REVIEW “SOCIAL EXCLUSION: A CONCEPT IN NEED OF

advertisement
REVIEW “SOCIAL EXCLUSION: A CONCEPT IN NEED OF DEFINITION?”
Robin Peace
Kelompok 1
Andre Satriya Utama (1006664363)
Edwin Arif Nugroho (1006692650)
Nur Rina Maskayanti (1006762985)
HISTORY OF THE CONCEPT
Pada awalnya, penggunaan istilah eksklusi sosial tidak terlalu terlihat jelas dan banyak sekali
perdebatannya. Banyak yang menganggap bahwa istilah kemiskinan (poverty), kekurangan
(deprivation), dan kesusahan (hardship) lebih cocok digunakan dibandingkan istilah eksklusi
sosial. Pada tahun 1980 an, Robin Peace membahas tentang istilah eksklusi sosial yang
berawal dari sebuah “Poverty Pragrammes” di Uni Eropa.
Penggunaan istilah eksklusi sosial sendiri tidak terlepas dari term bahasa Perancis, yakni
exclusion sociale. Pembuat kebijakan di Eropa mengalami kesulitan untuk mencari alternatif
istilah kemiskinan atau kekurangan, sehingga istilah eksklusi ini dijadikan branding uji coba
dalam “Poverty Programmes” yang sebelumnya dianggap kontroversial. Alasannya, pertama,
mereka muncul untuk berkompromi prinsip subsidiaritas, bahwa Uni atau komunitas tidak
akan menghasilkan kebijakan yang tepat untuk individu anggota sebuah negara. Kedua,
penggunaan konsep kemiskinan dianggap kurang tepat. Istilah war on poverty diubah
menjadi fight against social exclusion. Akhirnya, eksklusi sosial ini menyebar dalam versi
bahasa Inggris dari kebijakan Eropa yang tidak terlalu menyimpang dari arti eksklusi itu
sendiri dalam Bahasa Perancis.
The French Policy Milieu
Dalam sebuah kebijakan di Perancis, kurang lebih satu dekade sebelum adanya “European
Union Poverty Programmes”, konsep eksklusi sosial telah menjadi istilah yang digunakan
untuk pengkategorian orang yang dikeluarkan atau diasingkan dari program penyediaan
asuransi sosial di Perancis. Menurut Hilary Silver (1995), pada tahun 1974 Paul Lenoir telah
mengidentifikasi 10 kategori atau kelompok yang dikeluarkan, yakni penderita cacat mental,
mereka yang bunuh diri, cacat usia, anak-anak yang mengalami kekerasan, penyalahguna zat,
orang tua tunggal (terutama perempuan), penjahat, mereka yang mempunyai banyak
permasalahan rumah tangga, marginalisasi, asosial dan mereka yang tidak mampu
beradaptasi.
The European Union Context
Melihat hubungan antara Uni Eropa dengan istilah eksklusi sosial, maka yang tertulis dalam
artikel Robin Peace ini adalah bagaimana Uni Eropa itu sendiri menggunakan mandatnya
dalam pembuatan kebijkan yang fokus terhadap istilah “poverty” dan akhirnya berpindah
fokus pada istilah “eksklusi sosial”. Hal ini terjadi semenjak pertengahan tahun 1990 an, yang
pada saat itu sangat berpengaruh dalam kebijakan yang ada di Uni Eropa.
Oleh karena itu, banyak peneliti, analis, dan komentator yang melihat eksklusi sosial sebagai
sesuatu yang baru dan mendorong pemikiran ulang tentang isu dan masalah sosial dari
konsep yang terbatas pada kemiskinan dan kekurangan. Paradoksnya, tampak bahwa
kebijakan yang membahas eksklusi sosial mampu menjamin beberapa kelompok dan individu
yang dikucilkan.
The Shift from Verb to Noun
Penggunaan istilah eksklusi sosial di Perancis, terlihat jelas lewat kebijakan pemerintahannya
yang mengeksklusikan kelompok-kelompok tertentu lewat pembatasan penerimaan asuransi
sosial dengan basis-basis atau kriteria-kriteria tertentu. Jika kelompok-kelompok tersebut
ingin masuk ke dalam kategori yang terinklusi untuk mendapatkan akses dalam asuransi
sosial tersebut, mereka harus mempunyai pekerjaan atau dengan menikahi seseorang yang
sudah mempunyai pekerjaan. Berbeda dengan apa yang terjadi di Inggris, mereka mempunyai
sebuah trik yang dapat mengubah sebuah kata kerja menjadi sebuah kata sifat yang dalam
istilahnya disebut dinominalisasi atau reification. Dengan demikian, istilah eksklusi yang
bersifat “action” berubah menjadi “thing” dan digunakan dalam labeling beberapa kelompok.
