REVIEW “SOCIAL EXCLUSION: A CONCEPT IN NEED OF DEFINITION?” Robin Peace Kelompok 1 Andre Satriya Utama (1006664363) Edwin Arif Nugroho (1006692650) Nur Rina Maskayanti (1006762985) HISTORY OF THE CONCEPT Pada awalnya, penggunaan istilah eksklusi sosial tidak terlalu terlihat jelas dan banyak sekali perdebatannya. Banyak yang menganggap bahwa istilah kemiskinan (poverty), kekurangan (deprivation), dan kesusahan (hardship) lebih cocok digunakan dibandingkan istilah eksklusi sosial. Pada tahun 1980 an, Robin Peace membahas tentang istilah eksklusi sosial yang berawal dari sebuah “Poverty Pragrammes” di Uni Eropa. Penggunaan istilah eksklusi sosial sendiri tidak terlepas dari term bahasa Perancis, yakni exclusion sociale. Pembuat kebijakan di Eropa mengalami kesulitan untuk mencari alternatif istilah kemiskinan atau kekurangan, sehingga istilah eksklusi ini dijadikan branding uji coba dalam “Poverty Programmes” yang sebelumnya dianggap kontroversial. Alasannya, pertama, mereka muncul untuk berkompromi prinsip subsidiaritas, bahwa Uni atau komunitas tidak akan menghasilkan kebijakan yang tepat untuk individu anggota sebuah negara. Kedua, penggunaan konsep kemiskinan dianggap kurang tepat. Istilah war on poverty diubah menjadi fight against social exclusion. Akhirnya, eksklusi sosial ini menyebar dalam versi bahasa Inggris dari kebijakan Eropa yang tidak terlalu menyimpang dari arti eksklusi itu sendiri dalam Bahasa Perancis. The French Policy Milieu Dalam sebuah kebijakan di Perancis, kurang lebih satu dekade sebelum adanya “European Union Poverty Programmes”, konsep eksklusi sosial telah menjadi istilah yang digunakan untuk pengkategorian orang yang dikeluarkan atau diasingkan dari program penyediaan asuransi sosial di Perancis. Menurut Hilary Silver (1995), pada tahun 1974 Paul Lenoir telah mengidentifikasi 10 kategori atau kelompok yang dikeluarkan, yakni penderita cacat mental, mereka yang bunuh diri, cacat usia, anak-anak yang mengalami kekerasan, penyalahguna zat, orang tua tunggal (terutama perempuan), penjahat, mereka yang mempunyai banyak permasalahan rumah tangga, marginalisasi, asosial dan mereka yang tidak mampu beradaptasi. The European Union Context Melihat hubungan antara Uni Eropa dengan istilah eksklusi sosial, maka yang tertulis dalam artikel Robin Peace ini adalah bagaimana Uni Eropa itu sendiri menggunakan mandatnya dalam pembuatan kebijkan yang fokus terhadap istilah “poverty” dan akhirnya berpindah fokus pada istilah “eksklusi sosial”. Hal ini terjadi semenjak pertengahan tahun 1990 an, yang pada saat itu sangat berpengaruh dalam kebijakan yang ada di Uni Eropa. Oleh karena itu, banyak peneliti, analis, dan komentator yang melihat eksklusi sosial sebagai sesuatu yang baru dan mendorong pemikiran ulang tentang isu dan masalah sosial dari konsep yang terbatas pada kemiskinan dan kekurangan. Paradoksnya, tampak bahwa kebijakan yang membahas eksklusi sosial mampu menjamin beberapa kelompok dan individu yang dikucilkan. The Shift from Verb to Noun Penggunaan istilah eksklusi sosial di Perancis, terlihat jelas lewat kebijakan pemerintahannya yang mengeksklusikan kelompok-kelompok tertentu lewat pembatasan penerimaan asuransi sosial dengan basis-basis atau kriteria-kriteria tertentu. Jika kelompok-kelompok tersebut ingin masuk ke dalam kategori yang terinklusi untuk mendapatkan akses dalam asuransi sosial tersebut, mereka harus mempunyai pekerjaan atau dengan menikahi seseorang yang sudah mempunyai pekerjaan. Berbeda dengan apa yang terjadi di Inggris, mereka mempunyai sebuah trik yang dapat mengubah sebuah kata kerja menjadi sebuah kata sifat yang dalam istilahnya disebut dinominalisasi atau reification. Dengan