau apa yang mereka hasilkan dalam lingkungan yang tebuka dan setara. Terakhir, perlawanan terhadap eksklusi sosial menjadi satu dari enam agenda sosial Uni Eropa (EU) dalam Nice European Council yang digelar pada bulan Desember tahun 2000. 1.2. Paradigma Teoritis yang Mendasari Kritik utama terhadap konsep eksklusi sosial adalah bahwa konsep tersebut dianggap sangat kabur dan kurang tepat. Konsep eksklusi sosial memiliki segi yang berlapis-lapis yang memunculkan ambiguitas dari konsep tersebut. Hal ini dikarenakan konsep ekslusi sosial merupakan hasil dari fakta yang menjadi sebuah slogan dengan makna berbeda. Menurut Silver (1994), ada tiga paradigma utama dari eksklusi; (i) Paradigma Solidaritas (ii) Paradigma Spesialisasi (iii) Paradigma Monopoli. Paradigma Solidaritas menjelaskan eksklusi dalam bentuk lemahnya ikatan sosial antara individu dengan masyarakat. Paradigma ini berakar pada pemikiran Republik Perancis. Dalam perdebatan di Perancis, eksklusi dilihat sebagai putusnya ikatan solidaritas. Eksklusi dilihat sebagai kesalahan negara dalam menjaga kohesi sosial. Paradigma ini mengacu kepada pemikiran Durkheim mengenai ikatan sosial dan solidaritas. Debat mengenai solidaritas menolak konflik antar kelas, derma Kristen dan individualisme liberal. Debat ini berdasarkan kepada hubungan antara dua tipe tanggung jawab; tanggung jawab individu dan tanggung jawab kolektif (Bourgeois, 1931). Dalam konteks ini negara memiliki peran penting untuk menjaga ikatan sosial antara indovidu dengan masyarakat dan meningkatkan integrasi sosial. Tidak seperti pemikiran Republik Perancis, tradisi Anglo-Saxon melihat integrasi sosial dalam bentuk kebebasan memilih hubungan antara individu dengan masyarakat. Pemikiran Anglo-saxon ini berakar pada paradigma liberal yang melihat masyarakat sebagai kumpulan individu-individu yang berkompetisi dalam pasar. Debat liberal menekankan kepada hak dan obligasi individu. Dimana ikatan sosial diasumsiskan tidak ada, yang ada hanyalah pertukaran kontraktual sukarela diantara individu-individu yang bebas. Tidak ada yang bertanggung jawab terhadap segala situasi yang terjadi- karena mengacu kepada prinsip meritokrasi, -dimana individu mendapatkan apa yang dia usahakan. Meskipun demikian, ada dua kelompok berbeda yang tereksklusi menurut pandangan ormative; Pertama, mereka yang menderita didkriminasi karena cacat atau halangan lainnya. Kedua, mereka yang memilih tidak mengambil keuntungan dari kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi karena tidak adanya dorongan dari pembantu publik. Perbedaan mendasar yang dapat dilihat dari dua paradigma ini adalah Anglo-Saxon lebih menekankan eksklusi sosial sebagai sesuatu yang materialistik dan individualistik, sedangkan Republik Perancis lebih holistik (tidak hanya materi) dan fokus dengan isu ikatan sosial. Terakhir adalah Paradigma Monopoli. Paradigma Monopoli berakar pada ‘theory of social closure’ Weber. Menurut teori ini, kelompok sosial berinteraksi menurut kepentingan materil mereka, dimana satu kelompok mencoba untuk memonopoli keuntungan. Closure bermakna eksklusi dari kesempatan ekonomi dan sosial terhadap orang luar; satu kelompok memaksimalkan keuntungan dengan membatasi akses ekonomi dan kesempatan sosial atas kelompok sosial lain. Parkin (1979) menginterpretasikan social closure dalam bentuk eksklusi dan