REIFIED CATEGORIES
Dalam tulisan “Social Exclusion: A Concept in Need of Definition?”, penulis lebih
menekankan bagaimana menggunakan reification dalam hubungannya dengan kebijakan
yang ada di Uni Eropa. Penulis juga menggunakan beberapa metode dalam hasil studinya
terkait eksklusi sosial ini.
Identifying the Ways Social Exclusion is Deployed in Policy Text
Penulis menggunakan tabel matriks untuk mengkategorikan beberapa atribut terkait dengan
bagaimana eksklusi sosial itu digunakan atau dimasukkan ke dalam sebuah kebijakan. Atribut
itu sebagai berikut:
-
label/nama/kategori untuk orang yang tereksklude
-
nama untuk jenis eksklusi yang berbeda
-
nama untuk identifikasi faktor penyebab eksklusi
-
metafora untuk negara, kondisi, atau tempat eksklusi
-
penyebab struktural eksklusi
-
nama/label untuk dampak psiko-sosial dari eksklusi
Atribut-atribut di atas, dikaji lebih mendalam dengan segala contoh dari masing-masing
atribut untuk menjadi model dalam pengembangan konsep eksklusi.
Making Categorie fo People
Dalam dokumen kebijakan disebutkan ada 51 cara untuk mengakategorikan seseorang
“tereksklusi secara sosial”. Namun, ada beberapa kategori yang sering dijumpai dan menurut
penulis termasuk dalam orang yang tereksklusi secara sosial, yakni orang yang tidak
mempunyai tanah atau rumah untuk tinggal dan ini mengacu pada lima pengkategorian lagi,
yaitu orang-orang yang termarjinalisasi melalui pilihan, termarjinalisasi secara sosial budaya,
tereksklusi karena umur, gender, dan keterbatasan, termarjinalisasi secara sosial ekonomi,
dan beberapa kondisi lainnya yang menyebabkan seseorang tereksklusi dari kelompoknya.
Kinds of Exclusion
Penulis menyebutkan ada kategori orang-orang yang tereksklusi atau macam dari eksklusi itu
sendiri. Peace menemukan setidaknya ada 15 jenis eksklusi, antara lain social
marginalisation,
new
poverty,
democratic
legal/political
exclusion,
nonmaterial
disadvantage, exclusion from the “minimal acceptable way of life”, cultural exclusion
(including race and gender), exclusion from family and the community, exclusion from the
walfare state, long-term poverty, exclusion from mainstream political and economic life,
poverty, state of deprivation, detachment from work relations, economic exclusion, and
exclusion from the labour market.Selanjutnya, banyak membahas mengenai rekonstruksi dan
beberapa pandangan mengenai macam-macam bentuk eksklusi itu sendiri.
Accentuating Factors
Faktor penyebab eksklusi sosial terbagi berdasarkan kurangnya akses terhadap sumber daya,
kurangnya pengakuan, dan kurangnya spasial atau ruang, personal atau ekonomi.
Menurut Peace (1999), eksklusi mencakup kurangnya akses pada mobilitas sosial,
komunikasi, sistem sosial yang vital, perumahan, pelayanan publik, keamanan sosial,
pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, dan kewarganegaraan.
Kurangnya pengakuan mencakup pandangan negatif terhadap kelompok miskin, diskriminasi
sosial, ketimpangan budaya, prasangka dalam masyarakat, perumahan, label, segregasi,
diskriminasi etnik, dan rendahnya partisipasi perempuan. Personal intensifiers mencakup
gaya hidup yang tidak baik, keadaan keluarga yang negatif, standar hidup rendah, kurangnya
kesehatan, hutang, perdagangan narkoba, ketidakpuasan kualitas hidup, kurangnya
pengetahuan dan informasi, dan rendahnya tingkat pendidikan. Spatial intensifiers mencakup
isolasi sosial, isolasi geografis, keterpisahan dari keluarga dan komunitas, rasa yang
terabaikan, migrasi keluar.