demikian, istilah eksklusi yang bersifat “action” berubah menjadi “thing” dan digunakan dalam labeling beberapa kelompok. REIFIED CATEGORIES Dalam tulisan “Social Exclusion: A Concept in Need of Definition?”, penulis lebih menekankan bagaimana menggunakan reification dalam hubungannya dengan kebijakan yang ada di Uni Eropa. Penulis juga menggunakan beberapa metode dalam hasil studinya terkait eksklusi sosial ini. Identifying the Ways Social Exclusion is Deployed in Policy Text Penulis menggunakan tabel matriks untuk mengkategorikan beberapa atribut terkait dengan bagaimana eksklusi sosial itu digunakan atau dimasukkan ke dalam sebuah kebijakan. Atribut itu sebagai berikut: - label/nama/kategori untuk orang yang tereksklude - nama untuk jenis eksklusi yang berbeda - nama untuk identifikasi faktor penyebab eksklusi - metafora untuk negara, kondisi, atau tempat eksklusi - penyebab struktural eksklusi - nama/label untuk dampak psiko-sosial dari eksklusi Atribut-atribut di atas, dikaji lebih mendalam dengan segala contoh dari masing-masing atribut untuk menjadi model dalam pengembangan konsep eksklusi. Making Categorie fo People Dalam dokumen kebijakan disebutkan ada 51 cara untuk mengakategorikan seseorang “tereksklusi secara sosial”. Namun, ada beberapa kategori yang sering dijumpai dan menurut penulis termasuk dalam orang yang tereksklusi secara sosial, yakni orang yang tidak mempunyai tanah atau rumah untuk tinggal dan ini mengacu pada lima pengkategorian lagi, yaitu orang-orang yang termarjinalisasi melalui pilihan, termarjinalisasi secara sosial budaya, tereksklusi karena umur, gender, dan keterbatasan, termarjinalisasi secara sosial ekonomi, dan beberapa kondisi lainnya yang menyebabkan seseorang tereksklusi dari kelompoknya. Kinds of Exclusion Penulis menyebutkan ada kategori orang-orang yang tereksklusi atau macam dari eksklusi itu sendiri. Peace menemukan setidaknya ada 15 jenis eksklusi, antara lain social marginalisation, new poverty, democratic legal/political exclusion, nonmaterial disadvantage, exclusion from the “minimal acceptable way of life”, cultural exclusion (including race and gender), exclusion from family and the community, exclusion from the walfare state, long-term poverty, exclusion from mainstream political and economic life, poverty, state of deprivation, detachment from work relations, economic exclusion, and exclusion from the labour market.Selanjutnya, banyak membahas mengenai rekonstruksi dan beberapa pandangan mengenai macam-macam bentuk eksklusi itu sendiri. Accentuating Factors Faktor penyebab eksklusi sosial terbagi berdasarkan kurangnya akses terhadap sumber daya, kurangnya pengakuan, dan kurangnya spasial atau ruang, personal atau ekonomi. Menurut Peace (1999), eksklusi mencakup kurangnya akses pada mobilitas sosial, komunikasi, sistem sosial yang vital, perumahan, pelayanan publik, keamanan sosial, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, dan kewarganegaraan. Kurangnya pengakuan mencakup pandangan negatif terhadap kelompok miskin, diskriminasi sosial, ketimpangan budaya, prasangka dalam masyarakat, perumahan, label, segregasi, diskriminasi etnik, dan rendahnya partisipasi perempuan. Personal intensifiers mencakup gaya hidup yang tidak baik, keadaan keluarga yang negatif, standar hidup rendah, kurangnya kesehatan, hutang, perdagangan narkoba, ketidakpuasan kualitas hidup, kurangnya pengetahuan dan informasi, dan rendahnya tingkat pendidikan. Spatial intensifiers mencakup isolasi sosial, isolasi geografis, keterpisahan dari keluarga dan komunitas, rasa yang terabaikan, migrasi keluar. Ada tiga aspek yang terkait dengan eksklusi, yakni: 1. Metafora Eksklusi (Metaphors of Exclusion) Ada