perebutan. Eksklusi adalah pembatasan akses terhadap orang luar, sedangkan perebutan adalah proses orang luar bertahan dan mencari cara untuk menyudahi eksklusi terhadap mereka. Lebih lanjut dalam paradigma monopoli, Tilly (1998) mendeskripsikan eksklusi dalam bentuk eksploitasi dan opportunity hoarding. Eksploitasi terjadi ketika kekuasaan terhadap sumber daya dimonopoli oleh beberapa kelompok, dan mengeksklusi kelompok lainnya. Eksploitasi mungkin bisa menjadi usaha untuk opportunity hoarding. Meskipun sama-sama melakukan eksklusi, terdapat perbedaan antara ekploitasi dan opportunity hoarding. Pertama, exsploiter adalah elit berkuasa, hoarder tidak. Kedua, exploiter membutuhkan usaha beberapa kelompok untuk mengeksploitasi sumber daya yang tidak mereka miliki. Sedangkan hoarder secara mudah mengeksklusi kelompok berdasarkan etnisitas dan pertalian keluarga. 1.3. Kemiskinan, Deprivasi, dan Eksklusi Eksklusi sosial pada dasarnya adalah konsep dengan analisis sosial yang lebih luas dari konsep kemiskinan dan destitusi. Sebelumnya, dibahas terlebih dahulu konsep deprivasi. Gagasan tentang deprivasi bukanlah hal baru. Adam Smith, di abad ke-18 fokus pada konsep deprivasi sebagai ‘ketidakmampuan untuk muncul di publik tanpa rasa malu (Sen, 2000, p.5). Pada konteks negara yang mengalami industrialisasi, (ex; UK) Townsed (1979,1993) mendefenisikan kemiskinan dan deprivasi dalam hal sosial dan ekonomi. Ia memperhatikan bahwa defenisi kedua konsep tersebut- yang sering dikaitkan dengan minimnya jangkauan dan kemampuan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar, -merupakan defenisi yang terbatas pada fasilitas fisik saja. Townsend lebih mendefenisikan kemiskinan pada konteks deprivasi relatif. Selain itu, Townsend membedakan dua tipe deprivasi yaitu; (i)material dan (ii)sosial. Deprivasi material berhubungan dengan sandang, pangan, papan. Sosial menyangkut ketidakmampuan individu atau kelompok menjadi bagian dari relasi sosial yang biasa dalam masyarakat, seperti keluarga, pendidikan, dan rekreasi. Fokus utama dari pendekatan Townsend sendiri lebih pada kemiskinan dalam interaksi sosial ketimbang pada aspek material. Konsep eksklusi sosial lebih superior dari konsep kemiskinan karena dua alasan, yaitu; (i) Eksklusi sosial fokus pada aspek multidimensi dari deprivasi serta faktor yang menyebabkan individu tetap terdeprivasi. (ii) Eksklusi sosial memungkinkan analisis terhadap deprivasi sebagai hasil proses yang dinamis. Eksklusi sosial adalah pendekatan baru untuk menganalisis isu sosial. Konsep ini dikembangkan dari penelitian yang sifatnya longitudinal agar lebih bisa memahami proses multidimensi yang menyebabkan deprivasi. Di tahun 1980an penelitian ilmu sosial mulai bergeser dari konsep statis mengenai kemiskinan. Ekslusi sosial lebih mampu mencakup akumulasi dampak dari kerugian dan pecahnya ikatan sosial dalam masyarakat. 