Ada tiga aspek yang terkait dengan eksklusi, yakni:
1. Metafora Eksklusi (Metaphors of Exclusion)
Ada perbedaan metafor terkait dengan bahasan eksklusi, yakni hanya sedikit
membahas tentang spasialitas eksklusi. Robin Peace mengklasifikasikan metafora
Lakof dan Johnston sebagai pendekatan dalam interpretasi metafora.Term yang
berkaitan dengan eksklusi sosial antara lain menurun (decline), minoritas (least), dan
bawah (below).
Peace menyatakan metafora itu mencakup keadaan yang mengalami penurunan secara
terus menerus, daerah pinggiran, kelompok minoritas, terpisah dari hubungan kerja,
perangkap kemiskinan, siklus eksklusi, siklus hidup kemiskinan, jaringan yang lemah,
cacat kumulatif, situasi berisiko, hidup di bawah garis kemiskinan, ruang miskin,
pulau miskin, kota-kota kumuh, ghetto, zona residental ilegal, dan zona perumahan
yang acak.
2. Penyebab Struktural (Structural Causes)
Penyebab struktural banyak muncul dalam perdebatan orang-orang Irlandia terkait
eksklusi sosial dan baru-baru ini diikuti oleh United Kingdom’s Social Exclusion
Unit. Struktural menggambarkan adanya faktor atau elemen dalam individu yang
dibatasi oleh kontrol.
Menurut Peace, eksklusi berhubungan dengan pekerjaan, seperti pekerja anak, upah
rendah, pekerjaan tanpa keterampilan, tidakadanya perlindungan pekerja, pekerja
lansia, pengangguran jangka panjang. Multiple deprivation mencakup deprivasi
lingkungan, kondisi perumahan yang buruk, kekerasan, tingginya tingkat kejahatan,
termasuk juga ketidakefisienan sumberdaya, kurangnya pekerjaan, kurangnya
sumberdaya dasar, kurangnya pelayanan, sama halnya dengan kebijakan pemerintah.
3. Dampak Psiko Sosial dari Eksklusi (Phycho-Social Effects of Exclusion)
Menurut Peace, dampak sosial psikologis mencakup permasalahan psikologi,
permasalahan hubungan, hilangnya identitas, hilangnya afiliasi budaya, tidak adanya
integrasi dalam dunia kerja, permasalahan depresi mental, hilangnya struktur internal
dalam diri seseorang, hilangnya tujuan, tidak adanya integrasi dalam ikatan keluarga,
proses implikasi subjektif, dimensi dalam kemiskinan, dan tidak adanya integrasi
dalam hubungan sosial.
Karakteristik ini sering diasosiasikan dengan individu. Hubungan antara karakteristik
dan kategori eksklusi sosial semakin membingungkan dengan kebijakan politik dan
ekonomi yang dibuat di suatu tempat pada suatu waktu. Dalam kerangka kerja yang
kompleks, eksklusi sosial direpresentasikan dalam teks kebijakan dengan banyak
perbedaan.
DEFINITIONS OF SOCIAL EXCLUSION
Secara sederhana, eksklusi sosial mempunyai sinonim dengan kemiskinan pendapatan dan
merujuk pada pekerja yang tidak dibayar atau orang yang bekerja dengan pendapatan yang
rendah. Konsep eksklusi sosial bertolak belakang dengan konsep kohesi sosial yang
mempunyai arti bahwa masyarakat kohesif mempunyai stabilitas politik, sosial, dan ekonomi
yang dijaga dan dan dikendalikan oleh partisipasi dalam angkatan kerja yang dibayar.
Secara luas, eksklusi sosial lebih dari kemiskinan, ketidakadilan pendapatan, deprivasi atau
kurangnya pekerjaan. Laporan akhir dari “European Uniaon Poverty Programmes”
menyatakan secara sistematis bahwa eksklusi sosial berada dalam perjalanan yang kompleks.
Ada 12 laporan yang mengidentifikasi bahwa eksklusi sosial adalah multidimensional, yang
melibatkan kurangnya sumberdaya dan atau menolak hak-hak sosial, dimana eksklusi
merupakan suatu proses yang dinamis. Menurut Silver, proses eksklusi menghasilkan banyak
deprivasi, putusnya ikatan keluarga dan hubungan sosial, dan hilangnya identitas dan tujuan.