perbedaan metafor terkait dengan bahasan eksklusi, yakni hanya sedikit membahas tentang spasialitas eksklusi. Robin Peace mengklasifikasikan metafora Lakof dan Johnston sebagai pendekatan dalam interpretasi metafora.Term yang berkaitan dengan eksklusi sosial antara lain menurun (decline), minoritas (least), dan bawah (below). Peace menyatakan metafora itu mencakup keadaan yang mengalami penurunan secara terus menerus, daerah pinggiran, kelompok minoritas, terpisah dari hubungan kerja, perangkap kemiskinan, siklus eksklusi, siklus hidup kemiskinan, jaringan yang lemah, cacat kumulatif, situasi berisiko, hidup di bawah garis kemiskinan, ruang miskin, pulau miskin, kota-kota kumuh, ghetto, zona residental ilegal, dan zona perumahan yang acak. 2. Penyebab Struktural (Structural Causes) Penyebab struktural banyak muncul dalam perdebatan orang-orang Irlandia terkait eksklusi sosial dan baru-baru ini diikuti oleh United Kingdom’s Social Exclusion Unit. Struktural menggambarkan adanya faktor atau elemen dalam individu yang dibatasi oleh kontrol. Menurut Peace, eksklusi berhubungan dengan pekerjaan, seperti pekerja anak, upah rendah, pekerjaan tanpa keterampilan, tidakadanya perlindungan pekerja, pekerja lansia, pengangguran jangka panjang. Multiple deprivation mencakup deprivasi lingkungan, kondisi perumahan yang buruk, kekerasan, tingginya tingkat kejahatan, termasuk juga ketidakefisienan sumberdaya, kurangnya pekerjaan, kurangnya sumberdaya dasar, kurangnya pelayanan, sama halnya dengan kebijakan pemerintah. 3. Dampak Psiko Sosial dari Eksklusi (Phycho-Social Effects of Exclusion) Menurut Peace, dampak sosial psikologis mencakup permasalahan psikologi, permasalahan hubungan, hilangnya identitas, hilangnya afiliasi budaya, tidak adanya integrasi dalam dunia kerja, permasalahan depresi mental, hilangnya struktur internal dalam diri seseorang, hilangnya tujuan, tidak adanya integrasi dalam ikatan keluarga, proses implikasi subjektif, dimensi dalam kemiskinan, dan tidak adanya integrasi dalam hubungan sosial. Karakteristik ini sering diasosiasikan dengan individu. Hubungan antara karakteristik dan kategori eksklusi sosial semakin membingungkan dengan kebijakan politik dan ekonomi yang dibuat di suatu tempat pada suatu waktu. Dalam kerangka kerja yang kompleks, eksklusi sosial direpresentasikan dalam teks kebijakan dengan banyak perbedaan. DEFINITIONS OF SOCIAL EXCLUSION Secara sederhana, eksklusi sosial mempunyai sinonim dengan kemiskinan pendapatan dan merujuk pada pekerja yang tidak dibayar atau orang yang bekerja dengan pendapatan yang rendah. Konsep eksklusi sosial bertolak belakang dengan konsep kohesi sosial yang mempunyai arti bahwa masyarakat kohesif mempunyai stabilitas politik, sosial, dan ekonomi yang dijaga dan dan dikendalikan oleh partisipasi dalam angkatan kerja yang dibayar. Secara luas, eksklusi sosial lebih dari kemiskinan, ketidakadilan pendapatan, deprivasi atau kurangnya pekerjaan. Laporan akhir dari “European Uniaon Poverty Programmes” menyatakan secara sistematis bahwa eksklusi sosial berada dalam perjalanan yang kompleks. Ada 12 laporan yang mengidentifikasi bahwa eksklusi sosial adalah multidimensional, yang melibatkan kurangnya sumberdaya dan atau menolak hak-hak sosial, dimana eksklusi merupakan suatu proses yang dinamis. Menurut Silver, proses eksklusi menghasilkan banyak deprivasi, putusnya ikatan keluarga dan hubungan sosial, dan hilangnya identitas dan tujuan. Konsep eksklusi sosial dapat berguna dalam mengembangkan perbedaan pemahaman yang kompleks terkait faktor yang mempengaruhi serta menyebabkan kesejahteraan dan keuntungan relatif pada satu pihak, dan disparitas, ketidakasilan dan kerugian relatif di antara