1.4. Perbedaan Dimensi dari Konsep Konsep eksklusi sosial berada dalam perdebatan seputar distributional (ekonomi) dan relational (sosial). Konsep tersebut telah melampaui aspek sosial dan ekonomi dari konsep kemiskinan, karena eksklusi sosial juga mencakup aspek politik seperti hak sipil dan politis serta kewarganegaraan (citizenship). Aspek ini lah yang menjadi penentu hubungan antara individu dengan negara maupun hubungan individu dengan masyarakat. Perbedaan konsep antara kemiskinan dan eksklusi sosial ini dapat dilihat pada tabel berikut; Tabel 1.1. Kemiskinan & Eksklusi Sosial Static Outcome Dynamic Process Poverty Impoverishment Unidimensional (Incomes) Deprivation Social Exclusion Multidimensional Selain itu, berikut adalah penjabaran aspek penting dalam mendefenisikan eksklusi sosial: 1.4.1. Dimensi Ekonomi Pendekatan ekonomi pada eksklusi memperhatikan aspek pendapatan, produksi, dan akses pada barang dan pelayanan, dari orang yang dieksklusi dan yang tidak. Dieksklusi bisa saja dari aspek kebutuhan dasar seperti rumah, kesehatan, dan pendidikan. Dasgupta mengajukan konsep tentang “economic disenfranchisement” yaitu tercerabutnya hak dan pilihan individu dalam pasar kerja juga berhubungan dengan keadaan kesehatan yang buruk dan malnutrisi. Menurutnya, kepemilikan aset dan akses terhadap sumberdaya adalah faktor penting yang mencegah dan meminimilasir eksklusi. Selain itu, dalam studynya tentang Employment, Technology, and Development, Sen mendefeniskan konsep employment dengan 3 hal yaitu; (i)pendapatan, (ii)produksi, dan (iii) rekognisi. Poin pertama dan kedua adalah aspek yang dekat dengan dimensi ekonomi untuk menjelaskan ekslusi, sementara poin terakhir (rekognisi) bisa di interpretasikan sebagai dimensi sosial dari konsep eksklusi. Kebanyakan analisis tentang kemiskinan didasari oleh level konsumsi atau pendapatan yang diukur dengan standar minimun untuk hidup. Standar minimum ini berbeda-beda di tiap negara. Karena itulah kemiskinan dikur dengan standar relatif karena setiap tempat memiliki ambang batas atau garis kemiskinan yang berbeda-beda. Meskipun banyak muncul kritik, Townsend menekankan bahwa pengukuran material masih menyisakan aspek yang relevan dalam melihat kemiskinan. Bagaimanapun uang adalah indikator yang bagus dalam melihat kemampuan orang mengakses kebutuhan dasar. Jadi deprivasi material adalah dimensi kunci dari eksklusi sosial walaupun hal tersebut bukan satu-satunya. EU Research Programmes memperlihatkan hubungan yang kompleks antara kemiskinan dalam pendapatan, deprivasi, dan eksklusi sosial (Muffels and Fouarge, 2002). Terdapat ketidaksesuaian yang cukup tinggi antara pengukuran kemiskinan berdasar pendapatan, deprivasi, dan ekslusi sosial. Pengukuran menggunakan pendapatan dan deprivasi muncul dalam fenomena yang cukup berbeda. Ketidaksesuaian ini adalah konsekuensi dari kegagalan pengukuran dengan menggunakan pendapatan dalam menangkap fenomena yang merupakan akumulasi jangka panjang dari makin berkurangnya sumberdaya. Pada prakteknya, tanda-tanda dari eksklusi ekonomi dapat dilihat dari ketidaksamarataan pendapatan, buruknya distribusi pendapatan, meluasnya jarak dan perbedaan antara yang kaya dan miskin, dan keuntungan dari pertumbuhan yang condong dinikmati kelompok tertentu. Padahal, pertumbuhan harusnya memiliki “trickle down effect” sehingga kalaupun tidak secara langsung, mereka dapat merasakan manfaatnya. 