Konsep eksklusi sosial dapat berguna dalam mengembangkan perbedaan pemahaman yang
kompleks terkait faktor yang mempengaruhi serta menyebabkan kesejahteraan dan
keuntungan relatif pada satu pihak, dan disparitas, ketidakasilan dan kerugian relatif di antara
anggota-anggota komunitas lainnya. Di United Kingdom (UK), Irlandia Utara, dan
Skotlandia memperkenalkan kompleksitas ke dalam definisi yang merujuk pada proses,
kompleksitas, dan sebab yang ditujukan pada individu, rumah tangga, keluarga, dan
komunitas. Konsep-konsep antara lain partisipasi dan inklusi sosial sangat terlihat dalam
definisinya.
Di Irlandia Utara, eksklusi sosial diartikan sebagai seperangkat proses, yang mencakup dalam
pasar tenaga kerja dan sistem kesejahteraan, oleh individu, rumah tangga, komunitas, juga
kelompok sosial yang didorong ke depan atau memelihara adanya garis batas dalam
masyarakat. Eksklusi sosial tidak hanya mengarah pada deprivasi secara materi, tetapi juga
lebih luas lagi yakni penolakan kesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam sosial
dan kehidupan sipil. (Democratic Dialogue, 1995)
Sebuah kantor di Skotlandia menyatakan bahwa eksklusi merupakan suatu yang kompleks
dan penyebabnya saling berhubungan, sehingga dampaknya menjadi penyebab eksklusi lebih
jauh. Contohnya: kemiskinan merupakan sebuah kunci dan dampak dari eksklusi. Tindakan
untuk memperkenalkan inklusi sosial memerlukan komperhensif dan koordinasi. Hal ini
menunjukkan rentang yang penuh dalam menghadapi isu baik secara individual, keluarga
atau komunitas.
The UK Social Exclusion Unit, lebih fokus pada individual dan mendefinisikan eksklusi lebih
dari pembahasan tentang kemiskinan. Oleh karena itu, kompleksitas didifinisikan ke dalam
term permasalahan yang terkait satu dengan lainnya.
Menurut UK Sosial Exclusion Unit, eksklusi sosial didefinisikan sebagai sebuah keadaan
yang terjadi dalam diri individu atau areas suffer karena permasalahan yang terkait
pengangguran, kurangnya keterampilan, rendahnya pendapatan, kurangnya perumahan,
tingginya angka kejahatan, kesehatan yang kurang dan terpecahnya ikatan dalam keluarga.
Bhalla dan Lapeyre telah menyebutkan dalam Bessis (1995) bahwa European Union
mengidentifikasi eksklusi ke dalam tiga bidang, yakni:
1. Ekonomi: yang termasuk tereksklusi adalah pengangguran, adanya deprivasi akses
terhadap aset seperti properti atau kredit.
2. Sosial: hilangnya keterikatan individu dengan arus utama dalam masyarakat
3. Politik: kategori penduduk tertentu, seperti perempuan, etnis, dan kelompok agama
minoritas atau migran yang telah dirampas sebagian atau semua kesempatan politik
dan hak asasi manusianya.
Laporan dari ILO menyarankan adanya pendekatan yang banyak dalam memahami eksklusi
sosial dengan mengidentifikasi perbedaan di antara eksklusi sosial sebagai sebuah atribut dari
individu atau kelompok, dan eksklusi sosial sebagai properti dalam masyarakat:
1. Dilihat dari atribut individu mempunyai pengertian bahwa orang atau kelompok yang
tereksklusi terlihat dari situasi yang tidak menguntungkan, lebih dari definisi
kemiskinan yang kurang akan pendapatan atau kepemilikan materi. Secara sosial
mereka tereksklusi. Hal ini bisa dilihat dari kurangnya ikatan terhadap keluarga,
komunitas lokal, asosiasi relawan, serikat buruh, atau bahkan bangsa. Mereka tidak
beruntung dalam segi hak legal. Definisi ini membawa hubungan konsumsi dengan
hubungan kerja yang tidak menguntungkan. Fokusnya pada dinamika penyebab yang
kumulatif.
2. Dilihat dari properti dalam masyarakat, pendekatan yang paling cocok adalah
perspektif institusional, eksklusi sosial merupakan suatu properti dasar kerangka
institusional dan susunan institusional secara terus menerus dalam individu dan
kelompok. Eksklusi sosial adalah properti dari masyarakat yang dilihat dari ras, jenis
kelamin, atau diskriminasi dalam bentuk lain yang ada.