anggota-anggota komunitas lainnya. Di United Kingdom (UK), Irlandia Utara, dan Skotlandia memperkenalkan kompleksitas ke dalam definisi yang merujuk pada proses, kompleksitas, dan sebab yang ditujukan pada individu, rumah tangga, keluarga, dan komunitas. Konsep-konsep antara lain partisipasi dan inklusi sosial sangat terlihat dalam definisinya. Di Irlandia Utara, eksklusi sosial diartikan sebagai seperangkat proses, yang mencakup dalam pasar tenaga kerja dan sistem kesejahteraan, oleh individu, rumah tangga, komunitas, juga kelompok sosial yang didorong ke depan atau memelihara adanya garis batas dalam masyarakat. Eksklusi sosial tidak hanya mengarah pada deprivasi secara materi, tetapi juga lebih luas lagi yakni penolakan kesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam sosial dan kehidupan sipil. (Democratic Dialogue, 1995) Sebuah kantor di Skotlandia menyatakan bahwa eksklusi merupakan suatu yang kompleks dan penyebabnya saling berhubungan, sehingga dampaknya menjadi penyebab eksklusi lebih jauh. Contohnya: kemiskinan merupakan sebuah kunci dan dampak dari eksklusi. Tindakan untuk memperkenalkan inklusi sosial memerlukan komperhensif dan koordinasi. Hal ini menunjukkan rentang yang penuh dalam menghadapi isu baik secara individual, keluarga atau komunitas. The UK Social Exclusion Unit, lebih fokus pada individual dan mendefinisikan eksklusi lebih dari pembahasan tentang kemiskinan. Oleh karena itu, kompleksitas didifinisikan ke dalam term permasalahan yang terkait satu dengan lainnya. Menurut UK Sosial Exclusion Unit, eksklusi sosial didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang terjadi dalam diri individu atau areas suffer karena permasalahan yang terkait pengangguran, kurangnya keterampilan, rendahnya pendapatan, kurangnya perumahan, tingginya angka kejahatan, kesehatan yang kurang dan terpecahnya ikatan dalam keluarga. Bhalla dan Lapeyre telah menyebutkan dalam Bessis (1995) bahwa European Union mengidentifikasi eksklusi ke dalam tiga bidang, yakni: 1. Ekonomi: yang termasuk tereksklusi adalah pengangguran, adanya deprivasi akses terhadap aset seperti properti atau kredit. 2. Sosial: hilangnya keterikatan individu dengan arus utama dalam masyarakat 3. Politik: kategori penduduk tertentu, seperti perempuan, etnis, dan kelompok agama minoritas atau migran yang telah dirampas sebagian atau semua kesempatan politik dan hak asasi manusianya. Laporan dari ILO menyarankan adanya pendekatan yang banyak dalam memahami eksklusi sosial dengan mengidentifikasi perbedaan di antara eksklusi sosial sebagai sebuah atribut dari individu atau kelompok, dan eksklusi sosial sebagai properti dalam masyarakat: 1. Dilihat dari atribut individu mempunyai pengertian bahwa orang atau kelompok yang tereksklusi terlihat dari situasi yang tidak menguntungkan, lebih dari definisi kemiskinan yang kurang akan pendapatan atau kepemilikan materi. Secara sosial mereka tereksklusi. Hal ini bisa dilihat dari kurangnya ikatan terhadap keluarga, komunitas lokal, asosiasi relawan, serikat buruh, atau bahkan bangsa. Mereka tidak beruntung dalam segi hak legal. Definisi ini membawa hubungan konsumsi dengan hubungan kerja yang tidak menguntungkan. Fokusnya pada dinamika penyebab yang kumulatif. 2. Dilihat dari properti dalam masyarakat, pendekatan yang paling cocok adalah perspektif institusional, eksklusi sosial merupakan suatu properti dasar kerangka institusional dan susunan institusional secara terus menerus dalam individu dan kelompok. Eksklusi sosial adalah properti dari masyarakat yang dilihat dari ras, jenis kelamin, atau diskriminasi dalam bentuk lain yang ada. Pada tahun 1990, United Kingdom mendefinisikan eksklusi sosial menjadi dua poin, yakni individu secara sosial tereksklud jika dia secara geografis berada dalam masyarakat, tetapi tidak berpartisipasi dalam aktivitas normal warga negara dalam masyarakat. Menurut Burchardt dalam Percy Smith (2000), aktivitas normal diidentifikasi menjadi lima dimensi, yakni: 1. Aktivitas konsumsi: berhubungan dengan pengukuran kemiskinan secara tradisional. 