1.4.2. Dimensi Sosial Sen memiliki konsep yang disebut dengan ‘entitlement’ yang mencakup fungsi dan kapabilitas. Menurut Sen, kurangnya lapangan kerja tak hanya menyangkal pendapatan serta pengeluaran orang yang dieksklusi, tapi juga gagal merekognisi (mengenali) peran produktif mereka sebagai manusia dalam masyarakat. Dalam kata lain, pekerjaan menyediakan legitimasi sosial, status sosial dan akses terhadap pendapatan. Akses ke pasar kerja membuat individu memiliki hak ekonomi dan merasakan manfaatnya, yang mana ini merupakan bagian dari hak penuh individu sebagai warganegara. Diminsi sosial lain yang termasuk kedalam entitlement adalah partisipasi pada kelompok sosial tertentu untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan, meskipun mereka adalah kelompok yang termarginalkan atau tidak beruntung seperti kaum perempuan ataupun etnik minoritas. Ketidaksamarataan kesempatan dan kurangnya akses adalah faktor yang seringkali ditemukan dalam masyarakat. Dalam tulisan ini diberikan contoh bagaimana pendidikan di India yang bias kasta, dan kondisi di negara industri dimana kekerasan dan kriminalitas meningkat karena lemahnya relasi antar individu, maupun antara individu dengan negara dan masyarakat. Sebenarnya, agak sulit untuk menjadi spesifik dan sangat kuantitatif dalam melihat dimensi sosial dari eksklusi. Indikator atas kebebasan sipil dan politik merepresentasikan relasi antara negara dan individu, dan antar individu sendiri. Hal tersebutlah yang bisa mengindikasikan kekuatan dan kelemahan relasi sosial dalam masyarakat. Namun tulisan tersebut sudah cukup menjelaskan tiga aspek yang tampaknya penting dari dimensi sosial eksklusi yaitu: 1. Akses terhadap pelayanan sosial (kesehatan, pendidikan, sanitasi) 2. Akses ke pasar kerja 3. Tingkat partisipasi sosial yang direflesikan dalam melemahnya tatanan sosial (meluasnya kriminalitas, orang yang tak memiliki tempat tinggal, dll) Menggunakan pendekatan eksklusi sosial ketimbang konsep kemiskinan berimplikasi pada fokus yang tidak hanya menyoroti isu distribusi tapi juga aspek relasional dari eksklusi. Selain itu, juga dibutuhkan kajian terhadap deprivasi relasi sosial, aspek struktural, dan deprivasi material. Ini karena kemiskinan tidak selalu menjadi indikator individu tereksklusi dari barang dan jasa. Individu bisa miskin, tapi belum tentu tereksklusi dari kebutuhan dasar tertentu. Singkatnya, eksklusi sosial adalah konsep yang berbeda dari kemiskinan, dan didefenisikan dengan mencakup segi hak serta kewarganegaraan. 1.4.3. Dimensi Politik Konsepsi tentang eksklusi sosial mencakup pula dimensi politik. Pada dimensi ini eksklusi dialami oleh kelompok-kelompok sosial yang tak bisa memiliki hak politik maupun hak asasi manusia. UNDP mencatat hak tersebut terdiri dari; sekuritas personal, aturan hukum, kebebasan berekspresi, partisipasi politik, dan persamaan kesempatan. Dapat pula ditambahkan hak untuk berkumpul dan proses demokratisasi. Meski belum tentu valid secara praktis, Marshall mengelompokkan hak-hak diatas ke dalam tiga kategori hak warga negara: 1. Sipil (kebebasan berekspresi, aturan hukum, hak mendapat keadilan) 2. Politis (hak untuk berpartisipasi dalam politik) 3. Sosio-ekonomi (sekuritas personal, persamaan kesempatan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, hak ditanggung negara bila menganggur) Eksklusi sosial dapat pula disebut sebagai incomplete citizenship, dalam artian kelompok masyarakat yang tereksklusi tidak memiliki hak-haknya secara utuh dan lengkap. Ketidakutuhan hak-hak tersebut bisa terjadi karena dua hal. Pertama, tidak becusnya negara dalam menyelenggarakan hak-hak itu. Kedua, ketidakmampuan individu maupun kelompok sosial dalam mempertahankan hak-hak mereka. Masalah eksklusi politik sendiri berbeda bentuk di negara