Pada tahun 1990, United Kingdom mendefinisikan eksklusi sosial menjadi dua poin, yakni
individu secara sosial tereksklud jika dia secara geografis berada dalam masyarakat, tetapi
tidak berpartisipasi dalam aktivitas normal warga negara dalam masyarakat.
Menurut Burchardt dalam Percy Smith (2000), aktivitas normal diidentifikasi menjadi lima
dimensi, yakni:
1. Aktivitas konsumsi: berhubungan dengan pengukuran kemiskinan secara tradisional.
2. Aktivitas menabung: termasuk pensiun, menabung, kepemilikan rumah.
3. Aktivitas produksi: berhubungan aktivitas bernilai secara ekonomi maupun sosial,
seperti pekerja bayaran, pendidikan atau pelatihan,
4. Aktivitas
politik:
berhubungan
dengan
beberapa
usaha
kolektif
untuk
mengembangkan atau melindungi sosial atau lingkungan fisik.
5. Aktivitas sosial: berhubungan dengan interaksi sosial secara signifikan dengan
keluarga, atau teman dan mengidentifikasi dengan kelompok budaya atau komunitas.
Dari penjelasan di atas dapat dibedakan dua dimensi, yakni:
1. Dimensi spesifik pada hakikat multidimensi dari eksklusi sosial dan faktor-faktor
yang berhubungan dengan produksi dan atau pendapatan.
2. Interpretasi yang luas terkait aspek-aspek produktif, politik, dan sosial.
Robin Peace mengkritisi kedua dimensi tersebut diatas. Pertama, konsumsi terlalu sempit
didefinisikan untuk mengukur kemiskinan. Peace berpendapat bahwa konsumsi politik
mempunyai hubungan yang kompleks dengan eksklusi sosial. Kapasitas konsumsi tidak
hanya ditandai dengan kemiskinan, tetapi meningkatnya identitas dalam diri seseorang.
Konsumsi produk tertentu, pelayanan, dan pengetahuan meningkatkan seperangkat paramater
untuk inklusi sosial. Kedua, eksklusi sangat kompleks jika dikaitkan dengan aktivitas sosial
dan budaya. Meskipun mudah mengatakan bahwa budaya terikat dengan sosial sedikit lebih
mudah mengidentifikasi identitas politik yang berhubungan dengan eksklusi. Intinya,
identitas budaya dan eksklusi memerlukan penelitian lebih lanjut.
Janie Percy Smith juga mengidentifikasi dimensi oleh Burchardt, tetapi daripada menentang
isi dimensi tersebut, Percy menawarkan dimensi baru dan upaya untuk mengidentifikasi
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur eksklusi. Menurutnya, lingkungan, individu,
dimensi spasial dan kelompok perlu dibahas, selain dimensi ekonomi, sosial, dan politik.
Ada perdebatan dalam menentukan definisi yang ideal terkait eksklusi sosial, dan sampai
sekarang belum ada konsensus yang baku.
Keputusan dari “New Zeland” tidak
menitikberatkan pada sempit maupun luasnya definisi dari eksklusi sosial, yang terpenting
adalah tujuannya yang baik, tetapi juga memutuskan segala sesuatu yang membingungkan
dalam konsep eksklusi dikaitkan dengan kenyataan yang ada. Terakhir, paper ini
menawarkan konsekuensi yang tidak terduga dalam penggunaan konsep “eksklusi” yang
berbeda sesuai dengan konteks tempatnya.
OTHER IMPLICATIONS
Percy-Smith menggambarkan apa yang dia sebut sebagai “agenda moral yang mendukung
pembahasan intervensi kebijakan” dalam hubungannya dengan eksklusi sosial. Hal ini
terdapat dua aspek, yakni:
1. Wacana kuat yang beredar dalam masyarakat merujuk pada “eksklusi sosial” sebagai
kerangka kebijakan yang menempatkan nilai pada kebebasan. Individualisme yang
berdaulat dan posesif lebih dari sebuah teori sociophilosophical. Ini adalah kerangka
implisit yang memberikan alasan untuk bangkitnya sektor pasar komersial dan agenda
politik. Di Uni Eropa, fokus pada eksklusi ekonomi, yakni eksklusi tenaga kerja yang
dibayar seperti yang terjadi dalam sejarah “Poverty Programmes”. Diskusi yang ada
cenderung fokus pada kebijakan-kebijakan yang memindahkan orang yang awalnya
tergantung pada negara menjadi independen dalam angkatan kerja yang dibayar. The
United Kingdom Social Exclusion Unit juga mengarahkan pada diskusi terkait
“Opportunities for All”, dimana semua orang mempunyai kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi di segala bidang.