2. Aktivitas menabung: termasuk pensiun, menabung, kepemilikan rumah. 3. Aktivitas produksi: berhubungan aktivitas bernilai secara ekonomi maupun sosial, seperti pekerja bayaran, pendidikan atau pelatihan, 4. Aktivitas politik: berhubungan dengan beberapa usaha kolektif untuk mengembangkan atau melindungi sosial atau lingkungan fisik. 5. Aktivitas sosial: berhubungan dengan interaksi sosial secara signifikan dengan keluarga, atau teman dan mengidentifikasi dengan kelompok budaya atau komunitas. Dari penjelasan di atas dapat dibedakan dua dimensi, yakni: 1. Dimensi spesifik pada hakikat multidimensi dari eksklusi sosial dan faktor-faktor yang berhubungan dengan produksi dan atau pendapatan. 2. Interpretasi yang luas terkait aspek-aspek produktif, politik, dan sosial. Robin Peace mengkritisi kedua dimensi tersebut diatas. Pertama, konsumsi terlalu sempit didefinisikan untuk mengukur kemiskinan. Peace berpendapat bahwa konsumsi politik mempunyai hubungan yang kompleks dengan eksklusi sosial. Kapasitas konsumsi tidak hanya ditandai dengan kemiskinan, tetapi meningkatnya identitas dalam diri seseorang. Konsumsi produk tertentu, pelayanan, dan pengetahuan meningkatkan seperangkat paramater untuk inklusi sosial. Kedua, eksklusi sangat kompleks jika dikaitkan dengan aktivitas sosial dan budaya. Meskipun mudah mengatakan bahwa budaya terikat dengan sosial sedikit lebih mudah mengidentifikasi identitas politik yang berhubungan dengan eksklusi. Intinya, identitas budaya dan eksklusi memerlukan penelitian lebih lanjut. Janie Percy Smith juga mengidentifikasi dimensi oleh Burchardt, tetapi daripada menentang isi dimensi tersebut, Percy menawarkan dimensi baru dan upaya untuk mengidentifikasi indikator yang dapat digunakan untuk mengukur eksklusi. Menurutnya, lingkungan, individu, dimensi spasial dan kelompok perlu dibahas, selain dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Ada perdebatan dalam menentukan definisi yang ideal terkait eksklusi sosial, dan sampai sekarang belum ada konsensus yang baku. Keputusan dari “New Zeland” tidak menitikberatkan pada sempit maupun luasnya definisi dari eksklusi sosial, yang terpenting adalah tujuannya yang baik, tetapi juga memutuskan segala sesuatu yang membingungkan dalam konsep eksklusi dikaitkan dengan kenyataan yang ada. Terakhir, paper ini menawarkan konsekuensi yang tidak terduga dalam penggunaan konsep “eksklusi” yang berbeda sesuai dengan konteks tempatnya. OTHER IMPLICATIONS Percy-Smith menggambarkan apa yang dia sebut sebagai “agenda moral yang mendukung pembahasan intervensi kebijakan” dalam hubungannya dengan eksklusi sosial. Hal ini terdapat dua aspek, yakni: 1. Wacana kuat yang beredar dalam masyarakat merujuk pada “eksklusi sosial” sebagai kerangka kebijakan yang menempatkan nilai pada kebebasan. Individualisme yang berdaulat dan posesif lebih dari sebuah teori sociophilosophical. Ini adalah kerangka implisit yang memberikan alasan untuk bangkitnya sektor pasar komersial dan agenda politik. Di Uni Eropa, fokus pada eksklusi ekonomi, yakni eksklusi tenaga kerja yang dibayar seperti yang terjadi dalam sejarah “Poverty Programmes”. Diskusi yang ada cenderung fokus pada kebijakan-kebijakan yang memindahkan orang yang awalnya tergantung pada negara menjadi independen dalam angkatan kerja yang dibayar. The United Kingdom Social Exclusion Unit juga mengarahkan pada diskusi terkait “Opportunities for All”, dimana semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di segala bidang. 