demokratik dan nondemokratik. Di Eropa, misalnya, eksklusi politik lebih menghasilkan kurangnya representasi politik dan pengaruh kelompok yang tereksklusi daripada pembatasan hak politik maupun hak asasi. Mereka yang tereksklusi tidak memiliki suara karena tak ada yang mewakili suara- suara mereka secara politik sehingga kepentingan mereka tak diperhitungkan. Fragmentasi sosial kemudian akan menimbulkan efek yang dapat melemahkan institusi maupun partisipasi politik. Salah satu konsekuensinya adalah fragmentasi dalam kekuatan sosial dan pertumbuhan gap antara kepemimpinan politik dan kepemimpinan massa. Di Eropa, terdapat perbedaan eksklusi politik kelompok imigran di Inggris dan imigran di Jerman dan Prancis. Imigran di negara-negara Commonweatlh memiliki hak untuk memilih, sedangkan imigran di Jerman dan Prancis tak memiliki hak seperti itu. Hal tersebut mungkin menjelaskan mengapa ekstrim sayap kanan berkembang di dua negara itu (Jerman, Prancis) dibanding di Inggris. Meluasnya deprivasi sosial dan ekonomi dapat mengancam kohesi sosial. Mengenai krisis hak warga negara, Mingione menyebutkan bahwa masalahnya bukan pada tidak adanya pemberontakan dari mereka yang tereksklusi (karena mereka tak punya representasi politik) tapi lebih karena melemahnya kerekatan sosial secara keseluruhan yang menciptakan situasi dimana solidaritas semakin luntur, bahkan pada kelompok yang tidak miskin. Sekarang ini, pekerjaan maupun keluarga sama-sama menjadi tidak stabil, sehingga menjadi semakin problematis dan selektif dalam melindungi individu dari deprivasi. Pengangguran masal, semakin tak menentunya pekerjaan, dan melemahnya sistem kekerabatan dan solidaritas komunitas membuat semakin banyak orang yang rentan secara sosial. Konsepsi eksklusi berakar pada proses dimana individu yang tadinya terintegrasi dengan baik pada masyarakat kini harus menghadapi kerentan sosial dan ekonomi. Fragmentasi sosial dan kurangnya representasi sosial dan politik mengakibatkan rusaknya mekanisme solidaritas antara mereka yang terintegrasi dan mereka yang tereksklusi. Krisis kohesi sosial tersebut mungkin melibatkan eksklusi politik dan meningkatnya sikap saling bermusuhan diantara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, seperti kasus yang terjadi di Jerman dan Prancis, dimana serangan rasial kepada imigran oleh ekstrimis sayap kanan menjadi semakin sering. Dimensi politik, sosial, dan ekonomi dalam wacana eksklusi saling berhubungan satu sama lain. Contoh, hak dan kebebasan politik maupun sipil membuat orang bisa mengeluarkan yang terbaik dari dirinya, sehingga meningkatkan produktivitasnya dan pertumbuhan ekonomi dan selanjutnya dapat mengatasi eksklusi ekonomi. Kebebasan dan hak tersebut dapat memberikan kekuatan bagi mereka yang tereksklusi untuk merasakan inklusi. Kekerasan dan perang bisa merupakan bentuk kekuatan itu dalam rangka “membenarkan yang salah”. Kebebasan juga memberikan individu kemampuan untuk menjadi berfungsi dan memberikan akses kepada komoditi-komoditi yang spesifik. Jadi, terdapat keterkaitan yang jelas antara aspek ekonomi dan politik dari eksklusi. Ekslusi dapat diminimalisir apabila akses ke sumber daya ekonomi dan politik ditingkatkan. Dimensi politik dari eksklusi juga menyertakan gagasan bahwa negara yang seharusnya menjamin hak dan kebebasan pada seluruh kelompok masyarakat, ternyata