2. Pengembangan inklusi sosial. Maksudnya, Sikap tidak toleran dan pemberian
hukuman dianggap menyimpang dan tidak sesuai. Unsur normatif kebijakan
menimbulkan pertanyaan penting dalam kaitannya dengan orang-orang yang secara
sukarela tereksklusi.
Identity-Based Politics
Diskusi tentang identitas berbasis politik sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan guna
mengurangi kesenjangan yang bisa menimbulkan masalah. Asumsi selektif universalis
tentang hak-hak yang menjadi tanggung jawab kelompok berdasarkan identitas politik dapat
mempersempit konsep eksklusi sosial. Klaim Maori dalam konteks Aotearoa dapat dipahami
dalam hal ini sebagai “Politik Pengakuan”. Janie Percy-Smith mendefinisikan eksklusi sosial
dengan cara mengabaikan kompleksitas eksklusi politik. Normatif dan dominan
konseptualisasi inklusi sosial dan kohesi sosial dalam intrepretasi Percy-Smith secara moral
prolematik.
Kebijakan redistribusi kesejahteraan didasarkan pada kategorisasi. Platform kebijakan bagi
para migran, perempuan, penyandang cacat, dan orang tua dirancang untuk mengatasi semua
orang dalam kategori tersebut terlepas dari sejauh mana kemiskinan atau kekurangan dimana
individu itu hidup. Menurut Peace, wacana eksklusi sosial dan penulisan ulang kerangka
kebijakan sosial dan ekonomi merupakan konsekuensi dari penggunaannya, malah
menghasilkan ruang di mana kelompok-kelompok dan individu berada dalam bahaya
“tereksklude dari wacana eksklusi” itu sendiri.
Conclusion
Inklusi sosial sebagai kerangka kebijakan juga bukan tanpa resiko, artinya masih ada
kecenderungan normatif yang melekat pada wacana eksklusi sosial. Namun, keinginan untuk
inklusi sosial bisa diartikan dalam konteks kebijakan sebagai agenda untuk memfasilitasi,
memperkaya, dan meningkatkan kapasitas individu dan kelompok setidaknya dalam tiga hal,
yakni peluang, timbal balik, dan partisipasi. Investasi dalam kekuatan dan sumber daya
manusia memerlukan pendekatan kebijakan yang dapat multidimensi. Kebijakan yang
menyediakan akses pada kebutuhan dasar di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, dan
fasilitas sangat diperlukan. Perlu dibuat kebijakan yang berusaha untuk melindungi orang dari
bahaya dan atau mencegah orang-orang terkena keadaan yang sulit atau berisiko. Selain itu,
diperlukan kebijakan orang untuk mencari peluang baru dan mengambil keuntungan dari
peluang yang tersedia. Idealnya, perlu ada mekanisme kebijakan untuk mengakui bahwa
investasi dan peluang yang berharga dapat diakses oleh semua orang.
Setiap pengembangan kebijakan eksklusi di New Zeland harus memperhatikan kompleksitas
konsep dan kecenderungan yang bertentangan. Selain itu, para pembuat kebijakan perlu
berhati-hati dalam penggunaan frase karena dapat menimbulkan dampak yang signifikan
terhadap apa yang dibicarakan dan akibatnya pada tindakan yang dirumuskan.
Eksklusi sosial dapat dipakai di New Zeland sebagai konsep yang mirip dengan kemiskinan,
menjadi miskin, mengalami kesulitan, dan berusaha mencapai kualitas hidup. Eksklusi sosial
digunakan sebagai alat untuk membahas faktor-faktor terkait dan proses yang dapat
mengacaukan kemampuan individu dan kelompok dalam hal harapan, peluang, timbal balik,
dan partisipasi. Eksklusi sosial dan inklusi sosial merupakan penamaan untuk proses kolektif
yang dapat menghambat orang untuk dapat mengakses peluang dan sarana guna mencapai
kesejahteraan dan keamanan bagi mereka.
Referensi:
Peace, Robin. “Social Exclusion in Need of Definition” Social Policy Journal of New Zeland.
16/2001.
Download