2. Pengembangan inklusi sosial. Maksudnya, Sikap tidak toleran dan pemberian hukuman dianggap menyimpang dan tidak sesuai. Unsur normatif kebijakan menimbulkan pertanyaan penting dalam kaitannya dengan orang-orang yang secara sukarela tereksklusi. Identity-Based Politics Diskusi tentang identitas berbasis politik sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan guna mengurangi kesenjangan yang bisa menimbulkan masalah. Asumsi selektif universalis tentang hak-hak yang menjadi tanggung jawab kelompok berdasarkan identitas politik dapat mempersempit konsep eksklusi sosial. Klaim Maori dalam konteks Aotearoa dapat dipahami dalam hal ini sebagai “Politik Pengakuan”. Janie Percy-Smith mendefinisikan eksklusi sosial dengan cara mengabaikan kompleksitas eksklusi politik. Normatif dan dominan konseptualisasi inklusi sosial dan kohesi sosial dalam intrepretasi Percy-Smith secara moral prolematik. Kebijakan redistribusi kesejahteraan didasarkan pada kategorisasi. Platform kebijakan bagi para migran, perempuan, penyandang cacat, dan orang tua dirancang untuk mengatasi semua orang dalam kategori tersebut terlepas dari sejauh mana kemiskinan atau kekurangan dimana individu itu hidup. Menurut Peace, wacana eksklusi sosial dan penulisan ulang kerangka kebijakan sosial dan ekonomi merupakan konsekuensi dari penggunaannya, malah menghasilkan ruang di mana kelompok-kelompok dan individu berada dalam bahaya “tereksklude dari wacana eksklusi” itu sendiri. Conclusion Inklusi sosial sebagai kerangka kebijakan juga bukan tanpa resiko, artinya masih ada kecenderungan normatif yang melekat pada wacana eksklusi sosial. Namun, keinginan untuk inklusi sosial bisa diartikan dalam konteks kebijakan sebagai agenda untuk memfasilitasi, memperkaya, dan meningkatkan kapasitas individu dan kelompok setidaknya dalam tiga hal, yakni peluang, timbal balik, dan partisipasi. Investasi dalam kekuatan dan sumber daya manusia memerlukan pendekatan kebijakan yang dapat multidimensi. Kebijakan yang menyediakan akses pada kebutuhan dasar di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, dan fasilitas sangat diperlukan. Perlu dibuat kebijakan yang berusaha untuk melindungi orang dari bahaya dan atau mencegah orang-orang terkena keadaan yang sulit atau berisiko. Selain itu, diperlukan kebijakan orang untuk mencari peluang baru dan mengambil keuntungan dari peluang yang tersedia. Idealnya, perlu ada mekanisme kebijakan untuk mengakui bahwa investasi dan peluang yang berharga dapat diakses oleh semua orang. Setiap pengembangan kebijakan eksklusi di New Zeland harus memperhatikan kompleksitas konsep dan kecenderungan yang bertentangan. Selain itu, para pembuat kebijakan perlu berhati-hati dalam penggunaan frase karena dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap apa yang dibicarakan dan akibatnya pada tindakan yang dirumuskan. Eksklusi sosial dapat dipakai di New Zeland sebagai konsep yang mirip dengan kemiskinan, menjadi miskin, mengalami kesulitan, dan berusaha mencapai kualitas hidup. Eksklusi sosial digunakan sebagai alat untuk membahas faktor-faktor terkait dan proses yang dapat mengacaukan kemampuan individu dan kelompok dalam hal harapan, peluang, timbal balik, dan partisipasi. Eksklusi sosial dan inklusi sosial merupakan penamaan untuk proses kolektif yang dapat menghambat orang untuk dapat mengakses peluang dan sarana guna mencapai kesejahteraan dan keamanan bagi mereka. Referensi: Peace, Robin. “Social Exclusion in Need of Definition” Social Policy Journal of New Zeland. 16/2001.