tidak netral dan menjadi kendaraan kelompok dominan dalam masyarakat. Dukungan negara pada kelompok tertentu tercermin dalam peraturan yang diberlakukan. Bias tersebut didasarkan pada kepentingan ekonomi pragmatis dan manfaat secara politik. Peran negara sebenarnya penting dalam mengatasi eksklusi sosial, namun peran tersebut telah diartikan ulang dalam kerangka ekonomi politik dimana pasar dan swasta telah menggantikan banyak fungsi yang seharusnya dijalankan pemerintah. Kemunculan organisasi sosial (LSM, dsb) ditujukan untuk meningkatkan fungsi negara, kesejahteraan sosial, partisipasi dalam pembuatan keputusan. Namun organisasi sosial mungkin saja diciptakan negara sebagai penengah antara pemerintah dan rakyat. Pengentasan eksklusi sosial bisa saja dilakukan melalui intevensi langsung dari negara. Misalnya dengan diskriminasi positif, contohnya kuota khusus untuk pendidikan yang diberikan pada kelompok minoritas di Cina dan kasta bawah di India. Begitu pula di AS, dimana terdapat aturan yang membuka akses kepada pendidikan dan pekerjaan untuk kelompok Afro-Amerika maupun kelompok ras minoritas lainnya. Mengatasi eksklusi sosial membutuhkan pendekatan baru mengenai peran negara. Dalam doktrin liberal hegemonis, kebijakan publik mencerminkan kepentingan pribadi yang berujung pada pemborosan ekonomi dan juga memakan biaya kesejahteraan. Harusnya, seminimal mungkin negara terlibat dengan peraturan mengenai pertumbuhan ekonomi, dengan harapan pertumbuhan itu sendiri dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa membutuhkan intevensi negara. Melemahnya welfare state di Eropa dapat dijelaskan dengan melihat meningkatnya biaya untuk menyediakan perlindungan sosial dan kegagalan negara untuk menyediakan sumber daya yang mencukupi bagi seluruh orang dalam sistem. Dasar sistem tersebut telah terkikis oleh meningkatnya pengangguran dan menyusutnya keamanan sosial untuk kelompok usia tertentu. Eksklusi sosial bisa dikontrol dengan kebijakan sosial proaktif berdasarkan pemahaman terhadap mekanisme yang menyebabkan eksklusi dan institusi demokrasi untuk kontrol sosial. Negara memainkan peran penting untuk dalam kebijakan tersebut. Kreativitas institusional pun diperlukan untuk memberdayakan kelompok yang tereksklusi dan mendukung representasi mereka yang efektif dalam proses politik praktis. Kebijakan sosial mungkin memerlukan diciptakannya institusi sosial baru atau memodifikasi institusi yang telah ada untuk menciptakan konsensus sosial. Untuk memastikan konsensus itu berjalan baik, kebijakan perlu didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Negara perlu membuka ruang untuk berdialog antara aktor-aktor sosial yang berbeda. Dengan memperkuat jaringan antara individu dan masyarakat, proses informasi dapat mengurangi kegagalan dalam implementasi kebijakan publik. 1.5. Menuju Pendekatan Kapabilitas dalam Eksklusi Kebijakan sosial bertujuan memberikan alat bagi warga negara untuk mendapatkan kebebasan bertindak dengan cara memberdayakan dan meningkatkan kapabilitas (kemampuan) mereka. Menurut Sen, kemampuan dan kebebasan untuk bertindak berjalan beriringan. Dalam perspektif ini, penting untuk fokus pada kemampuan dibandingkan alat (cara). Yang penting bukan hanya jumlah pendapatan dan benda yang orang miliki, tapi juga apa yang mereka lakukan dengannya. Orang mungkin memiliki pekerjaan dan telah memenuhi standar minimal kehidupan tapi bisa saja ia tak dapat melakukan mobilitas sosial dan tereksklusi dari kehidupan komunitasnya hanya karena etnis atau gendernya. Hak untuk sumber daya tertentu memang perlu namun tidak cukup untuk memperbanyak pilihan individu. Kemampuan individu untuk mengubah benda menjadi kapabilitaslah yang bisa membuat perbedaan. Konsepsi eksklusi sosial lebih baik dipandang dari segi kapabilitas daripada komoditas. Mereka yang tereksklusi memiliki kurangnya kemampuan untuk bisa terus bekerja dan berpartisipasi dalam komunitasnya. Daripada fokus pada persoalan kurangnya pendapatan, kebijakan sosial harus bisa menjawab pertanyaan: apa yang bisa orang raih dengan sumber daya yang mereka miliki? Menyediakan pendapatan mungkin mengatasi masalah kemiskinan mereka yang tereksklusi, tapi itu takkan mengatasi eksklusi. Tujuan mengatasi eksklusi bukan untuk menyediakan kompensasi atas eksklusi yang mereka rasakan tapi untuk membentuk masyarakat yang inklusif. Kebijakan sosial ditujukan untuk memerangi eksklusi dengan meningkatkan kemampuan individu dan memberdayakan mereka. Berarti perubahan dari reaktif menjadi proaktif perlu dilakukan dalam kebijakan sosial bidang pekerjaan dan pendidikan. Tujuan utamanya adalah untuk mencerahkan prospek masa depan mereka melalui kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kebebasan memilih. Namun, kapabilitas dan perangkat pilihan tak hanya tergantung pada individu tapi juga kesempatan dan sumber daya yang ada di masyarakat. Penyebaran standar baru dalam pekerjaan berdasarkan otonomi, fleksibilitas, kemampuan relasional dan intelektual, serta pembelajaran seumur hidup mengarah pada segmentasi pasar tenaga kerja, eksklusi, dan kerentanan sejumlah besar buruh. Kebijakan sosial untuk melawan eksklusi harus mampu meningkatkan kemampuan orang, tidak hanya pada pekerjaannya tapi kemampuan untuk hidup sehari-hari. Pendekatan kapabilitas harus fokus pada potensi individual. Memang, mereka yang tereksklusi kekurangan kesempatan untuk melakukan dan menjadi sama dengan anggota masyarakat lainnya. Persoalannya bukan hanya tentang bagaimana keadaan mereka saat ini, tapi apa yang bisa dan telah mereka lakukan untuk memperbaiki situasi. Sen mengatakan bahwa eksklusi sosial secara konstitutif dapat menjadi bagian dari deprivasi kapabilitas dan secara instrumental juga bisa menjadi penyebab berbagai kegagalan kapabilitas. 1.6. Kesimpulan Konsep mengenai eksklusi sosial merupakan konsep baru dalam sosiologi. Akan tetapi konsep tersebut berkembang dengan pesat sejalan dengan transformasi sistem sosial-ekonomi di masyarakat. Tulisan Bhalla da Lapeyre telah memperlihatkan bagaimana proses eksklusi menjadi sebuah diskursus di negara-negara Barat. Bagaimana eksklusi dilihat sebagai sebuah dampak dari transformasi sistem sosial-ekonomi, dimana terjadi pergeseran ideologi di masyarakat Barat, dari Ideologi Fordism menjadi Ideologi Kapitalis. Selain itu, tulisan ini juga membahas konsep eksklusi dan bagaimana berbagai dimensi yang dimilikinya memungkinkan untuk analisis sosial secara lebih luas ketimbang konsep deprivasi ataupun kemiskinan. Mulai dari dimensi ekonomi, sosial, politik, yang kemudian juga dikaitkan dengan citizenship, eksklusi sosial kemudian menjadi begitu multidimensional dan mampu menjelaskan masalah sosial secara lebih komprensif.